bab ii...gustav radbruch menyebutkan bahwa, 3 nilai yang harus terkandung dalam hukum adalah asas...
TRANSCRIPT
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Perlindungan Hukum
2.1.1 Perlindugan Hukum
Perlindungan hukum merupakan suatu gambaran dari fungsi hukum yang
memiliki konsep bahwa hukum bertujuan untuk memberikan kepastian, keadilan,
kemanfaatan dan jaminan hukum. Perlindungan hukum bertujuan memberikan
pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan oleh orang lain dan
perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat supaya masyarakat dapat
menikmati hak-hak yang diberikan oleh hukum dengan kata lain perlindungan
hukum adalah upaya hukum yang harus diberikan oleh alat hukum untuk
memberikan rasa aman dan terbebas dari anacaman pihak manapun.11
Menurut Muchsin perlindungan hukum adalah kegiatan untuk melindungi
individu dengan menyelaraskan hubungan nilai-nilai atau kaidah yang terdapat
dalam sikap dan tindakan untuk menciptakan ketertiban dalam kehidupan
bermasyarakat.12 Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah upaya untuk
melindungi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh alat
hukum yang tidak sesuai dengan aturan hukum, dan perlindungan hukum
memiliki tujuan untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman sehingga
memungkinkan manusia untuk menikmati harkat dan martabatnya sebagai
manusia.13 Sedangkan menurut Philipus M. Hadjon Perlindungan hukum adalah
perlindungan terhadap harkat dan martabat, serta memberikan pengakuan terhadap
11 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal., 74. 12 Muchsin, Op.Cit., hal., 14 13 Setiono, Rule Of Law (Supremasi Hukum), Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2004, hal., 3.
16
hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan
hukum atau sebagai kumpulan peraturan yang memiliki tujuan untuk melindungi
satu hal dengan lainnya.14
Perlindungan hukum merupakan bentuk darti tujuan hukum yang dalam
hal ini adalah kepastian, keadilan, kemanfaatan dan jaminan hukum. Perlindungan
hukum diberikan oleh hukum terhadap subyek hukum sesuai dengan aturan
hukum, yaitu secara preventif dan represif. Secara preventif yaitu dalam bentuk
pencegahan dengan dibentuknya peraturan perundang-undangan serta dalam
bentuk represif yaitu berupa sanksi dalam pelaksanaannya.
Perlindungan hukum dalam penerapannya terdapat dalam hukum tertulis
maupun hukum tidak tertulis, yang berisi mengenai aturan yang bersifat umum
yang menjadi pedoman terhadap individu untuk bertingkah laku dalam hidup
bermasyarakat. Aturan tersebut berisi mengenai batasan terhadap masyarakat
untuk melakukan suatu perbuatan individu. Dengan adanya aturan tersebut maka
dapat terciptanya perlindungan dan kepastian hukum yang diberikan kepada
subyek hukum.15
Konsep perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat
berdasarkan atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan
martabat manusia yang bersumber pada Pancasila. Dalam hal ini setiap manusia
sebagai subyek hukum berhak mendapatkan perlindungan hukum oleh hukum
yang diterapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,
14 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya 1987, hal., 2. 15 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal., 43.
17
2.1.2 Kepastian Hukum
Kepastian hukum secara normatif adalah peraturan yang dibuat, mengatur
dan mengikat masyarakat secara jelas dan tegas. Perlindungan yang diberikan
kepada subyek hukum terhadap kesewenang-wenangan pihak lain adalah
merupakan salah satu aspek kepastian hukum. Kepercayaan akan kepastian
hukum sejatinya dilekatkan kepada individu-individu sebagai subyek hukum
supaya memberikan perlindungan terhadap individu dari perbuatan sewenang-
wenang penguasa, dan terkait pula dengan konsistensi putusan hakim dalam
penegakan hukum.16
Kepastian hukum adalah sesuatu yang melekat dan tidak bisa dipisahkan
dari hukum, terutama dalam hukum tertulis. Hukum tanpa adanya kepastian akan
kehilangan nilainya, karena tidak dapat dijadikan pedoman perilaku bagi manusia.
Menurut Apeldoorn, kepastian hukum memiliki dua sisi yaitu dapat ditemukannya
hukum dalam hal konkret dan keamanan hukum. Dalam hal ini subyek hukum
yang ingin mencari keadilan dapat menemukan perlindungan oleh hukum dan
memperoleh perlindungan dari kesewenang-wenangan hakim dalam memutus
perkara. 17
Gustav Radbruch menyebutkan bahwa, 3 nilai yang harus terkandung
dalam hukum adalah asas kepastian hukum, asas keadilan hukum, dan asas
kemanfaatan hukum. Karena tujuan hukum yang mendekati realistis adalah
kepastian hukum.18
16 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal., 208. 17 A. Madjedi Hasan, Kontrak Minyak dan Gas Bumi Berazas Keadilan dan Kepastian Hukum, Fikahati Aneska Jakarta, 2009, hal., 56. 18 Dosminikus Rato, Filsafat Hukum Mencari dan Memahami Hukum, PT Presindo, Yogyakarta, 2010, hal., 59.
18
Kepastian Hukum menurut Utrecht terbagi menjadi dua pengertian, yang
pertama kepastian hukum merupakan adanya peraturan yang bersifat umum yang
membuat individu mengetahui suatu hal yang menjadi hak dan kewajiban serta
mengetahui perbuatan yang boleh dilakukan ataupun perbuatan yang dilarang
untuk dilakukan. Selanjutnya, kepastian hukum berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya peraturan yang
bersifat mengikat secara umum, maka individu dapat mengetahui hal yang boleh
dilakukan oleh pemerintah terhadap individu. Kepastian hukum berasal dari aliran
positivisme, yang dalam hal ini menganggap bahwa tujuan hukum tidak hanya
menjamin terwujudnya hukum yang bersifat umum yaitu keadilan dan
kemanfaatan, namun tujuan yang mendekati realistis adalah untuk mewujudkan
kepastian hukum.19
Kepastian hukum dalam penerapannya berbentuk peraturan perundang-
undangan yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi
tingkah laku individu dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam hubungan
sesama individu maupun hubunngan dalam masyarakat. Aturan tersebut menjadi
dasar dan menjadi batasan terhadap masyarakat dalam hal melakukan tindakan
terhadap individu lainnya. Dengan adanya aturan-aturan tersebut maka akan
menimbulkan kepastian hukum.20
Dengan adanya kepastian hukum diharapkan adanya keadilan, karena
tanpa kepastian hukum individu tidak akan mengetahui hal yang menjadi hak dan
kewajibannya. Jika dikaitkan alam hal pertanahan kepastian hukum tersebut
19 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal., 23. 20 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hal., 58.
19
dalam pelaksanaannya adalah dengan diterbitkannya UUPA yang bersifat
mengatur secara umum dalam bidang pertanahan.
2.2 Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Milik
2.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Kebendaan
Istilah hukum benda berasal dari istilah dalam bahasa Belanda, yaitu
zakenkrecht.21 Dalam perspektif hukum perdata, hukum benda merupakan bagian
dari hukum harta kekayaan (vermogensrecht), yaitu hukum harta kekayaan
mutlak. Dalam Kamus Hukum memberikan definisi mengenai hukum benda yaitu
“Hukum benda ialah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan-hubungan hukum antara subjek hukum dengan benda dan hak
kebendaan.”22 P.N.H. Simanjuntak secara sederhana memberikan definisi tentang
hukum benda yaitu “Hukum benda adalah peraturan-peraturan hukum yang
mengatur mengenai hak-hak kebendaan yang sifatnya mutlak.”23 Sedangkan Prof.
Soediman Kartohadiprojo memberikan definisi tentang hukum benda yaitu
“semua kaidah hukum yang mengatur apa yang diartikan dengan benda dan
mengatur hak-hak atas benda.”24
Setelah melihat pengertian hukum benda yang diberikan oleh para pakar,
maka dapat disimpulkan bahwa hukum benda atau hukum kebendaan adalah
serangkaian hukum yang mengatur hubungan hukum secara langsung antara
seseorang (subyek hukum) dengan benda (objek dari hak milik), yang melahirkan
hak kebendaan (zakelijke recht). Hak kebendaan memberikan kekuasaan secara
21 P.N.H Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1999, hal., 204. 22 M. Marwan dan Jimmy P., Kamus Hukum (Dictionary Of Law Complete Edition), Relaty Publisher, Surabaya, 2009, hal., 652. 23 P.N.H Simanjuntak, Op.Cit, hal., 205. 24 Soediman Kartohadiprojo, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal., 92.
20
langsung kepada pemiliknya dalam hal penguasaan dimanapun benda tersebut
berada. Dengan kata lain hukum benda atau hukum kebendaan merupakan
keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur mengenai kebendaan atau yang
berkaitan dengan benda.
Pengaturan tentang benda yang terdapat dalam Buku II KUH Perdata
menganut sistem tertutup. Sistem pengaturan tertutup ini artinya, orang atau pihak
tidak dapat mengadakan atau membuat hak-hak kebendaan yang baru, kecuali
yang sudah ditetapkan atau ditentukan berdasarkan undang-undang.25. Hal ini
diatur dalam Pasal 584 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa:
Hak milik atas suatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut wasiat, dan karena penunjukkan atau penyerahan berdasarkan atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh sesorang yang berhak berbuat atas terhadap kebendaan itu. Berdasarkan ketentuan tersebut, subyek hukum tidak boleh menciptakan
hak milik baru selain yang disebutkan dalam undang-undang itu. Dalam Buku II
KUH Perdata menganut sistem tertutup.
2.2.2 HAK KEBENDAAN
Hak Kebendaan (zakelijke recht) ialah suatu hak yang memberikan
kekuasaan langsung terhadap suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap
setiap orang.26 Hak kebendaan berbeda dengan hak perorangan (personalijke
recht), hak perorangan ialah suatu hak yang memberi suatu tuntutan atau
penagihan terhadap seorang tertentu.27 Letak perbedaannya adalah hak kebendaan
25 I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perorangan dan Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hal., 105. 26 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan Ketiga Puluh Empat, Intermasa, Jakarta, 2010, hal., 62. 27 I Ketut Oka Setiawan, Op.Cit, hal., 109.
21
dapat dipertahankan kepada siapa saja yang melanggar hak itu, sedangkan hak
perorangan bersifat relatif atau nisbi karena hanya dapat ditujukan terhadap orang-
orang tertentu saja.
Hak kebendaan adalah termasuk dalam hak keperdataan yang bersifat
mutlak atau absolut, yang berarti bahwa seseorang mempunyai kekuasaan
langsung atas sesuatu benda, sehingga hak seseorang atas suatu benda tersebut
dapat dipertahankan oleh siapapun juga, bahkan tidak dapat diganggu gugat oleh
siapapun juga. Seseorang lainnya diwajibkan untuk menghormati hak kebendaan
orang lain.
Dalam Buku II KUH Perdata diatur pula mengenai berbagai macam hak
kebendaan. Pasal 528 KUH Perdata menyebutkan bahwa:
Atas sesuatu kebendaan, seseorang dapat mempunyai, baik suatu kedudukan berkuasa, baik hak milik, baik hak waris, baik hak pakai hasil, baik hak pengabdian tanah, baik gadai atau hipotik.
Berdasarkan Pasal tersebut hak kebendaan yang dapat diperoleh dari suatu,
kebendaan yaitu: Hak Bezit atau keadaan berkuasa atas suatu benda; Hak milik
atas suatu benda; Hak waris suatu benda; Hak Pakai hasil; Hak Pengabdian tanah;
Hak gadai (pand); Hak hipotik. Dalam perspektif KUH Perdata hak kebendaan
perdata dibedakan atas 2 macam yaitu hak kebendaan yang memberi kenikmatan
(zakelijke genootsrecht) dan hak kebendaan yang memberikan jaminan (zakelijk
zekerheidsrecht).
Hak kebendaan yang memberi kenikmatan adalah hak yang diberikan
kepada pemiliknya untuk menikmati sesuatu benda, baik terhadap bendanya
sendiri atau benda milik orang lain.28 Hak kebendaan yang memberikan
28 Rachmadi Usman, Hukum Kebendaan, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hal., 114.
22
kenikmatan atas benda miliknya sendiri contohnya adalah hak menguasai atau hak
bezit atas benda bergerak serta hak milik atas benda bergerak (eigendom).
Sedangkan hak kebendaan yang memberikan kenikmatan atas benda milik orang
lain yaitu hak memungut hasil atas benda tidak bergerak, dan hak pakai atas benda
tidak bergerak.29
Sedangkan hak kebendaan yang memberikan jaminan (zakelijk
zekerheidsrecht) adalah hak yang diberikan kepada pemegang untuk didahulukan
dalam pemenuhan utang atas jaminan (pembebanan) benda milik orang,
contohnya adalah gadai (pand) sebagai jaminan atas benda tidak bergerak, dan
hipotek (hak tanggungan) sebagai jaminan atas benda tetap.30
Setelah diberlakukannya UUPA, maka sebagian hak-hak kebendaan yang
diatur dalam ketentuan Buku II KUH Perdata menjadi tidak berlaku lagi, karena
telah ada peraturan yang baru yang khusus mengatur bidang agraria yaitu UUPA.
Demikian setelah berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan yang selanjutnya disebut dengan UUHT, maka ketentuan mengenai
hipotek sebagaimana diatur dalam Buku II KUH Perdata menjadi tidak berlaku
lagi, yakni dalam hal pembebanan hipotek atas hak atas hak atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Karena UUPA telah menciptakan hak
tanggungan (atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah) sebagai
pengganti hipotek. Dengan demikian, sejak diberlakukannya UUPA, yang
kemudian ditindaklanjuti dengan UUHT, maka hak-hak kebendaan yang
menyangkut dengan tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah
sebagaimana telah diatur dalam Buku II KUH Perdata dengan sendirinya menjadi
29 I Ketut Oka Setiawan, Op.Cit., hal., 111. 30 Ibid, hal., 114.
23
tidak berlaku lagi. Sebaliknya hak-hak kebendaan yang menyangkut bukan tanah
sebagaimana yang diatur dalam Buku II KUHPerdata tetap berlaku.31
Hak-Hak kebendaan yang menyangkut dengan tanah sebagaimana yang
telah diatur dalam Pasal 16, Pasal 49, serta Pasal 51 UUPA, yaitu: Hak-hak atas
tanah yang berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak
sewa untuk bangunan, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, hak-hak
lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan
dengan undang-undang, serta hak-hak yang sifatnya sementara (hak gadai atas
tanah, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, hak sewa tanah pertanian); Hak-hak
atas air dan ruang angkasa yaitu hak guna air, hak pemeliharaan dan penangkapan
ikan, hak guna ruang angkasa; Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial
(Wakaf Tanah); Hak Tanggungan.
Sementara itu, hak-hak kebendaan yang menyangkut dengan tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang tidak berlaku lagi dari Buku II
KUHPerdata, yaitu: Hak Bezit atas tanah; Hak eigendom atas tanah; Hak Servituut
(Hak Pengabdian Pekarangan); Hak Opstal; Hak Erpacht; Hak Bunga Tanah dan
Hasil sepersepuluh; Hak Vruchtgebruuk atas tanah; Hak Gebruuk atas tanah;
Hipotek atas tanah.
Dengan diberlakukannya UUPA, maka hak-hak kebendaan yang masih
berlaku dalam Buku II KUHPerdata terbatas hanya pada hak-hak kebendaan yang
tidak menyangkut dengan tanah, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya. Hal ini dikarenakan hak-hak kebendaan yang
31 Rachmadi Usman, Op.Cit., hal., 115.
24
menyangkut dengan tanah, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya telah diatur UUPA.
Hak-hak kebendaan yang telah dicabut oleh UUPA tidak lagi termasuk
dalam bidang keperdataan melainkan objek dari hukum yang lain, yaitu hukum
agraria. Pada intinya hak-hak kebendaan yang dicabut oleh UUPA itu ialah hak
yang berkaitan dengan tanah.32
2.2.3 KONSEP HAK MILIK
2.2.3.1 Pengertian Hak Milik
Pengaturan hak milik dapat ditemukan dalam bab ketiga Buku II KUH
Perdata, yaitu dengan judul “Tentang hak milik”. Secara rinci pengaturan hak
milik tersebut dimulai dari Pasal 570 sampai dengan Pasal 624 KUH Perdata.
Dalam hukum kebendaan perdata Barat, hak milik lebih dikenal dengan
sebutan hak eigendom. Berasal dari kata “Eigen” yang berarti “diri sendiri” atau
“pribadi”, sedangkan “dom” berasal dari kata “domaniaal”, yang diartikan
sebagai milik, dan istilah “domein” yang diartikan daerah atau wilayah atau milik
Negara. Maka eigendom dapat diartikan sebagai “milik pribadi”, sedangkan
eigendomsrecht berarti hak milik pribadi.33
Pasal 570 KUHPerdata memberikan definisi dan batasan-batasan
mengenai hak milik, yang menyebutkan bahwa:
Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi
32 Sri Soedewi Maschjoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia; Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta 1980, hal., 29. 33 Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak Yang Memberi Kenikmatan, Jilid 1, Ind-Hill Co, Jakarta, 2002, hal., 86.
25
kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.
Dari rumusan ketentuan dalam Pasal 570 KUHPerdata dapat diketahui
bahwa hak milik itu adalah: Hak penguasaan dan penggunaan sesuatu kebendaan
dengan leluasa dan berbuat sebebas-bebasnya secara penuh; dilakukan sesuai
dengan kewenangan yang dipunyai pemilik hak milik; Dengan pembatasan oleh
undang-undang atau peraturan yang ditetapkan oleh Negara/Pemerintah; Tidak
mengganggu atau menimbulkan gangguan terhadap hak-hak orang lain;
Kemungkinan akan pencabutan hak milik demi kepentingan berdasarkan atas
ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti kerugian.
Penguasaan dan penggunaan sesuatu kebendaan dengan sebebas-bebasnya
dapat diartikan sebagai dapat melakukan perbuatan hukum, misalnya
mengalihkan, membebani, menyewakan dan lain-lain. Serta dapat melakukan
perbuatan materiil seperti memetik buahnya, memakai, memlihara bahkan
merusak.34 Namun, hak penguasaan dan penggunaan sesuatu kebendaan dilakukan
oleh pemiliknya sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, artinya perbuatan
hukum dan perbuatan materiil yang dilakukan pemilik hak milik tidak boleh
melampaui batas wewenang yang dipunyai. Selain itu pula penggunaan hak
eigendom juga dibatasi oleh undang-undang atau peraturan umum, bahkan
dilakukan dengan tidak boleh melanggar atau menimbulkan gangguan terhadap
hak-hak orang lain.35
Kebebasan penguasaan dan penggunaan hak selain dibatasi oleh undang-
undang dan peraturan-peraturan umum sesuai dengan perkembangan zaman dan
34 Frieda Husni Hasbullah, Op.Cit., hal., 87. 35 Rachmadi Usman, Op.Cit., hal., 186.
26
tuntutan masyarakat, juga dibatasi oleh hukum tetangga dan larangan
penyalahgunaan hak. Pembatasan hak milik oleh undang-undang, peraturan umum
dan oleh masyarakat dapat terjadi karena dibatasi oleh Hukum Tata Usaha
Negara.
Pembatasan diluar ketentuan Pasal 570 KUHPerdata antara lain dalam
penggunaannya tidak boleh ada penyalahgunaan hak (misbruik van recht) yang
berarti menggunakan haknya sedemikian rupa, sehingga menimbulkan kerugian
baik secara moril maupun materiil dari pihak lain.36 Seiring perkembangan zaman
hak milik yang semula dikategorikan sebagai hak “mutlak”, sekarang sudah tidak
dapat lagi berbuat sewenang-wenang terhadap hak kepemilikan tersebut. Suatu
perbuatan yang pada hakikatnya berupa suatu pelaksanaan dari hak milik dapat
dipandang menyimpang dengan hukum, jika perbuatan itu dilakukan dengan
maksud untuk mengganggu atau sebagai suatu misbruik van recht. Pemilikan hak
milik juga harus memperhatikan kepentingan orang lain yang berdasarkan pada
norma dan kesusilaan yang berada dalam masyarakat.37
Dalam pelaksanannya, hak milik dapat dicabut berdasarkan perintah
undang-undang serta keputusan hakim pengadilan, apabila hal tersebut dilakukan
berdasarkan kepentingan umum. Pencabutan hak milik atas suatu hak kebendaan
harus disertai dengan penggantian berupa pembayaran ganti kerugian yang wajar
dan layak terhadap pemilik hak atas suatu benda tersebut.
Hak milik memiliki ciri-ciri yaitu sebagai berikut: Hak milik merupakan
hak induk terhadap hak-hak kebendaan yang lain, sedangkan hak induk terhadap
hak-hak kebendaan yang lainnya bersifat terbatas itu berkedudukan sebagai hak 36 Ibid, hal., 91. 37 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, Intetmasa, Jakarta, 1998, hal., 98.
27
anak terhadap hak milik; Secara kuantitas, hak milik itu adalah hak terlengkap;
Hak milik memliki sifat tetap, artinya tidak lenyap terhadap hak kebendaan yang
lain dan sebaliknya; Hak milik mengandung inti dari semua hak kebendaan lain,
sedangkan hak kebendaan yang lain itu merupakan bagian dari hak milik.38
2.2.3.2 PEROLEHAN HAK MILIK
Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki, maka harus ada cara
untuk memperoleh atau memilikinya. Cara perolehan hak milik atas suatu benda
adalah dengan cara originair, yaitu pihak yang memperoleh hak milik atas suaru
benda tidak menerima dari tangan pihak pendahulu. Dengan kata lain pihak yang
memperoleh hak milik tersebut memulai dengan suatu hak yang baru, bebas dari
beban dan kewajiban, tanpa hak dan wewenang, contohnya adalah pendakuan,
perlekatan, dan daluarsa. Sedangkan derivative, yaitu dengan cara pihak yang
memperoleh hak milik atas benda menerimanya dari pemilik sebelumnya
(voorganger).39
Sedangkan didalam Pasal 584 KUHPerdata juga memberikan penjelasan
mengenai tata cara perolehan hak milik atas suatu kebendaan, yaitu sebagai
berikut:
Hak Milik atas suatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukkan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.”
38 I Ketut Oka Setiawan, Op.Cit., hal., 130. 39 Rachmadi Usman, Op.Cit., hal., 189.
28
Mengenai tata cara penyerahan kebendaan tidak bergerak diatur dalam
Pasal 616 sampai dengan Pasal 620 KUHPerdata. Dalam Pasal 616 KUHPerdata
yang menyebutkan bahwa:
Penyerahan atau penunjukkan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara seperti yang ditentukan dalam Pasal 620.” Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 616 KUH Perdata, jelas bahwa
penyerahan kebendaan tidak bergerak harus dilakukan dengan akta otentik yang
dibuat dihadapan notaris, kemudian diumumkan dan selanjutnya dengan
membukukannya pada register umum.
Penyerahan kebendaan tidak bergerak harus dengan suatu tulisan yang
dinamakan dengan akte van transport (surat penyerahan), yang harus dibuat
secara resmi atau otentik oleh Notaris. Akta tersebut berupa keterangan timbal
balik yang ditandatangani oleh penjual dan pembeli serta berisi bahwa penjual
menyerahkan hak miliknya kepada pihak pembeli yang menerima hak milik atas
benda yang bersangkutan.40
Dengan diberlakukannya UUPA, khusus untuk penyerahan kebendaan dari
tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 yang
menyempurnakan dan mengganti peraturan perundang-undangan sebelumnya
yaitu Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997, setiap peralihan hak atas dan hak milik atas
satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam
perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui
lelang, dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan cara
40 Subekti, Op.Cit., hal., 60.
29
dibuatkan akta PPAT yang dapat disebut sebagai akata otentik, selanjutnya
peralihan dan pemindahan hak atas tanah tersebut oleh pemegangnya wajib
didaftarkan ke Kantor Pertanahan setempat.
Dapat disimpulkan, bahwa penyerahan kebendaan tidak bergerak selain
dilakukan secara nyata (feitelijke levering/ deliverance), juga harus diikuti dengan
penyerahan secara yuridis (juridische levering/tradition).41
2.2.3. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG HAKMILIK
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 570 KUH Perdata, pemegang hak
milik menimbulkan hak untuk menikmati manfaat dari suatu kebendaan yang
dimilikinya tanpa diganggu gugat oleh orang lain. Hak lainnya yang timbul karena
hak milik adalah untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan
sepenuhnya. Dalam hal ini berarti pemegang hak milik bebas untuk menjual,
menghibahkan, menyerahkan benda yang dimiliknya kepada siapapun juga,
selama hal tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan yang memaksa dan atau
melanggar kepentingan umum atau hak-hak orang lain.
Dalam Pasal 571 KUHPerdata juga mengatur tentang hak lain yang
timbul karena hak milik, yaitu berkaitan dengan kepemilikan sebidang tanah, yang
mengandung didalamnya kepemilikan atas segala apa yang melekat diatasnya
maupun didalam tanah. Di atas tanahnya, pemilik berhak mengusahakan segala
tanaman dan mendirikan setiap bangunan yang diinginkannya, kemudian dibawah
tanahnya, pemilik juga berhak membuat dan menggali hasil dari galian didalam
tanah tersebut.
41 Rachmadi Usman, Op.Cit., hal., 214.
30
Setiap hak milik atas suatu kebendaan harus dianggap bebas adanya,
seperti yang tercantum dalam Pasal 572 KUHPerdata. Terhadap subyek hukum
yang mengklaim memiliki hak atas suatu benda tersebut, maka subyek hukum
tersebut harus dapat membuktikan dasar hak kepemilikan tersebut. Dengan kata
lain, bahwa pihak yang mengaku mempunyai hak milik atas kebendaan milik
orang lain, diwajibkan membuktikan kebendaan yang dikuasai oleh orang lain
tersebur adalah kebendaan miliknya,
Kepemilikan atas suatu kebendaan juga memberikan perlindungan untuk
mengembalikan suatu kebendaan hak milik yang berada dalam kekuasaan orang
lain.42 Perlindungan atas hak milik tersebut diberikan dalam bentuk gugat atas hak
milik, yang lazim dinamakan gugat revindikasi (revindicate). Pasal 574
KUHPerdata memberikan dasar hukum terkait dengan gugat revindikasi, yang
menyebutkan bahwa:
Tiap-tiap pemilik sesuatu kebendaan, berhak menuntut kepada siapapun juga yang menguasainya, akan pengembalian kebendaan itu dalam keadaan beradanya. Dapat disimpulkan bahwa pemilik suatu kebendaan mempunyai hak untuk
meminta atau menuntut kembali bendanya dari siapapun subyek yang menguasai
kebendannya itu dalam keadaan apa adanya sesuai dengan keadaan beradanya.
Revindikasi adalah sejenis gugatan yang dapat diajukan oleh pemilik, yang
bertujuan untuk minta kembali suatu barang eigendom. Gugatan diajukan oleh
pemilik eigendom yang sebenarnya terhadap pihak lain, baik yang menamakan
dirinya pemilik yang sebenarnya maupun yang merasa berhak untuk menguasai
barang itu berdasarkan atas suatu hak kebendaan lain atau berdasarkan atas suatu
42 Ibid, hal., 246.
31
hak perseorangan.43 Gugat revindikasi dapat digunakan untuk kebendaan bergerak
dan benda tidak bergerak.
Dalam Pasal 574 KUHPerdata, menyebutkan bahwa yang dapat dituntut
oleh penggugat hanya sebatas pengembalian kebendaan dalam keadaan waktu
gugatan dimajukan. Penggugat tidak diperbolehkan untuk menuntut pengembalian
kebendaan sebagaimana keadaan kebendaan itu diserahkan kepada penggugat
oleh tergugat. Namun terhadap bezitter yang tidak jujur (tergugat), sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 579 No. (1) KUHPerdata mewajibkan kepada penggugat
mengganti segala kerugian, biaya dan bunga kepada penggugat selama
keberadaannya berada di tangan tergugat.
Terhadap hasil yang didapat dari penguasaan kebendaan itu yang
kemudian oleh penggugat dituntut kembali dari tergugat yang jujur, sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 575 KUHPerdata, hanya diwajibkan mengembalikan segala
hasil yang dinikmatinya terhitung sejak gugatan diajukan di pengadilan. Namun
sebaliknya bagi tergugat yang tidak jujur, sesuai dengan ketentuan Pasal 579
KUHPerdata, diwajibkan untuk mengembalikan segala hasil yang diperoleh dari
kebendaan yang dituntut pengembaliannya. Selain itu, tergugat yang tidak jujur
juga dituntut untuk mengembalikan segala hasil yang sejatinya diperoleh
penggugat seandainya kebendaannya tersebut berada di tangannya.44 Demikian
pula, apabila tergugat merupakan pemegang kedudukan berkuasa yang jujur
maka, maka penggugat kepada tergugat berkewajiban untuk mengganti segala
biaya yang pernah dikeluarkan tergugat dalam rangka memelihara kebendaan
tersebut.
43 Wirjono Prodjidokoro, Op.Cit., hal., 114. 44 Rachmadi Usman, Op.Cit., hal., 249.
32
Gugatan revindikasi harus dibedakan gugatan yang diajukan oleh pemilik
eigendom terhadap orang yang mengganggu pemilik eigendom dalam menguasai
barang eigendom tersebut, seperti mendirikan rumah diatas tanah itu, atau
memotong pohon-pohon dari tanah itu. Gugatan tersebut diatur dalam
KUHPerdata tetapi gugatan tersebut dapat diajukan dan tujuannya supaya
gangguan tersebut dihentikan. 45
Selain itu, terdapat gugatan lainnya yang timbul dari hak milik yaitu:
Pernyataan declaratoir dari hakim, Minta pengganti kerugian berupa uang; Gugat
berdasarkan hukum tetangga; Serta gugat untuk pengosongan (Ontruirning) dapat
dijalankan terhadap kebendaan tidak bergerak atau gugat penyerahan kembali
(afgifte) dapat kemungkinan dijalankan terhadap kebendaan bergerak.46
2.3 KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH
2.3.1 HAK ATAS TANAH
2.3.1.1 PENGERTIAN HAK ATAS TANAH
Hak atas tanah adalah hak yang berisi tentang wewenang, kewajiban dan
atau larangan bagi pemegangnya untuk berbuat sesuatu sesuai dengan sifat dan
kemampuan tanah yang dimilikinya dengan suatu hak.47
Pasal 4 ayat (1) UUPA mengatur ketentuan mengenai hak-hak atas tanah,
dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa:
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 UUPA ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
45 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal., 116. 46 Sri Soedewi Maschjoen Sofwan, Op.Cit., hal., 62. 47 Sri Harini Dwiyatmi, Hukum Agraria, Sejarah Penyusunan, Isi, Dan, Pelaksanaannya, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2014, hal., 48.
33
Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari Negara atas tanah,
dapat diberikan kepada perseorangan baik warga Negara Indonesia maupun warga
Negara Asing, sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum baik
badan hukum privat maupun publik.48
Hak atas tanah jika sudut pandang tanahnya maka memiliki kedudukan
hukum yang berbeda antara satu dengan yang lain dalam hal ciri-ciri dan sifatnya.
Contohnya adalah hak milik yang mempunyai sifat yang berbeda dengan hak guna
bangunan. Namun, jika dilihat dari sisi subyeknya hak atas tanah merupakan suatu
hubungan hukum antara subyek dengan obyek (tanah) tersebut. Hubungan hukum
dalam hak atas tanah adalah memberikan wewenang dan kewajiban kepada
subyek hukum sebagai pemegang hak atas tanah.49
Menurut Sudikno Mertokusumo, subyek hukum sebagai pemegang hak
atas tanah memiliki wewenang yang dibagi menjadi dua yaitu wewenang umum
dan wewenang khusus. Wewenang yang bersifat umum adalah pemegang hak atas
tanah memiliki wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk bumi, air dan
ruang yang berada diatas tanahnya, hanya diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut
UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat (2)
UUPA). Sedangkan wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas
tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan dan memanfaatkan tanahnya
sesuai dengan jenis hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada hak guna
bangunan adalah menggunakan tanahnya untuk mendirikan dan memiliki
bangunan diatas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada hak milik adalah 48 Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana, Surabaya, 2012, hal., 89. 49 Christina Tri Budhayati, Hak Atas Tanah Peralihan Dan Pendartaran, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2017, hal., 6.
34
untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan, wewenang pada hak
guna usaha adalah menggunakan tanah hanya untuk kepentingan perusahaan di
bidang pertanian, perikanan, peternakan dan perkebunan.50
2.3.1.2 JENIS HAK ATAS TANAH
Dalam Pasal 16 dan 53 UUPA mengatur mengenai tentang macam-
macam hak atas tanah, yang diklasifikasikan menjadi 3 bidang yaitu: Hak atas
tanah yang bersifat tetap; Hak atas tanah yang akan ditetapkan oleh Undang-
Undang; Hak atas tanah yang bersifat sementara. Dimaksud dengan hak atas tanah
yang bersifat tetap adalah hak atas tanah yang akan tetap ada selama UUPA masih
berlaku atau belum dicabut dengan undang-undang yang baru, misalnya adalah
hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa untuk
bangunan, hak membuka tanah, serta hak memungut hasil hutan. Sedangkan yang
dimaksud dengan hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang
yaitu hak atas tanah yang lahir kemudian, yang akan ditetapkan oleh undang-
undang. Hak atas tanah tersebut jenisnya belum ada.
Sedangkan yang dimaksud dengan hak atas tanah yang bersifat sementara
yaitu hak atas tanah yang sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat akan
dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan, feodal dan
bertentangan dengan jiwa UUPA, misalnya adalah hak gadai, hak usaha bagi
hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian.51
Apabila dilihat dari asal tanahnya, hak atas tanah dapat dibedakan menjadi
dua jenis yaitu hak atas tanah yang bersifat primer dan hak atas tanah yang
50 Sudikno Mertokusumo dalam (Urip Santoso), Op.Cit., hal., 89. 51 Ibid, hal., 90.
35
bersifat sekunder.52 Hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak yang
perolehannya terjadi untuk pertama kali dengan sumber perolehannya diberikan
oleh Negara sehingga tanah tersebut merupakan tanah Negara, hak atas tanah
primer antara lain hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atas tanah
Negara, hak pakai atas tanah Negara.53
Sedangkan hak atas tanah yang bersifat sekunder adalah hak atas tanah
yang berasal dari pihak lain, hak atas tanah bersifat sekunder antara lain yaitu hak
guna bangunan atas tanah hak pengelolaan, hak guna bangunan atas tanah hak
milik, hak pakai atas tanah hak pengelolaan, hak pakai atas tanah hak milik, hak
sewa untuk bangunan, hak gadai tanah, hak usaha bagi hasil, hak menumpang,
serta hak sewa tanah pertanian.54
2.3.2 HAK MILIK ATAS TANAH
2.3.2.1 PENGERTIAN HAK MILIK ATAS TANAH
Ketentuan mengenai hak milik disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf
(a) UUPA. Hak milik secara khusus diatur dalam Pasal 20 hingga 27 UUPA.
Menurut Pasal 50 ayat (1) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai hak milik
diatur dengan undang-undang. Namun, hingga saat ini undang-undang yang
diperintahkan oleh UUPA belum dibentuk. Karena belum dibentuk, maka
menurut Pasal 56 UUPA, menyebutkan bahwa “Selama undang-undang tentang
hak milik belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum
adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya sepanjang tidak bertentangan
dengan UUPA.”55
52 Ibid, hal., 91. 53 Sri Harini Dwiyatmi, Op.Cit., hal., 51. 54 Urip Santoso, Op.Cit., hal., 91. 55 Ibid, hal., 92.
36
Pasal 20 UUPA memberikan definisi tentang hak milik, yaitu hak turun
temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan
mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA. Turun temurun artinya adalah hak
milik atas tanah akan berlangsung secara terus menerus selama pemiliknya masih
hidup, dan apabila pemilik tanah meninggal dunia maka tanah tersebut diwariskan
atau dilanjutkan oleh ahli waris sepanjang memenuhi syarat sebagai subyek
pemilik hak milik. Terkuat artinya bahwa hak milik jika dibandingkan dengan hak
atas tanah yang lain lebih kuat karena tidak mempunyai batas waktu tertentu,
mudah dipertahankan, dari gangguan pihak lain dan tidak mudah hapus.
Selanjutnya adalah terpenuh, yang mempunyai arti hak milik atas tanah
memberikan wewenang yang lebih luas dibandingkan dengan hak atas tanah yang
lain, karena dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, tidak berinduk
pada hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas dibandingkan
dengan hak atas tanah yang lain.56
Ketentuan mengenai subyek hukum hak milik diatur dalam Pasal 9 ayat
(1) jo. 21 UUPA. Dalam Pasal 21 ayat (1) menyebutkan bahwa yang menjadi
subyek hukum hak milik perorangan adalah warga Negara Indonesia, hal tersebut
adalah syarat mutlak untuk menjadi subyek hukum hak milik atas tanah. Apabila
Warga Negara Asing memperoleh hak milik atas tanah dengan tidak sengaja,
karena pewarisan menurut undang-undang, atau setelah berlakunya UUPA
kehilangan status sebagai warga Negara Indonesia, maka berdasarkan Pasal 21
ayat (3) UUPA dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak milik
56 Ibid, hal., 92.
37
tersebut, wajib melepaskannya. Apabila hal tersebut tidak dilakukan maka tanah
tersebut beralih menjadi tanah yang dikuasai oleh Negara.57
Pasal 21 ayat (2) mengatur ketentuan mengenai badan hukum yang dapat
menjadi subyek hukum hak milik atas tanah yaitu sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 yaitu bank yang didirikan oleh Negara,
koperasi pertanian, badan keagamaan, dan badan sosial. Selanjutnya berdasarkan
Pasal 8 ayat (1) Peraturan Menteri Agrariaa/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999,
badan hukum yang dapat menjadi subyek hukum hak milik yaitu bank
pemerintah, badan keagamaan dan sosial yang ditunjuk oleh pemerintah. Tanah
yang boleh dimiliki dengan hak milik oleh badan hukum hanyalah tanah yang
dipergunakan untuk keperluan langsung dari badan hukum tersebut.58
Dalam menggunakan hak milik atas tanah harus memperhatikan fungsi
sosial atas tanah, yaitu dalam menggunakan tanah tidak boleh menimbulkan
kerugian bagi orang lain, penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan
dan sifat haknya, adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan
kepentingan umum, dan tanah harus dipelihara dengan baik agar bertambah
kesuburan dan mencegah kerusakannya.59
Apabila hak milik atas tanah sengaja dialihkan kepada pihak yang tidak
memenuhi syarat sebagai subyek hukum hak milik, dalam Pasal 26 ayat (2)
menyebutkan bahwa perbuatan hukum tersebut menjadi batal demi hukum, dan
tanah tersebut akan menjadi tanah yang dikuasai oleh Negara, dan hak yang
membebani akan tetap berlangsung.60
57 Ibid, hal., 95. 58 Ibid 59 Ibid, hal., 93. 60 Christina Tri Budhayati, Op.Cit., hal., 17.
38
2.3.2.2 PERALIHAN HAK MILIK
Dalam Pasal 20 ayat (2) UUPA, menyebutkan bahwa hak milik dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Dapat disimpulkan berdasarkan Pasal 20
ayat (2) maka bentuk peralihan ada dua yaitu beralih dan dialihkan.
Beralih adalah berpindahnya hak milik atas tanah dari pemiliknya kepada
pihak lain diakibatkan karena terjadinya suatu peristiwa hukum. Hal tersebut
terjadi karena pemilik atas tanah meninggal, maka tanah tersebut beralih kepada
ahli warisnya. Beralihnya hak miilik atas tanah yang telah bersertifikat harus
didaftarkan di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dengan melampirkan
surat keterangan kematian pemilik tanah, surat keterangan sebagai ahli waris yang
dibuat oleh pejabat yang berwenang, bukti identitas para ahli waris, serta sertifikat
tanah yang bersangkutan. Tujuan pendaftaran peralihan hak milik tersebut untuk
dicatat dalam Buku tanah dan perubahan nama pemegang hak dari pemilik tanah
kepada ahli warisnya.61
Pasal 42 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo. Pasal 111 dan Pasal
112 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, mengatur mengenai tata
cara pendaftaran peralihan hak karena beralihnya hak milik.
Selanjutnya adalah peralihan hak karena dialihkan atau pemindahan hak.
Pemindahan hak artinya berpindahnya hak milik atas tanah dari pemiliknya
kepada pihak lain dikarenakan adanya suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum
yang dimaksud adalah jual beli, tukar menukar, hibah, penyertaan dalam modal
perusahaan, lelang. Berpindahnya hak milik atas tanah karena pemindahan hak
61 Urip Santoso, Op.Cit., hal., 93.
39
harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang
berwenang yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), kecuali lelang dibuat
dengan Berita Acara Lelang atau Risalah Lelang yang dibuat oleh pejabat dari
Kantor lelang. Berpindahnya hak milik atas tanah tersebut harus didaftarkan ke
Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan
dilakukan perubahan nama dalam sertifikat dari pemilik tanah yang lama kepada
pemilik yang baru.62
Dalam Pasal 37 hingga Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
jo. Pasal 106 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 mengatur
mengenai pemindahan hak karena jual beli, tukar menukar, hibah, penyertaan
dalam modal, sedangkan pemindahan hak karena lelang diatur dalam Pasal 41
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo. Pasal 107-110 Peraturan Menteri
Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997.
Peralihan hak milik atas tanah secara langsung maupun tidak langsung
kepada subyek hukum warga Negara asing, berkewarganegaraan ganda atau
badan hukum yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah adalah batal karena hukum dan
tanahnya akan dikuasai oleh Negara.63
2.3.2.3 TERJADINYA HAK MILIK
Menurut ketentuan dari Pasal 22 UUPA hak milik atas tanah dapat terjadi
melalui tiga cara yaitu: Hak milik terjadi karena hukum adat; Hak milik atas tanah
terjadi karena penetapan Pemerintah; Hak milik atas tanah terjadi karena
ketentuan undang-undang.
62 Ibid, hal., 94. 63 Urip Santoso, Loc.cit.
40
Hak milik atas tanah terjadi karena hukum adat terjadi dengan cara
pembukaan tanah atau terjadi karena timbulnya lidah tanah. Dimaksud dengan
pembukaan tanah adalah dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat adat
yang dipimpin oleh ketua adat yang melalui tiga sistem yaitu matok sirah matok
galeng, matok sirah gilir galeng, serta sistem blubluran. Lalu yang dimaksud
dengan lidah tanah adalah pertumbuhan di tepi sungai, danau atau laut, tanah yang
tumbuh dianggap menjadi kepunyaan orang yang memiliki tanah yang berbatasan.
Dengan sendirinya terjadi hak milik secara demikian itu melalui suatu proses
pertumbuhan yang memakan waktu.64 Hak milik atas tanah adat tersebut dapat
didaftarkan di Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten setempat.
Selanjutnya adalah hak milik atas tanah terjadi karena penetapan
Pemerintah, terjadi karena berasal dari tanah yang dikuasai oleh Negara dan
adanya permohonan oleh calon pemegang hak kepada Pemerintah terhadap tanah
Negara. Untuk mengajukan permohonan, pemohon wajib memenuhi syarat
administrasi yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, lalu
permohonan ditujukan kepada pemerintah melalui pejabat yang berwenang
sebagaimana telah ditentukan dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No.
3 Tahun 1997. Setelah permohonannya dikabulkan oleh pemerintah maka akan
diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak dan harus didaftarkan di Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk diterbitkannya sertifikat hak milik.65
Sedangkan Hak milik atas tanah terjadi karena ketentuan undang-undang,
terjadi karena undang-undang yang memerintahkan atau menciptakannya. Sejak
berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960, semua hak atas tanah yang
64 Boedi Harsono dalam (Urip Santoso), Ibid, hal., 96. 65 Christina Tri Budhayati, Op.Cit., hal., 18.
41
ada harus diubah menjadi salah satu hak atas tanah seperti yang diatur dalam
UUPA. Dimaksud dengan konversi adalah perubahan hak atas tanah sehubungan
dengan berlakunya UUPA, Hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA
harus diubah menjadi hak-hak atas tanah seperti yang ditetapkan dalam Pasal 16
UUPA.66
2.3.2.4 HAPUSNYA HAK MILIK
Hapusnya hak milik atas tanah berakibat tanah tersebut akan jatuh kepada
Negara. Pasal 27 UUPA menyebutkan beberapa faktor yang menjadi penyebab
hapusnya hak milik yaitu: “Karena pencabutan hak berdasarakan Pasal 18 UUPA;
Penyerahan secara sukarela oleh pemiliknya; Karena ditelantarkan; Karena
subyek haknya tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak milik atas tanah;
Karena peralihan hak yang mengakibatkan tanahnya berpindah kepada pihak lain
yang tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak milik; Hak milik atas tanah hapus
karena tanahnya musnah, misalnya dalam hal bencana alam. Tanah yang
merupakan akibat hapusnya hak milik tersebut menjadi milik Negara.
2.3.3 LEMBAGA RECHTSVERWERKING
Di dalam hukum adat terdapat lembaga yang bernama lembaga
“Rechtsverwerking”, dimaksud dengan rechtsverwerking adalah apabila
seseorang mempunyai tanah dalam jangka waktu tertentu dan menelantarkan
tanahnya, dan selanjutnya tanah tersebut digunakan oleh orang lain secara terus
menerus, dikelola dan diperoleh berdasarkan atas itikad baik, maka pemilik tanah
yang menelantarkan tanah tersebut tidak dapat menuntut tanahnya kembali,
karena tanah tersebut sebelumnya telah ditelantarkan.
66 Urip Santoso, Op.Cit., hal., 98.
42
Didalam UUPA juga serupa mengatur tentang hapusnya hak. Seperti yang
termuat dalam Pasal 27 UUPA yang menyebutkan bahwa, Hak Milik hapus
karena tanahnya ditelantarkan; Pasal 45 UUPA “Hak Guna Usaha hapus karena
ditelantarkan; Pasal 40 UUPA “Hak Guna Bangunan hapus karena ditelantarkan.”
Dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 mengenal adanya
lembaga rechtsverwerking yaitu dengan adanya batas waktu maksimal untuk
gugatan atas kepemilikan tanah yaitu maksimal dapat menggugat tanah tersebut
dalam kurun waktu 5 tahun sejak tanah tersebut bersertifikat. Dengan kata lain
bahwa seseorang mempunyai batas waktu maksimal untuk menuntut tanah
tersebut, dapat kehilangan hak untuk menuntut apabila melebihi jangka waktu
yang telah ditentukan oleh Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. Dalam Pasal
32 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa seseorang dapat
terlepas dari gugatan kepemilikan tanah apabila, memperoleh tanah dengan itikad
baik; Namanya tercantum dalam sertifikat atau telah mendapat persetujuan dari
orang lain untuk menguasai tanah tersebut; Serta tidak digugat kepemilikannya
oleh pihak lain dalam kurun waktu 5 tahun sejak sertifikat tersebut diterbitkan.
Menurut Kartini Mulyadi, lembaga rechtsverwerking berkaitan dengan
konsep lampaunya waktu yang berkaitan dengan apabila seseorang memiliki hak
atas tanah, namun tidak mengusahakan hak atas tanah tersebut maka akan
kehilangan hak atas tanah tersebut. Lalu, seseorang yang memperoleh tanah
tersebut berdasarkan atas itikad baik dan mengelola tanah secara berkelanjutan
43
maka berhak atas tanah tersebut.67 Rechtsverwerking lahir karena pola hidup
masyarakat yang hidup berpindah-pindah dan tidak menetap di satu tempat.
Lembaga Rechtsverwerking sesuai dengan prinsip yang diatur oleh hukum
adat bahwa tanah merupakan milik bersama masyarakat adat yang harus
dipergunakan oleh masyarakat atau anggotanya, dan tidak boleh sekedar dimiliki
akan tetapi tidak dipergunakan, hampir sama halnya dengan larangan
menelantarkan tanah dalam hukum tanah nasional. Lembaga Rechtsverwerking
juga telah mendapatkan pengukuhan dari yurisprudensi yaitu antara lain Putusan
MA tanggal 24 Mei 1958 No: 329/K/SIP/1957 Kasus di Kabupaten Tapanuli
Selatan, dalam kasusnya memuat tentang pelepasan hak di Tapanuli Selatan
“Apabila tanah yang diperoleh secara marimba selama 5 tahun berturut-turut
dibiarkan saja oleh yang bersangkutan, maka hak atas tanah itu dianggap telah
dilepaskan. Contoh kasus lain adalah Putusan Mahkamah Agung tanggal 10
Januari 1956 No: 210/K/SIP/1055 dalam kasus di Kabupaten Padeglang, Banten.
Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima karena para penggugat telah
menelantarkan tanah tersebut selama 25 Tahun dan harus dianggap
menghilangkan atau menghapus haknya (rechtsverwerking).
Dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tetap
memperhatikan 2 asas hukum yaitu asas nemo plus yuris dan asas itikad baik.
Asas nemo plus yuris yaitu seseorang tidak dapat mengalihkan hak melebihi hak
yang ada padanya. Sedangkan asas itikad baik yaitu seseorang yang memperoleh
hak atas tanah dengan itikad baik, berhak memperoleh hak atas tanah tersebut dan
67 Christina Tri Budhayati. 2018. Jaminan Kepastian Kepemilikan Bagi Pemegang Hak Atas Tanah Dalam Pendaftaran Tanah. Journal Law UKSW. 2(2): 132.
44
sah menurut hukum. Kedua asas tersebut bertujuan untuk memberikan
perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah.68
Walaupun rechtsverweking berasal dari hukum adat dan ketentuan tersebut
bukan merupakan ketentuan tertulis, namun ketentuan tersebut secara eksplisit
dimuat dalam Pasal 27, 34, 40, dan 45 UUPA yang menyebutkan bahwa hapusnya
hak atas tanah disebabkan karena tanah tersebut ditelantarkan. Karena lembaga
rechtsverwerking berasal dari hukum adat dan tidak tertulis, maka penerapan dan
pertimbangan mengenai terpenuhinya persyaratan yang bersangkutan dalam
kasus-kasus konkret berada di tangan hakim yang mengadili sengketa pertanahan
tersebut. Hakim akan memutus perkara para pihak yang bersengketa, yang
menjadikan tanah yang sudah bersertifikat sebagai obyek perkaranya.
2.4 PENDAFTARAN TANAH
2.4.1 PENGATURAN PENDAFTARAN TANAH
Sejak disahkannya UUPA Pada tanggal 24 September 1960, maka berlaku
hukum Agraria Nasional dan mencabut peraturan dan keputusan yang dibuat pada
masa pemerintahan Hindia-Belanda, antara lain Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55
dan Agrarische Besluit Stb. 1870 No.118.69 Salah satu alasan dicabutnya dan tidak
berlakunya hukum agraria kolonial dan menggantinya dengan hukum agraria
nasional yang baru adalah tidak adanya kepastian hukum dalam pemilikan hak
atas tanah, khususnya hak atas tanah menurut hukum adat.70 Hal tersebut terjadi
karena hak-hak adat tidak dilakukan pendaftaran tanah secara recht cadaster
sebagaimana hak-hak barat, sehingga tidak ada kepastian mengenai obyek, subyek
maupun hukumnya. 68 Christina Tri Budhayati, 2018, Op.Cit., hal., 133. 69 Ibid, hal., 277. 70 Christina Tri Budhayati, Op,Cit., hal., 111.
45
Tujuan dengan diundangkannya UUPA, termuat dalam penjelasan umumnya, antara lain adalah: Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur; Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan hukum pertanahan; Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, dalam Pasal 19 UUPA
memerintahkan untuk membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur
lebih lanjut mengenai pendaftaran tanah. Diterbitkanlah Peraturan Pemerintah No.
10 Tahun 1961. Namun, realitanya pendaftaran tanah yang diselenggarakan oleh
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tersebut selama lebih dari 30 tahun
belum cukup memberikan hasil yang memuaskan. Dari sekitar 55 Juta bidang
tanah hak memenuhi syarat untuk didaftar, baru sekitar 16,3 Juta bidang tanah
yang sudah didaftar. Faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pendaftaran
tanah adalah kekurangan anggaran, alat dan tenaga serta keadaan obyektif
tanahnya sendiri. Selain jumlahnya besar dan tersebar di wilayah yang luas,
sebagian besar penguasaannya tidak didukung oleh alat pembuktian yang mudah
diperoleh dan dapat dipercaya kebenarannya. Selain itu ketentuan hukum untuk
dasar pelaksanaannya dirasa belum cukup memberikan kemungkinan untuk
terlaksananya pendaftaran tanah dalam waktu yang singkat dengan hasil yang
lebih memuaskan.71
Karena beberapa hal tersebut, maka dirasa perlu ada penyempurnaan pada
ketentuan yang mengatur mengenai pendaftaran tanah. Kemudian dibentuklah
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 yang bertujuan untuk menyempurnakan
71 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), Jilid 1, Djambatan, Jakarta, 1999, hal., 457.
46
Peraturan perundang-undangan sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah No. 10
Tahun 1961. Kemudian Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 dinyatakan
tidak berlaku lagi, hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 65 Peraturan Pemerintah
No. 24 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa “Dengan berlakunya Perturan
Pemerintah ini maka Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 mempunyai kedudukan yang
sangat strategis dan menentukan, bukan hanya sekadar sebagai pelaksanaan
ketentuan Pasal 19 UUPA, tetapi lebih dari itu Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997 menjadi salah satu alat yang mendukung berjalannya administrasi
pertanahan sebagai salah satu program dalam tertib pertanahan dan Hukum
pertanahan di Indonesia.72
Maria S.W. Sumardjono berpendapat bahwa, terbitnya Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 disebabkan oleh kesadaran akan semakin
pentingnya peran tanah dalam pembangunan yang semakin memerlukan
dukungan kepastian hukum di bidang pertanahan. Secara normatif, kepastian
hukum itu memerlukan tersedianya perangkat perundang-undangan yang secara
operasional mampu mendukung pelaksanaannya. Secara empiris, keberadaan
peraturan perundang-undangan itu perlu dilaksanakan secara konsisten dan
konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya.73
Beberapa ketentuan pokok dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun
1961 tetap dipertahankan oleh Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 adalah
tujuan dan sistem pendaftaran tanah yang bertujuan memberikan jaminan
72 Urip Santoso, Op.Cit., hal., 281. 73 Maria S.W. Sumardjono dalam (Urip Santoso), Ibid, hal., 282.
47
kepastian hukum dibidang pertanahan, dan sistem publikasinya adalah sistem
negatif, tetapi mengandung unsur positif, karena menghasilkan surat-surat tanda
bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Serta pendaftaran
tanah dilaksanakan melalui dua cara yaitu secara sistematik dan sporadik.
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 selain mencabut juga
menyempurnakan substansi Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961.
Penyempurnaan tersebut dalam hal: Pengertian pendaftaran tanah; Asas-asas dan
tujuan penyelenggaraan pendaftaran tanah, selain memeberikan kepastian hukum
juga dimaksud untuk menghimpun dan menyajikan informasi yang lengkap
mengenai data fisik dan data yuridis mengenai bidang tanah yang bersangkutan;
Prosedur pengumpulan data dipertegas, dipersingkat, dan disederhanakan untuk
menjamin kepastian hukum di bidang penguasaan dan pemilikan tanah; Untuk
mempercepat pengukuran dan pemetaan bidang tanah yang harus didaftar
dimungkinkan menggunakan teknologi modern; dimungkinkan pembukuan
bidang-bidang tanah yang data fisik maupun yuridisnya belum lengkap atau masih
menjadi sengketa; Penegasan mengenai sertifikat sebagai alat tanda bukti hak;
Pokok-pokok tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam rangka pemeliharaan data
pendaftaran tanah.
Penegasan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
merupakan upaya penyempurnaaan terhadap peraturan yang ada sekaligus
penyesuaian terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat sebagaimana telah
diamanatkan oleh UUPA. Ketentuan baru pendaftaran tanah dimaksud secara
substansial tetap menampung konsepsi-konsepsi hukum adat yang hidup dalam
masyarakat, sehingga dengan demikian memperkuat kerangka tujuan UUPA yaitu
48
untuk menciptakan unifikasi Hukum Tanah Nasional yang didasarkan pada
hukum adat.74
2.4.2 PENGERTIAN PENDAFTARAN TANAH
UUPA, Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, tidak memberikan
definisi mengenai pendaftaran tanah. Menurut A.P Parlindungan, pendaftaran
tanah berasal dari kata Cadastre (Bahasa Belanda kadaster) suatu istilah teknis
untuk suatu record (rekaman), menunjukkan kepada luas, nilai dan kepemilikan
(atau lain-lain alas hak) terhadap suatu bidang tanah. Dalam arti tegas cadastre,
merupakan record pada lahan-lahan, nilai daripada tanah dan pemegang haknya
dan untuk kepentingan perpajakan. Dengan demikian, cadastre merupakan alat
yang tepat memberikan uraian dan identifikasi dari uraian tersebut dan juga
sebagai continous recording dari hak atas tanah.75
Pengertian pendaftaran tanah baru dimuat dalam Pasal 1 angka (1)
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, yaitu:
Serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pendaftaran
tanah memiliki beberapa unsur yaitu adanya serangkaian kegiatan, dilakukan oleh
Pemerintah, secara terus menerus berkesinambungan, secara teratur, bidang-
bidang tanah dan satuan rumah susun, pemberian tanda bukti hak, serta hak-hak
tertentu yang membebaninya. 74 Mohamad Yamin dan Abdurahman Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal., 15. 75 A.P. Parlindungan, Op.Cit, hal., 18.
49
Adanya serangkaian kegiatan, menunjuk pada adanya berbagai kegiatan
dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah, yang berkaitan satu dengan yang lain,
berurutan menjadi satu kesatuan rangkaian yang bermuara pada tersedianya data
uang diperlukan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang
pertanahan bagi rakyat.76 Kegiatan pendaftaran tanah terdiri atas kegiatan
pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah.77
Pendaftaran tanah untuk pertama kali, bentuk kegiatannya adalah pengumpulan
dan pengolahan data fisik; pembuktian hak dan pembukuannya, penerbitan
sertifikat, penyajian data fisik dan data yuridis dan penyimpanan daftar umum dan
dokumen. Sedangkan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah bentuk
kegiatannya adalah pendaftaran peralihan, pembebanan hak dan pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah lainnya.
Selanjutnya adalah unsur “dilakukan oleh pemerintah”, yang artinya
penyelenggaraan pendaftaran tanah merupakan tugas Negara yang dilaksanakan
oleh Pemerintah untuk memberikan kepastian hukum dibidang pertanahan.
Instansi yang menyelenggarakan pendaftaran tanah adalah Badan Pertanahan
Nasional, pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota.
Berikutnya adalah unsur “Secara terus menerus atau berkesinambungan”
yang artinya pelaksanaan kegiatan yang sekali dimulai tidak akan ada akhirnya.
Data yang sudah terkumpul dan tersedia harus selalu dipelihara, sesuai dengan
kondisi terakhir.78
76 Mohamad Yamin dan Abdurahman Lubis, Op.Cit., hal., 73. 77 Boedi Harsono, Op.Cit., hal., 460. 78 Urip Santoso, Op.Cit., hal., 289.
50
Unsur yang berikutnya adalah “teratur”, yang menunjukkan bahwa semua
kegiatan harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang sesuai, karena
hasilnya merupakan data bukti yang sah menurut hukum. Selanjutnya adalah
unsur “Bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun” adalah kegiatan
pendaftaran tanah dilakukan terhadap hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah
susun, hak tanggungan dan tanah Negara.
Berikutnya adalah “Pemberian surat tanda buki hak” yaitu kegiatan
pendaftaran tanah yang dilakukan pertama kali menghasilkan surat tanda bukti
hak yang berupa sertifikat. Unsur yang terakhir adalah “hak-hak tertentu yang
membebaninya” yang dimaksud adalah kegiatan pendaftaran tanah obyeknya
adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak milik
atas satuan rumah susun yang dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan, atau hak milik atas tanah dibebani dengan hak guna bangunan atau
hak pakai.79
2.4.3 ASAS-ASAS DALAM PENDAFTARAN TANAH
Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, menyebutkan bahwa
asas-asas pendaftaran tanah terdiri dari asas sederhana, aman, terjangkau,
mutakhir dan terbuka.
Dimaksud dengan asas sederhana adalah ketentuan-ketentuan pokoknya
maupun prosedurnya dapat dengan mudah dipahami oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah. Selanjutnya adalah asas
aman, yang dimaksud dengan asas aman adalah bertujuan untuk menunjukkan
79 Ibid, hal., 290.
51
bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga
hasilnya dapat memberikan kepastian hukum sesuai dengan tujuan pendaftaran
tanah.
Lalu yang dimaksud dengan asas terjangkau yaitu dalam proses
penyelenggaraan pendaftaran tanah terjangkau bagi pihak-pihak yang
berkepentingan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan
golongan ekonomi lemah. Selanjutnya adalah asas mutakhir, yang dimaksud
dengan asas mutakhir yaitu data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang
mutakhir. Oleh sebab itu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan
yang terjadi di kemudian hari. Asas mutakhir menuntut untuk dipeliharanya dara
pendaftaran tanah secara terus menerus dan berkesinambungan. Asas yang
terakhir adalah asas terbuka, yang dimaksud terbuka adalah agar masyarakat dapat
mengetahui atau memperoleh keterangan mengenai data fisik dan data yuridis
yang benar di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.
2.4.4. OBYEK PENDAFTARAN TANAH
Menurut Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, yang menjadi
objek pendaftaran tanah adalah bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak
milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai; Tanah hak pengelolaan;
Tanah wakaf; Hak milik atas satuan rumah susun; Hak tanggungan; Tanah
Negara.
Berbeda dengan obyek-obyek pendaftaran tanah yang lain, dalam hal
tanah Negara pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah
yang bersangkutan dalam daftar tanah. Untuk tanah Negara tidak disediakan buku
tanah dan karenanya tidak diterbitkan sertifikat. Sedangkan obyek pendaftaran
52
tanah yang lain didaftarkan dengan membukukannya dalam peta pendaftaran dan
buku tanah serta menerbitkan sertifikat sebagai surat tanda bukti hak.80 Dalam
Pasal 1 angka (3) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa,
Tanah yang dikuasai oleh Negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan
sesuatu hak atas tanah.
2.4.5 TUJUAN PENDAFTARAN TANAH
Ketentuan mengenai tujuan pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 3
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, dan dipertahankan yang pada
hakekatnya ditetapkan dalam Pasal 19 UUPA, dapat disimpulkan bahwa tujuan
pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum kepada pemegang
hak atas suatu bidang tanah; untuk menyediakan informasi kepada pihak yang
berkepentingan terhadap tanah tersebut; Serta untuk terselenggaranya tertib
administrasi pertanahan.
Jaminan kepastian hukum sebagai tujuan pendaftaran tanah meliputi:
Kepastian status hak yang didaftar, artinya dengan pendaftaran tanah akan dapat
diketahui dengan pasti status hak yang didaftar; Kepastian subjek hak, artinya
dengan pendaftaran tanah akan dapat diketahui dengan pasti pemegang haknya;
Kepastian objek hak, artinya dengan pendaftaran tanah akan dapat diketahui
dengan pasti letak tanah, batas tanah dan luas tanah.81
Dengan terselenggaranya pendaftaran tanah juga dimaksudkan untuk
terciptanya suatu pusat informasi mengenai bidang-bidang tanah sehingga pihak
yang berkepentingan termasuk pemerintah dengan mudah dapat memperoleh data
yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
80 Boedi Harsono, Op.Cit., hal., 462. 81 Urip Santoso, Op.Cit., hal., 293.
53
tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. Dengan pendaftaran
tanah, pemerintah maupun masyarakat dapat dengan mudah memperoleh
informasi mengenai data fisik dan data yuridis di Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota apabila akan mengadakan suatu perbuatan hukum mengenai
bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar, misalnya pengadaan
tanah untuk kepentingan pemerintah atau perusahaan swasta, jual beli, lelang,
pembebanan hak tanggungan.82
Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan
perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan. Untuk mewujudkan tertib
administrasi pertanahan, setiap bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk
peralihan, pembebanan, dan hapusnya hak atas bidang tanah dan hak milik atas
satuan rumah susun wajib didaftarkan.83
2.4.6 SISTEM PENDAFTARAN TANAH DALAM UUPA
Apabila dilihat dari segi alat pembuktian atau sertifikat maka dikenal
dengan adanya dua sistem pendaftaran tanah yaitu sistem pendaftaran tanah
negatif dan sistem pendaftaran tanah positif, sedangkan apabila dilihat dari segi
obyek yang didaftarkan, dikenal dengan adanya sistem buku tanah atau
pendaftaran hak (registration of titles), dan sistem perbuatan hukum (registration
of deeds).84
Menurut Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 sistem pendaftaran
yang digunakan adalah sistem pendaftaran hak (registration of titles), bukan
sistem pendaftaran akta. Hal tersebut tampak dengan adanya buku tanah sebagai
dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan 82 Ibid, hal., 294. 83 Ibid. 84 Christina Tri Budhayati, Op.Cit., hal., 120.
54
serta diterbitkannya sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar.
Pembukuan dalam buku tanah serta pencatatannya pada surat ukur tersebut
merupakan bukti, bahwa hak yang bersangkutan beserta pemegang haknya dan
bidang tanahnya yang diuraikan dalam surat ukur secara hukum telah terdaftar
menurut Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, seperti yang termuat dalam
Pasal 29.85
Sistem publikasi yang digunakan seperti yang termuat dalam Peraturan
Pemrintah No.24 Tahun 1997 yaitu sistem negatif yang mengandung unsur
positif.86 Karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat, seperti yang termuat dalam Pasal 19 ayat (2)
huruf (c) yang menyebutkan bahwa sertifikat adalah alat bukti yang kuat, yang
artinya sistem pendaftaran tanah negatif. Sedangkan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf
(a) menyebutkan bahwa pendaftaran tanah termasuk kegiatan pengukuran yang
dilakukan oleh petugas pendaftaran tanah, yang artinya sistem pendaftaran tanah
positif.87 Negatif bertendens positif tersebut dipertegas dalam Pasal 23 ayat (2),
Pasal 32 ayat (2), dan Pasal 38 ayat (2) UUPA.
2.4.7 PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH
Dalam Pasal 19 ayat (2) UUPA, kegiatan pendaftaran tanah yang
dilakukan oleh pemerintah meliputi: Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan
tanah; Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; Pemberian
surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Lalu
dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. Kegiatan
85 Boedi Harsono, Op.Cit., hal.,463. 86 Ibid. 87 Christina Tri Budhayati, Op.Cit., hal., 120.
55
pendaftaran tanah dibagi menjadi dua yaitu kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali dan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah.
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan
pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum
didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. Pendaftaran tanah
untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan
pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah
kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak
yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah
suatu desa/kelurahan (Pasal 1 angka (10) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
1997). Sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran
tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah
dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan secara individual
atau massal (Pasal 1 angka (11) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997). Dalam
hal suatu desa atau kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran tanah
secara sitematik maka pendaftaran tanah dilaksanakan secara sporadik dan
dilakukan atas permintaan pihak yang berkepentingan.88
Selanjutnya adalah kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah, yang
dimaksud dengan pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan untuk
menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar nama,
surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi
kemudian (Pasal 1 angka (12) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997).
Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada
88 Urip Santoso, Op.Cit., hal., 306.
56
data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar.
Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan data fisik atau
data yuridis tersebut kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk
dicatat dalam buku tanah. Buku tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang
memuat data yuridis dan data fisik suatu obyek pendaftaran tanah yang sudah ada
haknya (Pasal 1 angka (12) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997). 89
2.4.8 SERTIFIKAT SEBAGAI ALAT BUKTI HAK
Sertifikat sebagai alat bukti yang kuat untuk memberikan jaminan dan
perlindungan hukum bagi subyek hukum pemegang hak atas tanah. Dalam Pasal
19 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa hasil dari kegiatan pendaftaran tanah adalah
surat tanda bukti hak, yang menjadi alat bukti yang kuat dan sah. Dimaksud
dengan alat bukti yang kuat tersebut adalah serifikat. Namun, UUPA tidak secara
spesifik menyebut “sertifikat”, Pasal 1 Angka (20) Peraturan Pemerintah No.24
Tahun 1997 memberikan definisi terkait dengan sertifikat yaitu “Surat tanda bukti
hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas
tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak
tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang
bersangkutan.”
Tujuan diterbitkannya sertifikat dalam kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali adalah supaya pemegang hak dengan mudah dapat membuktikan
dirinya sebagai pemegang haknya. Sertifikat diterbitkan untuk kepentingan
pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang
89 Ibid, hal., 308.
57
telah didaftar dalam buku tanah.90 Sifat pembuktian sertifikat sebagai tanda bukti
hak disebutkan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf (c) UUPA yang menyebutkan
bahwa sertifikat adalah alat bukti yang kuat, baik secara data fisik dan data yuridis
yang dimuat dalam sertifikat dianggap benar sepanjang tidak dibuktikan oleh alat
bukti yang lain. Sifat pembuktian tersebut juga diatur dalam Pasal 32 Peraturan
Pemerintah No.24 Tahun 1997 yang pada intinya sertifikat adalah alat pembuktian
yang kuat dan pada ayat (2) apabila pemegang sertifikat telah memiliki hak atas
tanah tersebut selama lebih dari 5 tahun tidak dapat diganggu gugat lagi.
Dalam Pasal 32 ayat 1 terdapat kelemahan yaitu Negara tidak menjamin
kepastian hukum pemegang hak atas tanah tersebut, karena sewaktu-waktu akan
mendapatkan gugatan dari pihak lain yang merasa dirugikan atas penerbitan
sertifikat tersebut.
Untuk menutupi kelemahan Pasal 32 ayat (1) tersebut terdapat ayat (2)
yang bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap
pemegang hak atas tanah. Dengan catatan, apabila memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut: Sertifikat diterbitkan secara sah; Tanah diperoleh atas itikad baik; Tanah
dikuasai secara nyata; Dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat
tersebut tidak ada yang mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang
sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan setempat, serta tidak mengajukan gugatan
ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau terkait dengan penerbitan
sertifikat tersebut.91
90 Ibid, hal., 316. 91 Ibid, hal., 319.
58
2.5 KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA
Sengketa Tata Usaha Negara merupakan akibat dari dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara. Dalam Pasal 1 angka (9) UU No. 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 memberikan definisi tentang
Keputusan Tata Usaha Negara, yaitu: Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata
Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.
Sedangkan dalam Pasal 1 angka (7) UU No. 30 Tahun 2014, menyebutkan
bahwa “Keputusan administrasi pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata
Usaha Negara atau Keputusan administrasi Negara yang selanjutnya disebut
keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan dan/atau Pejabat
pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.”
Dapat disimpulkan bahwa unsur dari keputusan Tata Usaha Negara yaitu
penetapan tertulis; Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;
Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-
undangan; Memiliki sifat konkret, individual, dan final; Menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
“Penetapan tertulis” merujuk pada isi yang dikeluarkan oleh badan atau
pejabat Tata Usaha Negara bukan merujuk pada bentuknya. Dalam UU No.51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 memaparkan
bahwa, keputusan Tata Usaha Negara harus dengan bentuk tertulis, kecuali
keputusan Tata Usaha Negara seperti yang termuat dalam Pasal 3 UU No.51
59
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986. Dalam Pasal 3
tersebut keputusan Tata Usaha Negara memang tidak berbentuk tertulis, namun
disamakan atau dianggap sama dengan keputusan Tata Usaha Negara yang
berbentuk tertulis.92
Unsur yang selanjutnya adalah, Keputusan Tata Usaha Negara harus
dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara. Dimaksud dengan
pejabat atau badan Tata Usaha Negara adalah yang melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, hal ini
termuat dalam Pasal 1 angka (8) UU No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986. Dengan kata lain Pejabat atau badan Tata
Usaha Negara adalah mereka yang memiliki wewenang untuk melaksanakan
urusan pemerintahan. Serta dalam Pasal 1 angka (3) UU No. 30 Tahun 2014
menyebutkan bahwa badan dan atau pejabat pemerintahan adalah unsur yang
melaksanakan fungsi pemerintahan baik di lingkungan pemerintah maupun
penyelenggara Negara lainnya.93
Dimaksud dengan “tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan
peraturan perundang-undangan” adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh
badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan khususnya dalam bidang Tata Usaha Negara yang
menimbulkan hak dan kewajiban terhadap subyek yang berkaitan dengan
Keputusan Tata Usaha Negara. Dalam Pasal 1 angka (8) UU No. 30 Tahun 2014
menyebutkan bahwa, “Tindakan administrasi Pemerintahan yang selanjutnya
disebut tindakan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara 92 R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal., 18. 93 Ibid, hal.,20.
60
Negara lainnya untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan konkret
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.” Tindakan hukum yang dilakukan
oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara merupakan tindakan hukum publik
sepihak.94 Tidak semua tindakan yang dilakukan oleh badan atau pejabat Tata
Usaha Negara merupakan tindakan hukum, hanya yang menghasilkan suatu hak
dan kewajibanlah yang disebut sebagai tindakan atau perbuatan hukum badan atau
pejabat Tata Usaha Negara.
Berdasarkan Pasal 5 UU No. 30 Tahun 2014, penylenggaraan administrasi
pemerintahan didasarkan pada asas legalitas, asas perlindungan hak asasi manusia
dan asas umum pemerintahan yang baik. Dalam Pasal 7 UU No. 30 Tahun 2014,
menyebutkan bahwa pejabat pemerintahan berkewajiban untuk menyelenggarakan
administrasi pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, kebijakan pemerintah dan asas umum pemerintahan yang baik. Dalam
Pasal 8 UU No. 30 Tahun 2014 menyebutkan bahwa setiap keputusan dan atau
tindakan harus ditetapkan dan atau dilakukan oleh badan dan atau pejabat
pemerintah yang berwenang, serta dalam menggunakan wewenangnya wajib
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan asas umum pemerintahan yang
baik.
Keputusan Tata Usaha Negara bersifat indivudal, konkret dan final.
Individual artinya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut tidak ditujukan untuk
umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Apabila Keputusan
tersebut ditujukan untuk lebih dari satu pihak maka nama yang tercantum harus
disebutkan satu persatu, jika keputusan bersifat umum maka tidak dapat disebut
94 Ibid, hal., 28.
61
sebagai keputusan melainkan peraturan (regelling). Bersifat konkret, memiliki arti
bahwa Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak tetapi berwujud, tertentu
atau dapat ditentukan. Keputusan Tata Usaha Negara harus jelas kepada siapa
keputusan tersebut dikeluarkan, subyek dan obyeknya harus disebutkkan secara
jelas dan tegas. Bersifat final, artinya keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan telah bersifat definitif, sehingga mempunyai akibat hukum. Sehingga
keputusan yang masih memerlukan persetujuan dari instansi lain atau instansi
atasan dikatakan belum final sehingga belum dapat menimbulkan suatu akibat
hukum.95
Unsur yang terakhir dari Keputusan Tata Usaha Negara adalah
“menimbulkan akibat hukum”, karena keputusan tersebut dikeluarkan atau dibuat
oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang sesuai peraturan perundang-
undangan maka keputusan tersebut bersifat menimbulkan suatu hak dan
kewajiban terhadap pihak yang disebutkan dalam Keputusan tersebut. Akibat
hukum dari keputusan Tata Usaha Negara tersebut dapat berupa menguatkan
suatu hubungan hukum yang telah ada; Menimbulkan suatu hubungan hukum
yang baru; Serta menolak untuk menguatkan hubungan hukum yang telah ada dan
menolak untuk menimbulkan hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru.96
Dalam Pasal 33 UU No. 30 Tahun 2014 menyebutkan bahwa keputusan
atau tindakan yang ditetapkan atau dilakukan oleh badan atau pejabat
Pemerintahan yang berwenang bersifat mengikat dalam penyelenggaraan
pemerintahan, serta keputusan atau tindakan yang ditetapkan oleh badan atau
pejabat pemerintahan yang berwenang tetap berlaku hingga berakhir atau
95 S.F. Marbun, Hukum Administrasi Negara I, FH UII Press, Yogyakarta, 2012, hal.,211 96 R. Wiyono, Op.Cit., hal., 30.
62
dicabutnya keputusan atau dihentikannya oleh badan atau pejabat Pemerintahan
yang berwenang.
Pasal 52 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014 menyebutkan bahwa syarat
sahnya keputusan yaitu ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, dibuat sesuai
prosedur dan substansi yang sesuai dengan objek keputusan. Sahnya keputusan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (1) tersebut didasarkan pada ketentuan
peraturan perundang-undangan dan asas umum pemerintahan yang baik. Apabila
keputusan tidak ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf (a) UU No. 30 Tahun 2014 maka hal
tersebut merupakan keputusan yang tidak sah dan termuat dalam Pasal 56 Jo.
Pasal 70 UU No. 30 Tahun 2014. Keputusan dapat dibatalkan apabila terdapat
kesalahan prosedur atau terdapat kesalahan substansi hal tersebut termuat dalam
Pasal 56 Jo. Pasal 71 UU No. 30 Tahun 2014.
Dalam Pasal 70 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 menyebutkan bahwa,
akibat hukum terhadap keputusan yang dianggap tidak sah adalah tidak mengikat
sejak keputusan tersebut ditetapkan dan dianggap tidak pernah ada. Serta dalam
Pasal 71 ayat (2) menyebutkan bahwa, akibat hukum dari keputusan yang batal
atau dapat dibatalkan adalah tidak mengikat sejak saat dibatalkan atau tetap sah
sampai adanya pembatalan dan berakhir setelah ada pembatalan. Keputusan
pembatalan dilakukan oleh pejabat Pemerintahan atau atasan pejabat dengan
menetapkan keputusan baru atau tindakan pejabat pemerintahan berdasarkan
perintah pengadilan. Kerugian yang timbul akibat keputsan yang dibatalkan
menjadi tanggung jawab badan atau pejabat pemerintah, hal tersebut termuat
dalam Pasal 71 ayat (5) UU No. 30 Tahun 2014.
63
Perubahan, pencabutan, penundaan, dan pembatalan keputusan dapat
dilakukan oleh badan atau pejabat Pemerintah.97 Dalam Pasal 64 UU No. 30
Tahun 2014 menyebutkan bahwa keputusan hanya dapat dilakukan pencabutan
apabila terdapat cacat wewenang, prosedur dan substansi. Dalam hal keputusan
dicabut, harus diterbitkan keputusan baru dengan dengan mencantumkan dasar
hukum pencabutan dan memperhatikan asas umum pemerintahan yang baik.
Keputusan pencabutan dapat dilakukan oleh Pejabat pemerintahan yang
menetapkan keputusan dan atas perintah pengadilan. Dalam Pasal 66 UU No. 30
Tahun 2014 menyebutkan bahwa keputusan hanya dapat dibatalkan apabila
terdapat cacat wewenang, prosedur dan substansi. Pembatalan dapat dilakukan
oleh pejabat pemerintah atau putusan pengadilan.
Dalam Pasal 1 Angka (10) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 memberikan penjelasan mengenai sengketa
yang terjadi di ranah Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul akibat dari
dikeluarkannya keputusan badan atau pejabat Tata Usaha Negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Maka dari itu KTUN merupakan dasar dari lahirnya sengketa Tata Usaha Negara.
Obyek gugatan sengketa Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis dari
pejabat atau badan Tata Usaha Negara yang bersifat individual, konkret dan final.
Apabila suatu keputusan atau ketetapan tidak memenuhi unsur-unsur tersebut
maka tidak termasuk dalam kompetensi absolut dari Peradilan Tata Usaha
Negara.98
97 Yudhi Setiawan, dkk, Hukum Administrasi Pemerintahan (Teori dan Praktik), Rajawali Pers, Depok, 2017, hal., 165. 98 Philipus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law), Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1994 hal.,322.
64
Pasal 55 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5
Tahun 1986 memaparkan bahwa tenggang waktu gugatan adalah 90 hari sejak
saat Keputusan Tata Usaha Negara tersebut diterima (bagi pihak yang dituju); dan
90 hari sejak Keputusan Tata Usaha Negara tersebut diumumkan (bagi pihak
ketiga yang berkepentingan). Bagi pihak ketiga yang tidak dituju oleh KTUN
tersebut, perhitungannya adalah 90 hari sejak yang bersangkutan mengetahui
adanya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut serta merasa kepentingannya
dirugikan, hal tersebut diatur dalam SE No. 2 Tahun 1991. Namun terdapat
kelemahan SE No. 2 Tahun 1991, yaitu adanya ketidakpastian hukum karena
sangat dimungkinkan untuk menggugat suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang
sudah diterbitkan selama puluhan tahun.99
Hak menggugat di Peradilan Tata Usaha Negara sesuai dengan ketentuan
Pasal 53 ayat (1) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5
Tahun 1986 adalah orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya
dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Petitum dalam gugatan
PTUN adalah menyatakan batal atau tidak sahnya KTUN yang sudah dikeluarkan
dengan tambahan petitum yaitu ganti rugi. Alasan menggugat di PTUN adalah
karena tergugat dianggap menerbitkan KTUN melanggar prosedur formal dan
materil, peraturan perundang-undangan, serta dikeluarkannya KTUN oleh badan
atau pejabat Tata Usaha Negara yang tidak mempunyai wewenang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.100
99 Ibid, hal., 324. 100 Ibid, hal., 326.