bab ii kajian pustaka dan kerangka pikir a. tinjauan … · makalah ini menggunakan parameter...

37
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Terdahulu Beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang sejenis dan relevan dengan penelitian yang dilakukan peneliti dalam upaya menyusun skripsi adalah sebagai berikut. Asim Gunarwan (1997) dengan judul “The Speech Act of Critizing among Speakers of Javanese” dalam bentuk makalah. Penelitian ini mengkaji tindak tutur mengkritik dalam bahasa Jawa. Tujuan yang ingin dicapai dalam pembahasannya itu ialah melihat bagaimana tindak tutur mengkritik direalisasikan dalam masyarakat Jawa, strategi-strategi seperti apa yang pada umumnya digunakan, apakah variabel umur, pendidikan, dan dialek memberikan warna terhadap pemilihan strategi mengkritik. Metode yang digunakan oleh Asim Gunarwan adalah metode kuantitatif dengan mengambil responden dari Jawa Timur dan Jawa Tengan sebanyak 142 responden. Parameter yang digunakan ada tiga hal, yaitu (a) ± power (kekuasaan), (b) ± solidaritas, dan c) ± formalitas. Berdasarkan kajiannya itu, Asim Gunarwan memperoleh hasil sebagai berikut. Pertama, strategi mengkritik yang paling tinggi skornya di antara kelima strategi yang ada berarti strategi yang paling banyak digunakan di kalangan masyarakat Jawa adalah strategi terus terang plus kesantunan negatif. Skor di bawahnya adalah strategi terus terang dengan kesantunan positif. Skor di bawahnya lagi secara berturut-turut adalah strategi terus terang tanpa upaya penyelamatan muka, strategi samar-samar, dan dan yang paling rendah skornya adalah strategi bertutur dalam hati. Skor yang dimaksud adalah skor rata-rata

Upload: ngonhi

Post on 02-Mar-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Terdahulu

Beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan oleh peneliti

sebelumnya yang sejenis dan relevan dengan penelitian yang dilakukan peneliti

dalam upaya menyusun skripsi adalah sebagai berikut.

Asim Gunarwan (1997) dengan judul “The Speech Act of Critizing

among Speakers of Javanese” dalam bentuk makalah. Penelitian ini mengkaji

tindak tutur mengkritik dalam bahasa Jawa. Tujuan yang ingin dicapai dalam

pembahasannya itu ialah melihat bagaimana tindak tutur mengkritik direalisasikan

dalam masyarakat Jawa, strategi-strategi seperti apa yang pada umumnya

digunakan, apakah variabel umur, pendidikan, dan dialek memberikan warna

terhadap pemilihan strategi mengkritik. Metode yang digunakan oleh Asim

Gunarwan adalah metode kuantitatif dengan mengambil responden dari Jawa

Timur dan Jawa Tengan sebanyak 142 responden. Parameter yang digunakan ada

tiga hal, yaitu (a) ± power (kekuasaan), (b) ± solidaritas, dan c) ± formalitas.

Berdasarkan kajiannya itu, Asim Gunarwan memperoleh hasil sebagai

berikut. Pertama, strategi mengkritik yang paling tinggi skornya di antara kelima

strategi yang ada berarti strategi yang paling banyak digunakan di kalangan

masyarakat Jawa adalah strategi terus terang plus kesantunan negatif. Skor di

bawahnya adalah strategi terus terang dengan kesantunan positif. Skor di

bawahnya lagi secara berturut-turut adalah strategi terus terang tanpa upaya

penyelamatan muka, strategi samar-samar, dan dan yang paling rendah skornya

adalah strategi bertutur dalam hati. Skor yang dimaksud adalah skor rata-rata

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

untuk semua situasi. Kedua, dari segi usia, ada kecenderungan kelompok usia

muda lebih suka menggunakan strategi mengkritik yang langsung atau strategi

terus terang, tanpa upaya penyelamatan muka (bald on record) daripada

kelompok usia tua. Ketiga, dari segi pendidikan, ada kecenderungan di kalangan

masyarakat Jawa semakin tinggi pendidikan, semakin jarang menggunakan

strategi terus terang tanpa upaya penyelamatan muka. Hal ini terlihat jelas dari

perbandingan kelompok pendidikan SMA dan kelompok pendidikan S2 atau S3.

Kelompok pendidikan SMA cenderung menggunakan strategi terus terang tanpa

upaya penyelamatan muka, sedangkan kelompok pendidikan S2/S3 cenderung

menghindari strategi tersebut.Keempat, dari segi dialek, Asim Gunarwan

memperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara

kelompok penutur dari Jawa Timur dan kelompok penutur dari Jawa Tengah

dalam hal pemilihan strategi. Perbedaannya hanyalah terletak pada skor

penggunaan strategi terus terang dengan kesantunan negatif dan strategi terus

terang dengan kesantunan positif, penutur dari Jawa Tengah skornya lebih tinggi

daripada penutur dari Jawa Timur. Implikasinya adalah penutur dari Jawa Tengah

cenderung lebih santun daripada penutur dari Jawa Timur.

Hoang Thi Xuang Hoa (2007)dari Universitas Nasional Vietnam dengan

judul“Critizing Behaviors by the Vietnamese and the America: Topicd, Social,

Fatirs, and Frequency”. Penelitian ini mengkaji dan membandingkan perilaku

mengkritik dalam masyarakat Vietnam dan Amerika. Kajian ditekankan pada

berbagai faktor sosial yang memengaruhi strategi mengkritik, topik mengkritik,

dan frekuensi mengkritik. Berdasarkan kajiannya itu, ditemukan bahwa dalam

masyarakat Vietnam, faktor yang sangat penting dan menjadi pertimbangan utama

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

dalam melakukan mengkritik adalah faktor tujuan mengkritik. Mereka tidak ragu-

ragu melakukan mengkritik kepada siapa pun. Mereka juga tidak perduli dengan

efek buruk yang timbul akibat mengkritik. Yang penting bagi mereka adalah

mengkritik itu dilakukan dengan tujuan yang baik, yaitu memperbaiki kesalahan.

Urutan kedua yang menjadi pertimbangan penting dalam melakukan mengkritik

adalah umur atau usia. Menurut kepercayaan masyarakat tradisional Vietnam,

umur diyakini memiliki kaitan dengan pengalaman, kebijaksanaan, dan

pengetahuan. Oleh karena itu, umur harus ditempatkan pada derajat kehormatan

tertentu. Faktor ketiga yang menjadi pertimbangan penting adalah bobot

pelanggaran (severity of offence). Bagaimana orang Vietnam melakukan

mengkritik bergantung pada bobot pelanggarannya. Urutan keempat yang menjadi

pertimbangan adalah faktor tempat (setting). Bagi orang Vietnam, faktor tempat

ini tampaknya tidak terlalu menjadi pertimbangan penting karena hanya

menempati urutan keempat. Orang Vietnam tidak terlalu menaruh perhatian di

mana mengkritik itu dikemukakan. Yang menarik adalah faktor power dan social

distance hanya menempati urutan kelima dan keenam. Hal ini berarti bahwa orang

Vietnam tidak begitu memiliki beban untuk melakukan mengkritik kepada orang

yang power-nya lebih tinggi atau kepada orang yang tidak dikenal. Faktor terakhir

yang menjadi pertimbangan adalah faktor efek mengkritik. Faktor efek ini

menempati urutan terendah sehingga orang Vietnam tidak merasa khawatir akan

efek buruk yang timbul akibat mengkritik.

Sebaliknya, dalam masyarakat Amerika, faktor yang justru menjadi

pertimbangan sangat penting ketika melakukan mengkritik adalah faktor tempat

mengkritik (setting of criticism). Privasi diyakini memiliki nilai yang sangat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

penting. Oleh karena itu, ketika mereka melakukan mengkritik, mereka lebih suka

menyampaikannya secara pribadi dan tidak di tempat publik. Bagi orang Amerika,

mengkritik di tempat publik sangat mengancam muka penerima mengkritik.

Urutan kedua yang menjadi pertimbangan adalah faktor distance. Bagaimana

orang Amerika melakukan mengkritik sangat dipengaruhi oleh social distance

antara pelaku mengkritik dan penerima mengkritik. Sementara itu, efek

mengkritik dan bobot mengkritik menempati urutan ketiga dan keempat. Urutan

berikutnya yang menjadi pertimbangan adalah umur, di bawahnya lagi adalah

status petutur, dan pertimbangan yang paling rendah adalah gender. Sementara

itu, berkenaan dengan topik mengkritik diperoleh perbandingan sebagai berikut.

Berkenaan dengan frekuensi mengkritik, terdapat kesamaan antara orang Vietnam

dan orang Amerika. Pertama, dalam kedua kelompok tersebut yang paling sering

menjadi sasaran mengkritik adalah teman dekat dan anggota keluarga,

menyangkut berbagai topik yang disebutkan di atas. Sementara itu kenalan,

kolega di kantor, bos dan superordinat frekuensinya lebih rendah. Hal ini dapat

dipahami, mengkritik orang yang memiliki hubungan yang tidak terlalu dekat

risikonya lebih besar, karena itu harus dilakukan dengan hati-hati. Kedua, dalam

kedua kelompok masyarakat tersebut, mengkritik orang yang posisinya lebih

tinggi relatif jarang dilakukan. Di samping kesamaan, terdapat juga perbedaan.

Pertama, perbedaan itu menyangkut frekuensi secara umum. Orang Vietnam

secara umum lebih sering melakukan kritik daripada orang Amerika. Kedua,

orang Vietnam lebih sering mengkritik istri atau suami daripada mengkritik

saudara kandung. Sementara orang Amerika, lebih sering mengkritik saudara

kandung daripada mengkritik istri atau suami.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

MIN Shang-chao (2008) dari Universitas Zhejiang China dengan judul

“Study on the Differences of Speech Act of Criticism in Chinese and English”.

Penelitian ini mengkaji perbedaan tindak tutur mengkritik dalam masyarakat Cina

dan masyarakat penutur bahasa Inggris. Dalam kajiannya itu dijelaskan bahwa

tindak tutur mengkritik dapat mengandung berbagai macam tipe tindakan seperti

deklarasi, representatif, dan ekspresif. Hal ini menyiratkan bahwa tindak tutur

mengkritik juga dipandang sebagai tindak tutur kompleks. Dia membedakan

tindak tutur mengkritik menjadi dua kategori, yaitu mengkritik langsung dan

mengkritik tidak langsung. Mengkritik langsung disebutnya sebagai ekspresi

langsung tentang evaluasi negatif tanpa reservasi. Penutur langsung menunjukkan

kesalahan petutur dan langsung menuntut perbaikan. Mengkritik langsung bersifat

sangat eksplisit, maksud kritik terlihat jelas sehingga tidak menimbulkan salah

pengertian. Mengkritik langsung sangat mencoreng muka positif petutur.

Mengkritik langsung ini disebutnya on record criticism. Sementara itu,

mengkritik tidak langsung berarti daya ilokusi mengkritik itu diungkapkan

melalui performansi tindak tutur yang lain. Maksud mengkritik yang sebenarnya

disembunyikan sehingga muka petutur dapat diselamatkan beberapa derajat.

Mengkritik tidak langsung ini dipandang sebagai kritik yang efektif dan berterima

dengan hasil yang positif. Akan tetapi, tidak berarti bahwa mengkritik tidak

lansung daya ilokusinya lebih rendah dibandingkan dengan mengkritik langsung.

Kadang-kadang mengkritik tidak langsung justru lebih tinggi daya ilokusinya

daripada mengkritik langsung. Dari hasil penelitian, MIN Chang-chao mengambil

kesimpulan bahwa masyarakat Cina cenderung menggunakan strategi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

mengkritiktidak langsung, sedangkan orang Barat cenderung menggunakan

strategi mengkritik langsung.

Edy Jauhari (2013) dari Universitas Airlangga Surabaya dengan judul

“Strategi Kesantunan Kritik dalam Masyarakat Budaya Jawa Mataram: Sebuah

Kajian Pemberdayaan Fungsi Bahasa Sebagai Sarana Kontrol Sosial” dalam

bentuk makalah. Data dalam makalah ini dikumpulkan melalui Discourse

Completion Task (DCT). Dalam hal ini DCT disebarkan kepada 43 informan di

wilayah setral budaya Jawa Mataraman di Jawa Tengah. Penggunaan DTC ini

digunakan sebagai alat untuk memahami berbagai macam penggunaan strategi

kesantunan kritik, yaitu strategi Melakukan Kritik secara Verbal (MKV),

Melakukan Kritik dalam Hati (MKH), Strategi Kritik Langsung dan Kritik Tidak

Langsung. Makalah ini menggunakan parameter relative power atau kekuasaan

(P), Social Distance atau jarak sosial (D), dan parameter publik (Pu). Berdasarkan

makalah ini, strategi kritik yang sering digunakan dalam masyarakat budaya Jawa

Mataraman adalah strategi MKV, sedangkan strategi MKH tidak banyak

digunakan. Penggunaan strategi MKV pada umumnya diwujudkan dengan strategi

dengan strategi kritik tidak langsung, bukan kritik langsung. Dalam penelitian ini

strategi kritik tidak langsung dipandang lebih santun digunakan daripada strategi

kritik langsung.

Penjelasan di atas merupakan kajian studi terdahulu, penelitian-penelitian

tersebut membahas mengenai masalah tindak tutur dan kesantunan berbahasa

dalam objek kajian penelitiannya. Untuk itu, dengan menggunakan analisis yang

sama, yakni kajian pragmatik, penulis mencoba meneliti dari segi yang berbeda.

Dalam penelitian ini, penulis mencoba memfokuskan penelitian mengenai tindak

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

tutur mengkritik dan strategi kesantunan dalam acara Sentilan Sentilun di Metro

TV.

B. Landasan Teori

1. Pragmatik

Menurut Asim Gunarwan (dalam PELLBA 7, 1994: 83-84), bidang

linguistik yang mempelajari maksud ujaran, bukan makna kalimat yang

diujarkan disebut pragmatik. Pragmatik merupakan ilmu tentang tanda yang

sebenarnya telah dikemukakan sebelumnya oleh seorang filsuf bernama Charles

Morris. Menurut Moriss, dalam kaitannya dengan ilmu bahasa, semiotika

(semiotics) memiliki tiga cabang, yakni sintaktika 'studi relasi formal tanda-

tanda', semantika 'studi relasi tanda dengan penafsirannya' (Levinson, 1985:9).

Pragmatik mempelajari maksud ujaran atau daya (force) ujaran. Pragmatik juga

mempelajari fungsi ujaran, yakni untuk apa suatu ujaran itu dibuat atau

diujarkan.

Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah pragmatik secara berbeda-

beda. Pragmatik sangat erat kaitannya dengan tindak ujar. Menurut Leech (dalam

terjemahan M.D.D. Oka, 1993:8) mendefinisikan pragmatik sebagai studi

tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech

situations). Leech melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik

yang berkaitan dengan semantik. Pada kesempatan lain, menurut Jenny Thomas

dalam bukunya yang berjudul Meaning in Interaction : an Introduction to

Pragmatics juga memberikan batasan dalam ilmu pragmatik. Menurut Thomas

(1995:22), pragmatik adalah bidang ilmu yang mengkaji makna dalam interaksi.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

Pengertian tersebut dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses

dinamis yang melibatkan negoisasi antara pembicara dan pendengar serta antara

konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin

dari sebuah ujaran.

Pragmatik mengungkapkan maksud suatu tuturan di dalam peristiwa

komunikasi. Oleh karena itu, analisis pragmatik berupaya menemukan maksud

penutur, baik yang diekspresikan secara tersurat maupun yang diungkapkan

secara tersirat dibalik tuturan. Yule dalam bukunya yang berjudul Pragmatics

menyebutkan beberapa batas ilmu pragmatik. Menurut Yule (2006:4) ilmu

pragmatik mempunyai empat batasan. Keempat batasan itu, yakni:

a. Pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang maksud penutur.

b. Pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang makna kontekstual.

c. Pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang bagaimana agar lebih

banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan.

d. Pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang ungkapan jarak hubungan.

Dari pendapat-pendapat para ahli di atas, secara umum pragmatik

mempelajari tentang maksud yang terkandung dalam sebuah ujaran. Pragmatik

adalah ilmu yang mempelajari maksud dalam ujaran yang diucapkan oleh

seseorang dan bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi

agar tuturannya tersebut dapat dimengerti oleh mitra tuturnya. Dasar dalam ilmu

pragmatik, yaitu hubungan antara bahasa dengan konteks yang melatarbelakangi

bahasa tersebut.Dengan sederhana dapat dikatakan bahwa dalam kajian

pragmatik, bentuk bahasa yang muncul dalam peristiwa komunikasi merupakan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

hasil perpaduan antara maksud, pesan, atau makna komunikasi dengan situasi

atau konteks yang melatarinya.

2. Situasi Tutur

Situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan (Rustono, 1999:25).

Memperhitungkan situasi tutur amat penting di dalam pragmatik. Maksud

tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui situasi tutur yang

mendukungnya. Tidak selamanya tuturan itu secara langsung menggambarkan

makna yang dikandung oleh unsur-unsurnya.

Leech (edisi terjemahan oleh M. D. D. Oka, 1993: 19-20) menjelaskan

mengenai aspek-aspek situasi ujar untuk mengetahui apakah suatu percakapan

tersebut merupakan fenomena atau sistematis. Aspek situasi ujar tersebut adalah

sebagai berikut:

a. Yang menyapa (penyapa) atau yang disapa (pesapa)

Penyapa adalah orang yang menyapa. Penutur adalah orang yang

bertutur, yaitu orang yang menyampaikan fungsi pragmatis tertentu di dalam

peristiwa komunikasi. Mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran dalm

bertutur.

Orang yang menyapa akan diberi simbol n „penutur‟ orang yang

disapa dengan simbol t „petutur‟. Simbol-simbol ini merupakan singkatan

untuk „penutur/penulis‟ dan „petutur/pembaca‟. Jadi penggunaan penutur dan

petutur tidak membatasi pragmatik pada bahasa lisan saja.

b. Konteks sebuah tuturan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

Konteks diartikan sebagai aspek-aspek yang bergantung dengan

lingkungan fisik dan sosial sebagai tuturan. Konteks dapat diartikan juga

sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh

penutur dan membantu petutur menafsirkan makna tuturan.

c. Tujuan sebuah tuturan

Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi

oleh maksud dan tujuan tertentu. Tujuan tuturan adalah sesuatu yang ingin

disampaikan melalui makna yang dimaksud atau maksud penutur

mengucapkan sesuatu. Istilah tujuan dianggap lebih netral daripada maksud,

karena tidak membebani pemakaiannya dengan suatu kemauan atau motivasi

yang sadar, sehingga dapat digunakan secara umum untuk kegiatan-kegiatan

yang berorientasi tujuan.

d. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan tindak ujar

Pragmatik berurusan dengan tindak-tindak atau performasi-performasi

verbal yang terjadi dalam situasi dan waktu tertentu. Dengan demikian

pragmatik menangani bahasa pada tingkatan yang lebih konkret daripada tata

bahasa.

e. Tuturan sebagai produk tindakan verbal

Selain sebagai tindak ujar atau tindak verbal itu sendiri, dalam

pragmatik kata „tuturan‟ dapat digunakan dalam arti yang lain, yaitu sebagai

produk suatu tindak verbal (sentence-instance) atau tanda kalimat (sentence-

token), tetapi bukanlah sebuah kalimat. Maksud yang kedua ini tuturan-

tuturan merupakan unsur-unsur yang maknanya dikaji dalam pragmatik,

sehingga dengan tepat pragmatik dapat digambarkan sebagai suatu ilmu yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

mengkaji makna tuturan. Tindakan verbal adalam tindakan mengekspresikan

kata-kata atau bahasa.

3. Tindak Tutur

Tindak tutur (speech act) merupakan unsur pragmatik yang melibatkan

penutur dan mitra tutur. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti

tindakan dalam tuturannya. Istilah Tindak tutursendiri mulai diperkenalkan

oleh seorang filosof Inggris J.L Austin pada pidato kuliahnya yang

dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul How to do things with words (1962).

Melalui bukunya tersebut, Austin mengemukakan pandangan bahwa bahasa

tidak hanya berfungsi untuk mengatakan sesuatu, bahasa juga dapat digunakan

untuk sesuatu.

Berkaitan dengan tindak tutur, Austin mengemukakan dua terminologi

yang berkaitan dengan teori tindak tutur, yaitu tuturan konstatif (constative)

dan tuturan performatif (performative). Tuturan konstatif adalah tuturan yang

pengutaraannya hanya dipergunakan untuk menyatakan sesuatu. Tuturan

performatif adalah tuturan yang pengutaraanya dipergunakan untuk melakukan

sesuatu. Tindak tutur yang menggunakan kalimat performatif oleh Austin

(1968:100-102) digolongkan dalam tiga peristiwa tindakan, yaitu:

a. Tindak Lokusi (locutionary act)

Tindak lokusi merupakan tindak tutur yang dimaksudkan untuk

menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk

kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Tindak tutur ini disebut

sebagai The Act of Saying Something. Searle (1969) menyebut tindak tutur

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

lokusi ini dengan istilah tindak bahasa preposisi (prepositional act) karena

tindak tutur ini hanya berkaitan dengan makna.

b. Tindak Ilokusi (illocutionary act)

Tindak ilokusi merupakan tindak melakukan sesuatu (the act of to

do something). Berbeda dari lokusi, tindak ilokusi merupakan tindak tutur

yang mengandung maksud dan fungsi atau daya tuturan.

c. Tindak Perlokusi (perlocutionary act)

Sebuah tuturan yang diucapkan seseorang sering memiliki efek

atau daya pengaruh (perlocutionary force). Efek yang dihasilkan dengan

mengujarkan sesuatu itulah yang oleh Austin (1962:101) dinamakan tindak

perlokusi. Efek atau daya tuturan itu dapat ditimbulkan oleh penutur secara

sengaja, dapat pula secara tidak sengaja. Tindak tutur yang pengujarannya

dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur inilah yang merupakan

tindak perlokusi.

Leech (dalam M. D. D. Oka, 1993:327-329) mengklasifikasikan tindak

tutur menjadi lima macam, yaitu:

1. Asertif, merupakan tindak tutur yang mengikat penutur pada kebenaran

proposisi yang dituturkan. Misalnya, menceritakan, melaporkan,

mengemukakan, menyatakan, mengumumkan, mendesak.

2. Direktif, merupakan tindak tutur yang dimaksudkan oleh penutur untuk

membuat pengaruh agar mitra tutur melakukan sesuatu tindakan.

Misalnya, memohon, meminta, memberi perintah, menuntut, melarang.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

3. Komisif, merupakan tindak tutur yang menyatakan janji atau

penawaran. Misalnya, menawarkan, menawarkan diri, menjanjikan,

berkaul, bersumpah.

4. Ekspresif, merupakan tindak tutur yang berfungsi untuk menunjukkan

sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang sedang dialami oleh

mitra tutur. Misalnya, mengucapkan selamat, mengucapkan terima

kasih, merasa ikut bersimpati, meminta maaf.

5. Deklaratif, merupakan tindak tutur yang menghubungkan isi tuturan

dengan kenyataan. Misalnya, memecat, membabtis, menikahkan,

mengangkat, menghukum, memutuskan.

6. Rogatif, merupakan tindak tutur yang dinyatakan oleh penutur untuk

menanyakan jika bermotif langsung atau mempertanyakan jika bermotif

ragu-ragu, misalnya menanyakan, mempertanyakan, dan menyangsikan.

Sehubungan dengan pengertian tindak tutur atau tindak ujar, maka tindak

tutur dikategorikan oleh Searle menjadi lima jenis (1996: 147-149), yaitu:

a. Asertif (Assertives)

Tindak tutur asertif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya

kepada kebenaran proposisi atas hal yang dikatakannya. Tuturan-tuturan

yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini misalnya, tindak tutur

menyatakan, melaporkan, memprediksi, menunjukkan, dan menyebutkan.

b. Direktif (Directives)

Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dilakukan oleh

penuturnya dengan maksud agar mitra tutur melakukan tindakan yang

disebutkan di dalam tuturan itu atau berharap mitra tutur melakukan sesuatu.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini misalnya,

tindak tutur menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, memerintah,

meminta, dan menantang.

c. Komisif (Commisives)

Tindak tutur komisif adalah tindak tutur untuk mengikat penuturnya

pada suatu tindakan yang dilakukannya pada masa mendatang dan

melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam tuturan. Tuturan-tuturan

yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini misalnya, tindak tutur

berjanji, bersumpah, berkaul, menawarkan, menyatakan kesanggupan, dan

mengancam.

d. Ekspresif (Expressives)

Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dilakukan dengan

maksud agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang

disebutkan dalam tuturan untuk mengungkapkan sikap psikologis penutur

terhadap suatu keadaan. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis

tindak tutur ini misalnya, tindak tutur memuji, mengucapkan terima kasih,

meminta maaf, mengucapkan selamat, mengkritik, dan mengeluh.

e. Deklarasi (Declarations)

Tindak tutur deklarasi adalah tindak tutur yang dilakukan penutur

dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya)

yang baru. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini

misalnya, tindak tutur memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan,

dan mengangkat.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

Adapun jenis-jenis tindak tutur yang lain adalah tindak tutur langsung

dan tidak langsung, serta tindak tutur literal dan tidak literal. George Yule

(1996:54-56) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tindak tutur langsung

dan tidak langsung adalah sebagai berikut:

a. Tindak Tutur Langsung dan Tidak Langsung

1) Tindak Tutur Langsung

Menurut George Yule (1996:54-55), tindak tutur langsung terjadi

apabila ada hubungan antara struktur dengan fungsi. Jadi tindak tutur

langsung adalah bentuk deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu

pernyataan.

Sebuah tuturan dapat diungkapkan secara langsung maupun tidak

langsung, seperti dalam I Dewa Putu Wijana (1996: 29) yang

mengatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengandung arti yang

sebenarnya dan berfungsi untuk menyatakan informasi secara langsung

karena modusnya adalah kalimat berita (deklaratif). Sebuah tuturan juga

mungkin saja merupakan pengungkapan secara tidak langsung karena

maksud memerintah yang diutarakan dengan kalimat berita.

Berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita

(deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif)

(I Dewa Putu Wijana, 1996:30). Secara konvensional kalimat berita

digunakan untuk memberitakan sesuatu (informasi), kalimat tanya untuk

menanyakan sesuatu, kalimat perintah untuk menyatakan perintah,

ajakan, permintaan, atau permohonan. Apabila kalimat berita, kalimat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

Tanya, dan kalimat perintah difungsikan secara konvensional maka akan

membentuk tindak tutur langsung (direct speech act).

2) Tindak Tutur Tidak Langsung

Tindak tutur tidak langsung terjadi apabila ada hubungan tidak

langsung dengan fungsi. Jadi tindak tutur tidak langsung adalah bentuk

deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu permohonan (George

Yule, 1996:55).

I Dewa Putu Wijana (1996: 30) mengatakan bahwa tindak tutur

tidak langsung dapat digunakan untuk berbicara secara sopan, seperti

halnya kalimat perintah dapat diutarakan dengan kalimat tanya agar

orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah.

b. Tindak Tutur Literal dan Tidak Literal

1) Tindak Tutur Literal

Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang

maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya.

2) Tindak Tutur Tidak Literal

Tindak tutur tidak lateral (nonliteral speech act) adalah tindak

tutur yang maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan makna

kata-kata yang menyusunnya (I Dewa Putu Wijana, 1996:32).

4. Tindak Tutur Mengkritik

Hoang Thi Xuan Hoa (2007: 144) menyatakan bahwa criticizing is

sometimes performed to vent the speaker’s negative feeling or attitude to the

hearer or the hearer’s work,choice, behaviour, etc.(Kritik diungkapkan untuk

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

menyatakan perasaan negatif atau sikap negatif penutur terhadap petutur atau

terhadap kinerja, pilihan perilaku petutur, dan sebagainya). Menurutnya,

mengkritik mempunyai dua fungsi utama, yaitu menunjukkan perilaku yang

dianggap negatif yang dilakukan petutur dan meminta supaya petutur

melakukan perbaikan.

Menurut Rustono (1999: 39) dan Brown dan Levinson (1987:66),

tindak tutur mengkritik termasuk dalam tindak tutur ekspresif. Sebagaimana

dijelaskan Searle, tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang

mengekspresikan sikap atau keadaan psikologis penutur. Karena termasuk

kategori tindak tutur ekspresif, maka Brown dan Levinson (1987:66)

memasukkan mengkritik sebagai tindak tutur yang mengancam muka positif.

Tindak tutur mengkritik tampaknya tidak dapat dimasukkan ke dalam

salah satu kategori atau taksonomi yang dikemukakan oleh Austin, Searle

atau yang lain. Ini dikarenakan tindak tutur mengkritik merupakan kompilasi

dari berbagai ekspresi, seperti ketidaksetujuan, evaluasi negatif, statemen

tentang tindakan yang salah, dan saran untuk perubahan. Dengan kata lain,

tindak tutur mengkritik cenderung merupakan tindak tutur kompleks

(complex speech act). Pandangan ini sesuai dengan pandangan yang

dikemukakan Nguyen (2005:14), bahwa tindak tutur mengkritik tidak dapat

dimasukkan ke dalam salah satu klasifikasi yang dibuat siapapun, termasuk

klasifikasi Searle. Menurut Nguyen, tindak tutur mengkritik dapat terbentuk

dari berbagai tindak tutur yang berbeda-beda yang masing-masing membawa

daya ilokusi yang berbeda pula dan tidak ada satupun yang merupakan tindak

utama (inti). Sebagai contoh, mengkritik dapat merupakan kompilasi dari

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

ekspresi ketidaksetujuan, evaluasi negatif, statemen tentang tindakan salah,

dan saran untuk perbaikan.

Tindak tutur mengkritik merupakan tindakan ilokusi yang titik

ilokusinya adalah untuk memberikan evaluasi negatif atas tindakan, pilihan,

kata-kata, dan produk yang menjadi bertanggung jawab petutur. Tindakan ini

dilakukan dengan harapan mempengaruhi tindakan petutur di masa depan

untuk perbaikan mitra tutur (H), dilihat oleh penutur (S) sebagai alat

berkomunikasi. Ketidakpuasan penutur (S) dengan atau tidak menyukai

mengenai apa yang telah dilakukan mitra tutur (H), akan membawa

konsekuensi yang tidak diinginkan untuk penutur (S) (Nguyen, 2008: 45).

Nguyen bertolak pada pandangan mengkritik yang dikemukakan oleh

Wierzbicka. Dijelaskan bahwa tindak tutur mengkritik adalah tindak ilokusi

yang ilokusi poinnya adalah untuk memberikan evaluasi negatif terhadap

tindakan, pilihan, kata-kata dan produk-produk yang menjadi tanggung jawab

penutur. Mengkritik dalam konteks ini berarti memberikan komentar, baik

berupa pendapat, saran, masukan maupun sanggahan kepada seseorang.

Kritik dilakukan dengan harapan dapat mempengaruhi tindakan petutur pada

masa yang akan datang agar menjadi lebih baik dan manfaatnya ada pada

petutur sendiri. Kritik juga dilakukan untuk menyampaikan ketidakpuasan

atau ketidaksukaan penutur mengenai apa yang dilakukan petutur tetapi tanpa

menyiratkan bahwa apa yang dilakukan petutur memiliki konsekuensi yang

tidak diinginkan bagi penutur. Nguyen (2005:7) berpendapat mengenai

pengertian tindak tutur mengkritik yang diadaptasi dari Wierzbicka (1987)

dan Olshatai dan Weinbach:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

A criticsm is defined as an illocutionary act whose

illocutionary point is to give negative evaluation on H’s

actons, choice, word, and prodects for which he or she may be

held responsible. This act is performed in hope of influencing

H’s future actions for the better for his or her own benefids as

viewed by S or to communicate S’s dissatidfaction/ discontent

with or dislike regarding what H has done but without the

implicature that H has done brings undesirable qonsequences

for S.

Tindak tutur mengkritik sendiri dibagi menjadi dua, yaitu tindak tutur

mengkritik langsung dan tidak langsung.

1) Mengkritik Langsung adalah kritik yang secara eksplisitmenunjukkan

masalah denganpilihan, tindakan, dan kinerja dari H.

No. Tipe Karakteristik

a. Penilaian Negatif Pada umumnya diekspresikan melalui

evaluasi baik evaluasi negatif maupun

positif.

b. Pencelaan Menggambarkansikappenuturterhadappilihan

H (mitra tutur).

c. EkspresiPertentangan Umumnya diekpresikan dengan kata negasi

„Tidak‟, performatif „Saya tidak setuju‟ atau

tanpa performatif tersebut atau dengan

melalui argumen terhadap H (mitra tutur).

d. Pernyataan Masalah Kesalahan ataumasalah yang ditemukan

menyatakan pilihan H (mitra tutur).

e. Pernyataan Kesulitan Biasanya dinyatakan dengan struktur seperti

„Saya merasasulit mengerti‟, „Sulituntuk

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

memahami...‟.

f. Konsekuensi Peringatan tentang konsekuensi negatif atau

efek negatif pilihanH, untuk H (mitra

tutur)dirinya sendiri atau untuk publik.

Sumber: Nguyen, 2008: 47-48

2) Mengkritik tidak langsung adalah kritik yang menyiratkanmasalah

denganpilihan, tindakan, kinerja, atauproduk dari H (mitra tutur)., dengan

memperbaikiH, menunjukkanaturan danstandar, memberikan nasihat,

menunjukkan atau bahkan meminta dan menuntut perubahan kerja atau

pilihan H, dan dengan cara jenis yang berbeda dari petunjuk untuk

meningkatkan kesadaran H dari ketidaktepatan pilihan H (mitra tutur).

No. Tipe Karakteristik

a. Koreksi Termasuk semua ujaran yang memiliki

tujuan memperbaiki kesalahan dengan

menegaskan alternatif khusus untuk

pilihanH (mitra tutur).

b. MenunjukkanStandar Biasanya dinyatakan sebagai

kewajiban kolektif dan bukan suatu

kewajiban bagi pribadi H atau sebagai

aturan S (penutur) yang berpikir

umumnya disepakati dan diterapkan

untuk semua.

c. Tuntutan Perubahan Biasanya diekspresikan melalui

struktur seperti „Anda harus‟, „itu

adalah wajib bahwa‟atau „Anda

diminta‟ atau „Anda perlu‟.

d. Permintaan Perubahan Biasanya diekspresikan melalui

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

struktur seperti „Ya...?‟, „Bisa...?‟,

„Kan. ..?‟, atau imperatif (dengan atau

tanpa penanda kesantunan), atau ingin-

pernyataan, atau tanpa adanya struktur

tersebut melainkan menggunakan

permintaan perubahan.

e. Nasihat Perubahan Biasanya diungkapkan melalui ujaran

„Saya menyarankan Anda..‟, Atau

struktur dengan„ Seharusnya‟, dengan

atau tanpa ujaran tersebut.

f. Saran Perubahan Biasanya dinyatakan melalui

performatif „Saya menyarankan

agar...‟, seperti „Anda bisa‟, „itu akan

lebih baik jika‟ atau “kenapa tidak

Anda‟, atau tanpa ujaran tersebut.

g. EkspresiKetidakpastian Ungkapan untuk mengekspresikan

ketidakpastian S dan untuk

meningkatkan kesadaran H dari

ketidaktepatan pilihanH (mitra tutur).

h. Mengajukan/Mengandaik

an

Pertanyaan retorik untuk

meningkatkan kesadaran H dari dalam

kesesuaian pilihan H (mitra tutur).

i. Petunjuklain Termasuk jenis lain dari petunjuk yang

bukan milik kedua-duanya. Mungkin

termasuk sarkasme.

Sumber: Nguyen, 2008: 47-48

5. Strategi Kesantunan Brown Levinson

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

Kesantunan berbahasa merupakan kesantunan yang digunakan

penutur untuk mengurangi derajat perasaan tidak senang atau sakit hati

sebagai akibat tuturan yang diungkapkan oleh penutur. Strategi kesantunan

berbahasa adalah cara atau strategi yang secara sadar maupun tidak sadar

dipergunakan oleh seorang penutur dalam rangka mengurangi akibat tidak

menyenangkan dari tuturannya terhadap mitra tuturnya (Nadar, F.X.

2009:251).

Brown dan Levinson dalam bukunya yang berjudul Politeness Some

Universal in Language Usage, menjelaskan tentang konsep muka „face‟

penting dalam kajian penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi. Brown dan

Levinson memberikan batasan tentang konsep muka. Muka adalah „face‟ atau

citra diri yang dimiliki oleh setiap warga masyarakat yang senantiasa dijaga,

dihormati, dan tidak dilanggar dalam proses pertuturan antarpeserta tutur.

Tindakan pengancaman muka adalah tindak tutur yang secara alamiah

berpotensi untuk melukai citra atau muka „face‟ lawan tutur dan oleh karena

itu dalam pengutaraannya harus digunakan strategi-strategi tertentu.

Kata “strategi” dalam strategi kesantunan berbahasa tidak selalu

mengandung arti usaha sadar untuk berperilaku sopan melainkan juga

merujuk pada ungkapan-ungkapan berbahasa yang bersifat rutin serta

mengacu pada upaya berbicara secara sopan. Oleh karena itu, seorang penutur

menghadapi sejumlah plihan sebelum membuat tuturan yang melanggar muka

negatif ataupun muka positif lawan tutur.

Menurut Brown dan Levinson, sebuah tindak tutur dapat mengancam

muka mitra tuturnya. Tindak tutur tersebut disebut sebagai face-threatening

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

act (FTA). Untuk mengurangi ancaman terhadap muka mitra tutur, muka

penutur hendaknya menggunakan strategi kesantunan. Muka citra diri yang

bersifat umum yang ingin dimiliki oleh setiap warga masyarakat, meliputi

dua aspek yang saling berkaitan dengan muka negatif dan muka positif.

a. Muka positif, yaitu muka yang mengacu pada citra diri orang yang

berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, atau apa

yang merupakan nilai-nilai yang diyakininya diakui orang sebagai suatu

hal yang baik, menyenangkan, patut dihargai, dan seterusnya.

Contoh:

(1) Saya senang dengan kejujuran Anda.

(2) Sekarang kejujuran itu tidak menjamin kesuksesan.

Tuturan (1) merupakan tuturan yang santun karena menghargai apa yang

dilakukan mitra tuturnya, sedangkan tuturan (2) kurang santun karena

tidak menghargai apa yang dilakukan mitra tuturnya.

b. Muka negatif, yaitu muka yang mengacu pada citra diri orang yang

berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan penutur membiarkannya

bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan

mengerjakan sesuatu.

Contoh:

- Jangan tidur terlalu malam, nanti bangunnya kesiangan!

Tuturan tersebut merupakan tuturan yang tidak santun karena penutur

tidak membiarkan mitra tuturnya bebas melakukan apa yang sedang

dikerjakannya. Ketidaksantunan tuturan itu menyangkut muka negatif.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

Kesantunan yang berkenaan dengan muka negatif dinamakan kesantunan

negatif.

FTA (Face Threatening Act) yang mengancam muka negatif lawan

tutur, menurut Brown dan Levinson (1987:66), antara lain meliputi:

a. Tindakan yang mengakibatkan lawan tutur menyetujui atau menolak

melakukan sesuatu, seperti ungkapan mengenai: orders and requestsm

suggestions, advice, remindings threats, warnings, deres (memerintah,

meminta, memberi saran, memberi nasihat, mengingatkan, mengancam,

memperingatkan, dan menentang):

b. Tindakan yang mengungkapkan upaya penutur melakukan sesuatu

terhadap lawan tutur dan memaksa lawan tutur untuk menerima atau

menolak tindak tersebut, seperti ungkapan mengenai offers, promises

(menawarkan dan berjanji);

c. Tindakan yang mengungkapkan keinginan penutur untuk melakukan

sesuatu terhadap lawan tutur atau apa yang dimiliki oleh lawan tutur,

seperti ungkapan mengenai compliments, espressions of strong (negative)

emotions toward H-e.g. hatred, anger (pujian atau memberi ucapan

selamat, mengagumi, membenci dan marah).

Brown dan Levinson (1987:67-68) menyatakan bahwa FTA yang

berpotensi mengancam muka negatif penutur antara lain meliputi tindak

mengungkap dan menerima ucapan terima kasih, melakukan pembelaan,

menerima tawaran, merespon perbuatan lawan tutur yang memalukan, dan

melakukan janji atau tawaran yang tidak diinginkan penutur. Sementara itu,

tindakan yang mengancam muka positif penutur, menurut Brown dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

Levinson (1987:68) antara lain terdiri atas tindakan meminta maaf, menerima

ucapan selamat, melakukan tindakan fisik yang memalukan merendahkan diri

dan mengakui kesalahan.

Di samping itu, strategi kesantunan Brown dan Levinson tidak

berkenaan dengan kaidah-kaidah, tetapi menyangkut strategi-strategi. Brown

dan Levinson (1987:69) menyatakan bahwa dalam melakukan FTA, seorang

dapat menggunakan salah satu atau lebih dari lima strategi yang ditawarkan,

yaitu: melakukan FTA secara langsung (on record), menggunakan strategi

kesantunan positif, menggunakan strategi kesantunan negatif, melakukan

FTA secara tidak langsung (off record), dan tidak melakukan FTA (diam

saja).

a. Melakukan tindak tutur secara apa adanya, tanpa basa basi

(baldonrecord)

Seorang pelaku dapat dikatakan bertanggung jawab terhadap

tindakan A yang dilakukannya, seandainya jelas bagi semua peserta tujuan

tuturan apa yang menyebabkan pelaku melakukan tindakan A, yaitu hanya

ada satu tujuan tuturan yang pada situasi pertuturan tersebut dipahami oleh

peserta pertuturan. Misalnya saya mengatakan “Saya dengan ini berjanji

bahwa saya akan datang besok” dan seandainya para peserta tutur sama-

sama memahami bahwa dengan mengatakan itu jelas-jelas saya mengatakan

keinginan saya bertanggung jawab untuk melakukan hal tersebut, maka saya

gunakan istilah, saya secara on record melakukan janji tersebut.

Seandainya penutur memutuskan memilih membuat tuturannya

secara on record maka penutur masih harus menentukan apakah penutur

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

harus membuat tuturan secara lugas tanpa usaha menyelamatkan muka

lawan „baldly without redress’. Definisi mengenai baldly without redress

adalah melakukan tindakan secara lugas, tanpa usaha penyelamatan muka

berarti melakukan tindakan tersebut dengan cara yang paling langsung,

jelas, tegas dan ringkas (misalnya untuk meminta seseorang, cukup

mengatakan „Kerjakan X‟). Tindakan semaacam ini biasanya dilakukan

manakala penutur tidak mempedulikan akan adanya sanksi pembalasan dari

mitra tutur, misalnya dalam situasi di mana (a) penutur dan mitra tutur

sama-sama menyadari bahwa karena hal-hal yang bersifat mendesak maka

hal-hal yang terkait dengan muka dapat ditangguhkan terlebih dahulu (b)

bilamana ancaman terhadap muka mitra tutur sangatlah kecil, misalnya

untuk tindakan terkait dengan penawaran, permintaan, saran dan lain

sebagainya yang jelas-jelas mengacu pada kepentingan lawan dan tidak

memerlukan pengorbanan yang besar pada pihak penutur, dan (c) dimana

penutur mempunyai kekuasaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan mitra

tutur, atau penutur memperoleh dukungan luas untuk melakukan tindakan

yang mengancam muka mitra tutur tanpa harus kehilangan mukanya sendiri.

Seandainya penutur memutuskan bahwa dirinya menghendaki

perlunya mengurangi perasaan kurang senang mitra tuturnya maka penutur

tersebut harus melakukan redressive action „tindakan penyelamatan muka‟.

Tindakan penyelamatan muka mitra tutur ini diperlukan karena penutur

biasanya berkeinginan untuk menjaga kelangsungan hubungan yang

harmonis dengan mitra tuturnya.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

Tindakan penyelamatan muka adalah tindakan yang „memberikan

muka‟ kepada mitra tutur, yang berusaha untuk menangkal rasa kurang

senang mitra tutur akibat dari tindakan yang kurang menyenangkan dengan

cara melakukan penambahan dan perubahan tuturan sedemikian rupa yang

dapat menunjukkan secara jelas kepada mitra tutur bahwa keinginan untuk

melakukan tindakan yang kurang menyenangkan tersebut sebenarnya tidak

dikehendaki atau tidak dimaksudkan sama sekali oleh penutur, dan bahwa

penutur sebenarnya memahami keinginan mitra tutur dan penutur sendiri

menginginkan keinginan mitra tutur tersebut dapat tercapai. Tindakan

penyelamatan muka tersebut terwujud dalam dua bentuk tergantung aspek

muka (negatif atau positif) yang diberi tekanan S=Penutur, H=Mitra tutur.

b. Kesantunan Positif

Brown dan Levinson (1987) dalam bukunya yang berjudul

Politeness Some Universals in Language Usage memberikan batasan

mengenai kesantunan positif. Kesantunan positif adalah kesantunan yang

diasosiasikan dengan muka positif mitra tutur, yaitu keinginan agar penutur

dihargai dan dipahami keinginannya. Pada hakikatnya kesantunan positif

ditujukan terhadap muka positif mitra tutur, yaitu citra positif yang dianggap

dimiliki oleh mitra tutur, yaitu citra positif yang dimiliki oleh mitra tutur.

Kesantunan positif berupa pendekatan yang menorehkan kesan pada muka

mitra tutur bahwa pada hal-hal tertentu penutur juga mempunyai keinginan

yang sama dengan mitra tutur (yaitu dengan memperlakukannya sebagai

anggota kelompok, sahabat, sebagai seseorang yang keinginannya maupun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

seleranya dikenal dan disukai). Untuk mengurangi kekecewaan mitra tutur,

Brown dan Levinson (1987:103-129) strategi-strategi sebagai berikut :

1) Strategi 1: Notice attend to H (his interest, wants, deeds, goods

(Memperhatikan minat, keinginan, kelakuan, barang-barang mitra tutur).

Penggunaan strategi ini misalnya penutur memperhatikan kondisi mitra

tutur yang meliputi segala perubahan secara fisik, kepemilikan barang-

barang tertentu dan lain-lain.

Contoh : “Wah, baru saja potong rambut ya…..Omong-omong saya

datang untuk meminjam sedikit tepung terigu.”

2) Strategi 2: Exaggerate (interest, approval, sympathy with H) (“Melebih-

lebihkan rasa ketertatikan, persetujuan, simpati terhadap mitra tutur”)

Contoh : “Kebun Anda betul-betul luar biasa.”

3) Strategi 3: Intensify interest to H (“Meningkatkan rasa tertarik terhadap

mitra tutur”)Misalnya pada suatu interaksi, penutur suka menyelipkan

sisipan ungkapan dan juga pertanyaan-pertanyaan yang tujuannya hanya

untuk membuat mitra tutur lebih terlihat pada interaksi tersebut.

Contoh :“Anda tahu kan.”

4) Strategi 4: Use in group identity markers (“Menggunakan penanda yang

menunjukkan kesamaan jati diri atau kelompok”)

Contoh : “Bantu saya membawa tas ini ya nak?”

5) Strategi 5: Seek agreement (“Mencari dan mengusahakan persetujuan

dengan mitra tutur”)

Contoh :

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

A : “Dalam perjalanan pulang ban saya kempes”

B : “Masa Allah, bannya kempes”

6) Strategi 6: Avoid disagreement (“Menghindari pertentangan dengan mitra

tutur”)

Contoh :

A : “Bagaimanakah dia, badannya kecil?”

B : “Ya, memang kecil, tapi sebenarnya tidak terlalu kecil dan tidak

juga terlalu besar.”

7) Strategi 7: Presuppose/raise/assert common ground

(“Mempresuposisikan atau menimbulkan persepsi sejumlah persamaan

penutur dan mitra tutur”)

Contoh :

A : Oh, this cut hurts owfully, Mum (“Oh luka ini sakit sekali, ma”)

B : Yes dear, it hurts terribly, I know (“Ya sayang, memang sakit

sekali, saya tahu”)

8) Strategi 8: Joke (“Membuat lelucon”)

Contoh : “Tidak masalah kan, kalau kue itu saya habisi saja?”

9) Strategi 9: Assert or presuppose S`s knowledge of and concern for H`s

wants (“Mempresuposisikan atau membuat persepsi bahwa penutur

memahami keinginan mitra tuturnya”)

Contoh : “Ya, saya tahu kamu tidak suka pesta, tetapi pesta ini betul-

betul baik. Datanglah!”

10) Strategi 10: Offer, promise (“Membuat penawaran dan janji”)

Contoh : “Saya akan singgah kapan-kapan minggu depan.”

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

11) Strategi 11: Be optimistic (“Menunjukkan rasa optimisme”)

Contoh : “Anda pasti dapat meminjamkan mesin pemotong rumput akhir

pekan ini, saya yakin.”

12) Strategi 12: Include both S and H in the activity (“Berusaha melibatkan

mitra tutur dan penutur dalam suatu kegiatan tertenti. Bisa kan?”)

Contoh : “Kami perlu istirahat.”

13) Strategi 13: Give (or ask for) reasons (“Memberikan dan meminta

alasan”)

Contoh : Bagaimana kalu saya bantu membawa koper Anda

14) Strategi 14: Assume or assert reciprocity (“Menawarkan suatu tindakan

timbal balik, yaitu kalau mitra tutur melakukan X maka penutur akan

melakukan Y”)

Contoh : “Saya akan meminjamkan buku novel saya kalau Anda

meminjami saya artikel Anda.”

15) Strategi 15: Give sympathy to H (“Memberikan rasa simpati kepada mitra

tutur”)

Contoh : “Kalau ada yang dapat saya lakukan untuk Anda, mohon saya

diberitahu.”

c. Kesantunan Negatif

Kesantunan negatif adalah keinginan yang diasosiasikan dengan

muka negatif mitra tutur, yaitu keinginan agar penutur tidak dilanggar hak-

haknya oleh mitra tutur. Kesantunan negatif pada hakikatnya ditujukan

terhadap bagaimana memenuhi atau menyelamatkan sebagian muka negatif

mitra tutur, yaitu keinginan dasar mitra tutur untuk mempertahankan apa

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

yang dianggap sebagai wilayah dan keyakinan dirinya. Jadi, pada dasarnya,

strategi kesantunan negatif mengandung jaminan dari mitra tutur bahwa

penutur mengakui, menghormati dan seandainya terpaksa melakukan

pelanggaran, maka akan berusaha untuk sedikit mungkin melakukan

pelanggaran tersebut (keinginan muka negatif mitra tutur dan tidak akan

mencampuri atau pun melanggar kebebasan bertindak mitra tutur). Untuk

mengurangi pelanggaran terhadap muka negatif mitra tutur, Brown dan

Levinson (1987:130-210) menawarkan sepuluh strategi-strategi sebagai

berikut:

1) Strategi 1:Be conventionally indirect (“Mengurangi Ungkapan secara

tidak langsung sesuai konvensional masyarakat yang bersangkutan”)

Contoh :“Tolong ambilkan garamnya!”

2) Strategi 2: hedge (“Gunakan bentuk pertanyaan dengan partikel

tertentu”)

Contoh : “Saya minta tolong, bisakan?”

3) Strategi 3:Be pessimistic (“Lakukan secara hati-hati dan jangan terlalu

optimistik”)

Contoh : “Mungkin Anda dapat membantu saya.”

4) Strategi 4: Minimise the imposition (“Kurangilah kekuatan atau daya

ancaman terhadap muka mitra tutur”)

Contoh : “Bolehkah saya mencicipi kue itu sedikit saja?”

5) Strategi 5: Give deference (“Beri penghormatan”)

Contoh : “Maaf pak, apakah Bapak keberatan kalau saya menutup

jendela?”

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

6) Strategi 6: Apologize (“Gunakan permohonan maaf”)

Contoh : “Maaf mengganggu Anda, tetapi……”

7) Strategi 7: Impersonalize S and H (“Jangan menyebutkan penutur dan

mitra tutur”)

Contoh : “Keluarkan bawang itu”

8) Strategi 8: State the FTA as a general rule (“Nyatakan tindakan

mengancam muka sebagai suatu ketentuan sosial yang umum berlaku”)

Contoh : “Johnny, kita tidak duduk di meja, kita duduk di kursi.”

9) Strategi 9: Nominalize (“Nominalkan pernyataan”)

Contoh : “Prestasi Anda dalam ujian sangat mengesankan kami.”

10) Strategi 10: Go on records as incurring a debt, or as not indebting H

(“Nyatakan secara jelas bahwa penutur telah memberikan kebaikanm

(hutang) atau tidak kepada mitra tutur”)

Contoh : “Saya dapat mengerjakan hal ini dengan mudah untuk Anda.”

d. Melakukan tindak tutur secara tidak langsung (offrecord)

Realisasi linguistik dari tindakan off record antara lain meliputi

penggunaan metafora dan ironi, pertanyaan retoris, penyederhanaan

masalah, tautologi, dan semua ungkapan yang dikemukakan secara tidak

langsung oleh penutur sehingga membuka peluang untuk diinterpretasikan

secara berbeda-beda.

Brown dan Levinson (1987:213-227) menawarkan lima belas

strategi-strategi secara tidak langsung (offrecord) sebagai berikut :

1) Strategi 1: givehints (memberi isyarat).

Contoh : “Wah, saya haus sekali.”(=Berikan saya minum)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

2) Strategi 2: give association clues (memberi petunjuk asosiasi).

Cntoh : “Kamu pulang lewat pasar Minggu, nggak?” (=Kamu bawa

mobil. Aku mau numpang sampai Pasar Minggu)

3) Strategi 3: presuppose (menggunakan prasuposisi).

Contoh : “Aku traktir lagi, nih?” (Sebelumnya sudah mentraktir temannya).

4) Strategi 4: understate (menggunakan ungkapan yang lebih halus)

Contoh : “Dia kurang pandai di sekolah.” (=Dia bodoh, tidak pandai)

5) Strategi 5: overstate (menggunakan ungkapan yang berebihan)

Contoh : “Aku telepon ratusan kali,kok nggak jawab!”

6) Strategi 6: usetautologies (menggunakan tautologi).

Contoh : “Kamu kemarin kok nggak datang, sih.Janji tinggal janji.”

7) Strategi 7: use contradictions (menggunakan kontradiksi).

Contoh : “Ah, saya nggak apa-apa. Kecewa, tidak. Nggak kecewa, juga

tidak.”

8) Strategi 8: use ironic (menggunakan ironi).

Contoh : “Kamu selalu datang tepat waktu, ya.”(=Kamu selalu datang

terlambat)

9) Strategi 9: use metaphors (menggunakan metafora).

Contoh : “Wah, kamu ini kuda, ya?”(=Kamu tidak mengenal lelah)

10) Strategi 10: use rethorical questions (menggunakan pertanyaan retorik).

Contoh : “Aku harus ngomong apa lagi?” (=Sudah aku jelaskan panjang

lebar, kamu tetap tidak mengerti)

11) Strategi 11: be ambiguous (menggunakan ungkapan yang ambigu).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

Contoh : “Wah, ada yang baru menang lotere, nih!”(=Tak jelas

maknanya, tergantung konteks).

12) Strategi 12: be vague (meggunakan ungkapan yang samar-samar).

Contoh : “Kamu tahu kan, aku pergi kemana?”

13) Strategi 13: over generalize (menggunakan generalisasi yang

berlebihan).

Contoh : “Kamu itu gampang sekali nangis. Orang dewasa kan nggak

begitu!”

14) Srategi 14: displace H (tidak mengacu ke mitra tutur secara langsung).

Contoh : “Tito, bawakan koper Ayah, ya!” (=Tito masih balita, istrinya

yang datang, membawakan koper).

15) Strategi 15: be incomplete, use ellipsis (menggunakan ungkapan yang

tidak lengkap).

Contoh : “Aduh panasnya….. .” (=Aduh panasnya ruangan ini. Tolong

AC nya dinyalakan).

e. Strategi diam

Strategi diam ini dilakukan oleh penutur untuk menanggapi ujaran

laim yang kurang pantas jika dijawab, sehingga dengan diam penutur

menunjukkan kesantunan daripada menjawab atau melakukan tindak tutur

tertentu. Untuk kepentingan analisis dan sebagai keefektifan dalam

mempergunakan teori, maka di dalam penelitian ini penulis hanya meneliti

jenis tindak tutur mengkritik dan strategi kesantunan menurut Brown

Levinson.

6. Acara Sentilan Sentilun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

Acara Sentilan Sentilun adalah sebuah acara yang ditayangkan Metro

TV setiap senin pukul 21.30 WIB. Tokoh dalam acara ini adalah tokoh

rekaan yang dimainkan secara apik oleh aktor Butet Kartaredjasa dan Slamet

Rahardjo. Acara Sentilan Sentilun membahas gonjang-ganjing suasana

perpolitikan di indonesia dari sudut pandang tersendiri. Acara ini dibuat

sedemikian rupa sehingga tema politik yang berat sekalipun akan dibawakan

dengan gaya yang kocak dan ringan mudah untuk dicerna oleh orang awam

sekalipun. Celetukan-celetukan yang panas, mungkin dapat memerahkan

telinga para politisi di Indonesiapun tidak terlalu kentara tetapi cukup telak

mengenai sasaran.

Acara Sentilan Sentilun bersetting di sebuah kediaman seorang yang

kaya raya dan ningrat dari Jawa, seorang Ndoro atau majikan bernama

Sentilan yang diperankan oleh Slamet Raharjo dan seorang batur atau

pembantunya bernama Sentilun yang diperankan oleh Butet Jogja atau Butet

Kertaradjasa. Celetukan-celetukan Sentilun yang polos dan sok tahu cukup

membantu untuk melihat gambaran perpolitikan ala rakyat indonesia pada

umumnya. Sentilun disini digambarkan sebagai wong cilik, seorang batur atau

pembantu yang ceriwis kritis dan selalu ingin tahu. Dia menyentil lawan

bicaranya dengan gayanya yang ceplas-ceplos dan sok tahu. Sentilun adalah

gambaran seorang rakyat jelata yang sadar akan politik.

Celetukan dan kritik pedas Sentilun bisa menjadi obat kesumpekan

karena morat-maritnya keadaan di dalam negeri serta sebagai pendidikan

politik yang murah meriah bagi rakyat Indonesia. Sehingga rakyat tidak

hanya disuguhi sinetron yang ceritanya itu-itu saja, acara-acara komedi yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

kurang mendidik, berita kasus korupsi yang tidak ada habisnya lalu kemudian

hilang lalu ada lagi kemudian hilang lagi, namun ikut diajak menertawakan

wakil-wakilnya yang ada di legislatif, pejabat-pejabatnya di eksekutif dan

penegak-penegak hukumnya di lembaga yudikatif.

C. Kerangka Pikir

Kerangka pikir adalah sebuah cara kerja yang dilakukan oleh penulis

untuk menyelesaikan permasalahan yang akan diteliti. Objek kajian penelitian ini

adalah tindak tutur mengkritik dan strategi kesantunan berbahasa. Sumber data

dalam penelitian ini adalah acara Sentilan Sentilun. Dari sumber data akan

diperoleh data penelitian berupa dialog percakapan dari pembawa acara dan

narasumber yang mengandung tindak tutur mengkritik dan strategi kesantunan

berbahasa. Dialog dalam acara Sentilan Sentilun akan dianalisis menggunakan

teori tindak tutur mengkritik dari Nguyen dan strategi kesantunan berbahasa dari

Brown dan Levinson. Dari tindak tutur mengkritik tersebut akan diidentifikasikan

dalam bentuk strategi tindak tutur mengkritik langsung dan strategi tindak tutur

mengkritik tidak langsung.

Kerangka berpikir yang terkait dalam penelitian ini secara garis besar

dilukiskan pada bagan di bawah ini.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

Acara Sentilan Sentilun

Tindak TuturMengkritik

Strategi Kesantunan

Berbahasa

Tindak Tutur

Mengkritik

Langsung

Tindak Tutur

Mengkritik Tidak

Langsung

Dialog Narasumber, Pembawa Acara dan Pemain Figuran dalam

Acara Sentilan Sentilun di Metro TV yang Mengandung Tindak

Tutur Mengkritik dan Strategi Kesantunan

1. Penilaian

Negatif

2. Pencelaan

3. Ekspesi

Pertentangan

4. Pernyataan

Masalah

5. Pernyataan

Kesulitan

6. Konsekurnsi

7.

8.

1. Koreksi

2. Menunjukan Standar

3. Tuntutan Perubahan

4. Permintaan Perubahan

5. Nasihat Perubahan

6. Saran Perubahan

7. Ekspresi

Ketidakpastian

8. Mengajukan/

Mengandaikan

9. Petunjuk Lain

1. Bald On Record

2. Kesantunan

Positif

3. Kesantunan

Negatif

4. Kesantunan

Samar-Samar

(Off Record)