bab ii dasar diperlukannya perlindungan hukum
TRANSCRIPT
71
71
BAB II
DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM
WHISTLEBLOWER DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
2.1 Urgensi diperlukannya Perlindungan Hukum Whistleblower dalam
Tindak Pidana Korupsi
Whistleblower memiliki peranan penting dalam pembuktian tindak pidana
korupsi. Ditinjau dari teori pembuktian, pembuktian dalam hukum pidana pada
dasarnya menggunakan teori pembuktian negative yakni mencari kebenaran yang
sebenar-benarnya. Dalam mengungkap kasus korupsi maka peranan whistleblower
sangat diperlukan. Koruptor dapat menggunakan teori pembuktian terbalik
untuk membantah fakta-fakta yang diungkapkan saksi mengenai dugaan korupsi
yang dilakukannya.
Dengan melihat latar belakang timbulnya korupsi, salah satu faktor yang
menyebabkan meningkatnya aktivitas korupsi di beberapa negara disebabkan
terjadinya perubahan politik yang sistemik, sehingga tidak saja memperlemah atau
menghancurkan lembaga sosial politik, tetapi juga lembaga hukum. Penegakkan
hukum terhadap tindak pidana korupsi, kehadiran saksi (termasuk pelapor) sangat
diperlukan mengingat sulitnya bagi aparat penegak hukum dalam menyelesaikan
suatu tindak pidana yang ditangani apabila tidak adanya kehadiran saksi (termasuk
pelapor). Tidak banyak orang yang bersedia mengambil resiko untuk menjadi
whistleblower dan mengungkapkan fakta suatu tindak pidana korupsi jika dirinya,
keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari ancaman yang
mungkin timbul karena pengungkapan kasus tersebut.114
114
Suratno, “Perlindungan Hukum Saksi dan Korban Sebagai Whistleblower Dan
Justice Collaborators Pada Pengungkapan Kasus Korupsi Berbasis Nilai Keadilan Pada
Pengungkapan Kasus Korupsi Berbasis Nilai Keadilan,” Jurnal Pembaharuan Hukum
Volume IV No. 1 Januari - April 2017, h. 131.
72
72
Salah satu langkah efektif yang dapat digunakan untuk menembus ke dalam
jaringan kejahatan terorganisasi adalah dengan menggunakan bantuan dari pelaku
yang merupakan orang dalam (inner circle criminal), dan terlibat secara langsung
dalam kejahatan yang dilakukannya bersama-sama dengan pelaku lainnya. Orang
dalam tersebut dapat menyediakan bukti yang penting mengenai siapa saja yang
terlibat, apa peran masing- masing pelaku, bagaimana kejahatan tersebut dilakukan,
dan di mana bukti-bukti yang lain dapat ditemukan, sehingga penanganannya oleh
penegak hukum menjadi lebih optimal.115
Whistleblower merupakan orang yang bekerja di suatu tempat tertentu dan
memutuskan untuk melapor kepada media, otoritas internal, atau otoritas eksternal
tentang hal-hal yang illegal yang terjadi di lingkungan kerja. Sebagai seorang
pekerja yang menggantungkan nafkahnya pada tempat tersebut, maka tentu
pelaporan kejadian di tempat kerja dapat mengancam kesejahteraan dan keselamatan
dari whistleblower. Seorang whistleblower bisa kehilangan pekerjaannya karena
dianggap berani membuka rahasia pimpinan atau rekan kerjanya. Sanksi sosial juga
sangat mungkin terjadi kepada whistleblower, baik dalam bentuk pengucilan
maupun intimidasi. Ancaman terhadap nyawa dan harta benda juga menjadi
tantangan yang harus dihadapi oleh whistleblower dan keluarganya.
Tantangan yang begitu besar bagi whistleblower yang sebenarnya sudah
berjasa dalam penegakan hukum wajib diayomi dengan perlindungan terhadap
whistleblower. Perlindungan bagi whistleblower ini secara filosofis merupakan
pembangunan dalam tatanan hukum nasional. Upaya pembangunan tatanan hukum
paling tidak didasarkan atas tiga alasan. Pertama, sebagai pelayan bagi masyarakat,
karena hukum itu tidak berada pada kevakuman, maka hukum harus senantiasa
disesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang dilayaninya juga senantiasa
berkembang. Kedua, sebagai alat pendorong kemajuan masyarakat. Ketiga, karena
secara realistis di Indonesia saat ini fungsi hukum tidak bekerja efektif, sering
dimanipulasi, bahkan jadi alat (instrumen efektif) bagi penimbunan kekuasaan.116
Hukum wajib menganyomi kepentingan whistleblower secara khusus dan
perlindungan masyarakat secara umum.
115
Indriyanto Seno Adji, 2012, “Prospek Perlindungan Saksi dan Korban Dalam
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”, Diskusi Panel Undang- Undang Perlindungan Saksi
di Indonesia, Jakarta, h. 4. 116
Mahfud MD, Moh., 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 61-62.
73
2.2. Dasar Pertimbangan Pengaturan Whistleblower dalam Tindak Pidana
Korupsi
2.2.1. Dasar Yuridis
Dasar pertimbangan yuridis pengaturan whistleblower dalam tindak pidana
korupsi akan melihat pada undang-undang. Undang-undang adalah suatu peraturan
negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan dibentuk oleh
penguasa negara. Undang-undang identik dengan hukum tertulis (ius scripta)
sebagai lawan dari hukum yang tidak tertulis (ius non scripta). Undang-undang
memiliki dua arti yakni:
a. Undang-undang dalam arti materiil adalah setiap keputusan pemerintah
yang isinya langsung mengikat setiap orang.
b. Undang-undang dalam arti formil adalah setiap keputusan pemerintah
yang merupakan undang-undang karena bentuk dan cara pembuatannya.
Sehingga suatu aturan disebut sebagai undang-undang karena bentuk dan
cara pembentukannya.
Untuk berlakunya suatu undang-undang maka undang-undang tersebut harus
terlebih dahulu diundangkan dalam lembaran negara dan tambahan lembaran negara
(untuk penjelasan undang-undang. Mulai berlakunya undang-undang biasanya
ditentukan dalam undang-undang tersebut, namun jika tidak ditentukan maka
undang-undang mulai diberlakukan 30 hari sejak pengundangan dalam lembaran
negara untuk Jawa dan Madura dan 100 hari sejak pengundangan dalam lembaran
negara untuk luar Jawa dan Madura. Jika semua peryaratan tersebut telah terpenuhi
maka berlakulah fictie hukum yang artinya semua orang dianggap mengetahui
aturan hukum tersebut sehingga tidak ada alasan jika pelanggaran dilakukan karena
tidak mengetahui hukum. Alasan ini pun tidak dapat menjadi bahan pembelaan dari
si pelanggar hukum.
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus, yakni tindak pidana
yang diatur di luar KUHP. Undang-undang pemberantasan tidak pidana korupsi
dimasukkan ke dalam tindak pidana khusus. Hal ini didasarkan pada empat alasan:
1. Terkait dengan pengaturan tindak pidana. Undang - undang tindak pidana
korupsi mengatur beberapa delik baru yang tidak ditemukan dalam KUHP
seperti korupsi terkait kerugian keuangan negara dan gratifikasi.
2. Terkait dengan pertanggungjawaban pidana. Undang-undang tindak pidana
korupsi tidak hanya menjadikan manusia sebagai subjek delik, tapi juga
korporasi. Dalam KUHP korporasi tidak diakui sebagai subjek delik, hanya
manusia yang dapat melakukan tindak pidana.
74
3. Terkait dengan sanksi pidana. Undang-undang tindak pidana korupsi
mengatur perumusan ancaman pidana secara kumulatif dan kumulatif-
alternatif, serta ancaman pidana minimum khusus. Ketentuan ini jelas
merupakan penyimpangan dari KUHP.
4. Terkait dengan hukum acara pidana. Undang-undang tindak pidana korupsi
mengatur ketentuan beracara yang berbeda atau menyimpang dari ketentuan
dalam KUHAP, seperti diakuinya sistem pembalikan beban pembuktian,
perampasan aset, pembayaran uang pengganti dan peradilan in absentia.117
Korupsi dalam sudut pandang hukum pidana memiliki sifat dan karakter
sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Paling tidak ada empat sifat dan
karakteristik kejahatan korupsi sebagai extra ordinary crime, Pertama, korupsi
merupakan kejahatan terorganisasi yang dilakukan secara sistematis, Kedua, korupsi
biasanya dilakukan dengan modus operandi yang sulit sehingga tidak mudah untuk
membuktikannya, Ketiga, korupsi selalu berkaitan dengan kekuasaan. Keempat,
korupsi adalah kejahatan yang berkaitan dengan nasib orang banyak karena
keuangan negara yang dapat dirugikan sangat bermanfaat untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat.118
Dalam menanggulangi korupsi di Indonesia. telah diatur
sejumlah peraturan perundang-undangan antara lain:
1. Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara
Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
2. Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
3. Undang-undang No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
4. Undang-undang No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang
No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang.
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara dan
Sekretariat Jenderal Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara.
Dalam hukum nasional, payung hukum pemberantasan tindak pidana korupsi
terutamanya diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
117
Mahrus Ali, 2016, Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, h.14-15. 118
Edward O.S Hiariej, 2012, Pembuktian Terbalik Dalam Pengembalian Aset
Kejahatan Korupsi : Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas
Gajah Mada,, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, h 3.
75
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pembahasan mengenai tindak pidana
korupsi maka prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi
generalis, yaitu:
2.3. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap
berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;
2.4. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-
ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);
2.5. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum
(rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk
lingkungan hukum keperdataan.119
Perlindungan whistleblower diberikan dalam bentuk perlindungan hukum.
Perlindungan hukum adalah berkaitan dengan tindakan negara untuk melakukan
sesuatu dengan (memberlakukan hukum negara secara eksklusif) dengan tujuan
untuk memberikan jaminan kepastian hak-hak seseorang atau sekelompok orang.120
Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan
perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak
yang diberikan oleh hukum.121
Perlindungan hukum merujuk pada perlunya
pengaturan mengenai perlindungan bagi whistleblower dalam undang-undang, baik
dalam bentuk perlindungan, mekanisme perlindungan, lembaga yang melindungi
dan sanksi atas pelanggaran perlindungan hukum bagi whistleblower. Philipus M.
Hadjon mengaitkan perlindungan hukum dengan Pancasilan yakni sebagai berikut:
Negara Indonesia sebagai Negara Hukum berdasarkan atas Pancasila haruslah
memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya yang sesuai
dengan Pancasila. Oleh karena itu perlindungan hukum berdasarkan Pancasila
berarti pengakuan dan perlindungan hukum akan harkat dan martabat manusia
atas dasar nilai Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan, persatuan,
Permusyawaratan, serta Keadilan Sosial. Nilai-nilai tersebut melahirkan
pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wadah Negara kesatuan
119
Bagir Manan, 2004, Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), UII Press,
Yogyakarta, h. 56. 120
H. Salim., H.S. dan Erlies Septiana Nurbani, 2013,Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, Rajawali, Jakarta, h. 262. 121
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 54.
76
yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan dalam mencapai kesejahteraan
bersama.122
Secara yuridis, urgensi perlindungan bagi whistleblower merupakan
konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian multilateral yakni United
Nations Convention against Corruption. Penyusunan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa diawali sejak tahun 2000 di mana Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa dalam sidangnya ke-55 melalui Resolusi Nomor 55/61 pada tanggal
6 Desember 2000 memandang perlu dirumuskannya instrumen hukum internasional
anti korupsi secara global. Instrumen hukum internasional tersebut amat diperlukan
untuk menjembatani sistem hukum yang berbeda dan sekaligus memajukan upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi secara efektif. Untuk tujuan tersebut, Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk Ad Hoc Committee (Komite Ad
Hoc) yang bertugas merundingkan draft Konvensi. Komite Ad Hoc yang
beranggotakan mayoritas negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
memerlukan waktu hampir 2 (dua) tahun untuk menyelesaikan pembahasan sebelum
akhirnya menyepakati naskah akhir Konvensi untuk disampaikan dan diterima
sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa.
Amerika Serikat dan 139 negara lain menandatangani United Nations
Convention Against Corruption. Pada bagian dari Konvensi, Kofi A. Annan, yang
kemudian Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa menulis sebagai berikut:
Corruption is an insidious plague that has a wide range of corrosive effects on
societies. It undermines democracy and the rule of law, leads to violations of
human rights, distorts markets, erodes the quality of life and allows organized
crime, terrorism and other threats to human security to flourish.
This evil phenomenon is found in all countries—big and small, rich and poor—
but it is in the developing world that its effects are most destructive. Corruption
hurts the poor disproportionately by diverting funds intended for development,
undermining a Government’s ability to provide basic services, feeding
inequality and injustice and discouraging foreign aid and investment.
Corruption is a key element in economic underperformance and a major
obstacle to poverty alleviation and development.123
Terjemahan bebas:
Korupsi adalah wabah berbahaya yang memiliki berbagai efek korosif pada
masyarakat. Ini merusak demokrasi dan aturan hukum, mengarah pada
122
Philipus, M. Hadjon, 1987 , Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina
Ilmu, Surabaya, h. 84 . 123
Kohn, Kohn & Colapinto, LLP, Assisting International Whistleblowers to
Combat Corruption, https://www.kkc.com/our-practice/whistleblower-rewards-international
77
pelanggaran hak asasi manusia, mendistorsi pasar, mengikis kualitas hidup dan
memungkinkan kejahatan terorganisir, terorisme dan ancaman lain untuk
keamanan manusia untuk berkembang.
Fenomena jahat ini ditemukan di semua negara — besar dan kecil, kaya dan
miskin — tetapi di dunia berkembang dampaknya paling merusak. Korupsi
merugikan orang miskin secara tidak proporsional dengan mengalihkan dana
yang dimaksudkan untuk pembangunan, melemahkan kemampuan Pemerintah
untuk menyediakan layanan dasar, memberi ketidaksetaraan dan ketidakadilan
serta mengecilkan bantuan dan investasi asing. Korupsi adalah elemen kunci
dalam kinerja ekonomi yang buruk dan hambatan besar bagi pengentasan
kemiskinan dan pembangunan.
United Nations Convention Against Corruption mengatur mengenai
pencegahan tindak pidana korupsi. Upaya pencegahan menjadi bagian penting dari
konvensi ini, yakni sebagai berikut:
Corruption can be prosecuted after the fact, but first and foremost, it requires
prevention. An entire chapter of the Convention is dedicated to prevention, with
measures directed at both the public and private sectors. These include model
preventive policies, such as the establishment of anticorruption bodies and
enhanced transparency in the financing of election campaigns and political
parties. States must endeavour to ensure that their public services are subject to
safeguards that promote efficiency, transparency and recruitment based on
merit. Once recruited, public servants should be subject to codes of conduct,
requirements for financial and other disclosures, and appropriate disciplinary
measures. Transparency and accountability in matters of public finance must
also be promoted, and specific requirements are established for the prevention
of corruption, in the particularly critical areas of the public sector, such as the
judiciary and public procurement. Those who use public services must expect a
high standard of conduct from their public servants. Preventing public
corruption also requires an effort from all members of society at large. For
these reasons, the Convention calls on countries to promote actively the
involvement of non-governmental and community-based organizations, as well
as other elements of civil society, and to raise public awareness of corruption
and what can be done about it. Article 5 of the Convention enjoins each State
Party to establish and promote effective practices aimed at the prevention of
corruption.124
124
United Nations Office on Drugs and Crime, Convention highlights,
http://www.unodc.org/unodc/en/corruption/convention-highlights.html
78
Terjemahan bebas:
Korupsi dapat dituntut setelah fakta, tetapi yang pertama dan paling utama, ia
membutuhkan pencegahan. Seluruh bab dari Konvensi didedikasikan untuk
pencegahan, dengan langkah-langkah yang diarahkan baik di sektor publik dan
swasta. Ini termasuk kebijakan pencegahan model, seperti pembentukan badan
antikorupsi dan peningkatan transparansi dalam pembiayaan kampanye pemilu
dan partai politik. Negara harus berusaha untuk memastikan bahwa layanan
publik mereka tunduk pada perlindungan yang mempromosikan efisiensi,
transparansi, dan rekrutmen berdasarkan prestasi.
Setelah direkrut, pegawai negeri harus tunduk pada kode etik,
persyaratan untuk pengungkapan keuangan dan lainnya, dan tindakan disipliner
yang tepat. Transparansi dan akuntabilitas dalam hal keuangan publik juga
harus dipromosikan, dan persyaratan khusus ditetapkan untuk pencegahan
korupsi, di bidang-bidang yang sangat penting dari sektor publik, seperti
peradilan dan pengadaan publik. Mereka yang menggunakan layanan publik
harus mengharapkan standar perilaku yang tinggi dari pegawai negeri mereka.
Mencegah korupsi publik juga membutuhkan upaya dari semua anggota
masyarakat pada umumnya. Karena alasan-alasan ini, Konvensi menyerukan
kepada negara-negara untuk mempromosikan secara aktif keterlibatan
organisasi-organisasi non-pemerintah dan berbasis komunitas, serta elemen-
elemen lain dari masyarakat sipil, dan untuk meningkatkan kesadaran publik
tentang korupsi dan apa yang dapat dilakukan mengenai hal itu. Pasal 5 dari
Konvensi mengharuskan setiap Negara Pihak untuk menetapkan dan
mempromosikan praktik-praktik efektif yang ditujukan untuk pencegahan
korupsi.
Dalam ketentuan Pasal 37 United Nations Convention against Corruption
2003 diatur mengenai kerjasama dengan penegak hukum. Selengkapnya dalam
ketentuan Pasal 37 ditentukan
1. Each State Party shall take appropriate measures to encourage persons
who participate or who have participated in the commission of an offence
established in accordance with this Convention to supply information
useful to competent authorities for investigative and evidentiary purposes
and to provide factual, specific help to competent authorities that may
contribute to depriving offenders of the proceeds of crime and to
recovering such proceeds.
2. Each State Party shall consider providing for the possibility, in
appropriate cases, of mitigating punishment of an accused person who
79
provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an
offence established in accordance with this Convention.
3. Each State Party shall consider providing for the possibility, in accordance
with fundamental principles of its domestic law, of granting immunity from
prosecution to a person who provides substantial cooperation in the
investigation or prosecution of an offence established in accordance with
this Convention.
4. Protection of such persons shall be, mutatis mutandis, as provided for in
article 32 of this Convention.
5. Where a person referred to in paragraph 1 of this article located in one
State Party can provide substantial cooperation to the competent
authorities of another State Party, the States Parties concerned may
consider entering into agreements or arrangements, in accordance with
their domestic law, concerning the potential provision by the other State
Party of the treatment set forth in paragraphs 2 and 3 of this article.
Terjemahan bebas:
1. Negara Pihak wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk
mendorong orang yang berpartisipasi atau telah berpartisipasi dalam
pelaksanaan suatu kejahatan menurut Konvensi ini untuk memberi
informasi yang berguna kepada badan yang berwenang untuk tujuan
penyidikan dan pembuktian serta memberikan bantuan yang nyata dan
khusus kepada badan yang berwenang untuk melepaskan hasil kejahatan
dari pelaku kejahatan dan mengambil hasil itu.
2. Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk memberikan kemungkinan,
dalam kasus tertentu, untuk mengurangi hukuman terdakwa yang
memberikan kerja sama yang penting dalam penyidikan atau penuntutan
kejahatan menurut Konvensi ini.
3. Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk memberikan peluang, sesuai
dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, untuk memberikan
kekebalan terhadap penuntutan kepada orang yang menunjukkan kerja
sama yang penting dalam penyidikan atau penuntutan kejahatan menurut
Konvensi ini.
4. Perlindungan bagi orang tersebut wajib diberikan, mutatis mutandis,
sebagaimana diatur dalam pasal 32 Konvensi ini.
5. Jika orang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang berada di suatu Negara
Pihak dapat memberikan kerja sama yang penting kepada pejabat yang
berwenang dari Negara Pihak lain, maka Negara-Negara Pihak tersebut
dapat mempertimbangkan untuk mengadakan perjanjian atau pengaturan,
80
sesuai dengan hukum nasional masing-masing, mengenai kemungkinan
pemberian perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dan ayat 3
Ketentuan United Nations Convention against Corruption telah diratifikasi
oleh Indonesia melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan
United Nations Convention against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Ratifikasi Konvensi ini merupakan komitmen
nasional untuk meningkatkan citra bangsa Indonesia dalam percaturan politik
internasional. Alasan ratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dapat dilihat
pada dasar menimbang Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan
United Nations Convention against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) yakni sebagai berikut:
1. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, maka pemerintah bersama- sama masyarakat mengambil langkah-
langkah pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi secara
sistematis dan berkesinambungan;
2. bahwa tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, akan
tetapi merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh
masyarakat dan perekonomian sehingga penting adanya kerja sama
internasional untuk pencegahan dan pemberantasannya termasuk pemulihan
atau pengembalian aset-aset hasil tindak pidana korupsi;
3. bahwa kerja sama internasional dalam pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi perlu didukung oleh integritas, akuntabilitas, dan
manajemen pemerintahan yang baik;
4. bahwa bangsa Indonesia telah ikut aktif dalam upaya masyarakat
internasional untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi
dengan telah menandatangani United Nations Convention Against
Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Anti Korupsi,
2003);
Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip
demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta
keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak
pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga
memerlukan langkah-Iangkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat
menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun
tingkat internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata
81
pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional, termasuk pengembalian aset-
aset yang berasal dari tindak pidana korupsi.
Penyusunan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa diawali sejak tahun 2000
di mana Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sidangnya ke-55 melalui
Resolusi Nomor 55/61 pada tanggal 6 Desember 2000 memandang perlu
dirumuskannya instrumen hukum internasional antikorupsi secara global. Instrumen
hukum internasional tersebut amat diperlukan untuk menjembatani sistem hukum
yang berbeda dan sekaligus memajukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi
secara efektif. Untuk tujuan tersebut, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
membentuk Ad Hoc Committee (Komite Ad Hoc) yang bertugas merundingkan
draft Konvensi. Komite Ad Hoc yang beranggotakan mayoritas negara-negara
anggota Perserikatan Bangsa- Bangsa memerlukan waktu hampir 2 (dua) tahun
untuk menyelesaikan pembahasan sebelum akhirnya menyepakati naskah akhir
Konvensi untuk disampaikan dan diterima sidang Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional memiliki komitmen yang
kuat untuk memberantas korupsi yang ditunjukkan melalui ratifikasi konvensi
antikorupsi. Arti penting lainnya dari ratifikasi Konvensi tersebut dapat dilihat pada
penjelasan undang-undang yakni sebagai berikut:
a. untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam
melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil tindak
pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri;
b. meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata
pemerintahan yang baik;
c. meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan perjanjian
ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana, pengalihan
proses pidana, dan kerja sama penegakan hukum;
d. mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung. kerja
sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup bilateral,
regional, dan multilateral; dan
e. harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan Konvensi ini.
Komitmen internasional terkait dengan tindak pidana korupsi yang juga
disepakati oleh Indonesia adalah United Nations Convention Against Transnational
Organized Crime. Perjanjian internasional tersebut diratifikasi melalui Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pengesahan United
Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi
82
Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang
Terorganisasi). Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang dinyatakan sebagai
tindak pidana transnasional. Tindak pidana transnasional yang terorganisasi
merupakan salah satu bentuk kejahatan yang mengancam kehidupan sosial,
ekonomi, politik, keamanan, dan perdamaian dunia.
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di samping
memudahkan lalu lintas manusia dari suatu tempat ke tempat lain, dari satu negara
ke negara lain, juga menimbulkan dampak negatif berupa tumbuh, meningkat,
beragam, dan maraknya tindak pidana. Tindak pidana tersebut pada saat ini telah
berkembang menjadi tindak pidana yang terorganisasi yang dapat dilihat dari
lingkup, karakter, modus operandi, dan pelakunya. Ketentuan mengenai tindak
pidana korupsi sebagai kejahatan transnasional yang terorganisir dapat dilihat pada
ketentuan Pasal 8 United Nations Convention Against Transnational Organized
Crime yang mengatur tentang Criminalization of corruption. Dalam ketentuan
tersebut dinyatakan sebagai berikut:
1. Each State Party shall adopt such legislative and other measures as may be
necessary to establish as criminal offences, when committed intentionally:
(a) The promise, offering or giving to a public official, directly or indi-
rectly, of an undue advantage, for the official himself or herself or
another person or entity, in order that the official act or refrain
from acting in the exercise of his or her official duties;
(b) The solicitation or acceptance by a public official, directly or indi-
rectly, of an undue advantage, for the official himself or herself or
another person or entity, in order that the official act or refrain
from acting in the exercise of his or her official duties.
2. Each State Party shall consider adopting such legislative and other
measures as may be necessary to establish as criminal offences conduct
referred to in paragraph 1 of this article involving a foreign public official
or inter- national civil servant. Likewise, each State Party shall consider
establishing as criminal offences other forms of corruption.
3. Each State Party shall also adopt such measures as may be necessary to
establish as a criminal offence participation as an accomplice in an
offence established in accordance with this article.
4. For the purposes of paragraph 1 of this article and article 9 of this
Convention, “public official” shall mean a public official or a person who
provides a public service as defined in the domestic law and as applied in
the criminal law of the State Party in which the person in question
performs that function.
83
1. Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah legislatif dan
lainnya yang mungkin diperlukan untuk menetapkan sebagai tindak
pidana, ketika dilakukan dengan sengaja:
a. Janji, menawarkan atau memberikan kepada pejabat publik,
langsung atau tidak langsung, dari keuntungan yang tidak
semestinya, untuk pejabat sendiri atau orang lain atau entitas, agar
tindakan resmi atau menahan diri dari bertindak dalam latihan dari
tugas resminya;
b. Permohonan atau penerimaan oleh pejabat publik, secara langsung
atau tidak langsung, dari keuntungan yang tidak semestinya, untuk
pejabat itu sendiri atau orang lain atau badan lain, agar tindakan
resmi atau menahan diri dari bertindak dalam pelaksanaan tugasnya.
atau tugas resminya.
2. Setiap Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk mengadopsi
langkah-langkah legislatif dan lainnya yang mungkin diperlukan untuk
menetapkan sebagai tindak pidana yang mengacu pada ayat 1 pasal ini
yang melibatkan pejabat publik asing atau pegawai negeri internasional.
Demikian juga, setiap Negara Pihak harus mempertimbangkan untuk
menetapkan sebagai tindak pidana bentuk-bentuk korupsi lainnya.
3. Setiap Negara Pihak harus juga mengambil langkah-langkah yang
mungkin diperlukan untuk menetapkan sebagai suatu tindak pidana yang
dilakukan sebagai kaki tangan dalam kejahatan yang ditetapkan sesuai
dengan pasal ini.
4. Untuk keperluan ayat 1 artikel ini dan pasal 9 Konvensi ini, "pejabat
publik" berarti pejabat publik atau orang yang memberikan layanan
publik sebagaimana didefinisikan dalam hukum domestik dan
sebagaimana yang diterapkan dalam hukum pidana dari Negara Pihak di
mana orang tersebut melakukan fungsi itu.
Kerja sama antarnegara yang efektif dan pembentukan suatu kerangka hukum
merupakan hal yang sangat penting dalam menanggulangi tindak pidana
transnasional yang terorganisasi. Dengan demikian, Indonesia dapat lebih mudah
memperoleh akses dan kerja sama internasional dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana transnasional yang terorganisasi. Dalam ketentuan
Pasal 9 United Nations Convention Against Transnational Organized Crime
ditentukan mengenai “Measures against corruption” yakni sebagai berikut:
1. In addition to the measures set forth in article 8 of this Convention, each
State Party shall, to the extent appropriate and consistent with its legal
system, adopt legislative, administrative or other effective measures to
84
promote integrity and to prevent, detect and punish the corruption of
public officials.
2. Each State Party shall take measures to ensure effective action by its
authorities in the prevention, detection and punishment of the corruption
of public officials, including providing such authorities with adequate
independence to deter the exertion of inappropriate influence on their
actions.
Terjemahan bebas
1. Selain langkah-langkah yang ditetapkan dalam pasal 8 Konvensi ini, setiap
Negara Pihak wajib, sejauh yang layak dan konsisten dengan sistem
hukumnya, mengadopsi tindakan legislatif, administratif atau tindakan
efektif lainnya untuk meningkatkan integritas dan untuk mencegah,
mendeteksi dan menghukum. korupsi pejabat publik.
2. Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan
tindakan yang efektif oleh otoritasnya dalam pencegahan, deteksi dan
hukuman terhadap korupsi pejabat publik, termasuk memberikan otoritas
yang cukup independen untuk mencegah pengerahan pengaruh yang tidak
pantas pada tindakan mereka.
Komitmen-komitmen yang telah disepakati Indonesia dalam berbagai
perjanjian internasional wajib diterapkan di Indonesia. Perjanjian internasional
tersebut diharmonisasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, baik
dalam tataran Undang-undang hingga peraturan teknis yuridis yang tersebar pada
berbagai bidang-bidang pemerintahan sebagai suatu kebijakan publik.
Pengaturan mengenai pemberantasan korupsi di Indonesia diatur dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Kedua undang-undang tersebut sampai saat ini masih menjadi payung
hukum dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia. Dalam
undang-undang itu sendiri sudah disebutkan bahwa korupsi di Indonesia terjadi
secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara,
tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas,
maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa, maka sudah
menjadi konsekuensi logis negara untuk memberikan perlindungan terhadap orang-
orang yang mampu mengungkap kejahatan yang merugikan hajat hidup orang
banyak ini.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan tindak
85
pidana korupsi. Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi dalam Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dilihat pada
ketentuan pasal-pasal yang memuat rumusan delik tindak pidana korupsi. Adapun
bentuk-bentuk tindak pidana korupsi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
3. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
4. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 387 atau Pasal 388 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
5. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 415 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
6. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 416 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
7. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 417 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
8. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 418 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
9. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal 435 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana.
10. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri
dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan
atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat
pada jabatan atau kedudukan tersebut.
11. Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan
Pasal 14.
12. Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan
bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadi` tindak pidana
korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana
86
korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai
dengan Pasal 14.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi mengatur mengenai Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak
Pidana Korupsi yakni sebagai berikut:
1. Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau
menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa
ataupun para saksi dalam perkara korupsi.
2. Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35,
atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi
keterangan yang tidak benar.
3. Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau
Pasal 430 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
4. Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31.
Perlindungan hukum terhadap whistleblower secara implisif telah diatur
dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan sebagai berikut:
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan
secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam
perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Perbuatan pelaku yang melakukan kekerasan dan/ atau ancaman kekerasan
terhadap whistleblower dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dengan sengaja
mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap saksi.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka pelaku dapat dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun
dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Dalam perkembangannya, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diamandemen dengan Undang-undang
87
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sejak Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan,
terdapat berbagai interpretasi atau penafsiran yang berkembang di masyarakat
khususnya mengenai penerapan Undang-undang tersebut terhadap tindak pidana
korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan.
Hal ini disebabkan Pasal 44 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dinyatakan tidak berlaku sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan,
sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan hukum untuk memproses
tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999.
Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman penafsiran, dan
perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan
atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah dalam Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:
1. Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga
rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal
angka 1 Undang-undang ini.
2. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan
Pasal 12 rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur
yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undang- undang Hukum
Pidana yang diacu.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, maka bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang dirumuskan baru adalah
sebagai berikut:
1. Setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
88
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
2. Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian
atau janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf
b.
3. Setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili; atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat
untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
4. Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau
janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b.
5. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau
penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang
atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
6. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan
bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang.
7. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan
negara dalam keadaan perang; atau
8. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
dengan sengaja membiarkan perbuatan curang.
9. Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang
menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan
atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan
curang.
10. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang
89
disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga
tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam
melakukan perbuatan tersebut.
11. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus
untuk pemeriksaan administrasi.
12. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja:
13. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan
atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena
jabatannya; atau
14. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
15. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
16. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau
janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
17. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
18. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat
atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
19. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
20. Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima
hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau
janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
90
diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili;
21. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau
dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan
sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau
untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
22. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan
tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-
olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum
tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut
bukan merupakan utang;
23. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan
tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-
olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut
bukan merupakan utang;
24. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan
tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai,
seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan
orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
25. Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak
langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau
persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian
ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
Terkait dengan peran masyarakat (whistleblower) dalam mengungkap tindak
pidana korupsi, maka dalam undang-undang telah mengatur mengenai penghargaan
tersebut. Pasal 42 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi mengatur mengenai penghargaan bagi orang-orang yang
mengungkap tindak pidana korupsi. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan sebagai
berikut:
(1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang
telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau
pengungkapan tindak pidana korupsi.
(2) Ketentuan mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
91
Ketentuan mengenai penghargaan bagi orang-orang yang berjasa dalam
mengungkap tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 42
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi di satu sisi menunjukkan atensi pemerintah terhadap pengungkap kasus
korupsi, namun di sisi lain menjadi boomerang bagi whistleblower. Identitas
whistleblower yang selama ini disembunyikan justru akan terbuka lebar. Bukan
hanya orang-orang dalam lingkungan kerja saja yang mengetahui identitas
whistleblower tersebut, melainkan juga semua masyarakat yang membaca berita
pada media massa. Kondisi ini tentu sangat membahayakan keselamatan
whistleblower. Apalagi kasus korupsi dipastikan menyeret nama sejumlah orang-
orang yang berkuasa. Tindakan balas dendam dapat terjadi dan menimpa
whistleblower dan keluarganya. Dengan demikian perlindungan terhadap
whistleblower harus dibuat secara komprehensif untuk menghindari norma-norma
bermasalah yang justru akan mengacaukan penegakan hukum dan pengungkapan
kasus korupsi.
Ketentuan mengenai peran serta masyarakat dalam penanggulangan tindak
pidana korupsi sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 42 Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan Pemerintah
tersebut, pada tahun 2018 diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian
Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dalam Pasal 41 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) menegaskan bahwa tata cara
pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Peran serta masyarakat tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan hak dan tanggung
jawab masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang bersih dari tindak pidana
korupsi. Di samping itu, dengan peran serta tersebut masyarakat akan lebih
bergairah untuk melaksanakan kontrol sosial terhadap tindak pidana korupsi.
Peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi diwujudkan dalam bentuk antara lain mencari, memperoleh,
memberikan data atau informasi tentang tindak pidana korupsi dan hak
menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 41 ayat (5) dan Pasal 42
92
ayat (2) menegaskan bahwa tata cara pelaksanaan peran serta Masyarakat dan
pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Tata cara pelaksanaan peran serta
Masyarakat tersebut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000
tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan
dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Seiring dengan perkembangan hukum, kebutuhan hukum Masyarakat, dan
perubahan Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun
2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian
Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
telah memberikan pedoman kepada Masyarakat untuk turut serta dalam melakukan
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi bersama dengan Penegak
Hukum juga perlu dilakukan penggantian.
Penggantian terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tersebut
dilakukan agar peran serta Masyarakat dalam melakukan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi dapat diimplementasikan dengan baik serta
tidak semata-mata hanya untuk mengharapkan sebuah penghargaan dari negara.
Peran serta Masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi karena tindak pidana korupsi tidak hanya
merugikan keuangan negara tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi
Masyarakat secara luas.
Peran serta dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat
dilakukan dengan cara mencari, memperoleh, dan memberikan informasi terkait
adanya dugaan tindak pidana korupsi yang disertai dengan rasa tanggung jawab
untuk mengemukakan fakta atau kejadian yang sebenarnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dimaksudkan agar Masyarakat dapat
memperoleh pelindungan hukum dalam menggunakan haknya untuk memperoleh
dan menyampaikan informasi serta memberikan saran dan pendapat tentang adanya
dugaan tindak pidana korupsi. Selain itu, Masyarakat juga berhak memberikan saran
dan pendapat kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi
agar pemberantasan tindak pidana korupsi dapat berjalan dengan maksimal.
Dalam rangka mengoptimalkan peran serta Masyarakat dalam pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi, Penegak Hukum diwajibkan untuk
memberikan jawaban atau keterangan sesuai dengan kewenangannya sepanjang
93
jawaban atau keterangan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Peran serta Masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi tersebut perlu terus dijaga, dibina, dan dipupuk supaya dapat terus
menumbuhkan budaya anti korupsi. Sebagai bentuk apresiasi Pemerintah terhadap
Masyarakat yang berjasa dalam pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan
tindak pidana korupsi diberikan penghargaan berupa piagam dan/atau premi.
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan:
Pasal 2
(1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
(2) Peran serta Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan
dalam bentuk:
1. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;
2. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan
memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana
korupsi kepada Penegak Hukum yang menangani perkara tindak
pidana korupsi;
3. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab
kepada Penegak Hukum yang menangani perkara tindak pidana
korupsi;
4. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan
yang diberikan kepada Penegak Hukum; dan
5. hak untuk memperoleh pelindungan hukum.
(3) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, norma agama, dan norma
sosial.
Perlindungan hukum bagi whistleblower dalam memberikan informasi
mengenai dugaan tindak pidana korupsi diatur pada Pasal 12 Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan
Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Pasal 12 menyatakan sebagai berikut:
(1) Hak untuk memperoleh pelindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf e diberikan oleh Penegak Hukum kepada
Masyarakat dalam hal:
94
a. melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) huruf a, huruf b, dan huruf c; dan
b. diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan sebagai Pelapor, saksi, atau ahli.
(2) Pelindungan hukum diberikan kepada Pelapor yang laporannya mengandung
kebenaran.
(3) Pelindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam memberikan pelindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Penegak Hukum dapat bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban.
Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur mengenai
pemberian penghargaan terhadap orang yang membantu upaya pencegahan,
pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi. Pasal 13 menyatakan
sebagai berikut:
(1) Masyarakat yang berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau
pengungkapan tindak pidana korupsi diberikan penghargaan.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
a. Masyarakat yang secara aktif, konsisten, dan berkelanjutan bergerak
di bidang pencegahan tindak pidana korupsi; atau
b. Pelapor.
(3) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam bentuk:
a. piagam; dan/atau
b. premi.
Pasal 14 Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur mengenai penghargaan dalam
upaya pencegahan tindak pidana korupsi diberikan kepada Masyarakat yang secara
aktif, konsisten, dan berkelanjutan bergerak di bidang pencegahan tindak pidana
korupsi. Penghargaan diberikan dalam bentuk piagam. Untuk memberikan
penghargaan, Penegak Hukum melakukan penilaian berdasarkan laporan kegiatan
pencegahan tindak pidana korupsi yang telah dilakukan. Penilaian dilakukan secara
berkala.
Pasal 15 Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan
95
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan penghargaan dalam upaya
pemberantasan atau pengungkapan tindak pidana korupsi diberikan kepada Pelapor.
Penghargaan dapat diberikan dalam bentuk piagam; dan/atau premi. Untuk
memberikan penghargaan, Penegak Hukum melakukan penilaian terhadap tingkat
kebenaran laporan yang disampaikan oleh Pelapor dalam upaya pemberantasan atau
pengungkapan tindak pidana korupsi. Penilaian dilakukan dalam waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak salinan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap diterima oleh Jaksa. Penilaian dikoordinasikan
oleh Jaksa. Selanjutnya dalam Pasal 16 dinyatakan bahwa dalam memberikan
penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Penegak Hukum
mempertimbangkan paling sedikit peran aktif Pelapor dalam mengungkap tindak
pidana korupsi; kualitas data laporan atau alat bukti; dan risiko faktual bagi Pelapor.
Besaran penghargaan yang diberikan oleh pemerintah kepada whistleblower
diperhitungkan menurut ketentuan dalam Pasal 17 Pemerintah Nomor 43 Tahun
2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian
Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
menyatakan sebagai berikut:
(1) Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 disepakati
untuk memberikan penghargaan berupa premi, besaran premi diberikan
sebesar 2%0 (dua permil) dari jumlah kerugian keuangan negara yang
dapat dikembalikan kepada negara.
(2) Besaran premi yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(3) Dalam hal tindak pidana korupsi berupa suap, besaran premi diberikan
sebesar 2%0 (dua permil) dari nilai uang suap dan/atau uang dari hasil
lelang barang rampasan.
(4) Besaran premi yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling
banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Ketentuan mengenai pemberian penghargaan disatu sisi memberikan
perlindungan bagi whistleblower namun disisi lain justru akan membahayakan
whistleblower.
Dasar pertimbangan yuridis yang juga menjadi pedoman dalam mengatur
perlindungan bagi whistleblower dalam tindak pidana korupsi adalah Undang-
undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dalam dasar menimbang undang-
undang tersebut dinyatakan sebagai berikut:
a. bahwa Penyelenggara Negara mempunyai peranan yang sangat menentukan
dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai cita-cita perjuangan bangsa
96
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam
Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang mampu menjalankan
fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, perlu
diletakkan asas-asas penyelenggaraan negara;
c. bahwa praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak hanya dilakukan antar-
Penyelenggara Negara melainkan juga antara Penyelenggara Negara dan pihak
lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara serta membahayakan eksistensi negara, sehingga diperlukan
landasan hukum untuk pencegahannya;
Penyelenggara Negara mempunyai peran penting dalam mewujudkan cita-cita
perjuangan bangsa. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Penjelasan Undang-
Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa yang sangat penting dalam
pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat para Penyelenggara
Negara dan Pemimpin pemerintahan. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara
yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang
fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Menurut Pasal 2 Undang-
undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Penyelenggara Negara meliputi:
1) Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2) Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3) Menteri;
4) Gubernur;
5) Hakim;
6) Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku; dan
7) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Dalam Penjelasan Pasal 2 angka 7 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, yang dimaksud dengan "pejabat lain yang memiliki fungsi strategis"
adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan
negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi:
1. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik
Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;
97
2. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan
Nasional;
3. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
4. Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil,
militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
5. Jaksa;
6. Penyidik;
7. Panitera Pengadilan; dan
8. Pemimpin dan bendaharawan proyek.
Keberadaan whistleblower dalam membantu penegak hukum untuk
mengungkap tindak pidana korupsi merupakan bentuk peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme. Pasal 8 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menyatakan:
(1) Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan
tanggung jawab masyarakat untuk ikut mewujudkan Penyelenggara
Negara yang bersih.
(2) Hubungan antar Penyelenggara Negara dan masyarakat dilaksanakan
dengan berpegang teguh pada asas-asas umum penyelenggaraan negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk melaporkan adanya
dugaan korupsi yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, setiap orang yang
mengetahui adanya dugaan kasus korupsi dapat menjadi whistleblower. Dalam Pasal
9 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme selanjutnya mengatur
mengenai peran serta masyarakat, yakni sebagai berikut:
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diwujudkan
dalam bentuk:
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang
penyelenggaraan negara;
b. hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari
Penyelenggara Negara;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab
terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan
d. hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
1. melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b,
dan c;
98
2. diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di
sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku dan dengan
menaati norma agama dan norma sosial lainnya.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Whistleblower adalah “orang dalam” yang melapor mengenai dugaan tindak
pidana korupsi yang terjadi di lingkungan kerjanya. Dengan sendirinya maka
whistleblower adalah pelapor, yang dalam perkembangan kasusnya dapat menjadi
saksi. Pengaturan mengenai perlindungan saksi diatur dalam undang-undang khusus
yakni Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Perubahan mengenai perlindungan saksi dan korban sebagaimana yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak dapat
dilepaskan dari adanya kebutuhan akan jaminan perlindungan terhadap saksi dan
korban memiliki peranan penting dalam proses peradilan pidana sehingga dengan
keterangan saksi dan korban yang diberikan secara bebas dari rasa takut dan
ancaman dapat mengungkap suatu tindak pidana.
Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang bersifat transnasional yang
terorganisir. Artinya kejahatan ini dapat dilakukan lintas batas negara, dimana
perencanaan kegiatan hingga dilaksanakannya tindak pidana dapat dilakukan di
negara yang berbeda-beda. Aset hasil korupsi juga dapat ditempatkan di negara lain
agar tidak mudah terungkap. Untuk meningkatkan upaya pengungkapan secara
menyeluruh suatu tindak pidana, khususnya tindak pidana transnasional yang
terorganisasi, perlu juga diberikan perlindungan terhadap saksi pelaku, pelapor, dan
ahli.
Dalam pengungkapan dugaan tindak pidana korupsi, whistleblower berstatus
sebagai pelapor. Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban merumuskan ”Pelapor adalah orang yang memberikan laporan,
informasi, atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang
akan, sedang, atau telah terjadi.” Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
99
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban mengakui pentingnya kontribusi dari whistleblower dalam mengungkap
tindak pidana korupsi. Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 31 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dinyatakan sebagai berikut:
Selain Saksi dan Korban, ada pihak lain yang juga memiliki kontribusi besar
untuk mengungkap tindak pidana tertentu, yaitu Saksi Pelaku (justice
collaborator), Pelapor (whistle-blower), dan ahli, termasuk pula orang yang
dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana
meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami
sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana,
sehingga terhadap mereka perlu diberikan Perlindungan. Tindak pidana tertentu
tersebut di atas yakni tindak pidana pelanggaraan hak asasi manusia yang berat,
tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme,
tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana
psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain yang
mengakibatkan posisi Saksi dan/atau Korban dihadapkan pada situasi yang
sangat membahayakan jiwanya.
Sebagai pelapor, maka whistleblower berhak untuk mendapatkan
perlindungan. Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban dirumuskan pengertian perlindungan. Menurut Pasal 1 angka 8
“Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk
memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh
LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.”
Perlindungan terhadap saksi diatur dalam ketentuan dalam Undang-undang
Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 5 ayat (1), (2), dan (3)
menentukan hak-hak saksi dan korban yang juga berlaku bagi pelapor. Adapun hak-
hak tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Saksi dan Korban berhak:
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian
yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan
dan dukungan keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat penerjemah;
100
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
g. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
h. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
i. dirahasiakan identitasnya;
j. mendapat identitas baru;
k. mendapat tempat kediaman sementara;
l. mendapat tempat kediaman baru;
m. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
n. mendapat nasihat hukum;
o. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
Perlindungan berakhir; dan/atau
p. mendapat pendampingan.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau
Korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan LPSK.
(3) Selain kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada Saksi
Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan
keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak
ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang
keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.”
Perlindungan khusus kepada whistleblower dapat dilihat pada Pasal 10
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam ketentuan
tersebut dinyatakan sebagai berikut:
(1) Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara
hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang
akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan
tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.
(2) Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku,
dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau
telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang
ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan
memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Dalam Pasal 28 ayat (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban dinyatakan:
101
Perlindungan LPSK terhadap Pelapor dan ahli diberikan dengan syarat sebagai
berikut:
a. sifat pentingnya keterangan Pelapor dan ahli; dan
b. tingkat Ancaman yang membahayakan Pelapor dan ahli.
Istilah whistleblower tidak dapat dipisahkan dengan Peraturan Bersama
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik
Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan
Korupsi Republik Indonesia Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Republik Indonesia, Nomor : M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor : PER-
045/A/JA/12/2011, Nomor : 1 Tahun 2011, Nomor: KEPB-02/01-55/12/2011,
Nomor: 4 Tahun 2011 Tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi
Pelaku yang Bekerjasama (selanjutnya disebut Peraturan Bersama). Peraturan
Bersama tersebut secara tegas menyebutkan istilah saksi pelapor.
Pasal 1 angka 5 Peraturan Bersama menyatakan bahwa Perlindungan adalah
segala upaya pemenuhan hak, dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman
dan penghargaan kepada Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama
yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Keterpaduan sistem peradilan pidana dalam perlindungan
saksi pelapor dapat dilihat pada ketentuan pada Pasal 2 Peraturan Bersama yang
menyatakan sebagai berikut:
(1) Peraturan Bersama ini dimaksudkan untuk:
a. menyamakan pandangan dan persepsi serta memperlancar pelaksanaan
tugas aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana serius
dan/atau terorganisir; dan
b. memberikan pedoman bagi para penegak hukum dalam melakukan
koordinasi dan kerjasama di bidang pemberian perlindungan bagi
Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama dalam
perkara pidana
(2) Peraturan Bersama ini bertujuan untuk:
a. mewujudkan kerjasama dan sinergitas antar aparat penegak hukum
dalam menangani tindak pidana serius dan terorganisir melalui upaya
mendapatkan informasi dari masyarakat yang bersedia menjadi
Pelapor, Saksi Pelapor dan/atau Saksi Pelaku yang Bekerjasama dalam
perkara tindak pidana;
b. menciptakan rasa aman baik dari tekanan fisik maupun psikis dan
pemberian penghargaan bagi warga masyarakat yang mengetahui
tentang terjadinya atau akan terjadinya suatu tindak pidana serius
102
dan/atau terorganisir untuk melaporkan atau memberikan keterangan
kepada aparat penegak hukum; dan
c. membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana
serius dan/atau terorganisir dan membantu dalam pengembalian aset
hasil tindak pidana secara efektif.
Dalam pengaturan mengenai whistleblower secara umum, Mahkamah agung
mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang
Bekerja Sama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu
(SEMA No 4 Tahun 2011). Dalam angka 8 ditegaskan beberapa pedoman untuk
menentukan kriteria whistleblower yakni sebagai berikut:
a) Yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak
pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini dan bukan
merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya;
b) Apabila pelapor tindak pidana dilaporkan pula oleh terlapor maka penanganan
perkara atas laporan yang disampaikan oleh pelapor tindak pidana
didahulukan dibanding laporan dari terlapor.
Quentin Dempster menyebut Whistleblower sebagai orang yang
mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal korupsi.125
Pengungkapan fakta tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi tentu bukan hal
yang mudah. Tindakan tersebut sangat beresiko mengingat koruptor adalah orang-
orang yang berpengaruh. Perlindungan bagi whistleblower di satu sisi telah
memberikan hak-hak bagi whistleblower, namun di sisi lain tetap memberikan
peluang bagi pihak yang dilaporkan untuk melaporkan whistleblower. Ketentuan ini
memberikan peluang bagi terlapor untuk menjebak atau mencari-cari kesalahan
whistleblower dengan tujuan untuk mengintimidasi dan melakukan balas dendam
terhadap whistleblower.
Dalam peraturan yang bersifat teknis, Kementerian Keuangan Republik
Indonesia telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.09/2010
Tentang Tata Cara Pengelolaan dan Tindak Lanjut Pelaporan Pelanggaran
(Whistleblowing) di Lingkungan Kementerian Keuangan. Lewat beleid itu diatur
siapapun pejabat atau pegawai lingkungan Kementerian Keuangan yang melihat atau
mengetahui adanya Pelanggaran, wajib melaporkannya kepada Unit Kepatuhan
Internal atau Unit Tertentu dan/atau Inspektorat Jenderal. Beleid itu juga
memungkinkan masyarakat yang melihat atau mengetahui adanya Pelanggaran
dan/atau merasa tidak puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh pejabat/pegawai
125
Ibid. h. 7.
103
di Lingkungan Kementerian Keuangan, dapat melaporkannya kepada Unit
Kepatuhan Internal atau Unit Tertentu dan/atau Inspektorat Jenderal.
Undang-undang tentang pemberantasan korupsi melalui perlindungan bagi
whistleblower dipandang penting dan merupakan ketentuan hukum pidana. Suatu
undang-undang dikatakan sebagai ketentuan hukum pidana dalam arti yang
sesungguhnya apabila undang-undang itu mempunyai sifat yang otonom dalam arti
murni dalam perundang-undangan pidana itu sendiri baik dalam perumusan
perbuatan yang dilarang, pertanggungjawaban pidana, maupun penggunaan sanksi
pidana yang diperlukan.126
Perlindungan terhadap whistleblower akan meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana korupsi.
Munculnya aturan pidana khusus tidak lepas dari kebutuhan akan penegakan
hukum terhadap tindak pidana korupsi yang dinilai sulit untuk diberantas. Hal ini
pun diakui oleh kriminolog J. Robert Lily, Fracis T. Cullen dan Richard A. Ball
yang menyatakan “Kejahatan merupakan fenomena yang kompleks, dan upaya
menjelaskannya dari berbagai segi merupakan upaya yang cukup sulit sekaligus
menantang.”127
Dalam teori perlindungan hukum, perlindungan bagi whistleblower
bukan hanya melindungi hak asasi dari whistleblower, namun juga hak asasi bagi
masyarakat, terutama yang berkaitan dengan hak ekonomi dan pembangunan.
2.2.2. Dasar Sosiologis
Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan
keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai suatu
proses perubahan yang direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat.
Efektifitas dan keberhasilan pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor,
yaitu sumber daya manusia dan pembiayaan.128
Proses pembangunan dapat
menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga
mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial
negatif, terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan
masyarakat. Salah satu tindak pidana yang dapat dikatakan cukup fenomenal adalah
masalah korupsi.129
Masalah korupsi di Indonesia telah ada sejak tahun 1950-an.
Bahkan berbagai kalangan menilai bahwa korupsi telah menjadi bagian dari
126
Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, 2015, Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Pengembangan dan Penerapan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 57. 127
J. Robert Lily, Fracis T. Cullen dan Richard A. Ball, 2015, Teori Kriminologi
Konteks dan Konsekuensi, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, h. 1. 128
Muzadi, 2004, Menuju Indonesia Baru, Strategi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Bayumedia Publishing, Malang, h. 22 129
Evi Hartanti, op.cit., h. 1.
104
kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelengaraan pemerintahan
negara.130
Pendekatan sosiologis terhadap perlindungan bagi whistleblower dalam
penanggulangan tindak pidana korupsi tidak hanya berbicara dalam ranah
masyarakat di suatu negara saja, melainkan juga masyarakat internasional.
Perlindungan terhadap whistleblower merupakan gerakan nyata untuk
menanggulangi tindak pidana korupsi. Komitmen pemberantasan tindak pidana
korupsi dilakukan oleh negara-negara The Group of Twenty (G-20) Finance
Ministers and Central Bank Governors (selanjutnya disebut dengan G-20) dimana
Indonesia menjadi salah satu negara yang menjadi anggotanya. Dalam
melaksanakan komitmen global tersebut, kelompok negara ini mengeluarkan “G20
Anti-Corruption Action Plan Protection of Whistleblowers” yang bertajuk “Study on
Whistleblower Protection Frameworks, Compendium of Best Practices and Guiding
Principles for Legislation”. Dalam pembahasan mengenai Whistleblower Protection
and the Fight against Corruption dinyatakan:
Whistleblower Protection is an essential to encourage the reporting the
misconduct, fraud and corruption. The risk of corruption is significantly
heightened in environments where the reporting of wrongdoing is not supported
or protected. This applies to both public and private sector environments,
especially in cases of bribery: Protecting public sector whistleblowers
facilitates the reporting of passive bribery, as well as the misuse of public
funds, waste, fraud and other forms of corruption. Protecting private sector
whistleblowers facilitates the reporting of active bribery and other corrupt acts
committed by companies.131
Perlindungan Whistleblower sangat penting untuk mendorong pelaporan
pelanggaran, penipuan, dan korupsi. Risiko korupsi meningkat secara signifikan
di lingkungan di mana pelaporan pelanggaran tidak didukung atau dilindungi.
Ini berlaku untuk lingkungan sektor publik dan swasta, khususnya dalam kasus
suap: Melindungi pelapor sektor publik memfasilitasi pelaporan suap pasif,
serta penyalahgunaan dana publik, pemborosan, penipuan dan bentuk-bentuk
korupsi lainnya. Melindungi whistleblower sektor swasta memfasilitasi
130
Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar dan Syarif Fadhillah, 2008, Strategi
Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, PT Refika Aditama, Bandung,
h. 1 131
G20 Anti-Corruption Action Plan, Protection Of Whistleblowers Study On
Whistleblower Protection Frameworks, Compendium Of Best Practices And Guiding
Principles For LegislaTION, https://www.oecd.org/g20/topics/anti-corruption/48972967.pdf
105
pelaporan suap aktif dan tindakan korup lainnya yang dilakukan oleh
perusahaan.
Upaya pengaturan mengenai perlindungan whistleblower dalam tindak pidana
korupsi merupakan perlindungan yang dilakukan untuk kepentingan-kepentingan
sosial. Kepentingan-kepentingan sosial tersebut menurut Bassiouni ialah:
a. Pemeliharaan tertib masyarakat;
b. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-
bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;
c. Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;
d. Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar
tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan
individu.132
Semakin terjaminnya perlindungan terhadap whistleblower, maka semakin
besar pula pengungkapan kasus korupsi dan keuangan negara yang diselamatkan.
Ditinjau dari segi kualitas dan kuantitas pengungkapan kasus korupsi cenderung
meningkat. Kasus korupsi yang paling sering terjadi adalah pada proyek
pembangunan infrastruktur yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa.
Modusnya dilakukan dengan berbagai macam tindakan seperti pengaturan lelang,
kecurangan pada penilaian tes kemampuan dasar, kerjasama antara peserta lelang
untuk menentukan pemenangnya, serta pemberian hadiah kepada panitia lelang.
Kasus korupsi juga terjadi pada penggunaan dana bantuan desa. Pada kasus ini,
umumnya pemerintah desa tidak dapat mempertanggungjawabkan penggunaan
anggaran. Dana bantuan desa juga dipandang sebagai milik warga desa sehingga
masyarakat desa meminjam dana desa tersebut, akibatnya penggunaan anggaran
tidak sesuai dengan peruntukannya. Selain itu, kasus korupsi yang sering disidik
juga meliputi gratifikasi dan hibah.
Tindak pidana korupsi memiliki dampak sosial dan dampak ekonomi yang
sangat besar. Mengenai hal ini Gunnar Myrdal mengemukakan macam-macam atau
jenis-jenis perbuatan korupsi yakni sebagai berikut:
a. Korupsi memantapkan dan memperbesar masalah-masalah yang
menyangkut kurangnya hasrat untuk terjun di bidang usaha dan
mengenai kurang tumbuhnya pasaran nasional;
b. Korupsi mempertajam permasalahan masyarakat plural sedang
bersamaan dengan itu kesatuan negara bertambah lemah. Juga karena
132
Barda Nawawi Arief,, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana
Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.
33.
106
turunnya martabat pemerintah, tedensi-tedensi itu membahayakan
stabilitas politik;
c. Korupsi mengakibatkan turunnya disiplin sosial. Uang suap itu tidak
hanya dapat memperlancar prosedur administrasi, tetapi biasanya juga
berakibat adanya kesengajaan untuk memperlambat proses administrasi
d. agar dengan demikian dapat menerima uang suap. Disamping itu,
pelaksanaan rencana-rencana pembangunan yang sudah diputuskan,
dipersulit atau diperlambat karena alasan-alasan yang sama.133
Sebagai lazimnya sebuah kejahatan yang menimbulkan korban, korupsi juga
merupakan kejahatan yang menimbulkan korban. Korban adalah mereka yang
menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari
pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan
kepentingan hak asasi yang menderita. Crime Dictionary sebagaimana yang dikutip
oleh Soeharto mengemukakan bahwa victim is a person who has injured mental or
physical suffering, loss of property or death resulting from an actual or attempted
criminal offense commited by another.134
Korban adalah seseorang yang telah
mengalami penderitaan mental dan fisik, kehilangan harta benda atau kematian yang
disebabkan oleh kejahatan atau percobaan kejahatan yang dilakukan oleh orang lain.
Dilihat dari kondisi dan keadaan korban, von Hentig mengemukakan ada enam
kategori korban yaitu:
1 The depressed, who are weak and submissive;
2 The acquisitive, who succumb to confidence games and racketeers;
3 The wanton, who seek escapimin forbidden vices;
4 The lonesome and heartbroken, who are susceptible to theft and fraud;
5 The tormentors, who provoke violence, and;
6 The blocked and fighting, who are unable to take normal defensive measure. 135
1 Orang yang depresi, yang lemah dan patuh;
2 Orang yang ingin tahu, yang menyerah pada permainan dan pemeras
percaya diri;
3 Orang yang nakal, yang mencari pelarian diri yang dilarang;
133
Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional
dan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, h. 21-22. 134
Soeharto, 2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindak
Pidana Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung, h. 78. 135
Rena Yulia, 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Kejahatan. Graha Ilmu, Yogyakarta, h. 52-53.
107
4 Orang yang kesepian dan patah hati, yang rentan terhadap pencurian dan
penipuan;
5 Para penyiksa, yang memancing kekerasan, dan;
6 Pemblokiran dan perkelahian, yang tidak bisa mengambil tindakan
pertahanan yang normal
Dilihat dari lingkup korban, pengertian korban tidak hanya sebatas pada
korban individu saja. Abdussalam menguraikan beberapa lingkup korban yakni:
a. Korban perseorangan adalah setiap orang sebagai individu mendapat
penderitaan baik jiwa, fisik, materiil, maupun non materiil.
b. Korban institusi adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian
dalam menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan
akibat dari kebijakan pemerintah, kebijakan swasta maupun bencana alam.
c. Korban lingkungan hidup adalah setiap lingkungan alam yang didalamnya
berisikan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan masyarakat
serta semua jasad hidup yang tumbuh berkembang dan kelestariannya sangat
tergantung pada lingkungan alam tersebut yang telah mengalami gundul,
longsong, banjir dan kebakaran yang ditimbulkan oleh kebijakan
pemerintahyang salah dan perbuatan manusia baik individu maupun
masyarakat yang tidak bertanggung jawab.
d. Korban masyarakat, bangsa dan negara adalah masyarakat yang
diperlakukan diskriminatif, tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil
pembangunan serta hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak
budaya tidak lebih baik setiap tahun.136
Tindak pidana korupsi merupakan suatu perbuatan curang yaitu dengan
menyelewengkan atau menggelapkan keuangan negara yang dimaksudkan untuk
memperkaya diri seseorang yang dapat merugikan negara. Umumnya, tindak pidana
korupsi dilakukan secara rahasia, melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan
secara timbal balik. Kewajiban dan keuntungan tersebut tidak selalu berupa uang.137
Korupsi adalah white collar crime atau kejahatan kerah putih. Menurut IS Susanto,
“white-collar crime dapat dikelompokkan ke dalam kejahatan-kejahatan yang
dilakukan oleh kalangan profesi dalam melakukan pekerjaannya.”138
Pegawai swasta
maupun pegawai negeri termasuk kelompok profesional karena kedua kelompok
pegawai tersebut memenuhi karakteristik profesional, yang dikemukakan oleh
Levine, sebagaimana dikutip oleh Muladi, yaitu:
136
Abdussalam, 2010, Viktimologi, PTIK, Jakarta, h. 6-7. 137
Aziz Syamsuuddin, 2001, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, h.15 138
Susanto, 1995, Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang, h. 83.
108
1. Keterampilan berdasarkan pengetahuan teoritis. (Skill based on theoretical
knowledge).
2. Pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan (required educational and
training)
3. Pengujian kompetensi (via ujian, dll) (testing of competence (via exam,
etc.))
4. Organisasi (menjadi asosiasi profesional) (organization (into a professional
association)).
5. Ketaatan terhadap kode etik, dan (adherence to a code of conduct, and)
6. Layanan altruistik (altruistic service).139
Korupsi bukan diakibatkan dari gaji pegawai yang rendah. Korupsi
merupakan masalah moral. Moral yang terdegradasi tersebut akan menjadi budaya
korupsi. Di Indonesia, dewasa ini terdapat kecenderungan budaya malu yang
semakin luntur (khususnya bagi mereka yang merasa dirinya terhormat). Terbukti
tidak sedikit pejabat negara tanpa merasa riskan bahkan dengan bangganya acapkali
mempertontonkan harta kekakayaannya yang sesungguhnya patut dipertanyakan
sumbernya.140
Kenyataannya, korupsi dilakukan oleh orang-orang yang sebenarnya
sudah berpenghasilan tinggi dengan standar kehidupan ekonomi yang tinggi pula.
Secara filosofi nilai-nilai agama, moral dan falsafah dasar negara seyogyanya
begitu dihormati dan dijunjung tinggi walaupun kehidupan manusia berada pada
kompleksitas di era globalisasi. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Antony
Allot bahwa “Taken globally, a moral system is a set of precepts for right living.”
(Terjemahan bebas: Secara global, sistem moral adalah seperangkat aturan untuk
hidup yang benar). Kehidupan sosial budaya Bangsa Indonesia menjadi perhatian
penting dalam menghadapi globalisasi. Dalam menanggulangi tindak pidana korupsi
maka harus berstandar pada norma moral.
Kesadaran moral berdasarkan pada nilai-nilai yang fundamental dan sangat
mendalam. Dengan demikian maka tingkah laku yang baik berdasar pada otoritas
kesadaran pribadi dan bukan atas pengaruh dari luar diri manusia.141
Moral atau
kesusilaan adalah nilai sebenarnya bagi manusia, satu-satunya nilai yang betul-betul
dapat disebut nilai bagi manusia. Dengan kata lain, moral atau kesusilaan adalah
139
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, h. 84. 140
H. Heri Tahir, 2010, Proses Hukum yang Adil dalam sistem Peradilan Pidana di
Indonesia, Laksbang, Yogyakarta, h. 164. 141
Abdul Ghofur Anshori, 2009, Filfasat Hukum, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, h. 73.
109
kesempurnaan manusia sebagai manusia atau kesusilaan adalah tuntutan kodrat
manusia. Moral atau kesusilaan adalah perkembangan manusia yang sebenarnya.142
Siktus Harson, menuliskan hasil pengamatan penggiat pemerintahan di
Indonesia dan menghasilkan suatu analisis mengenai keterhubungan antara korupsi
dengan kegiatan politik. Biaya politik yang tinggi untuk mendapatkan izin untuk
mencalonkan diri dari parpol hingga biaya untuk memperoleh massa menyebabkan
calon terpilih menyelewengkan anggaran negara untuk membiayai kegiatan
politiknya. Dalam analisis tersebut dinyatakan sebagai berikut:
Observers say officials mainly become involved in corruption to cover
campaign costs, since most political parties do not provide them with funds for
this purpose. One cannot deny that in order to be a candidate, a person must
spend a huge amount of money. In many cases, prospective candidates have to
make secret deals with business people in order to get funding for campaigns.
As payback for their victory, they will grant them projects, regardless of the
rules and regulations.Just a week ago, during the launch of a crowd-funding
program for Great Indonesia Movement (Gerindra) Party chairman and
presidential candidate, Prabowo Subiyanto, he admitted that the high-cost of
campaigning often meant public officials are held hostage by investors who
support them.As a result, more and more are involved in corruption.The
Association for Elections and Democracy (Perludem), says expensive mahar, or
“dowry” payments for candidacy, campaign funds, political consultation fees,
and vote buying are the main drivers of such high political costs.It’s no secret
that at each election, there is talk of candidates giving out money or gifts to win
votes. Some cases even occur early on Election Day which are known as
‘attacks at dawn” on unprotected polling stations.
Para pengamat mengatakan para pejabat terutama terlibat dalam korupsi untuk
menutupi biaya kampanye, karena sebagian besar partai politik tidak
menyediakan dana bagi mereka untuk tujuan ini. Seseorang tidak dapat
menyangkal bahwa untuk menjadi kandidat, seseorang harus menghabiskan
sejumlah besar uang. Dalam banyak kasus, calon kandidat harus membuat
kesepakatan rahasia dengan orang-orang bisnis untuk mendapatkan dana untuk
kampanye. Sebagai balasan atas kemenangan mereka, mereka akan memberi
mereka proyek, terlepas dari aturan dan peraturannya. Hanya seminggu yang
lalu, selama peluncuran program dana kerumunan untuk Ketua Gerakan
Indonesia Raya (Gerindra) dan calon presiden, Prabowo Subiyanto, dia
mengakui bahwa biaya tinggi kampanye sering berarti pejabat publik disandera
142
Ibid. h. 25.
110
oleh investor yang mendukung mereka. Akibatnya, semakin banyak yang
terlibat dalam korupsi. Asosiasi untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem),
mengatakan mahar mahal, atau "mahar ”Pembayaran untuk pencalonan, dana
kampanye, biaya konsultasi politik, dan pembelian suara adalah pendorong
utama dari biaya politik yang tinggi. Bukan rahasia bahwa pada setiap
pemilihan, ada pembicaraan tentang calon yang memberikan uang atau hadiah
untuk memenangkan suara. Beberapa kasus bahkan terjadi pada hari pemilihan
yang dikenal sebagai 'serangan saat fajar' di tempat pemungutan suara yang
tidak terlindungi.
Secara sosiologis, tindak pidana ini sangat merugikan negara dan masyarakat.
Korupsi menimbulkan kerugian bagi keuangan negara. Kerugian keuangan negara
akan berdampak sistemik terhadap pertumbuhan ekonomi di suatu negara.
Sebagai suatu negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan
menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, sistem pengelolaan
keuangan negara harus sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam Undang-
Undang Dasar. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab VIII Hal Keuangan, antara
lain disebutkan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan setiap
tahun dengan undang-undang, dan ketentuan mengenai pajak dan pungutan lain
yang bersifat memaksa untuk keperluan negara serta macam dan harga mata uang
ditetapkan dengan undang-undang. Hal-hal lain mengenai keuangan negara sesuai
dengan amanat Pasal 23C diatur dengan undang-undang.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara disebutkan “Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang
maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.” Ruang lingkup keuangan negara meliputi
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara menyebutkan:
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi:
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang,
dan melakukan pinjaman;
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
111
g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain
berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negara/perusahaan daerah;
h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah.
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara dinyatakan bahwa pendekatan yang digunakan dalam
merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan.
Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan
dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan,
serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh
obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain
yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara
mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek
sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan
keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara
meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan
pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Korupsi menunjukkan perilaku-perilaku para pejabat pada sektor publik,
baik politisi maupun pegawai negeri, yang bertujuan untuk memperkaya diri
mereka, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan pada mereka.
untuk meminta kembali asset yang diperoleh dari perbuatan memperkaya diri
sendiri. Pembuktian unsur memperkaya diri sendiri, orang lain dan/ atau korporasi
dalam tindak pidana korupsi dapat dilihat dari 3 aspek:
a. Dilihat dari peningkatan kekayaan perusahaan dan atau perorangan yang
diperoleh dari kerugian keuangan negara akibat pelanggaran hukum yang
seharusnya tidak diperoleh karena adanya keuntungan yang tidak layak, dari
keuntungan pembelian dan rekayasa administrasi proses pengadaan.
112
b. Dilihat dari peningkatan kekayaan perusahaan dan atau perorangan yang
diperoleh dari “peningkatan tidak wajar” dalam rekening perusahaan atau
perorangan yang terindikasi dugaan tindak pidana korupsi.
c. Dilihat dari peningkatan kekayaan perusahaan dan atau perorangan yang
diperoleh dari “peningkatan harta kekayaan atau asset” milik perusahaan atau
perorangan yang terindikasi dugaan tindak pidana korupsi.143
Apabila dijabarkan, tindak pidana korupsi mempunyai spesifikasi tertentu
yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti penyimpangan hukum acara
dan materi yang diatur yang dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya
kebocoran serta penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara.144
Kerugian akan keuangan negara akan menyebabkan masyarakat kehilangan hak
untuk menikmati hasil-hasil pembangunan, fasilitas umum, dan pelayanan publik
secara optimal.
Korupsi juga ditunjukkan dengan birokrasi yang korup yang menyebabkan
masyarakat mendapatkan pelayanan publik secara diskriminatif. Birokrasi tercermin
dari sistem pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat.
Rourke menyebutkan bahwa birokrasi adalah sistem administrasi dan pelaksanaan
tugas keseharian yang terstruktur dalam sistem hirarki yang jelas, dilakukan dengan
aturan tertulis (written procedures), dilakukan oleh bagian tertentu yang terpisah
dengan bagian lainnya, oleh orang-orang yang dipilih karena kemampuan dan
keahlian di bidangnya.145
Mohammad Ghalib mengemukakakn bahwa korupsi dapat ditinjau dari
beberapa aspek atau sudut pandang, yaitu:
a. Ditinjau dari sudut politik:
Korupsi merupakan faktor yang mengganggu dan mengurangi
kredibilitas pemerintah, terutama kalangan masyarakat terdidik dan
generasi muda.
b. Ditinjau dari sudut ekonomi:
Korupsi merupakan salah satu faktor ekonomi biaya tinggi,
menimbulkan kebocoran keuangan negara, yang sangat merugikan
negara dan masyarakat.
c. Ditinjau dari sudut kultural:
143
Hernold Ferry Makawimbang, 2014, Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak
Pidana Korupsi, Suatu Pendekatan Hukum Progresif, Thafa Media, Yogyakarta, h. 35. 144
Lilik Mulyadi, 2007, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi,
Alumni, Bandung, h. 3 145
Said, Mas’ud, 2007, Birokrasi di Negara Birokratis, UMM Press., Malang, h. 2.
113
Korupsi merusak moral dan karakter bangsa kita yang sebenarnya
mempunyai nilai luhur. Namun disadari korupsi pada hakikatnya
penyebabnya adalah masalah budaya. Berbicara masalah budaya tidak
terlepas dari masalah moral yaitu moral pelakunya yang merupakan
integritas pribadi yang bersangkutan.146
Tindak pidana korupsi adalah sebuah kejahatan. Kejahatan atau crime
menurut Larry J. Siegel adalah sebagai berikut:
a violation of societal rules of behavior as interpreted and expressed by the
criminal law, which reflects public opinion, traditional values, and the
viewpoint of people currently holding social and political power. Individuals
who violate these rules are subject to sanctions by state authority, social
stigma, and loss of status.147
(Terjemahan bebas)
Pelanggaran aturan sosial perilaku sebagaimana ditafsirkan dan diungkapkan
oleh hukum pidana, yang mencerminkan opini publik, nilai-nilai tradisional,
dan sudut pandang orang saat ini memegang kekuasaan sosial dan politik.
Individu yang melanggar aturan ini akan dikenakan sanksi oleh otoritas negara,
stigma sosial, dan hilangnya status).
Korupsi menunjukkan perilaku-perilaku para pejabat pada sektor publik,
baik politisi maupun pegawai negeri, yang bertujuan untuk memperkaya diri
mereka, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan pada
mereka.148
Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-
hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak
dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah
menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes).149
146 Muhammad Ghalib, 1999. Menyongsong Pembaharuan dan Pembentukan
Undang-undang Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Meteri Ceramah Jaksa
Agung R.I. pada Seminar Nasional tentang “Menyongsong Pembaharuan dan Pembentukan
Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme”. Tanggal 30 Januari 1999,
yang diselenggarakan BAPPENAS R.I. Kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto, h. 7-8. 147
Siegel, Larry J., 2011, Fourth Edition Criminology The Core, Wadsworth,
Belmont, h. 17. 148
H. Jawade Hafidz Arsyad, 2013, Korupsi dalam Perspektif HAN, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 5. 149
Ermansjah Djaja, 2010, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Sinar
Grafika, Jakarta, h. 26.
114
Dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi, baik dari sisi
kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam,
maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan
merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan kejahatan
yang sangat luar biasa (extra-ordinary crimes). Selanjutnya jika dikaji dari sisi
akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa
Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan
korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia.150
Tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang melanggar hak sosial dan hak ekonomi
masyarakat. Korupsi memberikan dampak yang besar bagi negara. Mengenai hal
tersebut Corruption Watch mengatakan sebagai berikut:
Corruption affects us all. It threatens sustainable economic development,
ethical values and justice; it destabilises our society and endangers the rule of
law. It undermines the institutions and values of our democracy. But because
public policies and public resources are largely beneficial to poor people, it is
they who suffer the harmful effects of corruption most grievously.
To be dependent on the government for housing, healthcare, education, security
and welfare, makes the poor most vulnerable to corruption since it stalls
service delivery. Delays in infrastructure development, poor building quality
and layers of additional costs are all consequences of corruption.151
Terjemahan bebas:
Korupsi mempengaruhi kita semua. Ini mengancam pembangunan ekonomi
berkelanjutan, nilai-nilai etika dan keadilan; hal itu merugikan masyarakat kita
dan membahayakan supremasi hukum. Ini melemahkan lembaga dan nilai-nilai
demokrasi kita. Tetapi karena kebijakan publik dan sumber daya publik
sebagian besar bermanfaat bagi orang miskin, hal itu yang menderita efek
menjadi sesuatu yang berbahaya dari korupsi serta yang paling menyedihkan.
Menjadi tergantung pada pemerintah untuk perumahan, kesehatan, pendidikan,
keamanan dan kesejahteraan, membuat masyarakat miskin yang paling rentan
terhadap korupsi karena warung pelayanan. Keterlambatan pembangunan
150
Romli Atmasasmita, 2002, Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi
Di Indonesia, Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan
HAM RI, Jakarta, h. 25. 151
Corruption Watch, What is Corruption; We are Affected,
http://www.corruptionwatch.org.za/learn-about-corruption/what-is-corruption/we-are-all-
affected/,
115
infrastruktur, kualitas bangunan yang buruk dan lapisan tambahan biaya semua
konsekuensi dari korupsi.
Korupsi mengancam teralisasinya pemerataan pembangunan. Pembangunan
merupakan perubahan terencana dan teratur yang antara lain mencakup aspek-aspek
politik, ekonomi, demografi, psikologi, hukum, intelektual maupun teknologi.”152
Penanggulangan terhadap korupsi dilakukan dengan melibatkan banyak aspek.
Mengenai hal ini Coruptie org, mengatakan sebagai berikut:
Fighting corruption takes place in many ‘theaters’:
a. political reforms, including the financing of political parties and elections;
b. economic reforms, regulating markets and the financial sector;
c. financial controls: budget, bookkeeping, reporting;
d. Public supervision: media, parliament, local administrators and councils,
registration;
e. free access to information and data;
f. maintaining law and order;
g. improving and strengthening of the judicial system;
h. institutional reforms: Tax systems, customs, public administration in
general;
i. whistleblowers and civil society organisations (NGO’s). 153
Terjemahan bebas:
Memerangi korupsi terjadi di banyak 'teater':
a. reformasi politik, termasuk pembiayaan partai politik dan pemilihan
umum;
b. reformasi ekonomi, mengatur pasar dan sektor keuangan;
c. kontrol keuangan: anggaran, pembukuan, pelaporan;
d. Pengawasan publik: media, parlemen, administrator dan dewan lokal,
pendaftaran;
e. akses gratis ke informasi dan data;
f. memelihara hukum dan ketertiban;
g. meningkatkan dan memperkuat sistem peradilan;
h. reformasi kelembagaan: Sistem perpajakan, bea cukai, administrasi publik
secara umum;
i. whistleblower dan organisasi masyarakat sipil (LSM).
152
Soerjono Soekanto, 1986, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum,
Alumni, Bandung, h. 11. 153
Coruptie org, What is corruption?, http://www.corruptie.org/en/corruption/what-
is-corruption/
116
Menurut Supriyadi Widodo Eddyono terkait dengan sifat dasar dari kasus-
kasus tindak pidana korupsi, maka kasus tersebut lebih sulit untuk dibuktikan
daripada kasus tindak pidana kriminal lainnya. terdapat beberapa pertimbangan
halangan yang sering ditemukan,
1. Sulit mengetahui siapa pelaku utama kejahatannya
2. Dalam kebanyakan kasus, mereka yang mengetahui mengenai kejahatan
seperti ini juga terkait didalamnya, dan mendapatkan keuntungan dari
kejahatan itu sehingga sangat tidak mungkin melaporkannya kepada aparat
yang berwenang
3. Kebanyakan pelaku kejahatan menggunakan hubungan antara beberapa
pelaku kunci dan sifat dasar dari hubungan seperti ini hanya dapat
dibuktikan melalui pertolongan pelaku yang terlibat dalam hubungan yang
dimaksud
4. Dalam kebanyakan kasus, sangat sulit atau bahkan tidak ada “tempat
kejadian perkara” yang pasti atau minim bukti forensik untuk menolong
mengidentifikasi pelaku
5. Bukti fisik dari kejahatan besar, seperti dokumen transaksi dan aset yang
dibeli dengan hasil korupsi, dapat disembunyikan, dihancurkan, dialihkan
atau dipercayakan kepada orang lain
6. Dalam banyak kasus, pelaku merupakan orang yang berkuasa, yang dapat
menggunakan pengaruh mereka untuk mencampuri penyidikan,
mengintimidasi para saksi atau menghalangi saksi bekerjasama dengan
aparat penegak hukum
7. Seringkali para penegak hukum baru mengetahui mengenai tindak kejahatan
ini lama setelah terjadi, sehingga jejak yang ada sudah kabur, bukti-bukti
susah untuk dilacak dan para saksi telah dibayar atau memiliki kesempatan
untuk membuat alibi-alibi palsu.154
Praktik korupsi yang terjadi di Indonesia tidak semuanya terungkap, yang
terungkap hanyalah bagian kecil saja. Padahal pembudayaan korupsi terjadi di dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat. Keterbatasan kemampuan hukum pidana menurut
Barda Nawawi Arief, disebabkan hal-hal berikut:
a. Sebab-sebab terjadinya kejahatan (khususnya korupsi) sangat kompleks dan
berada di luar jangkauan hukum pidana.
b. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dari sarana
kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai
154
Supriyadi Widodo Eddyono, 2008, Tantangan Perlindungan Justice
Collaborator. dalam UU No. 13 Tahun 2006, Koalisi Perlindungan Saksi dan korban,
Jakarta, h.11
117
masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai
masalah sosiopsikologis, sosiopolitik, sosioekonomi, sosiokultural, dan
sebagainya).
c. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya
merupakan “kurieren am symptom” (penanggulangan/pengobatan gejala),
oleh karena itu, hukum pidana hanya merupakan “pengobatan simptomatik”
dan bukan “pengobatan kausatif”.
d. Sanksi hukum pidana hanya merupakan “remedium” yang mengandung sifat
kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan
yang negatif.
e. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal, tidak
bersifat struktural/fungsional.
f. Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang
bersifat kaku dan imperative.
g. Bekerjanya/berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung
yang lebih bervariasi dan lebih menuntut “biaya tinggi”.155
Korupsi tidak mungkin sepenuhnya dihilangkan karena manusia pada
dasarnya menyandang naluri corruption di samping sifat hanif (tidak lepas dari
berbuat dosa). Karena itu, hal yang terpenting adalah bagaimana mencegah potensi
korupsi tidak menjadi aktual dan bagaimana menciutkan ruang gerak korupsi secara
sistemik. Tetapi untuk menemukan terapi yang tepat diperlukan diagnosis yang
benar.156
Ketika dihadapkan dengan kesempatan untuk memperoleh uang dalam
jumlah yang besar, diperlukan pengendalian diri yang kuat dari dalam hati.
Sekalipun memiliki pengendalian diri yang kuat, seseorang mungkin saja
mengambil uang tersebut atas perintah pimpinan. Hal-hal tersebutlah yang
menyebabkan penanggulangan korupsi perlu dilakukan secara bertahap dengan
berbagai pendekatan.
Berbicara mengenai penanggulangan kejahatan adalah berbicara mengenai
upaya komprehensif baik dengan menggunakan hukum pidana maupun pendekatan
non hukum. Dalam penggunaan hukum pidana, maka sudah tentu koruptor harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Orang yang melakukan perbuatan
pidana akan dipertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia
mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan pebuatan dilihat dari
155
Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 87-88. 156
Adnan Buyung Nasution, dkk, 1999, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di
Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta, h. iii.
118
segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang
dilakukan.157
Pemidanaan terhadap pelaku didasarkan pada ketentuan dalam undang-
undang tentang pemeberantasan tindak pidana korupsi.
Hukum pidana terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan
dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang–undang) telah dikaitkan
dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat
khusus dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa hukum pidana itu
merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-
tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu di
mana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan
bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.158
Mengacu kepada hal tersebut, maka penyelesaian kasus korupsi harus dilakukan
secara litigasi di pengadilan tindak pidana korupsi.
Dalam upaya penanggulangan korupsi, maka saran non penal menjadi pilihan
utama dibandingkan dengan sarana penal tadi. Sarana non-penal berfungsi sebagai
upaya preventif yakni upaya yang dilakukan sebelum terjadinya tindak pidana
korupsi dengan cara menangani faktor-faktor pendorong terjadinya korupsi, yang
dapat di laksanakan dalam beberapa cara:
a. Cara Moralistik
Cara moralistik dapat dilakukan secara umum melalui pembinaan
mental dan moral manusia, khotbah-khotbah, ceramah dan penyuluhan di
bidang keagamaan, etika dan hukum.
b. Cara Abolisionik
Cara ini muncul dari asumsi bahwa korupsi adalah suatu kejahatan
yang harus diberantas dengan terlebih dahulu menggali sebab-sebabnya dan
kemudian diserahkan kepada usaha-usaha untuk menghilangkan sebab-
sebab tersebut.159
Cara moralistik dilakukan dengan menggugah niat masayarakat untuk
berpartisipasi sebagai whistleblower. Perlindungan yang diberikan kepada
whistleblower dengan sendirinya akan mengurangi dampak-dampak dari korupsi.
Dalam kehidupan sosial kemasyarakat, whistleblower tak ubahnya seperti seorang
bussines intelligence. Seorang bussines intellegence adalah orang yang menjual
157
Andi Hamzah, 2001, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia
Indonesia, Jakarta, h. 22. 158
Lamintang P.A F., 2014, Dasar – Dasar Hukum Pidana di Indonesia. Sinar
Grafika, Jakarta, h. 2. 159
Lilik Mulyadi, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoretis,
Praktik dan Masalahnya, Alumni, Bandung, h. 41
119
informasi untuk kepentingan dan keuntungan pribadi semata, jadi, disini, motivasi
pembocor adalah motivasi kriminal berupa pencurian rahasia dagang. Sementara itu
seorang business intelligence di wilayah kegiatan bisnis yang tidak sah memiliki
motivasi altruistis (motivasi yang patut dihormati) karena maksud dan tujuan si
pembocor rahasia didorong oleh tujuan mulia untuk memproteksi masyarakat dari
kejahatan pengguna kimia yang merugikan masyarakat.160
Motivasi seorang untuk menjadi whistleblower juga seperti business
intelligence. Ada yang memang benar-benar memiliki tujuan mulia untuk
menyelamatkan anggaran negara dari “perampokan” yang dilakukan pejabat
berwenang, ada yang menang melaporkan kecurangan tersebut karena terdorong hati
nurani. namun ada pula yang melaporkan hal tersebut semata-mata ingin membalas
dendam. Namun, apapun motivasi dari seorang whistleblower, whistleblower tetap
menjadi orang yang berjasa dalam penegakan hukum dan bagi masyarakat luas. Atas
dasar itulah maka whistleblower harus mendapatkan perlindungan yang optimal.
Whistleblower mempunyai peran yang sangat penting dalam mengungkap
terjadinya kejahatan. Perannya ini dapat dilihat dari bantuan dan informasi yang dia
berikan, yang akan membantu aparat penegak hukum bukan saja untuk
menanggulangi kejahatan ketika hal itu terjadi, tapi jauh sebelum itu yaitu
mengidentifikasi kemungkinan terjadinya kejahatan. Whistleblower merupakan
sarana pembuktian yang ampuh untuk mengungkap dan membongkar kejahatan
yang terorganisir, baik yang berupa scandal crime maupun serious crime dalam
tindak pidana.161
Fakta-fakta yang disampaikan oleh whistleblower dapat
mengungkap kebenaran yang sebenar-benarnya.
Whistleblower adalah peniup peluit, disebut demikian karena seperti wasit
dalam pertandingan sepak bola atau olah raga lainnya yang meniupkan peluit
sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran, atau polisi lalu lintas yang
hendak menilang seseorang di jalan raya karena orang itu melanggar aturan, atau
seperti pengintai dalam peperangan zaman dahulu yang memberitahukan kedatangan
musuh dengan bersiul, berceloteh, membocorkan atau mengungkapkan fakta
kejahatan, kekerasan atau pelanggaran.162
Floriano C. Roa menyebutkan beberapa
jenis Whistleblower, yaitu:
a. Internal whistle blowing occurs within the organization. It is going “over
the head of immediate superviors to inform higher management of the
160
Firman Wijaya, op.cit., h 10 161
Firman Wijaya, op.cit. 17 162
Quentin Dempster, 2006, Whistleblower (Para Pengungkap Fakta), Elsam,
Jakarta, h. 1
120
wrongdoing”. (Terjemahan bebas: Peniup peluit internal dilakukan dalam
organisasi. Pelaporan tersebut disampaikan kepada atasan langsung yang
bertugas sebagai supervisor agar kesalahan tersebut dapat diinformasikan
kepada manajemen atasannya).
b. External whistle blowing occurs outside the organization. It is revealing
illegal and immoral activities within the organization to outside individuals
or groups, regulatory body or non government organizations. (Terjemahan
bebas: Peniup eksternal dilakukan di luar organisasi. Peniup peluit
membuka kegiatan ilegal atau kegiatan immoral dalam suatu organisasi
yang disampaikan kepada individu atau kelompok di luar organisasi
tersebut, badan pengawas di luar organisasi atau lembaga swadaya
masyarakat. 163
Keberadaan seorang whistleblower memang cukup sulit, di satu sisi dianggap
sebagai pahlawan karena menyelamatkan masyarakat dari ancaman korupsi, namun
di sisi lain dianggap sebagai pengkhianat karena membocorkan “rahasia” dan
membuka aib institusi. Floriano C. Roa menyebutkan bahwa, “A whistleblower is
someone in an organization who witnesses behavior by members that is either
contrary to the mission of the oranization, or threatening to the public interest, and
who decides to speak out publicly about it”. (Terjemahan bebas: Peniup peluit
adalah seseorang dalam suatu organisasi yang menyaksikan perilaku anggota
organisasi yang dapat bertentangan dengan tujuan organisasi atau perilakunya
merupakan ancaman terhadap kepentingan umum dan peniup peluit memutuskan
untuk menyampaikan hal-hal tersebut). 164
Tindakan yang dilakukan oleh seorang whistleblower dilakukan untuk
kepentingan umum, maka konsekuensi logis dari hal tersebut adalah negara
memberikan perlindungan hukum yang optimal kepada whistleblower. Negara
memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan tersebut.
2.2.3 Dasar Filosofis
Dalam perspektif ilmu hukum, keberlakuan suatu ketentuan hukum meliputi
keberlakuan secara filosofis, sosiologis dan yuridis. Pandangan tersebut kemudian
melahirkan konsepsi segitiga nilai kebijakan atau triangle concept of wisdom, yaitu
nilai kepedulian (care), nilai sikap kebijakan (tactful, share), serta nilai keadilan dan
163
Sholehuddin, 2010, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double
Track System & Implementasinya, Penerbit PT. RajaGrafisindo Persada, Jakarta, h. 132 164
Floriano C. Roa, 2007, Business Ethis and Social Responsibility, Philippine
Copyright, First Edition, Manila, h. 145
121
kepentingan umum (fair).165
Penyusunan suatu peraturan perundang-undangan harus
didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tertentu agar berlaku efektif. Perlunya
pengaturan mengenai perlindungan bagi whistleblower dalam tindak pidana korupsi
pada sistem hukum Indonesia juga memerlukan tiga dasar pertimbangan, baik dasar
pertimbangan filosofis, dasar pertimbangan yuridis, dan dasar pertimbangan
sosiologis.
Dasar pertimbangan filosofis akan melihat pada asas-asas, prinsip-prinsip dan
nilai-nilai. Asas hukum bukan merupakan peraturan, akan tetapi hukum tidak dapat
dipahami dengan baik tanpa asas-asas, karena asas hukum merupakan arah yang
datang dari putusan moral yang ditanamkan dalam hukum berupa pernyataan umum
yang tidak dapat diabaikan. Mengingat dengan adanya asas hukum menyebabkan
suatu peraturan perundang-undangan lebih berkualitas".166
Asas hukum karena di
dalamnya terkandung prinsip-prinsip antara lain:
1. Asas hukum merupakan pikiran-pikiran yang memberi arah, yang menjadi
dasar kepada tata hukum yang ada;
2. Asas hukum merupakan sesuatu yang ditaati oleh orang-orang, apabila
mereka ikut bekerja dalam mewujudkan undang-undang;
3. Asas hukum dipositifkan baik dalam perundang-undangan
maupun yurisprudensi;
4. Asas hukum tidak bersifat transedental atau melampaui alam kenyataan
yang dapat disaksikan oleh pancaindra;
5. Asas hukum berkedudukan relatif dan melandasi fungsi pengendalian
masyarakat, penyelenggaraan ketertiban dan penanggulangan kejahatan;
6. Asas hukum merupakan legitimasi dalam prosedur pembentukan, penemuan
dan pelaksanaan hukum;
7. Asas hukum berkedudukan lebih tinggi dari undang-undang dan pejabat-
pejabat penguasa, sehingga tidak merupakan keharusan untuk mengaturnya
dalam hukum positif.167
Paton memberikan pandangan mengenai fungsi dari asas hukum adalah "a
principle is the broad reasen which lies at the base of a rule of law, it has not
exhausted itself in giving birth to that particular rule but is fertile. Principle the
means by which the law lives, grows, and develops, demonstrate that law is not mere
165
Edmon Makarim, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, h. 508. 166
Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, Jakarta, h.
128. 167
Muladi, 1997, HakAsasi Manusia, Politih dan Sistem Peradilan Pidana,
Universitas Diponogoro, Semarang, h.144.
122
collection of rules" (Terjemahan secara bebas: suatu prinsip merupakan alasan yang
menjadi dasar dari aturan suatu hukum, hal ini tidak akan menyia-nyiakan dirinya
dengan melahirkan aturan tertentu yang tidak dapat berlaku. Suatu prinsip akan
berarti, bilamana ada hukum yang hidup, tumbuh, dan berkembang, yang dapat
menunjukkan bahwa hukum bukan semata hanya sekumpulan peraturan).168
Upaya pemerintah untuk melakukan penanggulangan terhadap tindak pidana
korupsi melalui perlindungan terhadap whistleblower dapat dikaitkan dengan asas-
asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Asas Umum
Penyelenggaraan Negara Yang Baik adalah asas yang menjunjung tinggi norma
kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan Penyelenggara Negara
yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam Pasal 3 Undang-
undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dinyatakan:
Asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi:
1. Asas Kepastian Hukum;
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
3. Asas Kepentingan Umum;
4. Asas Keterbukaan;
5. Asas Proporsionalitas;
6. Asas Profesionalitas; dan
7. Asas Akuntabilitas.
Dalam Penjelasan Pasal 3 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme diuraikan mengenai definisi dari masing-masing asas-asas hukum
tersebut yakni sebagai berikut:
Angka 1
Yang dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum” adalah asas dalam negara
hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan,
dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara
Angka 2
Yang dimaksud dengan “Asas Tertib Penyelenggaraan Negara” adalah asas yang
menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggaraan negara.
Angka 3
168
G.W. Paton, 1964, A Text-Book of Jurisprudence, Oxford Univ Press, London, h.
204.
123
Yang dimaksud dengan “Asas Kepentingan Umum” adalah yang mendahulukan
kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
Angka 4
Yang dimaksud dengan “Asas Keterbukaan” adalah asas yang membuka diri
terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan
tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
Angka 5
Yang dimaksud dengan “Asas Proporsionalitas” adalah asas yang mengutamakan
keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
Angka 6
Yang dimaksud dengan “Asas Profesionalitas” adalah asas yang mengutamakan
keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Angka 7
Yang dimaksud dengan “Asas Akuntabilitas” adalah asas yang menentukan
bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Penyelenggaraan negara yang tranparan dan bebas korupsi menjadi tuntutan
di negara demokrasi. Pembentukan birokrasi yang bersih bukan hanya menjadi
euforia di Indonesia, namun juga di negara lain. Terkait hal tersebut, The Institute of
Public Administration of Canada misalnya menyebutkan:
As professionals, public servants play a vital role in society. They are
committed to fair and transparent governance, to delivering high quality
services, to a stewardship of government funds that will maximize cost-
effectiveness and for accountability. Public servants are committed to the
improvement of the policy-making and service delivery abilities of the state.169
Sebagai profesional, pegawai negeri memainkan peran penting dalam
masyarakat. Mereka berkomitmen untuk pemerintahan yang adil dan transparan,
untuk memberikan layanan berkualitas tinggi, untuk kepengurusan dana
pemerintah yang akan memaksimalkan efektivitas biaya dan akuntabilitas.
Pegawai negeri berkomitmen untuk perbaikan pembuatan kebijakan dan layanan
kemampuan pengiriman negara. Komitmen tersebut dilegitimasi melalui aturan-
aturan yang terkait dengan aparatur sipil negara.
169
The Institute of Public Administration of Canada, A Public Servant's
Commitments, http://www.ipac.ca/publicsectorethics.
124
Penyelenggaraan keuangan negara menganut beberapa asas pula yang harus
ditaati. Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara disebutkan bahwa dalam rangka mendukung terwujudnya good
governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu
diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan
aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang- Undang Dasar. Sesuai dengan
amanat Pasal 23C Undang-Undang Dasar 1945, Undang- undang tentang Keuangan
Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-
Undang Dasar tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas - asas
yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan,
asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai
pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan
keuangan negara, antara lain :
• akuntabilitas berorientasi pada hasil;
• profesionalitas;
• proporsionalitas;
• keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara;
• pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya
prinsip-prinsip pemerintahan daerah sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Bab
VI Undang-Undang Dasar 1945. Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di
dalam Undang-undang tentang Keuangan Negara, pelaksanaan Undang-undang ini
selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus
dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi
daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perlindungan terhadap whistleblower dalam tindak pidana korupsi
merupakan derivasi dari asas keadilan yang menjadi asas utama dalam bidang
hukum. Adil dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding, yaitu yang
semestinya. Disini ditunjukkan bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila
orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. “Orang yang tidak
menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang didasarkan kepada
hukum dapat dianggap sebagai adil”.170
Perlindungan bagi whistleblower diharapkan
sebanding dengan kontribusi whistleblower dalam memberikan keterangan untuk
mengungkap kasus korupsi di Indonesia. Perlindungan hukum bagi whistleblower
merupakan pengayoman hak asasi manusia sebagaimana yang dikemukakan Satjipto
Rahardjo dalam teori perlindungan hukum.
170
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 156.
125
Mengenai keadilan, Rawls berpendapat perlu ada keseimbangan antara
kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari
keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan. Keadilan
merupakan “nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah
ada jaminan stabilitas hidup manusia”.171
Keseimbangan kepentingan pribadi dan
kepentingan bersama dalam hal ini adalah kepentingan pribadi dari whistleblower
yang sangat rentan terancam atas kesaksiannya untuk mengungkap tindak pidana
korupsi.
John Rawls (1921) dalam bukunya A Theory of Justice memandang keadilan
sebagai kejujuran (justice as fairness) yang mengandung asas bahwa “orang-orang
yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-
kepentingannya, kehendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat
akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk
memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki”.172
Rawls merumuskan dua prinsip
keadilan distributif sebagai berikut:
1. The greatest equal principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang
sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama
bagi semua orang. Ini merupakan hal yang paling mendasar (hak asasi)
yang harus dimiliki semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya
jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan
terwujud.
2. Ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga
perlu diperhatikan asas atau prinsip berikut:
a. The different principle; dan
b. The principle of fair equality of opportunity. Prinsip ini diharapkan
memberikan keuntungan terbesar bagi orang-orang yang kurang
beruntung, serta memberikan penegasan bahwa dengan kondisi dan
kesempatan yang sama semua posisi dan jabatan harus terbuka bagi
semua orang. 173
Berbicara tentang korupsi sebenarnya bukanlah masalah baru di Indonesia.
Bahkan berbagai kalangan menilai bahwa korupsi telah menjadi bagian dari
kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan
pemerintahan negara. Penanggulangan korupsi dengan menggunakan perangkat
perundang-undangan yang ada masih banyak menemui kegagalan. Keadaan
171
Ibid. h. 161. 172
John Rawls, 2006, Teori Keadilan (A Theory of Justice), terjemahan Uzair
Fauzan dan Heru Prasetyo, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 3-7. 173
Ibid, h. 72
126
demikian akan menggoyahkan demokrasi sebagai sendi utama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, melumpuhkan nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum
serta semakin jauh dari tujuan tercapainya masyarakat sejahtera.
Secara filosofis, perlindungan terhadap whistleblower adalah perlindungan
terhadap hak asasi manusia sebagaimana teori perlindungan hukum yang
disampaikan oleh Satjipto Rahardjo. Menurut sejarahnya di Barat, konsep
pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia tersebut diarahkan pada
pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban pada masyarakat dan pemerintah.
Pengakuan hak asasi manusia dalam arti bahwa setiap individu dan negara wajib
mengakui, menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak sesama individu dan hak-
hak yang meletak pada setiap warga negara sedangkan perlindungan dalam arti
kewajiban untuk menjaga, menjamin dan mencegah adanya pelanggaran terhadap
hak asasi.174
Pengakuan hak asasi manusia diberikan oleh negara kepada warga
negaranya. Perlindungan ini dilakukan dengan menegaskan hak-hak dari
whistleblower dalam suatu peraturan perundang-undangan. Mengenai hak asasi
manusia ini, Jerome J. Shestack mengemukakan:
Istilah hak asasi manusia tidak ditemukan dalam agama-agama tradisional.
Namun demikian, ilmu tentang Ketuhanan (theology) menghadirkan landasan
bagi suatu teori hak asasi manusia yang berasal dari hukum yang lebih tinggi dari
pada negara dan yang sumbernya adalah Tuhan (Supreme Being). Tentunya, teori
ini mengabaikan adanya penerimaan dari doktrin yang dilahirkan sebagai sumber
dari hak asasi itu sendiri.175
Pengaruh pemikiran aliran klasik kriminologi menyatakan bahwa individu
memiliki hak asasi diantaranya hak untuk hidup dan kebebasan. Manusia memiliki
akalnya disertai kehendak bebas untuk menentukan pilihan, namun tidak lepas dari
faktor lingkungan.176
Hak asasi manusia secara garis besar dibagi menjadi dua teori
yakni sebagai berikut:
a) Teori universalis (universalist theory) hak asasi manusia
174
Yoyok Ucuk Suyono, 2013, Hukum Kepolisian; Kedudukan Polri dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945, Laksbang Grafika, Yogyakarta, h.
34. 175
Sujatmoko, Andrey, 2009, Sejarah, Teori, Prinsip dan KontroversI HAM,
Makalah pada Training Metode Pendekatan Pengajaran, Penelitian, Penulisan Disertasi
dan Pencarian Bahan Hukum HAM Bagi Dosen-Dosen Hukum HAM, Yogyakarta, 12 - 13
Maret 2009. 176
Atmasasmita, Romli, 2007, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika
Aditama, Bandung, h. 10-11.
127
Doktrin kontemporer hak asasi manusia merupakan salah satu dari
sejumlah perspektif moral universalis. Ketertiban alam ini harus menjadi dasar
dari seluruh sistem keadilan rasional. Kebutuhan atas suatu ketertiban alam
kemudian diturunkan dalam serangkaian kriteria universal yang komprehensif
untuk menguji legitimasi dari sistem hukum yang sebenarnya buatan manusia.
b) Teori relativisme budaya (cultural relativism theory)
Gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan
merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak dan kaidah moral. Oleh karena
itu hak asasi manusia dianggap perlu dipahami dari konteks kebudayaan
masing-masing negara. Semua kebudayaan mempunyai hak hidup serta
martabat yang sama yang harus dihormati. Berdasarkan dalil ini, para pembela
gagasan relativisme budaya menolak universalisasi hak asasi manusia, apalagi
bila ia didominasi oleh satu budaya tertentu.177
Perkembangan HAM sejak awal muncul pada abad 17 dan 18, pada awal
abad ini dianggap sebagai kemunculan Generasi HAM I, yakni HAM Sipil dan
Politik (Liberte), Generasi HAM II muncul pada abad 19, merupakan generasi kedua
menyangkut kelahiran perjuangan hak-hak sosial ekonomi dan budaya (egalite). Dan
HAM generasi ke III (ketiga) muncul perjuangannya diabad 20 (duapuluh), HAM
Generasi III merupakan usaha perjuangan penindasan kelompok berkuasa terhadap
kelompok minoritas, juga perjuangan hak atas perdamaian, pembangunan, hak atas
lingkungan hidup dimasa mendatang dan lain-lain.178
Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, dalam instrumen hukum
internasional telah ada sejak tahun 1948. Hak asasi manusia mulai mendapat
perhatian secara internasional yang ditandai dengan dideklarasikannya Piagam
Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak-Hak
Asasi Manusia 1948. Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia menjadi
komitmen negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Secara khusus, Indonesia
telah mengeluarkan undang-undang yakni Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan:
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
177
Smith, Rhona K.M. et.al., 2010, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak
Asasi Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Yogyakarta, h. 19-20. 178
Mereriem Budiardjo, 1990, Dasar – Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta,
h. 37
128
negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
Perlindungan terhadap hak asasi manusia pada dasarnya adalah
perlindungan terhadap martabat manusia. Leach Levin bahwa konsep HAM ada 2
(dua) konsepsi yakni :
1. Natural Right (Hak Alamiah atau Hak Moral) yakni HAM tidak bisa
dipisahkan dan dicabut. Karena merupakan hak manusia karena ia seorang
manusia, maka kewajiban oleh negara menjaga martabat setiap manusia
2. Hak menurut hukum, hak – hak individu menurut hukum dibentuk melalui
proses pembentukan oleh negara, maka hukum diciptakan untuk melindungi
hak-hak setiap orang179
Presiden Amerika Serikat, Teodore Rooselvet, dalam amanat tahunannya
tahun 1948 di muka Kongres AS mengemukakan ajakan membangun satu dunia
yang didasarkan atas 4 (empat) kebebasan dasar manusia yaitu :
1. Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat di seluruh dunia
2. Kebebasan setiap orang menyembah Tuhan menurut caranya masing-masing
3. Kebebasan dari ketakutan, yang mengandung arti bebas dari segala bentuk
ancaman kekerasan bagi perorangan maupun bagi suatu bangsa
4. Kebebasan dari kemiskinan yang berarti kewajiban negara untuk memberi
jawaban kepada semua orang untuk hidup dengan sejahtera180
Berpijak dari konsep HAM menurut Leach Levin, maka perlindungan
terhadap whistleblower merupakan hak menurut hukum, yakni hak yang harus diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat dikaitkan dengan kewajiban
konstitusional dimana pemerintah memiliki kewajiban untuk mewujudkan
perlindungan, pemenuhan serta penegakan hak asasi manusia, sebagaimana
dirumuskan dalam ketentuan Pasal 28 J ayat (4) Undang-Undang Dasar Negera
Republik Indonesia. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan "Perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara
terutama pemerintah ".
Terkait dengan empat kebebasan dasar manusia sebagaimana yang
disampaikan oleh Teodore Rooselvet, maka perlindungan terhadap whistleblower
adalah “kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat” dan “kebebasan dari
179
Nr. Nartono, 1987, Hak-Hak Asasi Manusia Tanya Jawab, Pradnya Paramita,
Jakarta, h. 3 180
Ibid
129
ketakutan, yang mengandung arti bebas dari segala bentuk ancaman kekerasan bagi
perorangan maupun bagi suatu bangsa.” Setiap orang memiliki kebebasan untuk
berbicara secara bertanggung jawab tanpa adanya ancaman kekerasan. Menurut
Galtung, ada enam dimensi penting dalam kekerasan yaitu:
b. Kekerasan fisik dan psikologi. Kekerasan bukan hanya melukai fisik
seseorang namun juga berdampak pada jiwa seseorang. Kebohongan,
indoktrinasi, ancaman dan tekanan adalah contoh kekerasan psikologi karena
dimaksudkan untuk mengurangi kemampuan mental dan otak.
c. Pengaruh positif dan negatif. Kekerasan terjadi tidak hanya bila ia dihukum
jika ia bersalah, namun juga dengan memberi imbalan ketika ia tidak
bersalah. Sistem imbalan sebenarnya mengandung pengendalian, tidak bebas,
kurang terbuka dan cenderung manipulatif, meskipun membawa kenikmatan.
Ia mau menekankan bahwa kesadaran untuk memahami kekerasan yang luas
itu penting.
d. Ada objek atau tidak. Objek yang disakiti umumnya adalah manusia secara
langsung.
e. Ada subjek atau tidak. Jika kekerasan memiliki subjek atau pelaku, maka ia
bersifat langsung atau personal, namun jika tidak ada pelakunya, maka
kekerasan tersebut tergolong pada kekerasan struktural atau tidak langsung.
f. Di sengaja atau tidak. Perbedaan ini penting ketika orang harus mengambil
keputusan mengenai kesalahan. Sering konsep tentang kesalahan ditangkap
sebagai suatu perilaku yang sengaja, kesalahan yang walau tidak disengaja
tetap merupakan suatu kekerasan, karena dilihat dari sudut korban kekerasan
tetap mereka rasakan baik disengaja maupun tidak.
g. Yang tampak dan yang tersebunyi. Kekerasan yang tampak adalah yang
nyata dirasakan oleh objek, baik secara personal maupun struktural.
Sedangkan kekerasan tersembunyi tidak kelihatan namun tetap bias dengan
mudah meledak. Kekerasan tersembunyi terjadi jika situasi menjadi begitu
tidak stabil sehingga tingkat realisasi aktual manusia dapat menurun dengan
begitu mudah. Situasi ini disebut sebagai keseimbangan yang goyah
(unstable equilibrium).181
Perkembangan konsepsi tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga mewarnai
perkembangan hukum baik dalam tataran internasional dan domestik, HAM dapat
dijadikan sebagai acuan bagi hukum pidana di masing-masing negara untuk
menerapkan konsepsi humanisasi dan civilisasi agar sesuai dengan prinsip-prinsip
181
Rena Yulia, 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, h. 6-7.
130
hukum yang berkaitan dengan perbuatan dan pertanggungjawaban pidana182
Perlindungan terhadap whistleblower menjadi hak yang melekat pada whistleblower
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
Pemerintah, dan setiap orang. Perlindungan tersebut menjadi hak krodrat
whistleblower sebagai ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Pengakuan dan penghargaan
terhadap hak asasi tersebut melahirkan gerakan perlindungan masyarakat. Adapun
gerakan perlindungan masyarakat tersebut yakni sebagai berikut:
b) Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat
mengenai hukum pidana. Dengan demikian hukum pidana harus merumuskan
perlindungan dalam rumusan pidananya.
c) Kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang
pengaturannya tidak dapat serta merta dipaksakan dalam peraturan perundang-
undangan.
d) Kebijakan pidana berpijak pada konsepsi pertanggungjawaban pidana yang
bersifat pribadi (individual reponsibility) sehingga menjadi kekuatan utama
bagi pelanggar dalam proses penyesuaian sosial. Pertanggungjawaban ini
menekankan pada kewajiban moral individu ke arah timbulnya moralitas
sosial.183
Dalam suatu negara hukum, semua aspek penyelenggaraan negara selalu
didasarkan atas hukum. Perlindungan terhadap whistleblower merupakan kebijakan
dalam penegakan hukum, khususnya bagi tindak pidana serius. Perlindungan
terhadap whistleblower juga didasarkan pada asas-asas negara hukum. Asas-asas
negara hukum merupakan asas hukum yang mengandung prinsip-prinsip yang
penting. Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum jika memenuhi unsur-
unsur dan asas-asas dasar sebagai berikut yakni:
2. Pengakuan, penghormatan dan perlindungan kepribadian manusia
(identitas) yang mengimplikasikan asas pengakuan dan perlindungan
martabat dan kebebasan manusia yang merupakan asas fundamental
negara hukum.
3. Asas kepastian hukum yang mengimplikasikan hal berikut ini:
4. Para warga masyarakat harus bebas dari tindakan pemerintah dan
pejabatnya yang tidak dapat diprediksi dari tindakan yang sewenang-
wenang.
182
Ali Zaidan M., Op Cit, h. 123 183
S.R. Sianturi dan Mompang L. Panggabean, 1996, Hukum Penetensia di
Indonesia, Alumni Ahaen-Petehaem, Jakarta, h. 20.
131
5. Pemerintah dan para pejabatnya harus terikat dan tunduk pada aturan
hukum positif. Semua tindakan pemerintah dan para pejabatnya harus
selalu bertumpu pada aturan hukum positif sebagai dasar hukumnya.
6. Asas persamaan (similia similibus). Pemerintah dan para penjabatnya
harus memberikan perlakuan yang sama kepada semua orang dan
Undang-undang juga berlaku sama untuk semua orang.
7. Asas demokrasi. Asas ini berkenaan dengan cara pengambilan putusan.
Tiap warga negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama
untuk mempengaruhi putusan dan tindakan pemerintah.
8. Asas pemerintah dan pejabatnya mengemban fungsi melayani rakyat.
Asas ini dijabarkan ke dalam seperangkat asas umum pemerintahan
yang layak (algemene beginselen van behoorlijk bestuur). Syarat-
syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang bermartabat
manusiawi harus terjamin dan dirumuskan dalam aturan perundang-
undangan.184
Dalam konsep negara hukum modern atau negara hukum sosial, negara
berkewajiban mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat baik kesejahteraan
sosial maupun ekonomi. Ciri negara berkesejahteraan atau negara hukum sosial
(sociale rechstaat) adalah negara berupaya mensejahterakan rakyatnya. Adapun ciri-
ciri tersebut akhirnya muncul dua konsekuensi yaitu:
a. Campur tangan pemerintah terhadap kehidupan rakyat sangat luas, hingga
mencakup hampir semua aspek kehidupan rakyat, dan
b. Dalam melaksanakan fungsinya pemerintahan menggunakan asas freis
ermessen atau diskresi.185
Pengaturan perlindungan terhadap whistleblower menunjukkan adanya
campur tangan pemerintah terhadap orang yang telah berjasa untuk membantu
aparat negara dalam melaksanakan penegakan hukum. Dalam konteks filosofis,
pengaturan ini tentu saja memberikan kepastian hukum baik bagi lembaga yang
ditunjuk untuk melaksanakan perlindungan hukum maupun terhadap whistleblower
sendiri yang telah memberikan keterangan mengenai dugaan kasus korupsi.
Pemberian keterangan tersebut tidak hanya didasarkan pada pengamatan sehari-hari
saja, melainkan bisa jadi atas inisiatif dari whistleblower yang telah melakukan
investigasi terhadap penyelewangan anggaran negara.
184
Benard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar
Maju, Bandung, 1999-2001. 185
Hatta, Moh., 2009, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum &
Pidana Khusus, Liberty, Yogyakarta, h. 13
132
Terkait dengan konsep negara hukum dalam memberikan perlindungan bagi
whistleblower, dapat ditinjau dari konsep negara hukum pada dua sistem hukum
terbesar di dunia yakni sistem hukum Eropa Konstinental dan sistem hukum Anglo
Saxon. Konsep rechtstaat yang bertumpu atas sistem hukum Eropa Continental
yang disebut civil law atau Modern Roman Law lahir dari perjuangan menentang
absolutisme sehingga bersifat revolusioner. Dalam konsep rule of law yang
bertumpu atas sistem hukum Anglo Saxon yang disebut common law berkembang
secara evolusioner.186
Konsep negara hukum rechtstaat adalah :
2) Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
3) Adanya jaminan terhadap hak warganegara;
4) Adanya pembagian kekuasaan negara;
5) Adanya pengawasan dari badan peradilan.187
Pada negara hukum yang dianut oleh tradisi hukum civil law, ciri-ciri negara
hukum dilekatkan pada pendapat dari F.J. Stahl. Stahl berusaha menyempurnakan
cita negara hukum rechtsstaat yang memiliki unsur-unsur pokok yaitu:
1) pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia;
2) pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip Trias Politica;
3) pemerintahan diselenggarakan berdasarkan Undang-undang (wetmatig
bestuur);
4) adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus
perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige
overheidsdaad).188
Negara hukum yang dianut oleh negara dengan tradisi hukum common law
atau Anglosaxon menyebut konsep tersebut dengan rule of law. The rule of law
mempunyai dua pengertian yaitu pengertian formil dan pengertian materiil
(ideologis). Dalam pengertian formil dimaksudkan kekuasaan publik yang
teorganisir. Hal itu berarti setiap sistem kaidah yang didasarkan pada hierarki
perintah merupakan rule of law. Pengertian formil dimaksud, dapat menjadi alat
yang paling efektif dan efisien untuk menjalankan pemerintahan yang tiranis. The
rule of law dalam arti materiil bertujuan untuk melindungi warga masyarakat
terhadap tindakan yang sewenang-wenang dari penguasa sehingga memungkinkan
186
Hadjon, Philipus M., 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina
Ilmu, Surabaya, h. 76. 187
Soemantri M., Sri. 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,
Bandung, h. 29 -30 188
Kranenburg, 1975, Ilmu Negara Umum, Terjemahan Sabaroedin, Pradnya
Paramita, Jakarta, h. 90.
133
manusia untuk mendapatkan martabatnya sebagai manusia. Oleh sebab itu inti dari
rule of law dalam arti materiil adalah adanya jaminan bagi warga masyarakat untuk
memperoleh keadilan sosial, yaitu keadaan yang dirasakan oleh warga masyarakat
penghargaan yang wajar dari golongan lain sedangkan setiap golongan tidak merasa
dirugikan oleh kegiatan golongan lainnya.189
Rule of Law memiliki beberapa konsekuensi yaitu: pertama, supremasi
absolute ada pada hukum, bukan pada tindakan kebijaksanaan atau prerogratif
penguasa; kedua, berlakunya prinsip persamaan dalam hukum (equality before the
law), dimana semua orang harus tunduk pada hukum, dan tidak seorang pun yang
berada diatas hukum (above the law); ketiga, konstitusi merupakan dasar dari segala
hukum bagi negara yang bersangkutan. Dalam arti ini, hukum yang berdasarkan
konstitusi harus melarang setiap pelanggaran terhadap hak dan kemerdekaan
rakyat.190
Negara hukum sebagai negara yang susunannya diatur dengan sebaik-baiknya
dalam Undang-undang sehingga segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya
didasarkan hukum.191
Oleh karena itu negara hukum itu ialah negara yang diperintah
bukan oleh orang-orang tetapi oleh Undang-undang (state the not governed by men,
but by laws), karena itu didalam negara hukum hak-hak rakyat dijamin sepenuhnya
oleh negara dan terhadap negara begitu pula sebaliknya kewajiban-kewajiban rakyat
harus dipenuhi seluruhnya dengan tunduk dan taat kepada segala peraturan
pemerintah dan Undang-undang negara.192
Mengenai negara hukum, Sudargo
Gautama mengemukakan sebagai berikut:
Negara hukum adalah suatu negara dimana perseorangan mempunyai hak
terhadap negara, dimana hak-hak asasi manusia diakui oleh undang-undang,
dan untuk merealisasikan perlindungan hak-hak ini kekuasaan negara dipisah-
pisahkan hingga badan penyelenggara negara, badan pembuat Undang-undang
dan badan peradilan berada pada pelbagai tangan, dan dengan susunan badan
peradilan yang bebas kedudukannya untuk dapat memberi perlindungan
semestinya kepada setiap orang yang merasa hak-haknya dirugikan, walaupun
andaikata hal ini terjadi oleh alat negara sendiri.193
189
Ali, H. Zainuddin, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 81. 190
Fuady, Munir, 2009, Teori Negara Hukum Modern (rechtstaat), Refika Aditama,
Bandung, h. 3 191
Fadjar, A. Mukthie, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang,
h. 6. 192
Ibid. 193
Gautama, Sudargo, 1973, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni,
Bandung, h. 21.
134
Sebagai implementasi dari peran serta masyarakat, maka tentunya
whistleblower tidak boleh dirugikan hak-haknya. Whistleblower adalah orang yang
berjasa besar dalam menggungkap tindak pidana korupsi. Ancaman terhadapnya
tentu merupakan bentuk ketidakadilan. Perlindungan bagi whistleblower bertujuan
untuk memberikan keadilan kepada orang yang telah berjasa tersebut. Menurut
pendapat Ahmad Ali, bahwa tujuan hukum dititikberatkan pada segi "keadilan".
Sehubungan dengan anasir keadilan menurut Gustav Radbruch (filosof Jerman)
mengkonsepsi salah satu tujuan hukum atau cita hukum adalah "keadilan”, di
samping kemanfaatan, dan kepastian.194
Perlindungan terhadap whistleblower
merupakan upaya untuk menegakkan keadilan, disamping kemanfaatan dan
kepastian hukum.
Hukum yang dibuat oleh penguasa harus memberikan manfaat bagi
masyarakat. Kemanfaatan hukum ini dibahas oleh Bentham. Bentham mengatakan
bahwa tujuan perundang-undangan adalah untuk menghasilkan kebahagiaan bagi
masyarakat. Untuk itu perundang-undangan harus berusaha mencapai empat tujuan
yaitu:
a. To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup).
b. To provide abundance (untuk memberikan makanan yang berlimpah).
c. To provide security (untuk memberikan perlindungan).
d. To attain equality (untuk mencapai kebersamaan).195
Perlindungan bagi whistleblower bukan hanya memberikan manfaat bagi
seorang whistleblower yang menjadi objek perlindungan langsung dari
pengaturannya nanti, namun mampu memberikan manfaat bagi masyarakat luas.
Rudolf von Jhering yang mengembangkan teori social utilitarianism menganggap
bahwa hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya. Dia
menganggap hukum sebagai sarana untuk mengendalikan individu-individu, agar
tujuannya sesuai dengan tujuan masyarakat dimana mereka menjadi warganya. Satu-
satunya hukum yang diterima sebagai hukum merupakan tata hukum, sebab hanya
hukum inilah yang dapat dipastikan kenyataannya.196
Perlindungan bagi
whistleblower akan membuka kasus-kasus korupsi besar di negeri ini. Semakin
banyak kasus korupsi yang dapat diungkap, maka semakin banyak pula kerugian
194
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosolis Sosiologis,
PT. Toko Gimung Agung Tbk, Jakarta, h. 72 195
Ali, Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, h. 76-78. 196
Huijber, Theo, 2006, Filsafat Hukum Dalam lintasan Sejarah Cetakan ke-15,
Kanisius, Yogyakarta, h. 128.
135
keuangan negara yang dapat terselamatkan. Akhirnya, masyarakat pula yang akan
semakin sejahtera.
Dalam filosofi tujuan hukum maka keadilan menjadi hal prioritas, namun
keadilan yang diberikan tersebut harus pula menjamin kepastian hukum.
Keseimbangan dan keserasian antara kepastian hukum dan keadilan diperlukan
beberapa persyaratan diantaranya:
1. Kaidah-kaidah hukum, serta penerapannya sebanyak mungkin mendekati
citra masyarakat.
2. Pelaksana penegak hukum dapat mengemban tugas sesuai tujuan dan
keinginan hukum.
3. Masyarakat dimana hukum itu berlaku, taat dan sadar akan pentingnya
hukum bagi keadilan dan kesejahteraan serta menghayati akan keinginan
hukum demi keadilan.197
Pengaturan mengenai perlindungan whistleblower dalam tindak pidana
korupsi diharapkan memberikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dalam
penanggulangan kejahatan tersebut.
Dikaitkan dalam konteks Indonesia, perlindungan bagi whistleblower
didasarkan pada pertimbangan filosofis dengan pendekatan Pancasila. Terminologi
Pancasila pertama kali ditulis dalam Kitab Negara Kerthagama karangan Empu
Prapanca. Istilah Pancasila menunjuk pada dua frasa yakni Panca yang berarti lima
dan sila yang berarti dasar. Pancasila secara singkat dapat dikatakan sebagai lima
dasar yakni Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan dalam
menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Perlindungan terhadap
whistleblower dalam tindak pidana korupsi sesuai dengan nilai kemanusiaan dan
nilai keadilan.
Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia yang wajib dipertahankan
bagi tegaknya NKRI. Destutt de Tracy menyebut ideologi sebagai science of idea,
sebagai suatu program yang diharapkan dapat membawa perubahan institusional
dalam masyarakat. Selanjutnya Leibniz menyebutkan bahwa ideologi merupakan
one great systen of truth yang merupakan kompilasi dari pelbagai cabang ilmu dan
segala kebenaran ilmiah.198
Pancasila merupakan suatu ilmu yang komprehensif
yang seharusnya dipahami oleh seluruh rakyat Indonesia. Penyelamatan terhadap
197
Soerdjono Dirdjosisworo, 2010, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan ke-14,
Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 18.
198 Endang Zaelani Sukaya, et.al., 2002, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma,
Yogyakarta, h. 86.
136
ideologi bangsa sangat urgen untuk dilakukan, sebab ideologi menjadi ciri mendasar
dari tegaknya suatu negara.
Pancasila memiliki beberapa fungsi fundamental dalam kerangka NKRI
yakni berfungsi sebagai dasar negara. Pancasila sebagai dasar negara mengandung
pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan
menyandang dua aspek yakni, aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosialitas
(bermasyarakat). Oleh karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi
orang lain. Ini berarti bahwa setiap orang mengemban kewajiban mengakui dan
menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku bagi setiap organisasi
pada tataran manapun, terutama negara dan pemerintah. Dengan demikian, negara
dan pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan
menjamin hak asasi manusia setiap warga negara dan penduduknya tanpa
diskriminasi.
Secara khusus Pancasila juga berfungsi sebagai .dasar filsafat Negara
Republik Indonesia (Philosofische Gronslag) yang tercantum dalam pembukaan
Undang-undang Dasar 1945 (UUD1945) alinea IV. Hal ini mengandung
konsekuensi bahwa dalam setiap aspek penyelenggaraan negara harus sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila. Hal ini meliputi segala perundang-undangan dalam negara,
pemerintahan dan aspek-aspek kenegaraan lainnya.199
Kata filsafat sebagai dasar
filsafat negara berasal dari bahasa Arab falsafah yang dalam bahasa Inggris dikenal
dengan philosophy, dan semuanya itu berasal dari bahasa Yunani Philosophia. Kata
Philosophia terdiri dari kata philein yang berarti cinta/ love; dan sophia yang berarti
kebijaksanaan/ wisdom. Dengan demikian fungsi Pancasila sebagai dasar filsafat
negara juga mengandung pengetahuan yang mengajarkan pada kebijaksanaan.
Pancasila juga berkedudukan sebagai staatfundamentalnorm (pokok
kaidah negara yang fundamental) mempunyai isi, arti yang abstrak umum universal.
Namun sebagai pedoman pelaksanaan Negara, maka Pancasila bersifat umum
kolektif artinya untuk kelompok Negara Indonesia.200
Pancasila disebut sebagai
staatfundamentalnorm, artinya sebagai norma dasar yang harus dijabarkan lebih
lanjut dalam pasal-pasal UUD 1945 beserta hukum positif Negara Indonesia lainnya
sehingga Pancasila disebut sebagai Staatsfundamentalnorm perlu dijabarkan dengan
menggunakan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky. Teori Hans kelsen yang
mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang
membentuk piramida hukum (stufentheorie) yang menempatkan Pancasila sebagai
norma dasar yang harus dijadikan pedoman bagi peraturan di bawahnya. Sesuai
199
Kaelan, 2002, Filsafat Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, h. 59. 200
Ibid., h. 109-112.
137
dengan kedudukan Pancasila sebagai norma dasar, maka perumusan perlindungan
terhadap whistleblower dalam tindak pidana korupsi harus didasarkan pada
Pancasila sebagai sumber hukum nasional.
Pancasila sebagai dasar negara memang berkonotasi yuridis dalam arti
melahirkan berbagai peraturan perundangan yang tersusun secara hierarkis dan
bersumber darinya; sedangkan Pancasila sebagai ideologi dapat dikonotasikan
sebagai program sosial politik tempat hukum menjadi salah satu alatnya dan
karenanya juga harus bersumber darinya.201
Dengan demikian, pengaturan
mengenai perlindungan bagi whistleblower dalam tindak pidana korupsi harus
bersumber pada nilai kemanusiaan dan keadilan dalam Pancasila.
201
A. Hamid S Attamimi dalam Mahfud MD , 2010, Membangun Politik Hukum,
Menegakkan Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta, h. 51.
138