bab i pendahuluan - repository.uinbanten.ac.idrepository.uinbanten.ac.id/4609/3/bab i.pdf ·...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan salah satu sunatullah yang berlaku
pada semua makhluk Tuhan. Perkawinan ialah cara yang dipilih
Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak pinak,
berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-
masing pasangan hidup melakukan perannya yang positif dalam
mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak menjadikan manusia
seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan
berhubungan secara anarkhi tanpa aturan.
Islam sebagai agama telah memberikan petunjuk yang
lengkap dan rinci terhadap persoalan perkawinan. Karena dengan
perkawinan akan lahir sebuah keluarga kehidupan masyarakat yang
teratur yang diliputi suasana damai dan tentram. Karena telah
diadakannya jalan yang mulia untuk menyalurkan kegiatan
seksual, maka dilaranglah segala cara yang tidak sah dan dilarang
menggerakan nafsu birahi dengan cara apa saja, agar nantinya tidak
menyimpang dari jalan yang salah. Oleh karena itu, Islam
2
melarang pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan yang
tidak terikat pada ikatan perkawinan yang sah. Sehingga dapat
dicegah segala faktor yang tidak diinginkan yang dapat
melemahkan kehidupan keluarga yang dapat merusak rumah
tangga.
Islam membangun kehidupan keluarga dan masyarakat
atas dasar beberapa tujuan, yakni untuk memenuhi hajat manusia
menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya,
menjaga keluarga dari kesesatan, menciptakan wadah yang bersih
sebagai tempat lahir sebuah generasi yang berdiri di atas landasan
yang kokoh dan teratur tatanan sosialnya, mendapatkan dan
melangsungkan keturunan, membangun rumah tangga untuk
membentuk masyarakat yang tenteram atas dasar cinta dan kasih
sayang, memenuhi panggilan agama, serta memelihara diri dari
kejahatan dan kerusakan. Oleh karena itu Islam melarang adanya
perzinahan.
Saat ini dunia dapat dikatakan sebagai zaman jahiliah
modern karena di dalamnya banyak terjadi kemaksiatan yang
menjamur terutama di kalangan remaja, perbuatan maksiat yang
timbul dari tidak terkendali nafsu syahwat cenderung
3
menjerumuskan seseorang untuk melakukan tindakan yang
melanggar syari’at agama. Perilaku pergaulan bebas, mengumbar
aurat dan seterusnya adalah imbas dari kesalahan para remaja
dalam mengartikan cinta. Akibat dari pergaulan gaya Barat
tersebut adalah tersebar perzinahan dimana-mana dan hal itu bukan
lagi dianggap sebagai masalah tabu bagi masyarakat.
Hal ini terjadi berawal dari perkenalan antara laki-laki dan
perempuan, bukan hanya sebatas teman atau sahabat. Bahkan ada
sebagian yang mengatakan ingin merajut asmara atau disebut
dengan pacaran. Dua remaja yang menjalin kasih seperti itu juga
dapat dikatakan mengikuti mode atau trend yang di adopsi dari
gaya Barat.
Konsep Islam berbeda dengan konsep hukum Barat. Islam
memandang bahwa setiap hubungan seks di luar nikah secara
mutlak adalah terlarang. Hubungan seks di luar nikah, apakah
dilakukan oleh mereka yang sedang terikat perkawinan dengan
orang lain atau tidak, apakah dilakukan secara sukarela atau tidak,
perbuatan tersebut secara mutlak merupakan delik atau tindak
pidana yang diancam hukuman.
4
Pergaulan bebas diantara laki-laki dan perempuan, seperti
yang terjadi sekarang ini seringkali membawa kepada hal-hal yang
tidak dikehendaki, yakni terjadinya kehamilan sebelum sempat
dilakukan pernikahan.
Meskipun demikian, hal tersebut sama sekali tidak berarti
terbebaskannya para pelaku perzinahan dari dosa dan murka Allah
SWT serta tidak pula terbebaskannya anak yang dilahirkan dan
kemungkinan dampak pada psikologis yang negatif terhadap
perkembangan jiwanya serta berdampak pula pada keabsahan hak
sebagai anak.
Seiring dengan kemajuan zaman, dimana kehidupan sudah
modern dan berkembang pesat, serta arus informasi yang semakin
canggih, selain membawa dampak positif, adapula dampak negatif
bagi kehidupan manusia, tergantung bagaimana manusia
memanfaatkannya, terutama bagi para remaja. Kenyataan ini
dilihat dengan semakin membludaknya pernikahan wanita hamil di
luar nikah, sehingga ada juga yang melakukan pembaharuan nikah
atau di sebut juga tajdidun nikah.
Menurut pengamatan yang penulis lakukan, banyaknya
fenomena pembaharuan nikah pada saat ini, hal ini terjadi karena
5
mereka beranggapan bahwa jika mengawini wanita hamil itu tidak
boleh, akhirnya mereka melakukan pembaharuan nikah setelah
anak mereka lahir dan seolah olah agar nasabnya bisa ikut ke
bapaknya. Sebagian orang juga beranggapan bahwa pernikahan
yang dicatat oleh Petugas Pencatat Nikah adalah pernikahan yang
pertama yaitu ketika wanita itu masih dalam keadaan hamil.
Pernikahan yang kedua dilakukan dengan sembunyi-sembunyi
termasuk tidak dihadiri oleh pembantu Pegawai Pencatat Nikah
yaitu ketika wanita itu sudah melahirkan anaknya.
Adapun menurut salah satu tokoh agama di daerah
Langensari, bahwa praktik pembaharuan nikah tersebut
berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan yang melangsungkan
pernikahan pada saat wanita dalam keadaan hamil, harus
melakukan akad nikah kembali setelah kelahiran anaknya. Kasus
pembaharuan nikah itu memang ada dan ini disebabkan karena
kurangnya pemahaman mereka tentang hukum pembaharuan nikah
tersebut serta dampaknya, sehingga mereka melakukan
pembaharuan nikah karena apa kata orang-orang sekitar dan juga
termasuk apa kata orang tua pelaku.
6
Meskipun demikian, menurut salah satu pegawai KUA
yang ada disana, bahwasanya pernikahan yang dicatat oleh Petugas
Pencatat Nikah adalah pernikahan yang pertama yaitu ketika
wanita itu masih dalam keadaan hamil. Pernikahan yang kedua
mereka lakukan dengan sembunyi-sembunyi termasuk tidak
dihadiri oleh pembantu Pegawai Pencatat Nikah yaitu ketika
wanita itu sudah melahirkan anaknya. Beliau juga menuturkan
bahwa tidak ada pembaharuan nikah dan tidak pernah melakukan
pembaharuan nikah sekalipun wanita itu dalam keadaan hamil.
Karena beliau berpatokan pada KHI yang tertulis bahwa tidak
perlu mengadakan pembaharuan nikah. Adapun pembaharuan
nikah yaitu hanya isbat nikah saja.
Dalam hukum pernikahan Islam, pernikahan bisa
dilakukan lagi apabila pasangan tersebut sudah bercerai, jika masih
dalam keadaan „iddah pada talak raj‟i maka pasangan tersebut
boleh kembali (rujuk) tanpa melakukan akad yang baru. Akan
tetapi jika istri sudah di talak ba‟in sughra, maka harus menikah
dulu dengan orang lain sebagaimana layaknya pasangan suami istri
(muhallil) kemudian cerai lalu kembali lagi kepada pasangan yang
pertama.
7
Dari kejadian tersebut di atas, penulis berusaha untuk
melihat realita pembaharuan nikah pasca persalinan wanita hamil
di luar nikah tanpa melakukan perceraian. Oleh karena itu perlu
adanya kepastian hukum terkait hal tersebut.
Permasalahannya ternyata tidak hanya menyangkut
masalah perbuatan zina dari para pelaku dan mengenai status
hukum pembaharuan nikah serta pelaksanaan perkawinan dalam
kondisi hamil saja, melainkan juga menyangkut status anak yang
dilahirkan, dalam memperoleh hak nafkah, perwalian dan
kewarisan.
Dalam Islam sendiri masih menjadi masalah yang sangat
penting dan dikaji kaitannya terhadap masalah pernikahan,
kewajiban memberi nafkah, kewarisan, perwalian hubungan
kemahraman, dan lain-lain. Nasab atau hubungan kekerabatan
antara seorang anak dengan ayahnya hanya terbentuk dengan dua
cara, yakni melalui pernikahan yang fasid, dan melalui hubungan
badan secara subhat. Sedangkan hubungan kekerabatan atau nasab
seorang anak dengan ibunya dapat terbentuk melalui proses
persalinan atau kelahiran. Baik kelahiran tersebut bersifat syar’i
8
atau tidak. Maksudnya sekalipun anak itu lahir akibat zina, tetap
dinasabkan kepada ibunya.
Status anak tersebut tidak dapat dikatakan secara hukum
Islam mempunyai ibu, bapak, sebab tidak mempunyai dasar yang
sah semenjak mulanya bahkan didasarkan kepada suatu yang tidak
dapat dibenarkan bahkan melanggar peraturan yang ada sanksi
hukumnya. Sesuatu yang berdasarkan kepada yang bathil maka
bathil pula hukumnya. Anak adalah manusia biasa dan normal
serta ia memiliki hak kehidupannya yang sama dengan manusia
lainnya, hanya saja ia kehilangan hak lainnya seperti hak perwalian
dalam perkawinan, sebab ia tidak mempunyai bapak yang sah.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas,
penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang
PEMBAHARUAN NIKAH PASCA PERSALINAN WANITA
HAMIL DI LUAR NIKAH DAN IMPLIKASI HUKUMNYA
TERHADAP STATUS ANAK, karena hal tersebut masih
membutuhkan kepastian hukum.
9
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka
penulis menemukan permasalahan yang dapat diidentifikasikan
sebagai berikut :
1. Faktor penyebab dilakukannya pembaharuan nikah wanita
hamil.
2. Kedudukan hukum menikahi wanita hamil akibat perzinahan.
3. Prioritas hukum untuk memberikan sanksi hukum terhadap
pelaku zina.
4. Faktor psikologis bagi anak yang lahir di luar nikah.
5. Kedudukan anak yang lahir akibat hamil di luar nikah.
6. Hubungan nasab anak hasil perzinahan dengan ayah biologis.
7. Hak dan kewajiban anak untuk memperoleh biaya hidup.
8. Kedudukan anak dalam memperoleh hak nafkah, perwalian
dan kewarisan.
C. Batasan Masalah
Kajian fiqih munakahat yang begitu luas dipadu dengan
realitas peradaban manusia dan perkembangan kebudayaan
masyarakat yang terus berjalan dan berubah berikut
10
problematikanya, tentu saja akan menyita banyak waktu dan tenaga
untuk menjelaskannya.
Dari identifikasi masalah yang terpapar di atas diperoleh
gambaran permasalahan yang begitu luas. Namun menyadari
adanya keterbatasan waktu dan kemampuan, maka penulis
memandang perlu memberi batasan masalah secara jelas dan
terfokus.
Oleh karena itu, tesis ini memfokuskan pada judul
pembaharuan nikah pasca persalinan wanita hamil di luar nikah
dan implikasi hukumnya terhadap status anak.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka
penulis dapat merumuskan masalah pokok dalam tesis ini sebagai
berikut :
1. Bagaimana hukum pembaharuan nikah pasca persalinan
wanita hamil di luar nikah?
2. Bagaimana implikasi hukum pembaharuan nikah pasca
persalinan wanita hamil di luar nikah terhadap anak dalam
memperoleh hak nafkah, perwalian dan kewarisan?
11
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan yang akan
dituangkan dalam tesis ini bertujuan sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui hukum pembaharuan nikah pasca
persalinan wanita hamil di luar nikah.
b. Untuk mengetahui implikasi hukum pembaharuan nikah
pasca persalinan wanita hamil di luar nikah terhadap anak
dalam memperoleh hak nafkah, perwalian dan kewarisan.
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Teoritis
1. Untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam
bidang hukum Islam, terutama hukum keluarga Islam.
2. Berguna bagi pembaca pada umumnya dan khususnya
bagi penulis akan pentingnya pengetahuan tentang
hukum pembaharuan nikah pasca persalinan wanita
hamil di luar nikah.
b. Kegunaan praktis
1. Adanya karya tulis ini diharapkan dapat menjadi
salah satu acuan pengetahuan dalam menjalankan
12
roda kehidupan yang baik dan benar menurut
tuntunan syari’at Islam.
2. Untuk menambah wawasan pengetahuan dalam
menyikapi persoalan fiqih kontemporer, terutama
tentang pembaharuan nikah pasca persalinan wanita
hamil di luar nikah dan status anak yang dilahirkan.
F. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Sampai saat ini, yang penulis ketahui belum menemukan
kajian pustaka yang meneliti tentang pembaharuan nikah pasca
persalinan wanita hamil di luar nikah dan implikasi hukumnya
terhadap status anak.
Akan tetapi hasil penelusuran penulis melalui media
elektronik, penulis menemukan sebuah Jurnal tentang Pernikahan
Hamil di Luar Nikah dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dan Fiqih Islam di Kantor Urusan Agama (Studi Kasus di
Kota Kupang), oleh Aladin, salah satu mahasiswa program
pascasarjana Universitas Nusa Cendana. Dalam karya ilmiahnya
menyatakan bahwa KHI membolehkan menikahi wanita hamil
akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya, sedangkan
menurut hukum Islam status hukum pernikahan wanita hamil
13
akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya pun terjadi
perbedaan pendapat diantara ke empat madzhab.1
Salah satu jurnal yang penulis temukan juga ialah tentang
Perkawinan Wanita Hamil diluar Nikah serta Akibat Hukumnya
Perspektif Fikih dan Hukum Positif, oleh Wahyu Wibisana.
Kesimpulan dari jurnal tersebut bahwa dalam pandangan empat
imam madzhab, terdapat dua kelompok. Kelompok pertama Imam
Hanafi dan Imam Syafi’i membolehkan perkawinan wanita hamil.
Kelompok kedua Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal yang
melarang. Sedangkan menurut hukum positif bahwa wanita hamil
dapat melangsungkan perkawinan dengan pria yang
menghamilinya.2
Adapun jurnal lain yang penulis temukan adalah tentang
Pengulangan Nikah menurut Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus
di KUA Kecamatan Kota Kualasimpang), oleh Khairani Cut Nanda
Maya Sari, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry. Karya
ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui sebab pengulangan nikah di
KUA Kecamatan Kota Kualasimpang, serta bagaimana analisis
1 Aladin, Pernikahan Hamil di Luar Nikah dalam Perspektif Kompilasi
Hukum Islam (KHI) dan Fiqih Islam di Kantor Urusan Agama (Studi Kasus di Kota
Kupang), (Universitas Nusa Cendana, 2017). 2 Wahyu Wibisana, Perkawinan Wanita Hamil diluar Nikah serta Akibat
Hukumnya Perspektif Fikih dan Hukum Islam, (Jurnal Pendidikan Agama Islam-
Ta’lim, Vol.15 No.1, 2017).
14
hukum Islam terhadap praktek pengulangan nikah di Kota
Kualasimpang. Dalam karya ilmiahnya menyatakan bahwa
pengulangan nikah yang menggambarkan situasi dan kondisi dari
masalah yang diteliti ialah terjadinya nikah ulang setelah
pernikahan yang pertama selesai dilaksanakan, karena pada
pernikahan yang pertama tidak terpenuhi rukun dan syarat sahnya
pernikahan. Praktek pengulangan nikah yang dilakukan di KUA
Kecamatan Kota Kualasimpang adalah boleh dan bisa jadi wajib
ketika ada peraturan pemerintah yang mengharuskan akad nikah
ulang.3
Selain jurnal yang telah di paparkan di atas, penulis juga
menemukan sebuah disertasi yang membahas tentang Pernikahan
Wanita Hamil dan Implikasinya Perspektif Fikih (Telaah terhadap
Kompilasi Hukum Islam), oleh Yakin, Husnul, Mahasiswa
program Doktoral Universitas Islam Negeri Alauddin Makasar.
Maksud disertasi ini adalah perkawinan yang didahului kehamilan
sebelum adanya akad pernikahan yang berakibat pada status
anaknya. Penelitian ini difokuskan pada telaah terhadap KHI
tentang pernikahan wanita hamil dan impikasi anaknya dalam hal
3 Khairani Cut Nanda Maya Sari, Pengulangan Nikah Menurut Perspektif
Hukum Islam (Studi Kasus di KUA Kecamatan Kota Kualasimpang), (Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry, 2017).
15
nasab, kewarisan, dan kewaliannya. Pokok permasalahannya
adalah bagaimanakah pernikahan wanita hamil dan implikasinya
perspektif fiqih (telaah terhadap KHI).4
Dari telaah terhadap penelitian di atas, dapat disimpulkan
bahwa penelitian ini bukanlah yang pertama, namun tidak sama
secara persis dengan penelitian-penelitian yang telah ada, karena
penelitian yang dilakukan penulis lebih menitikberatkan pada
aspek hukum pembaharuan nikah pasca persalinan dan implikasi
hukumnya terhadap status anak dalam memperoleh hak nafkah,
perwalian dan kewarisan.
G. Kerangka Pemikiran
Problematika yang terjadi saat ini adalah banyaknya
wanita hamil di luar nikah, dan yang masyarakat lakukan ketika
menghadapi persoalan tersebut adalah dengan mengawinkan
perempuan yang menjadi korban dengan laki-laki yang telah
menzinahinya.5
Diantara ketentuan hukum pernikahan, fiqih munakahat,
yang diambil dari KHI, sebagian terdapat kesesuaian dengan
4 Yakin, Husnul, Pernikahan Wanita Hamil dan Implikasinya Perspektif
Fikih (Talaah terhadap Kompilasi Hukum Islam), (Disertasi, Universitas Islam Negeri
Alauddin Makasar, 2013). 5 Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016),
p. 100.
16
hukum adat. Salah satu diantaranya adalah perkawinan wanita
hamil. Kasus yang terjadi seputar perkawinan wanita hamil adalah
menikahkan anak gadis yang telah hamil akibat zina. Kenyataan
tersebut tidak hanya berlaku pada sebagian ketentuan hukum adat,
tetapi juga berlaku hampir disemua lingkaran hukum adat.
Permasalahannya ternyata tidak hanya menyangkut
masalah pembaharuan nikah dan perbuatan zina dari para pelaku
pelaksanaan perkawinan dalam kondisi hamil saja, melainkan juga
menyangkut status anak yang dilahirkan, oleh karena itu perlu
adanya kepastian hukum dan penggunaan teori yang sesuai dengan
penelitian tersebut.
Berikut ini dijelaskan beberapa teori yang penulis
gunakan dalam penelitian ini, diantaranya :
1. Grand Theory : Teori Kredo
Pada tataran grand theory digunakan teori kredo.
Teori kredo atau syahadat yaitu teori yang mengharuskan
pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah
mengucapkan dua kalimah syahadat sebagai konsekuensi logis
dari pengucapan kredonya.6
6 Juhaya S Praja, Filsafat Hukum Islam, (Tasikmalaya: Lathifah Press, 2009),
p. 133.
17
Sebagaimana diketahui bahwa mayoritas umat Islam
di Indonesia adalah menganut madzhab Syafi’i sehingga
berlakunya teori syahadat ini tidak dapat disangsikan lagi.
Teori kredo atau syahadat ini berlaku di Indonesia sejak
kedatangannya hingga kemudian lahir Teori Receptio in
Complexu di zaman Belanda.
Inti dari teori ini adalah bahwa setiap muslim
memiliki kewajiban untuk melaksanakan seluruh hukum Islam
sebagai bentuk konsekuensi syahadatnya. Namun teori kredo
ternyata belum mampu untuk menjelaskan mengenai
penyerapan hukum Islam saat ini. Karena dalam faktanya
walaupun mereka telah memeluk agama Islam namun dalam
kehidupan sehari-hari tidak semua hukum Islam mereka
laksanakan. Oleh karena itu diperlukan teori lain untuk
menjelaskan deskripsi dari penelitian ini.
2. Middle Theory : Ijtihad
Islam diturunkan oleh Allah SWT ke dunia ini
melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul
terakhir yang menyempurnakan ajaran sebelumnya. Ajaran
Islam sangat sesuai dengan kondisi zaman dan masyarakat
18
dimanapun dan kapanpun ajaran Islam dapat menjawab
tantangan zaman.7
Seiring berkembangnya zaman, maka semakin
banyak pula persoalan-persoalan baru yang membutuhkan
kepastian hukum, salah satunya tentang pembaharuan nikah
wanita hamil dan status anak yang dilahirkan.
Salah satu cara untuk menjawab berbagai persoalan
yang ada saat ini, penulis mentikberatkan pada metode ijtihad,
yakni ketika perkara yang tidak jelas atau tidak ada
ketentuannya dalam al-Qur’an dan al-hadits, pada saat itulah
umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad.
3. Application Theory : Ihtiyath
Pembaharuan nikah menurut pendapat yang shahih,
hukumnya jawaz (boleh) dan tidak merusak pada akad nikah
yang pertama. Karena memperbaharui nikah itu hanya sekedar
keindahan (tajammul) atau berhati-hati (ihtiyath). Ihtiyath
digunakan dalam kitab-kitab fikih klasik menunjukan bahwa
ulama menggunakannya sebagai pendekatan dalam
menetapkan hukum. Mayoritas pendapat ulama Syafi’iyah
7 Munawir Syadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet
ke-1, p. 2.
19
berpendapat bahwa pernikahan ulang tersebut boleh dilakukan
sebatas keindahan (tajammul) atau berhati-hati (ihtiyath).8
Sebagaimana sabda Nabi SAW yang berbunyi :
هاتر ل ي علمها كثير من الناس فمن ات قى ن هما مشب ر وب ي ر والرام بي بيهاتالالل رأالمشب وعرضولدينواست ب
“Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Dan
diantara keduanya terdapat hal musyabbihat (samar-samar),
yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barang
siapa yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah
membersihkan agama dan kehormatannya”. (HR. Bukhari).9
Golongan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa kata
nikah itu berarti akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki),
dapat berarti juga untuk hubungan kelamin, namun dalam arti
tidak sebenarnya (arti majazi). Penggunaan kata untuk bukan
arti sebenarnya itu memerlukan penjelasan di luar dari kata itu
sendiri.10
Allah berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 21 :
هاوجعليتآومن نأنفسكمأزواجالتسكنواإلي وأنخلقلكممرون فذلكأليتلقومي ت فك ودةورحةإن نكمم ب ي
8 Syihab al-Din Ahmad bin Hajar al-Haitami al-Makky, Tuhfah al-Muhtaaj
Li Syarh al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Juz VII, p. 391. Abu Zakariya al-
Anshari, Syarh al-Buhjah al-Wardiyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Juz XVI, p. 459. 9 Bukhari, Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, No. Hadits: 52, p. 20.
10 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara fikih
munakahat dan Undang-undang perkawinan), (Jakarta: Kencana, 2006), p. 37.
20
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kamu yang berfikir.” (Q.S.Ar-Rum: 21).11
Menurut ayat tersebut, keluarga Islam terbentuk
dalam keterpaduan antara ketenteraman (sakinah), penuh rasa
cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah). Ia terdiri dari
istri yang patuh dan setia, suami yang jujur dan tulus, ayah
yang penuh kasih sayang dan ramah, ibu yang lemah lembut
dan berperasaan halus, putra putri yang patuh dan taat, serta
kerabat yang saling membina silaturrahmi dan tolong
menolong. Hal ini dapat tercapai apabila masing-masing
anggota keluarga tersebut mengetahui hak dan
kewajibannya.12
Begitu juga perintah Nabi kepada umatnya untuk
melakukan perkawinan. Diantaranya, seperti dalam hadits
Nabi dari Anas bin Malik menurut riwayat Ahmad dan
disahkan oleh Ibnu Hibban, sabda Nabi yang berbunyi :
11
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI,
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro: 2010), p. 406. 12
Huzaemah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah, Kajian Hukum Islam
Kontemporer, (Bandung: Angkasa, 2005), p. 134.
21
بكمالممي ومالقيامة مكاثرر ت زوجواالودودفإن“Kawinilah perempuan-perempuan yang dicintai
yang subur, karena sesungguhnya aku akan berbangga karena
banyak kaum di hari kiamat”.13
Dari begitu banyaknya perintah Allah dan Nabi untuk
melaksanakan perkawinan itu, maka perkawinan itu adalah
perbuatan yang lebih disenangi Allah dan Nabi untuk
dilakukan. Namun perintah Allah dan Rasul untuk
melangsungkan perkawinan itu tidaklah berlaku secara mutlak
tanpa persyaratan. Persyaratan untuk melangsungkan
perkawinan itu terdapat dalam hadits Nabi dari Abdullah bin
Mas’ud muttafaq alaih yang berbunyi :
,
“Wahai para pemuda, siapa diantaramu telah
mempunyai kemampuan untuk kawin, maka kawinlah, karena
perkawinan itu lebih menutup mata dari penglihatan yang
tidak baik dan lebih menjaga kehormatan. Bila ia tidak
mampu untuk wanin hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu
baginya mengekang hawa nafsu”.14
Pernikahan secara terminologi ialah akad serah terima
antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk
memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah
13
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia..., p. 44. 14
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia..., p. 44.
22
bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang
sejahtera.15
Suatu pernikahan dapat dikatakan sah apabila telah
terpenuhi dua syarat pokok, yaitu syarat formal yang termuat
dalam Undang-Undang Pernikahan No.1 tahun 1974 yang
pelaksanaanya terdapat dalam PP. No. 9 tahun 1975, ditambah
dengan Inpres No. 1 tahun 1991 yaitu tentang KHI di
Indonesia. Sedangkan syarat materialnya adalah harus
terpenuhi beberapa ketentuan yang telah ditetapkan oleh
Undang-Undang Pernikahan atau PP, serta ketentuan lainnya.
Menurut UU No.1 tahun 1974 tentang pernikahan
bab 1 pasal 1 menyatakan bahwa pernikahan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. (Pasal 1).16
Pembaharuan dalam bahasa arabnya tajdid
mengandung arti membangun kembali, menghidupkan
15
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: Pustaka Setia,
2011), p. 10. 16
Undang-undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CITRA UMBARA, 2013), cet. Ke-4, p. 2.
23
kembali, menyusun kembali, atau memperbaiki sebagaimana
yang diharapkan.17
Dapat dirumuskan suatu pengertian bahwa tajdid al-
nikah adalah memperbaharui tali ikatan pernikahan yang telah
berjalan yang mengalami pergeseran dari tujuan pernikahan.
Pembaharuan nikah (tajdid al-nikah) menurut
pendapat yang shahih, hukumnya jawaz (boleh) dan tidak
merusak pada akad nikah yang pertama. Karena
memperbaharui nikah itu merupakan kehati-hatian (ihtiyath).18
Meski pendapat lain mengatakan bahwa akad baru tersebut
bisa merusak akad yang telah terjadi, namun terlepas dari
perbedaan pendapat tersebut, ada kaidah ushul fiqih yang
menyatakan “keluar dari ikhtilaf (perbedaan) ulama itu
dianjurkan.”
Kawin hamil ialah kawin dengan seorang wanita yang
hamil di luar nikah baik dikawini dengan laki-laki yang
17
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006), p. 147. 18
Syihab al-Din Ahmad bin Hajar al-Haitami al-Makky, Tuhfah al-Muhtaaj
Li Syarh al-Minhaj..., p. 391.
24
menghamilinya maupun dengan laki-laki bukan yang
menghamilinya.19
Pernikahan wanita hamil dapat terjadi atas dua
kemungkinan, yaitu pernikahan yang terjadi antara wanita
hamil dengan pria yang menghamilinya atau dengan kawan
zinanya atau pernikahan wanita hamil dengan pria lain yang
bukan menghamilinya. Dalam hal pernikahan wanita hamil
dengan pria yang menghamilinya, Islam membolehkan
sebagaimana diisyaratkan dalam surat An-Nur ayat 3.
زانيةأومشركةوالزانيةلينكحهآإلزانأومش الزانلينكحإل ركر وحرمذلكعلىالمؤمني
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan
perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan
perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-
laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian
itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” (Q.S. An-
Nur: 3).20
Ayat di atas dapat dipahami bahwa wanita hamil di
luar nikah lebih pantas kawin dengan laki-laki yang
menghamilinya. Selain itu, ayat di atas sekaligus
mengisyaratkan bahwa larangan laki-laki yang baik-baik untuk
19
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup, 2003), p. 184. 20
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI,
Al-Qur‟an dan Terjemahnya..., p. 350.
25
menikahi mereka.21
Karena dengan cara itulah yang terbaik,
untuk dapat memperbaiki nama baik pelaku zina, keluarganya
maupun keturunannya.
Pernikahan terhadap wanita hamil, jika dikaitkan
dengan wanita yang hamil di dalam akad yang sah ditalak oleh
suaminya, maka tidak boleh dinikahi sampai melahirkan anak
yang dikandungnya. Sesuai dengan Firman Allah SWT dalam
surat Ath-Thalaq ayat 4 :
ثال ت هن تمفعد ثةوالئىيئسنمنالمحيضمننسآئكمإنارت ب أنيضعنحلهن ضنوأولتاألحالأجلهن ي أشهروالئىل
يعللومنأمرهيسرا ومني تقهللا“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
dan antara perempuan-perempuan jika kamu ragu-ragu
(tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah
tiga bulan, dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya. Dan barang siapa yang bertaqwa kepada
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya.” (Q.S.Ath-Thalaq: 4).22
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pada Bab VIII
Pasal 53 tentang kawin hamil terdiri dari tiga ayat :
21
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1997), p. 165. 22
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI,
Al-Qur‟an dan Terjemahnya..., p. 558.
26
(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan
dengan pria yang menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat
(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu
kelahiran anaknya.
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita
hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak
yang dikandung lahir.23
Sementara dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan tidak terdapat bab atau pasal khusus
yang menjelaskan hukum perkawinan wanita hamil karena
zina. Akan tetapi, boleh tidaknya wanita hamil karena zina
menikah, dapat dilihat dari segi syarat-syarat perkawinan
menurut Undang-undang tersebut.24
Ketentuan hukum Islam menjelaskan bahwa orang
yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan
dihukumkan zina, jika wanita yang berbuat zina itu hamil,
maka para Imam madzhab fikih berbeda pendapat, apakah
23
Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum
Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), cet. Ke-2,
p. 235. 24
Jaih Mubarok, Pembaharuan Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2015), p. 85.
27
wanita yang hamil itu boleh dinikahi atau tidak. Ada diantara
pendapat Imam madzhab yang membolehkan wanita yang
hamil itu melangsungkan pernikahan dengan laki-laki yang
menghamilinya atau dengan laki-laki lain. Tetapi adapula
pendapat mazhab yang tidak membolehkan wanita yang hamil
itu melangsungkan pernikahannya.25
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa
pernikahan wanita hamil telah mendapat tempat pada Bab VIII
Pasal 53 ayat, 1, 2, dan 3, membolehkan wanita hamil
melangsungkan pernikahannya dengan laki-laki yang
menghamilinya.
Para fuqaha berselisih pendapat tentang menikahi
wanita yang berzina. Menurut pendapat para ulama madzhab
Syafi’i, zina tidak memiliki bagian dalam kewajiban
ber‟iddah. Sama saja apakah wanita yang berzina hamil
maupun tidak. Hanya saja menyetubuhinya dalam keadaan
hamil hukumnya makruh, sampai dia melahirkan. Ulama
madzhab Hanafi juga berpendapat, jika wanita yang di zinahi
tidak hamil, maka laki-laki yang berzina dengannya atau laki-
25
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta: Lentera,
2008), p. 329.
28
laki lain boleh menikahinya, dan dia tidak wajib ber‟iddah.
Sedangkan menurut pendapat madzhab Maliki dan Hambali,
wanita yang berzina tidak boleh dinikahi, dan dia wajib
ber‟iddah dengan waktu yang ditetapkan.26
Dilihat dari sisi kebolehan menikahi wanita zina
mengandung suatu kemaslahatan yaitu agar anak yang
dikandungnya lahir dengan mempunyai ayah yang
bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup anaknya,
keharmonisannya dan masa depannya, karena dalam hukum
Islam, anak tidak menanggung dosa, hanya ayah dan ibunya
yang menanggung dosa atas perbuatannya.27
Begitu juga
dengan orang tua, bagaimanapun juga mereka ingin jika
cucunya lahir kelak mempunyai ayah yang bertanggung jawab.
Untuk itu mereka berusaha menikahkan anaknya yang telah
hamil diluar nikah tersebut dengan laki-laki yang
menghamilinya.
Hal ini didasarkan pada teori kemaslahatan, serta
demi menjaga kehormatan anak yang tidak berdosa, karena
26
Yahya Abdurrahman al-Khatib, Fiqih Wanita Hamil, (Jakarta: Qithi Pers,
2008), p. 87. 27
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyyah al Hadisah, pada Masalah-
masalah Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
1998), p. 89.
29
anak zina bagaimanapun tidak boleh menanggung akibat
hukum yang ditimbulkan oleh orang tuanya yang tidak
bertanggung jawab.
Sifat suci dan bersih menurut konsep Islam dapat
dimiliki oleh setiap anak yang lahir karena dalam Islam tidak
dikenal adanya dosa turunan. Dosa harus ditanggung oleh
setiap manusia yang melakukannya. Hal ini ditegaskan oleh
Allah SWT :
تزروازرةروزرأخرى أل“(Yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak
akan memikul dosa orang lain”. (Q.S.An-Najm: 38).28
Penetapan asal usul anak memiliki arti yang sangat
penting, karena dengan penetapan dapat diketahui hubungan
nasab antara anak dan ayahnya. Kendatipun pada hakikatnya
setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki
dan sejatinya harus menjadi ayahnya. Status keperdataan
seorang anak, sah ataupun tidak sah, akan memiliki hubungan
keperdataan dengan wanita yang melahirkannya. Hubungan
keperdataan anak dengan ayahnya hanya bisa terjadi bila anak
28
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI,
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro: 2010), p. 527.
30
tersebut adalah anak yang sah, anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat perkawinan.29
Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan menyebutkan, anak yang sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah.30
Status anak yang dilahirkan di luar nikah, Imam
Hanafi, Imamiyah, dan Hambali menyatakan bahwasanya anak
perempuan hasil zina itu haram di kawini sebagaimana
keharaman anak perempuan yang sah. Sebab, anak perempuan
tersebut merupakan darah dagingnya sendiri. Dari segi bahasa
dan tradisi masyarakat, dia adalah anaknya sendiri. Tidak
diakuinya ia sebagai anak oleh syar‟i dari sisi hukum waris,
tidak berarti ia bukan anak kandungnya secara hakiki, namun
yang dimaksud adalah menafikan akibat-akibat syar‟inya saja,
misalnya hukum waris, perwalian dan memberi nafkah.31
29
Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, tt), p. 220. 30
Undang-Undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2013), p. 2. 31
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab..., p. 330.
31
H. Metode Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian,
maka metode yang digunakan adalah :
1. Jenis Penelitian
Penulis menggunakan jenis penelitian studi pustaka
(library research), yaitu suatu penelitian dengan cara
menuliskan, mengklarifikasi, dan menjadikan data yang
diperoleh dari berbagai sumber tertulis, kemudian mencari
sumber-sumber literatur yang berkaitan dengan materi dan
difokuskan pada penelaahan yang dibahas.32
2. Pendekatan Penelitian
Sebagai upaya untuk mendapatkan kebenaran, maka
pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini
adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara
mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan
32
Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi II, (Yogyakarta: Rake
Sarasin, 1983), p. 43.
32
literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang
diteliti.33
3. Teknik Pengumpulan Data
Data merupakan salah satu komponen riset, artinya
tanpa data tidak akan ada riset.34
Jenis data ini terdiri dari dua
bagian yaitu data primer dan sekunder.
1) Data primer, meliputi norma dan kaidah dasar, seperti al-
Qur’an, Undang-undang Perkawinan, Kompilasi Hukum
Islam (KHI) dan kitab-kitab ulama madzhab.
2) Data sekunder, meliputi beberapa buku, jurnal, artikel,
atau peraturan yang berkaitan dengan tema yang akan
diteliti. Data dikumpulkan dengan cara mengutip dan
menganalisis beberapa literatur yang memiliki relevansi
dengan masalah yang dibahas.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pengumpulan data literer yaitu dengan
mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang berkesinambungan
(koheren) dengan objek pembahasan yang diteliti.
33
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2001), p. 13. 34
Husein Umar,“Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis”, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2013) edisi 2, h. 49.
33
4. Teknik Pengolahan Data
Data yang ada dalam kepustakaan dikumpulkan dan
diolah dengan cara :
1) Editing, yaitu pemeriksaan kembali dari data-data yang
diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kejelasan
makna dan koherensi makna antara yang satu dengan yang
lain.
2) Organizing, yaitu menyusun data-data yang diperoleh
dengan kerangka yang sudah ditentukan.
3) Penemuan hasil penelitian, yaitu melakukan analisis
lanjutan terhadap hasil penyusunan data dengan
menggunakan kaidah-kaidah, teori dan metode yang telah
ditentukan sehingga diperoleh kesimpulan (inferensi)
tertentu yang merupakan hasil jawaban dari rumusan
masalah.35
35
Abu Achmadi dan Cholid Narkubo, Metode Penelitian, (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2005), p. 85.
34
I. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam tesis yang berjudul
pembaharuan nikah pasca persalinan wanita hamil di luar nikah
dan implikasi hukumnya terhadap status anak, adalah sebagai
berikut :
Bab Pertama. Pendahuluan, pada bab ini akan di uraikan
tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan
masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,
penelitian terdahulu yang relevan, kerangka pemikiran, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab Kedua. Pembaharuan nikah pasca persalinan wanita
hamil di luar nikah, pada bab ini berisi tentang peraturan-peraturan
sebagai dasar hukum yang melandasi pembahasan masalah-
masalah yang akan dibahas, yaitu tinjauan umum pernikahan,
makna pembaharuan nikah, masa iddah wanita hamil dan hukum
menikahi wanita hamil.
Bab Ketiga. Kedudukan anak dalam keluarga meliputi,
pengertian anak dan keluarga, peran dan tanggung jawab orang tua
terhadap anak, nisbah anak dalam keluarga, hak dan kewajiban
anak terhadap orang tua.
35
Bab Keempat. Analisis hukum pembaharuan nikah pasca
persalinan wanita hamil di luar nikah dan implikasinya terhadap
status anak meliputi, hukum pembaharuan nikah pasca persalinan
wanita hamil di luar nikah dan implikasi hukum pembaharuan
nikah pasca persalinan wanita hamil di luar nikah terhadap anak
dalam memperoleh hak nafkah, perwalian dan kewarisan.
Bab Kelima. Penutup, merupakan kesimpulan dari hasil
penelitian dan pembahasan terhadap permasalahan yang telah
diuraikan, serta saran dari penulis berkaitan dengan pembaharuan
nikah pasca persalinan wanita hamil di luar nikah dan implikasi
hukumnya terhadap status anak.