bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori,...

31
15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Penelitian ini merupakan penelitian terbaru yang dilakukan secara langsung pada agama Kristen di Kota Denpasar. Sampai saat ini, penelitian dengan topik: Kontroversi Baptisan Kudus Dalam Agama Kristen di Kota Denpasarbelum pernah diteliti, demikian juga penelitian yang berkaitan dengan topik ini belum pernah ada. Walaupun sakramen baptisan kudus sering diperdebatkan dan dipertentangkan dalam agama Kristen di Kota Denpasar sampai saat ini, tetapi masih pada tataran ranah diskusi dan belum diteliti seperti karya ilmiah ini. Oleh sebab itu, penelitian ini mencoba menganalisa masalah- masalah yang terjadi seputar kontroversi sakramen baptisan kudus dengan menggunakan beberapa buku-buku yang berkaitan dengan pelaksanaan baptisan kudus dalam agama Kristen secara umum. Buku yang berjudul Apa Itu Baptisan ? ditulis oleh Rayburn (2005) yang membahas tentang perbedaan baptisan selam dan baptisan percik serta dasar-dasar dalam pelaksanaan baptisan tersebut. Keseluruhan isi buku ini ditemukan hanya baptisan percik yang diterima dalam agama Kristen karena sesuai dengan kebenaran Alkitab. Dalam buku ini juga ada beberapa konsep berpikir dan teori tentang pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen secara umum. Perbedaannya dengan penelitian ini terletak pada pengertian kata baptisan. Buku ini hanya meninjau dari sisi kata baptisan tanpa mengadakan penelitian langsung terhadap

Upload: nguyenkhuong

Post on 08-Feb-2018

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian ini merupakan penelitian terbaru yang dilakukan secara

langsung pada agama Kristen di Kota Denpasar. Sampai saat ini, penelitian

dengan topik: “Kontroversi Baptisan Kudus Dalam Agama Kristen di Kota

Denpasar” belum pernah diteliti, demikian juga penelitian yang berkaitan dengan

topik ini belum pernah ada. Walaupun sakramen baptisan kudus sering

diperdebatkan dan dipertentangkan dalam agama Kristen di Kota Denpasar

sampai saat ini, tetapi masih pada tataran ranah diskusi dan belum diteliti seperti

karya ilmiah ini. Oleh sebab itu, penelitian ini mencoba menganalisa masalah-

masalah yang terjadi seputar kontroversi sakramen baptisan kudus dengan

menggunakan beberapa buku-buku yang berkaitan dengan pelaksanaan baptisan

kudus dalam agama Kristen secara umum.

Buku yang berjudul Apa Itu Baptisan ? ditulis oleh Rayburn (2005) yang

membahas tentang perbedaan baptisan selam dan baptisan percik serta dasar-dasar

dalam pelaksanaan baptisan tersebut. Keseluruhan isi buku ini ditemukan hanya

baptisan percik yang diterima dalam agama Kristen karena sesuai dengan

kebenaran Alkitab. Dalam buku ini juga ada beberapa konsep berpikir dan teori

tentang pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen secara umum. Perbedaannya

dengan penelitian ini terletak pada pengertian kata baptisan. Buku ini hanya

meninjau dari sisi kata baptisan tanpa mengadakan penelitian langsung terhadap

16

gereja-gereja yang menganut serta melaksanakan baptisan selam maupun baptisan

percik. Penelitian ini dilakukan di Kota Denpasar secara langsung, sedangkan

buku ini hanya berorientasi pada penelitian pustaka dan pengamatan sekitar

pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen secara keseluruhan. Persamaannya

dengan penelitian ini terletak pada tema atau pokok pikiran tentang pelaksanaan

baptisan kudus dalam agama Kristen.

Buku yang berjudul Apa Kata Alkitab Tentang Baptisan ? ditulis oleh

Scheunemann (1986) yang membahas tentang makna baptisan yang berdasarkan

pada Alkitab serta sejarah pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen. Dalam

buku ini hanya mengakui baptisan percik dengan melihat arti kata baptisan dalam

Alkitab versi bahasa Yunani dan menolak baptisan selam yang dilakukan secara

berulang-ulang. Di dalam buku ini juga ditemukan konsep dan teori tentang

baptisan yang berdasarkan pada Alkitab. Konsep yang paling menonjol adalah

baptisan bukan didasarkan banyaknya air melainkan pada saat baptisan itu

dilangsungkan, tetapi iman kepada Tuhan Yesus. Oleh sebab itu, baptisan selam

tidak diperkenankan dalam agama Kristen melainkan baptisan percik. Konsep

lainnya, baptisan yang dilakukan secara berulang-ulang dengan alasan apapun

tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan Alkitab.

Perbedaannya dengan penelitian ini adalah membahas baptisan dari sudut

pandang sejarah sampai pada pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen pada

umumnya. Akan tetapi, penelitian ini hanya membahas pelaksanaan baptisan

dalam aliran-aliran gereja di Kota Denpasar. Persamaan isi buku tersebut dengan

penelitian ini yaitu keduanya membahas tentang arti kata baptisan dan

pemaknaannya dalam hidup orang Kristen.

17

Buku yang berjudul Tafsiran Alkitab: Kitab Injil Matius 23-28, ditulis

oleh Nielsen (2009) yang menjelaskan maksud dan tujuan dari Amanat Agung

Tuhan Yesus. Dalam buku ini menjelaskan arti dari kata-kata yang terdapat

dalam pasal kitab tersebut. Secara khusus Matius 28:18-20 menjelaskan tentang

perintah Tuhan Yesus untuk membaptis semua orang yang percaya kepada-Nya.

Dalam buku ini memberikan informasi bahwa baptisan tidak bisa dihindari oleh

setiap orang Kristen, karena baptisan kudus merupakan tanda dari murid Tuhan

Yesus. Persamaannya dengan penelitian ini adalah dalam melaksanakan baptisan

tidak dibenarkan sikap kekerasan, sehingga seseorang menerima sakramen

baptisan tersebut. Kemudian pelaksanaan baptisan tidak bertujuan untuk

mewujudkan perpecahan dalam agama Kristen ataupun pertentangan dengan

agama lain.

Seseorang yang berhak menerima baptisan adalah orang yang menerima

Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan juruselamatnya secara sukarela dan tanpa

tekanan dan paksaan dari orang Kristen atau pihak manapun. Perbedaannya, buku

ini tidak menjelaskan atau tidak memberikan informasi tentang cara pelaksanaan

baptisan yang seharusnya dilakukan oleh orang Kristen, sedangkan penelitian ini

menjelaskan cara-cara pelaksanaan baptisan yang sedang dilakukan dalam agama

Kristen di Kota Denpasar.

Buku yang berjudul Pembaptisan Massal dan Pemisahan Sakramen

ditulis oleh Enklaar (2003). Dalam buku ini memaparkan tentang sejarah

kekristenan dan pelaksanaan baptisan yang dilakukan di seluruh dunia serta sikap

para misionaris yang diutus ke seluruh Indonesia dalam melaksanakan baptisan.

Para misionaris pada saat itu melakukan pembaptisan dengan cara yang berbeda-

18

beda dan makna baptisan yang berbeda pula. Selain itu juga dijelaskan tentang

baptisan secara massal dan pemisahannya dengan pelaksanaan sakramen

perjamuan kudus.

Dalam buku ini didapatkan informasi bahwa agama Kristen yang masuk

ke Indonesia dibawa oleh para penjajah dan juga oleh para misionaris dari

berbagai negara, sehingga pemahaman dan tata cara pelaksanaan baptisan dalam

agama Kristen pun sangat berbeda-beda. Buku ini memberikan sebuah konsep

dan teori tentang sakramen baptisan kudus dan sakramen perjamuan kudus.

Perbedaannya, buku ini menjelaskan baptisan percik dan selam yang dilakukan

pada waktu itu, serta pembaptisan massal dan pemisahannya dengan sakramen

perjamuan kudus, sedangkan penelitian ini hanya fokus pada kontroversi

sakramen baptisan kudus yang sedang terjadi dalam agama Kristen di Kota

Denpasar. Persamaanya dengan penelitian ini adalah membahas tentang

pelaksanaan baptisan percik dan selam dalam agama Kristen.

Buku yang berjudul Doktrin-doktrin Alkitab ditulis oleh Nelson (2009)

yang hanya membahas dan mengakui tentang pelaksanaan baptisan selam. Buku

ini menjelaskan pelaksanaan baptisan yang dilakukan oleh Filipus, baptisan yang

dilakukan oleh Yohanes, dan baptisan yang diterima oleh Tuhan Yesus adalah

baptisan selam karena dilaksanakan di dalam air yaitu di sungai Yordan. Penulis

menemukan beberapa ide, gagasan, dan inspirasi tentang pelaksanaan baptisan

selam dengan mengutip beberapa ayat-ayat Alkitab. Dalam buku ini memberikan

konsep dan teori tentang pelaksanaan baptisan selam. Persamaannya dengan

penelitian ini adalah sama-sama membahas pelaksanaan baptisan selam,

19

sedangkan perbedaannya adalah penelitian ini akan menguraikan pelaksanaan

baptisan selam, percik, baptisan ulang, dan baptisan Roh Kudus.

Buku lain yang berjudul Ikhtisar Khotbah Kisah Para Rasul, ditulis oleh

Jurnawan (2007) dengan membagi empat macam istilah baptisan. Baptisan yang

dimaksud antara lain: baptisan air; baptisan Roh Kudus; baptisan Firman; dan

baptisan api. Arti kata baptisan dalam tulisannya ini bukan hanya menunjuk pada

baptisan air, tetapi makna baptisan mengacu dalam seluruh aspek hidup setiap

orang Kristen. Buku ini hanya menekankan pada ikhtisar kitab Kisah Para Rasul

dengan tidak menguraikan lebih mendalam tentang arti pada setiap baptisan

tersebut. Buku ini bermanfaat dalam mengkaji arti baptisan sehingga dapat

memberi petunjuk dan pengertian baru tentang baptisan. Teori dan konsep yang

ditemukan dalam buku ini adalah empat macam jenis baptisan berdasarkan kitab

Kisah Para Rasul. Perbedaanya, penelitian ini lebih pada pelaksanaan baptisan

yang sedang berlangsung di Kota Denpasar yang didasarkan pada seluruh Alkitab,

sedangkan buku ini hanya memaparkan tentang jenis-jenis baptisan berdasarkan

pada satu kitab saja.

Selanjutnya, Kolinus TB (2000) menjelaskan arti baptisan dari kitab di

atas dalam bukunya yang berjudul Baptisan Roh Kudus Menurut Ajaran

Kharismatik. Hampir semua baptisan yang dilakukan oleh para rasul dan orang

Kristen dewasa ini hanya bertujuan untuk menyiapkan orang-orang berdosa yang

bertobat untuk menerima baptisan yang sesungguhnya dan sempurna dari Tuhan

Yesus melalui baptisan Roh Kudus. Dibaptis dalam nama Tuhan Yesus

mengandung pengertian bahwa orang yang dibaptis itu telah mengaku dan

menerima Yesus sebagai Mesias yaitu juru selamatnya secara pribadi.

20

Di dalam buku ini menjelaskan arti baptisan, tetapi perbedaannya hanya

mengakui satu kuasa dari Allah Tritunggal yaitu Roh Kudus dengan menekankan

pada baptisan yang dianut oleh paham aliran kharismatik. Akan tetapi, apabila

meneliti secara keseluruhan isi Alkitab maka kuasa dan pekerjaan Allah

Tritunggal yaitu Allah Bapa, Yesus Kristus, dan Roh Kudus, terjadi bersamaan

pada saat pelaksanaan baptisan. Penelitian penulis lebih menekankan pada

keseluruhan tata cara pelaksanaan baptisan yang dilakukan serta dianut oleh aliran

dan denominasi gereja yang ada di Kota Denpasar.

Dari beberapa kajian pustaka di atas menegaskan bahwa pelaksanaan

baptisan kudus dalam agama Kristen dilakukan dengan berbagai cara. Buku-buku

tersebut pada umumnya merupakan hasil pengamatan dan penelitian dari beberapa

penulis dengan sudut pandang dan kepentingan yang berbeda-beda. Dalam

penelitian ini lebih banyak menggunakan studi pustaka sebagai bahan

perbandingan serta menjadi dasar pijakan berpikir dalam menyelesaikan

penelitian ini karena sakramen baptisan kudus merupakan doktrin gereja yang

masih terus diperdebatkan sampai saat ini. Perdebatan yang berujung pada

persengketaan dan perselisihan tidak saja terjadi dalam agama Kristen di Kota

Denpasar tetapi juga dalam agama Kristen di seluruh dunia.

Kajian pustaka di atas dapat bermanfaat dalam menambah wawasan

peneliti untuk melanjutkan penelitian ini, sehingga kontroversi pada pelaksanaan

baptisan dalam agama Kristen di Kota Denpasar dapat ditemukan solusi

penyelesaiannya. Kajian pustaka ini juga berusaha memberikan informasi tentang

tata cara pelaksanaan baptisan berdasarkan fakta-fakta sejarah kekristenan di

dunia dan di Kota Denpasar.

21

Penelitian ini akan dikaji dengan berorientasi pada sudut pandang Kajian

Budaya (Cultural Studies) karena kontroversi baptisan kudus harus ditinjau dari

berbagai aspek ilmu, namun tetap berpedoman pada Alkitab sebagai dasar utama

pelaksanaan baptisan tersebut. Hasil penelitian dapat menjadi sarana dalam

mempersatukan aliran gereja yang selama ini mengalami kerengganan atau

perpecahan karena adanya hegemoni kekuasaan di antara aliran gereja di Kota

Denpasar. Perbedaan kajian pustaka di atas dengan penelitian ini adalah kajian

pustaka hanya berorientasi pada pengertian dan pelaksanaan baptisan secara

umum, sedangkan penelitian ini lebih terarah pada kontroversi pelaksanaan

baptisan yang sedang terjadi dalam agama Kristen di Kota Denpasar, Provinsi

Bali.

Dalam melanjutkan penelitian ini masih banyak buku-buku referensi

yang akan dipergunakan sebagai pelengkap dan penyempurnaan agar menjadi

sebuah tesis yang baik. Melalui buku-buku referensi serta dokumen-dokumen

yang ada kaitannya dengan topik penelitian ini akan dapat bermanfaat untuk

memperoleh data yang benar sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan

secara ilmiah. Tentunya, rasa puas dari hasil penelitian bukan hanya bagi peneliti

sendiri tetapi juga bagi setiap orang yang membaca dan ingin mempelajarinya.

2.2 Konsep

Untuk memperjelas pembahasan penelitian ini lebih lanjut dipandang

perlu menguraikan beberapa konsep berdasarkan judul di atas, antara lain: (1)

Kontroversi Baptisan Kudus, (2) Agama Kristen, dan (3) Kota Denpasar.

22

2.2.1 Kontroversi Baptisan Kudus

Pengertian “kontroversi” menurut Poerwadarminta (2005: 613) adalah

sebagai perbedaan pendapat; pertentangan. Sementara menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia (2005:5920) kata “kontroversi” diartikan sebagai perdebatan,

persengketaan, dan pertentangan; sedangkan kata “kontroversial” adalah bersifat

menimbulkan perdebatan: karena pandangannya yang radikal karena dia

merupakan tokoh terpenting di negerinya. Selain arti di atas, kontroversi dapat

diartikan sebagai perbantahan, perdebatan, polemik, silang pendapat, percederaan,

percekcokan, perselisihan, pertengkaran, dan pertikaian prahara

(http://www.sinonimkata.com/sinonim-147095-kontroversi.html).

Dari beberapa pengertian di atas, maka kontroversi dapat diartikan

sebagai perbedaan pendapat yang menimbulkan perdebatan, persengketaan, atau

perselisihan terhadap sesuatu hal karena memiliki pandangan yang radikal.

Pengertian kontroversi memiliki definisi yang sangat luas, tetapi dalam konteks

penelitian ini lebih menekankan pada perbedaan pendapat yang menimbulkan

perdebatan, persengketaan, dan perselisihan terhadap pelaksanaan sakramen

baptisan kudus, karena sikap para pemimpin gereja yang memiliki pandangan atau

ideologi yang radikal sehingga tidak menerima tata cara pelaksanaan baptisan

kudus dari aliran gereja lain.

Sakramen baptisan kudus dalam agama Kristen berdasarkan Alkitab dan

bukti sejarah kekristenan menyatakan bahwa pada awalnya baptisan dilakukan

dengan cara percik. Akan tetapi, beberapa puluh tahun terakhir bahkan ribuan

tahun yang lalu telah mengalami perubahan konsep dan paradigma di mana ada

baptisan selam, baptisan selam yang dilakukan secara berulang-ulang, dan

23

baptisan Roh Kudus. Dampak perubahan dari cara pelaksanaan baptisan yang

berbeda-beda seperti ini tentu terjadi perdebatan dan perselisihan dalam agama

Kristen hingga sampai saat ini.

Perdebatan dan pertentangan terhadap pelaksanaan baptisan dalam

agama Kristen dilatarbelakangi oleh perbedaan aliran dan penafsiran Alkitab

tentang pelaksanaan baptisan tersebut. Menurut Poerwadarminta (2005: 99)

bahwa kata “baptis” berarti permandian (Kristen). Kata “membaptiskan” adalah

mempermandikan (menjadikan Kristen), menamai, dan menamakan. Sedangkan

“pembaptisan” yaitu pemandian atau hal membaptis.

Menurut Kolinus TB (2000: 9) bahwa kata “baptisan” berasal dari akar

kata Yunani: bapto) yang artinya membenamkan, mencelupkan, mandi,

masuk ke dalam air (to immerse, to dip). Kata kerja untuk adalah

(baptizo). Dalam komunitas Yunani, kata ini sebelumnya digunakan

dengan pengertian “mencelupkan selembar pakaian atau sebuah bejana ke dalam

air untuk diisi”. Akan tetapi, pada jaman Tuhan Yesus kata ini digunakan dengan

pengertian untuk menyucikan diri dari kenajisan.

Pengertian baptisan sebelum, pada saat, dan sesudah jaman Tuhan Yesus

terus mengalami perubahan. Pengertian baptisan bukan lagi hanya berarti

membenamkan, mencelupkan, mandi, atau masuk ke dalam air, tetapi bisa juga

berarti menyucikan diri dari kenajisan atau kotoran. Rasul Lukas (LAI, 2008:

116) mencatat: “Orang Farisi itu melihat hal itu dan ia heran, karena Yesus tidak

mencuci tangan-Nya sebelum makan” (Lukas 11:38). Kata membaptis memiliki

arti yang sama dengan mencuci tangan.

24

Membersihkan perabot dan mencuci tangan sebelum makan merupakan

tradisi orang Yahudi pada saat itu. Dalam bahasa Kajian Budaya, tradisi ini dapat

disebut local genius atau kearifan lokal. Dalam analisis Bonnke (2011: 14)

ditinjau dari sudut baptisan Roh Kudus, kata “baptis” awalnya tidak memiliki

makna religius. Penggunaan kata ini berkaitan dengan keterampilan mencelup

kain untuk memberi zat pewarna. Pemberian warna ini disimbolkan dengan karya

Kristus membaptis kita dalam Roh sehingga “sewarna” atau serupa dengan

karakter Roh, mengambil bagian dalam kodrat ilahi.

Seiring dengan perkembangan agama Kristen masuk ke Indonesia, arti

baptisan ini pun diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Menurut

Scheunemann (1986:11) bahwa bahasa Indonesia mengambil alih kata baptis dari

bahasa Latin dan Yunani. “Baptizo” dalam bahasa Gerika berarti: mencelupkan,

menyelamkan dan dapat juga berarti: membasuh tangan (Lukas 11:38). Kata

“baptisan” dari “baptismoi” (jamak) yang diterjemahkan dengan pembasuhan-

pembasuhan atau penyucian-penyucian seumpama cawan, kendi, dan perkakas

ataupun manusia.

Menurut Arenar istilah “dimasukkan dan ditenggelamkan” memang

dapat memberi pengertian dari kata baptisan. Namun hal ini telah ditafsirkan oleh

beberapa gerakan-gerakan yang menganut baptisan selam sebagai bukti bahwa

baptisan selam ke dalam air lebih tepat, lebih benar, dan sah untuk melakukan

upacara pembaptisan (www.yabina.org).

Pernyataan arti kata baptisan pada dasarnya tidak menunjuk pada

pelaksanaan baptisan selam sebagaimana dijelaskan oleh Rayburn (2005:22-26)

dalam bukunya yang berjudul Apa Itu Baptisan ? bahwa fakta kata Yunani

25

“baptizein” berarti “menenggelamkan” yang merupakan arti utama dari kata

tersebut. Akan tetapi, kata “baptizein” pada umumnya dipergunakan dalam

kegiatan sehari-hari masyarakat Yahudi dalam rangka membersihkan perabot

rumah tangga dan mencuci tangan. Oleh karena itu, bagi Rayburn

menerjemahkan baptis sebagai menyelam tidak bisa dibenarkan.

Selanjutnya, Rayburn (2005: 27) melanjutkan argumentasinya dengan

mengatakan bahwa kata baptizein yang berarti menyelam tidak menunjuk pada

pelaksanaan baptisan selam. Pada abad kedua banyak para ahli bahasa Yanani

dan Latin secara fasih serta menjadi bahasa sehari-hari, telah menterjemahkan

Alkitab bahasa Yunani ke dalam bahasa Latin. Akan tetapi, tidak pernah

menerjemahkan kata Yunani “baptizein” ke dalam bahasa Latin immergere yang

berarti menyelam.

Penggunaan kata baptisan selanjutnya secara luas bagi orang Kristen

mengacu pada “Amanat Agung” Tuhan Yesus yang dicatat oleh rasul Matius

(LAI, 2008: 52) berbunyi: Yesus mendekati mereka dan berkata: “Kepada-Ku

telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah

semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan

Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah

Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa

sampai kepada akhir zaman” (Matius 28:18-20).

Amanat Agung Tuhan Yesus ini kemudian dijelaskan oleh Nielsen

(2009: 199) bahwa kalimat Yunani baptisan adalah baptizontes. Artinya,

perbuatan membaptis memasukkan yang bersangkutan ke dalam persekutuan

26

baru, yaitu persekutuan jemaat, umat Mesias, Israel baru. Karena itu, perintah

membaptis bertolak dari kehadiran iman kepada Yesus Kristus.

Pelaksanaan baptisan merupakan perintah Tuhan Yesus bagi setiap orang

Kristen. Pelaksanaan baptisan melambangkan bahwa seseorang dimasukkan

dalam persekutuan iman kepada Yesus Kristus. Dalam kesimpulan Rayburn

(2005: 51-51) untuk mengakhiri perdebatan terhadap argumentasi penganut

baptisan selam mengatakan:

“Kita percaya bahwa kita telah jelas mendemonstrasikan fakta bahwa tidak

ada bukti baptisan melalui selam dalam Alkitab; bahwa tidak ada contoh,

kesan atau peringatan bagi orang yang diselam ke dalam air dan

menyebutnya sebagai baptisan. Kita telah melihat bahwa Allah dalam

anugerah-Nya telah menetapkan satu peraturan sebagai bentuk simbolis

pekerjaan Roh Kudus dalam melahirbarukan satu jiwa, dan bahwa peraturan

ini diobservasi sebagai percikan air murni atas seseorang. Dalam hal ini

peraturan ini dinyatakan pantas dan layak dihargai di bawah lingkungan dan

musim apapun, dalam setiap tempat, di mana ada sedikit air. Sejarah Gereja

Kristen membuktikan bahwa pelaksanaan dengan cara ini diikuti dengan

banyak berkat.”

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa dasar utama pelaksanaan

baptisan adalah Alkitab. Alkitab adalah otoritas tertinggi yang dijunjung oleh

setiap orang Kristen di seluruh dunia, sehingga dengan dasar itulah baptisan dapat

dilaksanakan secara benar. Pelaksanaan baptisan sebagai bentuk simbolis dari

pekerjaan Roh Kudus untuk melahirbarukan seseorang dan menjadi satu

persekutuan di dalam Yesus Kristus.

Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa pengertian kata baptisan

memiliki arti yang sangat luas. Dengan pengertian yang berbeda-beda tersebut,

pemaknaan terhadap pelaksanaan baptisan juga bisa bermacam-macam menurut

kehendak atau versi masing-masing orang Kristen yang memiliki kepentingan di

dalamnya. Perbedaan pendapat yang berakhir dalam perdebatan dan

27

persengketaan inilah yang menjadi permasalahan dalam dalam agama Kristen

sampai saat ini.

2.2.2 Agama Kristen

Agama Kristen adalah sebuah kepercayaan yang berdasar pada kelahiran,

pelayanan, sengsara, kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus Kristus ke

Sorga. Orang Kristen meyakini bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan juru

selamat bagi seluruh umat manusia yang percaya kepada-Nya secara sungguh-

sungguh. Setiap orang yang telah diselamatkan oleh Yesus Kristus dipersatukan

di dalam gereja-Nya dan menggunakan Alkitab sebagai pedoman dalam hidupnya.

Sebutan bagi orang Kristen (agama Kristen) juga tidak terlepas dari

pemanggilan murid-murid Yesus Kristus yang pertama kali di Antiokhia. Dalam

kitab Kisah Para Rasul 11:26 (LAI, 2008:206) berkata: Mereka tinggal bersama-

sama dengan jemaat itu satu tahun lamanya, sambil mengajar banyak orang.

Yesus Kristus adalah pendiri gereja yang sesungguhnya dan pemimpin bagi

gereja-Nya. Tuhan Yesus menyebut orang Kristen sebagai gereja-Nya (Griffiths,

1995:2). Yesus Kristus mengumpulkan dan memanggil orang Kristen untuk

disatukan dengan Dia (Riemer, 1999: 19).

Perpecahan dalam agama Kristen justru menyimpang dari pesan Tuhan

Yesus yang terus mendoakan gereja-Nya agar memiliki kesatuan di antara para

pengikutnya. Persatuan dan kesatuan yang diharapkan oleh Tuhan Yesus melalui

doa-Nya dicatat oleh rasul Yohanes (LAI, 2008: 177) yang berbunyi:

“Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-

orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka

semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku

di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya,

bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (Yohanes 17:20-21).

28

Doa ini kemudian menjadi dasar dari gerakan ekumenisme yang dimulai

pada awal abad ke-20. Sekarang ini agama Kristen telah mengalami banyak

perubahan sebagai akibat munculnya aliran dan denominasi gereja banyak. Di

Kota Denpasar, agama Kristen telah banyak mengalami perkembangan dan

pertambahan aliran dan denominasi gereja sebagai bentuk dari perbedaan

pandangan yang terus menimbulkan persengketaan dalam pelaksanaan baptisan.

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sebutan bagi orang

Kristen atau orang percaya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

pengertian agama Kristen. Istilah-istilah di atas memiliki arti yang sama sehingga

akan dipergunakan dalam penelitian ini. Akan tetapi, penulis lebih banyak

menggunakan istilah agama Kristen dibandingkan dengan istilah orang percaya

dan orang Kristen. Istilah agama Kristen secara umum sudah banyak dikenal, dan

merupakan istilah sah yang dipakai oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian

Agama Republik Indonesia.

2.2.3 Kota Denpasar

Kota Denpasar adalah Ibukota Provinsi Bali sebagai pusat pemerintahan.

Kota Denpasar terdiri dalam empat Kecamatan, yaitu: Kecamatan Denpasar Barat,

Kecamatan Denpasar Timur, Kecamatan Denpasar Selatan, dan Kecamatan

Denpasar Utara. Dalam keempat wilayah Kecamatan Denpasar ini, peneliti akan

meninjau aliran dan denominasi gereja yang memiliki perbedaan terhadap

pelaksanaan baptisan kudus. Peneliti lebih memilih Kota Denpasar dibandingkan

kota Kabupaten lainnya di Provinsi Bali, karena di Kota Denpasar lebih banyak

ditemukan aliran gereja dalam agama Kristen. Oleh sebab itu, hasil dari

penelitian ini diperoleh data yang akurat dan benar sesuai dengan kondisi agama

29

Kristen di Kota Denpasar dan sekaligus dapat mewakili agama Kristen di Provinsi

Bali.

Di Kota Denpasar ada beberapa paguyuban-paguyuban, baik yang

bersifat eksternal yaitu paguyuban antara agama Kristen dengan agama lain, dan

ada yang bersifat internal yaitu paguyuban antara agama Kristen sendiri. Secara

eksternal telah dibentuk Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB). FKUB

bertujuan untuk menyatukan umat beragama yang ada di Kota Denpasar. Secara

internal ada Musyawarah Pelayanan Antar Gereja (MPAG) dan Bali Partnership.

Paguyuban dalam agama Kristen seperti MPAG dan Bali Partnership bertujuan

untuk menyatukan serta menghindari berbagai konflik-konflik dari aliran dan

denominasi gereja dalam agama Kristen di Kota Denpasar.

Pada dasarnya tujuan paguyuban ini sangat mulia, tetapi sampai sekarang

ini kontroversi dalam pelaksanaan baptisan masih terus terjadi. Oleh sebab itu,

penelitian ini dapat digunakan untuk mencari penyebab-penyebab terjadinya

kontroversi ini serta solusi penyelesaiannya sehingga sehingga dapat tercipta

kedamaian, keharmonisan, kerukunan, dan kebersamaan dalam agama Kristen di

Kota Denpasar.

2.2.4 Kontroversi Baptisan Kudus Dalam Agama Kristen di Kota Denpasar

Kontroversi baptisan kudus dalam agama Kristen di Kota Denpasar

merupakan suatu perbedaan pendapat atau ideologi yang menimbulkan perdebatan

yang berujung pada persengketaan yang terus-menerus berlangsung hingga

sampai saat ini. Disebut kontroversi karena ada dua definisi yang berbeda dan

berlawanan yang menimbulkan pertikaian prahara. Dalam hal ini memang tidak

30

ada dari keduanya yang salah secara definitif, tetapi dampak dari perdebatan ini

mengakibatkan perpecahan dalam agama Kristen secara terus menerus.

Kontroversi baptisan kudus berarti ada dua atau lebih sudut pandang

yang berbeda dalam memaknai atau mengartikan arti kata baptisan dalam agama

Kristen di Kota Denpasar. Bertumbuhnya persengketaan terhadap pelaksanaan

baptisan ini disebabkan karena adanya pola pikir atau paham yang sangat radikal

yang tetap dipertahankan oleh setiap pemimpin-pemimpin dalam agama Kristen.

Paham yang radikal sering dijadikan sebagai alat untuk mewujudkan kepentingan

pribadi dan golongannya, sekaligus menjadi alat untuk menguasai aliran gereja

lain.

Ketika perbedaan dan ideologi yang radikal menjadi dasar dalam

pelaksanaan baptisan, maka pada akhirnya terjadi perpecahan dalam agama

Kristen. Bukti perpecahan dalam agama Kristen di Kota Denpasar dengan

bertumbuhnya berbagai aliran atau denominasi gereja baru yang tidak menerima

dan mengakui cara pelaksanaan baptisan dari aliran gereja lain. Setiap pemimpin

gereja berusaha menonjolkan perbedaan yang ada sebagai identitas gereja yang

benar dalam komunitas orang Kristen maupun terhadap agama lain.

Pelaksanaan baptisan kudus dalam agama Kristen sangat penting dan

bersifat sakral. Sakral berarti baptisan itu kudus sehingga tidak dilakukan dengan

sembarangan dan hanya sekali seumur hidup bagi setiap pribadi orang Kristen.

Baptisan kudus merupakan tanda bahwa seseorang telah diterima masuk ke dalam

persekutuan gereja Tuhan Yesus. Gereja Tuhan Yesus adalah Dia kepala atas

seluruh gereja dan gereja adalah milik-Nya. Seseorang yang telah dipersatukan di

dalam Yesus Kristus menjadi anak-anak Allah.

31

Dari seluruh uraian di atas, maka indikator terjadinya kontroversi

sakramen baptisan kudus dalam agama Kristen di Kota Denpasar adalah sebagai

berikut: (1) Adanya perbedaan aliran gereja yang terus berkembang dalam agama

Kristen hingga saat ini; (2) Adanya perbedaan cara penafsiran Alkitab tentang arti

kata baptisan kudus; dan (3) Adanya perbedaan dalam pelaksanaan baptisan

kudus tersebut. Perbedaan-perbedaan inilah yang akan diteliti lebih lanjut pada

penelitian ini, sehingga kontroversi baptisan kudus dapat terselesaikan dengan

sebaik-baiknya.

2.3 Landasan Teori

Teori adalah rumusan yang berisikan prinsip umum. Dalam penelitian

ini beberapa teori digunakan untuk membedah masalah tersebut, yaitu: (1) Teori

Hegemoni; (2) Teori Interaksi Simbolik; dan (3) Teori Semiotika. Teori

hegemoni diperlukan karena pemimpin dari setiap aliran gereja berusaha untuk

mempertahankan paham yang dianutnya sebagai salah satu cara keeksistensinya

dalam agama Kristen. Setiap pemimpin gereja saling menghegemoni untuk

mempertahankan aliran gerejanya masing-masing. Teori interaksi simbolik

diperlukan untuk menjabarkan simbol-simbol yang dipakai dalam agama Kristen.

Melalui simbol-simbol tersebut, orang Kristen berusaha untuk menginterpretasi

dan memaknainya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Teori semiotika

diperlukan untuk menemukan dampak dari kontroversi pelaksanaan baptisan,

sehingga setiap simbol kekristenan tidak menjadi hal yang kontroversial lagi

dalam kehidupan kekristenan. Ketiga teori ini dipilih karena dapat dipergunakan

untuk membedah permasalahan serta mencari solusi penyelesaian terhadap

kontroversi pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen di Kota Denpasar.

32

2.3.1 Teori Hegemoni

Konsep hegemoni pertama kali dipopulerkan oleh Antonio Gramsci.

Konsep Gramsci ini umumnya berorientasi dalam memaknai suatu determinan

sejarah yang bergerak pada tataran sikap mempertahankan, melestarikan

kekuasaan, menggerogoti secara terus menerus, melemahkan, dan meniadakan

potensi tanding dengan kekuatan lawan. Bagi Gramsci, konsep hegemoni dengan

“kekuatan” (force) memiliki perbedaan yang paling mendasar. Konsep hegemoni

meliputi perluasan dan pelestarian “kepatuhan aktif’ dari kelompok-kelompok

yang didominasi oleh kelas berkuasa yang bukan lewat penggunaan

kepemimpinan, intelektual, moral dan politik. Sedangkan konsep kekuatan

bergerak pada ranah penggunaan daya paksa untuk membuat seseorang,

sekelompok orang, atau orang banyak untuk mengikuti kehendak yang

mengontrol kekuataan tersebut dengan menawarkan syarat-syarat tertentu untuk

mencapai keinginan pemilik kekuatan (Pobotinggi, 1986: 214-216).

Antonio Gramsci dengan teori hegemoninya dipandang sebagai pemikir

politik terpenting setelah Marx. Gagasannya dipengaruhi oleh filsafat hukum

Hegel. Teori-teorinya muncul sebagai kritik dan alternatif bagi pendekatan dan

teori perubahan sosial sebelumnya yang dapat didominasi oleh determinisme

kelas dan ekonomi Marxisme tradisional. Dalam analisis teorinya memaparkan

bahwa dalam setiap aspek hidup masyarakat pada umumnya terdapat hegemoni

budaya dan hegemoni ideologis (Barker, 2006: 65).

Dalam paparan Gramsci, hegemoni budaya dan hegemoni ideologis

berarti situasi dimana suatu ‘blok historis’ faksi kelas berkuasa menjalankan

otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi

33

antara kekuatan, dan terlebih lagi dengan konsensus. Dalam analisisnya, ideologi

dipahami sebagai kebenaran universal, merupakan peta makna yang didukung

kekuasaan kelompok sosial tertentu. Artinya, ideologi tidak dapat dipisahkan dari

aktifitas praktis kehidupan, namun ia adalah fenomena material yang berakar pada

kondisi sehari-hari. Ideologi menyediakan aturan perilaku praktis dan tuntunan

moral yang sepadan dengan ‘agama yang secara sekular dipahami sebagai

kesatuan keyakinan antara konsepsi dunia dan norma tindakan terkait’ (Gramsci,

1971: 349).

Sebagai implikasi dari pembangunan teori hegemoni, kelas buruh tidak

lagi dianggap sebagai pemeran utama dalam gerak perubahan sosial. Kelas buruh

dianggap sebagai salah satu dari banyak entitas dalam masyarakat seperti

ekonomi, politik, kultur, gender, dan lingkungan yang saling tergantung satu sama

lainnya. Dengan demikian, Gramsci membuka kemungkinan memasukan

kelompok-kelompok baru di dalam kategori kelas buruh, yang saling berinteraksi

dan menghasilkan perubahan sosial, termasuk juga dalam realitas agama.

Selanjutnya, Ratna (2005: 136) mengembangkan teori hegemoni Gramsci

dalam konteks Indonesia dengan mengatakan bahwa hegemoni terjadi apabila cara

berpikir kelompok tertindas, khususnya kaum proletar telah terobsesi dan

menerima cara berpikir kolompok dominan. Perlu diketahui bahwa transformasi

dan pengambilan cara berpikir sebagaimana yang dimaksudkan dalam teori

hegemoni tidak terbatas dalam bidang politik, melainkan juga intelektual, moral,

religi (agama), termasuk cita rasa.

Teori hegemoni tidak terbatas pada bidang politik, intelektual, moral,

agama, dan cita rasa, tetapi juga terjadi pada common sense dan budaya pop.

34

Gramsci berargumentasi bahwa common sense dan budaya pop, di mana orang-

orang berusaha mengorganisasi kehidupan dan pengalaman mereka, sehingga

disadari atau tanpa disadari telah menjadi arena bagi pertarungan ideologis. Pada

situasi ini hegemoni dipahami sebagai serangkaian aliansi cair dan temporer yang

harus dimenangkan dan dinegosiasikan ulang bagi pemangku kepentingan. Oleh

sebab itu, muncul dan runtuhnya hegemoni budaya adalah sebuah proses yang

terus menerus dan kebudayaan adalah sebuah lahan bagi perjuangan secara terus-

menerus untuk mendapatkan makna (Barker, 2006: 370).

Suatu blok hegemoni tidak pernah berdiri sendiri atau tunggal, namun

dibentuk melalui serangkaian aliansi di mana suatu kelompok berposisi

pemimpin. Ideologi memainkan peran krusial dalam membiarkan aliansi

kelompok ini mulai dari kelas kecil sampai menguasai secara keseluruhan.

Konsep ini biasanya dilakukan oleh negara (state) melalui lembaga-lembaga

seperti hukum, militer, polisi, dan bahkan juga penjara. Kedua, adalah perangkat

kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta pranata-pranatanya untuk taat

pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian,

dan bahkan keluarga. Perangkat kerja ini biasanya dilakukan oleh pranata

masyarakat sipil (civil society) melalui lembaga-lembaga sosial seperti: LSM,

organisasi sosial dan keagamaan, peguyuban-peguyuban, kelompok-kelompok

kepentingan (Barker, 2006: 62).

Teori hegemoni Gramsci sangat relevan dalam Kajian Budaya (Cultural

Studies), karena Cultural Studies bergerak dalam rangka menguji hubungan antara

kebudayaan dan kekuasaan, semua praktek tentang nilai-nilai, kepercayaan,

kompetensi, rutinitas atau perilaku kehidupan suatu masyarakat, bentuk-bentuk

35

kebudayaan yang dieksplorasi untuk kepentingan tertentu, dan ranah dalam kajian

berbagai disiplin ilmu (Barker, 2006: 7-8).

Teori hegemoni dalam kaitannya dengan kontroversi baptisan kudus

dalam agama Kristen di Kota Denpasar yaitu adanya hegemoni yang lebih

dominan dan ideologi yang diperjuangkan oleh pemimpin gereja atau sekelompok

orang Kristen untuk membenarkan cara pelaksanaan baptisan yang dilakukan oleh

aliran dan denominasi gerejanya. Gereja yang sudah mapan dan memiliki

pengaruh anggota yang banyak merasa menjadi aliran gereja yang benar dalam

melaksanakan baptisan. Fenomena ini menjadi acuan dalam menghegemoni

aliran gereja yang kecil dan tertindas. Pada tataran juga ideologi dipahami

sebagai ide, makna, dan praktik yang mengklaim sebagai kebenaran universal

yang diberlakukan pada aliran dan denominasi gereja lain yang berbeda

dengannya. Dalam hal ini, ideologi tidak dapat dipisahkan dari aktivitas praktis

kehidupan orang Kristen dalam melaksanakan baptisan kudus.

Dalam hubungan inilah, Castoriadis dan Lefort (Thompson, 2003:60-61)

mengatakan bahwa ideologi sebagai sistem ide, dan ideologi ada dalam bahasa.

Ideologi bukan wacana tertentu yang berhubungan dengan masyarakat tertentu,

tetapi sebagai cara makna membenarkan relasi dominasi. Bagi Ratna (2008: 372),

ideologi dibedakan dalam dua macam sifat kerjanya, yaitu bersifat imanen dan

bersifat transenden. Ideologi bersifat imanen yaitu ideologi sebagai bahasa yang

digunakan dalam aktivitas sosial, sedangkan ideologi bersifat transenden yaitu

ideologi untuk membenarkan dominasi.

Kedua sifat ideologi di atas telah memasuki ranah pelaksanaan baptisan

kudus dalam agama Kristen di Kota Denpasar. Setiap aliran dan denominasi

36

gereja berusaha untuk saling menghegemoni dan mengklaim sebagai aliran gereja

yang paling benar. Aliran gereja yang berpengaruh dan memiliki kekuasaan akan

menindas aliran gereja yang kecil, sehingga lama-kelamaan aliran atau

denominasi gereja yang tertindas itu tidak berkembang secara kualitas ataupun

kuantitas, dan pada akhirnya gereja itu tutup karena tidak memiliki anggota

jemaat. Pada kondisi inilah Kajian Budaya membela kaum lemah dan termajinal

dalam konteks dan pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen di Kota Denpasar.

Perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta pranata-

pranatanya untuk taat pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama

adalah pemimpin gereja (pendeta). Pemimpin gereja memberikan pengajaran

kepada warga gereja, sehingga mereka percaya dan menerima ajaran tersebut

dengan dasar tunduk pada pemimpin gereja. Pada saat pemimpin gereja

memberikan pengajaran dan menerapkan aturan-aturan yang berlaku di gereja

yang dipimpinnya secara tidak langsung telah melakukan hegemoni terhadap

warga jemaat sehingga dengan jumlah anggota yang banyak merasa sudah kuat

dan berkesempatan untuk melanjutkan hegemoni ini terhadap aliran dan

denominasi gereja lain yang ada di sekitarnya.

Bagi warga gereja yang tidak mau dikuasai atau dihegemoni oleh

pemimpin gerejanya, kemudian memisahkan diri dan membentuk komunitas baru

yaitu aliran atau denominasi gereja baru. Aliran dan denominasi yang telah

terbentuk ini berusaha untuk mempertahankan ajarannya dan juga berusaha untuk

melawan aliran yang lama atau aliran yang ada di sekitarnya. Sikap melawan

inilah terjadi karena adanya reaksi hegemoni. Jadi, teori ini dapat membahas

rumusan masalah pertama dan kedua dalam penelitian ini.

37

2.3.2 Teori Interaksi Simbolik

Teori interaksi simbolik merupakan aliran sosiologi Amerika yang lahir

dari tradisi psikologi. Salah seorang tokohnya Herbert Blumer dalam bukunya

Symbolic Interactionisme (Veeger, 1985: 224-229) menjelaskan tentang konsep-

konsepnya yang dipadukan dengan gagasan-gagasan George Herbert Mead.

Walaupun dalam sejarah interaksi simbolik Cooley dan Thomas merupakan tokoh

penting pada awal abad kesembilan belas, ternyata Mead paling berpengaruh bagi

perspektif ini.

Pentingnya teori interaksi simbolik ini karena setiap manusia hidup

dalam lingkungan simbol-simbol tertentu. Lebih daripada itu, manusia juga

mampu memakai lambang dan simbol tanpa banyak berpikir. Dengan spontan

simbol dan lambang itu disebar atau dituangkan dalam hubungan dengan

sesamanya sehingga arti dan maksudnya dapat dimengerti oleh yang

menerimanya. Dalam konsep ini, kebutuhan dasar manusia pada tataran

perspektif ini menurut Triguna (2000: 2) adalah kebutuhan akan simbol seperti

makanan, melihat, atau berpindah tempat. Bagi manusia membuat dan

menggunakan simbol adalah aktivitas primer.

Interaksi terhadap simbol dikembangkan oleh Mead dengan melihat

bahwa kebutuhan dasar manusia yang selalu berada dalam lingkup simbol.

Menurut Doyle Paul Johnson (1986: 8-9), bahwa Mead mengembangkan teori

interaksi simbolik dengan mengacu pada teori Darwin yang terletak pada prinsip

bahwa organisme terus-menerus terlibat dalam usaha menyesuaikan diri dengan

lingkungannya. Melalui proses penyesuaian ini bentuk atau karakteristik

38

organisme mengalami perubahan yang terus-menerus seiring dengan kebutuhan

yang diidamkannya.

Organisme yang dimaksud pada konsep ini lebih menunjuk kepada

manusia sebagai makhluk sosial dan sekaligus makhluk yang hidup dalam dunia

simbol. Manusia itu bergerak sebagai “organisme yang sadar akan dirinya”. Ia

mampu bergaul, berinteraksi, dan berwawancara dengan dirinya sendiri.

Akhirnya, manusia itu merencanakan dan mengorganisasikan perbuatan-

perbuatannya. Pada saat reaksi ini berlangsung, antara perangsang dari suatu

situasi dan kelakuannya tersisiplah proses interaksi dengan dirinya sendiri

sehingga melahirkan proses pemaknaan serta penafsiran yang dapat diwujudkan

pada suatu situasi dan kondisi tertentu.

Manusia yang berinteraksi dengan simbol-simbol yang ada di sekitarnya

dipopulerkan oleh Blumer sebagai penganut teori interaksionisme modern yang

diuraikan dalam karyanya Man and Society. Dalam karyanya ini dijelaskan

bahwa psikologi sosial (behaviorisme) sebagai interaksi khas antar manusia

melalui proses saling menerjemahkan, mengevaluasi, dan mendefinisikan

tindakannya. Tanggapan hanya sekedar reaksi atas aksi yang ada, namun hal itu

didasarkan atas makna yang diberikan terhadap tindakan orang lain. Penggunaan

simbol, interpretasi, dan pemahaman maksud tindakan merupakan unsur penting

yang harus diperhatikan (Triguna, 2000:43).

Agama Kristen yang memiliki sejumlah simbol dalam ritualnya seperti

baptisan kudus, tentunya orang Kristenlah yang mampu menerjemahkan,

menginterpretasi, dan menggunakan simbol-simbol tersebut. Kemampuan orang

Kristen atau manusia dalam memahami simbol-simbol kekristenan dijabarkan

39

oleh Blumer (1969:80) bahwa manusia tidak saja mengenal tanda-tanda alamiah

(natural signs), tetapi memahami simbol yang mengandung makna (significant

symbols).

Kontroversi yang sedang terjadi dalam agama Kristen di Kota Denpasar

karena memiliki penafsiran yang berbeda-beda terhadap pengertian baptisan. Hal

ini tidak dapat dipungkiri bahwa orang Kristen mampu menggunakan bahasa yang

ada di sekitarnya untuk memberi interpretasi terhadap pelaksanaan baptisan itu

sendiri. Secara umum manusia mampu memanfaatkan bahasa untuk melihat,

mempertimbangkan, menafsirkan, dan menggunakan simbol-simbol yang ada di

sekitarnya. Penggunaan bahasa dan simbol-simbol dalam kegiatan keagamaan

bagi Triguna (2000: 46) sebagai unsur melegalisasikan kedudukan baru yang

dicapai menyebabkan terjadinya proses restrukturasi, yaitu proses penafsiran

kembali simbolisme sesuai dengan kondisi dan tuntutan masyarakat pada saat itu.

Agama Kristen adalah agama yang dipenuhi dengan simbol-simbol yang

dibangun dan dibuat oleh orang Kristen dalam ritual keagamaan yang dianutnya.

Walaupun simbol baptisan kudus ini telah ada sejak awal kekristenan, namun

pemaknaan terhadap simbol itu terus mengalami perubahan karena ditafsirkan

menurut kebutuhan orang Kristen pada jaman ini. Dengan demikian, fungsi

simbol dan makna yang dibuat oleh manusia terhadap simbol tertentu pada

umumnya atau orang Kristen pada khususnya, menurut Triguna (2000: 35)

sebagai perwujudan status sosial. Semakin beraneka ragam simbol yang dapat

dibuat dan digunakan oleh seseorang atau kelompok orang semakin tinggi status

sosial yang bersangkutan.

40

Setiap anggota masyarakat memahami perbuatan orang lain dan

memakainya dalam menyusun kelakuannya. Inti kehidupan sosial manusia

walaupun berbeda-beda unsur-unsur struktur dan budaya serta peranan-peranan

sosialnya tidak berpengaruh langsung terhadap proses situasi interaksi di

masyarakat. Demikian juga kehidupan agama Kristen di Kota Denpasar yang

tidak terlepas dari interaksi simbol-simbol, baik dengan masyarakat secara umum

maupun simbol-simbol yang terdapat dalam masyarakat Kristen tersebut.

Pelaksanakan baptisan kudus bagi orang Kristen dipenuhi dengan

simbol-simbol keagamaan yang sudah tertanam dalam kehidupan mereka.

Simbol-simbol ini tidak dapat dipahami secara langsung tanpa menganalisa setiap

latarbelakang dan proses penggunaan simbol tersebut. Oleh karena itu, teori ini

berusaha untuk membedah rumusan masalah kedua tentang faktor yang

menyebabkan terjadinya kontroversi pada pelaksanaan baptisan dalam agama

Kristen di Kota Denpasar.

2.3.3 Teori Semiotika

Teori semiotika sangat dipandang perlu untuk mengalisa penelitian ini,

secara khusus untuk membahas rumusan masalah ketiga tentang dampak dan

makna kontroversi sakramen baptisan kudus dalam Agama Kristen di Kota

Denpasar. Dengan melihat fenomena sosial tentang kontroversi pelaksanaan

baptisan kudus, sesungguhnya di balik kontroversi itu tersimpan kebohongan dan

kebenaran yang dipegang oleh masing-masing aliran gereja. Ketika ideologi

kebenaran ditonjolkan maka sesungguhnya tersimpan juga ideologi kepalsuan di

dalamnya.

41

Konsep ideologi yang demikian ditegaskan oleh Piliang (2003: 43-44)

bahwa ideologi selalu menciptakan pada diri setiap orang sebuah lukisan diri

sebagai sebuah kebenaran, padahal semuanya adalah lukisan palsu yang

diciptakan oleh para elit ideolog. Selanjutnya, defenisi ideologi ini bila

dihubungkan dengan melihat teori semiotika (semiotics) yaitu salah satu dari ilmu,

yang oleh beberapa pemikir dikaitkan hakikatnya dengan kedustaan, kebohongan,

dan kepalsuan (teori dusta). Semiotika adalah sebuah teori kedustaan, maka ia

sekaligus adalah teori kebenaran.

Untuk melihat lebih jauh teori semiotika, maka perlu mempertimbangkan

pendapat Eco (1979: 7) bahwa bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk

mengungkapkan dusta, maka sebaliknya ia tidak dapat pula digunakan untuk

mengungkapkan kebenaran (truth): ia pada kenyataannya tidak dapat digunakan

untuk “mengungkapkan” apa-apa. Saya pikir definisi sebagai sebuah teori

kedustaan sudah sepantasnya diterima sebagai sebuah program komprehensif

untuk semiotika umum (general semiotics).

Selanjutnya, teori semiotika juga diuraikan oleh Benny H. Hoed (2011:3-

5) dalam bukunya yang berjudul Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, yang

meyakinkan kita mengenai kekuatan semiotik untuk kajian budaya, sepanjang kita

ingin melihat ‘tanda’ sebagai ‘satuan kultural’, ‘semiosis’, ‘interconnected

cultural unik’, ‘the signifying order’ dalam dinamika masyarakat. Semiotik

adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang

hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita

beri makna. Merujuk kepada Ferdinand de Saussure (1996), melihat tanda

sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercitra dalam kognisi seseorang) dan

42

makna (atau isi, yakni yang dipahami oleh manusia pemakai tanda). Dengan

demikian, apa yang ada dalam kehidupan kita dilihat sebagai “bentuk” yang

mempunyai “makna” tertentu. Hubungan antara bentuk dan makna tidak bersifat

pribadi, tetapi sosial, yakni didasari oleh “kesepakatan” (konvensi) sosial. Oleh

sebab itu, semiotik pada perkembangannya menjadi perangkat teori yang

digunakan untuk mengkaji kebudayaan manusia, baik dalam unsur bahasa, agama,

dan sebagainya. Setiap unsur-unsur ini memiliki makna sesuai bagiannya masing-

masing.

Dalam memaknai sebuah tanda menurut Hoed (2011:8-9) harus

didasarkan pada: Pertama, tanda adalah sesuatu yang terstruktur dan

penggunaannya didasari oleh kaidah yang mengatur praktik berbahasa dalam

kehidupan bermasyarakat, atau bagaimana parole mengubah langue. Kedua,

manusia memandang suatu gejala budaya sebagai tanda yang terdiri atas penanda.

Ketiga, manusia melihat tanda melalui dua poros, yakni sintagmatik (jukstaposisi)

dan asosiatif (hubungan antara tanda dalam ingatan manusia yang membentuk

sistem dan paradigma). Keempat, teori tanda bersifat dikotomis, yakni tanda dua

aspek yang berkaitan satu sama lain dan relasi antar tanda sebagai relasi pembeda

“makna”. Kelima, kaidah analisis struktural, yakni imanensi, pertinensi,

komutasi, kompatibilitas, integrasi, sinkroni sebagai dasar analisis diakronis, dan

fungsional.

Sehubungan dangan teori semiotik ini Sibarani (2006: 3-4) menjelaskan

bahwa semiotik adalah bidang kajian yang mempelajari seluk-beluk tanda. Tanda

mencakup simbol, indeks, dan ikon. Simbol adalah tanda yang melambangkan

sesuatu, yang hubungan antara penanda (signifier) dengan yang ditandainya

43

(signified) tidak memiliki relasi alamiah, tetapi arbitrari dan konvensional. Indeks

adalah tanda yang menandai sesuatu, yang hubungan antara penanda dan yang

ditandainya memiliki relasi alamiah. Ikon adalah tanda yang menandai sesuatu,

yang hubungan antara penanda dan petanda memiliki relasi kesamaan atau

kemiripan.

Tanda yang berfungsi untuk mewakili atau menandai sesuatu dijabarkan

oleh Charles Sanders Peirce (Hoed, 2011: 4) dengan melihat tanda bukanlah suatu

struktur, melainkan suatu proses kognitif yang berasal dari apa yang dapat

ditangkap pancaindra. Dalam teorinya, “sesuatu” yang pertama – yang “konkret”

adalah suatu “perwakilan” yang disebut representamen atau ground, sedangkan

“sesuatu” yang ada di dalam kognisi disebut object. Proses perhubungan dari

representamen ke object disebut semiosis (semeion, Yun. ‘tanda’).

Semiotik pada hakikatnya terbagi atas dua bagian besar, yakni semiotika

komunikasi (semiotics of communication) dan semiotika makna (semiotics of

signification). Semiotika komunikasi memfokuskan diri pada proses pemahaman

tanda sebagai bagian dari komunikasi untuk penyampaian pesan dari pengirim

kepada penerima melalui tanda berkode dengan kontak komunikasi dalam konteks

tertentu. Semiotika makna lebih memfokuskan diri pada pemahaman arti atau

makna tanda secara holistik, baik secara internal-konotatif denotatif maupun

secara eksternal-konotatif yang dikaitkan dengan konteks sosial budaya (Piliang,

2003: 266-269).

Melalui teori semiotik ini peneliti dapat menemukan dampak dan makna

dari kontroversi baptisan kudus. Apabila tidak dapat memahami makna dari

setiap simbol baptisan, maka dapat memunculkan konflik-konflik yang akhirnya

44

terjadi perpecahan secara terus-menerus dalam agama Kristen. Melalui hasil

penelitian ini akan menemukan solusi dalam mewujudkan suasana damai dan

kesatuan di antara aliran atau denominasi gereja di Kota Denpasar.

2.4 Model Penelitian

Sesuai dengan kerangka berpikir yang telah diuraikan sebelumnya, maka

model penelitiannya dapat dituangkan dalam gambar di bawah ini (Gambar 2.1).

ALKITAB

PEMIMPIN

GEREJA AGAMA

KRISTEN

- KEBUDAYAAN

- TAFSIRAN

KONTROVERSI

BAPTISAN

KUDUS DALAM

AGAMA KRISTEN

DI KOTA

DENPASAR

- ALIRAN GEREJA

- HUKUM GEREJA

Bagaimana bentuk

kontroversi baptisan

kudus dalam agama

Kristen di Kota

Denpasar ?

Faktor apakah yang

mempengaruhi

kontroversi baptisan

kudus dalam agama

Kristen di Kota

Denpasar ?

Apa dampak dan

makna kontroversi

baptisan kudus

dalam agama

Kristen di Kota

Denpasar ?

Keterangan Model Penelitian

Kerangka berpikir seperti gambar model di atas timbul sebagai akibat

adanya kontroversi pada baptisan kudus dalam agama Kristen di Kota Denpasar.

Alkitab sebagai kitab suci yang menjadi otoritas tertinggi dalam seluruh aspek

hidup orang Kristen, termasuk dalam pelaksanaan sakramen baptisan kudus telah

45

mengalami perubahan cara pandang dalam memaknai dan menafsirkan isinya.

Alkitab seharusnya menjadi dasar bagi para pemimpin gereja (pendeta) dalam

melaksanakan tugas kepemimpinannya di tengah-tengah dunia ini. Akan tetapi,

pada kenyataannya pemimpin gereja sering memasukan gagasan berpikir dan

ideologinya dalam menafsirkan Alkitab demi kepentingan pribadi atau aliran

gereja yang dipimpinnya. Paham dan ideologi inilah yang mempengaruhi terjadi

kontroversi pada pelaksanaan baptisan kudus dengan cara yang beraneka ragam.

Ketika pemimpin gereja menafsirkan Alkitab maka cara berpikirnya juga

sangat dipengaruhi oleh budaya dan adat istiadat yang berlaku pada saat itu

ataupun kebudayaan para misionaris yang membawa agama Kristen di Kota

Denpasar. Hasil dari pemahaman dan penafsiran tentang pelaksanaan baptisan

akan melahirkan aliran dan aturan gereja yang baru. Kehadiran aliran gereja baru

banyak memicu pelaksanaan baptisan yang dilakukan dalam berbagai cara

menurut kehendak pemimpin gereja tersebut. Kesalahan dalam menafsir Alkitab

juga dapat menimbulkan perpecahan dalam agama Kristen.