bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori, dan … · karangasem. perbedaan konteks waktu dan...
TRANSCRIPT
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Rekaman sejarah kasus sengketa tanah dan konflik pertanahan selalu
muncul di Indonesia. Beberapa kasus tanah dari zaman pemerintah kolonial
Belanda hingga rezim Orde Baru, mulai dari kasus Cilegon Banten (1888),
Cimacan Bandung (1989), Jenggawah (1995), hingga Kalibakar Malang selatan
(1997). Kasus tanah selalu menempatkan petani berhadapan dengan penguasa
(pemerintah). Dalam posisi dikuasai perlawanan petani tidak bisa berbuat banyak
karena ada dibawah tekanan. Kajian ini memberikan pemahaman terkait dengan
hegemoni negara terhadap rakyatnya (Pratikto, 2000: 45).
Dinamika perlawanan petani merupakan reaksi defensif sebagai akibat
dari tidak terjaminnya kehidupan petani. Dengan tidak terjaminnya kehidupan
petani, maka perlawanan petani tidak survival strategy dalam menghadapi
ketidakpastian itu. Perilaku ini bukan saja menggambarkan tindakan
pengingkaran petani terhadap pemegang kebijakan (negara), melainkan juga
menjadi pertanda aksi dengan prinsip dahulukan selamat di tengah ketidakpastian
dan terjaminnya kehidupan para petani, karena kebijakan negara yang bersifat
hegemonik dan tidak pernah menguntungkan petani kecil (Mustain, 2007: 339).
Manifestasi ketidakpuasan terhadap berbagai kebijakan negara seperti
itulah yang umumnya melatari perlawanan petani. Mereka menganggap
perlawanan (penolakan terhadap pelaksanaan program pemerintah) sebagai satu-
14
satunya aksi politik yang tepat, efektif, konkrit, dan memiliki bargaining position
bagi perbaikan ekonomi dan penghidupan mereka di kemudian hari. Secara
politis, dinamika perlawanan muncul karena ingin menolak kebijakan negara
dalam masalah pertanian yang cenderung ekploitatif yang menganakemaskan
kaum kapitalis. Kesan semacam inilah yang mewarnai setiap aksi perlawanan
petani dari masa ke masa. Nasib petani di pedesaan semakin terpuruk ketika
ideologi developmentalis menjadi pilihan paradigma pembangunan rezim Orde
Baru. Ironisnya, konsep ini bukan sepenuhnya sebagai produk elite negara ketika
itu, melainkan hasil konstruksi kekuatan kapitalis global yang problematik bagi
petani.
Ketika tanah menjadi komoditas, investasi modal asing secara besar-
besaran melalui industrialisasi diperlukan ketersediaan tanah pertanian untuk
kepentingan operasionalnya. Akibatnya, tanah menjadi komoditas dan
memunculkan pasar tanah. Di Indonesia investor sering tertarik menanamkan
modalnya dalam bentuk tanah karena menguntungkan. Proses ini secara tidak
disadari telah mengintegrasikan petani dengan tanahnya ke dalam sistem
kapitalisme. Pemerintah melalui ekspansi pasar memfasilitasinya dengan
melakukan intervensi melalui kebijakan pemerintah/negara.
Sejarah radikalisasi gerakan petani di Indonesia bisa dibedakan menurut
masanya. Misalnya, masa kolonial, masa Orde Lama, masa Orde Baru, dan masa
reformasi yang memiliki karakteristik yang berlainan. Radikalisasi petani pada
era kolonial terjadi karena pengambilan tanah adat secara paksa oleh pemerintah
kolonial untuk kepentingan penguasaan tanah oleh negara untuk kepentingan
aktivitas usaha perkebunan negara atau swasta transnasional (Kartodirdjo, 1984;
15
Kuntowijoyo, 1997). Bentuk radikalisasi petani seperti digambarkan oleh
Kuntowijoyo dan Sartono Kartodirdjo berupa pemberontakan dalam sekala
mikro secara struktural yang dipimpin oleh seorang tokoh yang diidealiskan
sebagai Ratu Adil atau Imam Mahdi, yaitu seorang yang mengemban misi
membebaskan rakyat dari kesengsaraan dan akan memimpin secara bijaksana.
Radikalisasi petani pada era Orde Lama lebih diakibatkan oleh intervensi
partai politik dalam mem-blow-up masalah tanah sebagai isu kepentingan partai.
Berlainan dengan masa Orde Baru, karakteristik konflik pertanahan bersifat
vertikal antara pemegang hak dengan pengusaha yang berkolaborasi dengan
penguasa (birokrasi pemerintah). Paradigma Orde Baru mengedepankan program
pembangunan pertanian secara sentralistik melalui revolusi hijau, mengutamakan
pertumbuhan ekonomi, investasi asing dan komersialisasi tanah. Radikalisasi
petani pada masa reformasi lebih dilabeli dengan program otonomi daerah
sebagai akibat dari tidak jelasnya paradigma dalam penanganan sektor pertanian,
sehingga nasib petani tetap termarginalisasi oleh pemilik modal. Namun bedanya
lebih jelas, radikalisasi petani di pedesaan lebih rasional dengan tujuan lebih
jelas, yaitu kenaikan harga gabah dan tuntutan hak-hak atas tanah (Siahaan,
1996: 17-18).
Kajian tentang kehidupan petani dan perlawanan petani terhadap
pemerintah (penguasa) dan pengusaha (kapitalis) di Indonesia masih relatif
sedikit diteliti dan ditulis, baik oleh sarjana asing maupun sarjana Indonesia.
Beberapa studi gerakan petani pedesaan yang pernah dilakukan antara lain oleh
Hotman Siahaan tentang ”Pembangkangan Terselubung Petani dalam Program
Tebu Rakyat Intensifikasi sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi (1996)”.
16
Endang Suhendar dan Yohanda Budi W. (1998), meneliti tentang ”Kondisi dan
Kebijakan Agraria, Pola dan Level Konflik Petani, Aktor-Aktor yang Terlibat
dan Upaya Penyelesaian Konflik Petani.” Hasil kajian ini menunjukkan, sebagian
besar kasus konflik petani berhubungan dengan sistem politik yang berkembang,
dan konflik yang terjadi sepanjang sejarah, petani berada pada posisi paling
lemah, baik secara ekonomi maupun politik. Heri Yuswadi (1999) melalui
penelitiannya tentang ”Bentuk Resistensi Masyarakat Tani Terhadap Kebijakan
Pembangunan Pertanian”, menyatakan bahwa terdapat pengingkaran di kalangan
petani terhadap kebijakan dan instruksi negara. Analisis ini dapat digunakan
untuk membongkar dinamika perlawanan petani Subak Susuan Karangasem.
James J. Scott, seorang pakar politik yang banyak melakukan studi di
kawasan Asia Tenggara memandang model gerakan perlawanan kaum petani
sebagai model perlawanan ”Gaya Asia”. Model ini merupakan gerakan petani
miskin yang lemah dengan organisasi yang anonim, bersifat nonformal melalui
koordinasi asal sama tahu, perlawanan kecil-kecil dan sembunyi-sembunyi yang
dilakukan setiap hari dengan kesabaran dan kehati-hatian, mencuri barang kecil-
kecil, memperlambat kerja, berpura-pura sakit dan bodoh, di depan bilang ‟ya‟,
tetapi di belakang mengumpat (Scott, 1993: 275; Scott, 2000: 321; Rachman,
2017: 198-200).
Gaya perlawanan petani Asia tersebut digambarkan oleh Scott
melalui”hikayat” petani miskin di Sedaka, Malaysia pada saat berhadapan
dengan proses perubahan dengan efek marginalisasi yang menimpa mereka
dengan karya monumentalnya yang berjudul Weaponss of the Weak: Everyday
Forms of Peasant Resistance (1985). Para petani miskin terancam
17
kesejahtraannya dan status sosialnya akibat penetrasi kapital ke desanya.
Kebijakan pemerintah (dalam konteks kebijakan revolusi hijau) dinilai telah
memorakporandakan tatanan sosial budaya petani miskin, sehingga mereka
melampiaskan kemarahannya dengan melakukan gerakan perlawanan terhadap
orang-orang kaya dan negara.
Meluasnya peran negara dalam proses transformasi pedesaan
mengakibatkan; pertama, perubahan hubungan antara petani lapisan kaya dan
lapisan miskin, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Perubahan demikian melahirkan berbagai bentuk dinamika perlawanan kaum
lemah dalam menghadapi hegemoni kaum kaya maupun negara. Kedua,
munculnya realitas kaum miskin membentuk kesadaran untuk melakukan
perlawanan dalam berbagai bentuk yang merupakan pembelotan kultural. Ketiga,
terbangunnya senjata gerakan perlawanan menghadapi kaum kaya maupun
negara. Senjata yang digunakan dengan caranya sendiri, khas kaum lemah,
seperti; menghambat, pura-pura menurut, pura-pura tidak tahu, perusakan,
berlaku tidak jujur, mencopet, masa bodoh, membuat skandal, membakar,
memfitnah, sabotase, yang mengakhiri pertentangan secara kolektif (Scott,
1985:141)
Menururt Scott, tujuan sebagian besar perlawanan petani bukanlah secara
langsung mengubah sistem dominasi yang mapan, melainkan lebih dimaksudkan
sebagai upaya untuk tetap hidup dalam sistem itu. Perlawanan yang dimaksud
oleh Scott adalah sebagai berikut.
”...tiap (semua) tindakan oleh (para) anggota kelas itu dengan maksud
untuk melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan (misalnya sewa, pajak,
dan penghormatan) yang dikenakan pada kelas itu oleh kelas-kelas yang
lebih atas (misalnya tuan tanah, negara, pemilik mesin, pemberi pinjaman
18
uang) atau untuk mengajukan tuntutan-tuntutan sendiri (misalnya
pekerjaan, lahan, kemurahan hati, penghargaan) terhadap kelas-kelas
atasan ini (Scott, 1993: 302)
Berdasarkan definisi Scott di atas, ada tiga hal yang perlu dijelaskan.
Pertama, tidak ada keharusan bagi perlawanan untuk mengambil bentuk aksi
bersama. Kedua, perlawanan merupakan masalah yang pelik. Ketiga, definisi ini
mengakui apa yang dapat dinamakan perlawanan simbolis atau ideologis
(misalnya; gosip, fitnah, penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan,
penarikan kembali sikap hormat) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
perlawanan berdasarkan kelas.
Melalui buku Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara (1994), James C. Scott mengungkapkan bahwa kehidupan petani
ditandai oleh hubungan moral sehingga melahirkan ekonomi moral yang lebih
mengutamakan ”dahulukan selamat” dan menjauhkan garis bahaya. Moralitas
mendahulukan keselamatan inilah yang dijadikan kunci oleh pendekatan
ekonomi moral dalam menjelaskan gerakan perlawanan petani. Berdasar hasil
penelitiannya di Malaysia, Scott menunjukkan bahwa everyday forms of
resistence merupakan bentuk perlawanan terselubung bagi petani sebagai reaksi
terhadap everyday forms of repression yang dilakukan oleh para tuan tanah,
sebagai musuh bersama mereka dan perlawanan terhadap dampak revolusi hijau
yang mengancam kelangsungan hidupnya. Prinsip mendahulukan keselamatan
merupakan sumber kekuatan moral yang memungkinkan para petani menolak
perubahan dan siap melakukan perlawanan apabila mereka dihadapkan kepada
kenyataan yang tidak memberikan pilihan lain.
19
Scott menggambarkan tentang kondisi petani di Asia Tenggara, setidak-
tidaknya dalam konteks situasi tertentu, masih bisa digunakan untuk menjelaskan
dan menggambarkan kondisi petani Subak Susuan Karangasem pada masa pra
revolusi hijau berkembang. Scott menggambarkan, ada daerah-daerah yang
posisi penduduk pedesaan ibarat orang yang selamanya berdiri terendam dalam
air sampai ke leher, sehingga ombak yang kecil sekali pun dapat
menenggelamkannya.
Meskipun kajian Scott penuh dengan nilai dan nuansa lokal dan lokality
Sedaka Malaysia, marginalisasi yang dialami petani Malaysia tidak jauh berbeda
dengan marginalisasi petani Indonesia, terutama petani Subak Susuan
Karangasem. Perbedaan konteks waktu dan tempat mungkin mempengaruhi dan
mewarnai perlawanan, namun substansinya tidak jauh berbeda. Misalnya, ketika
pada dekade tahun 1970-an lebih dominan perlawanan-perlawanan model ”di
balik punggung”. Pada abad ke-21 coraknya lebih frontal dan ekspresif. Namun,
perbedaan corak perlawanan itu tetap mencuat dari akar yang sama, yaitu
marginalisasi, penghinaan kultural, dan perampasan kesejahtraan petani miskin.
Jika posisi negara masih begitu kuat dan represif, seperti ketika era
Belanda dan Orde Baru, pola dan strategi perlawanan petani Subak Susuan
Karangasem tak jauh berbeda seperti apa yang digambarkan oleh Scott. Akan
tetapi, bentuk dan strategi perlawanan model Scottian telah mulai ditinggalkan
oleh para petani di Subak Susuan Karangasem. Pilihan strategi perlawanan petani
Subak Susuan Karangasem di era Orde Baru bukan lagi perlawanan diam-diam,
dahulukan selamat, dan terselubung (sebagaimana hasil studi Hotman Siahaan,
20
1996, terhadap petani tebu di Kediri), melainkan perlawanan petani sudah
terbuka, ekspresif, eksplosif, demonstratif, massal, dan ekspansif.
Dalam situasi transisional menuju perubahan sosial, seorang pemimpin
gerakan berpeluang mendayagunakan sejumlah potensi nilai-nilai lokal untuk
memobilisasi perlawanan. Dalam proses ini, institusi, organisasi, dan asosiasi-
asosiasi lokal yang ada digunakan untuk memobilisasi gerakan perlawanan.
Namun, upaya memobilisasi struktur dalam nilai-nilai lokal masih harus
memperhatikan ada tidaknya kesempatan dan ancaman atau situasi lingkungan
yang ada. McAdam cs menyebut dengan the repertoire of contention, suatu jalan
yang secara budaya menandakan pada saat orang-orang berinteraksi dalam
pertikaian politik. Pentingnya memperhatikan faktor kekuatan dan tekanan
negara seperti ini juga dikemukakan oleh Ecsktein (1989) pada saat mengkritik
Popkin dengan teori rasionalitasnya. Demikian juga adanya kesempatan
(repression and facilities factors), sebagaimana dinyatakan oleh Tilly (1978) dan
Wolf (1969) bahwa perlawanan tidak akan pernah terjadi jika situasinya benar-
benar tidak mendukung.
Scott juga beranggapan bahwa petani menganut gaya hidup kolektif.
Sikap ini disebabkan oleh struktur kehidupan yang terjepit dan harus
menyelamatkan diri. Selain itu, para petani juga menganut azas pemerataan,
dengan pengertian membagikan secara sama rata apa yang terdapat di desa,
karena mereka percaya kepada hak moral para petani untuk dapat hidup layak.
Oleh karena itu, dikenakan sistem bagi hasil, selamatan yang dilakukan oleh
petani sebagai tanda membagi rezeki dengan komunitas desa. Sementara itu,
21
intensifikasi pertanian dan komersialisasi hasil agraria dianggap sebagai
ancaman oleh para petani.
Konsep lain yang digunakan oleh Scott dalam menjelaskan perlawanan
petani adalah konsep kepemimpinan, struktur sosial, dan relasi sosial ekonomi
yang ada dalam masyarakat prakapitalis. Stuktur sosial yang terdapat pada
masyarakat ini secara horizontal ditandai oleh homogenitas yang tinggi dan
secara vertikal ditandai oleh struktur berbentuk kerucut. Dalam struktur kerucut
ini, posisi puncak strata sosial diduduki oleh kaum elite yang berjumlah sedikit,
struktur bawah yang jumlahnya cukup banyak diduduki oleh para petani. Dalam
struktur masyarakat seperti ini faktor kepemimpinan memegang peranan penting
dalam dinamika perlawanan petani di Subak Susuan Karangasem.
Berbeda dengan Scott yang melihat perlawanan petani dari peran revolusi
hijau, Samuel L.Popkin (1979:249) dalam bukunya The Rational Peasant: The
Political Economy of Rural Society in Vietnam menjelaskan bahwa gerakan
perlawanan petani karena faktor-faktor determinan individu, bukannya
kelompok. Bagi Popkin, revolusi hijau sebagai program pembangunan negara
adalah positif bagi dinamika dan semangat individu, petani, sebagai manusia,
seperti manusia lain yang juga ingin kaya, karena itu, rasional. Semua bentuk
perlawanan petani untuk menentang kekuasaan elite desa dan petani kaya yang
mengatasnamakan komunitas tradisionalnya demi mempertahankan institusi
yang lebih menguntungkannya dan cenderung mengimpit kehidupan petani
miskin, bukan untuk menentang revolusi hijau atau menolak perubahan.
Tampaknya Olson (1971) dan Ecsktein (1989) tidak sependapat dengan
semua penjelasan rasionalitas seperti yang dikemukakan oleh Popkin di atas.
22
Sikap rasionalitas individual, kata Olson tidak selalu mendorong perlawanan
petani. Ecsktein menyatakan, teori rasionalitas Popkin melupakan kuatnya
tekanan negara dalam menggagalkan bentuk perlawanan terbuka. Ketika terjadi
aksi perlawanan yang dianggap melawan hukum, para petani bisa melakukan
berbagai tindakan untuk menentangnya secara bersama-sama yang tidak dapat
dijelaskan pada tingkat individual, tempat teori pilihan rasional bertumpu.
Bates (1981) dan Popkin (1979) dalam perspektif ekonomi-politik
menyatakan, bahwa penyebab atas terjadinya perlawanan para petani tradisional
datang dari penetrasi kapitalisme ke kawasan pedesaan yang dalam banyak kasus
melahirkan eksploitasi terhadap para petani oleh para tuan tanah, negara, dan
kaum kapitalis. Konsep ini bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena yang
terjadi di Subak Susuam Karangasem pada masa Orde Baru hingga sekarang,
hanya gayanya yang berbeda seperti kasus bibit padi Super Toy yang digandeng
oleh partai politik tertentu.
Robert Ted Gurr (1970), dalam bukunya Why Men Rebel?, menjelaskan
penyebab terjadinya perlawanan petani dari perspektif psikologi sosial. Ia
menjelaskan gerakan sosial melalui konsep motivasi psikologis petani untuk
melibatkan diri ke dalam kekerasan politik atau bergabung ke dalam gerakan
oposisi. Ketimpangan sosial menyebabkan posisi rakyat miskin tidak mempunyai
cukup ruang untuk mengaktualisasikan diri, sehingga mereka melakukan
perlawanan. Oleh karena itu, sifat memberontak kelompok miskin bukanlah
sesuatu yang ”given” dalam kemiskinannya, melainkan lebih sebagai akibat dari
ketakberdayaannya dalam tekanan struktur sosial dan politik yang timpang.
23
Sebaliknya, kelompok strata atas karena secara struktural menguasai akses yang
memadai sehingga dengan mudah dapat mengendalikan kelompok miskin.
Pandangan Gurr bahwa kekerasan politik terjadi ketika banyak anggota
masyarakat menjadi marah, khususnya jika kondisi praktis dan budaya yang ada
merangsang terjadinya agresi terhadap sasaran-sasaran politik. Orang akan marah
apabila ada jurang pemisah antara barang berharga dengan kesempatan yang
mereka anggap sebagai haknya, yang dikenal sebagai ”deprivasi relatif”. Gurr
menawarkan model khusus untuk menjelaskan berbagai bentuk kekerasan politik
yang utama. Ia membedakan antara kekacauan, persekongkolan, dan perang
saudara sebagai bentuk utama. Kajian terhadap buku ini dapat memberikan
inspirasi yang mendalam untuk menganalisis sebab-sebab terjadinya dinamika
perlawanan petani di Subak Susuan Karangasem.
Sartono Kartodirdjo (1984) dalam penelitiannya mengenai
Pemberontakan Petani Banten tahun 1888, memberikan perspektif baru dalam
melakukan pengkajian terhadap sejarah struktural pada lapisan bawah. Buku ini
merupakan kritik terhadap pendekatan konvensional sejarah kolonial yang
mengenyampingkan peran rakyat dan petani. Gerakan sosial tidak hanya
bertujuan mentransmisikan informasi aktual mengenai pemberontakan Banten
tahun 1888, namun berupaya untuk menjelaskan proses sosial di Indonesia pada
abad ke-19. Pemberontakan ini merupakan salah satu dari serangkaian
pemberontakan yang terjadi di Banten dan sekaligus sebagai contoh timbulnya
ledakan sosial yang melanda seluruh pulau Jawa. Hampir semua pemberontakan
memiliki karakteristik sama, yaitu bersifat tradisional, lokal, tidak ada relasi satu
dengan yang lainnya dan berumur pendek. Pemberontakan petani mengandung
24
arti sebagai wujud manifestasi dari pergolakan agraris arus bawah dari
mainstream perkembangan politik Pax Neerlandica. Pemicu timbulnya
pemberontakan sebagai akibat dari akumulasi berbagai ketidakpuasan,
ketidaksenangan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keagamaan.
Biasanya pemimpin pemberontakan berasal dari elit agama di desa (kyai).
Mengingat begitu pentingnya faktor pemimpin dalam gerakan perlawanan petani,
maka diasumsikan bahwa tidak akan terjadi perlawanan apabila tidak ada
pemimpin yang menggerakkannya (Kartodirdjo, 1974:7-8; Landberger, 1973:47-
49). Buku ini banyak memberikan konsep dan teori yang berkaitan dengan
perlawanan petani dan tampaknya dapat diaplikasikan dalam menganalisis latar
belakang (secara struktural, bukan kritis) munculnya perlawanan petani di Subak
Susuan Karangasem.
Hasil laporan penelitian I Gde Parimartha dkk. (1989), skripsi S1 I Ketut
Suastika (1991) serta hasil penelitian berupa thesis (S2) Ida Bagus Ketut Astina
(2002) merupakan studi awal mengenai gerakan protes masyarakat petani Subak
Susuan Karangasem yang muncul tahun 1976. Semua hasil penelitian ini
menyimpulkan ketidakberhasilan pemerintah dalam menerapkan program
inovasi pertanian, berupa pengenalan bibit padi unggul kepada petani Subak
Susuan Karangasem. Semua penelitian ini kajiannya terfokus pada saat peristiwa
itu terjadi. Disamping itu, kajian Ida Bagus Ketut Astina lebih mengarah pada
kajian historis, sedang dalam kajian ini disoroti dari perspektif cultural studies,
sebagai suatu usaha untuk mengadakan pembelaan kepada masyarakat petani
Subak Susuan Karangasem yang termarginalkan. Penelitian-penelitian seperti di
25
atas banyak memberikan kontribusi dalam kajian ini, khususnya mengenai data-
data yang telah dikumpulkan dalam memperkaya penelitian ini.
Teori yang diajukan bukanlah sebagai jawaban terhadap fenomena yang
diangkat melainkan sebagai perspektif. Oleh karena itu, teori yang ditawarkan
semula bisa saja berubah atau diganti dengan teori lainnya yang lebih relevan
ketika fakta atau temuan di lapangan mengisyaratkan hal itu. Dengan kata lain,
suatu teori yang direncanakan dipakai sebelumnya tidak bisa dipaksakan untuk
terus dipertahankan ketika sulit menemukan relevansinya dengan temuan-
temuan lapangan, mengingat penelitian cultural studies yang menggunakan
pendekatan kualiatif tunduk pada realitas di lapangan (bersifat emik) dan
kontemporer. Dengan demikian, kajian Ida Bagus Ketut Astina masih memiliki
benang merah dengan kajian ini, hanya saja implikasinya akan dilihat dalam
kehidupan masyarakat petani di Subak Susuan Karangasem.
Penolakan petani Subak Susuan Karangasem terhadap program inovasi
khususnya dalam bidang pertanian yang dicanangkan oleh pemerintah pusat,
menimbulkan sikap agresivitas aparat pemerintah secara kasar yang menurut
Althuser disebut sebagai represif state aparatus. Sikap pemerintah yang kurang
bersahabat, merupakan pemicu terjadinya perlawanan struktual dan kultural
petani Subak Susuan Karangasem dan menuntut keadilan kepada pemerintah.
Tampaknya usaha petani Subak Susuan Karangasem mengalami kebuntuan,
karena para pemimpin dan tokoh perlawanannya ditangkap dan diadili melalui
proses panjang (Bali Post, 18 Februari 1977, hal. 3, kol. 4-5).
26
2.2 Konsep
Konsep merupakan ide atau pengertian yang diabstraksikan dari peristiwa
konkret atau merupakan gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang
ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami realitas di
masyarakat. Konsep penting dan dibutuhkan dalam penelitian ilmiah. Beberapa
konsep yang perlu dipertegas dalam penelitian ini adalah; konsep dinamika,
perlawanan petani, Subak Susuan, dan revolusi hijau.
2.2.1 Dinamika
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (2005:265), dinamika
mengandung arti gerak dari dalam, tenaga yang menggerakkan, semangat
(jengah). Secara operasional dinamika perlawanan petani terhadap revolusi hijau
di Subak Susuan Karangasem berarti gerak perlawanan petani yang
menimbulkan perubahan dalam tatanan sistem pertanian yang sedang mengalami
goncangan, sebagai akibat dari adanya program revolusi hijau yang diberlakukan
di Subak Susuan Karangasem.
2.2.2 Perlawanan Petani
Hery Santoso (2004), dalam bukunya Perlawanan di Simpang Jalan
memperdebatkan makna kosa kata “perlawanan” yang terdapat dalam teks yang
merupakan representasi dari sejumlah studi perlawanan yang ada. Fokus
kajiannya lebih diarahkan kepada adanya perbedaan pandangan mengenai ciri-
ciri gerakan perlawanan menurut Mullin dan Genovese (1972) dan James C.
Scott (1973). Mullin dan Genovese meyakini bahwa sebuah perlawanan harus
bersifat organik, sistemik, berprinsip, tidak mementingkan diri sendiri, dan
mencakup gagasan atau maksud-maksud yang meniadakan basis dominasi.
27
Mullin beranggapan bahwa aksi kecil-kecilan yang dilakukan oleh para budak
bukan merupakan perlawanan, melainkan pemberontakan terbatas, bahkan
pelampiasan kesenangan belaka. Menurutnya, hanya aksi-aksi yang terorganisir
dan sistemik saja yang dapat digolongkan sebagai perlawanan (Gerald W.
Mullin, 1972).
Sementara itu, menurut James C.Scott (1973) aksi kecil-kecilan atau yang
sering disebut sebagai perlawanan sehari-hari kerap menunjukkan ciri-ciri yang
bertolak belakang dengan ciri-ciri di atas, yakni tidak teratur, tidak sistematis,
individual, oportunistik, dan mengakomodasi sistem dominan. Dalam hal ini
Santoso lebih berpihak kepada pendapat Scott, karena menurutnya Scott telah
dengan gigih dan konsisten menyuarakan pentingya apresiasi terhadap gerakan-
gerakan kecil para petani. Selanjutnya, dinyatakan pula bahwa pemaknaan
perlawanan tidak bisa lepas begitu saja dari konteks sosialnya. Gerakan
perlawanan kaum tani atau perlawanan masyarakat desa misalnya, tidak akan
pernah dikenal kalau yang dimaksud dengan perlawanan adalah aksi-aksi
terorganisasi semacam demonstrasi para mahasiswa. Menurut Santoso, karya-
karya Scott sesungguhnya telah memberikan landasan yang kokoh bagi
perspektif baru perlawanan, khususnya yang dilakukan oleh kaum tani dan
orang-orang miskin lainnya.
Hal yang perlu diperhatikan bagi setiap analisis aksi kecil-kecilan adalah
pandangan Scott berkenaan dengan maksud dan konsekuensi perlawanan. Dari
berbagai fenomena perlawanan yang diamati selama ini tersirat pengertian
mendalam bahwa:
“...apa yang dimaksud sebagai perlawanan lebih ditujukan oleh maksud
daripada konsekuensi, karena siapa pun tahu, tak ada jaminan sebuah aksi
28
akan menuai keberhasilan. Maka ketika aksi kecil-kecilan yang dilakukan
oleh orang-orang miskin gagal menciptakan perubahan, tidak otomatis
kita bisa mengatakan bahwa itu bukan perlawanan. Dari sekian banyak
perlawanan terorganisir yang pernah ada, rasanya juga hanya sedikit yang
menuai keberhasilan, sebagian besar kandas di tengah jalan. Itulah
mengapa, sebaiknya kita tak lagi menyandarkan pada premis
konsekuensi, untuk menentukan apakah sebuah aksi dinamakan
perlawanan atau bukan. Dan sebagai gantinya, kita perlu lebih
memfokuskan analisis pada hal-hal yang terkait dengan maksud. Dimana
sebuah aksi diikuti dengan maksud,di sana ada sinyal kuat sebuah
perlawanan sedang dilakukan” (Santoso, 2004:310).
Basrowi dan Sukidin (2003) bertumpu pada asumsi bahwa realitas sosial
selalu menimbulkan ketidakpuasan, terutama akibat ketidakadilan tatanan yang
ada, menganggap gerakan perlawanan berasosiasi dengan berbagai tindakan yang
dilakukan untuk memberikan respons terhadap realitas sosial. Pada umumnya,
gerakan perlawanan ditentukan oleh dinamika dan konfigurasi kekuasaan atau
tarik- menarik antara kekuatan yang menghendaki perubahan dan kekuatan yang
tidak menghendaki perubahan. Sementara, Chris Barker (2005: 520)
mendefinisikan perlawanan sebagai sebuah kategori penilaian normatif tentang
suatu tindakan. Resistensi muncul dari hubungan-hubungan kekuasaan dan
subordinasi dalam bentuk tantangan dan negosiasi terhadap tatanan yang mapan,
resistensi bersifat relasional dan konjungtural.
Perlawanan petani atau dalam kajian budaya sering disebut resistensi
petani, protes atau radikalisasi petani terhadap kekuasaan negara pada umumnya
berlangsung dalam konteks interaksi antara pemerintah dengan petani. Mengenai
definisi formal istilah ‟petani‟ tampaknya sulit merumuskannya, karena masing-
masing peneliti mempunyai pengertian sendiri. Landsberger (1981:8-9)
menyatakan bahwa tak mungkinlah mendefinisikan perkataan ‟petani‟ dengan
tepat, karena batasnya memang kabur pada ujung kenyataan sosial itu sendiri.
29
Penduduk secara eksistensial terlibat dalam cocok-tanam dan membuat
keputusan yang otonom tentang proses cocok-tanam. Kategori itu mencakup
penggarapan atau penerima bagi hasil maupun pemilik-penggarap selama mereka
ini berada pada posisi pembuat keputusan yang relevan tentang pertumbuhan
tanaman mereka. Namun, itu tidak memasukkan nelayan atau buruh tani tidak
bertanah (Wolf, 1970: xiv).
Dalam catatan sejarah, setiap kebijakan pemerintah yang merugikan
petani sering menimbulkan resistensi atau gerakan aksi dengan berbagai bentuk
kekerasan, baik dalam sekala besar maupun kecil. Resistensi petani adalah setiap
aksi yang dilakukan oleh petani dengan sasaran mengurangi atau menolak
berbagai tuntutan dari penguasa terhadap yang dikuasai. Sementara itu,
Landsberger (1981:24) menjelaskan bahwa gerakan petani adalah setiap reaksi
kolektif terhadap subordinasi dan marginalisasi status petani. Wolf (1983)
mengatakan bahwa gerakan petani adalah koalisi berupa kelompok-kelompok
yang tidak stabil dan berubah-ubah mencakup kesatuan yang otonom, saling
bertentangan, dan persatuannya bersifat sementara. Perlawanan yang dilakukan
oleh petani merupakan rerspons terhadap berbagai persoalan lokal dan sebagai
reaksi yang sempit terhadap perubahan sosial. Perlawanan petani muncul dari
kelompok organisasi yang merasa tidak puas serta diperlakukan secara tidak adil
(Kartodirdjo, 1971: 38; Landsberger, 1981: 24).
Resistensi petani lahir sebagai bentuk keprihatinan terhadap
penghancuran lingkungan pedesaan yang bermuara pada kehancuran kehidupan
petani dari habitatnya. Latar belakang munculnya resistensi bertolak dari
konsepsi hegemoni Gramsci yang dielaborasikan dengan pendekatan semiotika
30
struktural. Gambaran mengenai resistensi sebagaimana disebutkan di atas, dapat
memberikan landasan pengertian terhadap konsep resistensi yang dimaksudkan
untuk membingkai arah kajian dalam penelitian ini. Resistensi adalah sikap
perlawanan yang dijiwai oleh ketidakpuasan dalam suasana ketidakberdayaan
akibat dominasi, sehingga cenderung melahirkan representasi dalam perubahan
perilaku budaya dari suatu masyarakat.
Mengacu pada beberapa batasan pengertian mengenai perlawanan yang
telah dipaparkan di atas, maka konsep perlawanan yang digunakan dalam kajian
ini dibangun dengan mensintesakan konsep-konsep perlawanan yang diajukan
oleh Scott, Basrowi, Sukidin, serta definisi yang diajukan oleh Chris Barker
dengan mereduksi beberapa bagian yang tidak relevan dengan konteks kajian ini.
Dengan demikian, perlawanan yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah
berbagai aksi yang dilakukan oleh individu maupun kelompok yang dilakukan
secara terorganisir, sistematis, teratur, ataupun tidak, sebagai ekspresi
ketidakpuasan terhadap hubungan kekuasaan dan subordinasi dalam bentuk
tantangan dan negosiasi terhadap tatanan yang mapan.
2.2.3 Revolusi Hijau
Revolusi hijau merupakan istilah yang mulai dikenal di Indonesia sejak
tahun 1960-an, yang mengacu pada program intensifikasi pertanian tanaman
pangan. Program ini telah mengantarkan beberapa teknologi baru dalam teknik
pertanian (agronomi). Sejak tahun 1960-an ditetapkan secara meluas diberbagai
negara yang sedang berkembang, khususnya di benua Amerika Latin dan di
benua Asia. Sejak awal, tujuan program di bawah nama yang berbeda bermaksud
31
untuk meningkatkan produksi tanaman pangan dan peningkatan tersebut dapat
diusahakan tanpa mengubah struktur sosial pedesaan. Dengan kata lain, golongan
petani mana yang memanfaatkan dan menikmati program tersebut tidak terlalu
dirisaukan. Pikiran dasarnya adalah produksi harus naik, soal pembagian hasil,
akan diatur oleh kekuatan atau mekanisme pasar.
”Revolusi” adalah istilah yang mengacu kepada perubahan yang dalam
waktu relatif singkat menyangkut ledakan inovasi yang secara meluas diadopsi
yang menyangkut bukan saja peningkatan secara kuantitas produksi pertanian,
tetapi juga kualitatif sistem produksi, hubungan produksi, dan perdagangan.
Tanpa hal itu, peningkatan produksi tidak dapat dipertahankan. Artinya
”Revolusi Pertanian” cenderung membawa seperangkat hubungan baru antara
masyarakat dengan alam, antara unsur-unsur dalam masyarakat pedesaan, dan
antara masyarakat pedesaan dengan jaringan yang lebih luas, yaitu; bangsa,
negara, bahkan peradaban (Wiradi, 1989:3-4; Tjondronegoro, 1989:1-2).
Secara konseptual bahwa revolusi hijau adalah suatu gerakan peningkatan
pengadaan pangan yang mampu mentransformasikan struktur sosial-ekonomi
daerah pertanian melalui pemanfaatan revolusi biologi berupa bibit padi varietas
unggul, pemanfaatan revolusi kimiawi berupa macam-macam pupuk buatan serta
obat-obatan anti hama (Wahono, 1994:3-4).
2.2.4 Subak Susuan Karangasem
Subak adalah sebuah organisasi atau lembaga sosial yang berfungsi
mengatur sistem pengairan di Bali yang merupakan salah satu keunggulan local
genius dan identitas budaya yang dapat ditampilkan sebagai kajian budaya.
32
Sistem subak telah menunjukkan keunggulan dengan konsep budaya pertanian
berdimensi tri hita karana, yakni; keselarasan, keharmonisan hubungan antara
manusia (pawongan), alam (palemahan), dan pencipta (parhyangan).
Geertz (2000) menyebutkan bahwa subak adalah sebuah unit produksi
bersifat otonom dalam mengatur rumah tangganya sendiri, khususnya yang
berkaitan dengan pengaturan saluran air irigasi dari bendungan yang menjadi
milik beberapa subak. Subak adalah lembaga sosial yang merupakan satu
kesatuan pemilik atas penggarapan sawah yang memperoleh bagian air irigasi
dari bendungan tertentu dengan aktivitas kerja dibidang pertanian (Rivai,
1980:55).
Sutawan mendifinisikan subak sebagai organisasi petani lahan basah
untuk memperoleh air irigasi dari suatu sumber bersama, memiliki satu atau
lebih tempat pemujaan (pura Bedugul sebagai tempat memuja Dewi Sri yang
merupakan manifestasi dari dewi kesuburan) serta memiliki kebebasan dalam
mengatur rumah tangganya sendiri maupun dalam berhubungan dengan pihak
luar. Jadi, secara fisik subak merupakan hamparan persawahan dengan fasilitas
irigasinya dan secara sosial subak merupakan organisasi petani yang bersifat
otonom (Pitana, 1997:2).
Sejalan dengan akselerasi teknologi dan perkembangan ilmu
pengetahuan, dampaknya inheren memasuki sebagian besar kehidupan manusia,
baik dalam domain ekonomi, politik, sosial maupun budaya termasuk pertanian.
Sifat otonomi subak tidak sepenuhnya dapat dipertahankan lagi, karena
intervensi pemerintah telah masuk dalam organisasi subak. Pada era Orde Baru
dengan kebijakan politik pertanian guna menghasilkan swasembada beras telah
33
mendorong intervensi pemerintah ke dalam berbagai sistem irigasi termasuk
aktivitas pola tanam petani dari bibit sampai purna jual hasil panen (Windia,
1977:115). Jadi, yang dimaksud Subak Susuan dalam kajian ini adalah organisasi
sosial religius petani baik pemilik atau penggarap sawah yang berada di
lingkungan Subak Susuan Karangasem.
2.3 Landasan Teori
Teori pada dasarnya merupakan azas, konsep dasar atau pernyataan yang
telah menjadi hukum umum yang dapat digunakan untuk membedah suatu
fenomena dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena kehidupan masyarakat pada
saat ini semakin kompleks, maka penggunaan monodisiplin sebagai alat analisis
kurang memadai, karena itu pendekatan multidimensional dan interdisipliner
sangat dibutuhkan (Kartodirdjo, 1992:124; Barker, 2005:6). Berdasarkan
identifikasi dan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan, maka beberapa
teori yang dipakai untuk membedah beberapa permasalahan dalam penelitian ini
adalah: teori hegemoni, teori diskursus kuasa/ pengetahuan, dan teori tindakan
komunikatif.
2.3.1 Teori Hegemoni
Teori hegemoni Gramsci merupakan salah satu teori politik yang penting
pada abad XX. Teori ini dibangun di atas premis betapa pentingnya ide dan tidak
mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial-politik. Kajian ini
mengacu pada pemahaman Gramsci mengenai hegemoni sebagai sarana kultural
maupun ideologis, dengan kelompok-kelompok yang dominan dalam masyarakat
34
dan melestarikan dominasinya melalui konsensus terhadap kelompok-kelompok
subordinat. Dengan demikian, budaya yang ada pada suatu masyarakat dapat
diinterpretasi sebagai hasil atau perwujudan hegemoni, perwujudan dari
penerimaan konsesual oleh kelompok-kelompok gagasan subordinat, nilai-nilai
dan kepemimpinan kelompok-kelompok dominan.
Gramsci tidak mempertentangkan hegemoni dengan paksaan dan
kekuatan. Teori Gramsci mengemukakan bahwa kelompok-kelompok subordinat
menerima gagasan, nilai-nilai, maupun kepemimpinan kelompok dominan bukan
karena paksaan secara fisik atau mental. Mereka dibujuk untuk melakukannya,
juga bukan karena diindoktrinasi secara ideologis, tetapi karena mereka punya
alasan. Menurut Gramsci, hegemoni diamankan karena konsesi dibuat oleh
kelompok dominan terhadap subordinat. Kebudayaan yang dibangun dengan
hegemoni ini mengekspresikan kepentingan kelompok-kelompok subordinat.
Teori hegemoni Gramsci mensyaratkan penggunaan kekuatan koersif hanyalah
sebagai pilihan terakhir ketika kesadaran sepontan menemui kegagalan (Gramsci,
1971:12). Kecenderungan kelompok yang berkuasa menggunakan kekuatan
koersif justru menunjukkan kelemahan ideologi yang diberlakukan. Hubungan
hegemonik ditegakkan ketika kelompok yang berkuasa berhasil mendapatkan
persetujuan kelompok subordinat atas subordinasi mereka. Dengan kata lain
kelompok-kelompok subordinat menerima ide-ide dan kepentingan politik
kelompok berkuasa seperti layaknya milik mereka sendiri. Dengan demikian,
legitimasi kekuasaan kelompok berkuasa tidak ditentang karena ideologi, kultur,
nilai-nilai, norma dan politiknya sudah diinternalisasi sebagai kepunyaan mereka
sendiri oleh kelompok-kelompok subordinat. Ketika konsensus telah tercapai,
35
ideologi, kultur, dan nilai-nilai, norma politik akan semakin terlihat wajar dan
ligitimit. Ini berarti penggunaan kekuasaan koersif oleh negara menjadi tidak
penting lagi. Stephen Gill dan David Law menyatakan sebagai berikut.
Penggunaan kekuasaan koersif menjadi kurang penting ketika konsensus
dibangun pada basis nilai-nilai, ide-ide dan kepentingan material yang
sama-sama dianut kelas berkuasa maupun kelas subordinat. Yang penting
dalam proses ini adalah ide-ide dan institusi semacam itu dipandang
sebagai hal yang wajar dan ligitimit, keduanya tertanam kokoh dalam
kerangka pikir masyarakat yang signifikan secara politis dan ekonomi
(Gill dan Law,1989:480).
Menurut Gramsci, untuk mengukuhkan hegemoni diperlukan kaum
intelektual yang disebutnya “intelektual organik”, yaitu para intelektual yang
secara terus menerus menyokong, mengembangkan, dan menyebarluaskan
ideologi hegemoni penguasa (Gramsci, 1971:12). Namun demikian, meskipun
hegemoni mengimplikasikan tingkat konsensus yang tinggi, namun hal tersebut
bukanlah berarti masyarakat tidak sedang berada pada situasi tanpa konflik.
Hegemoni adalah membatasi konflik dan menyalurkannya pada saluran yang
secara ideologis aman (Storey, 2004:173).
Teori hegemoni yang diajukan oleh Gramsci di atas digunakan sebagai
landasan dalam menjelaskan bentuk hegemoni revolusi hijau sebagai sebuah
ideologi pembangunan dalam bidang pertanian yang telah lama menghegemoni
kehidupan masyarakat petani di Subak Susuan Karangasem. Dalam konteks ini,
ideologi revolusi hijau pada dasarnya merupakan ekspresi dari gagasan, nilai-
nilai dari pemerintah yang berkolaborasi dengan pengusaha untuk mewujudkan
program revolusi hijau pada masyarakat petani di Subak Susuan Karangasem.
Kaplan dan Manners (2002:154) menggunakan istilah “ideologi” untuk mengacu
kepada kawasan ideasional dalam suatu budaya yang meliputi nilai, norma,
36
falsafah, kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan tentang dunia,
etos, dan lainnya.
Kesesuaian penggunaan teori ini telah terbukti ketika kekuasaan
pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru (1966-1998) terlalu hegemonik dan
dominatif. Teori hegemoni ini cocok digunakan untuk mengkaji dan membedah
permasalahan yang menyangkut kekuasaan, khususnya kekuasaan pemerintah
Indonesia ketika melaksanakan program revolusi hijau pada masyarakat petani.
Bocock (1986:33) menyatakan bahwa hegemoni terkait dengan tiga bidang,
yaitu; ekonomi (economic), negara (state), dan masyarakat (civil society).
Hegemoni menyangkut sarana kultural dan ideologis yang di dalamnya
penguasa atau pihak-pihak yang dominan menjalankan dan melestarikan
kekuasaannya dalam masyarakat melalui konsensus (kesepakatan) terhadap
kelompok-kelompok yang dikuasai atau pihak-pihak yang didominasi. Melalui
pemahaman seperti ini, kebudayaan dan masyarakat merupakan perwujudan
upaya-upaya hegemoni yang justru diterima secara konsensual oleh mereka yang
terhegemoni. Gramsci (1971:57) menggunakan istilah hegemoni untuk mengacu
kepada cara kelompok dominan dalam suatu masyarakat mendapatkan dukungan
dari kelompok-kelompok subordinasi melalui proses kepemimpinan, intelektual,
dan moral. Terkait dengan hal ini, Simon (1999: 9) menyatakan bahwa hegemoni
bukan hubungan dominasi dengan memakai kekuasaan, tetapi hubungan
persetujuan dengan memakai kepemimpinan politik dan ideologi. Hegemoni
adalah organisasi konsensus yang telah diakui melalui kesepakatan bersama.
Hegemoni merupakan kekuasaan yang didasarkan atas konsensus atau
persetujuan yang memengaruhi struktur kognitif dan afektif yang dikuasai.
37
Semakin canggih hegemoni, semakin tidak kelihatan kekuasaan yang dijalankan.
Hal ini karena yang dikuasai sudah masuk dalam pola berpikir, berkata, dan
bertindak seiring dengan yang menguasai. Pihak-pihak yang dihegemoni
menerima gagasan-gagasan, nilai-nilai, dan kepemimpinan kelompok
penghegemoni tidak karena dipaksa secara fisik ataupun karena dibujuk untuk
melakukannya, tetapi mereka sendiri memiliki alasan tersendiri untuk
menerimanya. Dalam hegemoni, konsensus dibuat oleh para penghegemoni,
tetapi konsensus dibuat berdasarkan kepentingan-kepentingan yang terhegemoni.
Dengan demikian, hegemoni tampaknya mengekpresikan apa yang menjadi
keinginan yang terhegemoni.
Hubungan antara masyarakat dengan negara selalu berjalan secara
integral. Untuk menjamin kondisi ini, negara mengeluarkan kebijakan
(peraturan) dan masyarakat melaksanakannya. Agar kebijakan itu dilaksanakan
oleh masyarakat, negara menggunakan dua strategi, yaitu dengan jalan dominasi
atau koersif, dan melalui kepemimpinan moral dan intelektual. Cara pendekatan
yang kedua ini oleh Gramsci disebut dengan teori hegemoni (Wibowo,2000:9).
Agar yang dikuasai taat pada penguasa, maka yang dikuasai harus mampu
menginternalisasi nilai-nilai dan norma penguasa di samping harus memberikan
persetujuan atas subordinasi mereka. Kelompok yang menghegemoni
memperjuangkan legitimasi kekuasaannya dari massa, sedangkan massa rakyat
dapat menerima prinsip norma dan ide sebagai miliknya. Hegemoni suatu
kelompok terhadap kelompok lain tidak didasarkan atas unsur paksaan, akan
tetapi melalui konsensus (Gramsci, 2001:213; Sugiono, 1993:32). Gramsci juga
mengatakan bahwa secara substansial hegemoni bukanlah hubungan dominasi
38
dengan memakai kekuasaan, tetapi terjadi relasi kesepahaman negara dan
masyarakat dengan memakai politik dan ideologi. Dalam teori hegemoni
Gramsci tidak ada dominasi satu kelompok terhadap kelompok lain, tetapi lebih
ditentukan oleh adanya relasi kesepahaman antara kelompok yang
menghegemoni dengan yang terhegemoni.
Tampaknya, teori hegemoni Gramsci tepat dipakai untuk menganalisis
bentuk hegemoni negara dalam pelaksanaan program revolusi hijau yang
dilaksanakan di Subak Susuan Karangasem. Menurut Gramsci bahwa hegemoni
kultural bukan hanya terjadi dalam relasi antar negara, namun bisa terjadi dalam
hubungan antar berbagai kelas sosial yang ada dalam satu negara. Hal ini
membuktikan bahwa hegemoni bisa terjadi di dalam satu negara, dalam hal ini
kelompok yang mewakili terhadap kelompok masyarakat lainnya. Pola interaksi
semacam ini merupakan bentuk hegemoni negara yang terlaksana dalam relasi
antara pelaksana petugas lapangan penyuluhan pertanian dengan anggota Subak
Susuan Karangasem.
Untuk menganalisis faktor-faktor yang mendorong terjadinya hegemoni
negara serta alasan-alasan penolakan terhadap pelaksanaan program revolusi
hijau, juga digunakan teorinya Gramsci ini, sebab ideologi sangat penting dalam
memengaruhi, mengarahkan dan membentuk pola pikir masyarakat.
Pelaksanaan teori hegemoni di negara berkembang, khususnya di
Indonesia pada masa Orde Baru bertitik tolak dari ideologi pembangunan
(developmentalism). Pembangunan merupakan pertumbuhan ekonomi yang
wajib memperoleh dukungan melalui pendirian industri yang bermodal
kapitalisme internasional dengan difasilitasi dan dijamin penuh oleh kekuatan
39
negara. Akselerasi pembangunan yang bernuansa meningkatkan pembangunan
tidak boleh memperoleh gangguan atas resistensi masyarakat. Oleh karena itu,
diperlukan kekuasaan yang mampu melayani dan menyediakan kekuatan represif
ke seluruh wilayah Indonesia.
Kebijakan pembangunan pertanian selama Orde Baru menggunakan dua
strategi, yaitu: (1) strategi birokrasi lembaga-lembaga sosial desa dan; (2)
melalui strategi kapitalisasi sistem ekonomi produksi pertanian. Hubungan
negara dan petani secara khusus ditekankan pada pengendalian yang kuat dari
pemerintah terhadap petani untuk meningkatkan produksi pertanian, sekaligus
memutus relasi petani dengan organisasi-organisasi politik di tingkat supradesa.
Pemerintah berusaha mengontrol perilaku petani agar meningkatkan produksi
beras secara masif tanpa dipengaruhi oleh kekuatan sosial politik yang
berpengaruh terhadap resistensi dan menentang kekuasaan negara (Trijono,
1994:78).
Perpsektif teori ini digunakan untuk membahas persoalan kedua, maka
fungsi resistensi petani sebagai counter hegemony terhadap bentuk intervensi dan
dominasi pemerintah, khususnya pemerintah Kabupaten Karangasem yang
merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat. Pemerintah dengan kebijakan
pembangunan telah banyak menggusur, memarjinalkan, dan memasung budaya
tradisional, sehingga sering muncul konflik politik dan kultural.
2.3.2 Teori Diskursus Kuasa/Pengetahuan
Teori diskursus yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada relasi
antara kekuasaan dan pengetahuan pemikiran Michael Foucault (1926-1984).
Teori diskursus sebenarnya bukan hanya dikembangkan oleh Foucault, tetapi ada
40
sejumlah pemikir relasi kuasa, mulai dari Althusser, Hindess Hirst hingga
Michael Foucault seperti yang pernah diketengahkan dalam buku Macdonell,
Theories of Discourses: An Introduction (1986). Francois Bacon pun,
sebagaimana yang dikutip oleh Foucault dalam bukunya Power/ Knowledge
(2002), menyatakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan (science is a power).
Menurut Edward W. Said (dalam Storey, 2003:135) menunjukkan
diskursus Barat tentang Timur disebut orientalisme, bisa dijadikan contoh suatu
konstruksi pengetahuan tentang Timur yang diciptakan oleh Barat dan suatu
bentuk hubungan antara kekuasaan-pengetahuan yang diartikulasikan untuk
kepentingan kekuasaan Barat. Edward Said bahkan mengutip pernyataan
Foucault bahwa kebenaran suatu diskursus bergantung dari apa yang dikatakan,
terutama siapa yang mengatakan, kapan dan dimana menyatakannya atau dengan
kata lain suatu kebenaran tergantung pada konteks.
Teori diskursus kuasa/pengetahuan digolongkan ke dalam teori
postsrukturalisme. Teori ini merupakan salah satu poin penting dalam kajian
budaya. Poststukturalisme secara sederhana melawan strukturalisme yang telah
lama mempengaruhi pengetahuan sebelum munculnya teori-teori
poststukturalisme. Foucault (2002:13) menggolongkan teori diskursus ke dalam
teori poststrukturalisme yang merupakan teori penting dalam kajian budaya.
Postrukturalisme adalah gerakan filsafat yang merupakan reaksi terhadap
strukturalisme yang membongkar setiap klaim terhadap oposisi pasangan,
hirarki, validitas kebenaran universal dan menjunjung tinggi permainan bebas
serta ketidakstabilan makna dan kategorisasi intelektual.
41
Wacana dalam linguistik merupakan bentuk ujaran verbal yang biasanya
lebih luas dari kalimat. Wacana dalam kajian ini sebagai diskursus dan jauh lebih
luas dari sekadar teks, bahkan diskursus tidak harus bersifat tekstual. Analisis
terhadap wacana bukan sekadar teori linguistik, tetapi sebagai teori sosial, yaitu
teori tentang produksi kenyataan yang tidak terpisahkan dari yang lazim
dipandang sebagai kenyataan sosial. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan
Foucault (2002:9), bahwa discourse tidak lain merupakan cara menghasilkan
pengetahuan, beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subyektivitas
yang terbentuk darinya, relasi kuasa yang ada di balik pengetahuan dan praktek
sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua komponen tersebut.
Penggunaan praktik bahasa secara umum lebih dilihat sebagai hal yang
bersifat ”dialogis” yang rawan konflik, ketika suatu mode penggunaan bahasa
berhadapan dengan penggunaan bahasa yang lain maupun teks dan praktik
budaya yang lain. Sehubungan dengan ini, wacana tidak dapat dipisahkan dari
kekuasaan. Wacana adalah suatu situasi untuk memperoleh kekuasaan dan
kekuasaannya akan melalui proses definisi dan eksklusi. Maksudnya, wacana
atau formasi diskursif tertenttu memiliki otoritas untuk mendefinisikan apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan orang sebagai suatu topik. Suatu formasi
diskursif terdiri atas sekelompok aturan tidak tertulis yang berusaha mengatur
dan membatasi apa yang dapat atau tidak dapat ditulis, dipikirkan, dan dilakukan
pada suatu bidang pembahasan tertentu (Storey, 2003: 132-133).
Relasi kuasa dengan pengetahuan menurut Foucault (1977:27-28), adalah
sebagai berikut.
Kekuasaan menciptakan pengetahuan..... kekuasaan dan pengetahuan
saling menghasilkan.... Tidak ada kekuasaan tanpa hubungan dengan
42
pengetahuan tertentu.. Tidak ada pengetahuan yang tidak memuat
hubungan kekuasaan. Hubungan kekuasaan-pengetahuan ini harus
diteliti..... bukan berdasarkan seorang peneliti yang bebas atau tidak dari
kekuasaan. Sebaliknya, subyek yang mengetahui, obyek yang diketahui,
dan bahan-bahan pengetahuan harus dipandang sebagai dampak implikasi
dari hubungan kekuasaan-pengetahuan dan perubahan-perubahannya
dalam sejarah. Singkatnya, bukanlah tindakan subyek yang menghasilkan
pengetahuan, tetapi kekuasaan-pengetahuan, proses pergulatan yang
mewarnai dan menciptakannya, serta menentukan bentuk dan bidang
pengetahuan yang mungkin.
Menurut Storey (2003:132), analisis genealogi berkaitan dengan
hubungan antara kekuasaan (power) dan pengetahuan (knowledge) dan
bagaimana hubungan tersebut beroperasi dalam formasi-formasi diskursif, yaitu
kerangka konseptual yang mengajukan sejumlah cara (model) berpikir dan
menolak cara-cara berpikir lainnya.
Strategi kuasa berlangsung di mana-mana, seperti halnya kebenaran
memiliki efek kuasa. Eriyanton (2001:67) menyatakan bahwa setiap kekuasaan
selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan
melalui wacana yang berbentuk kekuasaan. Foucault (dalam Fakih, 1997:169)
menyatakan bahwa wacana adalah kerangka kerja yang ditentukan oleh penguasa
yang ditetapkan melalui hubungan kekuasaan yang mendasarinya. Dengan
demikian, setiap wacana tentang kebudayaan tidak terlepas dari ”kepentingan”
dan ”kekuasaan”. Dalam masyarakat dapat dijumpai berbagai wacana tentang
kebudayaan masyarakat yang bersangkutan yang saling bertentangan. Namun,
dukungan kekuasaan, wacana tertentu akan menjadi wacana dominan karena
kebenaran merupakan konstruksi dari kekuasaan.
Michael Foucault sebagai seorang postsrukturalis, sosiolog, sejarawan
dan tokoh cultural studies dari Prancis, teori diskursusnya tersebar dan dapat
ditemui di beberapa bukunya, seperti; The Archaelogy of Knowledge (1972),
43
Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1977), Seks dan Kekuasaan
(1977a), dan terutama Power/ Knowledge (1980). Mengingat Foucault adalah
seorang filsuf postsrukturalis pada awalnya membingungkan banyak kalangan.
Pandangan tentang teori relasi kuasanya jauh lebih banyak ditemukan dan lebih
mudah dipahami di buku-buku yang dituliskan oleh orang lain, khususnya ahli-
ahli yang mengkaji pemikirannya.
Karya-karya Foucault dapat ditelusuri dari kekagumannya dengan
pemikiran-pemikiran Friedrich Nietszche. Bagi Nietszche, pengetahuan bukanlah
sekumpulan informasi teoretis tentang dunia, melainkan suatu instrumen yang
didesain dan dibatasi oleh kepuasan terhadap kebutuhan-kebutuhan manusia.
Analisis genealogi Foucault, yang diadopsi dari Nietzche, membahas hubungan
antara kekuasaan dengan pengetahuan yang terjalin dalam formasi diskursif,
yaitu sebuah kerangka kerja konseptual yang memungkinkan diterimanya
beberapa model pemikiran dan ditolaknya model pemikiran lainnya. Apabila
strukturalis memfokuskan kajiannya pada sistem Bahasa --sistem lain yang
analog dengan bahasa-- dalam menentukan hakikat linguistik dan ekspresi
budaya. Postsrukturalis Foucault lebih tertarik pada bagaimana bahasa digunakan
dan bagaimana penggunaan bahasa diartikulasikan dalam suatu praktik budaya
dan praktik sosial. Penggunaan bahasa dan praktik bahasa secara umum lebih
dilihat sebagai hal yang bersifat dialogis yang rawan konflik ketika suatu model
penggunaan bahasa berhadapan dengan penggunaan bahasa lain atau pun teks
dan praktik budaya lainnya (Surbhakti, 2008:69).
Teori relasi kuasa pengetahuan dalam penelitian ini agar tidak tidak
menimbulkan salahpengertian, diskursus dibedakan dengan wacana. Dalam
44
linguistik wacana secara umum adalah ujaran-ujaran verbal yang besarnya lebih
luas dari kalimat. Ungkapan bahasa Indonesia “sekadar wacana” misalnya berarti
sekadar pernyataan (baik kata-kata lisan maupun tulisan), yang tidak bisa
disamakan dengan diskursus karena diskursus mengandung praksis sedangkan
wacana tidak. Dengan kata lain, diskursus mengandung wacana, sehingga
wacana hanya sebagian kecil dari diskursus karena diskursus mencakup
pernyataan, praksis, dan berbagai hal lainnya. Berhubungan dengan pembedaan
tersebut, mengacu pada James Paul Gee dalam Hamad (2004:34-35), “discourse”
(d-kecil) berbeda dengan “Discouese” (D- besar).
Yang pertama („discourse‟) menjadi perhatian para ahli bahasa (linguis
atau sosiolinguis) yang melihat bagaimana bahasa digunakan pada
tempatnya („on site‟) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan
identitas. Maksudnya, penggunaan bahasa dilakukan atas dasar-dasar
linguistik. Sedangkan yang kedua („Discourse‟) merangkaikan unsur
linguistik tadi („discourse‟ dengan d- kecil) bersama-sama unsur non-
linguistik (non-language „stuff) untuk memerankan kegiatan, pandangan,
dan identitas. Non-language „stuff‟ tadi adalah cara beraksi, interaksi,
perasaan, kepercayaan, penilaian, untuk mengenali atau mengakui diri
sendiri dan orang lain yang bermakna dan penuh arti dengan cara-cara
tertentu. Jadi, Discourse (D- besar) melihat pemakaian bahasa dalam
sebuah sistem sosial (sosio-linguistik).
Dari pernyataan Gee tersebut, yang dimaksud “discourse” (d- kecil) sama
dengan “wacana”, sedangkan “Discourse” (D- besar) sama dengan “diskursus”
dalam penelitian ini. Akibatnya, wacana hanya terkait dengan gejala kebahasaan,
sedangkan diskursus menyangkut hubungan antara gejala Bahasa dengan
persoalan-persoalan di luar bahasa. Di samping lebih luas dari wacana, diskursus
(discourse) juga lebih luas dari teks (text), sehingga diskursus tidak harus bersifat
tekstual.
Catherine Belsey dalam Piliang (1988:243) mengatakan discourse
sebagai satu domain dari penggunaan bahasa, yakni satu cara tertentu dalam
45
berbicara (menulis dan berpikir). Foucault yang membawa istilah discourse
sebagai satu kata kunci dalam filsafat postsrukturalisme, melihat ketidakpastian
antara discourse dan pembentukan subjektivitas serta beroperasinya berbagai
bentuk kekuasaan di dalamnya. Bagi Foucault, kekuasaan dan pengetahuan (dan
cara tertentu penggunaan bahasa) saling terjalin satu dengan yang lainnya.
Penggunaan ruang sebagai satu fenomena bahasa dalam satu discourse, tidak
terlepas dari bentuk-bentuk kekuasaan yang beroperasi di baliknya (Surbhakti,
2008:72).
Keberadaan subjektivitas berbeda dengan diskursus, teks merupakan
penurunan secara verbal yang lepas dari posisi penuturnya (Alam, 199:7-8).
Begitu sebuah teks diluncurkan, tidak memiliki hubungan apa pun dengan
pembuatnya. Pembuat teks melepaskan teks begitu saja dari dirinya. Hal ini
berarti, dalam pembicaraan diskursus, antara penutur dan diskursus dari posisi
penuturnya adalah karena pembuatnya memiliki kepentingan tertentu atas
diskursusnya. Menurut Foucault (1980) diskursus adalah suatu bentuk penuturan
verbal yang berkaitan dengan kepentingan penuturnya, sehingga dapat berbentuk
suatu akumulasi konsep ideologis yang didukung oleh tradisi, kekuasaan,
lembaga, dan berbagai modus penyebaran pengetahuan.
Pada prinsipnya, diskursus tidak bisa lepas dari bahasa. Menurut Escobar
(1999:60) seorang postsrukturalisme yang fokus mengkaji peran bahasa dalam
mengkonstruksi kenyataan sosial. Menyatakan bahwa bahasa bukan cermin
melainkan unsur konstituitif kenyataan. Itulah sebabnya menurut Escobar bahwa
diskursus (dipergunakan dalam penelitian ini) dapat diartikan sebagai artikulasi
pengetahuan dan kuasa, dan kenampakan yang terekpresikan.
46
Diskursus memiliki unsur-unsur tertentu yang terlibat di dalamnya,
seperti; pernyataan, aturan, subjek, proses, praktik, dan gagasan. Menurut Barker
(2005:106), diskursus menyediakan cara-cara membincangkan suatu topik
tertentu secara sama, dengan motif atau bongkahan-bongkahan ide, praktik-
praktik, dan bentuk-bentuk pengetahuan yang diulang-ulang di beberapa ranah
aktivitas. Sebagai contoh, mengacu kepada studi Foucault dalam The Birth of the
Clinic (1973) diskursus tentang kegilaan mencakup pernyataan-pernyataan
tentang kegilaan yang memberi pengetahuan mengenai: (a) aturan-aturan yang
membentuk apa yang dapat diucapkan atau dipikirkan tentang kegilaan; (b)
subjek-subjek yang merupakan personalitas kegilaan alias si ”orang gila”; (c)
proses bagaimana diskursus tentang kegilaan memperoleh kewenangan atau
status kebenaran pada suatu kurun sejarah tertentu; (d) praktik-praktik dalam
suatu institusi menangani kegilaan; dan (e) gagasan bahwa diskursus yang
berbeda tentang kegilaan akan muncul pada kurun sejarah yang akan datang,
sehingga akan memunculkan pengetahuan diskursus baru (Surbhakti, 2008:74).
Syarat utama suatu diskursus adalah dialog dan percakapan serta
penulisan yang bersifat sosial. Artinya, bahwa pernyataan yang dibuat serta kata
dan makna kata yang digunakan tergantung dari tempat dan kegunaan (di daerah
mana dan apa pernyataan tersebut dibuat). Diskursus berbeda dengan pranata-
pranata dan praktik-praktik sosial semacam itu dalam menentukan situasi posisi
mereka yang berbicara dan pada siapa pembicaraan itu disampaikan, diskursus
tidak bersifat homogen (Mc Donnell, 2005: xvii-xviii).
Teori politik kontemporer sebagaian besar dipengaruhi oleh karya
Foucault yang membuat konsep negara sebagai sebuah potongan kekuasaan
47
dalam bagian-bagian masyarakat. Kekuasaan, sebagaimana ditunjukkannya
bukan merupakan fenomena top down, tetapi meresap dalam masyarakat secara
keseluruhan, sehingga kekuasaan ada dimana-mana di dalam masyarakat.
Foucault berargumen bahwa kekuasaan negara sama sekali tidak komplit,
sedangkan penduduk dalam fungsi kehidupan sehari-hari sesuai dengan strukur
kekuasaan lokal dan peraturan-peraturan mikro sosial, dengan berbagai instansi
melawan peraturan dan batasan sikap yang dominan dalam masyarakat tersebut.
Hal ini menghadirkan konsep primer dalam pertanyaan politik yang digunakan
dalam wilayah masyarakat sipil (Chandoke, 2001: 25-26).
Foucault mengatakan bahwa diskursus adalah kerangka kerja yang
ditentukan oleh yang berkuasa dan ditetapkan melalui hubungan-hubungan
kekuasaan yang mendasarinya (Fakih, 1977:169). Setiap diskursus tentang
kebudayaan tidak terlepas dari kepentingan dan kekuasaan. Dalam suatu
masyarakat dapat dijumpai berbagai diskursus tentang kebudayaan masyarakat
bersangkutan yang saling bertentangan. Namun, dengan dukungan kekuasaan,
diskursus tertentu akan menjadi diskursus dominan. Terkait dengan penelitian
ini, maka teori diskursus kuasa/pengetahuan relevan digunakan untuk membedah
hubungan penguasa dan pengusaha yang dapat memarjinalkan para petani di
Subak Susuan Krangasem. Hal ini disebabkan oleh relasi kuasa dan pengetahuan
sangat dominan berpengaruh pada masyarakat petani, khususnya ketika
melaksanakan program revolusi hijau, Oleh karena kekuasaan menyebar, maka
reaksi masyarakat Subak Susuan Karangasem merupakan formulasi kuasa lokal
dalam melakukan aksi penentangan, sehingga dapat dipahami kuasa, bentuk, dan
ideologi perlawanan petani di Subak Susuan Karangasem.
48
2.3.3 Teori Tindakan Komunikatif
Perspektif teori tindakan komunikatif digunakan untuk memperoleh
pemahaman dalam menganalisis permasalahan ketiga. Teori tindakan
komunikatif untuk menelaah implikasi kultural dari „dalam‟, analisisnya bersifat
idiografik. Teori tindakan komunikatif (teori kritis) ini mengambil sikap kritis
baik terhadap analisis yang menggunakan ilmu-ilmu sosial struktural fungsional
maupun teori konflik dalam menganalisis kenyataan sosial yang dilukiskannya.
Teori tindakan komunikatif bersifat kritis terhadap masyarakat maju sejauh orang
tidak sepenuhnya memanfaatkan kemampuan belajar tentang kajian budaya yang
tersedia, melainkan membenamkan diri ke dalam pertumbuhan kompleksitas
yang tidak terkendali. Teori ini juga kritis terhadap pendekatan ilmiah yang tidak
mampu menjelaskan paradoks-paradoks rasionalisasi kemasyarakatan karena
pendekatan-pendekatan itu membuat sistem-sistem sosial yang kompleks sebagai
objek mereka hanya dari salah satu sudut pandang teori, tanpa memperhitungkan
asal-usul historis bidang objek yang dikaji (Hardiman, 1993: xiv-xv).
Hebermas melalui analisis kritis memperlihatkan bahwa modernisasi,
sejauh didominasi oleh sistem kapitalisme, mengandung cacat yang mendasar.
Dengan mengutamakan segi-segi teknis dan instrumental dari pengetahuan dan
tindakan birokratis, modernitas kapitalis mengikis segi-segi hakiki kehidupan
sosial yang pada dasarnya bersifat komunikatif. Habermas tidak hanya
mengkritik paham kebebasan nilai ilmu, teknokratisme, dan depolitisasi massa,
tetapi juga mendiagnosis adanya krisis legitimasi dalam masyarakat, membuka
diskusi dengan pemikiran postmodern. Modernitas dalam perpektif Hebermas
49
adalah proyek yang belum selesai dan cacatnya harus diatasi dengan pencerahan
lebih lanjut melalui ”rasio tindakan komunikatif”.
Habermas memusatkan perhatian pada pengembangan piranti teori
komunikasi dengan mengintegrasikan linguistic-analysis dalam teori kritisnya.
Teori kritis Habermas kemudian diperkenalkan dengan nama The Theory of
Communicative Action. Teori tindakan komunikatif yang digagasnya, menandai
usaha cerdas untuk mendialogkan teori kritisnya dengan tradisi besar dalam
ilmu-ilmu sosial modern.
Dasar teori tindakan komunikatif adalah distingsi tentang praksis. Praksis
tidak hanya dipahami sebagai arbeit melainkan juga sebagai komunikasi. Praksis
dilandasi oleh kesadaran rasional, dengan rasio yang tidak hanya tampak dalam
kegiatan penaklukkan alam dengan kerja, melainkan juga dalam interaksi
intersubjektif dengan bahasa keseharian. Praksis bukanlah tingkah laku yang
hanya berdasarkan naluri belaka, melainkan tindakan dasar manusia sebagai
makhluk sosial. Praksis merupakan hal yang tidak terpisahkan dari teori yang
dimiliki oleh seorang dalam melakukan tindakan, sehingga pembahasan praksis
dalam teori Habermas merupakan upaya untuk menautkan teori dengan praktik.
Keterkaitan ini telah dipisahkan oleh bangunan teori yang bersifat positivistik
dengan mengatasnamakan beberapa hal, seperti: (a) pemurnian pengetahuan, (b)
paham kebebasan nilai ilmu-ilmu sosial, dan (c) sebagai efek dari pertarungan
peradaban antara ilmu (logos) dan mitos.
Roh dari teori tindakan komunikatif Habermas berupa cita suci
pencapaian konsensus melalui komunikasi bebas dominatif. Pelaku komunikasi
berada pada ruang subjek dan memposisikan apa yang dikomunikasikan sebagai
50
objek. Pelaku komunikasi harus berada pada titik kesetaraan sebagai hal yang
niscaya, sebab makna teks harus dipahami tanpa paksaan.
Bagi Habermas, teori kritis merupakan metodologi yang berdiri pada
perdebatan dialektis antara filsafat dengan ilmu pengetahuan. Teori kritis hendak
menembus ralitas sosial sebagai fakta sosiologis untuk menemukan kondisi yang
bersifat transendental yang melampaui data empiris. Dengan demikian, teori
ktitis merupakan dialektika antara pengetahuan yang bersifat transendental
dengan yang bersifat empiris. Hal ini sekaligus sebagai penegasan tentang negasi
ahistoris ilmu pengetahuan yang dilancarkan oleh saintisme atau positivisme
sebagai serangan terhadap teori kritis. Ilmu pengetahuan yang dipahaminya tidak
menafikan data empiris. Teori kritis bermaksud membebaskan pengetahuan
manusia, apabila terjatuh (membeku) pada salah satu ranah, entah transendental
atau empirisme.
Wacana (discourse) dalam praktik sosial sering dianggap sebagai sesuatu
yang sederhana, namun pada kenyataannya bersifat kompleks. Walaupun wacana
merupakan ranah kajian bahasa, namun dalam realitasnya sering berkaitan
langsung dengan praktik sosial dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk praktik
wacana sering berkaitan dengan ‟sejarah‟ dan ‟waktu‟. Wacana berkaitan dengan
penggunaan bahasa di dalam zaman, waktu dan tempat tertentu.
‟Poststrukturalisme‟ melihat ‟sejarah‟ dan ‟waktu‟ di dalam perbincangan
tentang praktik wacana dalam bahasa. Hal ini tentu bertentangan dengan
pandangan strukturalisme yang menolaknya karena lebih mementingkan
pemahaman ‟struktur‟ yang melampaui wacana sejarah.
51
Menurut Habermas, praksis komunikasi sesungguhnya telah diangkat
oleh Marx muda dalam konsep dialektika teori-praxis. Akan tetapi, yang terjadi
kemudian adalah Marx terjebak dalam paham saintifik, sehingga tidak
mengintegrasikan teori komunikasi ke dalam teorinya. Ini terjadi karena analisis
perkembangan masyarakat menurut Karl Marx semata-mata terfokus pada
bidang produksi (ekonomi). Kritik Habermas tentu tidak dimiliki oleh para
pendahulunya, yaitu Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, dan Herbert
Marcuse. Akibatnya, di tangan ketiga pemikir itu proyek teori kritis dinyatakan
gagal.
Habermas memandang kegagalan teori kritis generasi pertama karena
paradigma yang dianut masih paradigma Marxis yang bertumpu kepada kerja
sebagai pembentukan eksistensi manusia. Cara seperti itu menunjukkan
hubungan manusia dimaknai hanya sebatas hubungan kerja, sehingga
kepentingan emansipasi teori kritis generasi pertama adalah mencipakan sistem
yang menjamin hubungan kerja dengan produksi, sehingga menjadi teralienasi
oleh hasil kerjanya. Habermas telah membedakan antara kerja dengan
komunikasi. Kerja adalah ”tindakan instrumental”, yaitu tindakan yang bertujuan
sebagai sarana untuk mencapai hasil tertentu. Tujuan komunikasi adalah saling
pengertian di antaranya. Habermas mengungkapkan bahwa dalam paradigma
komunikasi distingsi subjek-objek dihindarkan.
Tindakan komunikatif mengandaikan dua hal. Pertama, komonikator dan
komonikan, yaitu manusia berhadapan satu dengan yang lain sebagai dua pihak
yang sejajar dan berdaulat. Kedua, adanya ruang kebebasan dalam menangkap
makna suatu komunikasi, sama sekali tidak dapat dipaksakan. Habermas sebagai
52
pembaharu teori kritis menimba pemikirannya dari warisan berbagai pemikiran
filsuf sebelumnya. Teorinya tentang rasionalitas komunikatif dan rasionalitas
instrumental dapat ditelusuri pada gagasan Aristoteles tentang prudence dan
techne atau praksis dan poesis. Dalam mencita-citakan masyarakat yang
komunikatif, Habermas mengkritik rasionalitas instrumental seperti tampak
dalam ilmu pengetahuan yang analitis-empiris dan ideologis yang
menyembunyikan maksud dan kepentingan tertentu. Teori tindakan komunikatif
mendasarkan kepada rasionalitas komunikatif yang bersifat memahami, kritis
dan emansipatoris (Hardiman, 1993:viii).
Teori tindakan komunikatif Habermas dengan rasionalitas
komunikatifnya, dapat digunakan sebagai titik tolak dialog antarkomponen
masyarakat, seperti antara petani Subak Susuan Karangasem dengan penguasa
(pemerintah daerah). Diharapkan dapat mencairkan kebekuan yang terjadi dalam
proses pelaksanaan program revolusi hijau. Berbagai aspek dan gagasan yang
terkandung dalam tindakan komunikatif Habermas bisa menjadi kerangka atau
titik tolak bagi terselenggaranya dialog antarpetani Subak Susuan Karangasem
dengan pemerintah daerah yang komunikatif, bebas dari dominasi dan kritis
terhadap maksud tersembunyi yang secara tidak sadar terdapat pada pelaku
dialog. Dengan demikian, di dalam konflik yang terjadi antara pemerintah
(penguasa) dengan masyarakat petani Subak Susuan Karangasem dapat dipahami
dengan baik dan diharapkan dapat dicairkan.
Teori konflik telah banyak diulas dan dikembangkan oleh para sosiolog,
seperti: Marx, Simmel, dan Coser (Edgar and Sedgwick, 1999:77). Konflik
terjadi karena didasarkan pada kekecewaannya pada sistem ekonomi kapitalis
53
yang dianggapnya mengeksploitasi kaum buruh atau petani. Bagi Marx, dalam
masyarakat terdapat dua kekuatan yang saling berhadapan, yaitu kaum borjuis
yang menguasai sarana produksi ekonomi dan kaum proletar atau buruh yang
dikendalikan oleh kelompok borjuis. Di antara kedua kelompok ini senantiasa
terjadi konflik kepentingan secara berkepanjangan.
Konflik sering memperkuat serta mempertegas batas kelompok dan
meningkatkan penggalangan solidaritas internal kelompok. Konflik
antarkelompok merupakan penghadapan antara in-group dan out-group. Pada
saat konflik, masing-masing anggota dalam suatu kelompok meningkatkan
kesadarannya sebagai sebuah kelompok (in-group), untuk berhadapan dengan
kelompok lain (out-group) yang berkonflik.
Poloma (2003:107) beranggapan bahwa pembentukan konflik merupakan
proses yang bersifat instrumental untuk penyatuan dan pemeliharaan struktur
sosial. Konflik dapat menetapkan serta menjaga garis batas di antara dua atau
lebih kelompok. Poloma (2003:110) membedakan konflik yang realistis dan
yang tidak realistis. Konflik realistis berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan
khusus yang terjadi dalam hubungan yang dibangun dan dari kemungkinan
keuntungan para partisipan yang ditujukan oleh objek yang dianggap
mengecewakan. Konflik yang tidak realistis adalah konflik yang bukan berasal
dari tujuan saingan yang antagonistik, tetapi berasal dari kebutuhan untuk
meredakan ketegangan.
Dari paparan beberapa landasan teori di atas, dapat dipahami bahwa
perspektif teori dapat memberikan berbagai kemudahan dalam memahami objek
yang diteliti. Pengintegrasian substansi konsep dengan teori, mampu
54
menghasilkan satu sinergi yang dapat digunakan sebagai strategi untuk
memecahkan masalah penelitian.
2.4 Model Penelitian
Model bisa dipahami sebagai rekonstruksi teori dari suatu kenyataan
dalam upaya memahami masalah yang dirumuskan. Oleh karena masalah yang
kompleks, maka diperlukan penyederhanaan agar mudah dipahami dan dianalisis
oleh peneliti (Steger, 2006:28; Laeyendecker, 1983:69-70). Dengan demikian,
suatu model penelitian lahir dari sebuah kajian teori dan kajian pustaka terkait
dengan masalah yang dibahas. Model menjadi sebuah alur berfikir yang dapat
dijadikan dasar penyelusuran dan menjawab permasalahan yang dirumuskan,
sesuai dengan topik dan judul penelitian. Untuk itu, model penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut.
55
Gambar 2.1
Model Penelitian
Dinamika Perlawanan Petani Terhadap Revolusi Hijau di Subak Susuan,
Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem Provinsi Bali.
Keterangan:
: Hubungan satu arah
: Hubungan timbal balik
: Harapan
Penjelasan Model
Terjadi perlawanan petani Subak Susuan Karangasen dengan kearifan
lokal dan sistem subak yang sudah menyejarah dan diakui oleh dunia bahwa
Masyarakat Petani
Subak/ Komunitas
Lokal
Bentuk-bentuk
Perlawanan Petani
Subak Susuan
Implikasi
Perlawanan Petani
Subak Susuan
1.Globalisasi
2.Modernisasi
3. Kapitalisme
4.Ideologi Pasar
1. Budaya Agraris
2. Sistem Subak
3. Kosmologi/ Waktu
(Kertha Masa)
Pembangunan
Berbasis Masyarakat
(Petani Subak)
Ideologi Perlawanan
Petani Subak Susuan
Pemerintah
(Penguasa)
Dinamika
Perlawanan Petani
Subak Susuan
Karangasem Bali
56
sistem subak merupakan warisan yang sarat dengan kearifan lokal, berhadapan
dengan kebijakan pemerintah (revolusi hijau di Kabupaten Karangasem).
Politik pemerintah dengan pengaruh ideologi gobal, kapitalistik, ekonomi pasar,
modernitas, mencanangkan revlusi hijau. Di sisi lain, petani Subak Susuan
dengan kearifan lokalnya, yaitu: budaya yang terkait dengan budaya pertanian,
kearifan kosmologi, waktu (kertha masa bertani), pembagian air, ritual yang
terkait dengan subak. Untuk kepentingan ini, pemerintah melakukan hegemonik
terhadap petani, sedangkan petani melakukan perlawanan di bawah tekanan
kekuasaan lokal yang mengatasnamakan pemerintahan pusat yang sentralistik.
Bentuk perlawanan petani subak mengalami dinamika karena pertarungan
antara ideologi pasar yang kapitalistik dengan ideologi kearifan lokal/tradisional
yang ramah lingkungan dan sudah menyejarah, teruji dan tahan banting, bahkan
dunia modern mengakui daya tahan subak di Bali, termasuk subak petani Susuan
Karangasem. Perlawanan petani memiliki implikasi secara dinamis sesuai
dengan perkembangan zaman, dan kuat lemahnya tekanan pemerintah daerah
yang sangat hegemonik.
Resistensi petani jarang ditemukan dengan melakukan gerakan secara
frontal, tetapi gerakannya bersifat pasif, berdinamika mengikuti situasi dan
kondisi yang dihadapinya. Respons keras dilakukan karena tekanannya sudah
melewati batas-batas yang tidak dapat dinegosiasikan (devrivasi relatif). Tekanan
berlebihan dari penguasa memunculkan implikasi secara dinamis, baik bagi
petani maupun pemerintah.