bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Sultan Ground merupakan tanah adat dimana tanah tersebut peninggalan yang
dimiliki lembaga Kraton. Menurut Hamengkubuwono X (2007) yang disebut Sultan
Ground adalah tanah-tanah raja dan keluarga Keraton yang terdiri atas situs,
magersari dan tanah kosong serta garapan kosong.
Keberadaan Sultan Ground di Yogyakarta merupakan aset sosial dan ekonomi
yang harus dijaga dan dipertahankan. Pada awalnya, aturan hukum keraton
Kasultanan Yogyakarta tidak mengatur secara khusus mengenai tanah SG. Menurut
sejarahnya, hukum tanah Sultan Ground diatur bersama dengan tanah kas desa, tanah
penduduk, dan tanah Keraton itu sendiri. Dahulu Sultan Ground adalah tanah yang
belum diberikan haknya kepada penduduk maupun pemerintah desa dan masih
merupakan tanah milik Keraton, sehingga siapapun yang akan menggunakannya
harus meminta ijin kepada pihak Keraton dengan memenuhi penyelesaian
administrasi di Kantor Panitikismo, Kraton Yogyakarta (Anonim 2011).
Masyarakat yang akan menggunakan atau memanfaatkannya, akan diberikan
surat kekancingan dari keraton yang berarti surat kuasa yang diberikan oleh pihak
Keraton kepada masyarakat Daerah Yogyakarta dan sekitarnya untuk menggunakan
tanah Keraton. Status tanah yang mereka gunakan bersifat magersari dan tidak dapat
dijadikan hak milik.
Sementara bagi Keraton, status hukum Sultan Ground masih belum jelas secara
hukum. Selama ini Sultan Ground dianggap sebagai Tanah Ulayat (Adat) yang
keberadaannya telah diakui baik dari pemerintah maupun masyarakat, namun
statusnya sebagai tanah ulayat itu sendiri tidak dijamin dalam Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA). Hal ini menimbulkan desakan dari Sri Sultan Hmengku
Buwono X kepada pemerintah pusat untuk segera memberikan kepastian hukum
terhadap status Sultan Ground dan segera dilakukan penertiban Sultan Ground oleh
pemerintah daerah. Hal ini untuk mengantisipasi adanya penyelewengan atau
2
2
penyalahgunaan pemanfaatan Sultan Ground. Misalnya saja sertifikasi Sultan
Ground tanpa sepengetahuan pihak Keraton. Tentu saja hal seperti itu dapat
membuat permasalahan Sultan Ground menjadi semakin rumit dan dapat merugikan
pihak Keraton.
Pada tahun 2012 yang lalu, telah disahkan Rancangan Undang-Undang
Keistimewaan Yogyakarta yang salah satu pokok bahasannya adalah mengenai
pertanahan, terutama Sultan Ground dan Pakualaman Ground. Dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2012 disebutkan dalam penyelenggaraan kewenangan
pertanahan, Kasultanan dan Kadipaten dengan Undang-Undang ini dinyatakan
sebagai badan hukum. Kasultanan sebagai badan hukum merupakan subjek hak yang
mempunyai hak milik atas Tanah Kasultanan sedangkan Kadipaten sebagai subjek
hak yang mempunyai hak milik atas Tanah Kadipaten. Kasultanan dan Kadipaten
berwenang mengelola dan memanfaatkannya untuk sebesar-besarnya pengembangan
kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan Tanah
Kasultanan dan Kadipaten oleh pihak lain harus mendapatkan izin persetujuan
Kasultanan untuk Tanah Kasultanan dan Kadipaten untuk Tanah Kadipaten. Tahun
2013, Rancangan Undang-Undang ini pun akhirnya disahkan yang salah satu bab nya
mencakup permasalahan Sultan Ground.
Proyek ini akan membahas tentang penggunaan, persebaran dan luas Sultan
Ground di Daerah Istimewa Yogyakarta Sejarah munculnya Sultan Ground sangat
erat kaitannya dengan lahirnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Proyek ini diharapkan
dapat menjadi media informasi bagi masyarakat di Yogyakarta dan sekitarnya dalam
pengertian akan kondisi dan penggunaan Sultan Ground.
I.2. LINGKUP KEGIATAN
Proyek ini melakukan kajian tentang keberadaan Tanah Sultan Ground di
Kabupaten Bantul baik itu dilihat dari persebaran, luas, banyaknya jumlah bidang,
penggunaan tanah, dan kesesuaian penggunaannya terhadap Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW). Hasil dari proyek ini berupa peta tematik yang menggambarkan
keberadaan Tanah Sultan Ground di Kabupaten Bantul.
3
3
I.3. TUJUAN
Tujuan dari proyek ini adalah membuat dan menampilkan serta menyajikan
Peta Persebaran dan Penggunaan Tanah Sultan Ground di Kabupaten Bantul
berdasarkan sejarah dan hukum pertanahan, dengan bentuk penyajian secara spasial
dan non spasial.
I.4. MANFAAT
Manfaat dari proyek ini adalah:
1. Untuk memberikan wawasan dan pengetahuan tentang data persebaran Tanah
Sultan Ground bagi badan hukum atau badan lain yang akan menggunakan
tanah tersebut sebagai informasi.
2. Dapat dijadikan sebagai bahan sosialisasi tentang keberadaan Tanah Sultan
Ground termasuk penggunaan tanah dan kesesuaian dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah.
3. Hasil kajian ini diharapkan dapat sebagai referensi dan gambaran penggunaan
Tanah Sultan Ground.
4. Menambah referensi mengenai pertanahan, terutama mengenai Tanah Sultan
Ground.
5. Sebagai pedoman bagi pengguna informasi nantinya dapat mengetahui batas-
batas antara Tanah Sultan Ground dengan tanah status hak lainnya agar tidak
timbul kesalahpahaman mengenai pengelolaan dan pemanfaatannya.
4
4
I.5. LANDASAN TEORI
I.5.1. Sejarah Tanah Sultan Ground
Tanah Sultan Ground merupakan tanah milik Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat dan diwariskan secara turun-temurun oleh pewaris Kasultanan
Ngayogyakarta. Tanah ini tersebar hampir di seluruh wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta dan keberadaannya diakui oleh masyarakat Yogyakarta. Munculnya
tanah Sultan Ground tidak terlepas dari sejarah lahirnya Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat dimana keduanya memiliki hubungan kepemilikan antara Sultan sebagai
subyek hak dengan tanah wilayah Kasultanan sebagai obyek hak (Suyitno 2007).
Sejarah lahirnya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dimulai pada tahun 1742
ketika VOC datang ke Pulau Jawa dan mengadu domba orang-orang Cina di Jawa
Tengah sehingga terjadi pemberontakan (Geger Pacino) terhadap Kerajaan Mataram
yang pada saat itu berada dalam kondisi lemah. Sehubungan dengan pemberontakan
itu, Sri Sunan Paku Buwono II meminta bantuan kepada VOC untuk merebut
kembali ibukota Mataram dan kemenangan atas pemberontakan Geger Pacino
tersebut melahirkan perjanjian antara Kerajaan Mataram dengan VOC yang disebut
Perjanjian Ponorogo.
Pada tanggal 18 Mei 1746 diadakan perjanjian kembali antara VOC dengan Sri
Sunan Paku Buwono II yang berisi permintaan VOC untuk mengurangi kekuasaan
Kerajaan Mtaram, antara lain adalah Pulau Madura dan pesisir seluruhnya menjadi
milik VOC dan bukan lagi bagian dari Kerajaan Mataram. Di sisi lain pada tanggal
19 Mei 1746, Pangeran Mangkubumi bersama Pangeran Hadiwijoyo, Pangeran
Widjil II dan Pangeran Krapyak mengadakan pertemuan diam-diam untuk
melakukan perlawanan terhadap VOC (Sabdacarakatama 2009).
Pada tanggal 11 Desember 1749, Sri Sunan Paku Buwono II turun tahta dan
bersamaan dengan itu beliau mengadakan perjanjian dengan Van Hohendorf wakil
dan Gubernur Jenderal Van Imhoff yang berisi penyerahan Kerajaan Mataram
seluruhnya kepada VOC dengan ketentuan bahwa keturunan Sri Sunan yang berhak
naik tahta akan diberikan pinjaman Kerajaan Mataram untuk dipimpin oleh VOC.
Dengan turun tahtanya Sri Sunan Paku Buwono II, pada hari yang sama atas
kehendak dan persetujuan dari para abdinya, Pangeran Mangkubumi dinobatkan
5
5
menjadi Raja Mataram dengan gelar Sunan Paku Buwono di Desa Kabanaran,
sehingga semula beliau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kabanaran.
Bulan September 1754, N. Harthing mengadakan perundingan dengan
Pangeran Mangkubumi (Sunan Kabanaran) untuk melepaskan diri dari kekangan
VOC. Setelah beberapa kali mengadakan perundingan, maka pada akhirnya disetujui
sebuah perjanjian antara Pangeran Mangkubumi dengan VOC di Desa Giyanti pada
tanggal 13 Februari 1755 yang disebut dengan Perjanjian Giyanti. Dalam perjanjian,
Pangeran Mangkubumi diakui wewenangnya untuk bergelar Sultan Hamengku
Buwono I dan menguasai sebagian dari Kerajaan Mataram di sebelah barat dengan
hak waris pada keturunannya yang sah dengan ketentuan Pangeran Mangkubumi
melepaskan haknya atas Pulau Madura.
Sultan Hamengku Buwono I kemudian memilih Yogyakarta sebagai ibukota
Kasultanan dan diangkat kembali oleh para pengikut setianya untuk menjadi Raja
atau Sultan di wilayah tersebut. Selanjutnya beliau mulai membangun Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat dan dalam pemerintahannya Sri Sultan Hamengku
Buwono dibantu oleh Sri Paduka Paku Alaman. Pengaturan tanah dan seisinya dari
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini dipercayakan penuh kepada Sultan sebagai
Kagungan Dalem Noto oleh para pengikut setia dan rakyatnya.
Atas kepercayaan dari rakyatnya, Sultan menjalankan kewenangan atas tanah
berupa mengatur penggunaan tanah untuk keberadaan Keraton serta sarana
pendukungnya disamping memberi hak-hak untuk memanfaatkan tanah-tanah
tersebut kepada keluarga (sentono), kawula (rakyat/penduduk), orang-orang asing,
lembaga asing, dan lain-lain. Pada tahun 1863, sebagian tanah dikuasakan kepada
kerabat (sentono) sebagai penghasilan dengan ketentuan dua bagian untuk
kerabat/sentono (Patuh), dua bagian untuk rakyat (penduduk petani penggarap), dan
satu bagian untuk orang yang diberi kuasa untuk mengurus (Bekel). Sistem
pertanahan ini dikenal dengan Zaman Kepatuhan atau Zaman Kebekelan
(Tjondronegoro dan Wiradi 2008).
Pelaksanaan Zaman Kepatuhan atau Zaman Kebekelan ini, ternyata tidak
mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat karena masih adanya system sewa
tanah oleh lembaga asing. Oleh karena itu, pada tahun 1914 diadakan reorganisasi di
bidang politik, ekonomi, dan pertanahan dengan maksud untuk menghapuskan stelsel
6
6
apanage (kekuasaan tanah oleh pihak asing). Kasultanan kemudian mengadakan
perubahan sistem pertanahan dengan membentuk Kalurahan, mengubah dasar sewa
tanah, dan memberikan hak atas tanah yang lebih kuat kepada penduduk pribumi.
Untuk mencapai kesejahteraan rakyat dalam kaitannya dengan reorganisasi
yang dilakukan, dikeluarkan Rijksblad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16 dimana
pada Pasal 1 menyebutkan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan
hak eigendom oleh pihak lain adalah Domein Kerajaan (Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat) dan pada Pasal 2 disebutkan bahwa di wilayah yang mengalami
reorganisasi, dibentuk menjadi Kalurahan.
Dalam Pasal 4 Rijksblad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16, tertulis bahwa
semua tanah yang secara nyata dipakai oleh rakyat baik ditempati maupun yang
diolah secara tetap ataupun tidak tetap sebagaimana tercatat dalam register
Kalurahan, diberikan hak anggaduh (hak milk) oleh Kasultanan. Tanah yang
diberikan hak anggaduh tersebut, kecuali tanah lungguh dan tanah pangarem-arem,
diberikan kepada Kalurahan dengan melangsungkan hak anganggo (hak pakai)
kepada para pemakai secara turun-temurun. Selain itu, seperlima dari luas tanah
keseluruhan tetap dikuasai Kalurahan untuk lungguh Lurah dan Pamong, pangarem-
arem Bekel yang diberhentikan akibat reorganisasi, dan untuk mencukupi keperluan
Kalurahan atau sebagai sumber pendapatan Kalurahan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di wilayah Kalurahan terdapat tanah-
tanah yang digunakan sebagai tanah hak anganggo turun-temurun warga masyarakat,
tanah desa untuk lungguh, tanah pangarem-arem, tanah kas desa untuk kepentingan
umum, tanah yang dikuasai pihak asing, dan tanah yang belum pernah dilepaskan
atau masih menjadi kewenangan Keraton. Tanah yang masih menjadi kewenangan
Keraton dan termasuk dalam Domein Kerajaan Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat inilah yang disebut sebagai tanah Sultan Ground (Suyitno, 2007).
I.5.2. Sultan Ground dan Beberapa Pengertian Mengenai Sultan Ground
KGPH Hadiwinoto (2007) mennyebutkan bahwa Tanah Sultan Ground adalah
tanah yang dimiliki dan diatur kewenangannya oleh Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat dan diwariskan secara turun-temurun oleh pewaris Kasultanan
Ngayogyakarta. Tanah ini tersebar hampir di seluruh wilayah Daerah Istimewa
7
7
Yogyakarta dan keberadaannya diakui oleh masyarakat Yogyakarta, Tanah Sultan
Ground dibagi menjadi dua yaitu :
1. Crown Domain atau Tanah Mahkota, adalah tanah-tanah Sultan Ground
yang tidak bisa diberikan hak dan tidak bisa diwariskan, karena merupakan
atribut pemerintahan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Diantaranya
adalah Keraton, Kepatihan, Pasar Ngasem, Pesanggarahan Ambarrukmo,
Pesanggrahan Ambarbinangun, Pesanggrahan Ambarketawang, Hutan Jati
di Gunungkidul, Masjid Besar, dan lain-lain.
2. Sultanaad Ground atau Tanah Milik Kasultanan, adalah tanah-tanah Sultan
Ground yang bisa diberikan dan dibebani hak, baik oleh pribumi dan hak-
hak barat. Tanah tersebut merupakan wilayah Kerajaan Ngayogyakarta
Hadiningrat yang tanahnya bisa digunakan dan dikuasai oleh rakyat atas
perizinan dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Paniti Kismo adalah
sebuah lembaga di dalam Keraton yang berhak mengeluarkan izin
pemakaian Tanah Sultan Ground dengan mengeluarkan surat izin yang
disebut Surat Kekancingan. Surat Kekancingan adalah surat izin pemakaian
Tanah Sultan Ground kepada masyarakat pengguna tanah Sultan Ground
yang dikeluarkan oleh pihak Keraton. Magersari adalah status Tanah Sultan
Ground yang digunakan oleh masyarakat pemegang surat kekancingan.
I.5.3. Mekanisme Perizinan Penggunaan Tanah Sultan Ground
KGPH Hadiwinoto (2011) menyebutkan bahwa segala hal yang berhubungan
dengan kegiatan pertanahan yang menyangkut perizinan dan penggunaan Tanah
Sultan Ground, dilakukan kepengurusannya oleh Paniti Kismo, sebuah lembaga yang
ada di dalam Keraton. Lembaga ini menjadi satu-satunya pihak yang berhak
mengeluarkan surat izin yang disebut Surat Kekancingan. Sementara Kawedanan
Hageng Wahono Sarto Kriyo atau pejabat urusan pertanahan di Keraton, yang
mengatur dan memberikan kewenangan atas pelaksanaan lembaga ini adalah KGPH
Hadiwinoto, adik dari Sultan Hamengku Buwono X.
Dari hasil diskusi dengan pihak Paniti Kismo, surat kekancingan yang
dikeluarkan oleh Paniti Kismo adalah izin penggunaan Tanah Sultan Ground yang
disesuaikan dengan permintaan pemohon. Secara terperinci Surat Kekancingan
8
8
berbentuk seperti surat perjanjian antara dua pihak peminjam dan pihak pemilik.
Seperti dikaetahui pihak peminjam adalah warga atau penduduk Negara Indonesia
yang melakukan permohonan izin tinggal dan atau menempati sebidang tanah milik
di atas Tanah Sultan Ground kepada pihak Keraton.
Surat Kekancingan ini berisi pasal-pasal yang secara garis besar mengatur
pihak peminjam dalam menggunakan sebidang tanah tersebut dengan beberapa
persyaratan di dalamnya. Diantaranya adalah pihak peminjam bersedia menerima
segala bentuk hal yang menguntungkan dan atau merugikan dalam menggunakan
tanah tersebut. Pihak peminjam juga diwajibkan memelihara keutuhan tanah tersebut
dengan baik dalam jangka waktu yang telah ditentukan dan wajib mengembalikan
tanah tersebut sesuai tenggat waktunya tanpa meminta ganti rugi atas bangunan atau
gedung di atas tanah tersebut. Peminjam diperkenankan mendirikan bangunan untuk
tempat tinggal atau usaha dengan syarat tidak untuk keperluan yang melawan hukum
dan wajib memberikan uang pisunsung (sumbangan) sebesar ketentuan dan
disetorkan ke Paniti Kismo per tahunnya. Apabila terjadi permohonan alih hak, maka
jangka waktu yang dipakai adalah sisa dari waktu peminjam melakukan permohonan
pertama kali. Surat Kekancingan ini tidak dapat diperjualbelikan atau dimanfaatkan
di luar izin yang sah dari pihak Keraton.
I.5.4. Hukum Pertanahan Sultan Ground
Suyitno (2007) menyebutkan bahwa hukum-hukum pertanahan yang berkaitan
dengan Sultan Ground adalah sebagai berikut:
1. Rijksblad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16 tentang pengaturan hak di atas
Tanah Sultan Ground dan pembentukan Kalurahan.
Pasal 1: “Tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan hak eigendom oleh
pihak lain adalah Domein Kerajaan.”
Pasal 2: “Wilayah yang mengalami reorganisasi dibentuk menjadi
Kalurahan.”
Pasal 4: “Semua tanah yang secara nyata dipakai oleh rakyat baik ditempati
maupun yang diolah secara tetap maupun tidak tetap sebagaimana
tercatat dalam register Kalurahan, diberikan hak anggaduh
tersebut, kecuali tanah lungguh dan tanah pangarem-arem,
9
9
diberikan kepada Kalurahan dengan melangsungkan hak
anganggo (hak pakai) kepada para pemakai secara turun-
temurun.”
2. UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pasal 4 ayat 4 : “Urusan-urusan rumah tangga dan kewajiban-kewajiban
daripada yang tersebut dalam ayat 1 di atas, yang dikerjakan oleh Daerah
Istimewa Yogyakarta sebelum dibentuk menurut undang-undang ini,
dilanjutkan sehingga ada ketetapan lain dengan undang-undang.”
3. Peratuan Daerah No. 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Pasal 1 : “Hak atas tanah dalam Daerah Istimewa Yogyakarta diatur dengan
Peraturan Daerah.”
Pasal 2 : “Tentang hak atas tanah yang terletak di dalam Kota Besar
(Kotapraja) Yogyakarta buat sementara masih berlaku peraturan seperti
termuat dalam Rijksblad Kasultanan. Tahun 1925 No. 23 dan Rijksblad
Paku Alaman Tahun 1925 No. 25.”
Pasal 3 : “Tentang hak atas tanah terletak dalam kalurahan diatur dan diurus
oleh Kalurahan setempat, kecuali yang telah diatur di dalam Peraturan
Daerah Istimewa Yogyakarta.”
Pasal 4 ayat 1 : “Daerah Istimewa Yogyakarta memberi hak milik
perseorangan turun-temurun atas sebidang tanah kepada warga Negara
Republik Indonesia selanjutnya disebut hak milik.”
4. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Diktum Keempat :
A. Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari
Swapraja atau bekas Swapraja yang masih ada pada waktu
berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih kepada Negara.
B. Hal-hal yang bersangkutan dengan ketentuan dalam huruf A di
atas diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1967 tentang Pembagian
Tugas dan Wewenang Agraria.
Pasal 1 : “Tugas dan wewenang yang dengan peraturan ini dilimpahkan
10
10
kepada Gubernur Kepala Daerah dan Bupati/Walikota Kepala Daerah
dalam kedudukan dan fungsinya sebagai wakil Pemerintah Pusat,
penyelenggaranya sehari-hari dilaksanakan atas nama dan tanpa
mengurangi hak kewenangan dan tanggung jawab Kepala Daerah oleh
Direktorat Agraria dan Transmigrasi atau Kantor Inspeksi Agraria pada
tingkat propinsi dan oleh Kantor Agraria pada tingkat
Kabupaten/Kotamadya.”
Pasal 2 : “Di Daerah Istimewa Yogyakarta tugas dan wewenang yang
dengan peraturan ini dilimpahkan kepada Gubernur Kepala Daerah dan
Bupati/Walikota Kepala Daerah, dilimpahkan kepada Kepala Daerah
Istimewa Yogyakarta penyelenggaranya sehari-hari dilaksanakan atas nama
dan tanpa mengurangi hak kewenangan dan tanggung jawab Kepala Daerah
oleh Dinas Agraria Daerah Istimewa Yogyakarta.”
6. UU No. 5 Tahun 1960 UUPA Pasal 2 ayat 4 : “Hak menguasai dari Negara
tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah
Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat sekedar diperlukan dan
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-
ketentuan Peraturan Pemerintah.”
7. UU No 5 Tahun 1960 UUPA Pasal 11 ayat 2 : “Perbedaan dalam
masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan dengan menjamin
perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomi lemah.”
8. Keppres RI No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Penuh UUPA di
Daerah Istimewa Yogyakarta.
9. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2013 tentang Pertanahan.
I.5.5. Pendaftaran Tanah
Menurut Harsono (1997), pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan, dan teratur,
meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan
data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang – bidang
tanah dan satuan – satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya
11
11
bagi bidang – bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah
susun serta hak – hak tertentu yang membebaninya.
Tujuan dari pendaftaran tanah yaitu untuk memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah agar dengan
mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan,
menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan
terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik yang merupakan dasar dan
perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan.
Dasar-dasar hukum pendaftaran tanah :
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria Pasal 19:
a. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
b. Pendaftaran tanah meliputi:
a) Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan hak,
b) Pendaftaran hak – hak atas tanah dan pemeliharaan hak – hak tersebut,
c) Pemberian surat tanda bukti hak (sertifikat), yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997b tentang Pendaftaran Tanah.
Untuk menjalankan suatu undang-undang diperlukan suatu peraturan yang
sering disebut dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah tersebut
pada awalnya adalah PP Nomor 10 Tahun 1960 tentang Pendaftaran Tanah
yang kemudian disempurnakan menjadi PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
3. Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1997a tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah.
12
12
I.5.6. Perangkat Lunak AutoCAD 2014
I.5.6.1. Pengenalan AutoCAD 2014; AutoCAD 2014 merupakan perangkat
lunak yang digunakan untuk mengolah data spasial yang berupa peta. Dalam proyek
ini AutoCAD 2014 digunakan untuk input dan pengolah data karena data peta yang
diperoleh masih berupa hardcopy, maka perlu dilakukan proses digitasi agar datanya
tersaji dalam bentuk digital. Dengan kata lain digitasi merupakan suatu proses
konversi data dari bentuk analog (peta hardcopy) ke format digital. Setelah dilakukan
proses digitasi dilakukan editing data. Proses editing data pada peta digital dilakukan
untuk meminimalisir kesalahan-kesalahan yang terdapat pada peta digital. Pada
umumnya kesalahan-kesalahan tersebut berupa kesalahan dalam proses digitasi. Di
dalam AutoCAD 2014 ini juga dilakukan konversi peta dari format .dwg menjadi
format shapefile (*.shp).
Perangkat lunak AutoCAD 2014 sebagai pendukung pemasukan data bagi
pekerjaan kartografi memiliki kemampuan, yaitu :
1. Membuat bentuk dasar grafik, yaitu: line, arc, circle, point, polyline, dan
ellips.
2. Menunjang pembuatan gambar antara lain: limits, objectsnap, pointstyle,
linestyle dan hatch.
3. Melakukan editing gambar antara lain: erase, break, extend, trim, explode,
join, change, polyedit, align, move dan stretch.
4. Mengendalikan tampilan: pan, zoom dan redraw.
1.5.6.2. On-screen digitizing (digitasi pada layar); AutoDesk inc. (1998)
menyatakan bahwa digitasi adalah proses konversi fitur geografis pada peta analog
menjadi format digital menggunakan meja digitasi, yang dihubungkan dengan
komputer. Fitur pada kertas didigitasi dengan pointer pada digitizer atau alat lainnya
dan koordinat (x,y) pada fitur direkam secara otomatis dan disimpan sebagai data
spasial.
Digitasi pada layar adalah manual digitasi dengan menggunakan mouse pada
fitur yang ditampilkan pada layar monitor, merupakan metode vektorisasi data raster.
Metode ini umumnya disebut head-up digitizing karena perhatian dari pengguna
terfokus pada layar, dan bukan pada meja digitasi. Teknik ini dapat digunakan untuk
13
13
menelusuri fitur dari peta yang dilakukan proses scan atau gambar untuk membuat
layer atau theme (tema). Digitasi dilakukan dengan mengarahkan mouse pada objek
yang akan didigitasi, kemudian mulai dilakukan pendigitasian dengan menelusuri
fitur-fitur tersebut sambil terus mengklik mouse sampai semua fitur selesai didigitasi.
I.5.7. Peta Tematik
Peta tematik adalah peta yang memperlihatkan data-data secara kualitatif dan
atau kuantitatif pada unsur yang spesifik. Unsur-unsur tersebut ada hubungannya
dengan detil topografi yang penting. Pada peta tematik, keterangan disajikan dalam
gambar dengan memakai pernyataan dan simbol-simbol serta mempunyai tema
tertentu atau kumpulan tema-tema yang ada hubungannya antara satu dengan yang
lain. Tema tersebut disajikan dalam bermacam bentuk yang berhubungan dengan
unsur asli dari muka bumi atau buatan manusia, sehingga peta tematik dapat
memperlihatkan situasi dan keadaan yang sebenarnya (T. Lukman Azis, 1979).
I.5.8. Peta Penggunaan Tanah
Peta penggunaan tanah adalah suatu jenis peta yang memperlihatkan informasi
secara kualitatif dan kuantitatif dari bentuk-bentuk penggunaan tanah saat ini dalam
hubungannya dengan unsure-unsur topografi. Dalam proyek ini dibuat peta
penggunaan tanah dimana penggunaan tanah merupakan bentuk penggunaan tanah
untuk kegiatan manusia terhadap tanah. Peta penggunaan tanah merupakan peta
tematik yang menampilkan informasi aktivitas penggunaan tanah yang dilakukan
oleh manusia. Adapun penggunaan tanah yang ditampilkan dalam peta penggunaan
tanah antara lain perumahan, pertanian, industry, jalan, sungai dan sebagainya.
Perubahan penggunaan tanah lebih dipengaruhi oleh manusia. Dengan
berdasarkan pemikiran terhadap pemenuhan kebutuhan hidup manusia, maka sering
terjadi perubahan penggunaan tanah seperti daerah pertaian (sawah) diubah menjadi
daerah industri, pemukiman dan lain sebagainya (Sudiarto, 1994).
Tanah merupakan sumber utama kesejahteraan dan kehidupan masyarakat dan
karenanya tanah haruslah digunakan dan dimanfaatkan dengan optimal. Perwujudan
penggunaan dan pemanfaatan tanah yang optimal tersebut dilakukan melalui
penyusunan rencana tata ruang yang semestinya mengintegrasikan prinsip-prinsip
14
14
pembangunan berkelanjutan, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang.
Penggunaan tanah (Bahasa Inggris: land use) adalah modifikasi yang
dilakukan oleh manusia terhadap lingkungan hidup menjadi lingkungan terbangun
seperti lapangan, pertanian dan pemukiman. Dalam PMNA/Kepala BPN Nomor 1
Tahun 1997 menyebutkan bahwa penggunaan tanah adalah wujud tutupan
permukaan bumi, baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia.
Secara garis besar penggunaan tanah dibedakan atas:
a. Penggunaan tanah pedesaan. Penggunaan tanah perdesaan adalah suatu
wilayah yang penggunaan tanahnya bersifat pertanian dimana
masyarakatnya mengambil manfaat secara langsung dari tanah.
b. Penggunaan tanah perkotaan. Penggunaan tanah perkotaan adalah suatu
wilayah yang penggunaan tanahnya bersifat non pertanian dimana
masyarakatnya tidak secara langsung mengambil manfaat dari fungsi fisik
tanah.
Dalam pasal 6 PMNA/Kepala BPN I Tahun 1997 disebutkan bahwa jenis
penggunaan tanah perdesaan terdiri dari: tanah perkampungan, tanah industri, tanah
pertambangan, tanah persawahan, pertanian tanah kering semusim, tanah kebun,
tanah perkebunan, padang, hutan, perairan darat, tanah terbuka, dan lain-lain yang
definisinya seperti disajikan pada tabel I.1.
Tabel I.1. Jenis-jenis penggunaan tanah perdesaan menurut PMNA/Kepala BPN
No.1 Tahun 1997
No. Jenis Penggunaan Tanah Pengertian
1. Tanah perkampungan Areal tanah yang digunakan untuk kelompok
bangunan padat ataupun jarang tempat tinggal
penduduk untuk dimukimi secara menetap.
2. Tanah industri Tanah areal yang digunakan untuk kegiatan
ekonomi berupa proses pengolahan bahan-bahan
baku menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau
setengah jadi menjadi barang jadi.
15
15
3. Tanah pertambangan Areal tanah yang dieksploitasi bagi pengambilan
bahan-bahan galian yang dilakukan secara
terbuka dan atau tertutup.
4. Tanah persawahan Areal tanah pertanian basah dan atau kering yang
digenangi air secara periodik dan atau terus
menerus ditanami padi dan atau diselingi dengan
tanaman tebu, tembakau dan atau tanaman
semusim lainnya.
5. Pertanian Tanah Kering
Semusim
Areal pertanian yang tidak pernah diairi dan
mayoritas ditanami dengan tanaman umur
pendek.
6. Tanah Kebun Areal yang ditanami rupa-rupa jenis tanaman
keras dan atau tanaman semusim dan atau
kombinasi tanaman keras dan semusim atau
tanaman buah-buahan serta tidak jelas mana yang
menonjol.
7. Tanah Perkebunan Areal tanah yang ditanami tanaman keras dengan
satu jenis tanaman.
8. Padang Areal terbuka karena hanya ditumbuhi tanaman
rendah dari keluarga rumput dan semak rendah.
9. Hutan Areal yang ditumbuhi oleh pepohonan yang tajuk
pohonnya dapat saling menutupi/bergesekan.
10. Perairan Darat Areal tanah yang digenangi air, secara permanen
baik buatan maupun alami.
11. Tanah Terbuka Areal tanah yang tidak digarap karena tidak subur
setelah digarap serta tidak ditumbuhi tanaman.
12. Lain-lain Areal tanah yang digunakan bagi prasarana
seperti jalan dan sungai serta saluran yang
merupakan buatan manusia maupun alamiah.
Sumber: PMNA/Kepala BPN No. 1 Tahun 1997
16
16
I.5.9. Interpretasi Citra
Interpretasi citra adalah kegiatan penyadapan data dari citra dan digunakan
untuk tujuan tertentu (Sutanto, 1992). Karakteristik obyek yang tergambar pada citra
dapat dikenali berdasarkan unsure-unsur seperti rona atau warna, bentuk, pola,
ukuran letak bayangan, situs dan asosiasi kenampakan obyek yang merupakan kaidah
dasar dalam interpretasi citra.
Pengenalan obyek merupakan bagian penting dalam interpretasi citra, tanpa
dikenali identittas dan jenis obyek yang tergambar pada citra, tidak mungkin
dilakukan analisis untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Sutanto, 1992).
Ekstraksi informasi dari citra memerlukan teknik interpretasi sesuai kondisi
lapangan. Agar hasil interpretasi citra sesuai dengan keadaan obyek sebenarnya di
lapangan, maka disamping harus memiliki pengetahuan tentang obyek yang
diinterpretasi juga harus mengetahui karakteristik obyek dengan memperhatikan
unsur-unsur interpretasi. Dalam penelitian, digunakan unsur-unsur interpretasi citra
secara visual sebagai berikut:
1. Rona dan warna
Rona adalah tingkat kegelapan atau kecerahan obyek pada citra, sedangkan
warna adalah wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan spectrum
sempit, lebih sempit dari spektrum tampak (Sutanto, 1992).
2. Bentuk
Bentuk merupakan variabel kuantitatif yang member kerangka suatu obyek.
Bentuk merupakan atribut yang jelas sehingga banyak obyek yang dapat
dikenali berdasarkan bentuknya.
3. Ukuran
Ukuran adalah atribut obyek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi, lereng
dan volume.
4. Tekstur
Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra (Lillesand dan Kiefer,
1979) atau pengulangan pola rona kelompok obyek yang terlalu kecil untuk
dibedakan secara individual.
5. Pola
Pola obyek yang tampak dapat dibedakan antara yang merupakan obyek
17
17
alamiah atau buatan manusia.
6. Bayangan
Bayangan bersifat menyembunyikan detail yang berada di daerah gelap.
Obyek atau gejala yang terletak di daerah bayangan pada umumnya tidak
tampak sama sekali atau kadang-kadang tampak samar-samar. Oleh
karenanya, bayangan membantu identifikasi obyek-obyek terutama obyek
yang tinggi sehingga dikenali.
7. Situs
Situs bukan merupakan ciri obyek secara langsung melainkan dalam
kaitannya dengan lingkungan sekitar suatu obyek dapat dikenali. Misal, tanah
kosong cukup luas diidentifikasi sebagai alun-alun dan tidak diidentifikasi
sebagai sawah karena letaknya yang berada di tengah pemukiman padat.
8. Asosiasi
Asosiasi merupakan keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek yang
lainnya. Karena adanya keterkaitan ini maka terlihat suatu obyek pada citra
sering merupakan sebuah petunjuk bagi adanya obyek lain.
9. Konvergensi Bukti
Dalam mengenali obyek dalam citra dianjurkan untuk menggunakan
sebanyak mungkin unsur interpretasi sehinggaa pengenalan obyek mengarah
ke satu titik simpul.
Sembilan unsur interpretasi citra ini disusun secara berjenjang atau secara
hirarki berdasarkan tingkat kesulitan interpretasi dapat dilihat pada gambar I.1
berikut ini (Sutanto, 1992).
I.5.10. Kartografi
Menurut Riyadi (1994), kartografi adalah seni, ilmu, dan teknik pembuatan
peta yang akan melibatkan disiplin ilmu geodesi, fotogrametri, kompilasi dan
reproduksi peta. Tujuan dari kartografi adalah mengumpulkan dan menganalisa data
dari hasil ukuran berbagai pola/unsur permukaan bumi dan menyatakan unsur-unsur
tersebut secara grafis dengan skala yang tertentu sehingga unsur-unsur tersebut dapat
terlihat dengan jelas, mudah dimengerti atau dipahami.
Ilmu kartografi memegang peranan penting dalam proses pembuatan peta agar
18
18
peta yang dibuat mudah dibaca dan dimengerti oleh pengguna. Peta mengandung arti
komunikasi, artinya komunikasi dengan menggunakan gambar.
Menurut Riyadi (1994), Kartografer merupakan penghubung antara dunia
nyata dengan peta yang harus mampu memberikan informasi dari dunia nyata
melalui peta. Dengan informasi tersebut, pengguna dapat memahami informasi dunia
nyata yang disampaikan dalam bentuk peta, sehinnga proses komunikasi kartografi
dapat dikatakan berhasil.
Konsepsi kartografi menurut Prihandito A. (1989) ada lima macam, antara lain
1. Fokus geometris, kartografi difokuskan pada aspek ketelitian pemetan
meliputi koleksi data, manipulasi data dan penggambaran data.
2. Fokus teknologi, kartografi difokuskan pada efisiensi pemetaan meliputi
koleksi data, desain, penyimpanan, produksi dan reproduksi dari peta.
3. Fokus penyajian, kartografi difokuskan pada aspek desain peta yang
meliputi kondisi peta, data spasial, teknologi, seni grafis dan persepsi
visualnya.
4. Fokus artistik, kartografi difokuskan pada efek persepsinya yang meliputi
persepsi ruang, keseimbangan, seleksi, warna, seni grafis, orientasi, peta
dan hierarkinya.
5. Fokus komunikasi, kartografi difokuskan pada hubungan antara
pembuatan peta, keefektifan peta, dan pemakaian peta yang meliputi
seleksi koleksi data, klasifikasi, simbolisasi, penyederhanaan, analisa, dan
interpretasi.
Menurut Prihandito A. (1989), lingkup pekerjaan kartografi meliputi :
1. Seleksi data untuk pemetaan,
2. Manipulasi dan generalisasi data,
3. Perancangan (design) simbol dan tata letak peta (layout),
4. Teknik reproduksi,
5. Revisi peta.
Pada pembuatan dan penggambaran peta akan selalu berhubungan dengan
skala dan simbolisasi. Skala adalah perbandingan antara jarak pada peta dengan jarak
sebenarnya di tanah. Sedangkan simbolisasi merupakan alat komunikasi antara
19
19
pengguna peta dengan informasi yang ada di peta, karena pada simbol yang
digunakan maka pengguna dapat mengetahui informasi yang ada di peta.
Simbolisasi termasuk dalam kartografi desain dan merupakan bagian vital dari
kartografi, karena simbol pada peta menunjukkan informasi yang ada sehingga
simbol-simbol tersebut harus dimengerti oleh pengguna peta. Dalam memetakan data
ruang (spasial) informasi atau data ruang tersebut harus digambarkan dalam bentuk
simbol.
I.5.10.1. Desain simbol kartografi; Menurut Prihandito A. (1989), simbol
kartografi merupakan bentuk semua informasi sesuai dengan distribusi geografik dan
posisi planimetrik (X,Y) yang dikomunikasikan pada pemakaian peta. Simbol adalah
salah satu tanda gambar menurut penyajian yang menyatakan obyek tertentu. Untuk
memudahkan pelaksanaan simbolisasi dari banyak data yang bervariasi, maka
berdasarkan cirinya dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Simbol titik, digunakan untuk menunjukkan posisi atau lokasi. Dapat
digambarkan dalam bentuk titik, segitiga, segiempat, atau lingkaran.
Simbol titik ini dapat dilihat pada gambar I.3. berikut.
Gambar I.1. Simbol titik
(Sumber : Prihandito A, 1989)
2. Simbol garis, digunakan jika unsur yang diwakilinya berbentuk garis misal
sungai, jalan, batas wilayah. Simbol garis ini dapat dilihat pada gambar I.4.
berikut.
Gambar I.2. Simbol garis
(Sumber : Prihandito A, 1989)
20
20
3. Simbol luasan, digunakan untuk mewakili unsur-unsur yang berbentuk
luasan (polygon) misalnya hutan, sawah, rawa, dan sebagainya. Simbol
luasan ini dapat dilihat pada gambar I.5. berikut.
Gambar I.3. Simbol luasan
(Sumber : Prihandito A, 1989)
Menurut Prihandito A. (1989), secara umum simbol kartografi dapat
dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu :
1. Simbol piktorial, yaitu simbol yang mempunyai bentuk yang sama dengan
obyek aslinya namun telah disederhanakan. Simbol piktorial ini dapat
dilihat pada gambar I.6. berikut.
Gambar I.4. Simbol piktorial
(Sumber : Prihandito A, 1989)
2. Simbol geometrik atau abstrak, yaitu simbol dengan bentuk teratur dan
tidak mempunyai ciri-ciri khusus dan arti tertentu yang berhubungan
dengan bentuk tersebut. Simbol geometrik atau abstrak ini dapat dilihat
pada gambar I.7. berikut.
Gambar I.5. Simbol geometrik
(Sumber : Prihandito A, 1989)
3. Simbol huruf atau angka, yaitu simbol yang disusun oleh huruf atau angka,
digunakan untuk mewakili unsur- unsur yang sangat khas. Simbol huruf
atau angka ini dapat dilihat pada gambar I.8. berikut.
21
21
Gambar I.6. Simbol huruf atau angka
(Sumber : Prihandito A, 1989)
I.5.10.2. Desain pewarnaan dan variabel tampak; Menurut Riyadi (1994), pada
peta skala kecil maupun skala besar selalu terdapat obyek-obyek yang tidak mungkin
digambarkan dengan skala yang bersangkutan, sedangkan obyek-obyek tersebut
harus dicantumkan dalam peta. Oleh sebab itu, pemakaian simbol dan desain
pewarnaan sangat dibutuhkan. Di dalam proses simbolisasi dan desain pewarnaan
pada suatu peta untuk membedakan bermacam-macam data, harus dibuat bermacam-
macam kenampakan agar mudah dimengerti oleh pengguna.
Variabel tampak merupakan basis dasar di dalam pembuatan desain simbol dan
pewarnaan yang berperan penting pada proses sistematika dan logika. Sebelum
memutuskan pemakaian suatu simbol dan warna yang akan mewakili suatu unsur di
permukaan bumi, perlu dipelajari terlebih dahulu masalah variabel tampak yang
menyangkut berbagai bentuk penyajian dengan menggunakan dampak pandang
(visual impact), sebab hal tersebut merupakan sesuatu yang ikut menentukan bentuk
simbol dan warna atau penyajian pada suatu peta.
Menurut Riyadi (1994), ada tujuh macam variasi gambar yang mampu/dapat
diterima oleh mata sebagai pembentuk dasar utama gambar yang ditampilkan sebagai
informasi. Ketujuh variasi tersebut dinamakan variabel tampak yang dibagi menjadi :
1. Posisi (x,y). Posisi merupakan variabel tampak yang dapat memberikan
informasi lokasi atau posisi (x,y) pada peta.
2. Bentuk. Dengan menggunakan bentuk, simbol dapat dibedakan dengan lebih
mudah. Dalam penggambarannya tidak terlalu rumit serta mempunyai jumlah
yang tidak terbatas.
3. Orientasi. Orientasi menggambarkan arah simbol pada peta. Pada variabel
orientasi hanya dibatasi empat sampai enam perbedaan arah, hal ini tergantung
pada macam simbol yang digunakan.
4. Pewarnaan. Dengan menggunakan warna, simbol satu dengan yang lain dapat
dibedakan dengan mudah. Variabel warna terdiri dari berbagai kombinasi dan
5
22
22
komposisi warna dasar, sehingga dapat menghasilkan berbagai macam warna.
5. Tekstur. Tekstur sebaiknya digunakan pada variasi gambar elemen dengan
value tetap sehingga saat diperkecil maupun diperbesar, jarak antara bagian
hitam dan putih tetap sama.
6. Value. Value merupakan variabel yang menunjukkan derajat keabuan suatu
simbol yang berkisar dari putih sampai hitam.
7. Ukuran. Variabel ukuran menunjukan besaran suatu simbol.
Di dalam kartografi, ketujuh variabel tampak ini digunakan untuk membentuk
simbol. Ketujuh buah variabel tampak serta keteragannya disajikan pada tabel I.1 dan
gambar I.9.
Tabel I.2. Variabel tampak dan keterangannya
Variabel Tampak Keterangan
Posisi Memberikan informasi lokasi (X,Y) di peta
Bentuk Memudahkan menggambarkan perbedaan simbol antara
satu dengan yang lain
Orientasi Merupakan arah dari suatu simbol
Pewarnaan Perbedaan simbol satu dengan yang lain terlihat jelas
Tekstur Digunakan pada variasi dari gambar elemen dengan value
yang tetap
Value Menunjukkan besar derajat keabuan, yang kisarannya dari
putih sampai hitam
Ukuran Menunjukkan variasi dari besaran suatu simbol
(Sumber: Riyadi, 1994)
23
23
Visual Variables
Variabel tampak tersebut harus mempunyai sifat pemahaman agar obyek yang
ditampilkan dalam peta dapat dimengerti secara cepat. Ada empat macam sifat
pemahaman dari suatu simbol. Keempat buah macam sifat tersebut beserta
keterangannya dapat dilihat pada tabel I.2.
Tabel I.3. Sifat pemahaman variabel tampak dan keterangannya
Sifat Pemahaman Keterangan
Asosiatif
Jika reaksi awal dari mata dalam melihat simbol tersebut
sama pentingnya. Tidak ada simbol yang terlihat lebih
penting dibandingkan simbol lainnya walaupun wujud
simbol tersebut berbeda satu sama lain.
Selektif
Jika reaksi awal mata dalam melihat simbol dapat
membedakan antara simbol satu dengan yang lain secara
cepat.
Order Jika semua simbol dapat dibedakan secara spontan oleh
variablel yang ditempatkan ke dalam tingkatan yang
(Sumber: Riyadi, 1994)
Gambar I.7. Variabel tampak
Posisi Tekstur
Value
Ukuran
X
Pewarnaan
Orientasi
Bentuk Y
24
24
jelas.
Kuantitatif Jika perbedaan semua simbol dapat dipisahkan satu
dengan lainnya oleh jumlah yang jelas.
(Sumber: Riyadi, 1994)
Ringkasan dari sifat pemahaman dari tiap-tiap variabel tampak dapat dilihat
pada Tabel I.3.
Tabel I.4. Variabel tampak dan sifat pemahamannya
Sifat
Pemahaman Posisi Perspektif
Garis
Perspektif Warna Tekstur Shading Ukuran
Asosiatif + + + + 0 - -
Selektif - 0 0 ++ + + +
Order - - - - 0 ++ +
Kuantitatif - - - - - - ++
(Sumber: Riyadi, 1994)
Keterangan :
++ : Sangat kuat
+ : Kuat
0 : Cukup
- : Jelek
I.5.10.3. Penggunaan simbol proporsional pada peta tematik; Tanimura,
Kuroiwa, dan Mizota (2006) menyebutkan bahwa visualisasi data spasial pada peta
tidak hanya membantu dalam eksplorasi data tetapi juga memberi gambaran spasial.
Aplikasi dari visualisasi tersebut salah satunya digambarkan dengan bentuk
penggunaan simbol proporsional.
Simbol proposional merupakan jenis simbol yang merepresentasikan peta
tematik secara kuantitatif dari data. Nilai-nilai absolute yang tersebar, berlaku untuk
lokasi titik atau daerah, dapat digambarkan dengan simbol proporsional.
Kraak dan Ormeling (2013) menyebutkan bahwa prinsip yang sama yang
25
25
menunjukkan perbedaan nilai dengan perbedaan jumlah simbol tidak dapat
digunakan pada peta. Hal tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar I.8.(a) dan I.8.(c):
jumlah simbol terlihat terlalu banyak pada peta dan mengancam menutupi latar
belakang geografisnya, dengan alasan utama untuk menunjukkan data pada peta.
Oleh karena itu, perbedaan nilai dalam kartografi ditunjukkan dengan ukuran simbol
yang berbeda ukurannya. Daerah yang diliputi simbol ini akan menjadi lebih
proporsional pada nilai yang harus digambarkan.
Pertimbangan utama dari simbol ini adalah kemudahan dibaca dan
dibandingkan. Simbol tersebut dapat terbaca atau tidak, berhadapan dengan latar
belakang dari peta dasar yang tergantung pada kontras dan kepadatan simbol.
Apakah Simbol proporsional dapat dibandingkan dengan mudah tergantung pada
bentuknya. Simbol proporsional yang hanya bervariasi pada satu arah, seperti kolom
(Gambar I.8.b.) bernilai baik dalam kemampuan orang untuk membandingkan
ukuran yang disajikan. Di sisi lain, lingkaran-lingkaran ini akan kurang mendominasi
gambaran peta, tidak akan memonopoli arah tertentu dan akan lebih mudah untuk
menggunakannya pada daerah yang terkait. Simbol proposional lingkaran juga dapat
digambarkan dengan bentuk lingkaran yang niali datanya terklasifikasi (Gambar I.9.)
agar dapat digunakan untuk menentukan kategori ukuran tertentu. Simbol lingkaran
bertingkat baik digunakan pada kasus data dengan lompatan interval yang besar.
(Sumber: Kraak dan Ormeling, 2013)