bab ii kajian pustaka 2.1 pendidikan karakter 2.1.1 ...€¦ · 2.1.1 pengertian pendidikan...
TRANSCRIPT
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pendidikan Karakter
2.1.1 Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan Karakter adalah proses kegiatan
yang dilakukan dengan segala daya dan upaya
secara sadar dan terencana untuk mengarahkan
anak didik. Pendidikan karakter juga merupakan
proses kegiatan yang mengarah pada peningkatan
kualitas pendidikan dan pengembangan budi
harmoni yang selalu mengajarkan, membimbing, dan
membina setiap menusia untuk memiliki kompetensi
intelektual, karakter, dan keterampilan menarik
(Khan, 2010:34). Berdasarkan pandangan dari Khan
menunjukkan bahwa pendidikan karakter
merupakan suatu cara yang dilakukan secara
sengaja dengan menerapkan nilai – nilai untuk
mengarahkan peserta didik ke arah yang lebih baik.
Menurut Kemendiknas (2011: 5 – 6) pendidikan
karakter adalah pendidikan nilai, pendidikan budi
pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang
bertujuan mengembangkan kemampuan seluruh
warga sekolah untuk memberikan keputusan baik-
buruk, keteladanan, memelihara apa yang baik dan
15
mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-
hari dengan sepenuh hati. Hal ini berarti bahwa
pendidikan karakter adalah pendidikan yang dapat
membentuk sikap dan perilaku warga sekolah. Nilai-
nilai karakter yang akan dikembangkan pada peserta
didik, menurut naskah akademik Pengembangan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa,
Kementerian Pendidikan Nasional telah merumuskan
nilai-nilai karakter yang berjumlah delapan belas.
Nilai-nilai ini bersumber dari empat hal penting yang
melekat pada bangsa Indonesia, yaitu: agama,
Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional.
Berikut ini nilai-nilai karakter tersebut dalam bentuk
tabel (Kemendiknas, 2010: 9-10)
Tabel 2.1 Nilai – nilai karakter
No Nilai Karakter No Nilai Karakter
1 Religius 10 Semangat Kebangsaan
2 Jujur 11 Cinta Tanah Air
3 Toleransi 12 Menghargai Prestasi
4 Disiplin 13 Bersahabat/Komunikatif
5 Kerja Keras 14 Cinta Damai
6 Kreatif 15 Gemar Membaca
7 Mandiri 16 Peduli Lingkungan
8 Demokratis 17 Peduli sosial
9 Rasa Ingin Tahu 18 Tanggung Jawab
16
Pendidikan merupakan sebuah proses yang
membantu menumbuhkan, mengembangkan,
mendewasakan, membuat yang tidak tertata atau liar
menjadi semakin tertata, semacam proses
penciptaan sebuah kultur dan tata keteraturan
dalam diri ataupun dalam diri orang lain. Selain
merupakan semacam proses domestifikasi,
pendidikan juga berarti proses pengembangan
berbagai macam potensi yang ada dalam diri
manusia seperti kemampuan akademik, relasional,
bakat-bakat, talenta, kemampuan fisik, atau daya-
daya seni (Albertus, 2010 : 53). Berdasarkan
pendapat Albertus bahwa pendidikan karakter
adalah suatu proses pendidikan yang menjadikan
peserta didik lebih baik tidak hanya dibidang
akademik melainkan dari segi sikap dan moral.
Dari beberapa pendapat tokoh diatas dapat
disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah
suatu proses pendidikan yang menekankan pada
pengembangan dan pembentukan akhlak, watak,
sifat baik atau positif pada diri peserta didik agar
peserta didik paham, peduli dan bertindak
berdasarkan nilai-nilai pendidikan karakter sehingga
menjadikan peserta didik lebih baik.
17
2.1.2 Tujuan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter mempunyai tujuan
meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil
pendidikan di sekolah yang mengarah pada
pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia
peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang
sesuai dengan standar kompetensi lulusan (Asmani,
2011:42). Hal ini berarti bahwa tujuan pendidikan
karakter adalah adanya pembaharuan dalam diri
seseorang dengan menanamkan nilai – nilai karakter.
Menurut Wibowo (2012:22) pendidikan
karakter mempunyai tujuan yaitu membentuk dan
membangun pola pikir, perilaku, dan sikap peserta
didik agar menjadi pribadi yang lebih baik, berakhlak
mulia, berjiwa luhur, dan bertanggung jawab. Artinya
tujuan pendidikan karakter baik adanya untuk
mengubah seseorang menjadi pribadi menjadi lebih
baik dalam sikap, perilaku maupun pola pikir.
Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat
Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional
(2010:7) menjelaskan tujuan pendidikan budaya dan
karakter bangsa adalah :
a. Meningkatkan potensi peserta didik sebagai
manusia yang memiliki nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa
18
b. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta
didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai
dan tradisi budaya bangsa
c. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung
jawab kepada peserta didik
d. Mengembangkan kemampuan peserta didik
menjadi manusia yang mandiri, kreatif,
berwawasan kebangsaan
e. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah
sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur,
penuh kreativitas dan persahabatan, serta
dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh
kekuatan.
Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementerian Nasional menyatakan
bahwa pendidikan karakter pada intinya mempunyai
tujuan membentuk bangsa yang tangguh, berakhlak
mulia, bertoleran, kompetitif, bergotong royong,
berjiwa patriotik, bermoral, berkembang dinamis,
berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang
semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Tujuan utama dari pendidikan karakter adalah
untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia,
mematuhi peraturan yang ada, berdisiplin dan
19
tangguh dan tidak menyimpang dari peraturan yang
ditetapakan. Aturan yang ada diharapkan sesuai
dengan nilai -nilai positif di masyarakat ataupun
sekolah. Selain itu, dengan pendidikan karakter
dapat mewujudkan manusia yang bertakwa pada
Tuhan Yang Maha Esa.
2.1.3 Metode Pelaksanaan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter yang efektif dan utuh
menyertakan tiga basis desain dalam
pemogramannya. Tiga basis yang dimaksud adalah
basis kelas, basis kultur sekolah dan basis
komunitas (Albertus, 2012:105 – 153; Kemendikbud,
2017: 27 – 46; Muslich, 2011:90 – 91).
1. Pendidikan Karakter Berbasis Kelas
Desain kurikulum pendidikan karakter
berbasis kelas terdiri dari dua ranah, yaitu (a)
instruksional dan (b) non-instruksional. Ranah
instruksional terkait dengan tindakan pembelajaran
dan pengajaran di dalam kelas, yakni proses
pembelajaran terhadap materi kurikulum yang
diajarkan. Sedangkan ranah non-instruksional
mengacu pada unsur-unsur di luar dinamika
belajar mengajar didalam kelas, seperti motivasi,
keterlibatan, manajemen kelas, pembuatan norma,
20
aturan dan prosedur, komitmen bersama, dan
lingkungan fisik (Albertus, 2012: 108).
a. Ranah Instruksional
Desain pendidikan karakter berbasis kelas
yang sifatnya instruksional dapat terjadi melalui dua
cara, yaitu bersifat pengajaran tematis dan non-
tematis (Albertus, 2012: 108). pengajaran tematis
yaitu dengan memberikan materi pembelajaran
tertentu tentang pendidikan karakter melalui
proses belajar mengajar. Pendidik memilih satu tema
tertentu untuk dibahas bersama. Sekolah
mengalokasikan waktu khusus untuk pengembangan
pembentukan karakter, baik melalui pengajaran
tradisional, dialogis, diskusi kelompok, maupun pada
pembuatan proyek bersama. parsial selektif
merupakan sifat pendidikan karakter berbasis kelas
instruksional tematis, dimana program pendidikan
karakter yang dilaksanakan sungguh membidik satu
tema khusus atau memilih tema tertentu tentang
nilai yang dipilih dan akan dibahas dalam
pendidikan karakter (Albertus, 2012: 109).
Kedua, pendidikan karakter berbasis kelas
instruksional non-tematis. Ini adalah sebuah model
pendekatan pembelajaran bagi pembentukan
21
karakter dengan mempergunakan momen-momen
pembelajaran yang sifatnya terintegrasi dalam
kurikulum, proses pembelajaran dan terkait secara
inheren dalam materi pembelajaran. Dalam proses
pengajarannya tidak ditentukan ada tema khusus
yang mau dibahas, tetapi terintegrasi dengan materi
yang telah ada. Selain itu, tidak ada alokasi waktu
khusus untuk melatih dan mengajarkan
pembentukan karakter karena dengan model ini
pembentukan karakter yang dilakukan terintegrasi
melalui kurikulum yang ada dalam setiap mata
pelajaran. Guru mempergunakan proses belajar
mengajar sesuai dengan mata pelajaran yang
diampunya untuk menanamkan nilai-nilai tertentu.
Sebagai contoh konkretnya, guru diminta membuat
silabus, yang didalamnya dimasukkan kolom
‘karakter’. Sehingga, di dalam Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP), beberapa nilai yang bisa
dibentuk, diajarkan dalam proses pembelajaran
mesti disebut secara eksplisit (Albertus, 2012: 109 –
111).
b. Ranah Non-Instruksional
Ranah non-instruksional bagi pendidikan
karakter berbasis kelas tertuju pada penciptaan
lingkungan belajar yang nyaman dan kondusif bagi
22
pembentukan atau pengembangan karakter peserta
didik. Penciptaan lingkungan yang dimaksud
meliputi manajemen kelas, pendampingan perwalian,
dan membangun konsensus kelas.
Pertama, manajemen kelas berarti
menciptakan dan menjaga sebuah lingkungan
pembelajaran yang mendukung pengajaran dan
meningkatkan prestasi peserta didik. Guru dan
peserta didik berhadapan dan berdialog secara
langsung sebagai pribadi. Secara bersama-sama
mereka membentuk komunitas belajar. Perjumpaan
dalam kelas terjadi secara terencana dan teratur
melalui penjadwalan mata pelajaran yang diorganisir
dan diarahkan agar tujuan pembelajaran dapat
tercapai, yaitu penguasaan materi, keterampilan
teknis, pengayaan pribadi tentang objek
pembelajaran tertentu (Albertus, 2012: 112).
Kedua, pendampingan perwalian. Momen
pembinaan wali kelas sesungguhnya menjadi tempat
penting bagi penanaman nilai dan pembentukan
karakter peserta didik. Peserta didik diajak
berkumpul bersama melalui berbagai macam cara.
Didalamnya warga kelas mengevaluasi dinamika
kelas mereka, mengembangkan dinamika kelompok,
mencoba mencari cara-cara penyelesaian konflik
23
secara damai. Nilai-nilai yang ditanamkan dalam
program perwalian kelas antara lain, saling
menghormati, tanggung jawab bersama, saling
membantu dalam proses belajar, pembelajaran
demokrasi dengan mengajak peserta didik
menentukan tujuan kelas secara bersama beserta
cara-cara praktis untuk mencapai tujuan,
keterbukaan dan persahabatan. Tujuan utama
pendampingan kelas adalah membangun
kesepakatan bersama kelas demi kemajuan dan
keberhasilan mereka sebagai komunitas kelas yang
belajar (Albertus, 2012: 112 – 115).
Ketiga, membangun konsensus kelas. Dasar
dari pengembangan ini adalah hubungan timbal
balik satu sama lain berdasarkan kepercayaan
(trust), rasa hormat (respect), dan saling
menumbuhkan dan merawat (caring). Kelas yang
baik memiliki aturan bersama yang dipahami oleh
setiap anggota komunitas kelas sehingga proses
belajar mengajar menjadi lancar. Dalam
mengembangkan konsensus kelas, keterlibatan
setiap anggota kelas sangatlah diperlukan.
Kesepakatan kelas mesti dipahami, disetujui dan
disepakati oleh anggota komunitas kelas (Albertus,
2012 : 115 – 116).
24
Desain pendidikan karakter berbasis kelas
menurut Muslich (2011: 90) yaitu desain yang
berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan
peserta didik sebagai pembelajar didalam kelas.
Konteks pendidikan karakter adalah proses
relasional komunitas kelas dalam konteks
pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan
menolong, melainkan dialog dengan banyak arah
sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan peserta
didik yang sama-sama berinteraksi dengan materi.
Memberikan pemahaman dan pengertian akan
keutamaan yang benar terjadi dalam konteks
pengajaran ini, termasuk didalamnya adalah ranah
noninstruksional, seperti manajemen kelas,
konsensus kelas dan lain-lain, yang membantu
terciptanya suasana belajar yang nyaman
Desain pendidikan karakter menurut
Kemendikbud (2017:27 – 35) :
a. Pengintegrasian PPK dalam kurikulum artinya
bahwa pendidik mengintegrasikan nilai-nilai
utama PPK kedalam proses pembelajaran dalam
setiap mata pelajaran. Langkah – langkah
menerapkan PPK melalui pembelajaran dalam
kurikulum, dapat dilaksanakan dengan cara:
25
1) Melaksanakan pembelajaran sesuai dengan
skenario dalam RPP;
2) Melaksanakan penilaian otentik atas
pembelajaran yang dilakukan;
3) Melakukan analisis KD melalui identifikasi
nilai-nilai yang terkandung dengan materi
pembelajaran;
4) Mendesain RPP yang memuat fokus
penguatan karakter dengan memilih metode
pembelajaran dan pengelolaan (manajemen
kelas) yang relevan;
5) Melakukan refleksi dan evaluasi terhadap
keseluruhan proses pembelajaran
(Kemendikbud, 2017:27 – 28)
b. PPK melalui manajemen kelas
Manajemen kelas (pengelolaan kelas)
adalah momen pendidikan yang menempatkan
para guru sebagai individu yang berwenang dan
memiliki otonomi dalam proses pembelajaran.
Dalam pengelolaan dan pengaturan kelas
terdapat momen penguatan nilai-nilai karakter
pendidikan karakter. Pengelolaan kelas berfokus
pada bagaimana mempersiapkan peserta didik
agar memiliki kesiapan fisik, mental, psikologis
dan akademis untuk menjalani proses
26
pembelajaran secara lebih produktif
(Kemendikbud, 2017: 28 – 29).
c. PPK melalui pilihan dan penggunaan metode
pembelajaran
PPK terintegrasi dalam kurikulum
dilakukan melalui pembelajaran di kelas dengan
menggunakan metode pembelajaran yang tepat.
Melalui metode tersebut diharapkan peserta
didik memiliki keterampilan yang dibutuhkan
seperti kecakapan berpikir kritis, berpikir
kreatif, kecakapan berkomunikasi, termasuk
penguasaan bahasa internasional dan kerja
sama dalam pembelajaran. Beberapa metode
pembelajaran yang dapat dipilih guru secara
kontekstual, antara lain: metode pembelajaran
saintifik, metode inquiry/discovery learning,
metode pembelajaran berbasis masalah, metode
pembelajaran berbasis proyek, metode
pembelajaran kooperatif dan metode
pembelajaran berbasis teks. Penggunaan
metode-metode pembelajaran tersebut dapat
dilaksanakan dengan beberapa strategi, yaitu:
pembelajaran kooperatif, presentasi, diskusi,
debat, pemanfaatan TIK (Kemendikbud, 2017:
29 – 31).
27
d. PPK melalui pembelajaran tematis
PPK melalui pembelajaran tematis adalah
suatu kegiatan pembelajaran yang dilakukan
oleh satuan pendidikan dengan mengalokasikan
waktu khusus untuk mengajarkan nilai – nilai
tertentu (Kemendikbud, 2017: 32).
e. PPK melalui gerakan literasi
Gerakan literasi merupakan kegiatan
mengasah kemampuan mengakses, memahami,
mengolah dan memanfaatkan informasi secara
kritis dan cerdas berlandaskan kegiatan
membaca, menulis, menyimak dan berbicara.
Setiap guru dapat mengajak peserta didik
membaca, menulis, menyimak dan
mengkomunikasikan secara teliti, cermat dan
tepat tentang suatu tema atau topik yang ada
diberbagai sumber, baik buku, surat kabardan
internet. Oleh karena itu, keberadaan dan
peranan pojok baca, perpustakaan sekolah dan
jaringan internet menjadi penting untuk
mendukung pelaksanaan pembelajaran.
kreativitas guru merupakan faktor penting
dalam menyajikan program dan kegiatan
membaca, menulis menyimak dan berbicara
secara cerdas, agar peserta didik dapat
28
menginternalisasikan nilai – nilai positif yang
terkandung didalamnya. Pembiasaan membaca
buku non-pelajaran selama lima belas menit
sebelum pelajaran dimulai sebagaimana diatur
dalam Permendikbud No. 23 tentang
penumbuhan Budi Pekerti perlu menjadi salah
satu alternatif untuk menumbuhkan dan
memulai gerakan literasi sekolah (Kemendikbud,
2017: 32 – 33)
f. PPK melalui layanan bimbingan dan konseling
PPK dilakukan secara terintegrasi melalui
pendampingan peserta didik dalam melalui
bimbingan dan konseling. Peranan guru BK
tidak terfokus hanya membantu peserta didik
yang bermasalah, melainkan membantu semua
peserta didik dalam pengembangan ragam
potensi, meliputi pengembangan aspek
belajar/akademik, karier, pribadi dan sosial.
Bimbingan dan konseling disekolah
dilaksanakan secara kolaboratif dengan para
guru mata pelajaran, tenaga kependidikan,
maupun orang tua dan pemangku kepentingan
lainnya (Kemendikbud, 2017: 33)
Pendidikan karakter berbasis kelas adalah
pendidikan karakter secara terintegrasi dalam proses
29
pembelajaran yaitu pengenalan nilai-nilai, dan
penginternalisasian nilai-nilai kedalam tingkah laku
peserta didik sehari-hari melalui proses
pembelajaran baik yang berlangsung didalam kelas
maupun luar kelas pada semua mata pelajaran. Pada
dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk
menjadikan peserta didik menguasai kompetensi
(materi) yang ditargetkan, juga dirancang dan
dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal,
menyadari/peduli dan menginternalisasikan nilai-
nilai dan menjadikannya perilaku.
2. Pendidikan Karakter Berbasis Kultur Sekolah
Dalam konteks pendidikan, kultur sekolah
merupakan sebuah pola perilaku dan cara bertindak
yang telah terbentuk secara otomatis menjadi bagian
yang hidup dalam sebuah komunitas pendidikan.
Dasar pola perilaku dan cara bertindaknya adalah
norma sosial, peraturan sekolah, dan kebijakan
pendidikan di tingkat lokal. Oleh karena itu kultur
sekolah dapat dikatakan seperti kurikulum
tersembunyi (hidden curriculum) yang lebih efektif
memengaruhi pola perilaku dan cara berpikir
seluruh anggota komunitas sekolah. Kultur sekolah
berjiwa pendidikan karakter terbentuk ketika dalam
merancang sebuah program, setiap individu dapat
30
bekerja sama satu sama lain melaksanakan visi dan
misi sekolah melalui berbagai macam kegiatan
(Albertus, 2012: 125 – 126).
Pada pendidikan karakter berbasis kultur
sekolah terdapat integrasi antara idealisme lembaga
pendidikan, yakni visi dan misi, dengan berbagai
macam struktur yang mendefinisikan kinerja
individu melalui cakupan tanggung jawabnya. Dalam
mengembangkan pendidikan karakter berbasis
kultur sekolah, berbagai macam momen dalam dunia
pendidikan dapat menjadi titik temu. Momen
pendidikan ini dapat bersifat struktural, polisional,
dan eventual (Albertus, 2012: 126).
Momen pendidikan yang struktural adalah
peristiwa yang berkaitan erat dengan proses regulasi
dan administrasi sekolah. Momen struktural ini
diantaranya adalah proses pembentukan
kesepakatan kerja, peraturan yayasan, peraturan
sekolah, job description setiap jabatan dan
kedudukan (Albertus, 2012: 127).
Momen pendidikan yang bersifat polisional
adalah kebijakan pendidikan on the spot yang
dilaksanakan secara rutin dan sifatnya tradisional.
Kebijakan yang bersifat rutin adalah berbagai
keputusan dan tindakan yang diambil dalam
31
kerangka pengembangan mutu sekolah. Misalnya,
kebijakan tentang penerimaan peserta didik baru,
ujian sekolah, pengaturan jadwal pelajaran, kegiatan
ekstrakurikuler, perwalian dan pengembagan
professional guru. Sedangkan, yang bersifat
tradisional adalah kebijakan rutin dalam rangka
pengembangan pendidikan yang senantiasa berulang
setiap tahun, seperti rapat-rapat kerja, pertemuan
orang tua murid, penerimaan rapor, dll (Albertus,
2012: 127 – 128).
Momen pendidikan yang bersifat eventual
adalah peristiwa – peristiwa pendidikan yang terjadi
secara khas dan muncul karena terjadinya peristiwa
tertentu yang merupakan tanggapan nyata sekolah
atas peristiwa di luar lembaga pendidikan, dan
memengaruhi kinerja lembaga pendidikan. Momen
pendidikan eventual ini tidak dapat diprediksi,
namun membutuhkan keputusan dan tanggapan
langsung dari pihak sekolah untuk menyikapinya
(Albertus, 2012: 128).
Sasaran pertama pendidikan karakter berbasis
kultur sekolah mengarah pada pertumbuhan
lembaga pendidikan sebagai komunitas moral.
Prinsip-prinsip moral dasar semestinya menjadi
dasar bertindak dan pengambilan keputusan. Prinsip
32
– prinsip yang dimaksud adalah berbuat baik,
jangan merusak, setiap individu berharga didalam
dirinya, dan prinsip moral dasar tersebut mesti
senantiasa diingat oleh para pendidik dan pengambil
keputusan.
Di samping itu, menumbuhkan kultur
demokratis dalam lingkungan sekolah merupakan
salah satu strategi pengembangan pendidikan
karkater berbasis kultur sekolah. Mengembangkan
kultur demokratis di sekolah tidak berarti
menghapus otoritas yang dimiliki guru. Intinya
adalah bagaimana setiap individu, terutama guru,
menghayati tanggung jawab moral yang diembannya
secara akuntabel dan transparan dalam
kebersamaan dengan komunitas. Kehidupan
bersama adalah tanggung jawab bersama dan
melibatkan seluruh anggota untuk membangunnya.
Dialog, komunikasi, kesediaan untuk saling
mendengarkan dan menghargai perbedaan adalah
ciri medasar sebuah komunitas demokratis.
Beberapa momen yang dapat menjadi praksis
strategis pengembangan kultur demokratis di
sekolah, misalnya: proses pemilihan ketua
kelas,ketua OSIS, dan kepengurusan lain atau
33
evaluasi atas kehidupan bersama (Albertus, 2012:
129 - 135).
Adapun momen – momen dalam dunia
pendidikan yang dapat dijadikan sebagai
pengembangan kultur sekolah antara lain:
1. Momen pengembangan diri seperti kelompok
diskusi, jurnalistik, karyailmiah, seni teater,
menggambar, dll.
2. Momen perayaan dan kekeluargaan, dies
natalis, sekolah, atau syukuran kelulusan.
3. Apresiasi dan pengakuan akan prestasi orang
lain.
4. Masa orientasi sekolah (MOS).
5. Pemilihan para pengurus OSIS, Dewan Kelas,
Presidium.
6. Kebijakan pendidikan.
7. Kolegialitas antarguru.
8. Pengembangan professional guru.
9. Merawat tradisi sekolah.
10. Asosiasi guru-orang tua (Albertus, 2012: 135
142).
Pendidikan karakter berbasis kultur sekolah
mencoba membangun kultur sekolah yang mampu
membentuk karakter anak didik dengan bantuan
pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk
34
dan terbatinkan dalam diri peserta didik. Untuk
menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya
dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak
didik. Pesan moral itu mesti diperkuat dengan
penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata
peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap
setiap perilaku ketidakjujuran (Muslich, 2011:91).
Pendidikan karakter berbasis budaya sekolah
merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan iklim
dan lingkungan sekolah yang mendukung praksis
PPK mengatasi ruang-ruang kelas dan melibatkan
seluruh sistem, struktur dan perilaku pendidikan
sekolah. Pengembangan PPK berbasis budaya
sekolah termasuk didalamnya keseluruhan tata
kelola sekolah, desain kurikulum serta pembuatan
peraturan dan tata tertib sekolah. Penguatan
pendidikan karakter berbasis budaya sekolah
berfokus pada pembiasaan dan pembentukan
budaya yang merepresentasikan nilai – nilai utama
PPK yang menjadi prioritas satuan pendidikan.
Pembiasaan ini diintegrasikan dalam keseluruhan
kegiatan disekolah yang tercermin dari suasana dan
lingkungan sekolah yang kondusif (Kemendikbud,
2017: 35-41)
35
Desain pendidikan karakter berbasis kultur
sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur
sekolah yang mampu membentuk karakter anak
didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar
terbentuk nilai moral-sosial yang baik dan
terbatinkan dalam diri peserta didik. Untuk
menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya
dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak
didik oleh karena itu pesan moral ini mesti diperkuat
dengan penciptaan kultur kejujuran melalui
pembuatan tata tertib peraturan sekolah yang
diterapkan dengan penuh disiplin dan konsisten.
3. Pendidikan karakter berbasis komunitas
Berbagai studi yang terkait peran masyarakat
dalam pendidikan menunjukkan bahwa keberhasilan
pendidikan (pendidikan karakter) bergantung pada
kemitraan yang sinergis antara para pelaku
pendidikan yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Pondasi pendidikan karakter sebagaimana
dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara diletakkan
pada keluarga sebagai pendidik yang pertama dan
utama. Namun demikian, lingkungan masyarakat
juga sangat mempengaruhi keberhasilannya. Praktik
baik kolaborasi antar anggota masyarakat telah
menjadi bagian dari tradisi Indonesia melalui
36
semangat gotong royong. Kepedulian menjadi kata
kunci. Sekaranglah saatnya untuk melakukan
penguatan pendidikan karakter yang berbasis
komunitas/masyarakat. Kemitraan tri sentra
pendidikan yaitu satuan pendidikan, keluarga, dan
masyarakat dalam membangun ekosistem
pendidikan sejalan dengan visi Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan yaitu “Terbentuknya
insan serta ekosistem pendidikan dan kebudayaan
yang berkarakter dengan berlandaskan gotong
royong”. Komite Sekolah mempunyai peran besar
dalam kemitraan ini termasuk dalam upaya
Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang dilakukan
untuk menyiapkan generasi emas 2045. Peningkatan
peran komite sekolah dan keluarga dalam PPK
sangat diperlukan (Kemendikbud, 2017: 24)
Lembaga pendidikan tidak berdiri sendiri,
melainkan memiliki ikatan yang erat dengan
komunitas-komunitas lain, baik yang terlibat secara
langsung atau tidak langsung. Komunitas-komunitas
itu antara lain:-
a) Komunitas sekolah: peserta didik, guru,
karyawan, staf sekolah, pengurus yayasan,dll.
b) Komunitas keluarga: orang tua, wali peserta
didik, komite sekolah.
37
c) Komunitas masyarakat: LSM, pengusaha,
berbagai perkumpulan sosial, dll.
d) Komunitas politik: pejabat birokrasi negara
bidang pendidikan, mulai dari pejabat di tingkat
dinas pendidikan sampai kementrian pendidikan
nasional ( Albertus, 2012: 143-153)
Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak
berjuang sendiri. Masyarakat diluar lembaga
pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum dan
negara juga memiliki tanggung jawab moral untuk
mengintegrasikan pembentukan karakter dalam
konteks kehidupan mereka (Muslich, 2011:91).
Desain pendidikan karakter
berbasis masyarakat. Dalam pengembangan
pendidikan karakter, komunitas sekolah tidak
berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga
pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum,
dan pemerintah, juga memiliki tanggung jawab moral
untuk mengintegrasikan pembentukan
karakter peserta didik dalam konteks kehidupan
mereka. Ketika lembaga pemerintah-negara lemah
dalam penegakan hukum, ketika mereka yang
bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang
setimpal, maka negara telah mendidik
masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak
38
menghargai makna tatanan sosial bersama. Praktik
keseharian lembaga – lembaga negara pemerintah
yang dipertontonkan kepada masyarakat, akan
menjadi cermin dan contoh bagi pembentukan
karakter warga masyarakatnya, termasuk peserta
didik. Bila baik praktik yang dijalankan oleh
lembaga-lembaga negara-pemerintah, maka
masyarakat akan mendapatkan pendidikan karakter
yang baik. Sebaliknya, jika praktik buruk yang
dipertontonkan oleh lembaga-lembaga negara-
pemerintah kepada masyarakat, maka peserta didik
sebagai bagian dari masyarakat akan mendapatkan
pelajaran buruk tentang pendidikan karakter.
2.2 Evaluasi Program
2.2.1 Pengertian Evaluasi Program
Untuk meningkatkan kualitas kinerja, dan
produktifitas suatu lembaga dalam melaksanakan
programnya perlu adanya evaluasi program. Evaluasi
program adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan
untuk melihat tingkat keberhasilan program.
Melakukan evaluasi program adalah kegiatan untuk
mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari
kegiatan yang direncanakan (Arikunto, 2012:325).
Berdasarkan pendapat Arikunto menunjukkan
39
bahwa berhasil tidaknya suatu program dapat
diketahui dengan melakukan evaluasi.
Menurut Musa (2005: 8) evaluasi program
adalah suatu kegiatan untuk memperoleh gambaran
tentang keadaan suatu obyek yang dilakukan secara
terencana, sistematik dengan arah dan tujuan yang
jelas. Hal ini berarti bahwa dengan melakukan
evaluasi program dapat membandingkan hasil yang
dicapai dengan yang telah direncanakan.
Fattah (2006: 107) mengemukakan evaluasi
program adalah pembuatan pertimbangan menurut
perangkat kriteria yang disepakati dan dapat
dipertanggungjawabkan. Hal ini menunjukkan
bahwa dalam melakukan evaluasi program ada
kriteria – kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
Dari beberapa defenisi diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa Evaluasi program sebagai suatu
proses pencarian informasi, penemuan informasi dan
penetapan informasi yang dipaparkan secara
sistematis tentang perencanaan, nilai, tujuan,
manfaat, efektifitas dan kesesuaian sesuatu dengan
kriteria dan tujuan yang telah ditetapkan.
2.2.2 Tujuan Evaluasi Program
Menurut Mulyatiningsih (2011: 114-115),
evaluasi program dilakukan dengan tujuan untuk :
40
1. Menunjukkan sumbangan program terhadap
pencapaian tujuan organisasi. Hasil evaluasi ini
penting untuk mengembangkan program yang
sama ditempat lain.
2. Mengambil keputusan tentang keberlanjutan
sebuah program, apakah program perlu
diteruskan, diperbaiki atau dihentikan.
Dilihat dari tujuannya, yaitu ingin mengetahui
kondisi sesuatu, maka evaluasi program dapat
dikatakan merupakan salah satu bentuk penelitian
evaluatif. Oleh karena itu, dalam evaluasi program,
pelaksana berfikir dan menentukan langkah
bagaimana melaksanakan penelitian.
Tujuan diadakannya evaluasi program adalah
untuk mengetahui pencapaian tujuan program
dengan langkah mengetahui keterlaksanaan kegiatan
program, karena evaluator program ingin mengetahui
bagaimana dari komponen dan sub komponen
program yang belum terlaksana dan apa sebabnya
(Arikunto, 2008: 18). Hal ini berarti dengan
mengevaluasi program maka dapat diketahui
kendala-kendala yang dialami saat pelaksanaan
program.
Tujuan evaluasi program seperti yang
diuraikan oleh Roswati (2008:66-67) adalah sebagai
41
berikut: 1) menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang
tindak lanjut suatu program di masa depan, 2)
penundaan pengambilan keputusan, 3) penggeseran
tanggung jawab, 4) pembenaran/justifikasi program,
5) memenuhi kebutuhan akreditasi, 6) laporan
akutansi untuk pendanaan, 7) menjawab atas
permintaan pemberi tugas, informasi yang
diperlukan, 8) membantu staf mengembangkan
program, 9) mempelajari dampak/akibat yang tidak
sesuai dengan rencana, 10) mengadakan usaha
perbaikan bagi program yang sedang berjalan, 11)
menilai manfaat dari program yang sedang berjalan,
12) memberikan masukan bagi program baru.
Berdasarkan uraian dari Roswita dapat diketahui
tujuan dari evaluasi program sesungguhnya untuk
mengetahui pelaksanaan, manfaat, pengaruh dan
dampak dari program untuk selanjutnya dapat
memberi masukan bagi program tersebut.
Dari beberapa pendapat tokoh diatas dapat
disimpulkan tujuan dari evaluasi program adalah
untuk mengetahui tingkat ketercapaian program,
menelaah setiap hasil yang direncanakan,
kekurangan serta kendala yang ada untuk menjadi
masukan bagi program tersebut untuk
meningkatkan mutu program.
42
1.2.3 Model – model Evaluasi Program
Dalam menentukan apakah sebuah model
tepat bagi suatu jenis program, maka dianalisis
masing – masing pihak yang akan dipasangkan.
Dalam hal ini yang dipasangkan adalah program
dengan jenisnya dan model evaluasi. Ada banyak
model yang bisa digunakan untuk mengevaluasi
suatu program. Meskipun antar satu dan lainnya
berbeda namun maksudnya sama yaitu melakukan
kegiatan pengumpulan data atau informasi yang
berkenan dengan objek yang dievaluasi yang
tujuannya menyediakan bahan bagi pengambil
keputusan dalam menentukan tindak lanjut suatu
program. Menurut Isaac (dalam Arikunto, 2009:40)
membedakan adanya empat hal yang digunakan
untuk membedakan ragam model evaluasi, yaitu (1)
berorientasi pada tujuan program (good oriented), (2)
berorientasi pada kegiatan keputusan (decision
oriented), (3) berorientasi pada kegiatan dan orang-
orang yang menanganinya (transactional oriented), (4)
berorientasi pada pengaruh dan dampak program
(research oriented).
Beberapa ahli evaluasi dikenal sebagai penemu
model evaluasi program adalah Stufflebeam,
Metfessel, Michael Scriven, Stake, dan Glaser.
43
Kaufman dan Thomas membedakan model evaluasi
menjadi delapan, yaitu:
1. Goal Oriented Evaluation Model, merupakan model
yang muncul paling awal. Yang menjadi objek
pengamatan pada model ini adalah tujuan dari
program yang sudah ditetapkan jauh sebelum
program dimulai. Evaluasi ini dlakukan secara
berkesinambungan, terus-menerus, mencek
seberapa jauh tujuan tersebut sudah terlaksana
didalam proses pelaksanaan program. Model ini
dikembangkan oleh Tyler.
2. Goal-Free Model, merupakan model yang
dikembangkan oleh Michael Scriven. Menurut
Michael Scriven, dalam melaksanakan evaluasi
program evaluator tidak perlu memperhatikan apa
yang menjadi tujuan program. Yang perlu
diperhatikan dalam program tersebut adalah
bagaimana kerjanya program, dengan jalan
mengidentifikasi penampilan-penampilan yang
terjadi, baik hal-hal positif (yaitu hal yang
diharapkan) maupun hal-hal negatif (yang
sebetulnya memang tidak diharapkan).
3. Formatif-Sumatif Evaluation Model, merupakan
model yang dikembangkan oleh Michael Scriven.
44
Model ini menunjuk adanya tahapan dan lingkup
objek yang dievaluasi, yaitu evaluasi yang
dilakukan pada waktu program masih berjalan
(disebut evaluasi formatif) dan ketika program
sudah selesai atau berakhir (disebut evaluasi
sumatif).
4. Countenance Evaluation Model, merupakan model
yang dikembangkan oleh Stake. Model ini
menekankan pada adanya pelaksanaan dua hal
pokok, yaitu (1) deskripsi (description) dan (2)
pertimbangan (judgments); serta membedakan
adanya tiga tahap dalam evaluasi program yaitu (1)
anteseden (antecedents/context), (2) transaksi
(transaction/process), dan (3) keluaran (output-
outcomes).
5. CSE-UCLA Evaluasi Model, terdiri dari dua
singkatan, yaitu CSE dan UCLA. CSE merupakan
singkatan dari Center for the Study of Evaluation,
sedangkan UCLA merupakan singkatan dari
University of California in Los Angeles. Ciri dari
model CSE-UCLA adalah adanya lima tahap yang
dilakukan dalam evaluasi, yaitu perencanaan,
pengembangan, implementasi, hasil dan dampak.
6. CIPP Evaluation Model, adalah model yang
dikembangkan oleh Stufflebeam. CIPP merupakan
45
singkatan dari huruf awal empat buah kata, yaitu
(1) Context Evaluation: evaluasi terhadap konteks,
(2) Input Evaluation: evaluasi terhadap masukan,
(3) Process Evaluation: evaluasi terhadap proses,
(4) Product Evaluation: evaluasi terhadap hasil.
7. Decrepancy Model, adalah model yang
dikembangkan oleh Malcolm Provus. Model ini
menekankan pada pandangan adanya kesenjangan
didalam pelaksanaan program. Evaluasi program
yang dilakukan oleh evaluator mengukur besarnya
kesenjangan yang ada disetiap komponen.
1.2.4 Model Evaluasi Bebas Tujuan (Goal Free
Evaluation Model)
Model Evaluasi Bebas Tujuan (Goal Free
Evaluation Model) dikemukakan oleh Michael Scriven
(1973). Menurut Scriven model evaluasi ini
merupakan evaluasi mengenai pengaruh yang
sesungguhnya, objektif yang ingin dicapai oleh
program. Ia mengemukakan bahwa evaluator
seharusnya tidak mengetahui tujuan program
sebelum melakukan evaluasi. Evaluator melakukan
evaluasi untuk mengetahui pengaruh yang
sesungguhnya dari operasi program. Pengaruh
program yang sesungguhnya mungkin berbeda, lebih
46
banyak atau lebih luas dari tujuan yang dinyatakan
dalam program. Seorang evaluator yang mengetahui
tujuan program sebelum melakukan evaluasi
terkooptasi oleh tujuan dan tidak akan
memerhatikan pengaruh program diluar tujuan.
Gambar 2.1 Pengaruh Suatu Program
(Wirawan, 2011:84)
Menurut Wirawan (2011:84), suatu program
dapat mempunyai tiga jenis pengaruh (lihat
Gambar).
1. Pengaruh sampingan yang negatif, yaitu
pengaruh sampingan yang tidak dikehendaki
oleh program.
2. Pengaruh positif yang ditetapkan oleh tujuan
program. Suatu program mempunyai tujuan
yang ditetapkan oleh rencana program. Tujuan
program merupakan apa yang akan dicapai atau
perubahan atau pengaruh yang diharapkan
dengan layanan atau perlakuan program;
Pengaruh
Program
Pengaruh sampingan positif
diluar tujuan program yang
ditetapkan
Pegaruh positif sesuai
dengan tujuan yang
ditetapkan
Pengaruh sampingan yang
negatif yang tidak
diharapkan
47
3. Pengaruh sampingan positif, yaitu pengaruh
positif program di luar pengaruh positif yang
ditentukan oleh tujuan program.
Proses evaluasi dengan mempergunakan model
evaluasi bebas tujuan dapat dilihat pada gambar
berikut:
Gambar 2.2 Model Evaluasi Bebas Tujuan
(Wirawan, 2011:86)
2.3 Penelitian Relevan
Beberapa penelitian terdahulu memiliki
relevansi dengan penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Evaluator
mempelajari
cetak biru
2. Evaluator Mempelajari cetak biru program
Pengaruh sampingan program yang negatif yang tidak diharapkan
Pengaruh sampingan positif di luar tujuan program
Pengaruh positif program yang diharapkan oleh tujuan program
5. Menjaring,
menganalisis data
4. Memastikan
pelaksanaan program
telah mencapai tujuan
6. Menyusun laporan
evaluasi hasil
evaluasi
3. Mengembangkan
desain dan instrumen
evaluasi
7. Pemanfaatan hasil
48
Penelitian “Evaluasi Program Pendidikan
Karakter di Sekolah Dasar Kulon Progo” oleh
Darmayanti (2013) menunjukkan bahwa:
implementasi pendidikan karakter belum tampak
dalam kegiatan pembelajaran karena pengetahuan
dan keterampilan guru yang masih minim tentang
pendidikan karakter, kurangnya sarana prasarana
pendukung, dukungan dari pemerintah (Dinas
Pendidikan) dirasa masih kurang oleh sekolah
khususnya dukungan dalam bentuk pelatihan
pendidikan karakter bagi guru, monitoring dan
evaluasi pendidikan karakter masih terbatas, serta
penilaian sikap peserta didik yang belum
terdokumentasi.
Penelitian “Pembentukan Karakter Peserta
didik Melalui Pembelajaran Matematika” oleh
Fadillah (2017), menunjukkan bahwa dalam
pembelajaran dengan open ended tercipta suatu
iklim pembelajaran, dimana peserta didik merasa
kontribusi mereka dihargai. Peserta didik memiliki
kebebasan dalam memecahkan masalah menurut
kemampuan dan minatnya, peserta didik dengan
kemampuan yang lebih tinggi dapat melakukan
berbagai aktivitas matematika, dan peserta didik
dengan kemampuan yang lebih rendah masih dapat
49
menyenangi aktivitas matematika menurut
kemampuan mereka sendiri. Melalui kegiatan ini
menimbulkan sikap menghargai, kerja keras, dan
juga mandiri.
Penelitian “Pendidikan Karakter Terencana
Melalui Pembelajaran Matematika” oleh Bilda (2016),
menunjukkan bahwa penumbuhan karakter peserta
didik melalui kerjasama di kelompoknya untuk
memecahkan masalah secara jujur dan guru
membimbing peserta didik agar berlaku jujur, kreatif,
bekerjasama dengan baik, dan menghargai antar
kelompok. Melalui kegiatan pembelajaran inilah,
guru melatih peserta didik untuk bertanggung jawab,
jujur serta taat.
Penelitian “Berpikir Kritis Melalui Pembelajaran
Matematika Untuk Mendukung Pembentukan
Karakter Peserta didik” oleh Rosnawati (2012),
menunjukkan bahwa berpikir kritis merupakan
suatu karakteristik yang bermanfaat dalam
pembelajaran di sekolah pada tiap jenjangnya;
meskipun berpikir kritis ini jarang mendapatkan
perhatian dari para guru. Seperti halnya
keterampilan yang lain, dalam keterampilan berpikir
peserta didik perlu mengulang untuk melatihnya
walaupun sebenarnya keterampilan ini sudah
50
menjadi bagian dari cara berpikirnya. Latihan rutin
yang dilakukan peserta didik akan berdampak pada
efisiensi dan otomatisasi keterampilan berpikir yang
telah dimiliki peserta didik. Jika peserta didik
mempelajari cara berpikir tingkat dalam hal ini
berpikir kritis, diharapkan bahwa instruksi
keterampilan berpikir kritis tersebut dapat dipakai
sebagai alat yang potensial untuk melakukan
penyaringan informasi dan meningkatkan
pembentukan karakter yang pada akhirnya dengan
kemampuan ini peningkatan kemampuan kognitif
peserta didik akan diraih pula.
Penelitian “Integrating Character Building into
Mathematics and Science Courses in Elementary
School” oleh Sardjijo dan Ali (2017), menunjukkan
bahwa menentukan jenis karakter ditemukan mudah
bagi guru untuk diterapkan dalam RPP; tapi dalam
implementasinya, katanya bahwa sebagian besar
guru tidak mengerti tentang jenis karakter yang
tertulis dalam RPP ditekankan dalam proses
pembelajaran. Proses pembelajaran kedua mata
kuliah tersebut masih didominasi oleh guru,
sedangkan kegiatan inti dalam RPP mengklaim
bahwa guru telah merencanakan melibatkan peserta
51
didik aktif melalui kegiatan eksplorasi, penjabaran
dan konfirmasi.
Penelitian “Character Education Model In
Mathematics And Natural Sciences Learning At
Muhammadiyah Junior High School” oleh Hudha dkk
(2014), menunjukkan bahwa model yang
dikembangkan termasuk dalam kategori praktis pada
siklus I dan sangat praktis pada siklus II. Model ini
praktis karena beberapa alasan, yaitu 1)
pengembangan model mengadopsi pola yang telah
ditetapkan oleh pemerintah, dikembangkan
berdasarkan kondisi dan fleksibel, 2) model ini
memungkinkan guru untuk menerapkan dan
menyesuaikan dengan kondisi sekolah atau kelas
yang diajarkan, 3) model yang telah dikembangkan
melewati tahap perencanaan, implementasi, dan
evaluasi yang melibatkan guru melalui proses diskusi
dan persidangan dan didukung oleh nuansa lesson
study. Efektivitas model termasuk dalam kategori
kurang atau rendah dalam Siklus I dan cukup baik
pada Siklus II. Nilai karakter sudah terintegrasi
dalam pembelajaran Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Meski nilai karakter yang tampil
hanya menyertakan kategori sedang, namun dengan
52
lembut dorong model guru untuk memperhatikan
perhatian peserta didik terhadap aspek karakter.
Penelitian “Implementation Of Character-
Building Education In Mathematics Teaching And
Learning To Create Of Human Character” oleh
Dwirahayu (2011) menunjukkan bahwa Matematika
sebagai mata pelajaran dalam kurikulum pendidikan
memiliki enam nilai yang bisa diintegrasikan dalam
proses belajar mengajar, yaitu: cermat, tekun, kerja
keras, rasa ingin tahu, gigih. Berdasarkan lima nilai
dalam pendidikan matematika dan berorientasi pada
pendekatan dalam pengajaran dan pembelajaran
matematika, seperti eksplorasi, penyelidikan.
Penemuan bisa menjadi tujuan sukses dalam
pendidikan khususnya matematika dan juga bisa
menciptakan seorang manusia dengan karakter yang
baik.
2.4 Kerangka Pikir
Karakteristik penelitian ini berawal dari adanya
kegiatan program pendidikan karakter yang
dijalankan oleh SMP Negeri 2 Waingapu, namun
selama ini belum pernah diadakan evaluasi terhadap
program tersebut. Maka penulis ingin mengevaluasi
program pendidikan karakter yang terintegrasi dalam
mata pelajaran matematika di sekolah tersebut
53
dengan menggunakan model Goal Free Evaluation .
Skema kerangka berpikir peneliti yaitu:
Gambar 2.3 Kerangka Berpikir
Konsep
Pendidikan
Karakter
Evaluasi
Model Evaluasi
Goal free
Pengaruh Program PPK
yang Terintegrasi dalam
Mata Pelajaran Matematika
Faktor – faktor yang
Terkait dengan Program
PPK yang terintegrasi
dalam Mata Pelajaran
Kegiatan
Belajar
Mengajar
Implementasi Program PPK
Yang Terintegrasi Dalam
Mata Pelajaran Matematika
Rekomendasi :
Berhenti, Lanjut,
Menyebarkan, , revisi
54