bab ii kajian pustaka dan hipotesis penelitian 2.1 ... ii.pdfinformasi yang lebih banyak dimiliki...
TRANSCRIPT
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Teori Keagenan
Teori keagenan dapat dipandang sebagai suatu versi dari game theory
(Mursalim, 2005) yang membuat suatu model kontraktual antara dua atau lebih
orang (pihak), dimana salah satu pihak disebut agent dan pihak yang lain disebut
principal. Principal mendelegasikan pertanggungjawaban atas decision making
kepada agent, hal ini dapat pula dikatakan bahwa principal memberikan suatu
amanah kepada agent untuk melaksanakan tugas tertentu sesuai dengan kontrak
kerja yang telah disepakati. Lupia & McCubbins (2000) menyatakan bahwa
pendelegasian terjadi ketika seseorang atau satu kelompok orang (principal)
memilih orang atau kelompok lain (agent) untuk bertindak sesuai dengan
kepentingan prinsipal.
Menurut Ikhsan dan Ishak (2005), teori agensi didasarkan pada teori
ekonomi. Dari sudut pandang teori agensi, principal (pemilik) membawahi agent
(karyawan atau manajer yang lebih rendah) untuk melaksanakan kinerja yang
efisien. Teori ini mengasumsikan kinerja yang efisien dan bahwa kinerja
organisasi ditentukan oleh usaha dan pengaruh kondisi lingkungan. Sedangkan
Muliati (2011) berpendapat bahwa Agency Theory memiliki asumsi bahwa
masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan diri sendiri
sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent. Pemegang
12
saham sebagai pihak principal mengadakan kontrak untuk memaksimumkan
kesejahteraan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Manajer
sebagai agent termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi
dan psikologisnya antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun
kontrak kompensasi.
Menurut Anthony dan Govindarajan (2005), teori agensi menimbulkan
masalah mendasar dalam organisasi yaitu "perilaku mementingkan diri sendiri”.
Manajer (selaku agent) sebuah perusahaan mungkin memiliki tujuan-tujuan
pribadi yang bersaing dengan tujuan untuk memaksimalkan kekayaan pemilik
pemegang saham (principal). Karena manajer pemegang saham memiliki hak
untuk mengelola aset perusahaan, sebuah potensi konflik kepentingan muncul
antara dua kelompok.
Adanya asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan
dirinya sendiri, mengakibatkan agent memanfaatkan adanya asimetri informasi
yang dimilikinya untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak
diketahui principal. Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi
antara principal dan agent mendorong agent untuk menyajikan informasi yang
tidak sebenarnya kepada principal, terutama jika informasi tersebut berkaitan
dengan pengukuran kinerja agent. Hal ini memacu agent untuk memikirkan
bagaimana angka akuntansi tersebut dapat digunakan sebagai sarana untuk
memaksimalkan kepentingannya. Salah satu bentuk tindakan agent tersebut
adalah yang disebut sebagai earnings management (Richardson, 1998 dalam
Tarigan, 2011).
13
Salno dan Baridwan (2000) menyatakan bahwa penjelasan tentang konsep
manajemen laba tidak terlepas dari teori keagenan (agency theory). Teori
keagenan menyatakan bahwa praktik manajemen laba dipengaruhi oleh konflik
kepentingan antara manajemen (agent) dan pemilik (principal) yang timbul ketika
setiap pihak berusaha untuk mencapai dan mempertahankan tingkat kemakmuran
yang dikehendakinya. Adanya perbedaan kepentingan antara manajemen dan
pemilik tersebut dapat dipengaruhi kebijakan yang diputuskan manajemen.
Masdupi (2005) mengemukakan beberapa cara yang dapat dilakukan dalam
mengurangi masalah keagenan. Pertama, dengan meningkatkan insider
ownership. Perusahaan meningkatkan bagian kepemilikan manajemen untuk
mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga bertindak
sesuai dengan keinginan pemegang saham. Dengan meningkatkan persentase
kepemilikan, manajer menjadi termotivasi untuk meningkatkan kinerja dan
bertanggung jawab meningkatkan kemakmuran pemegang saham. Kedua, dengan
pendekatan pengawasan eksternal yang dilakukan melalui penggunaan hutang.
Penambahan hutang dalam struktur modal dapat mengurangi penggunaan saham
sehingga meminimalisasi biaya keagenan ekuitas.
2.1.2 Asimetri Informasi
Menurut Komalasari (2001) menyatakan bahwa asimetri informasi adalah
istilah untuk menggambarkan adanya dua kondisi investor dalam perdagangan
saham yaitu investor yang lebih banyak mengetahui informasi dan investor yang
sedikit mengetahui informasi.
14
Informasi yang lebih banyak dimiliki oleh manajer dapat memicu untuk
melakukan tindakan – tindakan sesuai dengan keinginan dan kepentingan untuk
memaksimumkan utility nya. Sedangkan bagi pemilik modal dalam hal ini
investor, akan lebih sulit mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh
manajemen karena hanya memiliki sedikit informasi yang ada. Oleh karena itu,
terkadang kebijakan – kebijakan tertentu dilakukan oleh manajemen perusahaan
tanpa sepengetahuan pemilik modal atau investor.
Asimetri informasi sering terjadi ketika manajer lebih mengetahui
informasi internal dan prospek perusahaan dimasa depan dibandingkan pemegang
saham/ stakeholders nya. Dengan demikian konsekuensi tertentu hanya akan
diketahui pihak lain yang juga memerlukan informasi tersebut (Sylvia dan Yanivi,
2003). Oleh karena itu sebagai pengelola, manajer berkewajiban memberikan
sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat
dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan.
Ujiyantho dan Bambang (2007), menyatakan bahwa agent berada pada
posisi yang memiliki lebih banyak informasi mengenai seluruh keadaaan
perusahaan dibandingkan principal. Dengan asumsi bahwa individu – individu
bertindak untuk memaksumkan kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi
asimetri yang dimilikinya akan mendorong agent untuk menyembunyikan
beberapa informasi yang tidak diketahui principal. Sehingga dalam kondisi
semacam ini principal seringkali pada posisi yang tidak dinguntungkan.
Menurut Joni dan Jogiyanto (2009) asimetri informasi antara pihak
manajemen dan investor potensial sangat tinggi ketika perusahaan belum
15
melakukan IPO. Hal ini disebabkan karena informasi perusahaan yang belum go
public relatif sulit untuk diperoleh investor. Ketika perusahaan melakukan IPO,
investor potensial hanya mengandalkan informasi dari prospektus.
2.1.3 Teori Sinyal
Brigham dan Houston (2001) menyatakan bahwa sinyal adalah suatu
tindakan yang diambil manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi
investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan.
Perusahaan dengan prospek yang menguntungkan akan mencoba menghindari
penjualan saham dan mengusahakan setiap modal yang baru diperlukan dengan
cara-cara lain, sedangkan dengan prospek yang kurang menguntungkan
perusahaan akan cenderung untuk menjual sahamnya.
Di dalam teori sinyal, didalamnya menjelaskan secara tersirat mengenai
manajemen laba. Adapun hal tersebut dijelaskan bahwa jika kinerja perusahaan
memburuk, manajer akan memberikan sinyal dengan menurunkan laba akuntansi,
sebaliknya jika kinerja perusahaan membaik, maka manajer akan memberikan
sinyal dengan menaikkan laba akuntansi.
Teori sinyal juga menjelaskan bahwa manajemen memberi sinyal untuk
mengurangi asimetri informasi. Jika manajemen mempunyai lebih banyak
informasi mengenai kinerja dan prospek perusahaan dari pada pemegang saham,
mereka dapat memberi sinyal dengan mencatat akrual diskresioner (Widodo,
2005) dalam Diah Fika (2011). Selain itu, didalam signaling theory dijelaskan
bahwa seorang investor yang rasional melakukan analisa sebelum membuat
keputusan untuk berinvestasi, investor membutuhkan informasi yang akan
16
dijadikan sinyal untuk menilai prospek masa depan perusahaan. Dengan
demikian, informasi yang tersedia mengenai perusahaan yang beredar di publik
dapat memengaruhi perubahan harga saham. Hal tersebut juga dapat diketahui di
dalam prospektus dan laporan keuangan tahunan perusahaan. Pada awal
perusahaan menjual sahamnya kepada publik, informasi keuangan, penawaran
umum, kegiatan, prospek perusahaan dsb yang dipublikasikan dalam prospektus
dan laporan keuangan tahunan merupakan sumber informasi yang sangat penting,
karena dimanfaatkan sebagai sinyal untuk investor terkait dengan nilai
perusahaan. Guna memengaruhi keputusan yang dibuat oleh para investor, maka
manajer akan berusaha untuk menaikkan jumlah laba yang dilaporkan. Dalam
teori sinyal, manajemen laba merupakan sinyal buruk, karena risiko yang dihadapi
oleh investor juga semakin tinggi.
2.1.4 Manajemen Laba
Manajemen Laba merupakan suatu fenomena yang tidak bisa dihindari,
karena fenomena terjadinya manajemen laba adalah dampak dari penggunaan
dasar akrual dalam penyusunan laporan keuangan. Dasar akrual yang digunakan
dalam laporan keuangan perusahaan berasal dari angka laba, bukan akrual yang
menjadikan laporan keuangan yang benar sahih, tetapi akrual yang digunakan
oleh manajer untuk memengaruhi pemegang saham.
Manajemen laba adalah tindakan yang dilakukan oleh pihak manajemen
dengan menaikkan atau menurunkan laba yang dilaporkan dari unit yang menjadi
tanggung jawabnya yang tidak mempunyai hubungan dengan kenaikan atau
penurunan profitabilitas dalam jangka panjang. Schipper (1989) dalam Sutrisno
17
(2002:163) mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu intervensi dengan
tujuan tertentu dalam proses pelaporan keuangan eksternal, untuk memperoleh
beberapa keuntungan privat, sedangkan Healy dan Wahlen (1999:6), menyatakan
bahwa manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan pertimbangan dalam
pelaporan keuangan, dan membentuk transaksi untuk mengubah laporan keuangan
dengan tujuan untuk memanipulasi besaran laba kepada beberapa stakeholders
tentang kinerja ekonomi yang mendasari perusahaan, atau untuk memengaruhi
hasil perjanjian yang tergantung pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan.
Menurut Scott (2006:351) terdapat dua cara untuk memahami manajemen
laba, yaitu:
1) Memahami manjemen laba sebagai perilaku oportunistik manajer untuk
memaksimalkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, hutang,
dan political cost.
2) Memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting, dimana
manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri
mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak
terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan
demikian, manajer mungkin dapat memengaruhi nilai pasar saham
perusahaan melalui manajemen laba, misalnya membuat perataan laba dan
pertumbuhan laba sepanjang waktu.
Scott (2006:352) menyatakan bahwa terdapat beberapa motivasi manajer
untuk melakukan manajemen laba, yaitu:
1) Rencana Bonus (bonus scheme)
18
Manajer yang bekerja di perusahaan dengan rencana bonus akan berusaha
mengatur laba yang dilaporkan agar dapat memaksimalkan bonus yang akan
diterimanya.
2) Kontrak Jangka Panjang (debt covenant)
Motivasi ini sejalan dengan hipotesis debt covenant dalam teori akuntansi
positif yaitu, semakin dekat suatu perusahaan ke pelanggaran perjanjian hutang
maka manajer akan cenderung memilih metode akuntansi yang dapat
“memindahkan” laba periode berjalan sehingga dapat mengurangi kemungkinan
perusahaan mengalami pelanggaran kontrak.
3) Motivasi Politik (political motivation)
Perusahaan-perusahaan besar dan industri strategis cenderung menurunkan
laba untuk mengurangi visibilitasnya, khususnya selama periode kemakmuran
tinggi. Tindakan ini dilakukan untuk memperoleh kemudahan dan fasilitas dari
pemerintah misalnya subsidi.
4) Motivasi Perpajakan (taxation motivation)
Perpajakan merupakan salah satu alasan utama mengapa perusahaan
mengurangi laba yang dilaporkan. Dengan mengurangi laba yang dilaporkan
maka perusahaan dapat meminimalkan besar pajak yang harus dibayarkan kepada
pemerintah.
5) Pergantian CEO
Pergantian CEO merupakan salah satu motivasi dilakukannya manajemen
laba. Ketika CEO akan habis masa penugasannya atau pensiun, maka ia akan
melakukan strategi untuk memaksimalkan laba sehingga dapat meningkatkan
19
bonus yang akan diterimanya. Demikian pula dengan CEO yang kinerjanya
kurang baik, ia akan cenderung memaksimalkan laba untuk mencegah atau
membatalkan pemecatannya.
6) Penawaran Saham Perdana (Initial Public Offerings)
Saat perusahaan go public, informasi keuangan yang ada dalam prospektus
merupakan sumber informasi yang penting. Informasi ini dapat dipakai sebagai
sinyal kepada calon investor tentang nilai perusahaan. Maka Manajer berusaha
menaikkan laba yang dilaporkan untuk memengaruhi keputusan calon investor.
Scott (2006:365) juga mengungkapkan bentuk-bentuk manajemen laba yang
dilakukan oleh manajer, antara lain:
1) Kepalang Basah (taking a bath)
Kepalang basah dilakukan oleh perusahaan ketika keadaan buruk yang tidak
menguntungkan tidak bisa dihindari pada periode berjalan, kepalang basah
dilakukan dengan cara mengakui biaya-biaya pada periode-periode yang akan
datang dan kerugian periode berjalan.
1) Penurunan Laba (income minimization)
Penurunan laba cenderung mirip dengan kepalang basah namun kurang
ekstrim. Penurunan laba dilakukan saat perusahaan memperoleh profitabilitas
yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat perhatian secara politis. Kebijakan
yang diambil perusahaan bisa berupa pembebanan pengeluaran iklan, riset dan
pengembangan yang cepat dan sebagainya.
2) Peningkatan Laba (income maximization)
20
Peningkatan laba dilakukan perusahaan agar memperoleh bonus yang lebih
besar. Hal ini juga dilakukan oleh perusahaan yang mendekati pelanggaran
kontrak hutang jangka panjang.
3) Perataan Laba (income smoothing)
Bentuk manajemen laba ini merupakan bentuk yang paling sering
dilakukan dan paling populer. Perataan laba merupakan tindakan yang dilakukan
dengan sengaja untuk mengurangi variabilitas laba yang dilaporkan sehingga
dapat mengurangi risiko pasar atas saham perusahaan, yang pada akhirnya dapat
meningkatkan harga pasar perusahaan.
Ali Irfan (2002:89) mengungkapkan bahwa terdapat tiga teknik-teknik yang
dapat digunakan manajer dalam melakukan manajemen laba, yaitu:
1) Perubahan Metode Akuntansi
Dilakukan dengan mengubah metode akuntansi yang berbeda dengan
metode sebelumnya sehingga dapat menaikkan atau menurunkan angka
laba. Misalnya, dengan mengubah metode depresiasi, metode penilaian
persediaan, mengubah taksiran umur asset, dan sebagainya.
2) Memainkan Kebijakan Perkiraan Akuntansi
Dilakukan dengan cara memainkan kebijakan akuntansinya. Misalnya,
mengubah kebijakan taksiran piutang tak tertagih, kebijakan perkiraan biaya
garansi, maupun kebijakan perkiraan terhadap proses pengadilan yang
belum diputuskan.
3) Menggeser Periode Biaya atau Pendapatan
21
Kebijakan ini juga dikatakan sebagai manipulasi keputusan operasional.
Misalnya, mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai periode
akuntansi berikutnya, kerjasama dengan vendor untuk mempercepat atau
menunda pengiriman tagihan sampai periode akuntansi berikutnya, menjual
investasi sekuritas untuk memanipulasi laba, dan lain sejenisnya.
2.1.5 Discretionary Accrual
Discretionary accrual sering digunakan sebagai proksi manajemen laba
oportunistik dalam beberapa penelitian sebelumnya sesuai dengan konteksnya
masing-masing, tetapi manajer mungkin mempunyai motivasi lain untuk mencatat
discretionary accrual yaitu untuk maksud pemberian sinyal mengenai kinerja
manajemen kini serta yang akan datang (Widodo, 2005). Discretionary accrual
adalah suatu cara untuk mengurangi atau menambah pelaporan laba yang sulit
dideteksi melalui manipulasi kebijakan akuntansi yang berkaitan dengan akrual,
misalnya menaikkan biaya amortisasi atau depresiasi, mencatat kewajiban yang
besar terhadap potongan harga dan mencatat persediaan yang sudah usang dan
sebagainya. Sedangkan akrual sendiri adalah semua kejadian yang bersifat
operasional pada suatu tahun yang tidak berpengaruh terhadap arus kas. Dengan
kata lain total akrual adalah selisih antara laba dengan arus kas dari kegiatan
operasi perusahaan. Total akrual dibedakan dalam dua bagian, yaitu bagian akrual
yang memang sewajarnya ada dalam laporan keuangan disebut non discretionary
accrual dan bagian akrual yang merupakan manipulasi data akuntansi yang
disebut discretionary accrual.
2.1.6 Initial Public offering (IPO)
22
Go public adalah peristiwa penawaran saham yang dilakukan oleh
perusahaan (emiten) kepada masyarakat umum (investor) untuk pertama kalinya
(Sunariyah, 2003:200). Pengertian pertama kali menyatakan bahwa istilah go
public hanya digunakan pada waktu pertama kali perusahaan menjual saham. Arti
pertama kali ini disebut pasar perdana. Ekayanti (2007:37), mendefinisikan IPO
sebagai penawaran saham dipasar perdana yang dilakukan perusahaan yang
hendak go public. Undang-undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1995 tentang
pasar modal mendefinisikan penawaran umum sebagai kegiatan penawaran yang
dilakukan emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara
yang telah diatur dalam undang-undang tersebut dan peraturan pelaksanaannya.
Menurut Klinik Go Public dan Investasi (Publikasi BEJ) dalam Suyatmin
dan Sujadi (2006:17), go public atau penawaran umum merupakan kegiatan yang
dilakukan emiten untuk menjual sekuritas kepada masyarakat, berdasarkan tata
cara yang diatur undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Sejalan dengan
perkembangan perekonomian, semakin meningkat pula upaya perusahaan untuk
mengembangkan usahanya dan melakukan kegiatan dalam rangka memperoleh
dana untuk ekspansi bisnis. Pada saat ini perusahaan harus menentukan untuk
menambah modal dengan cara utang atau menambah jumlah dari pemilikan
dengan menerbitkan saham baru. Jogiyanto (2009:16) menyatakan bahwa apabila
saham akan dijual untuk menambah modal, saham baru dapat dijual dengan
berbagai cara berikut :
1) Dijual kepada pemegang saham yang ada (right issue)
2) Dijual kepada karyawan lewat ESOP (Employee Stock Ownership Plan).
23
3) Menambah saham lewat dividen yang tidak dibagi (dividend reinvestment
plan).
4) Dijual langsung kepada pembeli tunggal (biasanya investor institusi) secara
privat (private repalacement).
5) Ditawarkan kepada publik (IPO).
Rotary dalam Diah (2011) menyatakan keputusan untuk go public atau tetap
menjadi perusahaan privat merupakan keputusan yang penting. Jika perusahaan
memutuskan untuk go public dan melemparkan sahamnya ke publik (initial public
offering), isu utama yang muncul adalah tipe saham apa yang akan dilempar,
berapa harga yang harus ditetapkan untuk selembar sahamnya, dan kapan
waktunya yang paling tepat. Persaingan harga yang wajar di pasar modal ini
tergantung pada konsep efisiensi pasar modal. Pasar modal yang efisien
didefinisikan sebagai pasar yang harga sekuritas sekuritasnya telah mencerminkan
semua informasi yang relevan. Semakin cepat informasi baru tercermin pada
harga sekuritas, semakin efisien pasar modal tersebut.
2.1.7 Return Saham
Return (kembalian) adalah tingkat keuntungan atau pendapatan yang
dinikmati oleh pemodal atas suatu investasi surat berharga saham yang
dilakukannya (Robert Ang, 1997, dalam Wahyuni, 2008). Sehingga pada
umumnya investor atau pemodal dalam menanamkan modalnya pada perusahaan,
pasti mengharapkan keuntungan berupa pengembalian yang hendak didapat dari
hasil investasinya. Menurut Jogiyanto (2010) return merupakan hasil yang
24
diperoleh dari harga saham sekarang dikurangi harga saham sebelumnya dibagi
dengan harga saham sebelumnya.
Return saham merupakan hasil dari investasi yang berupa return terealisasi
(realized return) dan return ekspektasi (expected return). Return terealisasi
merupakan return yang telah terjadi dan dihitung berdasarkan data historis yang
dipergunakan sebagai salah satu pengukur kinerja manajemen perusahaan. Return
terealisasi berguna sebagai dasar penentuan return ekspektasi dan risiko dimasa
mendatang. Kemudian return ekspektasi merupakan return yang diharapkan oleh
investor atas suatu investasi yang akan diperoleh dimasa yang akan datang
(Robert Ang, 1997; dalam Wahyuni, 2008). Return saham dalam penelitian ini
merupakan variabel yang menunjukkan reaksi investor pada saat beberapa hari
setelah masuk dalam pasar sekunder.
2.1.8 Ukuran Perusahaan
Perusahaan yang berukuran besar memiliki basis pemegang kepetingan
yang lebih luas, sehingga berbagai kebijakan perusahaan besar akan berdampak
lebih besar terhadap kepentingan publik debandingkan dengan perusahaan kecil.
Bagi investor, kebijakan perusahaan akan berimplikasi terhadap prospek cash flow
dimasa yang akan datang. Sedangkan bagi regulator (pemerintah) akan berdampak
terhadap besarnya pajak yang akan diterima, serta efektivitas peran pemberian
perlindungan terhadap masyarakat secara umum.
UU No. 20 Tahun 2008 mengklasifikasikan ukuran perusahaan ke dalam
kategori yaitu usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan usaha besar.
25
Pengklasifikasian ukuran perusahaan tersebutt didasarkan pada total aset yang
dimiliki dan total penjualan tahunan perusahaan tersebut.
UU No. 20 Tahun 2008 tersebut mendefinisikan usaha mikro, usaha kecil,
usaha menengah, dan usaha besar sebagai berikut:
1. Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan /atau badan
usaha perorangan yang memiliki kriteria usaha mikro sebagaimana diatur
dalam undang-undang ini. Kriteria usaha menurut undang-undang ini
digolongkan berdasarkan jumlah asset dan omzet yang dimiliki oleh sebuah
usaha. Untuk kriteria usaha mikro asset yang harus dimiliki maksimal Rp.
50.000.000 dan omzet maksimal yang dicapai Rp. 300.000.000.
2. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah
atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang ini. Kriteria usaha menurut undang-undang ini
digolongkan berdasarkan jumlah asset dan omzet yang dimiliki oleh sebuah
usaha. Untuk kriteria usaha kecil asset yang harus dimiliki Rp.50.000.000
sampai Rp.500.000.000 dan omzet yang dicapai Rp. 300.000.000 sampai
Rp. 2.500.000.000.
3. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau
26
menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil
atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan
tahunan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Kriteria usaha
menurut undang-undang ini digolongkan berdasarkan jumlah asset dan
omzet yang dimiliki oleh sebuah usaha. Untuk kriteria usa menengah asset
yang harus dimiliki Rp. 500.000.000 sampai Rp. 10.000.000.000 dan omzet
yang dicapai Rp. 2.500.000.000 sampai Rp. 50.000.000.000.
4. Usaha besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan
usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih
besar dari usaha menengah, yang meliputi usaha nasional milik negara atau
swasta, usaha patungan dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi
di Indonesia.
Ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar
kecilnya perusahaan menurut berbagai cara, antara lain: log total aktiva (Marihot
dan Doddy, 2007), log total penjualan (Nuryaman, 2008) kapitalisasi pasar
(Halim, dkk. 2005). Machfoedz (1994) dalam Mardiyah (2001) menjelaskan
bahwa pada dasarnya ukuran perusahaan hanya terbagi dalam 3 kategori yaitu
perusahaan besar (large firms), perusahaan sedang (medium firms), perusahaan
kecil (small firms).
Total aset dipilih sebagai proksi dari variabel ukuran perusahaan. Ini
dikarenakan total aset lebih stabil dan representatif dalam menunjukkan
ukuran perusahan dibanding kapitaliasi pasar dan penjualan yang sangat
dipengaruhi oleh demand and supply (Sudarmadji dan Sularto, 2007)
27
2.1.9 Pembahasan Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1 berikut menyajikan ringkasan penelitian terdahulu yang dapat
dijadikan referensi dan berhubungan dengan penelitian ini.
Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu
No. Judul
Penelitian
Peneliti dan
Tahun Terdahulu
Variabel
Penelitian
Hasil Penelitian
1 Analisis
Pengaruh
Manajemen
Laba terhadap
Kinerja
Operasi dan
Return Saham
disekitar IPO
Suprianto (2008) Manajemen
Laba,
Kinerja
Operasi dan
Return
Saham.
Hasil penelitian
menunjukan bahwa
Manajemen laba
berpengaruh terhadap
Kinerja operasi dan
Return saham
perusahaan.
2 Pengaruh
Kepemilikan,
Ukuran
Perusahaan dan
Praktek
Corporate
Governance
terhadap
Manajemen
Laba
Sylvia Veronica
Siregar dan
Sidharta Utama
(2005)
Kepemlikian,
Ukuran
Perusahaan
dan
Pengelolaan
Laba.
Ukuran perusahaan
berpengaruh negatif
terhadap bersarnya
pengelolaan laba,
rata-rata pengelolaan
laba pada perusahaan
dengan kepemilikan
tinggi dan bukan
perusahaan
konglemerasi secara
signifikan lebih tinggi
dibandingkan dengan
rata-rata perusahaan
lain-lain
3 Fenomena
Manajemen
Laba
Menjelang IPO
dan Kaitannya
Dengan Nilai
Perusahaan
Perdana Serta
Niken Astria
Sakina
Kusumawardhani
(2005)
Manajemen
Laba, Nilai
Perusahaan
dan Kinerja
Perusahaan
Adanya hubungan
positif yang
signifikan antara
komponen total
akrual diskresioner
(TAEM) dengan nilai
perusahaan perdana
saat
28
Kinerja
Perusahaan
Pasca–Ipo:
Studi Empiris
Pada
Perusahaan
Yang IPO Di
Indonesia
Tahun 2000-
2003
IPO.
4 Pengaruh
Manajemen
Laba (Earnings
Management)
Terhadap
Kinerja
Operasi Dan
Return Saham
Disekitar Ipo:
Studi Terhadap
Perusahaan
Yang Listing
Di Bursa Efek
Jakarta)
Anelies Yustisia
(2009)
Manajemen
Laba,
Kinerja
Operasi dan
Return
Saham
-Adanya manajemen
laba dalam bentuk
income increasing
accrual pada periode
menjelang IPO, dan
melakukan income
decreasing accrual
pada periode pasca
IPO.
-Terdapat indikasi
penurunan kinerja
saham perusahaan
pasca IPO.
5
5.
Pengaruh
Ukuran
Perusahaan
terhadap
Manajemen
Laba
Agustono Dwi
Rachadi (2010)
Ukuran
Perusahaan
dan
Manajemen
laba
Perusahaan sedang
atau besar tidak
terbukti lebih agresif
dalam melakukan
manajemen laba
melalui mekanisme
pelaporan laba positif
.
2.2 Hipotesis Penelitian
1.2.1 Manajemen laba sebelum IPO terhadap return saham
Setelah melakukan IPO, return saham perusahaan dalam jangka panjang
akan turun. Hal tersebut disebabkan karena investor terlalu optimis, sehingga
29
harga saham akan tinggi pada awal penawarannya dan berangsur-angsur turun
dalam jangka panjang (Bray dan Gompers, 1997 dalam Saiful, 2004). Pada
penelitian Saiful (2004) berhasil menemukan manajemen laba disekitar IPO pada
periode dua tahun sebelum IPO, ketika IPO dan setelah IPO. Kemudian
ditemukan juga return saham satu tahun setelah IPO namun tidak ditemukan
hubungan antara rendahnya return saham setahun setelah IPO dengan manajemen
disekitar IPO.
Teori sinyal menjelaskan bahwa manajemen mempunyai informasi akurat
mengenai nilai perusahaan yang tidak diketahui oleh investor luar. Ketika
perusahaan menyampaikan suatu informasi ke pasar maka informasi tersebut akan
direspon oleh pasar sebagai suatu sinyal adanya peristiwa tertentu yang dapat
mempengaruhi nilai perusahaan. Penelitian ini berfokus pada manajemen laba
sebelum IPO dengan tujuan untuk menguji keandalan informasi prospektus dan
respon pasar terhadap informasi yang disajikan dalam prospektus tersebut
Berdasakan urain tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai
berikut :
H1a: Manajemen laba satu tahun sebelum IPO berpengaruh terhadap return
saham
H1b: Manajemen laba dua tahun sebelum IPO berpengaruh terhadap return
saham
1.2.2 Ukuran Perusahaan dalam memoderasi manajemen laba sebelum IPO
terhadap return saham
30
Ukuran perusahaan yang digunakan sebagai proksi dari political cost,
dianggap sangat sensitif dalam prilaku pelaporan laba (Watt and Zimmerman,
1978). Perusahaan berukuran sedang dan besar lebih memiliki tekanan yang kuat
dari para stakeholdersnya, agar kinerja perusahaan sesuai dengan harapan
investornya dibandingkan dengan perusahaan kecil.
Semakin besar ukuran perusahaan, biasanya informasi yang tersedia untuk
investor dalam pengambilan keputusan sehubungan dengan investasi dalam saham
perusahaan tersebut semakin banyak (Siregar dalam Ramadhani, 2008). Hal ini
disebabkan karena perusahaan yang besar lebih memiliki tanggung jawab yang
besar terhadap para investor maupun pemerintah. Dengan tanggung jawab yang
besar tersebut, maka perusahaan akan cenderung melaporkan informasi laba yang
terkesan baik melalui pelaporan laba oportunis agar manajer mendapatkan bonus
atas hasil kinerjanya. Dengan adanya motivasi untuk menekan biaya politis yang
diproksi melalui ukuran perusahaan tersebut, maka angka dalam informasi laba
yang dilaporkan dapat menyesatkan para investor yang melakukan keputusan
investasi ketika pelaporan laba perusahaan bertujuan untuk memaksimalkan
utilitas manajer. Hal tersebut dapat digambarkan dalam pergerakan return saham
dari waktu-kewaktu terutama dalam jangka waktu 7 hari setelah perusahaan
masuk ke pasar sekunder, karena pada periode tersebut harga saham dalam tahap
menemukan titik keseimbangan antara return ekspektasi maupun return realisasi
dan belum dipengaruhi oleh keadaan ekonomi luar (Robert Ang, 1998)
Berdasakan pada uraian diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian
sebagai berikut :