bab ii kajian pustaka a. diakonia...
TRANSCRIPT
23
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Diakonia Gereja
Diakonia merupakan salah satu tugas Gereja untuk melaksanakan
karya-karya Kristus di dunia. Selain itu Gereja juga melanjutkan tugas
pewartaan (kerygma), dan merayakan misteri kehadiran-Nya (leitour-gia)
melalui Sabda dan Liturgi, perseku-tuan (koinonia) dan pelayanan (diakonia)
kepada sesama di bawah bimbingan Roh Kudus sebagai kesaksian (martyria)
kepada dunia. Gereja menghadirkan karya Kristus di tengah dunia oleh karena
melaksanakan tugas-tugasnya. Maka, Gereja tidak bisa mengabaikan tugas
yang satu dan memusatkan perhatian kepada tugas yang lain. Gereja
menyatakan identitas dirinya kepada dunia melalui pelaksanaan tugas-
tugasnya.
1. Diakonia sebagai Salah Satu Tugas Gereja
Yesus Kristus datang ke dunia untuk mewartakan Kabar Gembira
yaitu Kerajaan Allah. Sebagaimana disabdakan oleh Yesus di awal karya-
Nya,
Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku,
untuk menyam-paikan kabar baik kepada orang-orang
miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan
pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan
bagi orang-orang buta, untuk membebas-kan orang-orang
yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan
telah datang (Luk 4:18-19).
24
Kabar Gembira itu diwartakan kepada mereka yang miskin dan
menderita dalam arti yang sesungguhnya.1 Yesus datang ke dunia, menyapa
dan hadir di tengah-tengah orang yang lemah, menderita, dan tersingkir.
Yesus tidak hanya hadir dan menyapa mereka melalui Sabda-Nya yang
mengagumkan. Yesus hadir di tengah mereka sambil menyembuhkan yang
sakit dan menderita (lih. Mat 4:23; 12:28). Gereja tinggal di dunia
walaupun bukan berasal dari dunia (bdk. Yoh 17:14-16) untuk
melaksanakan karya-karya Kristus bukan karena motivasi duniawi. Gereja
menghadirkan diri sebagai pelaksana karya Kristus atas dorongan Roh
Kudus. Gereja dibentuk dan dianugerahi Roh Kudus untuk melaksanakan
karya Kristus di dunia. Roh Kudus pula memelihara Gereja agar bisa tetap
bertahan dan melaksanakan tugas perutusannya. Gereja menghadirkan
Kristus di dunia melalui karya-karya cinta kasih kepada sesama. John N.
Collins menuliskan:
The Church is not motivated by an earthly ambition but is
interested in one thing only : to carry on the work of Christ
under the guidance of the Holy Spirit, for He came into the
world to bear witness to the truth, to save and not to judge, to
serve and not to be serve.2
Orang-orang yang percaya oleh karena pewartaan membentuk
sebuah persekutuan. Dalam persekutuan muncul kebutuhan untuk
memperhatikan dan melayani sesama yang mengalami persoalan. Sehingga,
diakonia adalah sebuah pelayanan kepada sesama saudara seiman yang
1 Albert Nolan OP, Yesus Sebelum Agama Kristen (Kanisius, Yogyakarta, 1991), 65. 2 John N. Collins, Diakonia. (Oxford University Press: New York, 1990), 16.
25
membutuhkan berupa dukungan materi-fisik sebagaimana digambarkan
dalam Jemaat Perdana.3
Gereja tidak bisa mengutamakan tugas yang satu dan mengabaikan
tugas yang lainnya. Gereja melaksanakan tugas-tugasnya sebagai
perwujudkan dari tugas yang diemban oleh Yesus Kristus. Sebagaimana
dikatakan oleh Gabriel Fackre, “Those who trust the kerygma, truly
celebrate that gospel in the leitourgia, and live out that faith in the love
poured forth in diakonia and koinonia”.4 Orang-orang yang percaya karena
pewartaan akan merayakannya dalam liturgi. Iman tidak hanya dirayakan
melainkan juga dihidupi dalam tindakan cinta kasih yang nyata kepada
sesama dalam semangat pelayanan dan persekutuan.
2. Tujuan Diakonia Gereja
Sikap pelayanan Yesus tampak dalam cara Ia hadir di tengah-tengah
umat manusia. Yesus menyembuhkan banyak orang yang datang dengan
segala macam penyakitnya (lih. Mat 4:23; 12:28). Yesus berbuat sesuatu
bagi mereka yang lapar, haus, tidak punya tempat tinggal, sakit, miskin,
menderita, dipenjara karena Yesus sungguh peduli pada kesejahteraan
mereka. Gabriel Fackre menegaskan bahwa, “Jesus Christ cares about
bodies, and the church is called by Jesus to the care for bodies and given
the power of the Holy Spirit to be instrument of shalom in the things
3 Gabriel Fackre, 2007, The Church: Signs of the Spirit and Signs of the Times. (Wm B.
Eerdmans Publishing Co.: Cambridge, U.K., 2007), 4. 4 Ibid, 11.
26
physical as well as spiritual”.5 Sebagaimana Yesus peduli kepada mereka
yang miskin dan menderita maka Gereja juga dipanggil untuk peduli pada
kesejahteraan jasmani dan diberi kekuatan untuk menjadi sarana
keselamatan, baik jasmani maupun rohani. Sehingga, Gereja tidak hanya
melayani kebutuhan rohani umat melainkan juga memperhatikan kebutuhan
jasmani umatnya. Kristus mengutus para rasul sebagaimana dahulu Ia diutus
oleh Bapa-Nya (bdk. Yoh 20:21). Para Rasul memilih tujuh diakon untuk
tujuan pelayanan (lih. Kis 6:1). Mereka dipilih oleh para rasul agar semakin
banyak orang bisa terlayani.
Gereja dipanggil untuk menjadi sarana keselamatan, baik secara
jasmani maupun rohani. Bernhard Kieser, menegaskan bahwa, sejak jaman
Leo XIII ditegaskan bahwa Gereja didirikan melulu untuk menghantar
manusia ke dalam kesela-matan kekal (hidup kekal). Sumbangan Gereja
dalam memajukan kesejahteraan umat manusia sekarang ini dilihat sebagai
konsekuensi yang mengalir dari tugas itu.6
Daya kekuatan Roh Kudus memampukan Gereja untuk
menyelamatkan umatnya baik secara jasmani dan rohani. Gereja tidak hanya
sibuk melayani kegiatan-kegiatan rohani, melainkan juga melayani di
bidang pengembangan sosial-ekonomi umat karena pelayanan Gereja adalah
pelayanan kepada manusia. Dengan melayani, Gereja memberi perhatian
pada perkembangan manusia secara utuh.
5 Ibid, 138 6 Bernhard Kieser, Solidaritas: 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja. (Kanisius: Yogyakarta,
1992), 87.
27
Gereja melayani orang lain agar menjadi ‘manusia utuh’ dengan cara
memberdayakan orang lain supaya bisa bangkit dari kelemahannya. Sebab,
Pelayanan Gereja merupakan pelayanan kepada manusia.7 Melayani bukan
hanya melakukan sesuatu untuk orang lain melainkan juga member-dayakan
orang lain agar bisa bangkit dari kelemahannya. Orang lain pun turut
diberdayakan, digerakkan agar mampu bangkit dari kelemahannya.
Sehingga, pelayanan membutuhkan gerakan bersama di mana semua orang
merupakan subjek yang ikut bertanggung jawab. Orang Kristen dipanggil
bukan hanya untuk mengembangkan sikap pelayanannya melainkan juga
mengembangkan orang lain yang dilayaninya, membantu orang supaya
menyadari dan menghayati bahwa kemerdekaan itu sebagai kesempatan
untuk melayani seorang akan yang lain (bdk. Gal 5:13). Orang Kristen tidak
dapat menemukan kepenuhannya di dalam dirinya sendiri, artinya terlepas
dari kenyataan bahwa ia berada “bersama” yang lain dan “untuk” yang lain.
Pemahaman ini semata-mata tidak menuntut supaya setiap orang hidup
bersama dengan yang lain dalam berbagai tingkat kehidupan sosial
melainkan berusaha tiada hentinya melibatkan diri bagi kesejahteraan dalam
bentuk-bentuk kehidupan sosial yang ada. Setiap orang seturut
kemampuannya masing-masing, berusaha menggapai dan mengembangkan
kesejahteraan karena kesejahteraan bersifat ‘umum’ atau ‘bersama’.
7 William R. Burrows, New Ministries. (Orbis Books: New York, 1981), 59.
28
3. Bentuk-Bentuk Diakonia Gereja
Gereja melayani sesama yang miskin dan menderita dengan
meneladan Tuhan Yesus.8 Sebagaimana Yesus hadir di dunia dan
memberikan pelayanan kepada orang lemah, maka Gereja melakukan apa
yang telah diteladankan oleh Yesus. Dengan menjalankan tugas
pelayanannya, Gereja menghadirkan Kristus di dunia. Ada dua bentuk
diakonia Gereja,9 yaitu:
a. Diakonia Karitatif (Victim Care)
Gereja terlibat langsung dalam melakukan pelayanan yang murah
hati dan belas kasih, merawat yang sakit, memberikan sembako murah,
memberi uang kepada orang miskin dan sebagainya. Kelas sosial yang
tercipta dalam masyarakat, kaya-miskin, tidak bisa diubah. Gereja berada
pada pihak “yang membutuhkan bantuan”, yaitu mereka yang lemah dan
miskin supaya sedikit lebih baik dan mengurangi penderitaan mereka.
Kemiskinan tidak dapat dibasmi. Yang bisa terjadi adalah: yang kaya
berperan sebagai pemberi dan yang miskin berperan sebagai penerima.
Model ini adalah model tertua dari bentuk pelayanan Gereja yang
dilakukan, dan sampai saat ini masih juga dilakukan. Pelayanan ini cepat
dirasakan manfaatnya, dan sangat tepat dalam situasi darurat dan sangat
membutuhkan pertolongan yang bersifat segera, misalnya bencana alam.
Bantuan karitatif bersifat sementara dan meringankan beban kaum
miskin. Mereka bisa merasakan secara langsung manfaat dari bantuan
8 Ralph A. Kee, “Diakonia: The Church At Work” (Boston, 2011), 5. 9 Gabriel Fackre, The Church:..... 139
29
yaitu untuk mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari dan kebutuhan
lainnya. Bantuan (barang dan dana) yang diberikan kepada umat yang
miskin merupakan wujud kepedulian Gereja terhadap penderi-taan dan
kemalangan umatnya.
b. Diakonia Pemberdayaan (Victim Cause)
Dalam bentuk pelayanan yang kedua, Gereja juga berusaha
melakukan berbagai macam cara untuk mencari akar permasalahannya
dan mengantisipasi atau mencegah terjadinya masalah. Kedua bentuk
pelayanan Gereja didasarkan pada sikap “Orang Samaria yang Baik Hati”
(Luk 10:30-37). Yesus mengisahkan Orang Samaria yang tergerak hatinya
oleh belas kasihan melihat orang yang terluka dan tak berdaya. Orang
Samaria mempunyai tanggungjawab ganda yaitu membalut luka-luka
korban perampokan dan membawa orang itu ke tempat penginapan dan
merawatnya. Selain ia melakukan tindakan belaskasih kepada korban
(victim care), ia juga mengetahui penyebab orang itu terluka (victim
cause). Orang Samaria tidak hanya membalut lukalukanya dan
meninggalkannya, melainkan membawa korban menuju tempat
penginapan supaya terhindar dari ancaman bahaya yang sama.
Dalam perjalanan sejarah Gereja, sudah ada gerakan dari bentuk
pelayanan victim care kepada bentuk pelayanan victim cause. Suatu
tindakan disebut sebagai pelayanan bukan hanya karena sudah memberi
makan kepada orang lapar, melainkan harus sampai pada pertanyaan,
“Mengapa mereka lapar dan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi
30
itu?”10 Gereja tidak hanya melayani mereka yang terluka, memberi
makan kepada orang lapar, meringankan penderitaan orang miskin
melainkan juga mencari penyebab masalah sosial-ekonomi yang ada. Di
satu sisi, perjuangan Gereja dalam melayani mereka yang lemah dan
miskin masih sangat dibutuhkan. Di sisi lain, Gereja juga tetap berjuang
mencari penyebab dari masalah itu dan melakukan sesuatu untuk
mengatasi masalah itu.
B. Pemberdayaan Keluarga
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa pemberdayaan merupakan
salah satu bentuk diakonia, yaitu diakonia pemberdayaan (Victim Cause).
Pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya memenuhi kebutuhan yang
diinginkan oleh seseorang, agar dapat memiliki kemampuan untuk melakukan
pilihan dan mengontrol lingkungan sehingga dapat memenuhi keinginan-
keinginan, termasuk aksesbilitas terhadap sumber daya yang terkait dengan
pekerjaan, aktivitas sosial, dan lain-lainnya. 11
Dalam bidang ekonomi, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya
pemberian kesempatan atau memfasilitasi kelompok miskin agar mereka
memiliki aksesbilitas terhadap sumberdaya, berupa: modal, teknologi,
informasi, dan jaminan pemasaran, agar mereka mampu memajukan dan
mengembangkan usahanya, sehingga memperoleh perbaikan pendapatan serta
perluasan kesempatan kerja demi perbaikan kehidupan dan kesejahteraan.12
10 Ibid, 138
11Totok Mardikanto, Yesus ..., 9. 12 Ibid, 11
31
Pemberdayaan ekonomi harus bisa memberikan kebebasan bagi masyarakat
dalam mengekspresikan potensi mereka dalam memanfaatkan sumber daya
alam untuk peningkatan kesejahteraan. Dalam hal ini, masyarakat
diberdayakan agar terlibat aktif dalam proses pembangunan yang berlangsung.
Tujuan pemberdayaan dalam bidang ekonomi adalah agar kelompok
sasaran dapat mengelola usahanya, kemudian memasarkan dan membentuk
siklus pemasaran yang relatif stabil.13 Kegiatan pemberdayaan yang ada
diharapkan dapat membantu masyarakat untuk meningkatkan pendapatan
mereka dalam mensejahterakan kehidupan perekonomian mereka. Kebebasan
yang diberikan kepada warga bukanlah kebebasan yang tanpa batas, namun
kebebasan tersebut masih membutuhkan stimulus dari luar yang disebut stimuli
eksternal. Stimulus ini bersifat mendorong dan merangsang tumbuh dan
berkembangnya potensi serta energi internal.14 Biddle merekomendasi enam
tahap untuk mendorong tumbuhnya kompetensi masyarakat:15
1. Exploratory: tahap ini berisi kegitan-kegiatan untuk memahami kondisi,
situasi dan potensi masyarakatnya. Dalam tahap ini juga diusahakan
memperoleh informasi yang dapat digunakan untuk berkomunikasi
dengan masyarakat pada tahap selanjutnya.
2. Organizational: tahap ini berisi kegiatan untuk menentukan media yang
dapat digunakan sebagai sasaran pertemuan dan diskusi antara petugas
dengan masyarakat ataupun antara sesama warga masyarakat.
13 Michael Todaro, Economic development ...... 22. 14 Soetomo, Pemberdayaan .... 15 Christenson, James A & Jerry Robinson, Community Development in Prespective,
dalam Soetomo, Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011),
153-155.
32
3. Discussional (diskusi): tahap ini berisi kegiatan diskusi antarwarga
masyarakat tentang inventarisasi masalah serta kemungkinan
pemecahannya, membuat keputusan mengenai kegiatan bersama yang
akan dilaksanakan dan membuat rencana pelaksanaannya.
4. Action (kegiatan): tahap ini berisi pelaksanaan kegiatan yang sudah
diputuskan bersama, serta melaporkan dan mengevaluasi hasilnya.
5. New Project: tahap ini mengulang kegiatan diskusi untuk menentukan
masalah apa yang sebaiknya digarap pada prioritas berikutnya, kemudian
membuat rencana dan melaksanakannya dengan memerhatikan
pengalaman pelaksanaan sebelumnya.
6. Continuation: dalam tahap ini mekanisme pelaksanaan pembangunan
berdasar prakarsa masyarakat dianggap sudah melembaga. Dengan
demikian, petugas lapangan dapat meninggalkan masyarakat yang
bersangkutan. Walaupun intervensi dari luar sudah dihentikan,
kesinambungan proses pembangunan diharapkan tetap berjalan.
Terdapat beberapa teori dalam pemberdayaan, di antaranya teori
Harrod-Domar (1984). Teori ini berasumsi bahwa setiap perekonomian pada
dasarnya harus senantiasa mencadangkan atau menabung sebagian tertentu dari
pendapatannya untuk menambah atau menggantikan barang-barang modal
yang telah susut atau rusak, namun untuk memacu pertumbuhan ekonomi,
dibutuhkan investasi atau stok modal.16 Menurut teori ini keterbelakangan
16 Ibid, 129
33
ekonomi terjadi karena adanya masalah kekurangan modal karena itu
dibutuhkan tabungan dan investasi yang tinggi.17
Teori kedua, yaitu manusia modern yang dipopulerkan oleh Inkeles dan
Smith (1974) melalui penelitian empiris. Pendekatan ini berbicara tentang
faktor manusia sebagai komponen penting penopang pembangunan.
Pembangunan bukan sekedar perkara pemasokan modal dan teknologi saja,
tetapi juga dibutuhkan manusia yang dapat mengembangkan sarana material
tersebut supaya menjadi produktif. Untuk itu, dibutuhkan apa yang disebut
sebagai manusia modern. Ciri-ciri manusia modern antara lain: keterbukaan
terhadap pengalaman dan ide baru, berorientasi ke masa sekarang dan masa
depan, punya kesanggupan merencanakan, percaya bahwa manusia bisa
menguasai alam, dan sebagainya.18 Inkeles dan Smith (1974) mengatakan:
“Kami beranggapan bahwa, bagaimanapun juga, manusia bisa
diubah secara mendasar setelah dia menjadi dewasa, dan karena itu
tak ada manusia yang tetap menjadi manusia tradisional dalam
pandangan dan kepribadiannya hanya karena dibesarkan dalam
sebuah masyarakat tradisional.”
Artinya, dengan memberikan lingkungan yang tepat, setiap orang bisa diubah
menjadi manusia modern setelah dia mencapai usia dewasa. Dari hasil
penelitian Inkeles dan Smith, mereka menjumpai bahwa memang pendidikian
adalah yang paling efektif untuk mengubah manusia. Dampak pendidikan tiga
kali lebih kuat dibandingkan dengan usaha-usaha lainnya. Kemudian
17 Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia ketiga, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka
Utama, 1995), 19. 18 Ibid, 34
34
pengalaman kerja dan pengenalan terhadap media massa merupakan cara
kedua yang efektif.19
Teori Weber (1958) tentang Etika Protestan. Teori ini ingin
mengemukakan tentang pentingnya peran agama dalam peningkatan ekonomi
suatu masayarakat. Teori Weber mempersoalkan masalah manusia yang
dibentuk oleh nilai-nilai budaya di sekitarnya, khususnya nilai-nilai agama.
Dalam tulisan Weber (1905) yang berjudul The Protestant Ethnic and the
Spirit of Capitalism. Ia membahas tentang peran agama sebagai faktor yang
menyebabkan munculnya kapitalisme di Eropa Barat dan Amerika Serikat
yang kemudian disebutnya dengan sebutan Etika Protestan. Etika Protestan
lahir dari Eropa melalui agama yang dikembangkan oleh Calvin. Muncul
ajaran yang mengatakan bahwa seseorang sudah ditakdirkan sebelumnya untuk
masuk ke surga atau neraka, tetapi orang yang bersangkutan tentu saja tidak
mengetahuinya. Karena itu, salah satu cara untuk mengetahui apakah mereka
akan masuk surga atau neraka adalah keberhasilan kerjanya di dunia yang
sekarang ini. Oleh sebab itu mereka mencari kesuksesan bukan untuk mengejar
hal materi melainkan untuk mengatasi kecemasan. Inilah yang disebut sebagai
etika protestan oleh Weber, yakni cara bekerja yang keras dan sunguh-sunguh,
lepas dari imbalan materialnya.20
Hal yang menjadi perhatian dalam pemberdayaan ekonomi adalah
penggunaan sumber-sumber alam untuk kesejahteraan. Berbicara tentang
kegunaan alam dari sudut pemberdayaan tentu tidak akan jauh dari
19 Ibid, 35 20 Ibid, 20-21
35
pembicaraan tentang peranan tanah sebagai dasar untuk hasil bumi dan juga
sumber-sumber yang ada di dalamnya. Peranan tanah terlihat ketika
menghasilkan bahan makanan, bahan mentah, perikanan, peternakkan,
kehutanan. Peran sumber-sumber di bawah tanah sangat penting bagi
perkembangan pembangunan terutama untuk masyarakat-masyarakat modern.
Supaya alam dapat betul-betul berfaedah bagi masyarakat, perlu diperhatikan
satu syarat yaitu supaya penggunaannya tepat pada waktunya. Bisa terjadi alam
yang penuh dengan berbagai kekayaan, menjadi kehilangan faedahnya, karena
waktu penggunaan yang kurang tepat. Dalam negara-negara sedang
berkembang, umumnya sumber-sumber alam belum banyak digunakan, karena
kurangnya kemampuan baik modal maupun teknik. Supaya sumber-sumber
alam dapat dimanfaatkan, faktor-faktor ini dapat diperoleh dan dipelajari dari
negara-negara yang sudah maju, baik dalam bentuk pinjaman ataupun melalui
usaha pendidikan. Seringkali terjadi pemborosan, penggunaan yang tidak
terencana, serta diolah tidak tepat pada waktunya sehingga pada akhirnya alam
tidak berperan dalam pembangunan. Karena itu perlu diadakan penelitian,
inventarisasi dari sumber alam yang dimiliki, serta pendidikan dari tenaga-
tenaga ahli yang dibutuhkan, supaya sumber-sumber alam dapat dipakai secara
terencana dan tepat pada waktunya.21
Terdapat beberapa peran yang harus dijalankan oleh pemberdaya yaitu:
1. Peran sebagai konsultan, mencakup upaya untuk membangun hubungan
antara klien dengan sumber yang tersedia agar mereka mampu
21 Siagian, Pembangunan Ekonomi dalam Cita-Cita dan Realita,(Bandung, Penerbit
Alumni, 1978), 194.
36
meningkatkan rasa percaya diri dan memiliki keterampilan untuk
menyelesaikan masalah, tantangan yang ada. Upaya ini juga bertujuan
untuk meningkatkan kemandirian klien sehingga memiliki kontrol atas
kehidupan.
2. Peran sebagai pemberdaya yang memiliki kepekaan, mencakup upaya
untuk membantu klien dalam memperoleh pengetahuan yang diperlukan
dalam mengontrol kehidupan mereka sendiri. Tindakan ini juga berkaitan
erat dengan upaya memberdayakan setiap orang untuk mengakui dan
mengidentifikasi kekuatan mereka sendiri dan kekuatan orang lain.
3. Peran sebagai guru, pelatih di mana dapat bertindak sebagai petugas
lapangan maupun bertindak sebagai pekerja sosial yang mengatur proses
belajar klien untuk menemukan solusi atas permasalahan mereka.
Petugas lapangan bertugas untuk mengajarkan komunitas untuk berjuang
dalam menghadapi segala rintangan dan ketidakmampuan yang mereka
hadapi.
4. Peran sebagai penghubung atau jaringan kerja. Hal ini mengacu pada
pemahaman bahwa klien adalah seseorang yang memiliki keinginan kuat
dalam mencapai suatu tujuan dalam kegiatan pemberdayaan. Oleh karena
itu, pihak pemberdaya harus mampu menghubungkan orangorang yang
diberdayakan dengan pihak lain yang mampu berbagi sejarah, masalah-
masalah maupun rintangan-rintangan yang sama, sehingga menjadi
referensi bagi komunitas yang sedang diberdayakan.22
22 J.A.B, Lee, The Empowerment Approach to Social Work Practise: Building a Beloved
Community, ( New York, Columbia University Press, 2001), 54
37
Dalam menjalankan peran-perannya itu pemberdaya harus mampu
melihat beberapa hal yang dapat diberdayakan. Hal pertama yang harus
diberdayakan adalah keluarga. Jika keluarga kuat atau sejahtera, maka
masyarakat tentu kuat atau sejahtera, tetapi setiap keluarga di suatu kelompok
masyarakat belum tentu sejahtera meskipun secara keseluruhan masyarakat
tersebut tergolong sejahtera. Di zaman Orde Baru angka pertumbuhan ekonomi
selalu di atas 6% tiap tahun, tetapi jumlah penduduk miskin masih sangat
banyak. Hal ini menunjukkan pemberdayaan ekonomi keluarga masih kurang.
Selain keluarga, hal yang perlu mendapat perhatian dalam
pemberdayaan adalah kelembagaan masyarakat. Pemberdayaan ekonomi
keluarga akan lebih efektif jika klembagaan masyarakat yang terkait dengan
keluarga tersebut diberdayakan. Misalnya saja Gereja, lembaga keuangan, baik
bank maupun non bank termasuk koperasi, dan lembaga swadaya masyarakat
(LSM).
C. Strategi Adaptasi
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa strategi adaptasi menurut
Smith & Seymour (1990) dalam Kamus Besar Antropologi adalah suatu
rencana tindakan selama rentang waktu tertentu oleh sekelompok atau
sekumpulan orang tertentu untuk menyesuaikan diri dalam mengatasi tekanan
yang bersifat internal atau eksternal. 23
23Nurlaili, “Strategi Adaptasi ...602
38
Barlett dalam Kusnadi (1998)24 menyebutkan bahwa strategi adaptasi
merupakan pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai konteks
lingkungan sosial, politik, ekonomi, dan ekologi dimana penduduk itu hidup.
Pilihan tindakan yang bersifat kontekstual tersebut dimaksudkan untuk
mengalokasikan sumber daya yang tersedia di lingkungannya dalam
mengatasi tekanan-tekanan sosial ekonomi. Dalam kaitan tersebut,
kebudayaan merupakan instrumen yang paling penting dalam adaptasi
manusia.
Adaptasi menurut Parsudi Suparlan dalam Suprapti (1989)25 yaitu
proses mengatasi keadaan biologi, alam, dan lingkungan sosial tertentu untuk
memenuhi syarat-syarat tertentu yang diperlukan untuk melangsungkan
kehidupannya. Manusia dalam beradaptasi berusaha memahami ciri-ciri
penting dari lingkungannya, kemudian mereka menciptakan dan
mengembangkan cara mengatasi lingkungan tersebut. Selanjutnya, melalui
keberhasilan dan kegagalan manusia berusaha menangkap umpan balik dari
tindakannya. Akhirnya manusia berusaha mengabstraksi pengalamannya dan
memasyarakatkan cara-cara yang paling tepat dalam mengatasi berbagai
tantangan lingkungan.
Merujuk konsep strategi adaptasi dari berbagai tokoh di atas maka
dapat dibuat intisari bahwa strategi adaptasi yaitu sebuah tindakan yang
dilakukan oleh satu komunitas tertentu sebagai bentuk respon dari berbagai
bentuk tekanan pada aspek ekonomi, sosial, lingkungan baik internal maupun
24 Ibid 25 Ibid
39
eksternal. Bentuk strategi adaptasi yang dilakukan pada tiap komunitas akan
berbeda tergantung pada kondisi lingkungan alam dan sosial budaya
masyarakatnya.
Dalam studi etnosains, strategi adaptasi terhadap lingkungan bagi suatu
masyarakat dipengaruhi oleh kebudayaan. Kebudayaan merupakan sistem ide
dan pengetahuan yang dimiliki suatu masyarakat mempengaruhi pola
tindakan mereka. Haviland menyatakan bahwa manusia beradaptasi melalui
medium kebudayaan ketika mereka mengembangkan cara-cara untuk
mengerjakan sesuatu sesuai dengan sumber daya yang dimiliki dan juga
dalam batas-batas lingkungan tempat mereka hidup.26
Pengetahuan mengolah lingkungan, termasuk mengolah tambak udang
merupakan wujud dari kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat. Budaya
berbeda yang dimiliki akan mempengaruhi pola pikir masyarakat dan
melahirkan pola tindakan yang berbeda pula dalam mempersepsikan
lingkungan tempat tinggal mereka. Dengan kata lain hubungan antara
manusia, kebudayaan, dan lingkungan sangat erat.
Teori etnosains diperkenalkan pertama kali oleh Conklin dan didukung
oleh Franke. Asumsi dasarnya adalah “lingkungan efektif” (effective
environment) bersifat kultural sebab lingkungan dipahami (perceived) secara
berlainan oleh masyarakat yang berbeda latar belakang kebudayaannya.27
26 William A. Haviland. Antropologi... 27Heddy Shri Ahimsa-Putra. “Antropologi Ekologi: Beberapa Teori dan Perkem-
bangannya”. Jurnal Antropologi edisi I. No 1 Juli-Desember 1998. (Laboratorium Antropologi
FISIP Universitas Andalas), 7.
40
Titik tolak etnosains adalah melukiskan lingkungan sebagaimana dilihat
oleh masyarakat yang diteliti dengan menggunakan konsep-konsep bahasa
masyarakat setempat, yakni dengan cara mengungkapkan taksonomi-
taksonomi dan klasifikasi-klasifikasi yang ada dalam istilah lokal,
bagaimanapun dalam bahasa atau kata-kata yang mereka ucapkan terdapat
makna pengetahuan warga tentang lingkungannya. Dengan begitu, dapat
diketahui hubungan masyarakat dan lingkungan benar-benar dipersepsikan
oleh suatu kelompok manusia dengan “pengetahuan” yang mereka miliki.
D. Ketahanan Keluarga
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa ketahanan keluarga adalah kondisi
keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung
kemampuan fisik materiil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan
keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan dan
kebahagiaan lahir dan batin.28 Ketahanan keluarga (family strengths atau
family resilience) merupakan suatu konsep holistik yang merangkai alur
pemikiran suatu sistem, mulai dari kualitas ketahanan sumberdaya, strategi
coping dan appraisal. Ketahanan keluarga (Family Resilience) merupakan
proses dinamis dalam keluarga untuk melakukan adaptasi positif terhadap
bahaya dari luar dan dari dalam keluarga.29
28 Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga 29 McCubbin et.al. 1988 dalam Puspitawati. “Pengertian ...
41
Berdasarkan beberapa konsep ketahanan keluarga di atas dapat diuraikan
bahwa ketahanan keluarga merupakan kemampuan keluarga dalam mengelola
sumber daya yang dimiliki serta menanggulangi masalah yang dihadapi baik dari
dalam keluarga maupun dari luar, untuk dapat memenuhi kebutuhan fisik maupun
psikososial keluarga. Kebutuhan pisik meliputi kebutuhan pokok, yakni sandang,
papan, dan pangan serta kebutuhan pendidikan dan kesehatan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia mendeskripsikan 30 indikator ketahanan keluarga,30 yaitu:
1) Legalitas perkawinan suami-istri yang ditunjukkan dengan buku nikah.
2) Legalitas anak yang ditunjukkan dengan akte kelahiran.
3) Keutuhan keluarga yang ditunjukkan dengan tinggal bersama dalam ikatan
keluarga.
4) Makan lengkap minimal dua kali sehari untuk semua anggota keluarga.
5) Anggota keluarga yang menderita penyakit akut/kronis atau cacat.
6) Anggota keluarga yang menderita masalah gizi.
7) Rumah yang ditempati memiliki ruang tidur terpisah/ada sekat antara
orangtua dan anak.
8) Keluarga punya kepemilikan rumah.
9) Suami dan/atau istri mempunyai penghasilan tetap per bulan minimal
UMR.
30 dalam Herien Puspitawati, dkk. “Telaah Pengintegrasian Perspektif Gender Dalam
Keluarga Untuk Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender dan Ketahanan Keluarga di
Propinsi Jawa Timur dan Sumatera Utara. Kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat, Institut Pertanian Bogor, November 2016
42
10) Suami dan/atau istri memiliki pekerjaan tetap dengan pendapatan berapa
saja.
11) Suami dan/atau istri mempunyai tabungan dalam bentuk uang minimal
sebesar 3 kali UMR.
12) Minimal satu anggota keluarga memiliki asuransi kesehatan.
13) Keluarga mampu membayar pengeluaran untuk kebutuhan listrik.
14) Keluarga mampu membayar pengeluaran untuk pendidikan anak minimal
hingga tingkat SMP.
15) Anak yang Drop Out dari sekolah.
16) Anggota keluarga yang berusia 15 tahun ke atas minimal berpendidikan
SMP.
17) Kekerasan antar suami-istri.
18) Kekerasan antar orangtua-anak.
19) Anggota keluarga yang terlibat masalah pelanggaran hokum.
20) Anak diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat.
21) Suami-istri saling menghargai dan menyayangi.
22) Anggota keluarga berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.
23) Anggota keluarga merawat/peduli kepada orangtua lansia.
24) Anggota keluarga berkomunikasi dengan baik, termasuk dengan keluarga
besarnya.
25) Suami dan/atau istri melakukan kegiatan agama secara rutin.
26) Ayah mengalokasikan waktu bersama anak.
27) Ibu mengalokasikan waktu bersama anak.