bab ii kajian pustaka dan kerangka pikir a. tinjauan … · makalah ini menggunakan parameter...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Terdahulu
Beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya yang sejenis dan relevan dengan penelitian yang dilakukan peneliti
dalam upaya menyusun skripsi adalah sebagai berikut.
Asim Gunarwan (1997) dengan judul “The Speech Act of Critizing
among Speakers of Javanese” dalam bentuk makalah. Penelitian ini mengkaji
tindak tutur mengkritik dalam bahasa Jawa. Tujuan yang ingin dicapai dalam
pembahasannya itu ialah melihat bagaimana tindak tutur mengkritik direalisasikan
dalam masyarakat Jawa, strategi-strategi seperti apa yang pada umumnya
digunakan, apakah variabel umur, pendidikan, dan dialek memberikan warna
terhadap pemilihan strategi mengkritik. Metode yang digunakan oleh Asim
Gunarwan adalah metode kuantitatif dengan mengambil responden dari Jawa
Timur dan Jawa Tengan sebanyak 142 responden. Parameter yang digunakan ada
tiga hal, yaitu (a) ± power (kekuasaan), (b) ± solidaritas, dan c) ± formalitas.
Berdasarkan kajiannya itu, Asim Gunarwan memperoleh hasil sebagai
berikut. Pertama, strategi mengkritik yang paling tinggi skornya di antara kelima
strategi yang ada berarti strategi yang paling banyak digunakan di kalangan
masyarakat Jawa adalah strategi terus terang plus kesantunan negatif. Skor di
bawahnya adalah strategi terus terang dengan kesantunan positif. Skor di
bawahnya lagi secara berturut-turut adalah strategi terus terang tanpa upaya
penyelamatan muka, strategi samar-samar, dan dan yang paling rendah skornya
adalah strategi bertutur dalam hati. Skor yang dimaksud adalah skor rata-rata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
untuk semua situasi. Kedua, dari segi usia, ada kecenderungan kelompok usia
muda lebih suka menggunakan strategi mengkritik yang langsung atau strategi
terus terang, tanpa upaya penyelamatan muka (bald on record) daripada
kelompok usia tua. Ketiga, dari segi pendidikan, ada kecenderungan di kalangan
masyarakat Jawa semakin tinggi pendidikan, semakin jarang menggunakan
strategi terus terang tanpa upaya penyelamatan muka. Hal ini terlihat jelas dari
perbandingan kelompok pendidikan SMA dan kelompok pendidikan S2 atau S3.
Kelompok pendidikan SMA cenderung menggunakan strategi terus terang tanpa
upaya penyelamatan muka, sedangkan kelompok pendidikan S2/S3 cenderung
menghindari strategi tersebut.Keempat, dari segi dialek, Asim Gunarwan
memperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
kelompok penutur dari Jawa Timur dan kelompok penutur dari Jawa Tengah
dalam hal pemilihan strategi. Perbedaannya hanyalah terletak pada skor
penggunaan strategi terus terang dengan kesantunan negatif dan strategi terus
terang dengan kesantunan positif, penutur dari Jawa Tengah skornya lebih tinggi
daripada penutur dari Jawa Timur. Implikasinya adalah penutur dari Jawa Tengah
cenderung lebih santun daripada penutur dari Jawa Timur.
Hoang Thi Xuang Hoa (2007)dari Universitas Nasional Vietnam dengan
judul“Critizing Behaviors by the Vietnamese and the America: Topicd, Social,
Fatirs, and Frequency”. Penelitian ini mengkaji dan membandingkan perilaku
mengkritik dalam masyarakat Vietnam dan Amerika. Kajian ditekankan pada
berbagai faktor sosial yang memengaruhi strategi mengkritik, topik mengkritik,
dan frekuensi mengkritik. Berdasarkan kajiannya itu, ditemukan bahwa dalam
masyarakat Vietnam, faktor yang sangat penting dan menjadi pertimbangan utama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
dalam melakukan mengkritik adalah faktor tujuan mengkritik. Mereka tidak ragu-
ragu melakukan mengkritik kepada siapa pun. Mereka juga tidak perduli dengan
efek buruk yang timbul akibat mengkritik. Yang penting bagi mereka adalah
mengkritik itu dilakukan dengan tujuan yang baik, yaitu memperbaiki kesalahan.
Urutan kedua yang menjadi pertimbangan penting dalam melakukan mengkritik
adalah umur atau usia. Menurut kepercayaan masyarakat tradisional Vietnam,
umur diyakini memiliki kaitan dengan pengalaman, kebijaksanaan, dan
pengetahuan. Oleh karena itu, umur harus ditempatkan pada derajat kehormatan
tertentu. Faktor ketiga yang menjadi pertimbangan penting adalah bobot
pelanggaran (severity of offence). Bagaimana orang Vietnam melakukan
mengkritik bergantung pada bobot pelanggarannya. Urutan keempat yang menjadi
pertimbangan adalah faktor tempat (setting). Bagi orang Vietnam, faktor tempat
ini tampaknya tidak terlalu menjadi pertimbangan penting karena hanya
menempati urutan keempat. Orang Vietnam tidak terlalu menaruh perhatian di
mana mengkritik itu dikemukakan. Yang menarik adalah faktor power dan social
distance hanya menempati urutan kelima dan keenam. Hal ini berarti bahwa orang
Vietnam tidak begitu memiliki beban untuk melakukan mengkritik kepada orang
yang power-nya lebih tinggi atau kepada orang yang tidak dikenal. Faktor terakhir
yang menjadi pertimbangan adalah faktor efek mengkritik. Faktor efek ini
menempati urutan terendah sehingga orang Vietnam tidak merasa khawatir akan
efek buruk yang timbul akibat mengkritik.
Sebaliknya, dalam masyarakat Amerika, faktor yang justru menjadi
pertimbangan sangat penting ketika melakukan mengkritik adalah faktor tempat
mengkritik (setting of criticism). Privasi diyakini memiliki nilai yang sangat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
penting. Oleh karena itu, ketika mereka melakukan mengkritik, mereka lebih suka
menyampaikannya secara pribadi dan tidak di tempat publik. Bagi orang Amerika,
mengkritik di tempat publik sangat mengancam muka penerima mengkritik.
Urutan kedua yang menjadi pertimbangan adalah faktor distance. Bagaimana
orang Amerika melakukan mengkritik sangat dipengaruhi oleh social distance
antara pelaku mengkritik dan penerima mengkritik. Sementara itu, efek
mengkritik dan bobot mengkritik menempati urutan ketiga dan keempat. Urutan
berikutnya yang menjadi pertimbangan adalah umur, di bawahnya lagi adalah
status petutur, dan pertimbangan yang paling rendah adalah gender. Sementara
itu, berkenaan dengan topik mengkritik diperoleh perbandingan sebagai berikut.
Berkenaan dengan frekuensi mengkritik, terdapat kesamaan antara orang Vietnam
dan orang Amerika. Pertama, dalam kedua kelompok tersebut yang paling sering
menjadi sasaran mengkritik adalah teman dekat dan anggota keluarga,
menyangkut berbagai topik yang disebutkan di atas. Sementara itu kenalan,
kolega di kantor, bos dan superordinat frekuensinya lebih rendah. Hal ini dapat
dipahami, mengkritik orang yang memiliki hubungan yang tidak terlalu dekat
risikonya lebih besar, karena itu harus dilakukan dengan hati-hati. Kedua, dalam
kedua kelompok masyarakat tersebut, mengkritik orang yang posisinya lebih
tinggi relatif jarang dilakukan. Di samping kesamaan, terdapat juga perbedaan.
Pertama, perbedaan itu menyangkut frekuensi secara umum. Orang Vietnam
secara umum lebih sering melakukan kritik daripada orang Amerika. Kedua,
orang Vietnam lebih sering mengkritik istri atau suami daripada mengkritik
saudara kandung. Sementara orang Amerika, lebih sering mengkritik saudara
kandung daripada mengkritik istri atau suami.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
MIN Shang-chao (2008) dari Universitas Zhejiang China dengan judul
“Study on the Differences of Speech Act of Criticism in Chinese and English”.
Penelitian ini mengkaji perbedaan tindak tutur mengkritik dalam masyarakat Cina
dan masyarakat penutur bahasa Inggris. Dalam kajiannya itu dijelaskan bahwa
tindak tutur mengkritik dapat mengandung berbagai macam tipe tindakan seperti
deklarasi, representatif, dan ekspresif. Hal ini menyiratkan bahwa tindak tutur
mengkritik juga dipandang sebagai tindak tutur kompleks. Dia membedakan
tindak tutur mengkritik menjadi dua kategori, yaitu mengkritik langsung dan
mengkritik tidak langsung. Mengkritik langsung disebutnya sebagai ekspresi
langsung tentang evaluasi negatif tanpa reservasi. Penutur langsung menunjukkan
kesalahan petutur dan langsung menuntut perbaikan. Mengkritik langsung bersifat
sangat eksplisit, maksud kritik terlihat jelas sehingga tidak menimbulkan salah
pengertian. Mengkritik langsung sangat mencoreng muka positif petutur.
Mengkritik langsung ini disebutnya on record criticism. Sementara itu,
mengkritik tidak langsung berarti daya ilokusi mengkritik itu diungkapkan
melalui performansi tindak tutur yang lain. Maksud mengkritik yang sebenarnya
disembunyikan sehingga muka petutur dapat diselamatkan beberapa derajat.
Mengkritik tidak langsung ini dipandang sebagai kritik yang efektif dan berterima
dengan hasil yang positif. Akan tetapi, tidak berarti bahwa mengkritik tidak
lansung daya ilokusinya lebih rendah dibandingkan dengan mengkritik langsung.
Kadang-kadang mengkritik tidak langsung justru lebih tinggi daya ilokusinya
daripada mengkritik langsung. Dari hasil penelitian, MIN Chang-chao mengambil
kesimpulan bahwa masyarakat Cina cenderung menggunakan strategi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
mengkritiktidak langsung, sedangkan orang Barat cenderung menggunakan
strategi mengkritik langsung.
Edy Jauhari (2013) dari Universitas Airlangga Surabaya dengan judul
“Strategi Kesantunan Kritik dalam Masyarakat Budaya Jawa Mataram: Sebuah
Kajian Pemberdayaan Fungsi Bahasa Sebagai Sarana Kontrol Sosial” dalam
bentuk makalah. Data dalam makalah ini dikumpulkan melalui Discourse
Completion Task (DCT). Dalam hal ini DCT disebarkan kepada 43 informan di
wilayah setral budaya Jawa Mataraman di Jawa Tengah. Penggunaan DTC ini
digunakan sebagai alat untuk memahami berbagai macam penggunaan strategi
kesantunan kritik, yaitu strategi Melakukan Kritik secara Verbal (MKV),
Melakukan Kritik dalam Hati (MKH), Strategi Kritik Langsung dan Kritik Tidak
Langsung. Makalah ini menggunakan parameter relative power atau kekuasaan
(P), Social Distance atau jarak sosial (D), dan parameter publik (Pu). Berdasarkan
makalah ini, strategi kritik yang sering digunakan dalam masyarakat budaya Jawa
Mataraman adalah strategi MKV, sedangkan strategi MKH tidak banyak
digunakan. Penggunaan strategi MKV pada umumnya diwujudkan dengan strategi
dengan strategi kritik tidak langsung, bukan kritik langsung. Dalam penelitian ini
strategi kritik tidak langsung dipandang lebih santun digunakan daripada strategi
kritik langsung.
Penjelasan di atas merupakan kajian studi terdahulu, penelitian-penelitian
tersebut membahas mengenai masalah tindak tutur dan kesantunan berbahasa
dalam objek kajian penelitiannya. Untuk itu, dengan menggunakan analisis yang
sama, yakni kajian pragmatik, penulis mencoba meneliti dari segi yang berbeda.
Dalam penelitian ini, penulis mencoba memfokuskan penelitian mengenai tindak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
tutur mengkritik dan strategi kesantunan dalam acara Sentilan Sentilun di Metro
TV.
B. Landasan Teori
1. Pragmatik
Menurut Asim Gunarwan (dalam PELLBA 7, 1994: 83-84), bidang
linguistik yang mempelajari maksud ujaran, bukan makna kalimat yang
diujarkan disebut pragmatik. Pragmatik merupakan ilmu tentang tanda yang
sebenarnya telah dikemukakan sebelumnya oleh seorang filsuf bernama Charles
Morris. Menurut Moriss, dalam kaitannya dengan ilmu bahasa, semiotika
(semiotics) memiliki tiga cabang, yakni sintaktika 'studi relasi formal tanda-
tanda', semantika 'studi relasi tanda dengan penafsirannya' (Levinson, 1985:9).
Pragmatik mempelajari maksud ujaran atau daya (force) ujaran. Pragmatik juga
mempelajari fungsi ujaran, yakni untuk apa suatu ujaran itu dibuat atau
diujarkan.
Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah pragmatik secara berbeda-
beda. Pragmatik sangat erat kaitannya dengan tindak ujar. Menurut Leech (dalam
terjemahan M.D.D. Oka, 1993:8) mendefinisikan pragmatik sebagai studi
tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech
situations). Leech melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik
yang berkaitan dengan semantik. Pada kesempatan lain, menurut Jenny Thomas
dalam bukunya yang berjudul Meaning in Interaction : an Introduction to
Pragmatics juga memberikan batasan dalam ilmu pragmatik. Menurut Thomas
(1995:22), pragmatik adalah bidang ilmu yang mengkaji makna dalam interaksi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Pengertian tersebut dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses
dinamis yang melibatkan negoisasi antara pembicara dan pendengar serta antara
konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin
dari sebuah ujaran.
Pragmatik mengungkapkan maksud suatu tuturan di dalam peristiwa
komunikasi. Oleh karena itu, analisis pragmatik berupaya menemukan maksud
penutur, baik yang diekspresikan secara tersurat maupun yang diungkapkan
secara tersirat dibalik tuturan. Yule dalam bukunya yang berjudul Pragmatics
menyebutkan beberapa batas ilmu pragmatik. Menurut Yule (2006:4) ilmu
pragmatik mempunyai empat batasan. Keempat batasan itu, yakni:
a. Pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang maksud penutur.
b. Pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang makna kontekstual.
c. Pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang bagaimana agar lebih
banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan.
d. Pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang ungkapan jarak hubungan.
Dari pendapat-pendapat para ahli di atas, secara umum pragmatik
mempelajari tentang maksud yang terkandung dalam sebuah ujaran. Pragmatik
adalah ilmu yang mempelajari maksud dalam ujaran yang diucapkan oleh
seseorang dan bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi
agar tuturannya tersebut dapat dimengerti oleh mitra tuturnya. Dasar dalam ilmu
pragmatik, yaitu hubungan antara bahasa dengan konteks yang melatarbelakangi
bahasa tersebut.Dengan sederhana dapat dikatakan bahwa dalam kajian
pragmatik, bentuk bahasa yang muncul dalam peristiwa komunikasi merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
hasil perpaduan antara maksud, pesan, atau makna komunikasi dengan situasi
atau konteks yang melatarinya.
2. Situasi Tutur
Situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan (Rustono, 1999:25).
Memperhitungkan situasi tutur amat penting di dalam pragmatik. Maksud
tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui situasi tutur yang
mendukungnya. Tidak selamanya tuturan itu secara langsung menggambarkan
makna yang dikandung oleh unsur-unsurnya.
Leech (edisi terjemahan oleh M. D. D. Oka, 1993: 19-20) menjelaskan
mengenai aspek-aspek situasi ujar untuk mengetahui apakah suatu percakapan
tersebut merupakan fenomena atau sistematis. Aspek situasi ujar tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Yang menyapa (penyapa) atau yang disapa (pesapa)
Penyapa adalah orang yang menyapa. Penutur adalah orang yang
bertutur, yaitu orang yang menyampaikan fungsi pragmatis tertentu di dalam
peristiwa komunikasi. Mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran dalm
bertutur.
Orang yang menyapa akan diberi simbol n „penutur‟ orang yang
disapa dengan simbol t „petutur‟. Simbol-simbol ini merupakan singkatan
untuk „penutur/penulis‟ dan „petutur/pembaca‟. Jadi penggunaan penutur dan
petutur tidak membatasi pragmatik pada bahasa lisan saja.
b. Konteks sebuah tuturan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Konteks diartikan sebagai aspek-aspek yang bergantung dengan
lingkungan fisik dan sosial sebagai tuturan. Konteks dapat diartikan juga
sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh
penutur dan membantu petutur menafsirkan makna tuturan.
c. Tujuan sebuah tuturan
Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi
oleh maksud dan tujuan tertentu. Tujuan tuturan adalah sesuatu yang ingin
disampaikan melalui makna yang dimaksud atau maksud penutur
mengucapkan sesuatu. Istilah tujuan dianggap lebih netral daripada maksud,
karena tidak membebani pemakaiannya dengan suatu kemauan atau motivasi
yang sadar, sehingga dapat digunakan secara umum untuk kegiatan-kegiatan
yang berorientasi tujuan.
d. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan tindak ujar
Pragmatik berurusan dengan tindak-tindak atau performasi-performasi
verbal yang terjadi dalam situasi dan waktu tertentu. Dengan demikian
pragmatik menangani bahasa pada tingkatan yang lebih konkret daripada tata
bahasa.
e. Tuturan sebagai produk tindakan verbal
Selain sebagai tindak ujar atau tindak verbal itu sendiri, dalam
pragmatik kata „tuturan‟ dapat digunakan dalam arti yang lain, yaitu sebagai
produk suatu tindak verbal (sentence-instance) atau tanda kalimat (sentence-
token), tetapi bukanlah sebuah kalimat. Maksud yang kedua ini tuturan-
tuturan merupakan unsur-unsur yang maknanya dikaji dalam pragmatik,
sehingga dengan tepat pragmatik dapat digambarkan sebagai suatu ilmu yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
mengkaji makna tuturan. Tindakan verbal adalam tindakan mengekspresikan
kata-kata atau bahasa.
3. Tindak Tutur
Tindak tutur (speech act) merupakan unsur pragmatik yang melibatkan
penutur dan mitra tutur. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti
tindakan dalam tuturannya. Istilah Tindak tutursendiri mulai diperkenalkan
oleh seorang filosof Inggris J.L Austin pada pidato kuliahnya yang
dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul How to do things with words (1962).
Melalui bukunya tersebut, Austin mengemukakan pandangan bahwa bahasa
tidak hanya berfungsi untuk mengatakan sesuatu, bahasa juga dapat digunakan
untuk sesuatu.
Berkaitan dengan tindak tutur, Austin mengemukakan dua terminologi
yang berkaitan dengan teori tindak tutur, yaitu tuturan konstatif (constative)
dan tuturan performatif (performative). Tuturan konstatif adalah tuturan yang
pengutaraannya hanya dipergunakan untuk menyatakan sesuatu. Tuturan
performatif adalah tuturan yang pengutaraanya dipergunakan untuk melakukan
sesuatu. Tindak tutur yang menggunakan kalimat performatif oleh Austin
(1968:100-102) digolongkan dalam tiga peristiwa tindakan, yaitu:
a. Tindak Lokusi (locutionary act)
Tindak lokusi merupakan tindak tutur yang dimaksudkan untuk
menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk
kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Tindak tutur ini disebut
sebagai The Act of Saying Something. Searle (1969) menyebut tindak tutur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
lokusi ini dengan istilah tindak bahasa preposisi (prepositional act) karena
tindak tutur ini hanya berkaitan dengan makna.
b. Tindak Ilokusi (illocutionary act)
Tindak ilokusi merupakan tindak melakukan sesuatu (the act of to
do something). Berbeda dari lokusi, tindak ilokusi merupakan tindak tutur
yang mengandung maksud dan fungsi atau daya tuturan.
c. Tindak Perlokusi (perlocutionary act)
Sebuah tuturan yang diucapkan seseorang sering memiliki efek
atau daya pengaruh (perlocutionary force). Efek yang dihasilkan dengan
mengujarkan sesuatu itulah yang oleh Austin (1962:101) dinamakan tindak
perlokusi. Efek atau daya tuturan itu dapat ditimbulkan oleh penutur secara
sengaja, dapat pula secara tidak sengaja. Tindak tutur yang pengujarannya
dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur inilah yang merupakan
tindak perlokusi.
Leech (dalam M. D. D. Oka, 1993:327-329) mengklasifikasikan tindak
tutur menjadi lima macam, yaitu:
1. Asertif, merupakan tindak tutur yang mengikat penutur pada kebenaran
proposisi yang dituturkan. Misalnya, menceritakan, melaporkan,
mengemukakan, menyatakan, mengumumkan, mendesak.
2. Direktif, merupakan tindak tutur yang dimaksudkan oleh penutur untuk
membuat pengaruh agar mitra tutur melakukan sesuatu tindakan.
Misalnya, memohon, meminta, memberi perintah, menuntut, melarang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
3. Komisif, merupakan tindak tutur yang menyatakan janji atau
penawaran. Misalnya, menawarkan, menawarkan diri, menjanjikan,
berkaul, bersumpah.
4. Ekspresif, merupakan tindak tutur yang berfungsi untuk menunjukkan
sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang sedang dialami oleh
mitra tutur. Misalnya, mengucapkan selamat, mengucapkan terima
kasih, merasa ikut bersimpati, meminta maaf.
5. Deklaratif, merupakan tindak tutur yang menghubungkan isi tuturan
dengan kenyataan. Misalnya, memecat, membabtis, menikahkan,
mengangkat, menghukum, memutuskan.
6. Rogatif, merupakan tindak tutur yang dinyatakan oleh penutur untuk
menanyakan jika bermotif langsung atau mempertanyakan jika bermotif
ragu-ragu, misalnya menanyakan, mempertanyakan, dan menyangsikan.
Sehubungan dengan pengertian tindak tutur atau tindak ujar, maka tindak
tutur dikategorikan oleh Searle menjadi lima jenis (1996: 147-149), yaitu:
a. Asertif (Assertives)
Tindak tutur asertif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya
kepada kebenaran proposisi atas hal yang dikatakannya. Tuturan-tuturan
yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini misalnya, tindak tutur
menyatakan, melaporkan, memprediksi, menunjukkan, dan menyebutkan.
b. Direktif (Directives)
Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dilakukan oleh
penuturnya dengan maksud agar mitra tutur melakukan tindakan yang
disebutkan di dalam tuturan itu atau berharap mitra tutur melakukan sesuatu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini misalnya,
tindak tutur menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, memerintah,
meminta, dan menantang.
c. Komisif (Commisives)
Tindak tutur komisif adalah tindak tutur untuk mengikat penuturnya
pada suatu tindakan yang dilakukannya pada masa mendatang dan
melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam tuturan. Tuturan-tuturan
yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini misalnya, tindak tutur
berjanji, bersumpah, berkaul, menawarkan, menyatakan kesanggupan, dan
mengancam.
d. Ekspresif (Expressives)
Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dilakukan dengan
maksud agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang
disebutkan dalam tuturan untuk mengungkapkan sikap psikologis penutur
terhadap suatu keadaan. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis
tindak tutur ini misalnya, tindak tutur memuji, mengucapkan terima kasih,
meminta maaf, mengucapkan selamat, mengkritik, dan mengeluh.
e. Deklarasi (Declarations)
Tindak tutur deklarasi adalah tindak tutur yang dilakukan penutur
dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya)
yang baru. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini
misalnya, tindak tutur memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan,
dan mengangkat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Adapun jenis-jenis tindak tutur yang lain adalah tindak tutur langsung
dan tidak langsung, serta tindak tutur literal dan tidak literal. George Yule
(1996:54-56) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tindak tutur langsung
dan tidak langsung adalah sebagai berikut:
a. Tindak Tutur Langsung dan Tidak Langsung
1) Tindak Tutur Langsung
Menurut George Yule (1996:54-55), tindak tutur langsung terjadi
apabila ada hubungan antara struktur dengan fungsi. Jadi tindak tutur
langsung adalah bentuk deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu
pernyataan.
Sebuah tuturan dapat diungkapkan secara langsung maupun tidak
langsung, seperti dalam I Dewa Putu Wijana (1996: 29) yang
mengatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengandung arti yang
sebenarnya dan berfungsi untuk menyatakan informasi secara langsung
karena modusnya adalah kalimat berita (deklaratif). Sebuah tuturan juga
mungkin saja merupakan pengungkapan secara tidak langsung karena
maksud memerintah yang diutarakan dengan kalimat berita.
Berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita
(deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif)
(I Dewa Putu Wijana, 1996:30). Secara konvensional kalimat berita
digunakan untuk memberitakan sesuatu (informasi), kalimat tanya untuk
menanyakan sesuatu, kalimat perintah untuk menyatakan perintah,
ajakan, permintaan, atau permohonan. Apabila kalimat berita, kalimat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Tanya, dan kalimat perintah difungsikan secara konvensional maka akan
membentuk tindak tutur langsung (direct speech act).
2) Tindak Tutur Tidak Langsung
Tindak tutur tidak langsung terjadi apabila ada hubungan tidak
langsung dengan fungsi. Jadi tindak tutur tidak langsung adalah bentuk
deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu permohonan (George
Yule, 1996:55).
I Dewa Putu Wijana (1996: 30) mengatakan bahwa tindak tutur
tidak langsung dapat digunakan untuk berbicara secara sopan, seperti
halnya kalimat perintah dapat diutarakan dengan kalimat tanya agar
orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah.
b. Tindak Tutur Literal dan Tidak Literal
1) Tindak Tutur Literal
Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang
maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya.
2) Tindak Tutur Tidak Literal
Tindak tutur tidak lateral (nonliteral speech act) adalah tindak
tutur yang maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan makna
kata-kata yang menyusunnya (I Dewa Putu Wijana, 1996:32).
4. Tindak Tutur Mengkritik
Hoang Thi Xuan Hoa (2007: 144) menyatakan bahwa criticizing is
sometimes performed to vent the speaker’s negative feeling or attitude to the
hearer or the hearer’s work,choice, behaviour, etc.(Kritik diungkapkan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
menyatakan perasaan negatif atau sikap negatif penutur terhadap petutur atau
terhadap kinerja, pilihan perilaku petutur, dan sebagainya). Menurutnya,
mengkritik mempunyai dua fungsi utama, yaitu menunjukkan perilaku yang
dianggap negatif yang dilakukan petutur dan meminta supaya petutur
melakukan perbaikan.
Menurut Rustono (1999: 39) dan Brown dan Levinson (1987:66),
tindak tutur mengkritik termasuk dalam tindak tutur ekspresif. Sebagaimana
dijelaskan Searle, tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang
mengekspresikan sikap atau keadaan psikologis penutur. Karena termasuk
kategori tindak tutur ekspresif, maka Brown dan Levinson (1987:66)
memasukkan mengkritik sebagai tindak tutur yang mengancam muka positif.
Tindak tutur mengkritik tampaknya tidak dapat dimasukkan ke dalam
salah satu kategori atau taksonomi yang dikemukakan oleh Austin, Searle
atau yang lain. Ini dikarenakan tindak tutur mengkritik merupakan kompilasi
dari berbagai ekspresi, seperti ketidaksetujuan, evaluasi negatif, statemen
tentang tindakan yang salah, dan saran untuk perubahan. Dengan kata lain,
tindak tutur mengkritik cenderung merupakan tindak tutur kompleks
(complex speech act). Pandangan ini sesuai dengan pandangan yang
dikemukakan Nguyen (2005:14), bahwa tindak tutur mengkritik tidak dapat
dimasukkan ke dalam salah satu klasifikasi yang dibuat siapapun, termasuk
klasifikasi Searle. Menurut Nguyen, tindak tutur mengkritik dapat terbentuk
dari berbagai tindak tutur yang berbeda-beda yang masing-masing membawa
daya ilokusi yang berbeda pula dan tidak ada satupun yang merupakan tindak
utama (inti). Sebagai contoh, mengkritik dapat merupakan kompilasi dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
ekspresi ketidaksetujuan, evaluasi negatif, statemen tentang tindakan salah,
dan saran untuk perbaikan.
Tindak tutur mengkritik merupakan tindakan ilokusi yang titik
ilokusinya adalah untuk memberikan evaluasi negatif atas tindakan, pilihan,
kata-kata, dan produk yang menjadi bertanggung jawab petutur. Tindakan ini
dilakukan dengan harapan mempengaruhi tindakan petutur di masa depan
untuk perbaikan mitra tutur (H), dilihat oleh penutur (S) sebagai alat
berkomunikasi. Ketidakpuasan penutur (S) dengan atau tidak menyukai
mengenai apa yang telah dilakukan mitra tutur (H), akan membawa
konsekuensi yang tidak diinginkan untuk penutur (S) (Nguyen, 2008: 45).
Nguyen bertolak pada pandangan mengkritik yang dikemukakan oleh
Wierzbicka. Dijelaskan bahwa tindak tutur mengkritik adalah tindak ilokusi
yang ilokusi poinnya adalah untuk memberikan evaluasi negatif terhadap
tindakan, pilihan, kata-kata dan produk-produk yang menjadi tanggung jawab
penutur. Mengkritik dalam konteks ini berarti memberikan komentar, baik
berupa pendapat, saran, masukan maupun sanggahan kepada seseorang.
Kritik dilakukan dengan harapan dapat mempengaruhi tindakan petutur pada
masa yang akan datang agar menjadi lebih baik dan manfaatnya ada pada
petutur sendiri. Kritik juga dilakukan untuk menyampaikan ketidakpuasan
atau ketidaksukaan penutur mengenai apa yang dilakukan petutur tetapi tanpa
menyiratkan bahwa apa yang dilakukan petutur memiliki konsekuensi yang
tidak diinginkan bagi penutur. Nguyen (2005:7) berpendapat mengenai
pengertian tindak tutur mengkritik yang diadaptasi dari Wierzbicka (1987)
dan Olshatai dan Weinbach:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
A criticsm is defined as an illocutionary act whose
illocutionary point is to give negative evaluation on H’s
actons, choice, word, and prodects for which he or she may be
held responsible. This act is performed in hope of influencing
H’s future actions for the better for his or her own benefids as
viewed by S or to communicate S’s dissatidfaction/ discontent
with or dislike regarding what H has done but without the
implicature that H has done brings undesirable qonsequences
for S.
Tindak tutur mengkritik sendiri dibagi menjadi dua, yaitu tindak tutur
mengkritik langsung dan tidak langsung.
1) Mengkritik Langsung adalah kritik yang secara eksplisitmenunjukkan
masalah denganpilihan, tindakan, dan kinerja dari H.
No. Tipe Karakteristik
a. Penilaian Negatif Pada umumnya diekspresikan melalui
evaluasi baik evaluasi negatif maupun
positif.
b. Pencelaan Menggambarkansikappenuturterhadappilihan
H (mitra tutur).
c. EkspresiPertentangan Umumnya diekpresikan dengan kata negasi
„Tidak‟, performatif „Saya tidak setuju‟ atau
tanpa performatif tersebut atau dengan
melalui argumen terhadap H (mitra tutur).
d. Pernyataan Masalah Kesalahan ataumasalah yang ditemukan
menyatakan pilihan H (mitra tutur).
e. Pernyataan Kesulitan Biasanya dinyatakan dengan struktur seperti
„Saya merasasulit mengerti‟, „Sulituntuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
memahami...‟.
f. Konsekuensi Peringatan tentang konsekuensi negatif atau
efek negatif pilihanH, untuk H (mitra
tutur)dirinya sendiri atau untuk publik.
Sumber: Nguyen, 2008: 47-48
2) Mengkritik tidak langsung adalah kritik yang menyiratkanmasalah
denganpilihan, tindakan, kinerja, atauproduk dari H (mitra tutur)., dengan
memperbaikiH, menunjukkanaturan danstandar, memberikan nasihat,
menunjukkan atau bahkan meminta dan menuntut perubahan kerja atau
pilihan H, dan dengan cara jenis yang berbeda dari petunjuk untuk
meningkatkan kesadaran H dari ketidaktepatan pilihan H (mitra tutur).
No. Tipe Karakteristik
a. Koreksi Termasuk semua ujaran yang memiliki
tujuan memperbaiki kesalahan dengan
menegaskan alternatif khusus untuk
pilihanH (mitra tutur).
b. MenunjukkanStandar Biasanya dinyatakan sebagai
kewajiban kolektif dan bukan suatu
kewajiban bagi pribadi H atau sebagai
aturan S (penutur) yang berpikir
umumnya disepakati dan diterapkan
untuk semua.
c. Tuntutan Perubahan Biasanya diekspresikan melalui
struktur seperti „Anda harus‟, „itu
adalah wajib bahwa‟atau „Anda
diminta‟ atau „Anda perlu‟.
d. Permintaan Perubahan Biasanya diekspresikan melalui
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
struktur seperti „Ya...?‟, „Bisa...?‟,
„Kan. ..?‟, atau imperatif (dengan atau
tanpa penanda kesantunan), atau ingin-
pernyataan, atau tanpa adanya struktur
tersebut melainkan menggunakan
permintaan perubahan.
e. Nasihat Perubahan Biasanya diungkapkan melalui ujaran
„Saya menyarankan Anda..‟, Atau
struktur dengan„ Seharusnya‟, dengan
atau tanpa ujaran tersebut.
f. Saran Perubahan Biasanya dinyatakan melalui
performatif „Saya menyarankan
agar...‟, seperti „Anda bisa‟, „itu akan
lebih baik jika‟ atau “kenapa tidak
Anda‟, atau tanpa ujaran tersebut.
g. EkspresiKetidakpastian Ungkapan untuk mengekspresikan
ketidakpastian S dan untuk
meningkatkan kesadaran H dari
ketidaktepatan pilihanH (mitra tutur).
h. Mengajukan/Mengandaik
an
Pertanyaan retorik untuk
meningkatkan kesadaran H dari dalam
kesesuaian pilihan H (mitra tutur).
i. Petunjuklain Termasuk jenis lain dari petunjuk yang
bukan milik kedua-duanya. Mungkin
termasuk sarkasme.
Sumber: Nguyen, 2008: 47-48
5. Strategi Kesantunan Brown Levinson
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Kesantunan berbahasa merupakan kesantunan yang digunakan
penutur untuk mengurangi derajat perasaan tidak senang atau sakit hati
sebagai akibat tuturan yang diungkapkan oleh penutur. Strategi kesantunan
berbahasa adalah cara atau strategi yang secara sadar maupun tidak sadar
dipergunakan oleh seorang penutur dalam rangka mengurangi akibat tidak
menyenangkan dari tuturannya terhadap mitra tuturnya (Nadar, F.X.
2009:251).
Brown dan Levinson dalam bukunya yang berjudul Politeness Some
Universal in Language Usage, menjelaskan tentang konsep muka „face‟
penting dalam kajian penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi. Brown dan
Levinson memberikan batasan tentang konsep muka. Muka adalah „face‟ atau
citra diri yang dimiliki oleh setiap warga masyarakat yang senantiasa dijaga,
dihormati, dan tidak dilanggar dalam proses pertuturan antarpeserta tutur.
Tindakan pengancaman muka adalah tindak tutur yang secara alamiah
berpotensi untuk melukai citra atau muka „face‟ lawan tutur dan oleh karena
itu dalam pengutaraannya harus digunakan strategi-strategi tertentu.
Kata “strategi” dalam strategi kesantunan berbahasa tidak selalu
mengandung arti usaha sadar untuk berperilaku sopan melainkan juga
merujuk pada ungkapan-ungkapan berbahasa yang bersifat rutin serta
mengacu pada upaya berbicara secara sopan. Oleh karena itu, seorang penutur
menghadapi sejumlah plihan sebelum membuat tuturan yang melanggar muka
negatif ataupun muka positif lawan tutur.
Menurut Brown dan Levinson, sebuah tindak tutur dapat mengancam
muka mitra tuturnya. Tindak tutur tersebut disebut sebagai face-threatening
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
act (FTA). Untuk mengurangi ancaman terhadap muka mitra tutur, muka
penutur hendaknya menggunakan strategi kesantunan. Muka citra diri yang
bersifat umum yang ingin dimiliki oleh setiap warga masyarakat, meliputi
dua aspek yang saling berkaitan dengan muka negatif dan muka positif.
a. Muka positif, yaitu muka yang mengacu pada citra diri orang yang
berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, atau apa
yang merupakan nilai-nilai yang diyakininya diakui orang sebagai suatu
hal yang baik, menyenangkan, patut dihargai, dan seterusnya.
Contoh:
(1) Saya senang dengan kejujuran Anda.
(2) Sekarang kejujuran itu tidak menjamin kesuksesan.
Tuturan (1) merupakan tuturan yang santun karena menghargai apa yang
dilakukan mitra tuturnya, sedangkan tuturan (2) kurang santun karena
tidak menghargai apa yang dilakukan mitra tuturnya.
b. Muka negatif, yaitu muka yang mengacu pada citra diri orang yang
berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan penutur membiarkannya
bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan
mengerjakan sesuatu.
Contoh:
- Jangan tidur terlalu malam, nanti bangunnya kesiangan!
Tuturan tersebut merupakan tuturan yang tidak santun karena penutur
tidak membiarkan mitra tuturnya bebas melakukan apa yang sedang
dikerjakannya. Ketidaksantunan tuturan itu menyangkut muka negatif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Kesantunan yang berkenaan dengan muka negatif dinamakan kesantunan
negatif.
FTA (Face Threatening Act) yang mengancam muka negatif lawan
tutur, menurut Brown dan Levinson (1987:66), antara lain meliputi:
a. Tindakan yang mengakibatkan lawan tutur menyetujui atau menolak
melakukan sesuatu, seperti ungkapan mengenai: orders and requestsm
suggestions, advice, remindings threats, warnings, deres (memerintah,
meminta, memberi saran, memberi nasihat, mengingatkan, mengancam,
memperingatkan, dan menentang):
b. Tindakan yang mengungkapkan upaya penutur melakukan sesuatu
terhadap lawan tutur dan memaksa lawan tutur untuk menerima atau
menolak tindak tersebut, seperti ungkapan mengenai offers, promises
(menawarkan dan berjanji);
c. Tindakan yang mengungkapkan keinginan penutur untuk melakukan
sesuatu terhadap lawan tutur atau apa yang dimiliki oleh lawan tutur,
seperti ungkapan mengenai compliments, espressions of strong (negative)
emotions toward H-e.g. hatred, anger (pujian atau memberi ucapan
selamat, mengagumi, membenci dan marah).
Brown dan Levinson (1987:67-68) menyatakan bahwa FTA yang
berpotensi mengancam muka negatif penutur antara lain meliputi tindak
mengungkap dan menerima ucapan terima kasih, melakukan pembelaan,
menerima tawaran, merespon perbuatan lawan tutur yang memalukan, dan
melakukan janji atau tawaran yang tidak diinginkan penutur. Sementara itu,
tindakan yang mengancam muka positif penutur, menurut Brown dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Levinson (1987:68) antara lain terdiri atas tindakan meminta maaf, menerima
ucapan selamat, melakukan tindakan fisik yang memalukan merendahkan diri
dan mengakui kesalahan.
Di samping itu, strategi kesantunan Brown dan Levinson tidak
berkenaan dengan kaidah-kaidah, tetapi menyangkut strategi-strategi. Brown
dan Levinson (1987:69) menyatakan bahwa dalam melakukan FTA, seorang
dapat menggunakan salah satu atau lebih dari lima strategi yang ditawarkan,
yaitu: melakukan FTA secara langsung (on record), menggunakan strategi
kesantunan positif, menggunakan strategi kesantunan negatif, melakukan
FTA secara tidak langsung (off record), dan tidak melakukan FTA (diam
saja).
a. Melakukan tindak tutur secara apa adanya, tanpa basa basi
(baldonrecord)
Seorang pelaku dapat dikatakan bertanggung jawab terhadap
tindakan A yang dilakukannya, seandainya jelas bagi semua peserta tujuan
tuturan apa yang menyebabkan pelaku melakukan tindakan A, yaitu hanya
ada satu tujuan tuturan yang pada situasi pertuturan tersebut dipahami oleh
peserta pertuturan. Misalnya saya mengatakan “Saya dengan ini berjanji
bahwa saya akan datang besok” dan seandainya para peserta tutur sama-
sama memahami bahwa dengan mengatakan itu jelas-jelas saya mengatakan
keinginan saya bertanggung jawab untuk melakukan hal tersebut, maka saya
gunakan istilah, saya secara on record melakukan janji tersebut.
Seandainya penutur memutuskan memilih membuat tuturannya
secara on record maka penutur masih harus menentukan apakah penutur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
harus membuat tuturan secara lugas tanpa usaha menyelamatkan muka
lawan „baldly without redress’. Definisi mengenai baldly without redress
adalah melakukan tindakan secara lugas, tanpa usaha penyelamatan muka
berarti melakukan tindakan tersebut dengan cara yang paling langsung,
jelas, tegas dan ringkas (misalnya untuk meminta seseorang, cukup
mengatakan „Kerjakan X‟). Tindakan semaacam ini biasanya dilakukan
manakala penutur tidak mempedulikan akan adanya sanksi pembalasan dari
mitra tutur, misalnya dalam situasi di mana (a) penutur dan mitra tutur
sama-sama menyadari bahwa karena hal-hal yang bersifat mendesak maka
hal-hal yang terkait dengan muka dapat ditangguhkan terlebih dahulu (b)
bilamana ancaman terhadap muka mitra tutur sangatlah kecil, misalnya
untuk tindakan terkait dengan penawaran, permintaan, saran dan lain
sebagainya yang jelas-jelas mengacu pada kepentingan lawan dan tidak
memerlukan pengorbanan yang besar pada pihak penutur, dan (c) dimana
penutur mempunyai kekuasaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan mitra
tutur, atau penutur memperoleh dukungan luas untuk melakukan tindakan
yang mengancam muka mitra tutur tanpa harus kehilangan mukanya sendiri.
Seandainya penutur memutuskan bahwa dirinya menghendaki
perlunya mengurangi perasaan kurang senang mitra tuturnya maka penutur
tersebut harus melakukan redressive action „tindakan penyelamatan muka‟.
Tindakan penyelamatan muka mitra tutur ini diperlukan karena penutur
biasanya berkeinginan untuk menjaga kelangsungan hubungan yang
harmonis dengan mitra tuturnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Tindakan penyelamatan muka adalah tindakan yang „memberikan
muka‟ kepada mitra tutur, yang berusaha untuk menangkal rasa kurang
senang mitra tutur akibat dari tindakan yang kurang menyenangkan dengan
cara melakukan penambahan dan perubahan tuturan sedemikian rupa yang
dapat menunjukkan secara jelas kepada mitra tutur bahwa keinginan untuk
melakukan tindakan yang kurang menyenangkan tersebut sebenarnya tidak
dikehendaki atau tidak dimaksudkan sama sekali oleh penutur, dan bahwa
penutur sebenarnya memahami keinginan mitra tutur dan penutur sendiri
menginginkan keinginan mitra tutur tersebut dapat tercapai. Tindakan
penyelamatan muka tersebut terwujud dalam dua bentuk tergantung aspek
muka (negatif atau positif) yang diberi tekanan S=Penutur, H=Mitra tutur.
b. Kesantunan Positif
Brown dan Levinson (1987) dalam bukunya yang berjudul
Politeness Some Universals in Language Usage memberikan batasan
mengenai kesantunan positif. Kesantunan positif adalah kesantunan yang
diasosiasikan dengan muka positif mitra tutur, yaitu keinginan agar penutur
dihargai dan dipahami keinginannya. Pada hakikatnya kesantunan positif
ditujukan terhadap muka positif mitra tutur, yaitu citra positif yang dianggap
dimiliki oleh mitra tutur, yaitu citra positif yang dimiliki oleh mitra tutur.
Kesantunan positif berupa pendekatan yang menorehkan kesan pada muka
mitra tutur bahwa pada hal-hal tertentu penutur juga mempunyai keinginan
yang sama dengan mitra tutur (yaitu dengan memperlakukannya sebagai
anggota kelompok, sahabat, sebagai seseorang yang keinginannya maupun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
seleranya dikenal dan disukai). Untuk mengurangi kekecewaan mitra tutur,
Brown dan Levinson (1987:103-129) strategi-strategi sebagai berikut :
1) Strategi 1: Notice attend to H (his interest, wants, deeds, goods
(Memperhatikan minat, keinginan, kelakuan, barang-barang mitra tutur).
Penggunaan strategi ini misalnya penutur memperhatikan kondisi mitra
tutur yang meliputi segala perubahan secara fisik, kepemilikan barang-
barang tertentu dan lain-lain.
Contoh : “Wah, baru saja potong rambut ya…..Omong-omong saya
datang untuk meminjam sedikit tepung terigu.”
2) Strategi 2: Exaggerate (interest, approval, sympathy with H) (“Melebih-
lebihkan rasa ketertatikan, persetujuan, simpati terhadap mitra tutur”)
Contoh : “Kebun Anda betul-betul luar biasa.”
3) Strategi 3: Intensify interest to H (“Meningkatkan rasa tertarik terhadap
mitra tutur”)Misalnya pada suatu interaksi, penutur suka menyelipkan
sisipan ungkapan dan juga pertanyaan-pertanyaan yang tujuannya hanya
untuk membuat mitra tutur lebih terlihat pada interaksi tersebut.
Contoh :“Anda tahu kan.”
4) Strategi 4: Use in group identity markers (“Menggunakan penanda yang
menunjukkan kesamaan jati diri atau kelompok”)
Contoh : “Bantu saya membawa tas ini ya nak?”
5) Strategi 5: Seek agreement (“Mencari dan mengusahakan persetujuan
dengan mitra tutur”)
Contoh :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
A : “Dalam perjalanan pulang ban saya kempes”
B : “Masa Allah, bannya kempes”
6) Strategi 6: Avoid disagreement (“Menghindari pertentangan dengan mitra
tutur”)
Contoh :
A : “Bagaimanakah dia, badannya kecil?”
B : “Ya, memang kecil, tapi sebenarnya tidak terlalu kecil dan tidak
juga terlalu besar.”
7) Strategi 7: Presuppose/raise/assert common ground
(“Mempresuposisikan atau menimbulkan persepsi sejumlah persamaan
penutur dan mitra tutur”)
Contoh :
A : Oh, this cut hurts owfully, Mum (“Oh luka ini sakit sekali, ma”)
B : Yes dear, it hurts terribly, I know (“Ya sayang, memang sakit
sekali, saya tahu”)
8) Strategi 8: Joke (“Membuat lelucon”)
Contoh : “Tidak masalah kan, kalau kue itu saya habisi saja?”
9) Strategi 9: Assert or presuppose S`s knowledge of and concern for H`s
wants (“Mempresuposisikan atau membuat persepsi bahwa penutur
memahami keinginan mitra tuturnya”)
Contoh : “Ya, saya tahu kamu tidak suka pesta, tetapi pesta ini betul-
betul baik. Datanglah!”
10) Strategi 10: Offer, promise (“Membuat penawaran dan janji”)
Contoh : “Saya akan singgah kapan-kapan minggu depan.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
11) Strategi 11: Be optimistic (“Menunjukkan rasa optimisme”)
Contoh : “Anda pasti dapat meminjamkan mesin pemotong rumput akhir
pekan ini, saya yakin.”
12) Strategi 12: Include both S and H in the activity (“Berusaha melibatkan
mitra tutur dan penutur dalam suatu kegiatan tertenti. Bisa kan?”)
Contoh : “Kami perlu istirahat.”
13) Strategi 13: Give (or ask for) reasons (“Memberikan dan meminta
alasan”)
Contoh : Bagaimana kalu saya bantu membawa koper Anda
14) Strategi 14: Assume or assert reciprocity (“Menawarkan suatu tindakan
timbal balik, yaitu kalau mitra tutur melakukan X maka penutur akan
melakukan Y”)
Contoh : “Saya akan meminjamkan buku novel saya kalau Anda
meminjami saya artikel Anda.”
15) Strategi 15: Give sympathy to H (“Memberikan rasa simpati kepada mitra
tutur”)
Contoh : “Kalau ada yang dapat saya lakukan untuk Anda, mohon saya
diberitahu.”
c. Kesantunan Negatif
Kesantunan negatif adalah keinginan yang diasosiasikan dengan
muka negatif mitra tutur, yaitu keinginan agar penutur tidak dilanggar hak-
haknya oleh mitra tutur. Kesantunan negatif pada hakikatnya ditujukan
terhadap bagaimana memenuhi atau menyelamatkan sebagian muka negatif
mitra tutur, yaitu keinginan dasar mitra tutur untuk mempertahankan apa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
yang dianggap sebagai wilayah dan keyakinan dirinya. Jadi, pada dasarnya,
strategi kesantunan negatif mengandung jaminan dari mitra tutur bahwa
penutur mengakui, menghormati dan seandainya terpaksa melakukan
pelanggaran, maka akan berusaha untuk sedikit mungkin melakukan
pelanggaran tersebut (keinginan muka negatif mitra tutur dan tidak akan
mencampuri atau pun melanggar kebebasan bertindak mitra tutur). Untuk
mengurangi pelanggaran terhadap muka negatif mitra tutur, Brown dan
Levinson (1987:130-210) menawarkan sepuluh strategi-strategi sebagai
berikut:
1) Strategi 1:Be conventionally indirect (“Mengurangi Ungkapan secara
tidak langsung sesuai konvensional masyarakat yang bersangkutan”)
Contoh :“Tolong ambilkan garamnya!”
2) Strategi 2: hedge (“Gunakan bentuk pertanyaan dengan partikel
tertentu”)
Contoh : “Saya minta tolong, bisakan?”
3) Strategi 3:Be pessimistic (“Lakukan secara hati-hati dan jangan terlalu
optimistik”)
Contoh : “Mungkin Anda dapat membantu saya.”
4) Strategi 4: Minimise the imposition (“Kurangilah kekuatan atau daya
ancaman terhadap muka mitra tutur”)
Contoh : “Bolehkah saya mencicipi kue itu sedikit saja?”
5) Strategi 5: Give deference (“Beri penghormatan”)
Contoh : “Maaf pak, apakah Bapak keberatan kalau saya menutup
jendela?”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
6) Strategi 6: Apologize (“Gunakan permohonan maaf”)
Contoh : “Maaf mengganggu Anda, tetapi……”
7) Strategi 7: Impersonalize S and H (“Jangan menyebutkan penutur dan
mitra tutur”)
Contoh : “Keluarkan bawang itu”
8) Strategi 8: State the FTA as a general rule (“Nyatakan tindakan
mengancam muka sebagai suatu ketentuan sosial yang umum berlaku”)
Contoh : “Johnny, kita tidak duduk di meja, kita duduk di kursi.”
9) Strategi 9: Nominalize (“Nominalkan pernyataan”)
Contoh : “Prestasi Anda dalam ujian sangat mengesankan kami.”
10) Strategi 10: Go on records as incurring a debt, or as not indebting H
(“Nyatakan secara jelas bahwa penutur telah memberikan kebaikanm
(hutang) atau tidak kepada mitra tutur”)
Contoh : “Saya dapat mengerjakan hal ini dengan mudah untuk Anda.”
d. Melakukan tindak tutur secara tidak langsung (offrecord)
Realisasi linguistik dari tindakan off record antara lain meliputi
penggunaan metafora dan ironi, pertanyaan retoris, penyederhanaan
masalah, tautologi, dan semua ungkapan yang dikemukakan secara tidak
langsung oleh penutur sehingga membuka peluang untuk diinterpretasikan
secara berbeda-beda.
Brown dan Levinson (1987:213-227) menawarkan lima belas
strategi-strategi secara tidak langsung (offrecord) sebagai berikut :
1) Strategi 1: givehints (memberi isyarat).
Contoh : “Wah, saya haus sekali.”(=Berikan saya minum)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
2) Strategi 2: give association clues (memberi petunjuk asosiasi).
Cntoh : “Kamu pulang lewat pasar Minggu, nggak?” (=Kamu bawa
mobil. Aku mau numpang sampai Pasar Minggu)
3) Strategi 3: presuppose (menggunakan prasuposisi).
Contoh : “Aku traktir lagi, nih?” (Sebelumnya sudah mentraktir temannya).
4) Strategi 4: understate (menggunakan ungkapan yang lebih halus)
Contoh : “Dia kurang pandai di sekolah.” (=Dia bodoh, tidak pandai)
5) Strategi 5: overstate (menggunakan ungkapan yang berebihan)
Contoh : “Aku telepon ratusan kali,kok nggak jawab!”
6) Strategi 6: usetautologies (menggunakan tautologi).
Contoh : “Kamu kemarin kok nggak datang, sih.Janji tinggal janji.”
7) Strategi 7: use contradictions (menggunakan kontradiksi).
Contoh : “Ah, saya nggak apa-apa. Kecewa, tidak. Nggak kecewa, juga
tidak.”
8) Strategi 8: use ironic (menggunakan ironi).
Contoh : “Kamu selalu datang tepat waktu, ya.”(=Kamu selalu datang
terlambat)
9) Strategi 9: use metaphors (menggunakan metafora).
Contoh : “Wah, kamu ini kuda, ya?”(=Kamu tidak mengenal lelah)
10) Strategi 10: use rethorical questions (menggunakan pertanyaan retorik).
Contoh : “Aku harus ngomong apa lagi?” (=Sudah aku jelaskan panjang
lebar, kamu tetap tidak mengerti)
11) Strategi 11: be ambiguous (menggunakan ungkapan yang ambigu).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Contoh : “Wah, ada yang baru menang lotere, nih!”(=Tak jelas
maknanya, tergantung konteks).
12) Strategi 12: be vague (meggunakan ungkapan yang samar-samar).
Contoh : “Kamu tahu kan, aku pergi kemana?”
13) Strategi 13: over generalize (menggunakan generalisasi yang
berlebihan).
Contoh : “Kamu itu gampang sekali nangis. Orang dewasa kan nggak
begitu!”
14) Srategi 14: displace H (tidak mengacu ke mitra tutur secara langsung).
Contoh : “Tito, bawakan koper Ayah, ya!” (=Tito masih balita, istrinya
yang datang, membawakan koper).
15) Strategi 15: be incomplete, use ellipsis (menggunakan ungkapan yang
tidak lengkap).
Contoh : “Aduh panasnya….. .” (=Aduh panasnya ruangan ini. Tolong
AC nya dinyalakan).
e. Strategi diam
Strategi diam ini dilakukan oleh penutur untuk menanggapi ujaran
laim yang kurang pantas jika dijawab, sehingga dengan diam penutur
menunjukkan kesantunan daripada menjawab atau melakukan tindak tutur
tertentu. Untuk kepentingan analisis dan sebagai keefektifan dalam
mempergunakan teori, maka di dalam penelitian ini penulis hanya meneliti
jenis tindak tutur mengkritik dan strategi kesantunan menurut Brown
Levinson.
6. Acara Sentilan Sentilun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Acara Sentilan Sentilun adalah sebuah acara yang ditayangkan Metro
TV setiap senin pukul 21.30 WIB. Tokoh dalam acara ini adalah tokoh
rekaan yang dimainkan secara apik oleh aktor Butet Kartaredjasa dan Slamet
Rahardjo. Acara Sentilan Sentilun membahas gonjang-ganjing suasana
perpolitikan di indonesia dari sudut pandang tersendiri. Acara ini dibuat
sedemikian rupa sehingga tema politik yang berat sekalipun akan dibawakan
dengan gaya yang kocak dan ringan mudah untuk dicerna oleh orang awam
sekalipun. Celetukan-celetukan yang panas, mungkin dapat memerahkan
telinga para politisi di Indonesiapun tidak terlalu kentara tetapi cukup telak
mengenai sasaran.
Acara Sentilan Sentilun bersetting di sebuah kediaman seorang yang
kaya raya dan ningrat dari Jawa, seorang Ndoro atau majikan bernama
Sentilan yang diperankan oleh Slamet Raharjo dan seorang batur atau
pembantunya bernama Sentilun yang diperankan oleh Butet Jogja atau Butet
Kertaradjasa. Celetukan-celetukan Sentilun yang polos dan sok tahu cukup
membantu untuk melihat gambaran perpolitikan ala rakyat indonesia pada
umumnya. Sentilun disini digambarkan sebagai wong cilik, seorang batur atau
pembantu yang ceriwis kritis dan selalu ingin tahu. Dia menyentil lawan
bicaranya dengan gayanya yang ceplas-ceplos dan sok tahu. Sentilun adalah
gambaran seorang rakyat jelata yang sadar akan politik.
Celetukan dan kritik pedas Sentilun bisa menjadi obat kesumpekan
karena morat-maritnya keadaan di dalam negeri serta sebagai pendidikan
politik yang murah meriah bagi rakyat Indonesia. Sehingga rakyat tidak
hanya disuguhi sinetron yang ceritanya itu-itu saja, acara-acara komedi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
kurang mendidik, berita kasus korupsi yang tidak ada habisnya lalu kemudian
hilang lalu ada lagi kemudian hilang lagi, namun ikut diajak menertawakan
wakil-wakilnya yang ada di legislatif, pejabat-pejabatnya di eksekutif dan
penegak-penegak hukumnya di lembaga yudikatif.
C. Kerangka Pikir
Kerangka pikir adalah sebuah cara kerja yang dilakukan oleh penulis
untuk menyelesaikan permasalahan yang akan diteliti. Objek kajian penelitian ini
adalah tindak tutur mengkritik dan strategi kesantunan berbahasa. Sumber data
dalam penelitian ini adalah acara Sentilan Sentilun. Dari sumber data akan
diperoleh data penelitian berupa dialog percakapan dari pembawa acara dan
narasumber yang mengandung tindak tutur mengkritik dan strategi kesantunan
berbahasa. Dialog dalam acara Sentilan Sentilun akan dianalisis menggunakan
teori tindak tutur mengkritik dari Nguyen dan strategi kesantunan berbahasa dari
Brown dan Levinson. Dari tindak tutur mengkritik tersebut akan diidentifikasikan
dalam bentuk strategi tindak tutur mengkritik langsung dan strategi tindak tutur
mengkritik tidak langsung.
Kerangka berpikir yang terkait dalam penelitian ini secara garis besar
dilukiskan pada bagan di bawah ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Acara Sentilan Sentilun
Tindak TuturMengkritik
Strategi Kesantunan
Berbahasa
Tindak Tutur
Mengkritik
Langsung
Tindak Tutur
Mengkritik Tidak
Langsung
Dialog Narasumber, Pembawa Acara dan Pemain Figuran dalam
Acara Sentilan Sentilun di Metro TV yang Mengandung Tindak
Tutur Mengkritik dan Strategi Kesantunan
1. Penilaian
Negatif
2. Pencelaan
3. Ekspesi
Pertentangan
4. Pernyataan
Masalah
5. Pernyataan
Kesulitan
6. Konsekurnsi
7.
8.
1. Koreksi
2. Menunjukan Standar
3. Tuntutan Perubahan
4. Permintaan Perubahan
5. Nasihat Perubahan
6. Saran Perubahan
7. Ekspresi
Ketidakpastian
8. Mengajukan/
Mengandaikan
9. Petunjuk Lain
1. Bald On Record
2. Kesantunan
Positif
3. Kesantunan
Negatif
4. Kesantunan
Samar-Samar
(Off Record)