bab ii kajian dan kerangka teori - uksw
TRANSCRIPT
1
BAB II
KAJIAN DAN KERANGKA TEORI
1.1. Film sebagai Media Komunikasi Massa
Komunikasi massa dapat dijelaskan sebagai komunikasi yang ditujukan
kepada massa (masyarakat) atau komunikasi dengan menggunakan media massa.
Dalam konteks ini massa merupakan kumpulan orang-orang yang hubungan
sosialnya tidak jelas dan tidak mempunyai struktur tertentu (Rakhmat, 2003).
Banyak studi telah dilakukan dalam bidang komunikasi massa seiring dengan
perkembangan teknologi informasi. Komunikasi tidak lagi dilihat dari sudut
pandang kekuasaan tetapi lebih luas dan melibatkan banyak pihak. Teori
komunikasi kontemporer yang merupakan perkembangan dari teori komunikasi
klasik tidak lagi melihat fenomena komunikasi secara fragmatis. Dengan kata lain,
komunikasi dipandang sebagai sesuatu yang kompleks dan tidak sesederhana pada
pemahaman dalam teori komunikasi klasik. Komunikasi kontemporer salah
satunya terwakili oleh media film sebagai alat komunikasi massa.
Komunikasi massa melalui film menggunakan unsur visual dan audio untuk
menyampaikan pesan kepada masyarakat. Kedua unsur tersebut dipadukan untuk
memberikan gambaran realitas sebagai sumber stimulus afektif dan emosional.
Severin (2005) menjelaskan bahwa dalam teori retorika visual, citra dan gambar
dapat digunakan untuk menyusun argumentasi yang halus dan rumit sebagai
penguat dimensi komunikasi media massa. Dengan kata lain, citra dan gambar
yang ditampilkan dalam adegan sebuah film dapat merangsang respon kuat dari
penonton tanpa disadari oleh penonton itu sendiri.
Film dapat dirancang untuk mencitrakan suatu realitas sesuai yang
diinginkan oleh pembuat film. Ini berarti bahwa film sebagai alat media massa
memenuhi fungsi komunikasi to inform, to educate and to entertain sebagaimana
dijelaskan oleh Laswell. Teori kultivasi menjelaskan bahwa media, khususnya
televisi merupakan sarana utama yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk
belajar tentang dunia, orang-orang didalamnya, nilai-nilai serta adat kebiasaannya
2
(Severin, 2005). Dengan demikian, film dapat diproduksi untuk menyampaikan
pesan kepada masyarakat. Pesan (message) terdiri dari dua aspek yaitu isi pesan
(the content of message) dan lambang (symbol) untuk mengekspresikannya.
Lambang utama dalam film adalah gambar, artinya realitas yang divisualisasikan
memegang peran penting dalam proses komunikasi massa melalui film. Scoot
(dalam Severin, 2005) menyebutkan bahwa ada tiga cara berpikir tentang gambar
di media massa, yaitu sebagai gambaran nyata dari realitas, sebagai alat pembawa
daya tarik afektif atau emosional dan sebagai kombinasi simbol-simbol yang
rumit untuk menyusun argumentasi.
Dengan melihat citra dan audio yang ditampilkan di dalam sebuah film,
makna dari pesan yang direpresentasikan dalam film dapat dipelajari oleh
audience. Realitas yang ditampilkan di televisi atau film dalam konteks penelitian
ini, merupakan produk atau konstruksi dari kode-kode budaya dan oleh karenanya
tidak pernah bersifat netral ataupun universal sebagaimana dijelaskan oleh Fiske
(2005) “What passes for reality in any culture is that culture‟s codes, so „reality‟
is always already encoded, it is never „raw‟” . Ini berarti bahwa realitas dapat
direkayasa untuk menyampaikan pesan tertentu pada masyarakat. Kehadiran film
dengan pesan tertentu akan membawa dampak bagi masyarakat sebagai penonton.
Film membawa berbagai informasi, pesan-pesan yang dalam kecepatan tinggi
menyebar ke seluruh pelosok dunia secara serempak. Film dapat memunculkan
efek sosial yang mengarah pada perubahan nilai sosial dan budaya dalam
masyarakat. Hal ini mungkin terjadi sebagai akibat masyarakat menonton film dan
meng‟iya‟kan setiap nilai baru yang ditawarkan didalam film. Hall (1997)
menyebut fenomena ini film as a new religion. Manusia cenderung menjadi
konsumen budaya massa yang aktif. Hal ini mengakibatkan pola-pola kehidupan
manusia sebelum muncul film menjadi berubah, bahkan secara total. Film
mempengaruhi rutinitas kehidupan manusia, nilai-nilai yang dianut hingga budaya
yang berlaku dalam masyarakat.
Penggunaan kelebihan dan kelemahan film memberikan pengaruh kepada
pemirsanya. Semakin banyak unsur kelebihan dimanfaatkan, semakin besar
kecenderungan pemirsa untuk menikmatinya. Demikian sebaliknya bila unsur
3
kelemahan yang lebih mendominasi maka hasilnya akan ditinggalkan
khalayaknya. Melihat perkembangan film yang demikian pesat, Wilbur Schramm
mengatakan film telah digunakan secara efektif untuk mengajarkan segala macam
subjek, baik teoritis maupun praktik. Film semakin meluas dampaknya hingga
menjadi bagian tak terpisahkan yang mempengaruhi kehidupan manusia. Media
massa film secara teknis memiliki kemampuan mencapai khalayak dalam jumlah
tak terhingga pada waktu bersamaan. Untuk itu media massa film mempunyai
fungsi utama yang selalu harus diperhatikan yaitu fungsi informatif, edukatif,
rekreatif dan sebagai sarana mensosialisasikan nilai-nilai atau pemahaman-
pemahaman baik yang lama maupun yang baru.
1.2. Representasi dalam Sebuah Film
Representasi atau to represent didefinisikan tiga definisi yaitu to stand for,
to speak or act on behalf of dan to re-present (Giles and Middleton, 1999). To
represent dapat didefinisikan sebagai to stand for, tanda yang tidak sama dengan
realitas namun dihubungkan dan mendasarkan diri padanya, sebagai contoh:
bendera sebuah negara yang dikibarkan pada suatu acara nternasional
menunjukkan bahwa negara tersebut hadir sebagai peserta, maka bendera
menyimbolkan suat negara. To represent juga didefinisikan sebagai to act or
speak on behalf yang dapat dijelaskan dengan contoh Majelis Perwakilan Rakyat
(MPR). Para anggota MPR adalan orang-orang yang mewakili sekelompok massa
yang memilih mereka dan mendapat mandat untuk bertindak atas nama kelompok
rakyat pendukung mereka. Definisi terakhir, to represent dapat dijelaskan dengan
contoh sebuah foto atau poster yang digunakan untuk menghadirkan kembali
sebuah peristiwa yang telah terjadi. Foto merupakan representasi melalui gambar
yang bersifat iconic. Ketiga definisi tersebut mengacu pada representasi sebagai
proses pemaknaan yang berkaitan dengan bahasa. Naum, pada prakteknya makna
dari representasi ini dapat saling tumpang tindih. Hall (2003) memberikan
penjelasan lebih sederhana tentang representasi, ”representation is an essential
part of the process by which meaning is produced and exhanged between
members of culture. Melalui representasi, suatu makna diproduksi dan
4
dipertukarkan antar anggota masyarakat. Dengan kata lain, representasi
merupakan suatu cara untuk memproduksi makna.
Representasi bekerja melalui suatu sistem yang terdiri dari dua komponen
penting, yaitu konsep dalam pikiran dan bahasa. Kedua komponen ini saling
berelasi membentuk sebuah makna tunggal. Namun makna tidak dapat
dikomunikasikan tanpa bahasa. Sebagai contoh, masyarakat mengenal konsep
‟bunga‟ dan mengetahui maknanya. Namun makna dari bunga tersebut tidak dapat
dikomunikasikan, misalnya bagian dari tumbuhan yang berwarna-warni, jika
makna tersebut tidak diungkapkan dalam bahasa yang dimengerti oleh orang lain.
Hall (2003) mengungkapkan bawah hal yang terpenting dalam sistem representasi
adalah kelompok yang dapat berproduksi dan bertukar makna dengan baik adalah
kelompok tertentu yang memiliki latar belakang pengetahuan yang sama sehingga
dapat menciptakan suatu pemahaman yang sama.
Makna merupakan suatu konstruksi. Manusia mengkonstruksi makna
dengan tegas shg suatu makna terlihat seolah-olah alamiah dan tidak dapat diubah.
Makna dikonstruksi melalui sistem representasi dan difiksasi melalui kode. Kode
inilah yang membuat masyarakat yang berada dalam satu kelompok budaya yang
sama mengerti dan menggunakan nama yang sama, yang telah melewati proses
konvensi secara sosial. Misalnya, ketika seseorang memikirkan orang tua, anak,
saudara yang tinggal bersama dalam satu rumah, ia menggunakan kata keluarga
untuk mengkomunikasikan yang ingin diungkapkan kepada orang lain. Ini terjadi
karena kata keluarga merupakan kode yang telah disepakati dalam masyarakat
untuk memaknai suatu konsep mengenai orang-orang yang tinggal dibawah satu
atap rumah. Dari analogi tersebut dapat dilihat bahwa kode membangun korelasi
antara sistem konseptual yang ada dalam pikiran dengan sistem bahasa yang
digunakan oleh masyarakat.
Dari penjabaran di atas, dapat dijelaskan representasi merupakan suatu
proses untuk memproduksi makna dari konsep yang ada di pikiran melalui bahasa.
Proses produksi makna tersebut dimungkinkan dengan hadirnya sistem
representasi. Namun proses pemaknaan tersebut tergantung apda latar belakang
pengetahuan dan pemahaman suatu kelompok sosial terhadap suatu tanda. Suatu
5
kelompok harus memiliki pengalaman yang sama untuk dapat memaknai suatu ide
dengan cara yang sama.
Representasi muncul dalam berbagai bentuk, antara lain tulisan, ucapan,
isyarat yang maknanya sudah disepakati dengan konsensus, gambar serta lukisan,
ukiran serta bentuk tercetak, sinyal asap, lampu senter, rekaman suara, foto dan
film (Currie, 1995). Film merupakan jenis representasi yang memiliki karakter
spesial yang berhubungan dengan gambar. Film secara umum terdiri atas dua
unsur pembentuk yaitu unsur naratf dan unsur sinematik. Kedua unsur tersebut
tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus saling berinteraksi dan
berkesinambungan satu sama lain untuk membentuk sebuah film. Unsur naratif
adalah bahan (materi) yang akan diolah, sementara unsur sinematika merupakan
cara (gaya) untuk mengolah materi tersebut. Dalam film, cerita sebagai unsur
naratif merupakan perlakukan terhadap cerita filmnya. Sementara unsur sinematik
merupakan aspek-aspek teknis pembentuk film.
Unsur sinematik terdiri atas empat elemen utama yaitu mise-en-scene,
sinematografi, editing dan suara. Masing-masing elemen tersebut saling
berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain untuk membentuk gaya
sinematik secara utuh (Pratista, 2008). Mise-en-scene adalah segala hal yang
berada di depan kamera yang terdiri dari empat elemen pokok yaitu setting atau
latar; tata cahaya; kostum dan make up; serta akting dan gerakan pemain.
Sinematografi adalah perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta hubungan
kamera dengan obyek yang diambil. Editing adalah transisi sebuah gambar ke
gambar lainnya. Sedangkan suara merupakan segala hal di dalam film yang
mampu ditangkap melalui indra pendengaran.
Cerita film dapat direkayasa untuk menyampaikan pesan tertentu kepada
penontonnya. Hal inilah yang memudahkan film menjadi media representasi suatu
realitas yang akan ditanamkan pada masyarakat sebagai penonton. Menurut
Turner, makna yang dimuat dalam film sebagai representasi dari realitas
masyarakat, berbeda dengan film hanya sebagai refleksi dari realitas. Sebagai
representasi dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas
6
berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya
(Sobur, 2006).
Film mempengaruhi dan membentuk respon masyarakat berdasarkan
muatan pesan (message) di baliknya. Dengan kata lain film tidak bisa dipisahkan
dari konteks masyarakat yang memproduksi dan mengkonsumsinya. Selain itu,
sebagai representasi dari realitas, film juga mengandung muatan ideologi
pembuatnya sehingga dapat digunakan sebagai alat propaganda. Representasi
adalah tindakan menghadirkan atau merepresentasikan sesuatu baik orang,
peristiwa, maupun objek melalui sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya
berupa tanda atau simbol. Representasi ini belum tentu bersifat nyata tetapi bisa
juga menunjukan dunia khayalan, fantasi, dan ide-ide abstrak (Hall, 1997: 28).
Pesan yang dimasukkan dalam suatu media bergantung pada kepentingan-
kepentingan di balik media tersebut. Begitu pula dengan film sebagai salah satu
produk media massa. Pembuat film telah membingkai realitas sesuai dengan
subjektivitasnya yang dipengaruhi oleh kultur dan masyarakatnya. Sebuah film
tentu dapat mewakili pula pandangan pembuatnya, dan seseorang membuat film
untuk mengkomunikasikan pandangan itu. Dengan kata lain film juga
mengandung ideologi pembuatnya yang dapat mempengaruhi pandangan
masyarakat terhadap suatu hal. Ideologi bukanlah fantasi perorangan, namun
terjelma dalam cara hidup kolektif masyarakat. Bagi kebanyakan orang, ideologi
mewakili suatu kecenderungan umum untuk menukarkan yang benar dengan apa
yang tidak baik bagi kepentingan sendiri. Sekalipun anggapan yang sangat luas
tersebar ini tidak harus berarti bahwa ideologi adalah suatu konsepsi palsu
mengenai kesadaran, namun anggapan itu mengakui bahwa hanya ada satu
ideologi saja yang dapat dikatakan benar, dan ada tanda-tanda bahwa kita dapat
menemukan ideologi mana yang benar dengan bersikap lebih objektif (Sobur,
2006).
7
1.3. Tindak Pidana Korupsi
Korupsi merupakan kata yang diadaptasi dari bahasa Latin “corruption”
atau “corruptus” yang berarti: kerusakan atau kebobrokan. Pada awalnya,
masyarakat memahami korupsi berdasarkan kamus bahasa Yunani Latin
“corruption” yang berarti perbuatan tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak
bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama, mental dan
hukum. Namun demikian, pengertian tersebut merupakan pengertian yang sangat
sederhana, yang tidak dapat dijadikan tolak ukur atau standar perbuatan korupsi
sebagai suatu tindak pidana (Prodjohamidjoyo, 2001).
Dalam pemahaman masyarakat umum, kata korupsi menurut Marpaung
(1992) adalah perbuatan memiliki “keuangan Negara” secara tidak sah (haram).
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
korupsi diartikan sebagai: “…penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau
perusahaan atau sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Kata
“keuangan negara” biasanya tidak terlepas dari “aparat pemerintah”, karena yang
mengelola “keuangan Negara” adalah aparat pemerintah. Sedangkan berdasarkan
Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang kemudian diamandemen melalui Undang-Undang No. 20 tahun
2001, dalam Pasal 2 ayat (1) merumuskan tindak pidana korupsi adalah :
“setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.
Selanjutnya pada Pasal 3 dirumuskan :
“setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
8
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.
Dasar hukum tentang tindak pidana korupsi secara garis besar menjelaskan
tentang kerugian negara yang diakibatkan oleh tindakan seseorang
menyalahgunakan kekuasaan. Pada perkembagannya, pemahaman tersebut
membuat masyarakat hanya mengaci pada perilaku pejabat yang
menyalahgunakan uang negara sebagai tindak pidana korupsi. Lubis dan Scott
(1997) memberikan pandangan yang lebih luas, dalam arti hukum korupsi adalah
tingkah laku yang menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh
pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku
tersebut; sedangkan menurut norma-norma pemerintahan dapat dianggap korupsi
apabila ada pelanggaran hukum atau tidak, namun dalam bisnis tindakan tersebut
adalah tercela.
Seiring dengan perkembangan hukum dan tindak pidana, pengertian korupsi
mengalami pergeseran yang semakin luas. Menurut Tansparency International,
World Bank, dan International Monetary Fund, korupsi di sektor publik umumnya
didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi.
United States Agency for International Development (USAID) (1999)
memberikan definisi bahwa korupsi adalah penyalahgunaan unilateral oleh
pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, serta pelanggaran yang
menghubungkan aktor publik dan privat seperti penyuapan, pemerasan, pengaruh
penjajakan, dan penipuan. Sedangkan dalam bidang politik, Gibbons (1999)
menyebutkan ada sembilan bentuk korupsi: patronase politik atau menggunakan
sumberdaya publik sebagai pendukung dalam pemilihan; mempekerjakan pegawai
pemerintah yang mendukung pandangan politik penguasa atau kontrak alokasi
pegawai berdasarkan kriteria partisan; membeli suara (money politic); pork-
9
barreling atau menjanjikan pekerjaan umum kepada pemilih tetapi calon tahu
bahwa pemilih tersebut tidak mampu menjalankan pekerjaan; penyuapan atau
warga negara yang membayar pejabat untuk mendukung kepentingan mereka;
graft atau sogok-menyogok, ketika seorang pejabat menunjukkan bahwa dia harus
dihargai agar sesuai dengan tindakan publik; nepotisme atau menyewa atau
mengalokasikan kontrak berdasarkan kekerabatan atau persahabatan; mendorong
pejabat publik lain atau perantara untuk melakukan tindakan korupsi; dan
kampanye uang atau menerima dana dari kelompok yang berkompromi dalam
pemilihan.
1.4. Semiotika
Semiotika pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu
sistem apa pun yang memungkinkan masyarakat memandang entitas-entitas
tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna. Premis dasar
dari semiotika adalah semua aspek hubungan sosial (misalnya tata krama, cara
berpakaian, adat kebiasaan) ditunjukkan sebagai tanda yang dibaca atau
dimengerti dengan kode yang dimengerti bersama. Jika strukturalisme
menitikberatkan pada penemuan makna di bawa permukaan teks (the what),
semiotika menitikberatkan pada sistem yang membentuk maka tersebut (the how).
Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti tanda atau seme,
yang berarti penafsir tanda. Semiotike berakar pada studi klasik dan skolastik atas
seni logika, retorika dan poetika (Sobur, 2004).
Analisis semiotika adalah metode penelitian untuk menafsirkan makna dari
suatu pesan komunikasi baik yang tersirat (tertulis) maupun yang tersurat (tidak
tertulis/teruap). Makna yang dimaksud mulai dari parsial hingga makna
komprehensif. Sehingga dapat diketahui motif komunikasi dari komunikatornya.
Metode semiotika dikembangkan untuk menafsirkan simbol komunikasi sehingga
dapat diketahui bagaimana komunikator mengkontruksi pesan untuk maksud-
maksud tertentu.Pemaknaan simbol dapat menggunakan denotatif dan konotatif
atau nilai-nilai ideologis (atau mitologi dalam istilah Roland Barthes) dan
cultural.
10
Melalui analisis semiotika dapat dikupas tanda dan makna yang
diterapkan pada sebuah naskah pidato, iklan, novel, film, dan naskah lainnya.
Hasil analisis rangkaian tanda itu akan dapat menggambarkan konsep pemikiran
yang hendak disampaikan oleh komunikator, dan rangkaian tanda yang
terinterpretasikan menjadi suatu jawaban atas pertanyaan nilai-nilai ideologi dan
kultural yang berada di balik sebuah naskah.
Tradisi semiotika tidak pernah mengandaikan terjadinya salah pemaknaan,
karena setiap „pembaca‟ mempunyai pengalaman budaya yang relatif berbeda,
sehingga pemaknaan diserahkan kepada pembaca. Dengan demikian istilah
kegagalan komunikasi (communication failure) tidak pernah berlaku dalam tradisi
ini, karena setiap orang berhak memaknai teks dengan cara yang berbeda. Maka
makna menjadi sebuah pengertian yang cair, tergantung pada frame budaya
pembacanya. Pada saat iklan telah tersaji ke ruang publik, maka iklan akan
memproduksi makna, dan pencipta tanda-tanda dalam iklan tidak lagi memiliki
otoritas untuk memaksa makna-makna yang mereka kehendaki. Peran pemaknaan
pun berpindah ke tangan pembaca.
Terobosan penting pada semiotika adalah diterimanya penerapan konsep-
konsep linguistik ke dalam fenomena lain yang bukan hanya bahasa tertulis; yang
dalam pendekatan ini lantas diandaikan sebagai teks pula. Oleh karena itu, dalam
kaitannya dengan produk media, seluruh tampilan media baik dalam bentuk
tulisan, visual, audio, bahkan audiovisual sekalipun akan dianggap sebagai teks.
Maka, seorang penonton iklan televisi yang ingin menghadirkan konstruksi makna
tontonan televisi perlu memperlakukan keseluruhan unsur dalam iklan tersebut
sebagai teks sekaligus mempertautkannya dengan fenomena sosial yang
kontekstual. Teks dan konteks merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan.
Pendekatan semiotik mempercayai bahwa terlalu naif untuk mempertentangkan
teks dan konteks, bahkan konteks pun di dalam teorisasi semiotika lantas
diandaikan sebagai teks (Hodge dan Kress, 1988: 8). Sebuah jalinan makna
dibangun dengan penuh kesadaran atas hasil dari relasi antarteks alias
intertekstualitas.
11
Satu hal yang tidak dapat diabaikan dalam pendekatan semiotika adalah
pentingnya peran bahasa. Suatu makna diproduksi dari konsep-konsep dalam
pikiran seorang pemberi makna (pembaca) melalui bahasa. Representasi
merupakan hubungan antara tanda konsep-konsep yang memungkinkan pembaca
menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu obyek, realitas, atau pada
dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa. Dengan cara pandang
seperti itu, Stuart Hall (1997) memetakan sistem representasi ke dalam dua bagian
utama, yakni mental representations dan bahasa. Mental representations bersifat
subyektif, individual; masing-masing orang memiliki perbedaan dalam
mengorganisasikan dan mengklasifikasikan konsep-konsep sekaligus menetapkan
hubungan diantara semua itu. Sedangkan bahasa menjadi bagian sistem
representasi karena pertukaran makna tidak mungkin terjadi ketika tidak ada akses
terhadap bahasa bersama. Salah seorang founding fathers semiologi, Ferdinand de
Saussure, menyatakan bahasa sebagai sistem tanda yang mengekspresikan
gagasan-gagasan: “Language is a system of signs that express ideas, and is
therefore comparable to a system of writing, the alphabet of deaf – mutes,
symbolic rites, polite formulas, military signals, etc. but is the most important of
all these systems” (Berger, 1982).
Dalam semiotika, ada tiga bidang utama yang dipelajari yaitu (Fiske,
2004):
1. tanda, yang terdiri dari studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara
tanda menyampaikan makna dan cara tanda itu terkait dengan manusia
yang menggunakannya. Tanda merupakan konstruksi manusia dan hanya
bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.
2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara
berbagai kode dikembagkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat
atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia
untuk mentransmisikannya.
3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Studi ini bergantung pada
penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk meberadaan dan
bentuknya sendiri.
12
John Fiske (1987) berpendapat bahwa realitas merupakan produk pokok
yang dibuat oleh manusia. Dari ungkapan tersebut dapat dikatakanbahwa Fiske
memadang apa yang ditampilkan di layar kaca, seperti film, adalah sebuah realitas
sosial. Pesan budaya akan selalu bersinggungan dengan penerima dan
memproduksi makna budaya. Dimana sebuah pesan yang dihasilkan dari
penurunan dan pertukaran tanda tersebut merupakan suatu struktur bangunan yang
juga diperkaya dengan elemen-elemen lain termasuk realitas eksternal yang
berfungsi memantapkan dan memelihara nila-nilai yang berlaku (Fiske, 1990) .
Dalam pandangan Fiske, analisis semiotik pada televisi atau film terbagi menjadi
beberapa level, yaitu:
1. Level Realitas ( Reality)
Kode yang tercakup dalam level ini adalah penampilan, kostum, riasan,
lingkungan, tingkah laku, cara berbicara, bahasa atau gerak tubuh,
ekspresi, suara dan lain-lain.
2. Level Representasi
Kode yang termasuk pada level representasi adalah seputar kode-kode
teknik seperti kamera, pencahayaan, editing, musik dan suara.
3. Level Ideologi
Level ideologi merupakan hasil dari level realitas dan representasi yang
terorganisir atau terkategorikan kepada penerimaan dan hubungan sosial
oleh kode-kode ideologi, seperti individualisme, ras, kelas,
materialisme, kapitalisme dan lain-lain.
Banyak teknik pengambilan gambar yang dapat digunakan untuk
merepresentasikan suatu realitas ke dalam film. Thompson & Bowen (2009)
menjabarkan sejumlah teknik shot kamera yang digunakan oleh media ini dalam
mengkonstruksi realitas virtual-nya. Masing-masing teknik shot kamera memiliki
arti yang berbeda dengan penekanan yang berbeda pula. Terdapat sembilan
teknik shot kamera, dimana setiap teknik memiliki fungsi dan makna yang
berbeda, yaitu :
13
Long shoot/Wide Shot (LS/WS): Dengan teknik ini bisa diketahui siapa,
dimana dan kapan berkaitan dengan subjek. Selain itu, juga bisa
diketahui gendernya, kostum, gerakan subjek, dan ekspresi wajah.
Medium shots (MS): Dengan teknik ini bisa diketahui siapa, dimana dan
kapan berkaitan dengan subjek. Selain itu, juga bisa diketahui gendernya,
kostum, gerakan subjek, dan ekspresi wajah.
Close-up (CU): Disebut juga intimate shot. Untuk menghasilkan
gambaran orang, objek, atau tindakan yang terlihat besar, sehingga bisa
mendapatkan informasi yang detail tentang objek, serta bisa
menunjukkan ekspresi seseorang.
Extreme Long Shot (XLS): Digunakan untuk menunjukkan lingkungan
urban, suburban, rural, pegunungan, gurun, laut, dan lain-lain. Juga
digunakan untuk menunjukkan siang, malam,musim dingin, musim
panas, dll.
Very Long Shot (VSL): Memperlihatkan lebih jelas lagi tentang siapa dan
dimana subjek berada.
Medium Close Up (MCU: Memberi informasi tentang cara bicara, cara
mendengarkan atau tindakan dari karakter Ekspresi wajah, arah pandang,
emosi, warna rambut, make-up tampak jelas.
Big Close Up (BCU): Lebih untuk memperlihatkan bagian wajah,
terutama hidung, mata dan mulut. Untuk memperlihatkan siapa subjek
itu, dan bagaimana ekspresinya (marah, sedih, terharu, dll).
Extreme Close Up (ECU): Gambar ini biasanya digunakan untuk film
dokumenter, berkaitan dengan medis atau ilmu alam, bisa juga digunakan
untuk film naratif fiksi, atau film art.