bab ii kajian pustaka · dalam kegiatan pembelajaran, tentunya tidak lepas dari kurikulum....
TRANSCRIPT
-
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Sekolah Inklusi
Menurut Smith pendidikan inklusi (2006: 18) adalah program pendidikan
yang mengakomodasi seluruh siswa dalam kelas yang sama sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuannya, termasuk di dalamnya siswa yang berlainan. Di
lain pihak, Choate (dalam Dyah 2008) mengemukakan bahwa Sekolah inklusi
adalah sekolah yang mengijinkan peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus
untuk dapat belajar di kelas pendidikan umum
Mastropieri dan Scruggs, (dalam Dyah 2008) pengertian inklusi secara
umum berarti bahwa peserta didik berkebutuhan khusus mendapatkan pelayanan
pendidikan utama di dalam kelas umum dan di bawah tanggung jawab seorang
guru kelas umum. Sedangkan Denis, Enrica (dalam Barokah 2008) pendidikan
inklusi adalah suatu komitmen untuk melibatkan siswa-siswi yang memiliki
hambatan dalam setiap tingkat pendidikan mereka yang memungkinkan.
Indeks untuk inklusi (dalam Stubs 2002: 39) menyatakan bahwa inklusi
dalam pendidikan merupakan proses peningkatan partisipasi siswa dan
mengurangi keterpisahan dari budaya, kurikulum dan komunitas setempat. Selain
itu, Smith (2006: 45) mengemukakan bahwa inklusi dapat berarti penerimaan
anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi
social dan konsep diri (visi-misi) sekolah.
-
7
Hidayat (2009: 9) pendidikan inklusi terfokus pada setiap kelebihan yang
dibawa anak ke sekolah daripada kekurangan mereka yang terlihat, dan secara
khusus melihat pada bidang mana anak-anak dapat mengambil bagian untuk
berpartisipasi dalam kehidupan normal masyarakat atau sekolah, atau
memperhatikan apakah mereka memiliki hambatan fisik dan sosial karena
lingkungan yang tidak kondusif.
Salamanca (dalam Barokah, 2008: 70) menyatakan bahwa „pendidikan
inklusif merupakan inklusi merupakan perkembangan pelayanan pendidikan bagi
anak berkebutuhan khusus , dimana prinsip mendasar dari pendidikan iklusi,
selama memungkinan, semua anak atau peserta didik seyogyanya belajar
bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada
pada mereka.‟
Suparno dkk (2007: 2-20) mengemukakan bahwa konsep inklusi lebih
menekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak
berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusi sebenarnya merupakan perkembangan
lebih lanjut dari program mainstreaming yang sudah beberapa dekade diterapkan
secara luas oleh para pendidikdi berbagai Negara untuk anak-anak berkebutuhan
khusus.
Hidayat (2009: 9) menyimpulkan bahwa model lingkungan pembelajaran
yang inklusi tersebut dapat memotivasi guru, pengelola/kepala sekolah, anak,
keluarga dan masyarakat untuk membantu pembelajaran anak, misalnya di kelas
peserta didik beserta guru bertanggungjawab kepada pembelajaran dan secara
aktif berpartisipasi di dalamnya.
-
8
Puri (2004: 26) menyatakan bahwa pendidikan inklusi memberikan
kesempatan bagi perencana, perancang dan pembuatan kebijakan, administrator
dan pelaksana untuk bekerja dan mengembangkan konsep secara universal. Dalam
artian, pendidikan harus ideal tidak hanya mengajarkan keterampilan kejuruan
namun juga membina intelektual dan psikologi yang menunjukkan kepercayaan
diri , sikap positif dan gairah untuk hidup.
Dari beberapa pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa sekolah
inklusi adalah sekolah reguler yang membuka layanan pendidikan untuk anak-
anak yang memiliki kebutuhan khusus. Dalam sekolah inklusi ini, anak-anak yang
memiliki kebutuhan khusus belajar di kelas umum bersama dengan siswa lain
akan tetapi anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus tersebut diberi
pendekatan dan pelajaran khusus sesuai dengan kebutuhannya.
2.1.1.1 Latar Belakang Sekolah Inklusi
Dunn (dalam Smith 2006: 42) menyatakan bahwa „tekanan untuk
meneruskan dan memperluas program (kelas khusus) yang kita tahu, menjadi hal
yang tidak diinginkan bagi kebanyakan anak-anak yang dipandang akan
memerlukannya.‟ Kemudian Dunn menegaskan kembali „pemindahan anak dari
kelas reguler ke kelas khusus mungkin memberikan pengaruh yang signifikan
pada perasaan rendah diri dan problem penerimaan diri.‟
Elias, Maurice (dalam Barokah: 71) menyatakan bahwa:
Pelayanan pendidikan yang selama ini diberlakukan seakan
membentuk kotak-kotak pelayanan pendidikan, yang secara
psikologis sangat merugikan peserta didik dalam bersosialisasi
yang mestinya dalam peletakan dasar dalam pembelajaran ini
-
9
harus diberikan dengan suguhan-suguhan menyeluruh tentang
kehidupan nyata, bahwa di sekeliling kehidupannya ada kehidupan
yang berbeda dari dirinya, namun kenyataan yang sering
ditemukan dalam dunia pendidikian hanyalah keterbatasan-
keterbatasan yang tidak mampu memberikan sumbangan yang
bermakna bagi perkembangan peserta didik khususnya dalam
menuju kedewasaannya, karena dalam masa pembelajaran, peserta
didik/remaja sekolah adalah masa untuk belajar menjadi orang
dewasa, bukan menjadi remaja yang sukses.
Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) terselenggara di
Sekolah Luar Biasa (SLB), namun program tersebut mengalami kendala.
Istiningsih (2005: 12-13) menyatakan bahwa pendidikan bagi anak yang
berkelainan diselenggarakan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Lokasi SLB pada
umumnya berada di ibu kota kabupaten. Akibatnya sebagian anak-anak
berkelainan, karena faktor ekonomi terpaksa tidak disekolahkan oleh orang tuanya
karena lokasi SLB jauh dari rumahnya, sedangkan SD terdekat tidak bersedia
menerima karena tidak mampu melayaninya.
2.1.1.2 Dasar Sekolah Inklusi
Suparno dkk (2007) mengemukakan bahwaPelaksanaan pendidikan
inklusi di Indonesia didasarkan pada beberapa landasan , filosofis dan yuridis-
empiris.
Secara filosofis filosofis, implementasi inklusi mengacu
pada beberapa hal, diantaranya: a) pendidikan adalah hak
mendasar bagi setiap anak, termasuk anak berkebutuhan khusus;
b) anak adalah pribadi yang unik yang memiliki karakteristik,
minat, kemampuan dan kebutuhan yang berbeda-beda; c)
penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama
antara orang tua, masyarakat dan pemerintah; d) setiap anak
berhak mendapat pendidikan yang layak; e) setiap anak berhak
mendapat akses pendidikan yang ada di lingkungan sekitarnya.
-
10
Dasar sekolah inklusi secara yuridis-empirisnya tercantum dalam:
1. UUSPN No 20 tahun 2003, pasal 5 ayat (1) dan (2)
Ayat 1: “Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu”
Ayat 2: “Warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional,
mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus”
2. UUSPN No 20 tahun 2003 pasal 6 ayat 15, yang berbunyi
“Pendidikan khusus merupakan penyelengaraan pendidikan untuk peserta
didik yang berklainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa
yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus
pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.”
3. UUD 1945 pasal 31 ayat (1), (2) dan (3)
Ayat 1: “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan”
Ayat 2: “Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan menengah
dan pemerintah wajib membiyainya ”
4. Permen No 22 Tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar
dan menengah. Berbunyi: “Standar Isi untuk Pendidikan Dasar dan Menengah
yang selanjutnya disebut Standar Isi mencakup lingkup materi minimal dan
tingkat kompetensi minimal untuk mencapai lulusan kompetensi minimal pada
jenjang dan jenis pendidikan tertentu”
5. Permen No 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
-
11
6. Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948 pasal 26 tentang hak untuk mendapatkan
pendidikaan.
7. Konvensi Hak Anak 1989
8. Konvensi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (1990)
9. Resolusi PBB nomor 48/49 tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi
Orang Berkelainan / penyandang cacat.
10. Pernyataan Salamanca (1994) tentang Pendidikan inklusi, Komitmen Dakar
(2000) mengenai Pendidikan untuk Semua, Deklarasi Bandung (2004) dan
Rekomendasi Bukittinggi (2005) komitmen Pendidikan Inklusi.
2.1.1.3 Mekanisme Sekolah Inklusi
Sesuai dengan peraturan peundangan yang ada, pendidikan inklusi hanya
berlaku bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang kemampuan intelektualnya
tidak berada di bawah rata-rata.
Menurut Suparno dkk (2007: 2-23) sekolah penyelenggara pendidikan
inklusi harus memenuhi beberapa persyaratan yang sudah ditentukan, antara lain:
keberadaan siswa berkebutuhan khusus, komitmen terhadap pendidikan inklusi,
manajemen sekolah , sarana prasarana dan ketenagaan.
Dalam penerimaan siswa dalam sekolah inklusi perlu diadakannya
identifikasi oleh guru, terutama guru kelas. Suparno (2007: 6-2) mengemukakan
bahwa umumnya guru memiliki catatan atau rekaman tentang perkembangan
masing-masing siswa, bagaimana kondisinya dan kebutuhan pendidikan yang
diperlukan, terlebih untuk anak berkebutuhan khusus. Apabila hal itu belum
-
12
dimiliki, maka untuk mengenali anak-anak berkebutuhan khusus dapat dimulai
dengan menggunakan identifiikasi.
Identifikasi adalah usaha untuk mengenali atau menemukan anak
berkebutuhan khusus sesuai dengan ciri-ciri yang ada. Suparno (2007: 6-3 )
mengungkapkan ada beberapa ruang lingkup dalam identifikasi yaitu mencakup
kondisi fisik, kemampuan intelektual, kemampuan komunikasi dan social
emosional.
Dalam identifikasi beberapa teknik yang kdigunakan oleh guru, Suparno
(2007) menguraikan teknik yang digunakan antara lain: observasi, wawancara,tes,
dan tes psikologi. Setelah identifikasi, dilakukan asasmen, yang bertujuan untuk:
1) menyaring kemampuan anak; 2) pengklasifikasian, penempatan, dan penentuan
program; 3) penentuan arah dan tujuan pendidikan; 4) pengembangan program
pendidikan individual; dan 5) penentuan strategi.
2.1.1.4 Karakteristik Kegiatan Pembelajaran Sekolah Inklusi
Smith (2006: 399) menyatakan bahwa banyak teknik dan konsep yang
telah diterapkan oleh para pendidik, termasuk metodologi-metodologi yang akan
mempermudah proes pembelajaran oleh siswa berkesulitan belajar di sekolah
umum. Jika konsep-konsep ini digunakan dengan baik, maka akan terwujudkelas
inklusi dengan sifat / karakteristik sebagai berikut.
1. Pengajaran proses berbagi yang aktif dan kreatif. 2. Siswa ditempatkan dalam kelompok dengan tujuan untuk
keragaman kegiatan dank arena mereka memiliki kebutuhan
yang sama bagi aktivitas lainnya.
-
13
3. Daripada siswa meninggalkan kelas untuk pelayanan pembelajaran khusus, lebih baik dukungan sumber daya
dibawa ke kelas bagi siswa berkebutuhan khusus.
4. Siswa ditempatkan pada tingkatan yang sesuai dengan usianya dan disediakan pengajaran menurut kebutuhannya.
5. Kurikulum untuk setiap siswa (dengan atau tanpa hambatan) adalah individual.
6. Personil pendidikan khusus dan sumber daya khusus dimanfaatkan untuk membantu setiap siswa yang memiliki
kebutuhan agar dapat dipenuhi oleh layanan pendidikan ini.
7. Semua kemajuan siswa dinilai menurut tujuan dan standar individual.
Dalam kegiatan pembelajaran, tentunya tidak lepas dari kurikulum.
Kurikulum tersebut digunakan oleh guru sebagai acuan dasar pembuatan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan kemdian sebagai pedoman pelaksanaan
pembelajaran. Menurut Hidayat (2009: 4) :
Persoalan kurikulum di Sekolah inklusi merupakan
tantangan terbesar bagi guru-guru dan sekolah-sekolah dalam
mempertahankan keikutsertaan dan memaksimalkan partisipasi
semua anak. Penyesuaian kurikulum bukanlah tentang penurunan
standar persyaratan ataupun membuat latihan menjadi lebih
mudah bagi murid-murid yang mempunyai keterbatasan atau
berkebutuhan khusus. Tetapi adaptasi kurikulum ini untuk
memenuhi keanekaragaman, membutuhkan perencanaan dan
persiapan yang matang oleh guru-guru dan bekerjasama dengan
murid-murid, orang tua, rekan-rekan guru, dan staf.
Kurikulum yang digunakan pada pendidikan inklusi yang ideal adalah
kurikulum yang sama seperti yang diterapkan bagi siswa reguler dan dimodifikasi
sesuai dengan kemampuan dan kekhususan ABK (berdasarkan PPI ABK). Hal ini
sesuai dengan kebijakan, yaitu PerMenDikNas RI No. 19 tahun 2007 dan
Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi, yang menyatakan bahwa dalam
-
14
pendidikan inklusi perlu ada penyesuaian kurikulum dengan mempertimbangkan
kondisi peserta didik.
Hidayat (2009: 6) proses layanan pembelajarannya bukan didasarkan
pada bentuk layanan sama rata, sama rasa dan disampaikan secara klasikal, tetapi
diarahkan pada pembelajaran yang lebih demokratis dan proporsional sesuai
dengan harapan dan target belajar dari masing-masing kelompok anak tersebut,
dan proses belajar anak-anak tersebut tidak dipisahkan berdasarkan kelompok
atau dipisahkan dari komunitasnya, melainkan mereka belajar bersama-sama
dengan teman sebayanya di dalam kelas reguler.
2.1.1.5 Model Pembelajaran Sekolah Inklusi
Puri (2006: 236) menjelaskan kegiatan belajar mengajar dalam sekolah
inklusi, anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus dijadikan satu dengan
anak-anak reguler, akan tetapi dalam katerampilan tertentu, anak mempunyai
kelas tersendiri sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Anak-anak
berkebutuhan khusus tersebut mempunyai guru tutor yang mendampingi.
Lombardi (dalam Smith, 2006: 401) menjelaskan beberapa model
pembelajaran yang dapat membantu meningkatkan keberhasilan kelas inklusi.
Model-model tersebut meliputi:
1. Pengajaran Langsung (Direct Instruction): dibuat suatu penekanan pada penggunaan struktur yang ringan dan jadwal
waktu kelas, menggunakan seluruh sumber daya guru secara
efisien (baik pendidikan umum maupun
2. khusus) di kelas umum dan pemantauan kemajuan secara seksama.
3. Intervensi dan strategi (strategy intervention) yaitu dibuat suatu penekanan pada kemampuan pengajaran seperti:
-
15
mendengar (listening), membuat catatan (note talking),
pertanyaan mandiri (self questioning), tes lisan (test talking)
dan pemantauan kesalahan (error monitor).
4. Tim asistensi guru (teacher assistance team) yakni guru umum dan guru pendidikan khusus bekerja sebagai tim, mereka
bertemu secara teratur untuk mengatasi masalah dan
memberikan bantuan kepada anggota mereka dalam mengatur
sikap siswa dan pertanyaan mengenai kesulitan akademis.
5. Model guru sebagai konsultan (consulting teacher model) yaitu guru-guru khusus dilatih sebagai konsultan untuk
memberikan bimbingan dan bantuan kepada guru kelas umum.
Mereka juga melatih para professional yang ditugaskan di
kelas umum untuk membantu siswa penyandang hambatan.
2.1.1.6 Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pelaksanaan LIRP
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (2009:
3) menyatakan peran dan tanggung jawab pemerintah dalam pelaksanaan
lingkungan inklusi ramah terhadap pembelajaran (LIRP) antara Lain:
1. Menyusun, mensosialisasikan, menerapkan pendidikan Dan kebijakan pendidikan inklusi seperti sumber daya manusia,
dana, kurikulum dan perangkat pembelajaran lainnya.
2. Memfasilitasi proses pelaksanaan pendidikan inklusi di lingkungan inklusi di semua lingkungan pembelajaran.
3. Memperluas akses pendidikan Bagi anak berkebutuhan khusus.
4. Membuka peluang pada pihak terkait untuk berkontribusi dalam LIRP.
2.1.1.7 Peran dan Tanggung Jawab Guru dalam Pelaksanaan LIRP
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (2009:
4) menyatakan bahwa peran dan tanggung jawab guru dalam mendukung
pelaksanaan LIRP, antara Lain:
1. Berkomunikasi secara berkala dengan keluarga, yaitu orang tua wali tentang kemajuan anak mereka dalam belajar dan
berprestasi.
2. Bekerjasama dengan masyarakat untuk menjaring anak yang tidak bersekolah, mengajak dan memasukkannya ke sekolah.
-
16
3. Menjelaskan manfaat dan tjuan LIRP kepada orang tua peerta didik.
4. Mempersiapkan anak agar berani berinteraksi dengan masyarakat sebagai bagian dari kurikulum, seperti
mengunjungi museum, memperingati hari-hari besar
keagamaan dan nasional.
5. Mengajak orang tua dan angota masyarakat terlibat dalam kelas.
6. Mengkomunikasikan LIRP kepada orang tua wali peserta didik, komite sekolah serta pemimpin dan anggota mayarakat.
7. Bekerjasama dengan para orang tua untuk menjadi penyuluh LIRP di lingkungan sekolah dan masyarakat.
2.1.1.8 Peran dan Tanggung Jawab Orang Tua dalam Pelaksanaan LIRP
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (2009:
4) menyatakan bahwa peran dan tanggung jawab orang tua dalam mendukung
pelaksanaan LIRP, antara Lain:
1. Mendukung pelaksanaan LIRP. 2. Berpartisipasi akif dalam mensosialisasikan LIRP di berbagai
komunitas.
3. Bersedia menjadi narasumber sesuai keahlian dan profesi yang dimiliki.
4. Menginformasikan nilai-nilai positif dari pelaksanaan LIRP kepada masyarakat scara luas.
5. Bekerjasama dengan anggota komite sekolah atau pihak lain dalam pengadaan sumber belajar.
6. Aktif bekerjasama dengan guru dalam proses pembelajaran anak beekebutuhan khusus.
7. Aktif dalam memberikan ide/gagasan dalam rangka peningkatan kulitas pembelajaran.
2.1.2 Anak Berkebutuhan Khusus
2.1.2.1 Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Hidayat (2009) Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah mereka yang
mempunyai kebutuhan, baik permanen maupun sementara, yang disebabkan oleh
-
17
kondisi sosial-emosi, dan/atau, kondisi ekonomi dan/atau, kondisi politik
dan/atau, kelainan bawaan maupun yang didapat kemudian
Suparno dkk (2007: 1-1) Anak-anak berkebutuhan khusus adalah anak-
anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang
membedakan mereka dari anak-anak normal pada umumnya. Di lain pihak,
Delphie (2009: 2) menyatakan bahwa Anak dengan Kebutuhan Khusus (ABK)
merupakan istilah lain untuk menggantikan kata Anak Luar Biasa (ALB) yang
menandakan adanya kelainan khusus. ABK mempunyai karakteristik yang
berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Anak berkebutuhan khusus (Direktorat Pendidikan Luar Biasa: 2004)
adalah anak yang dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya secara
signifikan (bermakna) mengalami kelainan (fisik, mental intelektual, social,
emosional) dibandingkan dengan anak-anak lain, sehingga mereka memerlukan
pelayanan khusus. Sedangkan Puri (2004: 9) mendefinisikan bahwa Anak
berkebutuhan khusus adalah anak dengan kondisi kemampuan fisik dan atau
mental di bawah kemampuan rata-rata anak-anak normal, sehingga dibutuhkan
metode pendekatan atau metode penyampaian tersendiri untuk anak-anak tersebut.
Berdasarkan batasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa anak
berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam
kondisi fisik atau mental sehingga membutuhkan pelayanan khusus untuk metode
penyampian. Dalam penelitian ini anak berkebutuhan khusus dititik beratkan pada
anak-anak dengan kondisi kemampuan fisisk atau mental di bawah kemampuan
rata-rata anak normal.
-
18
2.1.2.2 Faktor Penyebab Anak Berkebutuhan Khusus
Menurut Suparno dkk (2007) beberapa faktor penyebab anak
berkebutuhan khusus antara lain:
1. Faktor heriditer Faktor herediter sering terjadi karena kelebihan
kromosom yang diakibatkan oleh kesamaan gen pada
pasangan suami istri. Selain itu, usia ibu sewaktu hamil juga
sangat berpengaruh terhadap kelahiran anak. Usia ibu saat
hamil di atas 35 tahun memiliki resiko yang cukup tinggi
untuk melahirkan anak berkebutuhan khusus.
2. Faktor infeksi Merupakan suatu penyebab dikarenakan adanya berbagai
serangan penyakit infeksi yang dapat menyebabkan baik
langsung maupun tidak langsung terjadinya kelainan seperti
TORCH (toksoplasma, rubella, cytomegalo virus, herpes),
polio, meningitis dan sebagainya.
3. Faktor keracunan Keracunan dapat secara langsung pada anak, maupun
melalui ibu hamil. Munculnya FAS (fetal alcohol syndrome)
adalah keracunan janin yang disebabkan ibu mengkonsumsi
alcohol yang berlebihan, kebiasaan kaum ibu mengkonsumsi
obat bebas tanpa pengawasan dokter merupakan potensi
keracunan pada janin. Jenis makanan yang dikonsumsi bayi
yang banyak mengandung zat-zat berbahaya merupakan salah
satu penyebab. Adanya polusi pada berbagai sarana kehidupan
terutama pencemaran udara dan air.
4. Trauma Kejadian tak terduga yang langsung pada anak seperti
proses kelahiran yang sulit sehingga memerlukan pertolongan
yang mengandung resiko tinggi mengakibatkan kekurangan
oksigen pada otak. Benacana alam juga bisa menyebabkan
anak memiliki kebutuhan khusus, seperti cacat fisik dan
gangguan mental.
5. Kekurangan gizi Masa tumbuh kembang sangat berpengaruh terhadap
tingkat kecerdasan anak terutama pada 2 tahun pertama
kehidupan. Kekurangan gizi dapat terjadi karena adanya
kelainan metabolism maupun penyakit parasit pada anak,
seperti cacingan.
Jika dipandang dari sudut waktu terjadinya kelainan dapat dibagi
menjadi:
a. Pre-natal
-
19
Terjadinya kelainan anak semasa dalam kandungan atau
sebelum proses kelahiran. Misalnya seorang ibu yang tengah
hamil muda keracunan alcohol.
b. Peri-natal Peri-nattal sering juga disebut natal waktu terjadinya
kelainan pada saat proses kelahiran dan menjelang serta sesaat
setelah proses kelahiran.
c. Pasca-natal Terjadinya kelainan setelah anak dilahirkan sampai
dengan sebelum usia perkembangan selesai (kurang lebih usia
18 tahun).
2.1.2.3 Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Menurut Suparno dkk (2007) anak berkebutuhan khusus klasifikasikan
menjadi 3 yaitu anak berkelainan fisik, anak berkelainan mental emosional dan
anak berkelainan akademik.
1. Anak berkelainan fisik Anak berkelainan fisik dibedakan menjadi 3 yaitu anak
tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa.
a. Tunanetra adalah anak-anak yang mengalami kelainan atau gangguan fungsi penglihatan, yang memiliki tingkatan atau
klasifikasi yang berbeda. Berdasarkan tingkat ketajaman
penglihatan dapat diklasifikasikan menjadi low vision (kurang
lihat, ketajaman penglihatan 6/20m-6/60m) dan the blind (berat,
ketajaman penglihatan kurang dari 6/60m). sedangkan
berdasarkan adaptasi pedagogis dapat diklasifikasikan menjadi
kemampuan melihat sedang, ketidakmampuan melihat taraf
berat dan ketidakmampuan taraf sangat berat.
b. Tunarungu adalah istilah yang menunjuk pada kondisi ketidakfungsian organ pendengaran atau telinga seorang anak.
Kondisi ini menyebabkan mereka mengalami hambatan atau
keterbatasan dalam merespon bunyi-bunyi yang ada di
sekitarnya. Dalam klasifikasi khusus, tunarungu dibedakan
menjadi tunarungu ringan (tingkat kesulitan 25-45 db),
tunarungu sedang (tingkat kesulitan 46-70 db), tunarungu berat
(tingkat kesulitan 71-90 db), dan tunarungu sangat berat
(tingkat kesullitan lebih dari 90 db).
c. Tunadakasa adalalah anak-anak yang mengalami kelainan fisik atau cacat tubuh, yang mencakup kelainan anggota tubuh
maupun yang mengalami kelainan gerak dan kelumpuhan.
Berdasarkan tingkat kelainannya diklasifikasikan menjadi
-
20
cerebral palsy: ringan, sedang dan berat; berdasarkan letaknya:
spastic (kekakuan pada sebagian atau seluruh otonya),
dyskenesia (gerakan tak terkontrol serta terjadi kekakuan pada
seluruh tubuh yang sulit digerakkan), ataxia (gangguan
keseimbangan, koordinasi mata dan tangan tidak berfungsi),
campuran (mengalami kelainan ganda); berdasarkan polio: tipe
spinal (kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada, tangan dan
kaki), tipe bulbair (kelumpuhan fungsi motorik pada satu saraf
tepi atau lebih yang menyebabkan adanya gangguan
pernapasan), tipe bulbispinalis (gangguan antara tipe spinal dan
bulbair) dan encephalitis (umumnya ditandai dengan demam,
kesadaran menurun, tremor, dan kadang-kadang kejang).
2. Anak berkelainan mental emosional Anak berkelainan mental emosional dibedakan menjadi
tunagrahita dan tunalaras.
a. Tunagrahita, klasifikasi anak tunagrahita didsaarkan berbagai tinjauan, diantaranya berdasarkan kapasitas skor intelektualnya
(IQ): tunagrahita ringan (IQ 50-70), tunagrahita sedang (IQ 35-
50), tunagrahita berat (IQ20-35) dan tunagrahita sangat berat
(IQ di bawah 20). Sedagkan berdasarkan kemampuan akademik
di bagi menjadi mampudidik, mampulatih dan perlu dirawat.
b. Tunalaras adalah anak-anak yang mengalami gangguan perilaku, yang ditunjukkan dalam aktivitas kehidupan sehari-
hari, baik di sekolah maupun dalam lingkungan sosialnya.
Anak tunalaras diklasifikasikan berdasarkan 2 macam, yaitu
berdasarkan perilakunya dan berdasarkan kepribadiannya.
Berdasarkan perilakunya: beresiko tinggi (hiperaktif, suka
berkelahi, memukul, melawan, sulit konsentrasi dan lain-lain),
beresiko rendah (autism, khawatir, cemas, ketakutan dan lain-
lain), kurang dewasa (suka berfantasi, berangan-angan, mudah
dipengaruhi, kaku dan lain-lain), dan agresif (memiliki gang
jahat, suka mencuri dengan kelompoknya dan lain-lain).
Sedangkan berdasarkan kepribadiannya diklasifikasikan
menjadi: kekacauan perilaku, menarik diri, ketidakmatangan
dan agresi social.
3. Anak berkelainan akademik Anak berkelaianan akademik dibedakan menjadi anak
berbakat dan anak berkesulitan belajar.
a. Anak berbakat adalah anak-anak yang mengalami kelainan intelektual diatas rata-rata. Klasifikasi anak berbakat pada
umunya dilihat dari tingkat intelegensinya, berdasarkan standar
Stanford Blnet meliputi: kategori rata-rata tinggi (dengan IQ
110-119), kategori superior (dengan IQ 120-139), dan kategri
sangat superior (dengan IQ140-169).
-
21
b. Anak berkesulitan belajar merupakan salah satu jenis anak berkebutuhan khusus yang ditandai dengan adanya kesulitan
untuk mencapai standar kompetensi (prestasi) yang telah
ditentukan dengan mengikuti pembelajaran konvensional. Anak
berkesulitan belajar juga sering disebut learning disability.
Kesulitan belajar perkembangan diklasifikasikan lebih spesifik
lagi yaitu: kesulitan belajar perkembangan (kesulitan belajar
pada anak usia di bawah 5 tahun) dan kesulitan belajar
akademik (kesulitan pada anak pada usia di atas 6 tahun,
contohnya kesulitan berhitung/diskalkulia, kesulitan
membaca/disleksia, kesulitan menulis/disgrapia, kesulitan
berbahasa/dysphasia, tidak terampil/dispraksia).
2.1.2.4 Dampak Terjadinya Kelainan
Suparno dkk (2007) mengemukakan bahwa dengan adanya kelainan,
seorang anak dapat mengalami hambatan yang berakibat pada aspek fisiologis,
psikologis, dan social.
1. Dampak fisiologis Dampak fisiologis terutama terjadi pada anak-anak yang
mengalami kelainan yang berkaitan dengan fisik termasuk
sensori-motor terlihat pada keadaan fisik penyandang
kebutuhan khusus kurang mampu mengkoordinasi geraknya.
Tanda keadaan fisik penyandang berkebutuhan khusus yang
kurang mampu mengkoordinasi gerak antara lain: kurang
mampu koordinasi sensori motor, melakukan gerak yang tepat
dan terarah, serta menjaga kesehatan.
2. Dampak psikologis Dampak psikologis timbul berkaitan dengan
kemampuan jiwa lainnya, karena keadaan mental yang labil
akan menghambat proses kejiwaan dalam tanggapan terhadap
tuntutan lingkungan.
3. Dampak sosiologis Dampak sosiologis timbul karena ada hubungannya
dengan kelompok atau individu di sekitarnya, terutama
keluarga dan saudara-saudaranya. Kehadiran anak
berkebutuhan khusus di keluarga menyebabkan berbagai
perubahan dalam keluarga. Keluarga suatu unit social
menganggap dengan hadirnya anak berkebutuhan khusus
merupakan musibah, kesedihan dan beban yang berat. Semua
masalah di keluarga tersebut merupakan dampak sosiologis
yang harus ditanggung oleh keluarga.
-
22
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian Istiningsih (2005) berjudul manajemen pendidikan inklusi di
Sekolah Dasar Negeri Klego 1 Kabupaten Boyolali menyimpulkan bahwa
berdasarkan manajemen sekolah inklusi di Sekolah Dasar negeri Klego 1 Boyolali
cukup bagus. Tujuan yang ingin dicapai cukup idial, hal itu tercermin dalam
manajemen rekrutmen / identifikasi anak yang dilakukan oleh guru dan para
pembimbing khusus bagi anak yang membutuhkan pelayanan khusus telah
memperoleh hasil yang cukup bagus. Manajemen kegiatan belajar mengajar /
perangkat KBM yang mencakup pembelajaran umum seperti halnya sekolah
reguler yang dipadukan pembelajaran khusus bagi anak yang memerlukan
pelayanan pendidikan khusus, serta manajemen pemberdayaan masyarakat yang
dilakukan secara optimal sehingga diperoleh sinergi kerjasama yang baik antara
pihak sekolah dengan masyarakat.
Penelitian oleh Barokah (2008) berjudul moralitas peserta didik pada
pendidikan inklusi menyimpulkan bahwa peserta didik pada usia 6 sampai 12
tahun yang sederajar dengan peserta didik Sekolah Dasar yang memilki
kecenderungan untuk menjadi manusia yang bermoral baik terhadap orang tua,
guru dan teman sebayanya. Fakta dari penelitian memberikan kontribusi bahwa
pendidikan inklusi adalah wadah pelayangan education for future yang sesuai
dengan fitrah manusia, yaitu kesucian, tanpa melihhat perbedaan.
Penelitian Saputra (2011) berjudul perrbedaan daya serap belajar anak
berkebutuhan khusus dengan anak normal kelas V sekolah dasr inklusi kabupaten
Grobgan. Dalam penelitian tersebut, meyimpulkan bahwa daya serap siswa
-
23
normal di SD inklusi kabupaten Grobogan pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial dan Matematika ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan anak
berkebutuhan khusus.