bab ii fix - universitas muhammadiyah malangeprints.umm.ac.id/48781/3/bab ii.pdf · 2019. 8....

26
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Tentang Narapidana 2.1.1 Pengertian Narapidana Sebagaimana dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatann menyebutkan bahwa Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaann.. Sedangkan pengertian terpidana itu sendiri menurutt Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkann putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) narapidana mempunyai arti orang yang sedang menjalani hukuman karena telah melakukan suatu tindak pidana, 1 sedangkan menurut kamus induk istilah ilmiah menyatakan bahwa narapidana adalah orang hukuman atau orang buian. 2 Sebelum istilah narapidana digunakan, yang lazim dipakai adalah orang penjara atau orang hukuman. Dalam psal 4 ayat (1) Gestichtenreglemen (Reglemen Penjara) Stbl. 1917 No. 708 disebutkan bahwa orang terpenjara adalah : a. Orang hukuman yang menjalani hukuman penjara atau suatu sattus/keadaan dimana orang yang bersangkutan berada dalam keadaan tertangkap; b. Orang yang ditahan buat sementara; c. Orang di sel; 1 Kamus Besar Bahasa Indoneisa, Narapidana, https://kbbi.web.id., akses 19 Februari 2019 2 Dahlan, M.Y. Al-Barry, Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual, Target Press, Surabaya, 2003, hal. 53

Upload: others

Post on 09-Feb-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 14

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Tinjauan Umum Tentang Narapidana

    2.1.1 Pengertian Narapidana

    Sebagaimana dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun

    1995 tentang Pemasyarakatann menyebutkan bahwa Narapidana adalah

    terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaann.. Sedangkan pengertian

    terpidana itu sendiri menurutt Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995

    tentang Pemasyarakatan, terpidana adalah seseorang yang dipidana

    berdasarkann putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) narapidana mempunyai arti

    orang yang sedang menjalani hukuman karena telah melakukan suatu tindak

    pidana,1 sedangkan menurut kamus induk istilah ilmiah menyatakan bahwa

    narapidana adalah orang hukuman atau orang buian.2

    Sebelum istilah narapidana digunakan, yang lazim dipakai adalah orang

    penjara atau orang hukuman. Dalam psal 4 ayat (1) Gestichtenreglemen

    (Reglemen Penjara) Stbl. 1917 No. 708 disebutkan bahwa orang terpenjara

    adalah :

    a. Orang hukuman yang menjalani hukuman penjara atau suatu sattus/keadaan dimana orang yang bersangkutan berada dalam keadaan tertangkap;

    b. Orang yang ditahan buat sementara; c. Orang di sel;

    1 Kamus Besar Bahasa Indoneisa, Narapidana, https://kbbi.web.id., akses 19 Februari 2019 2 Dahlan, M.Y. Al-Barry, Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual, Target Press, Surabaya, 2003, hal. 53

  • 15

    d. Sekalian orang-orang yang tidak menjalani hukuman orang-orang hilang kemerdekaan.3

    2.1.2 Hak-Hak Narapidana

    Selain mempunyai kewajiban di dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan,

    narapidana juga mempunyai hak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hak

    mempunyai pengeritan tentang sesuatu hal yang benar, miliki, kepunyaan,

    kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu.4

    Hak-hak narapidana telah diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang

    Pemasyarakatan, yaitu :

    a. Melakukan ibadah sesuai dengan agamaa atau kepercayaan; b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohanii maupun jasmani; c. Mendapat pendidikan dan pengajaran; d. Mendapat pelayanan kesehatan dan makanann yang layak; e. Menyampaikan keluhan; f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran mediaa massa lainnya

    yang tidak dilarang; g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaann yang dilakukan; h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atauu orang tertentu

    lainnya; i. Mendapatkan pengurangann masa pidana (remisi); j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi

    keluarga; k. Mendapat pembebasan bersyarat; l. Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturann perundang-

    undangan yang berlaku; Pemerintah Indonesia yang menghormati dan mengikuti HAM, komitmen

    terhadap perlindungan dan pemenuhan HAM pada tahap pelaksanaan putusan.

    Wujud komitmen tersebut adalah intitusi Hakim Pengawas dan Pengamat

    3 Wahdanigsi, Implementasi Hak Narapidana Untuk Mendapatakan Pendiidkan dan Pengajaran Di Rumah Tahanan Negara Kelas IIIB Sinjai, Sksipsi/ Hasil Penelitian Terdahulu mahasiswi Univ. Hasanuddin, Makasar, 2015. 4 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hak, https://kbbi.web.id., akses 19 Februari 2019

  • 16

    (WASMAT) sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 277 sampai dengan

    pasal 283 KUHAP, serta diundangkannya Undang-Undang Pemasyrakatan

    Nomor 12 Tahun 1995 adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga

    binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem kelembagaan, dan cara pembinaan

    yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan

    pidana.5

    2.1.3 Kewajiban Narapidana

    Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

    Pasal 14 menyebutkann bahwa hak-hak Narapidana, selain hak-hak Narapidana

    juga ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh Narapidana menurut Undang-

    Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 15 yaitu :

    a. Narapidana diwajibkan mengikuti program pembinaan dan kegiatan

    tertentu secara tertib;

    b. Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana yang dimaksud

    dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

    Dalam hal ini hak dan kewajiban dapat dijadikan sebuah tolak ukur

    menganai berhasill atau tidaknya pola pembinaan yang dilakukan oleh petugass

    kepada narapidana. Hal ini dapat dilihat apakah petugas memperhatikann hak-

    hak yang diperoleh narapidana maupun sebaliknya narapidana juga

    memperhatikan kewajibanb apa saja yang seharusnya mereka lakukan selama

    menjalani masa tahanan. Dalam hal ini, agar dapat berjalan dengan seimbang

    5 Jurnal Erepo Unud, Tinjauan Umum tentang Hak Narapidana, http://erepo.unud.ac.id., Universitas Udayana, 2016, hal. 3, akses 19 Februari 2019

  • 17

    anatar hak dan kewajibans terhadap narapidana maka dibuthkan adanya

    kerjasama antara petugasc dan narapidana.

    2.2 Teori Tentang Pemidanaan

    2.2.1 Teori Pemidanaan

    Satochid Kartanegara mengatakan bahwa ada 3 teori pemidanaan dalam

    hukum pidana antara lain :6

    1) Teori Absolute (Pembalasan)

    Teori ini dasar dari pada pemidanaan itu sendiri harus dicari pada kejahatan

    itu sendiri sebagai dasar pembalasa terhadap seorang yang melakukan tindak

    pidana, dikarenakan kejahatan tersebut maka menimbulkan penderitaan bagi

    korban. Jadi, dalam teori ini pidana dapat disimpulkan sebagai sebuah

    pembalasan yang diberikan oleh Negara kepada seorang pelaku tindak pidana

    dengan tujuan untuk menimbulkan rasa puas bagi orang yang dirugikan akibat

    tindak pidana tersebut. Ada dua sudut dalam Teori absolute ini antara lain :

    a) Dijatuhkan pada pelaku tindak pidana yang merupakan sudut subjektif dari

    pembalasan akibat perbuatan yang dilakukan ;

    b) Dijatuhkan untuk memenuhi perasaan kecewa dan dendam di masyarakat

    yang merupakan sudut objektif dari pembalasan.

    2) Teori Relative (Maksut dan Tujuan)

    Teori relative ini menjadikan dasar penjatuhan hukuman pada maksud dan

    tujuan penjatuhan hukuman tersebut sehingga ditemukannya manfaat dari

    6 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi, Pradnya Paramita, 1986, hal. 34

  • 18

    penghukuman itu sendiri. Teori ini dianggap sebagai dasar hukum dari pemidaan

    bukanlah sebuah pembalasan akan tetapi melihat tujuan dari pidana itu sendiri.

    Dalam teori ini mempunyai prinsip untuk menciptakan tertib di masyrakat dan

    memperkecil bentuk kejahatan.7

    3) Teori Gabungan

    Satochid Kartanegara mengatakan bahwa teori ini dasar hukum dari

    pemidaan merupakan kejahatan itu sendiri, yaitu bentuk pembalasan atau

    siksaan, akan tetapi dasar pemidaan merupakan tujuan daripada hukum. Teori

    ini merupakan gabungan dari teori absolute dan relative yang menggabungkan

    pemidanaan sebagai suatu pembalasan dan menciptakan tertib masyarakat yang

    tidak dapat diabaikan.8

    2.2.2 Tujuan Pemidanaan

    Menurut Barda Nawawi Arief pemidanaan di Indonesia memiliki tujuan

    sebagai tahap formulatif dalam penegakkan hukum yang erat kaitannya dengan

    pelaksanaan pemidanaan khususnya pidana penjara dan pembinaan narapidana

    sebagai tahap eksekusi dalam penegakan hukum. Salah satu upaya untuk

    mengetahuo tujuan pemidanaan kita dalah dengan melihat pada peraturan

    perundang-undangan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).9

    Menurut Andi Hamzah tujuan dari pemidanaan adalah untuk memberikan

    rasa takut agar orang tersebut tidak melakukan kejahatan, hal ini ditujuan untuk

    memberikan rasa takut kepada semua orang atau orang tertentu saja yang sudah

    7 Ibid, hal. 34 8 Ibid, hal. 34 9 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal (Criminal Policy), Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1984, hal. 34

  • 19

    menjalankan kejahatan agar di kemudian hari tidak melakuakn kejahatan atau

    tindak pidana lagi.10

    Menurut Sudarto tujuan pemidanaan antara lain :

    a. Untuk menakut-nakuti agar orang jangan sampai melakukan kejahatan orang banyak maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar di kemudian hari tidak mengulangi kejahatan lagi;

    b. Untuk mendidik atau memperbaiaki orang-orang yang sudah menandakan suka melakuakn kejahatan agar menjadi orang yang baik, sehingga memberikan manfaat bagi masyarakat;

    c. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat, dan penduduk.11

    2.3 Tinjauan Umum Tentang Pembebasan Bersyarat

    2.3.1 Pengertian Pembebasan Bersyarat

    Pembebasan bersyarat merupakan proses pembinaan Narapidana di luar

    Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) setelah menjalanid sekurang-kurangnya 2

    per 3 masa pidananyad dengan ketentuan 2 per 3 masa pidana tersebut minimal

    9 (Sembilan) bulan.12

    Penjelasan mengenai pembeasan bersyarat ini dapat dilihat lebih lanjut

    melalui peraturand perundang-undangan diluar KUHP dan pendapat para pakar

    ilmu hukumi dikarena adalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)

    tidak ada pasal yang menyebutkan mengenai pengertian pembebasan bersayat

    hanya saja menyebutkan bahwa seorang Narapidana berhak mendapatkan

    Pembebasan Bersyarat. Pembebasan bersyarat tersebut merupakan bagian dari

    10 Andi Hamzah, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1986, hal 26 11 Soedarto, Hukum Pidana Jilid IA-IB, Fakultas Hukum, UNsoed, Purwokerto, 1995, hal. 83 12 PP Nomor 32 Tahun 1999, Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Warga Binaan Pemasyarakatan.

  • 20

    fungsi Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan salah satu dari bagian sistem

    peradilan pidana Indonesia, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.13

    Ketentuan mengenai pembebasan bersyarat di dalam peraturan perundang-

    undangan Indonesia, pertama kalinya termuat dengan istilah pelepasan bersyarat

    di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana penyusunan

    KUHP dibuat berdasarkan Hukum Pidana itu sendiri.14

    Pembebasan bersyarat menurut ketentuan Pasal 1 huruf b Keputusan

    Menteri Kehakiman Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1999 tentang Asimilasi,

    Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas adalah Pembebasan Bersyarat

    dan cuti menjelang bebas adalah proses pembinaan Narapidana di luar Lembaga

    Pemasyarakatan berdasarkan ketentuan Pasal 15 dan 16 KUHP (Kitab Undang-

    Undang Hukum Pidana) serta pasal 14, pasal 22, dan pasal 29 Undang-Undang

    Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

    Mengenai pengawasan terhadap Narapidana yang memperoleh dan sedang

    menjalani pembebasan bersyarat ini dilakukan oleh lembaga yang berwenang

    yaiutu Kejaksaan Negeri. Pengawasan tersebut dimaksudkan untuk

    memonitoring dan mengawsi Narapidana yang menjalani pembebasan bersyarat

    dan cuti yang diberikan. Apabila nanti dalampelaksanaan pembebasan bersyarat

    Narapidana melanggar ketentuan yang diberikan selama menjalani pembebasan

    bersyarat, maka pembebasan bersyarat yang diberikan dapat dicabut kembali.

    13 Petrus Irwan Pandjaitan dan Wiwik Sri Widiarty, Pembaharuan Pemikiran DR. Sahardjo Mengenai Pemasyarakatan Narapidana, Indhill Co, Jakarta, 2008, hal. 23 14 R. Achmad S. Soemadipradja dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan Di Indoneisa, Binacipta, Bandung, 1979, hal. 17

  • 21

    2.3.2 Dasar Hukum Pembebasan Bersyarat

    Pemberian pembebasan bersayarat merupakan salah satu sarana hukum

    dalam rangka mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan. Hak narapidana yang

    memperoleh pembebasan bersyarat tercantum dalam Pasal 14 huruf k Undang-

    Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Untu lebih jelasnya

    ketentuan mengenai Pembebasan Bersyarat ini diatur dalam Pasal 1 angka 8 dan

    angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 tentang perubahan kedua

    atas Peraturan Pemerintah Nomr 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara

    Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam pasal 1 angka 8 dan

    anagka 9 Peraturan Pmerintah Nomor 99 Tahun 2012 menyebutkan bahwa

    ketentuan pasal 43 diubah sehingga menyebutkan sebagai berikut ;

    1) Setiap narapidana dan anak didik pemasyarakatan kecuali anak sipil,

    berhak mendapatkan Pembebasan Bersyarat;

    2) Pembebasan bersyarat sebagaimana diatur dalam ayat (1) diberikan

    apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :

    a. Telah menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 2/3 ( dua per

    tiga) dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut

    tidak kurang dari 9 (Sembilan) bulan;

    b. Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana skurang-

    kurangnya 9 (Sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal

    2/3 (dua per tiga) masa pidana;

    c. Telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan

    bersemangat;

  • 22

    d. Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan

    Narapidana.

    3) Pembeasan bersyarat bagi anak diberikan setelah menjalani pembinaan

    sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun.

    4) Pemberian Pembebasan Bersyarat ditetapkan dengan Keputusan Menteri

    5) Pembebasan Bersyarat dicabut jika Nrapidana atau Anak Didik

    Pemasyarakatan melanggar persyaratan Pembebasan Bersyarat

    sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

    6) Ketentuan mengenai pencabutan Pembebasan Bersyarat sebagaimana

    dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Meneteri.

    2.3.3 Syarat-syarat Pembebasan Bersyarat

    Dasar hukum utama mengenai pembebasan bersyarat tertuang dalam pasal

    15 dan 16 KUHP disamping itu terdapat pula aturan pelaksanaan yang lain dalam

    berbagai bentuk peraturan perundang-undangan.

    Dalam pasal 15 dan 16 KUHP tersebut terdapat syarat-syarat untuk

    mendapatkan pembebasan bersyarat bagi narapidana. Berdasarkan ketentuan

    dalam pasal 15 KUHP terdapat syarat pemberian bebas bersyarat. Dalam hal

    tersebut terdakwa harus menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga dari

    hukuman yang dijatuhkan oleh hakim atau sekurang-kurangnya Sembilan bulan

    dalm jangka waktu yang telah ditentukan tidak boleh melakukan perbuatan-

    perbuatan yang dapat di hukum.15

    15 Jurnal Unsoed, Tinjauan Umum Tentang Pembebasan Bersyarat, http://fh.undoed.ac.id., akses 19 Februari 2019

  • 23

    Ketentuan mengenai syart-syarat pembebasan bersyarat, terdapat dalam

    pasal 5 sampai dengan pasal 9 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

    Nomor M.2.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan

    Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    Dalam pasal 5 menjelaskan bahwa Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan

    dapat diberi Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Cuti

    Bersyarat, apabila telah memenuhi persyaratan substantive dan administratif.

    Berikut penjelasan pasal 6 mengenai persyaratan substantif dan administratif :

    1) Perysaratan subtantif sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 yang harus

    dipenuhi Narapidana dan Anak Pidana antara lain :

    a. Telah menunjukkan perkembangan dan penyesaalan atas kesalahan

    yang menyebabkan dijatuhi pidana;

    b. Telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang

    positif;

    c. Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan

    bersemangat;

    d. Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan

    Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan;

    e. Berkelakuan baik selama menjalani pidana dan tidak pernah

    mendapat hukuman disiplin untuk :

    1. Asimilasi sekurang-kurangnya dalam waktu 6 (enam) bulan

    terakhir;

  • 24

    2. Pembebasan persyarat dan cuti menjelang bebas sekurang-

    kurangnya dalam waktu 9 bulan terakhir;

    3. Cuti bersyarat sekurang-kurangnya dalam waktu 6 (enam)

    bulan terakhir.

    f. Surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima

    Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan, sepeerti pihak keluraga,

    sekolah, instansi Pemerintah atau Swasta dengan diketahui oleh

    Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya lurah atau kepala

    desa;

    g. Bagi Narapidana atau Anak Pidana warga negara asing diperlukan

    syarat-syarat tambahan antara lain :

    1. Surat jaminan dari Jedutaan Besar/Konsulat negara asing

    yang bersangkutan bahwa Narapidana dan Anak Didik

    Pemsyarakatan tidak melarikan diri atau mentaati syarat-

    syarat selama menjalani Asimilasi, Pembebasan Bersyarat,

    Cuti Menjelang Bebas, atau Cuti Bersyarat;

    2. Surat keterangan dari Kepala Kantor Imigrasi setempat

    mengenai status keimigrasian yang bersangkutan.

    Menurut Pasal 8 perhitungan menjalani masa pidana dilakukan sebagai

    berikut :

    a. Sejak ditahan;

  • 25

    b. Apabila masa penahanan terputus, perhitunagn penetapan lamanya

    masa menjalani pidana dihitung sejak penahanan kota, maka masa

    penahanan tersebut dihitung sesuai ketentuan yang berlaku;

    c. Perhitungan 1/3 (satu per tiga), atau 2/3 (dua per tiga) masa pidana

    adalah 1/3 (satu per tiga), ½ (satu per dua), atau 2/3 (dua per tiga)

    kali (masa pidana dikurangi remisi) dan dihitungsejak ditahan.

    Dalam Pasal 9 Peraturan Menteri Hukam dan Hak Asasi Manusia Nomor

    M.2.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi,

    Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat menjelaskan

    bahwa :

    1) Asimilasi, Pembebasan Beryarat, Cuti Menjelang Bebas atau Cuti Bersyarat

    tidak diberikan kepada :

    a. Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan yang kemungkinan

    akan terancam jiwanya;

    b. Narapidana yang menjalani pidana seumur hidup.

    2) Warga Negara Asing yang diberi Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti

    Menjelang Bebas, atau Cuti Beryarat nama yang bersangkutan dimasukkan

    dalam Daftar Pencegahan dan Penangkalan pada Direktorat Jenderal

    Imigrasi.

    3) Narapidana Warga Negara Asing yang akan dimasukkan dalam Daftar

    Pencegahan dan Pencekalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

    ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

  • 26

    2.4 Tinjauan Umum Pengawasan

    2.4.1 Pengertian Pengawasan

    Pengawasan dari Bahasa latin (systema) dan Bahasa Yunani (sustema)

    merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari komponen atau elemen yang

    dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, metri atau energy

    untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan pengawasan dalam KBBI (Kamus

    Besar Bahasa Indonesia) berasal dari kata awas yang berarti penjagaan.16 Dalam

    ilmu manajemen dan ilmu administrasi istilah pengawasan dikenal sebagai salah

    satu kegiatan pengelolaan.17

    Dalam Bahasa inggris pengawasan disbut controlling yang merupakan

    salah satu fungsi dasar manajemen.18 Dalam Bahasa Indonesia menurut Sujatmo

    fungsi controlling memiliki 2 makna, yaitu pengawasan dan pengendalian.

    Pengawasan dalam arti sempit yaitu segala usaha atau kegiatan untuk

    mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas

    atau pekerjaan, apakah sesuai dengan semestinya atau tidak. Pengendalian atau

    forcefull yaitu sebagai segala usaha atau kegiatan untuk menjamin dan

    mengerahkan agar pelaksanaan tugas atau pekerjaan berjalan sesuai dengan yang

    semestinya.19

    16 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, 2008 hal. 123. 17 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintah Daerah, Cetakan ke-06, Nusa Media, Bandung, 2012, hal. 101 18 Sujatmo, Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 53. 19 Muchsan, Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, hal. 36

  • 27

    Pengawasan terhadap pemerintah daerah terdiri atas pengawasan hirarki dan

    pengawasan fungsional. Pengawasan hirarki merupakan pengawasan etrhadap

    pemerintah daerah yang dilakukan oleh otoritas yang lebih tinggi. Pengawasan

    fungsional merupakan pengawasan terhadap pemerintah daerah, yang dilakukan

    secara fungsional baik oleh departemen sectoral maupun oleh pemerintah yang

    menyelenggarakan pemerintah umum (departemen dalam negeri).20

    Pengawasan adalah suatu bentuk pola pikir dan pola tindakan untuk

    memberikan pemahaman dan kesadaran kepada seseorang atau beberapa orang

    yang diberikan tugas untuk dilaksanakan dengan menggunakan berbagai sumber

    daya yang tersedia secara baik dan benar, sehingga tidak terjadi kesalahan dan

    tidak terjadi penyimpangan yang kemudian dapat menimbulkan kerugian oleh

    lembaga atau organisasi yang bersangkutan.21

    2.4.2 Tujuan Pengawasan

    Tujuan dari pengawasan adalah untuk mengetahui apakah pelaksanaan

    sesuai dengan apa yang telah ditetapkan atau tidak, dan untuk mengetahui

    kesulitan dan kendala atau hambatan yang ditemukan oleh pelaksana dalam

    melakukan pengawasan agar diambil langkah untuk perbaikan.22

    Selain itu, menurut Handayaningrat maksud dan tujuan dari pengawasan

    antara lain adalah :

    20 Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintah dan Otonomi Daerah, Penerbit Grasindo, Jakarta, 2007, hal. 312 21 Makmur, Efektivitas Kebijakan Pengawasan, Refika Aditama, Bandung, 2011, hal 176 22 Y.W. Sunindhia, Praktek Penyelenggara Pemerintah di Daerah, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 103

  • 28

    a. Untuk mencegah atau memperbaiki kesalahan, penyimpangan,

    ketidaksesuaian penyelenggaraan yang tidak sesuai dengan tugas dan

    wewenang yang telah ditentukan;

    b. Agar hasil pekerjaan diperoleh sesuai dengan rencana yang telah

    ditentukan.23

    2.4.3 Tipe-Tipe Pengawasan

    Dilihat dari tipenya, pengawasan memiliki 3 (tiga) tipe pengawasan antara lain :

    1. Pengawasan pendahuluan (steering controls). Pengawasan ini direncanakan untuk mengatasi masalah-masalah atau penyimpangan dari standart atau tujuan dan kemunkinan koreksi dibuat sebelum suatu kegiatan tertentu diselesaikan;

    2. Pengawasan yang dilakukan bersama dengan pelaksanaaan kegiatan (concurrent controls). Pengawasan ini dilakukan selama suatu kegiatan berlangsung. Tipe pengawasan ini merupakan proses dimana aspek tertentu harus dipenuhi dahulu sebelum kegiatan bisa dilanjutkan.

    3. Pengawasan umpan balik merupakan pengawasan yang mengukur hasil-hasil dari kegiatan tertentu yang telah diselesaikan. 24 Jika kita lihat dari tipe-tipe pengawasan nya maka, suatu pemerintah yang

    baik perlu melakukan pengawasan terhadap bawahannya dengan melihat proses

    pelaksanaan program atau hasil dari kegiatan yang telah dilakukan dan yang

    telah diselesaikan.

    2.5 Tinjauan Umum Mengenai Kejaksaan

    2.5.1 Pengertian Kejaksaan

    Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

    Kejaksaan Republik Indonesia, menyebutkan bahwa Kejaksaan Republik

    23 Ibid, hal. 105 24 Opcit, hal. 176

  • 29

    Indonesia merupakan sebuah lembaga pemerintah yang emalksanakan

    kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan yang lain berdasarkan

    ketentuan Undang-Undang.25

    Orang yang melakukan tugas, fungsi, maupun kewenangan di bidang

    penuntutan dan kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang adalah Jaksa

    sedangkan lembaga atau institusi nya adalah Kejaksaan. Hal ini dijelaskan dalam

    Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

    Republik Indonesia menyebutkan bahwa “ jaksa merupakan pejabat fungsional

    yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut

    umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memeperoleh keuatan

    hukum tetap dan kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang”.

    Kejaksaan merupakan salah satu subsistem dalam peradilan pidana selain kepolisian, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan memegang peran penting dalam menciptakan kejaksaan terpadu. Sebagai salah satu unsur penegak hukum dalam suatu sistem hukum kejaksaan merupakan bagian dari suatu sistem, sebagaimana yang dikemukakan oleh L.M. Friedman yang dikutip oleh Marwan Effendi bahwa sistem hukum tersusun dari sub-sub sistem yang berupa susbtansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Ketiga unsur sistem hukum ini sangat menentukan apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau sebaliknya.26 Kejaksaan dikenal pula dengan istilah adhyaksa yang sebenarnya sudah ada

    sejak lama di Indonesia. Pada zaman kerajaan Hundu-Jawa di Jawa Timur, yaitu

    kerajaaan Majapahit, istilah Adhyaksa, dan Dharmaadhyaksa sudah mengacu

    pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah ini berasal dari baha kuno

    yaitu Bahasa Sansekerta.27

    25 Marwan Effendy, Kejaksaan Republik Indonesia Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Ghalia Indonesia, 2007, hal. 127 26 Ibid, hal. 1 27 Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Sejarah Kejaksaan Sebelum Reformasi, http://www.Kejaksaan.go.id/, akses 19 Februari 2019

  • 30

    2.5.2 Kedudukan Kejaksaan

    Jaksa Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Kejaksaan adalah

    lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan

    serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang. Kekuasaan negara

    sebagaimana dilaksanakan secara merdeka, dalam melaksanakan fungsi, tugas,

    dan kewenangannya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh

    kekuasaan lain.

    Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyi

    kedudukan sentral dalam penegakakn hukum, karena hanya isntitusi Kejaksaan

    yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau

    tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.28

    Disamping sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis) Kejaksaan

    juga merupakan satu-satunya isntansi pelaksana putusan pidana.29

    Maka dari itu Undang-Undang Kejaksaan yang saat ini dipandang lebih kuat

    dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai

    lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang

    penuntutan.30

    Dalam hal ini Kejaksaan menjadi salah satu bagian penting dalam sistem

    peradilan pidana di Indonesia, yaitu suatu sistem dalam masyarakat untuk

    menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban

    28 Marwan Effendy, Kejaksaan Ri, Posisi dan Fungsinya . . . Opcit, hal. 105 29 Ibid, hal. 105 30 Dian Rosita, Kedudukan Kejaksaan Sebagai Pelaksana Kekuasaan Negara di Bidang Penuntutan dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Ius Constituendum | Vol. 3 No.1, Akses 19 Februari 2019

  • 31

    kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat

    merasa puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah mendaoatkan

    balasan dengan mengusahakan mereka yang melakukan kejahatan tidak

    mengulangi perbuatannnya lagi.

    2.5.3 Fungsi Kejaksaan

    Berdasarkan Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia No : INS-

    002/A/JA/1/2010 tentang Perencanaan Stratejik dan Rencana Kinerja Kejaksaan

    adalah sebagai berikut :

    1) Perumusan kebijaksanaan pelaksanaan dan lebijaksanaan teknis pemberian bimbingan dan pembinaan serta pemberian perijinan sesuai dengan bidang tugasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung;

    2) Penyelengaraan dan pelaksanaan pembangunan prasarana dan sarana, pembinaan manajemen, administrasi, organisasi dan tatalaksanaan serta pengelolaan atas milik negara menjadi tanggung jawabnya;

    3) Pelaksanaan penegakkan hukum baik preventif maupun yang ber intikan keadilan di bidang pidana;

    4) Pelaksanaan pemberian bantuan di bidang intelijen yustisial, dibidang ketertiban dan ketentraman mum, pemberian bantuan, pertimbangan, pelayanan dan penegaakan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara serta tindakan hukum dan tugas lain, untuk menjamin kepastian hukum, kewibawaanm pemerintah dan penyelamatan kekayaan negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan Jaksa Agung;

    5) Penempatan seorang tersangka atau terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak berdasarkan penetapan Hakim karena tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri;

    6) Pemberian pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah, penyusunan peraturan perundang-undangan serta peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

    7) Koordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk teknis serta pengawasan, baik di dalam maupun dengan instansi terkait atas

  • 32

    pelaksanaan tugas dan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.31

    2.5.4 Susunan Kejaksaan

    Susunan kejaksaan terdiri dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan

    Kejaksaan Negeru. Susunan organisasi dan tata kerja kejaksaan ditetapkan oleh

    Presiden atas usul Jaksa Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri

    dibentuk dengan Keputusan dengan keputusan Presiden atas usul Jaksa Agung.

    Dalam hal tertentu didaerah hukum Kejaksaan Negeri dibentuk cabang

    Kejaksaan Negeri, cabang Kejaksaan Negeri dibentuk dengan keputusan Jaksa

    Agung.32

    2.5.5 Tugas dan Kewenangan Jaksa

    menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Pasal

    30 Tugas dan Wewenang Jaksa adalah sebagai berikut :

    Di bidang Pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang antara lain :

    a. Melakukan penuntutan

    b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah

    memperoleh kekuatan hukum tetap

    c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,

    putusan pidana pengawasan, dan putusan lepas bersyarat

    d. Melakukan penyidikan terhadap pidana tertentu berdasarkan Undang-

    Undang

    31 Tugas Pokok dan Fungsi Kejaksaan, https://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=31&sm=2, akses 19 Februari 2019 32Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Sejarah Kejaksaan Sebelum Reformasi, http://www.Kejaksaan.go.id/, Opcit, akses 19 Februari 2019

  • 33

    e. Melengkapai berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan

    pemeriksaaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam

    pelaksanaan nya di koordinasi oleh penyidik.

    Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus

    dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama

    negara atau pemerintah. Dalam bidang ketertiban umum, kejaksaan turut

    menyelenggarakan kegiatan antara lain :

    a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat

    b. Pengamanan kebijakan hukum

    c. Pengawasan peredaran barang cetakan

    d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan

    masyarakat dan negara

    e. Pencegahan penyalahgunaan dana tau penodaan agama

    f. Penelitian dan pembangunan hukum serta klatistik kriminal

    Berdasarkan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang

    Kejaksaan RI, Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menetapkan

    seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain

    yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri, atau

    disebabkan oleh hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau

    dirinya sendiri.

    Salin itu terdapat dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004

    tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan

    wewenang lain berdasarkan Undang-Undang dalam melaksanakan tugas dan

  • 34

    wewenangnya. Dalam pasal 33 menyatakan bahwa Kejaksaan membina

    hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan

    negara atau instansi lainnya. Selanjutnya, pasal 34 meyatakan bahwa Kejaksaan

    dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada isntansi

    pemerintah lainnya.

    2.6 Teori Efektifitas Hukum

    Menurut pendapat Achmad Ali jika kita ingin mengetahui sejauh mana

    efektifitas hukum tersebut, kita harus mengetahui sejauh mana hukum itu ditaati

    dan tidak ditaati. Selanjtnya Achmad Ali menjelasakan bahwa pada umumnya

    faktor yang banyak mempengaruhi efektifitas suatu perundang-undangan adalah

    sebuah profesionalitas dan optimal dalam melaksanakan sebuah peran, wewenang

    dan fungsi dari para penegak hukum, baik dalam tugas yang dibebankan kepada

    mereka maupun dalam menegakkan hukum tersebut. 33

    Efektifitas suatu hal dapat diartikan sebagai keberhasilan dalam mencapai

    sebuat target atau tujuan. Dalam penelitian kepustakaan ini menguraikan mengenai

    Teori Efektifitas Hukum dimana yang nantinya akan dijadikan tolak ukur

    keberasilan dari atau tingkat indokator terhadap efektifitas suatu hal.

    Hukum dapat berperan dalam mengubah pola pikir masyarakat dari pola

    pikir yang tradisional ke pola pikir yang modern atau lebih maju. Efektivitas hukum

    33 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol. 1, Kencana, Jakarta 2010, hal. 375

  • 35

    adalah proses yang bertujuan untuk memberlakukan hukum supaya berjalan secara

    efektif.

    Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka kita

    pertama-tama harus dapat mengetahui sejauh mana hukum itu ditaati oleh

    masyarakat, dan kita juga harus dapat melihat seberapa besar target yang menjadi

    sasaran ketaatannya, dari hal tersebut kita dapat mengatakan hukum yang

    bersangkutan adalah efektif. Sekalipun telah dianggap efektif, tetapi kita tetap

    masih dapat mempertanyakan lebih jauh terkait derajat seseorang menaati atau

    tidak suatu aturan hukum tergantung pada kepentingannya.34

    Menurut Soerjono Soekanto ada 5 (faktor) yang menentukan efektif tidak

    nya suatu hukum, antara lain :

    1. Faktor Hukum itu sendiri (Undang-Undang); 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

    menerapkan hukum tersebut; 3. Factor saran atau fasilitas yang mendukung penegakkan huku tersebut; 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

    diterapkan; 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang

    didasarkan pada rasa manusia di dalam pergaulan hidup.35 Kelima faktor diatas saling barkaitan erat dikarenakan esensi dari

    penegakan hukum itu sendiri. Faktor yang pertama dapat menentukan

    berfungsinya hukum itu baik atau tidak nya hukum tersebut dapat dilihat dari

    aturan atau Undang-Undang itu sendiri.

    Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa ukuran efektifitas dari faktor yang

    pertama adalah :

    34 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicila Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (LegisPrudence), Kencana, Jakarta, 2009, hal. 375 35 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakkan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 8

  • 36

    1. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sistematis;

    2. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sinkron, secara hierarki dan horizontal sehingga tidak bertentangan;

    3. Secara kualitatif maupun kuantitatif peraturan-peraturan yang mengatur bidang kehidupan tertentu sudah mencukupi;

    4. Penerbitan peraturan-peraturan tertentu sudah sesuai dengan peryaratan yuridis yang ada.36

    Pada faktor kedua menentukan efektif tidaknya suatu hukum itu terletak

    pada apparat penegak hukum itu sendiri. Dalam hubungan nya dengan hal ini peran

    penegak hukum atau aparat penegak hukum yang handal dan dapat melaksanakan

    tugasnya dengan baik sangat di butuhkan sehingga hukum dapat berjalan secara

    efektif.

    Menurut Soejono Soekanto bahwa masalah yang berpengaruh terhadap

    efektifitas hukum tertulis ditinjau dari segi apparat akan tergantung pada hal-hal

    berikut :

    1. Sejauh mana petugas terikat oleh peraturan-peraturan yang ada; 2. Sampai batas mana petugas diperkenankan memberi kebijaksanaan; 3. Teladan yang seperti apa yang sebaiknya diberikan oleh petugas

    kepada masyarakat; 4. Sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang

    diberikan kapada petugas sehingga memberikan batasan-batasan yang tegas pada wewenangnya.37

    Pada faktor ketiga tersedianya sarana dan prasarana bagi apparat penegak

    hukum dalam melaksanakan tugasnya. Sarana dan prasarana yang dimaksud adalah

    fasilitas yang digunakan aparat hukum untuk mencapai efektifitas hukum tersebut.

    Soerjono soekanto memberikan prediksi efektivitas tertentu dari prasarana, dimana

    prasarana tersebut harus secara jelas memang dibutuhkan atau menjadi kontribusi

    36 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1983, hal. 80 37 Opcit, hal 82.

  • 37

    untuk kelancaran dari penegakan hukum tersebut. Adapun faktor-faktor tersebut

    antara lain :

    1. Prasarana yang telah ada apakah sudah dijaga dengan baik; 2. Prasarana yang belum ada perlu diadakan dengan memperhitungkan angka

    waktu pengadaannya; 3. Prasarana yang kurang perlu dilengkapi; 4. Prasarana yang rusak perlu diperbaiaki; 5. Prasarana yang macet perlu segera dilancarkan; 6. Prasarana yang mengalami kemunduran fungsi perlu ditingkatkan lagi

    fungsinya.38 Tanpa adanya sarana dan prasarana yang menunjang juga tidak mungkin

    hukum juga dapat berjalan secara efektiv. Dalam uraian diatas sara dan fasilitas

    tersebut antara lain, mrncakup tenaga manusia yang berpendidikan dan handal,

    organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan lain

    sebagainya. Sarana dan fasilitas merupakan hal yang penting dalam proses

    penegakkan hukum.

    Kemudian ada beberapa elemen untuk tolak ukur efektifitas yang tergantung

    pada kondisi di maskyarakat, anatara lain :

    1. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi aturan walaupun peraturan

    yang baik;

    2. Faktor penyebab masyarakat tiddak mematuhi peraturan walaupuan

    peraturan sangat baik dan apparat sudah sangat berwibawa;

    3. Faktor penyebab masyarakat tidak meatuhi peraturan baik, petugas atau

    aparat berwibawa serta fasilitas mencukup.39

    Dalam faktor diatas dapat memberikan pemahaman bahwa disiplin dan kepatuhan masarakat tergantung dari motivasi secara internal. Dalam hal ini kepatuhan masyarakat terhadap hukum menjadi salah satu tolak ukur tentang efektif

    38 Ibid, hal. 84 39 Ibid, hal. 86

  • 38

    tidaknya hukum itu diberlakukan. Seperti kita ketahui masyarakat Indonesia mempunyai kecenderungan yang besae untuk mengartikan hukum dan bahwan mengidentifitasikannya dengan petugas. Sehingga mengakibatkan baik dan buruknya hukum tersebut senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum tersebut.40

    Teori efektifitas Hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto

    tersebut relevan dengan Teori yang dikmukankan oleh Romli Atmasasmita yaitu

    bahwa faktor yang menjadi penghambat efektifitas penegakan hukum tidak hanya

    terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum akan tetapi juga terletak pada

    faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan yaitu masyarakat, sarana dan

    fasilitas maupun dari faktor kebudayaan yang ada pada masyarakat.41

    Jika berbicara mengenai efektivitas hukum berarti membicarakan daya kerja

    hukum itu dalam mengatur dana tau memaksa masyarakat untuk taat terhadap

    sebuah hukum. Hukum dapat berjalan secara efektif jika faktor-faktor yang

    mempengaruhi hukum tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Tolak ukur

    efektif atau tidaknya suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat

    dilihat dari perilaku masyarakat. Seuatu hukum dapat mencapai tujuan yang

    dikehendaki, maka efektifitas hukum atau peraturan perundang-undangan tersebut

    telah tercapai.42

    Berdasarkan urain diatas Teori Efektifitas Hukum dapat disimpulkan bahwa

    suatu tolak ukur yang menyatakan seberapa jauh targaet atau tujuan tersebut

    tercapai. Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan

    yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau kegiatan dapat dikatan efektif

    40 Ibid, hal. 87 41 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2001, hal. 55 42 Opcit, hal. 91

  • 39

    apabila usaha atau kegiatan tersebut telah berhasil mencapai tujuannya. Apabila hal

    tersebut merupakan tujuan dari instansi maka proses pencapaian dari tujuan tersebut

    merupakan keberhasilan dalam melaksanakan tugas dan wewenang, menurut fungsi

    dan tugas dari instansi tersebut.