bab ii jadi - abstrak.uns.ac.id · dengan perhatian yang hanya tertuju pada ego sendiri (fadhli,...
TRANSCRIPT
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR
DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka
1. Anak Gangguan Spektrum Autis
a. Pengertian Anak Gangguan Spektrum Autis
Menurut Yusuf (2009: 16) bahwa, “Autis dari kata auto, yang
berarti sendiri, dengan demikian dapat diartikan seorang anak yang
hidup dalam dunianya”. Pendapat tersebut sesuai dengan definisi autis
dalam kamus kedokteran yaitu “ sebagai keadaan introversi mental
dengan perhatian yang hanya tertuju pada ego sendiri (Fadhli, 2010:
18)”. Menurut Veskariyanti (2008: 17) bahwa, “Autis merupakan
salah satu kelompok dari gangguan pada anak yang ditandai
munculnya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif,
komunikasi, ketertarikan pada interaksi sosial, dan perilakunya”.
Menurut Kanner (Handojo, 2003: 14), “Autis adalah gangguan
perkembangan yang kompleks dan berat pada anak, yang sudah
tampak sebelum usia 3 tahun dan membuat mereka tidak mampu
berkomunikasi, tidak mampu mengekspresikan perasaan dan
keinginannya, sehingga perilaku dan hubungannya dengan orang lain
menjadi terganggu”. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Haryanto
(2008: 56), “Autis adalah gangguan perkembangan yang secara umum
tampak di tiga tahun pertama kehidupan anak, dan autis menyebabkan
kemampuan bahasa, bermain, kesadaran diri, sosial dan penyesuaian
diri anak tidak berfungsi dengan baik”. Menurut Winarno (2013),
“Autis dipandang sebagai kelainan perkembangan sosial dan mental
yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak akibat kerusakan
selama pertumbuhan fetus, atau saat kelahiran, atau pada tahun
pertama kehidupannya”(hlm. 2).
9
DSM – V (2013: 54) (Diagnostic and stastitical Manual Of
mental disorder V) bahwa, “Seorang dikatakan anak autistik atau asd
(austistic spectrum disorder) adalah anak yang mengalami hambatan
dalam komunikasi sosial (deficit in social comunication) serta minat
yang tervikasi dan perilaku berulang (fixed interest and repetitive
behavior), gejala ini muncul sejak masa kanak”. Pendapat tersebut
lebih diperkuat dari pendapat Tim FPPI Jawa Tengah (2011: 3),
“Autis adalah suatu kondisi yang mengenai seseorang sejak lahir
ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat
membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal, sehingga
anak tersebut terisolasi dari manusia lain”.
Menurut uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gangguan
spektrum autis merupakan suatu gangguan yang terjadi pada awal
kehidupan atau pada tiga tahun pertama kehidupan anak yang
sebabkan karena adanya gangguan perkembangan otak yang
mengakibatkan anak mengalami hambatan dalam komunikasi,
perilaku serta interaksi sosialnya.
b. Gejala Gangguan Spektrum Autis
Gejala yang terjadi pada anak gangguan spektrum autis dapat
dideteksi sejak anak berumur 3 tahun bahkan dapat pula dideteksi
sejak bayi. Menurut Kanner, gejala-gejala gangguan spektrum autisme
yang utama adalah:
1) Ketidakmampuan anak untuk berhubungan secara normal dengan orang lain situasi sejak lahir.
2) Perkembangan minat dan perilaku repetitif yang rumit. 3) Keinginan yang kompulsif (memaksa) untuk
mempertahankan kesamaan (Peeters, 2004: 120).
Terdapat berbagai gejala yang menandai anak gangguan
spektrum autis seperti yang dikemukakan oleh Yuniar dalam Mudjito;
Praptono; Jiehad, A ( tth: 27) bahwa, gejala autis diantaranya 1)
kurang mampu berbicara dan sulit berkomunikasi dengan orang lain;
10
2) sulit mengungkapkan keinginannya sehingga suka sekali menarik
tangan orang lain, atau menunjuk–nunjuk keinginannya; 3) suka
membeo (echolalid) atau sebaliknya jika ditanya tidak menjawab
tetapi hanya menggeleng–gelengkan kepalanya; 4) suka menangis,
marah, tertawa, tanpa diketahui sebabnya; 5) sulit bermain dengan
teman sebayanya; 6) tidak reponsive bila diajak berbicara seakan tidak
mendengar walaupun tidak tuli; 7) tidak responsive terhadap metode
pembelajaran dari terapis/ guru; 8) tidak suka dipeluk atau memeluk
orang lain; 9) suka menyendiri dan cuek terhadap lingkungan
sekitarnya; 10) takut pada benda, suara atau suasana tertentu; 11)
kontak mata sangat kurang; 12) tidak sensitif atau sebaliknya sangat
sensitif terhadap rasa sakit; 13) tidak mengenal bahaya apapun; 14)
kemampuan motorik yang kurang bisa berkembang; 15) suka
mengulangi gerakan yang tanpa tujuan; misalnya jinjit–jinjit,
memukuli kepala, tepuk–tepuk tanga, mata melirik dan berkedip, main
jari tangan, memegang kemaluannya, dan memasukkan benda ke
mulutnya; 16) suka mengamuk jika keinginanya tidak terpenuhi ; 17)
lekat pada benda tertentu seperti bantal, guling, gambar pada majalah;
18) menutup telinga jika mendengar suara tertentu; 19) cara bermain
tidak wajar seperti suka menumpuk, suka membuang–buang; 20) suka
memutar–mutar benda; 21) mempertahankan rutinitas sehingga sulit
menyesuaikan diri dengan perubahan dan 22) hiperaktif atau
sebaliknya sangat pasif.
Menurut Winarno (2013: 13) berpendapat bahwa tanda–tanda
anak autis adalah sebagai berikut:
1) Tidak pernah menunjuk dengan jari (pointing) pada usia 1 tahun, 2) Tidak babbling (mengoceh) pada usia sekitar 1,5 tahun artinya, tak mengucapkan satu kata pun,3) Tidak pernah mengucapkan dua kata pada usia 2 tahun, 4) Setiap saat kemampuan berbahasa dapat hilang, 5) Tidak pernah bepura–pura bermain dan tidak bereaksi sama sekali bila dipanggil namanya, 6) Tak acuh dengan yang lain, kalaupun memberikan perhatian hanya sedikit sekali dan tanpa kontak
11
mata sama sekali, 7) Mengulang–ulang gerakan badan atau anggota tubuh, sering bertepuk tangan dan mengguncang–guncang tubuh, 8) Perhatian terfokus pada objek tertentu saja, misalnya pada kipas angin, 9) Biasanya menolak keras perubahan atas hal- hal yang bersifat rutin, 10) Sangat peka terhadap tekstur dan bau tertentu (hml. 13).
Gejala–gejala gangguan spektrum autis pada anak dapat
dideteksi sejak bayi yang terlihat pada hal - hal berikut: 1) Ekspresi, 2)
Kepekaan, 3) Pengulangan Perilaku, 4) Kemunduran/Hilangnya
kemampuan (Hani’ah, 2015: 22). Adapun penjelasan gejala–gejala
gangguan spektrum autis sebagai berikut:
1) Ekspresi
a) Umur 6 bulan pertama
Gejala yang ditunjukan dengan bayi tidak tersenyum
b) Umur 12 bulan pertama
Gejala yang ditunjukan pada bayi tidak mengoceh ataupun tidak
mengucapkan satu kata pun, serta tidak menunjuk ke arah
orang–orang ataupun benda–benda yang dikenalinya.
c) Umur 2 tahun pertama
Pada umur 2 tahun pertama, gejala autisme ditunjukan dengan
bayi tidak mengucapkan dua frase kata. Ekspresi wajahnya pun
terbilang kurang. Timbul juga perilaku obsesif terhadap
beberapa hal, sekaligus perubahan mendadak dalam ekspresi
wajah dan kontak mata.
2) Kepekaan
Gejala yang ditunjukan adalah bayi mengalami ketidakseimbangan
dalam pancaindranya, sangat terganggu dengan suara yang berisik,
sebagian bayi juga terganggu dengan mencium bau tertentu.
Berhubungan dengan kepekaan, perlu dipahami bahwa tingkat
kepekaan bayi bervariasi, yang dipengaruhi oleh tingkat gangguan
autisme.
12
3) Pengulangan Perilaku
Bayi dengan gejala autisme menunjukan adanya pengulangan
perilaku (repettiveness). Di antaranya, bayi menggoyang–goyang
tubuhnya selama berjam–jam ataupun mengepakkan lengannya.
Anak autis sering kali melakukannya dengan hal–hal yang relatif
sama dan menginginkan sesuatu dengan cara yang khas. Jika
keinginannya tidak dipenuhi, maka ia menjadi amat rewel ataupun
gelisah.
4) Kemunduran/hilangnya kemampuan
Gejala yang perlu diwaspadai adalah kemunduran/hilangnya
kemampuan artikulasi sekaligus hilangnya kemampuan memahami
makna dari kata–kata tertentu, menarik diri sepenuhnya dari
berbagai interaksi sosial.
Gejala autis menurut Mudjito, dkk (2012: 152) yaitu:
1) Ia akan menghindari tatap mata dengan lawan bicara ketika diajak bicara
2) Jika akan dipeluk, anak akan menolak 3) Sulit berkata–kata dan memahami komunikasi secara verbal.
Perbendaharaan kata sedikit dan kadangkala mengucapkan kata – kata yang tidak ada artinya.
4) Mereka lebih asyik bermain sendiri dan tidak suka bermain dengan anak lain.
5) Jika mereka sudah bisa bicara mereka akan cenderung bicara sendiri.
6) Pada sebagian kasus, anak penderita autis akan aktif bergerak tetapi gerakannya tidak bertujuan dan berulang–ulang misalnya berputar–putar.
7) Emosi tidak stabil, menangis atau marah tanpa sebab dan jika marah bisa mengamuk dan merusak barang–barang.
Berbagai pendapat ahli tersebut teori mengenai gejala gangguan
spektrum autis hampir sama, yang dapat ditarik kesimpulan bahwa
gejala berupa sulit untuk diajak berkomunikasi, sulit mengungkapkan
keinginan, minat yang terbatas, emosi tidak stabil, pengulangan
perilaku, senang menyendiri atau kurang berinteraksi dengan orang
13
lain, kurangnya ekspresi, kepekaan terhadap suatu hal (suara, bau,
tekstur).
c. Penyebab Gangguan Spektrum Autis
Penyebab autis bisa dikarenakan oleh virus (toxoplasmasis,
cytomegalo, rubela dan herpes) atau jamur (candida) yang ditularkan
oleh ibu ke janin; selama ibu hamil mengkonsumsi atau menghirup zat
yang polutif yang meracuni janin, dan faktor genetik (Veskariyanti,
2008: 11). Menurut Pratiwi dan Murtiningsih (2013: 54) berpendapat
bahwa:
Gejala autisme dikatakan bisa terjadi karena berbagai faktor penyebab, yakni sebagai berikut: 1) Faktor genetis yang dibuktikan dengan adanya kecenderungan autis pada anak kembar dibandingkan dengan saudara kandung. 2) Faktor lingkungan yang dinyatakan autis disebabkan pemberian vaksinasi MMR pada bayi yang mengandung bahan pengawet thimerosal. Namun, hal ini perlu dipertanyakan kembali karena saat ini meskipun bahan pengawet tersebut telah dihapuskan dari vaksin, tingkat autisme pada anak–anak jumlahnya justru bertambah tinggi. Pendapat di atas sesuai dengan pendapat menurut Hani’ah
(2015) bahwa, “penyebab keautisan adalah faktor genetik dan faktor
lingkungan” (hlm. 20). Adapun penjelasan dari dua faktor tersebut
sebagai berikut:
1) Faktor genetik
Faktor genetik dipercaya mempunyai peran besar bagi munculnya
autisme, meskipun tidak diyakini sepenuhnya bahwa autisme hanya
disebabkan oleh gen dari keluarga. Hasil penelitian yang dilakukan
terhadap anak–anak autis menunjukan bahwa kemungkinan dua
anak kembar identik mengalami autisme ialah 60%-95 %,
sedangkan kemungkinan bagi dua saudara kandung mengalami
autisme hanyalah 2,5–8,5 %. Itulah yang diinterprestasikan sebagai
peranan besar gen sebagai penyebab autisme. Sebab, anak kembar
14
identik mempunyai gen yang 100% sama, sedangkan saudara
kandung hanya memilih gen yang sama 50 % sama.
2) Faktor lingkungan
Ada pula dugaan bahwa autisme dikarenakan vaksin MMR yang
rutin diberikan kepada anak–anak, yang menjadikan gejala–gejala
autisme mulai tampak. Kekhawatiran tersebut dikarenakan zat
kimia (thimerosal) yang digunakan untuk mengawetkan selama ini
mengandung merkuri. Unsur merkuri itulah yang selama ini
diyakini menyebabkan autisme. Meskipun begitu, tidak ada bukti
kuat yang mendukung bahwa autisme dikarenakan pemberian
vaksin kepada anak – anak. Penggunaan thimerosal dalam
pengawetan vaksin telah diberhentikan, tetapi angka autisme pada
anak – anak tetap meningkat.
Dyah (2003: 3) berpendapat, “Faktor yang memberi andil besar
penyebab autis adalah: virus, keracunan logam berat dan alergi”.
Terdapat berbagai faktor–faktor yang diduga kuat mencetuskan
autisme. Faktor – faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1) Genetik menurut National Institute of Health, keluarga yang memiliki satu anak autisme memiliki peluang 1–20 kali lebih besar untuk melahirkan anak yang juga autisme. Pada anak kembar, jika salah satu anak autis, kembaranya kemungkinan besar memiliki gangguan yang sama. Para ahli mengidentifikasi 20 gen yang menyebabkan gangguan spektrum autisme. Gen tersebut berperan penting dalam perkembangan otak, pertumbuhan otak, dan cara sel–sel otak berkomunikasi.
2) Pestisida Zat kimia dalam pestisida berdampak pada mereka yang punya bakat autisme.
3) Obat – obatan Bayi yang terpapar obat-sobatan tertentu ketika dalam kandungan memiliki resiko lebih besar mengalami autisme.
4) Usia Orang Tua Makin tua usia orang tua saat memiliki anak, semakin tinggi resiko si anak menderita autisme. Penelitian yang dipublikasikan tahun 2010 menemukan, perempuan usia 40 tahun memiliki resiko 50 persen memiliki anak autisme dibandingkan dengan perempuan berusia 20–29 tahun.
15
5) Perkembangan otak Area tertentu di otak termasuk serebal korteks dan cerebellum yang bertanggung jawab pada kosentrasi, pergerakan dan pengaturan mood berkaitan dengan autisme.
6) Flu Wanita hamil yang mengalami flu dan demam dalam jangka panjang beresiko untuk melahirkan anak autis. Selain itu, penggunaan antibiotik tertetu saat hamil juga berpotensi untuk meningkatkan resiko anak terlahir autis.
7) Mercuri 8) Plumbum (timah hitam) 9) CD (Kadmium) (Fadhli, 2010: 73-81).
Berdasarkan pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
faktor penyebab gangguan spektrum autis dapat disebabkan oleh
faktor yang terjadi pada saat pre natal, natal, dan post natal. Pre natal
(saat kehamilan) meliputi adanya usia orang tua, kelebihan nutrisi,
genetik, keracunan logam berat (mercuri, Pb,CD), penyakiit (flu dan
demam) dan virus. Natal (kelahiran) meliputi adanya penggunaan alat
yang salah, kekurangan oksigen diotak, serta bayi lahir premature.
Post natal (setelah kelahiran) dapat terjadi karena kekurangan gizi,
pemberian vaksi MMR pada bayi yang mengandung bahan pengawet
thimerosal, dan keracunan zat kimia.
d. Klasifikasi Gangguan Spektrum Autis
Anak dengan gangguan spektrum autis diklasifikasikan menjadi
berbagai macam sesuai dengan gejala dan hambatan yang terjadi.
Menurut Veskariyanti (2008: 26) ada beberapa tipe autis yaitu:
1) A loof yaitu anak dengan autisme dari tipe ini senantiasa berusaha menarik diri dari kontak sosial, dan cenderung untuk menyendiri di pojokan, 2) Passive yaitu anak dengan autisme tipe ini tidak berusaha mengadakan kontak sosial melainkan hanya menerima saja, 3) Active but odd sedangkan pada tipe ini, anak melakukan pendekatan namun hanya bersifat satu sisi yang bersifat repetitif dan aneh.
16
Menurut Autism Society of America dalam Hani’ah (2015: 21) anak
autis diklasifikasikan dalam 5 jenis yaitu “Autistic Disorder, Sindrom
Asperger, Pervasive Developmental Disorder, Childhood
Disintegrative Disorder, Rett Syndrome”. Adapun penjelasan dari
klasifikasi tersebut sebagai berikut:
1) Autistic Disorder
Autistic disorder disebut pula true autism atau childhood
autism lantaran kebanyakan dialami oleh anak pada tiga tahun awal
usianya. Anak yang mengalami autistic disorder tidak mampu
berbicara, melainkan bergantung pada komunikasi nonverbal.
Inilah yang menyebabkan anak menjauhkan diri secara ekstrem
dari lingkungan sosialnya, bahkan bersikap acuh tak acuh. Ia tidak
menampakkan keinginan untuk menjalin komunikasi dengan orang
lain ataupun berbagi kasih sayang dengan orang lainnya.
2) Sindrom Asperger
Sindrom Asperger dicirikan oleh defisiensi interaksi sosial
dan sulit menerima perubahan terkait rutinitas sehari–hari.
Kemampuan bahasa pada anak yang mengalami sindrom asperger
tidak terlalu terganggu ketimbang anak dengan gangguan lainnya.
Anak yang menderita sindrom asperger kurang sensitif terhadap
rasa sakit. Ia juga tidak snaggup mengatasi paparan terhadap rasa
sakit. Ia juga tidak sanggup mengatasi paparan sinar lampu yang
tiba–tiba mengenainya ataupun suara yang keras. Meskipun
demikian, kecerdasannya rata–rata atau di atas rata–rata. Anak
dengan sindrom asperger secara akademik ia dikategorikan mampu
dan tidak bermasalah dalam hal ini.
3) Pervasive Developmental Disorder
Pada umunya, pervasive developmental disorder didiagnosis
saat 5 tahun pertama usia anak. Autisme jenis ini meliputi beragam
gangguan (tidak spesifik terhadap satu gangguan). Tingkat
keparahannya pun bervariasi; ada yang ringan, dan ada pula yang
17
berat (sampai ketidakmampuan yang ekstrem). Anak yang
mengalami gangguan ini, keterampilan verbal dan nonverbalnya
terbatas.
4) Childhood Disintegrative Disorder
Gejala–gejala childhood disintegrative disorder timbul saat
anak berumur 3–4 tahun. Pada 2 tahun pertama anak terlihat
normal. Namun, beberapa waktu kemudian, terjadilah regresi
mendadak dalam aspek sosial, komunikasi dan bahasa, serta
keterampilan motorik. Hal tersebut membuat seluruh keterampilan
yang telah dimiliki olehnya seolah–olah menghilang ia pun
menarik diri dari lingkungan sosialnya.
5) Rett Syndrome
Sebenarnya, rett syndrome termasuk jenis gangguan yang
jarang didapat dalam keseharian. Gangguan ini dialami oleh anak
perempuan ataupun perempuan dewasa, yang dicirikan dengan
peningkatan ukuran kepala yang abnormal.
Menurut Subagya dalam Mudjito,dkk (tth: 55) klasifikasi anak
autis dapat dibedakan menjadi:
1) Autisme Asperger. Pada penderita autis asperger dunia yang mereka alami masih seperti dunia orang normal dan IQ yang mereka alami masih seperti yang dimiliki orang normal bahkan di atas normal.
2) Autisme Infantil. Pada penderita autis infantile seolah–olah memiliki dunia lain diluar dunia orang normal, antara dunia orang normal dengan dunianya hanya memiliki interseksi sempit.
Menurut Sosan (2003) dalam Semiawan dan Mangunsong
(2010: 46) pengelompokan autisme adalah sebagai berikut:
1) Tipe Kanner, yaitu tipe klasik atau juga disebut autisme infantil, ditandai oleh ciri: menghindar kontak mata, lambat berbicara, perilaku mengulang–ulang, dan kemungkinan reardasi mental, 2) Sindrom Asperger (SA), perkembangan perilaku menentang (persuasive) yang spektrum cirinya adalah defisit sosial, namun perkembangan kognisi dan bahasa relatif normal, serta minta yang mendalam dan
18
idiosynkretis, 3) Perkembangan perilaku menentang tanpa tanda–tanda lain kecuali bahwa dalam perkembangannya anak ini tidak memenuhi gejala–gejala tersebut sebelum umur 3 tahun. Kadangkala klasifikasi ini digunakan apabila kondisi ini muncul meskipun tidak terlalu berat dan tidak konsisten, sehingga tipe ini kurang diperkirakan sebagai tipe Kanner, 4) Tipe regresif/epileptis. Tipe ini ditandai oleh ketidakmampuan memahami orang lain, input sensoris yang tidak menentu, bacaan EEG yang tidak normal, retardasi mental dan tingkat kecemasan tinggi.
Pendapat tersebut serupa dengan pendapat Hasdianah (2013:
160) bahwa autisme terbagi menjadi dua yaitu:
1) Autisme klasik manakala kerusakan saraf sudah terdapat sejak lahir, karena sewaktu mengandung, ibu terinveksi virus, seperti rubella, atau terpapar logam berat berbahaya seperti merkuri dan timbal yang berdampak mengancam proses pembentukan sel–sel saraf di otak janin.
2) Autisme regresif. Muncul saat anak berusia antara 12 sampai 24 bulan. Sebelumnya perkembangan anak relatif normal, namun tiba–tiba saat usia anak menginjak 2 tahun kemampuan anak merosot. Yang tadinya sudah bisa membuat kalimat 2 sampai 3 kata berubah diam dan tidak lagi berbicara. Anak terlihat acuh dan tidak mau melakukan kontak mata.
Menurut Gargulio (2012: 328) berpendapat bahwa, “regardless
of the classification system used, autism spectrum disorder are
generally described as mild, moderate, or severe depending on the
cognitve, and fuctioning level of the individual”. Tanpa menghiraukan
sistem klasifikasi yang telah digunakan, gangguan pektrum autis
biasanya diuraikan menjadi ringan, sedang atau berat berdasarkan
pada kognitif, dan tingkat fungsi diri. DSM – V (2013: 52)
(Diagnostic And Stastistical Manual Of Mental Disorder V)
menjelaskan bahwa klasifikasi GSA yaitu,
1) Level 1 memerlukan bantuan a) Komunikasi sosial
Tanpa bantuan di tempat, kekurangan pada komunikasi sosial karena kelemahan yang terlihat. Kesulitan memulai interaksi sosial, dan contoh pada ketidkanormalan atau tidak berhasil dalam merespons
19
usul sosial dari yang lainnya. Mungkin muncul karena perhatian yang kurang pada interaksi sosial. Contohnya, seseorang yang berbicara dengan kalimat utuh dan terlibat dalam komunikasi tetapi percakapannya kesana kemari dengan yang lain gagal, dan berusaha untuk membuat pertemanan aneh dan tidak berhasil.
b) Perilaku yang terbatas dan berulang Kekakuan perilaku karena ganguan signifikan pada fungsi pada satu atau lebih kontek. Kesulitan dalam perubahan antar kegiatan. Permasalahan yang menghambat kebebasan mengatur dan merencanakan.
2) Level 2 memerlukan banyak bantuan a) Sosial komunikasi Menandai kekurangan pada kemampuan komunikasi
sosial verbal dan nonverbal;kelemahan sosial yang terlihat bahkan dengan bantuan di tempat; keterbatasan memulai interaksi sosial; dan kurang atau ketidaknormalan respon pada usul sosial dari lainnya. Contohnya, seseorang yang berbicara kalimatan sederhana, yang memiliki interaksi yang terbatas pada perhatian khusus yang sempit, dan yang memiliki komunikasi nonverbal yang aneh.
b) Perilaku terbatas dan berulang Kekakuan perilaku, kesulitan mniru
perubahan/pergantian, atau perilaku terbatas dan berulang lainnya yang terlihat pada frekuensi yang cukup jelas oleh pengamat dan mengganggu fungsi pada keseragaman contek. Kesukaran dan/atau kesulitan berpindah fokus atau tindakan.
3) Level 3 memerlukan sangat banyak dukungan/ bantuan a) Komunikasi sosial
Kekurangan yang berat pada kemampuan komunikasi sosial baik verbal dan nonverbal karena kelemahan yang berat pada fungsi, sangat terbatas memulai interaksi sosial, dan respon yang sedikit pada usul sosial dari yang lainnya. Contohnya, seseorang yang berbicara dengan beberapa kata yang dapat dimengerti yang jarang memulai interaksi dan, ketika dia melakukan, membuat pendekatan yang tidak biasa hanya untuk memenuhi kebutuhan dan merespon pada pendekatan sosial yang sangat langsung.
b) Perilaku terbatas dan berulang Kekakuan perilaku, kesulitan yang extrem meniru perubahan, atau perilaku terbatas dan berulang lainnya yang menyolok pada gangguan fungsi pada semua
20
bidang. Sangat mengalami kesukaran/kesulitan pada berpindah fokus dan tindakan.
Kesimpulan dari pendapat ahli di atas bahwa terdapat lima
klasifikasi yaitu autistic disorder, sindrom asperger, rett’s disorder,
Childhood Disintegrative Disorder, PDD-NOS (Pervasive
Developmental Disorder-Not Otherwise Specified). Autistic disorder
ditandai dengan gangguan pada: interaksi sosial, komunikasi, perilaku,
minat, dan aktivitas yang stereotipe; kebanyakan dialami anak pada
tuga tahun awal usianya. Sindrom Asperger ditandai dengan gangguan
pada: Interaksi sosial, Perilaku, minat, dan aktivitas yang stereotipe;
tidak mengalami keterlambatan dalam perkembangan kemampuan
bahasa; kecerdasannya berada rata–rata dan di atas rata–rata. Rett’s
disorder ditandai dengan gangguan perilaku, dicirikan dengan
peningkatan ukuran kepala yang abnormal, dialami oleh anak
perempuan. Childhood Disintegrative Disorder ditandai dengan
regresi tiba–tiba pada aspek sosial, komunikasi dan bahasa, serta
motorik; timbul saat anak berumur 3–4 tahun. PDD-NOS (Pervasive
Developmental Disorder-Not Otherwise Specified) ditandai dengan
gangguan terjadi saat 5 tahun pertama usia anak, mengalami gangguan
keterampilan verbal dan nonverbal terbatas .
e. Karakteristik Anak Gangguan Spektrum Autis
Menurut Pratiwi & Murtiningsih (2013: 54) karakteristik
penyandang autisme sebagai berikut:
1) Hambatan dalam komunikasi Anak–anak yang menyandang gejala autisme sering
kali mengalami keterlambatan dibidang verbal. Berbicara di usia lebih dari dua atau tiga tahun, kosakata sedikit, dan kurang mampu berinteraksi dengan orang lain melalui pembicaraan. Pemahaman bahasa yang dimiliki oleh anak autis sangat kurang sehingga mempengaruhi pemahaman mereka terhadap orang–orang di sekitarnya.
21
2) Sulit menjalin hubugan sosial Berawal dari pemahaman bahasa dan verbal yang
kurang berkembang, anak autis cenderung sulit menjalin hubungan dengan orang lain. Bahkan, senyum bukanlah senyum sosial yang menunjukan sapaan atau berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Senyum yang dilakukan oleh anak autis lebih kepada respons mereka terhadap satu hal yang dianggap menarik dan lucu. Anak–anak ini juga kesulitan melakukan kontak mata dengan orang lain sehingga sulit pula bagi mereka memahami bahasa tubuh dan bahasa non-verbal.
3) Melakukan pola bermain dengan tidak wajar Jika anak–anak pada umumnya menendang bola atau
memasukannya kekranjang layaknya bermain basket, tidak demikian halnya dengan anak autis. Jika mereka menganggap bola yang berputar itu mengasyikkan, mereka akan terus menerus memutar bola serta ritme putarannya dengan pandanan lekat ke sana. Inilah mengapa anak autis biasanya suka menyusun balok sampai tinggi, tanpa model. Mereka juga suka memaju–mundurkan mobil–mobilan dan menikmati gerakan roda ke depan dan ke belakang tanpa bermaksud menjalankan mobil tersebut seperti umumnya anak lain.
4) Bersifat statis Anak autis sulit untuk dapat menerima perubahan
terhadap diri dan lingkungan di sekitarnya. Jika ada perbedaan suara, warna dan kebiasaan, mereka akan melakukan respon penolakan. Anak autis cenderung sulit untuk mengembangkan diri karena ketakutan terhadap perubahan yang terjadi tersebut.
5) Gerakan dan perilaku impulsif Mengulang–ulang lambaian tangan, kepakan tangan
seperti sayap burung, kata–kata lucu yang disenangi, dan perilaku lain seperti mencuci tangan, mandi atau menata sampai tinggi merupakan ciri khas anak autis, meskipun ada sebagian anak lain yang berperilaku demikian, biasanya hal tersebut tak melekat layaknya anak autis.
6) Memberikan respon tidak wajar pada suatu kejadian Pengindraan anak autis memang berbeda. Mereka lebih
sensitif dan mengembangkan respon sendiri terhadap hal–hal yang dianggap biasa oleh anak lain. Banyak kasus anak autis cenderung mengeksplorasi lingkungan sekitar dengan indra peraba dan pencium. Mereka lebih suka mencium terlebih dahulu segala sesuatu yang dilihat sebelum dipakai atau dimakan.
22
7) Membeo, bernyanyi tak bernada, dan suka menggerak–gerakkan tangan orang dewasa
Anak autis suka sekali menirukan kata–kata atau gerakan orang lain yang dianggap menarik. Selain itu, baginya tangan orang dewasa adalah satu permainan yang mengasyikkan sehingga sering digunakan sebagai alat untuk mengungkapkan keinginan atau apa yang tengah dirasakannya. Jika bernyanyi, yang keluar adalah nada datar meskipun syair yang dilantunkannya sama persis dengan lagu aslinya. Daya ingat anak autis kebanyakan cukup tinggi.
Menurut Semiawan dan Mangunsong (2010: 68) adapun ciri-ciri yang
muncul pada anak autis adalah sebagai berikut:
1) tidak menunujukan perbedaan respon ketika berhadapan dengan orang tua, saudara kandung, atau guru dan orang asing, 2) enggan berinteraksi secara aktif dengan orang lain,3) menghindari kontak mata, 4) tidak memahami ucapan yang ditujukan pada mereka, 5) sulit memahami bahwa satu kata mungkin memiliki banyak arti, 6) seringkali mengulang –ulang pernyataan walaupun sudah mengetahui jawabannya, 7) gangguan dalam komunikasi nonverbal, 8) muncul gangguan tingkah laku repetitif (pengulangan) seperti tingkah laku motorik ritual seperti berputar–putar dengan cepat, memutar- mutar objek, mengepak–ngepakan tangan, bergerak maju mundur atau kiri kanan, 9) asyik sendiri dan memiliki rentang minat yang terbatas, 10) tidak suka dengan perubahan yang ada di lingkungan atau perubahan rutinitas.
Hani’ah (2015: 19) dalam bukunya menjelaskan bahwa
karakteristik anak autis ialah:
mengalami kesulitan dalam membina hubungan sosial (berinteraksi sosial secara kualitatif), sulit berkomunikasi secara normal (kualitatif), sulit memahami emosi dan perasaan orang lain, menunjukan perilaku yang repetitif, mengalami gangguan perilaku agresif dan hiperaktifitas sekaligus gangguan sensoris, serta mengalami perkembangan yang terlambat, tidak normal atupun sering tidak seimbang. Handojo (2003: 13) menyatakan bahwa, “penyandang autism
mempunyai karakteristik antara lain: selektif berlebihan terhadap
rangsang, kurangnya motivasi untuk menjelajahi baru, respon
stimulasi diri sehingga mengganggu integrasi sosial, respon unik
23
terhadap imbalan (reinforcement), khususnya imbalan dari stimulasi
diri”.
Berdasarkan pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
karateristik yang terlihat dari perilaku, interaksi sosialnya, komunikasi
dan bahasa anak GSA. Gangguan perilaku terlihat dari adanya pola
bermain anak yang tidak wajar, anak mengalami kesulitan menerima
perubahan terhadap diri dan lingkungan, adanya gerakan serta
perilaku impulsif, mengalami gangguan perilaku agresif dan
hiperaktifitas. Gangguan interaksi terlihat adanya kesulitan menjalin
hubungan sosial, kurang menunjukan respon ketika berhadapan
dengan orang tua maupun orang lain, sulit memahami emosi dan
perasaan orang lain. Komunikasi dan bahasa terlihat dari adanya
mampu berbicara pada usia lebih dari dua atau tiga tahun, kosakata
sedikit, serta sulit memahami ucapan.
f. Gaya Belajar Anak Gangguan Spektrum Autis
Terdapat beberapa gaya belajar pada murid yaitu visual dan
auditoris (Muhammad, 2008: 19). Adapun penjelasan dari gaya belajar
tersebut sebagai berikut:
1) Gaya belajar auditoris:
a) Beri arahan lisan dan tulis
b) Pastikan tugas juga diberikan dalam bentuk kaset rekaman
supaya murid dapat mendengarkannya dengan seksama
c) Beri ujian lisan
d) Pastikan murid menghafal informasi penting dan
merekamnya.
2) Gaya belajar visual:
a) Gunakan kartu penanda yang mengandung warna yang
terang
b) Biarkan murid memejamkan mata untuk membuat mereka
dapat menggambarkan informasi atau perkataan
24
c) Sediakan bahan tambahan dalam bentuk visual untuk
semua arahan lisan
d) Dorong murid untuk mencatat nota dan memo untuk
dirinya sendiri mengenai perkataan, konsep, atau ide
penting.
Kosasih (2012: 59) mengemukakan bahwa, “banyak anak autis
belajar lebih baik dengan menggunakan penglihatannya”. Stokes
(2001: 1) berpendapat bahwa, “Typically, children with autism prosess
visual information easier than auditory information”. Ciri khas, anak
autis memproses informasi secara visual lebih mudah dari pada
informasi auditory. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Boer
(2009: 15) bahwa, “many children with autism, PDD-NOS, and
Asperger’s syndrome perform better when picture cues and symbols
are added to their learning environment”. Banyak anak autis, PDD-
NOS, dan sindrom asperger memiliki prestasi yang lebih baik ketika
berupa gambar dan simbol yang ditambahkan dalam lingkungan
belajarnya.
Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
sebagian besar anak dengan gangguan spektrum autis mengalami
kelemahan dalam memahami kata atau makna yang bersifat abstrak,
sehingga anak GSA lebih mudah memahami sesuatu dalam bentuk
konkrit. Hal tersebutlah yang menjadi salah satu alasan anak GSA
lebih baik dalam memahami informasi dalam bentuk visual atau yang
menggunakan penglihatannya, selain itu dalam bentuk visual anak
GSA menjadi lebih fokus pada informasi atau pesan yang
disampaikan.
g. Prinsip Pembelajaran Gangguan Spektrum Autis
Pembelajaran bagi anak autis perlu memperhatikan beberapa hal
yaitu: 1) Terstruktur, 2) Terpola, 3) Terprogram, 4) Konsisten, 5)
25
Kontinyu (Mudjito, dkk, tth: 132). Adapun penjelasannya sebagai
berikut:
1) Terstruktur
Pendidikan dan pengajaran bagi anak autistik diterapkan
prinsip terstruktur, artinya dalam pendidikan atau pemberian materi
pengajaran dimulai dari bahan ajar/materi yang paling mudah dan
dapat dilakukan anak. Setelah kemampuan tersebut dikuasai,
ditingkatkan lagi ke bahan ajar yang setingkat diatasnya namun
merupakan rangkaian yang tidak terpisah dari materi sebelumnya.
Struktur pendidikan dan pengajaran bagi anak autistik meliputi:
struktur waktu, struktur ruang, struktur kegiatan.
2) Terpola
Kegiatan anak autistik biasanya terbentuk dari rutinitas yang
terpola dan terjadwal, baik di sekolah maupun di rumah
(lingkungannya), mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali.
Oleh karena itu pendidikannya harus dikondisikan atau dibiasakan
dengan pola yang teratur. Bagi anak dengan kemampuan kognitif
yang berkembangan, dapat dilatih dengan memakai jadwal yang
disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungannya, supaya anak
dapat menerima perubahan dari rutinitas yang berlaku. Dengan
begitu anak dapat menerima perubahan, mudah menyesuaikan diri
dengan lingkungan (adaptif) dan dapat berperilaku secara wajar.
3) Terprogram
Prinsip dasar terprogram berguna untuk memberi arahan dari
tujuan yang ingin dicapai dan memudahkan dalam melakukan
evaluasi. Prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip terstruktur dan
terpola. Sebab dalam program materi pendidikan harus dilakukan
secara bertahap dan didasarkan pada kemampuan anak, sehingga
apabila target program pertama tersebut menjadi dasar target
program yang kedua, demikian selanjutnya.
26
4) Konsisten
Konsisten memiliki arti “tetap”, bila diartikan secara bebas
konsisten mencakup tetap dalam berbagai hal, ruang, dan waktu.
Konsisten bagi guru pembimbing berarti; tetap dalam bersikap,
merespon dan memperlakukan anak sesuai dengan karakter dan
kemampuan yang dimiliki masing – masing individu anak autistik.
Sedangkan arti konsisten bagi anak adalah tetap dalam
mempertahankan dan menguasai kemampuan sesuai dengan
stimulus yang muncul dalam ruang dan waktu yang berbeda. Orang
tua juga harus bersikap konsisten dalam pendidikan bagi anaknya,
yakni dengan bersikap dan memberikan perlakukan terhadap anak
sesuai dengan program pendidikan yang telah disusun bersama
antara pembimbing dan orang tua sebagai wujud dari generalisasi
pembelajaran di sekolah dan di rumah.
5) Kontinyu
Prinsip pembelajaran dan pendidikan yang
berkesinambungan juga mutlak diperlukan bagi anak autistik.
Kontinyu disini meliputi kesinambungan antara prinsip dasar
pengajaran, program pendidikan dan pelaksanaanya. Kontinyu
dalam pelaksaan pendidikan tidak hanya di sekolah, tetapi juga
harus ditindaklanjuti untuk kegiatan di rumah dan lingkungan
sekitar anak. Kesimpulannya, terapi perilaku dan pendidikan bagi
anak autistik harus dilaksanakan secara berkesinambungan,
simultan dan integral (menyeluruh dan terpadu).
Pendapat di atas sejalan dengan pendapat Yusuf, Choiri dan
Subagya dalam Modul Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru
(2012: 43) bahwa, “pelaksanaan intervensi pembelajaran bagi anak
autis mendasarkan pada prinsip-prinsip berikut: 1) Terstruktur, 2)
Terpola, 3) Terprogram”. Adapun penjelasan dari prinsip–prinsip
tersebut sebagai berikut:
1) Terstruktur
27
Pemberian materi dimulai dari yang mudah yang dapat
dilakukan anak, dilanjutkan dengan materi diatasnya dalam
rangkaian yang tidak terpisahkan. Layanan intervensi bagi anak
autis harus taat pada struktur waktu, ruang dan kegiatan.
2) Terpola
Kegiatan intervensi anak autis diatur sedemikian rupa
dengan kondisi dan kebiasaan dengan pola teratur. Bagi anak
yang sudah memiliki kemampuan kognitif yang berkembang,
keteraturan dapat dipolakan melalui jadwal yang disesuaikan
dengan kondisi lingkungannya agar anak dapat menerima
perubahan secara fleksibel dari rutinitas.
3) Terprogram
Prinsip terprogram berarti pembelajaran dilakukan secara
terencana dengan mendasarkan kemampuan anak. Prinsip ini
diberlakukan pada penyiapan materi, penetapan tujuan dan
target yang ingin dicapai, dan penetapan waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai target tersebut.
Ketidakmampuan yang dialami anak autis baik dalam segi
komunikasi, perilaku dan interaksi sosialnya dapat diatasi dengan
mengadakan program pembelajaran yang berstruktur dan merangsang
perkembangannya. Program pembelajaran untuk anak–anak lebih
menuju ke arah analisis tingkah laku dan mendorong penuturan
bahasa dan komunikasi (Muhammad, 2008: 21). Asmstrong (1996:
46) berpendapat bahwa, “ The classroom environment for autistic
children should be structured so that the program is consistent and
predictable”. Lingkungan kelas bagi anak autis sebaiknya terstruktur
sehingga program dapat konsisten dan dapat diprediksi. Asmtrong
(1996: 46) juga berpendapat bahwa, “Educational program for
autistic children focus on improving communication and social,
academik, behavioral, and daily living skills”. Program pembelajaran
28
bagi anak autis difocuskan pada pengembangan komunikasi dan
sosial, akademik, perilaku dan keterampilan hidup sehari–hari (bina
diri).
Pembelajaran yang diberikan kepada anak autis harus
disesuaikan dengan karakteristik yang dimiliki anak dan hambatan
yang dialami oleh anak. Berdasarkan berbagai pendapat ahli tersebut
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran bagi anak autis harus
memperhatikan beberapa prinsip yaitu pertama, terstruktur dalam
kaitanya dengan pemberian materi dimulai dari hal yang mudah
kemudian baru naik ke atasnya. Layanan yng diberikan harus
memperhatikan struktur waktu, ruang dan kegiatan. Kedua, terpola
yang berkaitan dengan rutinitas yang di lakukan anak autis. Kebiasaan
anak untuk melakukan rutinitas secara terpola baik di rumah maupun
di sekolah. Pembelajaran yang diberikan haruslah terpola atau
terjadwal sehingga membuat anak autis dapat lebih menerima
perubahan waktu. Ketiga, terprogram, pembelajaran bagi anak autis
haruslah terprogram agar dapat menentukan tujuan dan target sasaran
dari kemampuan anak. Kempat, konsisten, dengan pembelajaran yang
terstruktur diharapkan dapat membuat guru maupun anak menjadi
lebih konsisten. Konsisten bagi guru dalam bentuk respon yang
diberikan kepada anak, sikap dan perilaku. Sedangkan konsisten bagi
anak dalam bentuk penguasaan dan mempertahankan kemampuan
yang dimilikinya. Kelima, kontinyu dalam kaitannya dengan
kesinambungan program pembelajaran yang diberikan kepada anak
bagi di sekolah maupun di rumah.
h. Kebutuhan Pendidikan Bagi Anak Gangguan Spektrum Autis
Sugiarmin (2004: 81) berpendapat, “ ada 2 kebutuhan dasar
yang penting bagi autis yaitu optimalisasi tingkah laku positif dan
kegiatan keautisannya”. Adapun penjelasan dari kebutuhan–kebutuhan
tersebut antara lain:
29
1) Optimalisasi tingkah laku positif
a) Mengurangi atau menghilangkan tingkah laku yang tidak
dikehendaki. Tingkah laku seperti berjalan–jalan, mengepak–
ngepakan, menggigit–gigit, menarik diri, tidak kontak mata,
merupakan sebagian dari sejumlah tingkah laku yang tidak
dikehendaki yang sering muncul pada anak autis. Tingkah laku
tersebut tidak hanya mengganggu anak itu sendiri, tetapi juga
orang lain. Oleh karena itu pengurangan sampai penghilangan
tingkah laku yang tidak dikehendaki merupakan kebutuhan yang
mendasar bagi anak, karena jika tingkah laku seperti itu tidak
dihilangkan akan terus menerus mengganggu anak dalam
mengembangkan kemampuannya.
b) Mengembangkan atau meningkatkan tingkah laku yang
dikehendaki. Tingkah laku seperti berespon terhadap panggilan,
rangsangan atau berinteraksi dengan lingkunan atau orang lain,
merupakan sebagian tingkah laku yang dikehendaki. Tingkah
laku – tingkah laku seperti itu merupakan kebutuhan yang
sangat membantu anak untuk mengoptimalkan potensi yang
dimilikinya.
2) Kegiatan sehari–hari
a) Menolong diri
Sebagaimana anak berkebutuhan khusus lainnya, anak
autis dengan berbagai masalah yang menyertainya,
membutuhkan perhatian dalam memenuhi kebutuhan khususnya
berkaitan dengan kegiatan hidup sehari–hari. Menolong diri
yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kegiatan anak untuk
memenuhi segala kebutuhan sehari–hari seperti berpakaian,
menyimpan pakainan bekas dipakai atau sepatu, menyiapkan
kebutuhan belajar seperti buku dan sebainya.
Kebutuhan–kebutuhan seperti itu merupakan kegiatan
rutin yang dilakukan anak sehari–hari. Berbeda dengan anak
30
umumnya kegiatan ini merupakan suatu kegiatan yang perlu
dipersiapkan, diajarkan agar anak bisa melakukannya sendiri.
b) Merawat diri
Merawat diri yang dimaksud adalah kegiatan anak
khususnya yang berhubungan dengan kebersihan diri, seperti
mandi, buang air kecil, buang air besar, cuci tangan atau gosok
gigi dan sebagainya. Seperti halnya menolong diri, kebutuhan
akan merawat diri bagi anak autis memerlukan upaya dan
teknik–teknik yang tidak mudah untuk mengajarkannya kepada
anak autis. Oleh karena itu penting juga informasi dan
pengetahuan ini di miliki oleh orang tua atau pengasuh anak
agar mereka menerapkannya di rumah.
c) Keterampilan dasar belajar
Pengembangan kemampuan pemusatan perhatian,
persepsi, motorik, dan bahasa. Keterampilan dasar ini
merupakan kebutuhan yang akan membantu anak terutama
untuk mempelajari materi pelajaran yang diikutinya manakala
mereka mengikuti kegiatan belajar mengajar. Keterampilan
membaca, menulis, berhitung merupakan kebutuhan dasar untuk
dapat mempelajari atau menguasai materi–materi pelajaran
lainnya. Jika anak belum menguasai keterampilan ini, akan sulit
bagi anak untuk dapat menyerap dan menambah pengetahuan
yang dibutuhkan agar dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi.
Yusuf (2009: 22) berpendapat bahwa anak autis membutuhkan
pembelajaran khusus antara lain terdiri dari:
1) Diperlukan adanya pengembangan strategi untuk belajar dalam seting kelompok.
2) Perlu menggunakan beberapa teknik di dalam menghilangkan perilaku–perilaku negatif yang muncul dan menggunakan kelangsungan proses belajar secara keseluruhan (stereotip).
31
3) Guru perlu mengembangkan ekspresi dirinya secara verbal dengan berbagai bantuan.
4) Guru terampil mengubah lingkungan belajar yang nyaman dan menyenangkan bagi anak, sehingga tingkah laku anak dapat dikendalikan pada hal yang diharapkan.
Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
anak ganguan spektrum autis membutuhkan pembelajaran yang dapat
mengoptimalkan potensinya dan menghilangkan perilaku-perilaku
negatif berdasarkan pada aspek tingkah laku serta pemenuhan
kebutuhan sehari–hari.
2. Bina Diri Pada Materi Kemampuan Merawat Diri
a. Pengertian Bina Diri
Sidi (2002: 6) berpendapat bahwa, “ Kemampuan bina diri yaitu
merupakan suatu kelompok aktivitas yang dilakukan individu setiap
hari dalam rangka individu memenuhi kebutuhan dan memanfaatkan
keadaan lingkungan”. Astati (2010: 7) berpendapat bahwa,
Jika ditinjau dari arti kata: Bina berarti membangun/proses penyempurnaan agar lebih baik (kamus Besar Bahasa Indonesia,1994:134); maka Bina diri adalah usaha membangun diri individu baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial melalui pendidikan di keluarga, sekolah dan di masyarakat sehingga terwujudnya kemandirian dengan keterlibatannya dalam kehidupan sehari–hari secara memadai. Menurut Sudrajat dan Rosida (2013) berpendapat, bina diri
adalah suatu pembinaan dan pelatihan tentang kegiatan kehidupan
sehari–hari yang diberikan pada anak berkebutuhan khusus yang
bersekolah di sekolah luar biasa (SLB) maupun di sekolah
inklusif/sekolah reguler yang menyelenggarakan layanan pendidikan
untuk anak berkebutuhan khusus”(hlm. 53).
Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa bina
diri merupakan suatu usaha untuk mengembangkan kemampuan atau
32
keterampilan hidup sehari–hari dengan tujuan dapat memenuhi
kebutuhan hidup baik bagi individu maupun kelompok.
b. Tujuan Bina Diri
Menurut Sudrajat & Rosida (2013: 57) tujuan bina diri adalah
“agar anak berkebutuhan khusus mampu dan tidak bergantung pada
bantuan orang lain, serta dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan
mampu bersosialisasi dengan lingkungan serta menjadi bekal dalam
kehidupannya dimasa yang akan datang”. Mudjito; Harizal; Eka &
Adiningsih (2014: 83) tujuan dari kegiatan bina diri yang utama
adalah, “ bahwa anak akan memperoleh kemampuan-kemampuan
yang diperlukan untuk menjadi semandiri mungkin”. Tujuan khusus
bimbingan bina diri menurut Dinas Pendidikan Bidang Pendidikan
Luar Biasa dalam Sudrajat dan Rosida (2013: 61) bahwa, “ mengenal
cara bina diri (mengurus diri, merawat diri, menolong diri,
berkomunikasi dan beradaptasi), melakukan sendiri bina diri secara
minimal dalam hal mengurus diri, merawat diri menolong diri,
berkomunikasi dan beradaptasi”.
Menurut uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
tujuan dari bina diri adalah agar anak berkebutuhan khusus mampu
untuk hidup mandiri (mengurus diri, menolong diri sendiri, merawat
diri sendiri) dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa
bergantung pada orang lain.
c. Ruang Lingkup Pembelajaran Bina Diri
Sudrajat dan Rosida (2013) berpendapat, “ruang lingkup bina
diri menurut bahan ajar pembelajaran bina diri untuk peserta didik
tingkat SDLB, sebagai berikut, merawat diri, mengurus diri, menolong
diri, komunikasi, sosialisasi dan adaptasi, keterampilan hidup dan
mengisi waktu luang”(hlm. 61). Sparrow (1984) dalam Sari (2014: 6)
membagi daily living skills menjadi tiga subdomain yaitu:
33
1) Subdomain personal Subdomain personal ialah bagaimana seorang individu
makan, berpakaian, dan mempraktekan kebersihan diri. Adapun keterampilan dalam subdomain ini yaitu makan, membuka baju, mandi dengan dibantu, latihan buang air, minum, sikat gigi, mencuci tangan dan muka, urusan kamar mandi, kebersihan hidung, kancing, memakai sepatu, mandi tanpa dibantu, mengunakan alat makan, menaruh pakainan, berpakaian sesuai cuaca, permulaan menjaga kesehatan, kerapian rambut, menjaga kuku, terampil menjaga kesehatan.
2) Subdoamian domestik Subdoamain domestik ini ialah tugas – tugas rumaha
tangga yang harus individu lakukan. Keterampilan dalam subdomain ini adalah membersikan rumah, memindahkan sesuatu, mempersiapkan makan, menggunakan peralatan dan alat–alat kebersihan rumah tangga, membersihkan dan mengatur meja, menggunakan peralatan dapur, menggunakan alat pembersih, mengatur tempat tidur, terampil dalam kebersihan rumah, perbaikan peralatan dan perlengkapan rumah tangga, memaksak, pakaian dan menjahit.
3) Subdoamain komunitas masyarakat Subdoamin masyarakat adalah bagaimana seorang
individu mengguakan waktu, uang, telepon dan keterampilan dalam pekerjaan. Ketrampilan dalam subdoamin ini adalah keamanan di dalam rumah, penggunaan telepon atau HP, keamaan di jalan, pengertian uang, orientasi kanan kiri, keterampilan di rumah makan, menyebut waktu: hari, tanggal, tahun, menyebut waktu: jam dan menit, memberi kembalian, terampil menggunakan telepon, menabung, membelanjankan uang, merencanakan pengeluaran, keterampilan kerja, mengatur uang.
Kemampuan bina diri juga merupakan suatu keterampilan hidup
sehari–hari, anak perlu untuk dibiasakan dan diajarkan mengenai
keterampilan hidup sehari–hari yang menyangkut diri mereka pribadi.
Untuk itu beberapa hal yang menjadi dasar dari keterampilan hidup
sehari – hari adalah sebagai berikut:
1) Kebersihan diri “personal higiene” Mengajarkan semenjak dini bagaimana arti dan manfaat kebersihan individu. Sehingga anak–anak pada usia awal diperkenalkan tentang toiletting, diperkenalkan tentang bagaimana mencuci tangan dengan sabun, begitu juga mencuci tangan setelah menggunakan atau memegang benda
34
dan alat yang menyebabkan resiko jika dibiarkan tanpa dicuci.
2) Berpakaian “dressing” Berpakaian dalam konteks norma dan membiasakan untuk rapi adalah merupakan pembiasaan yang banyak artinya.
3) Perawatan Pakaian “clother care” Merawat pakainan mulai dari mencuci pakaiannya sendiri, melipat, dan membuat pakaian awet dan lebih tahan, termasuk mengajarkan tata warna dan estetika berpakaian.
4) Perawatan Rumah “housekeeping” Orang tua sebaiknya membiasakan anak–anak untuk bertanggungjawab terhadap lingkungan terdekatnya. Setelah bangun tidur dengan membiasakan diri merawat tempat tidur dan kebersihan. Membiasakan membersihkan lantai, kamar mandi, mencuci piring dan menjaga keindahan rumah dan seisinya.
5) Keterampilan Makan “eating skills” Hal ini menyangkut tentang mengajarkan tata cara makan yang baik, baik melalui tangan atau melalui peralatan yang diperlukan. Mengajarkan tentang komponen makanan yang sehat, kegunaan komponen tersebut, dan jenis makanan yang bergizi.
6) Memegang Uang “money management” Anak–anak juga perlu diperkenalkan uang dan bagaimana menggunakan uang sebaiknya, mulai dengan memperkenalkan menabung, sampai menghemat uang.
7) Komunikasi sosial “social comunication” Komunikasi sosial juga sangat penting, komunikasi dengan tetangga, sahabat, termasuk tentang mimik dan cara menjelaskan sehingga muncul kepercayaan diri anak-anak untuk tidak merasa tertinggal dibandingkan dengan saudara lainnya.
8) Menggunakan Telepon “telepon usage” Penggunaan telepon, cara menjawab, termasuk kata–kata yang baik dan cepat dibiasakan.
9) Persiapan Makan “food preparation” Persiapan makanan perlu dibiasakan juga ketika anak–anak suatu saat akan menghadapi kesulitan. Jika kekurangan uang mereka sanggup untuk menentukan bagaimana persoalan makan diatasi (Mudjito dkk, 2012: 22 ). Menurut Mudjito; Harizal; Eka & Adiningsih (2014: 84)
ruang lingkup aktivitas keseharian dan bina diri yaitu:
1) Buang air besar/ buang air kecil,
35
2) Kebersihan diri, 3) Berpakaian, 4) Makan, 5) Membuat dan mengikuti jadwal, 6) Melakukan rutinitas, 7) Mempersiapkan alat bahan, 8) Mengorganisasi, 9) Menyelesaikan tugas,
10) Bersih – bersih, 11) Mandiri di sekolah, 12) Mandiri di rumah, 13) Keamanan, 14) Perawatan kesehatan, 15) Mandiri di lingkungan, 16) Keterampilan terkait transportasi.
Berdasarkan ruang lingkup bina diri di atas, peneliti hanya
mengambil kemampuan merawat diri dalam hal mencuci tangan.
Kemampuan mencuci tangan mulai dari membuka kran sampai pada
mengeringkan tangan.
d. Kemampuan Merawat Diri
Sugirman ( 2004: 81) berpendapat bahwa, “Merawat diri yang
dimaksud adalah kegiatan anak khususnya yang berhubungan dengan
kebersihan diri, seperti mandi, buang air kecil, buang air besar, cuci
tangan atau gosok gigi dan sebagainya”. Menurut Sudrajat dan Rosida
(2013: 62) berpendapat bahwa, “merawat diri adalah keterampilan
menggunakan alat–alat dan fungsinya seperti peralatan mandi dan
makan”.
Susanti (2013: 93) menjelaskan bahwa, “merawat diri yaitu
kecakapan atau keterampilan yang perlu oleh anak agar dapat
mengurus dirinya sendiri dalam kehidupan sehari–hari tanpa bantuan
orang lain”. Menurut Cavkaytar dan Pollard (2009: 384), “An
individual with autism who has esential self –care skills such as
dressing, eating, and toileting skills i s considered as one who has
taken important steps toward gaining an independet life”. Sudrajat
36
dan Rosida (2013: 62) menjelaskan bahwa merawat diri merupakan
kegiatan sehari–hari yang sangat mendasar seperti:
1) Mengenal dan menggunakan alat – alat makan dan minum.
2) Melakukan kebersihan diri sendiri seperti: mandi, menggosok gigi, membersihkan setelah buang air kecil dan besar, dan merawat rambut tanpa bantuan orang lain.
Menurut uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa merawat diri
merupakan suatu keterampilan dalam menjaga tubuh agar bersih
mulai dari angota tubuh sampai peralatan yang digunakan seperti baju,
alat makan dan minum dll. Adapun langkah–langkah mencuci tangan
yang telah di adaptasi dari pedoman mencuci tangan menurut WHO
(2009) adalah sebagai berikut:
1. Buka kran
2. Basuk kedua tangan
3. Mengambil sabun (menekan bagian atas botol sampai sabun keluar)
4. Gosok kedua telapak tangan sampai berbusa
5. Gosok punggung tangan
6. Gosok telapak tangan
7. Gosok sela–sela kedua jari tangan
8. Gosok seluruh ujung jari
9. Bilas kedua tangan dengan air
10. Matikan kran
11. Keringkan kedua tangan dengan handuk
e. Bina Diri Anak Gangguan Spektrum Autis
Pembelajaran bagi anak autis harus disesuaikan dengan asesmen
sehingga dalam implementasi program dapat dilaksanakan secara
lebih efektif dan efesien dalam mencapai tujuan. Program Bina diri
bagi anak autis harus memperhatikan beberapa faktor. Faktor–faktor
yang harus diperhatikan guru atau pelatih adalah sebagai berikut
(Sudrajat dan Rosida, 2013: 80):
37
1) Perhatikan apakah sudah ada tanda–tanda bahwa anak sudah siap atau matang untuk menerima latihan-latihan.
2) Belajar dalam keadaan santai (relak). 3) Latihan–latihan hendaknya diberikan dengan singkat dan
sederhana, tahap demi tahap. 4) Tunjukkan pada anak bagaimana cara melakukan sesuatu
dengan benar. Hendaknya mengajarkan segala sesuatu melalui contoh–contoh yang mudah dimengerti. Satu macam latihan hendaknya diulang–ulang sampai anak mampu melakukannya sendiri dengan benar.
5) Pada melakukan sesuatu iringilah dengan percakapan. Gunakan kata–kata yang sederhana. Misalnya: “Heri, mari pakai sepatu”.
6) Terapkan disiplin dan jangan menyimpang dari ketetapan urutan, waktu maupun tempat. Contoh: cuci tangan sebelum makan, sesudah makan, sikat gigi dan sebagainya.
7) Berikan pujian dengan tulus, karena anak mungkin akan tahu mana pujian yang sungguh–sungguh atau pura–pura. Sebaliknya tolong anak agar untuk lain kali untuk berusaha lebih baik, misalnya: Heri, ini masih kurang baik, tetapi lain kali lebih baik lagi, ya”.
8) Kesalahan/kecelakaan adalah hal biasa dan mungkin saja terjadi anak jatuh karena memasukan kedua kakinya ke dalam satu lobang celana secara bersama–sama. Bila sudah berlatih namun masih gagal juga, hentikan latihan. Ini perlu agar anak tidak merasa frustasi atau kecewa. Juga agar guru/pelatih tidak merasa frustasi dan merasa gagal.
9) Flesibilatas pada metoda suatu latihan tetap tidak berhasil setelah jangka waktu latihan cukup lama, analisalah persoalan dnegan cermat. Jika demikian metoda perlu disusun kembali sesuai dengan batas kemampuan dan keadaan anak.
10) Sangatlah penting bahwa guru/pelatih menggunakan kata atau istilah yang sama, juga isyarat dan metoda mengajar yang sama.
Berdasarkan teori di atas dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran bina diri bagi anak autis perlu memperhatikan beberapa
hal yaitu kesiapan anak, penggunaan kata–kata yang sederhana,
adanya kekonsistenan serta pemberian contoh dalam pembelajaran,
berikan penguatan. Pembelajaran bina diri yang di berikan harus
memperhatikan beberapa hal tersebut sehingga tujuan pembelajaran
dapat tercapai dan potensi yang dimiliki anak dapat dioptimalkan.
38
3. Kajian Alat Bantu Visual
a. Definisi Alat Bantu Visual
Menurut Kidd (2013: 13) istilah alat bantu visual atau visual
supports digunakan, “untuk menggambarkan beragam benda yang
membantu anak pengidap GSA agar lebih mudah berkomunikasi dan
menjaga perilakunya”. Menurut Savner dan Myles (2000) dalam
Nirahma, C & Yuniar, I (2012:3) menjelaskan bahwa,” visual
supports adalah hal–hal yang kita lihat yang meningkatkan
kemampuan anak dengan autisme untuk mendapatkan informasi dari
indra penglihatan. Dimana membantu mengatur keseharian,
komunikasi, memahami lingkungan, mendapatkan informasi dan
memfasilitasi pembelajaran”. Menurut Kosasih (2012: 60):
alat bantu visual membantu anak mengerti informasi tentang pilihan, jenis kegiatan yang telah dilakukan waktu lampau dan waktu yang akan datang, perasaan anak dan perasaan orang lain cara melakukan suatu aktifitas secara mandiri, dan membantu akan apa yang harus dilakukan bila terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Menurut Manitoba Education, Cirizenship and Yout (2005)
menjelaskan bahwa, “Visual support is typically the most effective
vehicle to communicate structure, routine, and predictability because
it offers the students a permanent reminder of expectations”( hlm. 4).
Visual support merupakan sarana yang paling efektif untuk
mengkomunikasikan struktur, rutinitas dan prediksi karena
memberikan kepada anak suatu pengingat yang diharapkan.
Menurut pendapat ahli di atas maka peneliti dapat menarik
kesimpulan bahwa alat bantu visual merupakan berbagai macam
benda yang dapat berbentuk benda nyata, ilustrasi warna, foto,
gambar, tabel, dan lain–lain yang digunakan untuk meningkatkan
kemampuan anak autis, meningkatkan komunikasi anak, kemandirian
39
anak, dan dapat juga mengurangi kekhawatiran anak autis terhadap
suatu kegiatan yang akan dilakukan.
b. Kelebihan Alat Bantu Visual
Menurut Peeters (2004), “Visul Support dapat membebaskan
para penyandang autisme dari beberapa masalah dasar mereka:
abstraksi dan mengikuti sekuensi/tahapan waktu”(hlm. 103). Dengan
menggunakan alat bantu visual mengajarkan kepada para penyandang
autisme untuk menghadapi perubahan, membuat mereka berpikir
secara lebih fleksible. Lebih mudah untuk menerima perubahan jika
anda dapat mengantisipasinya secara visual. Alat bantu visual
meningkatkan tingkat kemadirian. Semakin sedikit pola perilaku
stereotip, berkat keterlibatan aktif mereka yang lebih besar (Peeters,
2004: 109).” Berdasarkan The National Autistic Society (2003: 1)
menjelaskan bahwa, “visual supports can be used to help people with
an autism spectrum disorder (ASD). They are adaptable, portable and
can be used in most situations”. Visual support dapat digunakan untuk
membantu anak gangguan spektrum autis. Ini sangat mudah
diadaptasikan, mudah dibawa, dan dapat digunakan dalam berbagai
situasi. Kosasih (2012: 62) juga berpendapat bahwa, “alat bantu
visual dapat membantu anak mengungkapkan keinginannya”. Kosasih
(2012: 60) berpendapat bahwa:
Alat bantu visual dapat membantu anak mengerti tentang sesuatu yang akan terjadi, jenis kegiatan yang telah dilakukan waktu lampau dan waktu yang akan datang, perasaan anak dan perasaan orang lain, cara melakukan sesatu secara mandiri dan membantu anak, apa yang harus dilakukan bila terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Kesimpulan dari pendapat ahli tersebut adalah alat bantu visual
membantu anak dengan gangguan spektrum autis yang mengalami
kesulitan dalam memahami makna abstrak untuk membuat makna
menjadi konkrit. Alat bantu visual membantu anak GSA menjadi lebih
40
tenang dan tidak gelisah ketika mengahadapi perubahan, mereka juga
dapat lebih mandiri dalam melakukan kegiatan.
c. Jenis – Jenis Alat Bantu Visual
Menurut Hodgon, L.A (1995) dalam Nirahma, C dan Yuniar, I
(2012: 3) dukungan visual meliputi: “Body Language, Natural
Environmental Cues, Traditional Tools For Organization And Giving
Information”. Adapun penjelasan dari dukungan visual tersebut yaitu:
1) Body Language
Bahasa tubuh meliputi ekspresi muka, orientasi tubuh dan
jarak, sikap tubuh, pergerakan badan, menggapai, menunjuk,
menyentuh, kontak mata, dan pergerakan mata. Kemampuan dalam
mengerti dan menggunakan bahasa tubuh yang alami berpengaruh
terhadap efektivitas menyampaikan pesan dalam berkomunikasi.
2) Natural Environmental Cues
Lingkungan yang secara alami berisikan banyak dukungan
visual, meliputi: penataan funitur, lokasi dan pergerakan manusia,
benda, materi yang dicetak seperti tanda, sinyal, logo, label harga,
pesan tertulis, intruksi, pilihan menu. Sangat penting untuk
komunikasi, mengetahui dan memahami lingkungan sekitar
mereka.
3) Traditional Tools For Organization And Giving Information
Banyak orang menggunakan dan mengembangkan dukugan
visual untuk membantu mengatur hidup mereka. Media ini
meliputi: kalender, perencanaan harian, jadwal visual, daftar
belanja, catataan, menu peta, checkbooks, buku telepon, tanda dan
label.
Pendapat ini sesuai dengan pendapat Mudjito, dkk (tth: 137)
bahwa, “visual support digunakan untuk meningkatkan komunikasi,
mentransfer informasi, perilaku dan mengembangkan kemandirian. Ini
termasuk daftar (jadwal) visual, urutan suatu pekerjaan, ekspresi
41
wajah, gesture dan bahasa tubuh. Manitoba Education, Cirizenship
and Youth (2005: 5) berpendapat bahwa, “Visual Support can include
pictures, books, checklist, schedules visual, social strories, written
instructions, and so on”. Visual support dapat mencakup gambar,
buku – buku, checklist, jadwal visual, sosial story (cerita sosial),
perintah tulisan dan seterusnya.
Kesimpulan dari pendapat ahli di atas adalah alat bantu visual
atau visual support memiliki berbagai jenis bentuk dalam penyajian
dapat berupa benda kongkrit, kalender, checkbook, jadwal visual,
sosial story serta bahasa tubuh. Penelitian ini menggunakan alat bantu
visual dalam bentuk jadwal visual untuk meningkatkan kemampuan
merawat diri bagi anak autis.
d. Jadwal Visual
Alat bantu visual yang digunakan pada penelitian ini dalam
bentuk jadwal visual. Menurut Nugrahesti dkk (2013: 55), “jadwal
visual adalah kumpulan gambar untuk mengkomunikasikan
serangkaian aktivitas atau langkah dari sebuah aktivitas yang
spesifik”. Kamp dan McErlean (2002) berpendapat bahwa,
Jadwal visual adalah suatu cara yang mudah memberikan siswa tanda yang konsisten tentang jadwal kegiatan mereka. Memberikan kepada mereka struktur yang memungkinkan siswa untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi selanjutnya, mengurangi kekawatiran dengan menyediakan kepada siswa.
Sesuai dengan penelitian Waters; Lerman & Honetz (2009: 313)
dengan judul penelitian “Separate and combined effects of visual
schedule and extinction plus differential reinforncement on problem
behavior occasioned by transitions.”, bahwa dengan penggunaan
jadwal visual dapat lebih memperkuat efektivitas dari penghapusan
dan DRO pada penuruan permasalah perilaku saat pergantian kegiatan
pada anak autis.
42
Alat bantu visual dalam bentuk jadwal visual sangat membantu
anak autis dalam berkomunikasi. Seperti yang diungkapkan oleh
Kosasih (2012: 61) bahwa,” alat bantu visual membuat anak mengerti
tentang sesuatu yang terjadi, yaitu dengan memakai urutan gambar
(picture schedule/visual schedule) yang berisi benda, gambar, orang,
atau tempat yang menggambarkan apa yang akan dikerjakan anak”.
Thompson (2010: 94) berpendapat bahwa, “jadwal harian juga
berguna sebagai sarana untuk mengaitkan dengan pengalaman nyata”.
McCorkle (2012: 5) berpendapat bahwa, “visuals schedules should tell
what events are going to occur, when they occur, the order of activies
and any changes that are going to happen in daily routines”. Jadwal
visual menjelaskan apa yang akan terjadi, saat terjadi, urutan dari
kegiatan dan berbagai perubahan yang akan terjadi dalam rutinitas
sehari – hari. Visual schedules yaitu suatu rangkaian gambar yang
menunjukan sebuah rangakaian aktivitas dan proses dari suatu
aktivitas tertentu, bantuan visual seperti ini digunakan untuk
membantu anak autis meningkatkan kemampuan mereka dalam
memproses informasi, menggunakan bahasa, serta berinteraksi dengan
lingkungan sosial mereka (Mudjito; Harizal; Karyanto & Adiningsih,
2014: 32). Yapko (2003: 117) berpendapat bahwa:
One of the most common methods taken from the TEACCH program is the use of visual schedules. These are essentially a visual way to organize the child’s world for him or her by listing with pictures, symbols or words what the sequential steps are for the child to follow throughout the day or for a given period of time. This organization and sequencingof behaviors helps provide a structur for child who might otherwise be stressed or highly agitated by not knowing what to espect or to do next. Salah satu metode yang paling umum dipakai dari program TEACCH yaitu jadwal visual. Itu merupakan sebuah cara visual untuk mengatur dunia anak melalui mendengar dengan gambar, simbol atau kata–kata dengan sequen langkah–langkah bagi anak untuk diikuti sepanjang hari atau dalam suatu periode. Pengorganisasi dan sequen dari perilaku yang memberikan bantuan urutan/struktur bagi anak yang mengalami stres atau
43
kegelisahan yang berlebihan karena ketidaktauan dalam apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Sesuai dengan pedapat diatas, menurut Nugrahesti, Widyorini dan
Roswita (2013: 56) dalam penelitiannya menyatakan bahwa,
“kecemasan anak Attention Deficit Hyperactivity Disorder berkurang
(ADHD) menjalani pemeriksaan medis ke dokter gigi setelah
penerapan jadwal visual”.
Berdasarkan dari pendapat ahli di atas dapat simpulkan bahwa
jadwal visual merupakan suatu urutan gambar–gambar dari langkah
suatu kegiatan yang dapat membantu anak GSA dalam melakukan
suatu kegiatan baik di sekolah maupun di rumah. Jadwal visual dapat
dibuat dari benda nyata, gambar, dan potho dari suatu benda. Jadwal
visual yang digunakan dalam penelitian berupan jadwal visual
kegiatan mencuci tangan. Adapun contoh bentuk jadwal visual
mencuci tangan adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1. Jadwal Visual Mencuci Tangan
B. Kerangka Berpikir
Kerangka berfikir dalam penelitian yang akan dilaksanakan oleh
peneliti adalah berkaitan dengan penerapan alat bantu visual untuk
meningkatkan kemampuan merawat diri anak gangguan spektrum autis
(GSA). Kerangka bepikir dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai
berikut:
44
Gambar 2.2. Kerangka Berpikir
C. Hipotesis
Sugiyono (2013: 96) menjelaskan bahwa “hipotesis merupakan
jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan
masalah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan”. Menurut Sudjana
(2005: 219) “hipotesis adalah asumsi atau dugaan mengenai suatu hal yang
dibuat untuk menjelaskan hal itu yang sering dituntut untuk melakukan
pengecekan”.
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir, maka hipotesis dalam
penelitian ini adalah:
Alat bantu visual efektif untuk meningkatkan kemampuan merawat
diri anak gangguan spektrum autis kelas II SLB Negeri Surakarta Tahun
ajaran 2015/2016.
Pembelajaran sebelum menggunakan alat bantu visual
Kemampuan anak GSA dalam merawat diri meningkat
Pembelajaran menggunakan alat bantu visual
Kemampuan dasar anak GSA dalam merawat diri rendah
Pembelajaran bina diri materi kemampuan merawat diri siswa GSA kelas II SLB Negeri
Surakarta