bab ii kajian teori partisipasi politik dan konsep...
TRANSCRIPT
11
BAB II
KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP PERAN
ANGGOTA LEGISLATIF
Pada mulanya politik selalu dikaitkan sebagai sebuah pertarungan laki-laki untuk
memperoleh kekuasaan. Segala sesuatu diatur dan dikontrol oleh laki-laki. Pada abad ke-21,
perempuan mulai berpartisipasi dalam berbagai lembaga politik yang diharapkan dapat membuat
suatu perubahan sifat demokrasi, manajemen dan pengambilan keputusan.1 Akan tetapi, hingga
saat ini peluang bagi kaum perempuan untuk terlibat langsung sebagai pembuat keputusan di
lembaga legislatif masih sangat minim. Jumlah keterpilihan perempuan yang terbatas ini
membuat berbagai kebijakan yang dihasilkan belum sepenuhnya berpihak pada perempuan. Oleh
karena itu, anggota legislatif perempuan sebagai barometer kaum perempuan lainnya perlu
melakukan berbagai peran politis untuk meningkatkan jumlah keterpilihan perempuan pada
pemilihan umum legislatif berikutnya.
Untuk memecahkan persoalan terkait dengan minimnya peluang yang diberikan pemilih
kepada caleg perempuan dan peran anggota legislatif perempuan untuk meningkatkan jumlah
keterpilihan tersebut maka pada bagian II ini penulis akan mendeskripsikan lebih dalam
mengenai teori partisipasi politik dan konsep peran anggota legislatif. Dalam pendeskripsian
tersebut, peneliti juga melakukan diskusi antara masyarakat dan partisipasi politik serta
perempuan dan partisipasi politik.
1 Lilijana Čičkarić, In/Visibility Of Woman In Politics, Jurnal Ebsco (Jurnal Ilmu Politik) seri 1, vol. XXXIX,
(Januari-Maret 2013): 44.
http://web.a.ebscohost.com/ehost/pdfviewer/pdfviewer?vid=4&sid=c989b974-fd3a-459e-a42a-
79556af7e1db%40sessionmgr4007&hid=4207 (diakses pada 8 Agustus 2016).
12
2.1 Partisipasi Politik
2.1.1 Teori Politik
Langkah awal untuk memahami partisipasi politik yaitu dengan memahami istilah kata
politik. Istilah politik berasal dari kata Yunani „polis‟ yang secara harfiah berarti negara/kota,
yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai bahasa Inggirs, seperti polity, politic, politics,
political, politician, police dan policy.2 Kata polis (negara/kota) memiliki arti khusus dari
kelompok-kelompok manusia atau masyarakat, yaitu pertama, mengacu pada negara bangsa
(nation-state) yang menunjukan masyarakat nasional; kedua, mengacu pada negara pemerintah
(goverment state) yang menunjukan penguasa dan pemimpin dari masyarakat nasional.3
Istilah politik ini sangat dipengaruhi oleh para filsuf Yunani Kuno abad ke-5 SM seperti
Plato dan Aristoteles. Kedua filsuf ini mendefinisikan politik sebagai usaha untuk mencapai
masyarakat politik yang didalamnya ada kebahagiaan, hubungan keakraban dan moralitas yang
tinggi.4 Berdasarkan pemikiran Plato dan Aristoteles ini, maka sebenarnya sejak semula semua
manusia telah berpolitik kapanpun dan di manapun karena setiap individu atau kelompok
masyarakat selalu diperhadapkan dengan berbagai kebutuhan dan berusaha untuk mewujudkan
kebutuhan baik melalui cara yang positif maupun negatif untuk mencapai kepuasan dan
kebahagiaan atas kebutuhan itu.
Pengaruh pemikiran Plato dan Aristoteles berlangsung hingga abad-19 dan praktek
berpolitik pun semakin berkembang baik ke arah positif maupun negatif. Peter Merkl
2 Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004), 6.
3 Maurice Duverger, Sosiologi Politik, terj. Daniel Dhakidae (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), 18.
4 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan ke-15 (Jakarta: Gramedia, 2015), 13-14.
13
menganggap politik yang baik adalah usaha untuk mencapai suatu tatanan masyarakat yang baik
dan keadilan yang dipengaruhi oleh nilai-nilai serta ideologi masing-masing. Selanjutnya, Peter
Merkl juga berpendapat bahwa politik dalam bentuk yang paling buruk adalah perebutan
kekuasaan, kedudukan dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri.5
Politik sebagai usaha untuk menggapai kehidupan yang lebih baik pun didefinisikan oleh
Miriam Budiardjo dan tidak terlepas dari beberapa konsep penting seperti negara (state),
kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan publik (public policy)
dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution).6 Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa politik merupakan cara seseorang untuk mencipkatan suatu kebijakan demi kebaikan
bersama dengan menggunakan kekuasaan yang ditetapkan oleh negara.
Wajah politik pun digambarkan oleh Joni Lovenduski yang terdiri dari person, proses,
hubungan, lembaga dan prosedur yang membuat keputusan-keputusan publik berwibawa.7
Lovenduski menegaskan bahwa istilah politik tidak dapat dipisahkan dari penilaian masyarakat
atas pengalamannya terhadap para politisi, majelis, pemerintahan serta kebijakan-kebijakan yang
disajikan media sebagai wujud persaingan politik. Penilaian tersebut bersifat pengandaian dan
sering berkonotasi negatif. Kenyataan bahwa lembaga-lembaga pemerintahan yang didominasi
laki-laki sedangkan perempuan sebagai kaum minoritas berada pada ruang privat atau domestik
5 Budiardjo, Dasar-Dasar..., 15.
6 Politik mempelajari negara, tujuan, lembaga-lembaga yang menjalankan tujuan dan hubungan negara
dengan rakyat karena negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang
sah dan ditaati oleh rakyatnya. Kekuasaan itu dimiliki oleh individu atau kelompok untuk mempengaruhi perilaku
seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku. Dengan kekuasaan tersebut maka pemerintah
akan mengadakan proses pengambilan keputusan yang diambil secara kolektif mengikat seluruh masyarakat. Proses
pengambilan keputusan ini akan melahirkan suatu kebijakan umum yang merupakan suatu kumpulan keputusan
yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara mencapai tujuan
tersebut. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan itu memiliki kekuasaan untuk melaksanakannya. Lih.,
Budiardjo, Dasar-Dasar..., 13-14. 7 Joni Lovenduski, Politik Berparas Perempuan (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 32.
14
membuat kaum feminis mendefinisikan istilah politik sebagai kehidupan privat yang didasarkan
oleh kekuasaan yang tidak seimbang.8
2.1.2 Teori Partisipasi Politik
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson mendefinisikan partisipasi politik sebagai
kegiatan yang dilakukan warga negara dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilaan
keputusan pemerintah.9 Selanjutnya, Huntington dan Nelson pun menjelaskan bahwa partisipasi
politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk seperti berpartisipasi dalam pemungutan suara,
menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pimpinan politik untuk mempengaruhi
kepentingan mereka yang mengangkut hajat hidup orang banyak yang disebut lobbying, berperan
sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi dengan tujuan mempengaruhi pengambilan
keputusan pemerintah, mencari koneksi untuk para pejabat pemerintah dan biasanya bermanfaat
hanya bagi satu orang atau segelintir orang serta terlibat dalam tindak kekerasan untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan menimbulkan kerugian fisik manusia
maupun benda.10
Hal senada dijelaskan oleh Miriam Budiardjo bahwa partisipasi politik merupakan
kegiatan seseorang, atau kelompok orang yang ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik,
yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti
memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu
8 Ibid., 33.
9 Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, terj. Sahat Simamora
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), 4. 10
Ibid., 16-20.
15
partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah atau
anggota parlemen, dsb.11
Demikian halnya partisipasi politik yang diungkapkan oleh Herbert
McClosky, Norman H. Nie dan Sidney Verba bahwa partisipasi politik merupakan kegiatan
sukarela setiap warga negara untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat dan kebijakan-
kebijakan yang diambil mereka.12
Dengan demikian, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang secara langsung
atau tidak langsung mempengaruhi pembuatan kebijakan oleh para penyelenggara negara melalui
berbagai tindakan seperti pemberian suara dalam pemilihan umum, bergabung dengan kelompok
kepentingan atau lembaga politik, mencari kandidat dan/atau mencalonkan diri sebagai kandidat
penyelenggara negara, menjalin komunikasi dengan pejabat negara, demonstrasi, kampanye, dsb.
Huntington dan Nelson kemudian membagi landasan atau asal usul seseorang atau
kelompok melakukan kegiatan partisipasi politik (terkecuali dalam bentuk mencari koneksi),
yaitu:13
- Kelas: individu-individu dengan status sosial, pendapatan dan pekerjaan yang sama.
- Kelompok: individu-individu dengan ras, agama, bahasa atau etnisitas yang sama.
- Lingkungan: individu-individu yang tempat tinggalnya sama atau berdekatan.
11
Miriam Budiardjo dikutip oleh Merphin Panjaitan. Logika Demokrasi: Rakyat Mengendalikan Negara
(Jakarta: Permata Aksara, 2011), 73. 12
Herbert McClosky dalam International Encyclopedia of the Social Sciences: “The term ‘political
participation’ will refer to those voluntary activities by which members of a society share in the selection of rules
and directly or indirectly, in the formulation of public policy”. Norman H Nie dan Sidney Verba dalam Handbook of
Political Science: By political participation we refer to those legal activities by private citizens which are more or
less directly aimed at influencing the selection of governmental personnel and/or the actions they take. Lih.,
Panjaitan. Logika Demokrasi..., 73-74. 13
Hubungan patron-client adalah hubungan pertukaran peran yaitu kelompok masyarakat dengan tingkat
sosio-ekonominya tinggi (patron) berusaha mempengaruhi dan melindungi kelompok yang tingkat sosio-
ekonominya rendah (client). Sebagai gantinya, maka kelompok client akan memberikan jasa atau dukungan kepada
kelompok patron. Lih., Huntington dan Nelson, Partisipasi..., 21.
16
- Partai: individu-individu yang tergabung dalam organisasi formal yang sama dan berusaha
untuk mempertahankan kontrol atas bidang eksekutif dan legislatif pemerintah.
- Golongan: individu-individu dengan status, pendidikan dan ekonomi yang tidak sederajat
namun dipersatukan oleh interaksi secara terus menerus dan membentuk hubungan patron-
client.
Faktor-faktor penyebab seseorang melakukan partisipasi politik diungkapkan oleh
Milbrath, yaitu: pertama, adanya perangsang politik seperti sering mengikuti debat atau diskusi
politik baik formal maupun informal; kedua, peduli terhadap isu-isu sosial, politik, budaya,
ekonomi, dll; ketiga, status sosial, ekonomi, etnis dan agama yang mempengaruhi persespsi
dalam bidang politik; keempat, lingkungan politik yang kondusif dan demokratis akan
mendekatkan seseorang dengan dunia politik.14
Lain halnya dengan Frank Lindenfeld yang
mengatakan bahwa kepuasan finansial adalah faktor utama seseorang berpartisipasi politik.
Dalam studinya, Lindenfeld menemukan bahwa status ekonomi yang rendah menyebabkan
seseorang merasa teralienasi dari kehidupan politik dan orang yang bersangkutan pun akan
menjadi apatis. Hal ini tidak terjadi pada orang yang memiliki kemapanan ekonomi. 15
Dan
Nimmo menambahkan bahwa seseorang berpartisipasi dalam politik dipengaruhi oleh adanya
peluang resmi dimana seseorang berpartisipasi politik karena didukung oleh kebijakan negara,
kemudian adanya sumber daya sosial serta adanya motivasi personal atau kemauan diri sendiri
untuk terlibat dalam dunia politik.16
14
Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik: Suatu Pemikiran dan Penerapan (Jakarta: Rineka
Cipta, 2007), 156-157. 15
Ibid., 156. 16
Dan Nimmo dikutip oleh Zaenal Mukarom. Perempuan dan Politik: Studi Komunikasi Politik tentang
Keterwakilan Perempuan di Legislatif, Jurnal Komunikasi, vol. 2, nomor 9, (2008): 260.
http://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mediator/article/viewFile/1125/681 (diakses pada 1 november 2016).
17
Tingkat pertisipasi politik di setiap negara atau daerah bervariasi sejalan dengan tingkat
pembangunan ekonominya.17
Dalam masyarakat yang kompleks dan lebih kaya, dengan tingkat
industrialisasi dan urbanisasi serta sosio-konomi yang lebih tinggi, lebih banyak orang yang
terlibat dalam politik dibandingkan dengan masyarakat yang kurang berkembang dan primitif.
Tingkat partisipasi politik juga ditentukan oleh kesadaran politik setiap anggota masyarakat.18
Semakin sadar bahwa dirinya diperintah maka ia akan semakin menuntut untuk diberikan hak
bersuara dalam penyelenggaraan pemerintah. Sebaliknya, seseorang tidak menaruh perhatian
pada politik disebabkan oleh kesadarannyaa bahwa pendapat dalam masyarakat tidak
dikemukakan, pemimpin negara kurang memberi apresiasi terhadap kebutuhan dan aspirasi
masyarat dan lebih fokus kepada salah satu kelompok yang membawa keuntungan bagi
kepentingan mereka.
Galen A.Irwan dalam tulisannya mengenai “Political Efficacy, Satisfaction and
Participation” menyimpulkan bahwa dalam beberapa keadaan tertentu, perasaan puas
menentukan tingkat partisipasi.19
Kesimpulan Galen ini dapat berlangsung dalam suatu
masyarakat karena pada dasarnya setiap individu yang terlibat dalam politik menaruh harapan
bahwa kebutuhan dan aspirasinya akan diperhatikan oleh para pemimpin dan perbuatan mereka
akan mempengaruhi pembuatan kebijakan demi kebaikan bersama. Selain itu, Gabriel A.
Almond juga mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan, perbedaan jenis kelamin dan status
sosio-ekonomi serta partai politik tentunya mempengaruhi keaktifan seseorang berpartisipasi
dalam politik.20
17
Huntington dan Nelson, Partisipasi..., 59 18
Budiardjo, Dasar-dasar..., 369. 19
Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai politik (Jakarta: Gramedia, 1981), 5. 20
Gabriel A. Almond, “Sosialisasi, Kebudayaan dan Partisipasi Politik”, dalam Perbandingan Sistem
Politik, peny. Mochtar Mas‟oed dan Colin MacAndrews (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2015), 61.
18
Tujuan partisipasi politik adalah untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh
pemerintah melalui berbagai bentuk partisipasi. Menurut Myron Weiner, ada 5 hal yang
menyebabkan timbulnya kegiatan partisipasi politik, yaitu:21
- Pengaruh modernisasi melalui media, pendidikan, urbanisasi, industrialisasi, dsb,
membuat masyarakat ingin memperjuangkan nasib mereka melalui politik.
- Perubahan struktural kelas sosial mengakibatkan perebutan kekuasaan dan pola
partisipasi politik.
- Penyebaran ide-ide demokratisasi partisipasi oleh kaum intelektual dan media
komunikasi modern.
- Terjadinya konflik di antara kelompok-kelompok pemimpin politik membuat kelompok-
kelompok yang bertikai mencari dukungan rakyat untuk memperoleh kekuasaan.
- Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan budaya.
2.2 Partisipasi Politik Masyarakat
a. Masyarakat dan Negara
Masyarakat adalah sekelompok individu yang memiliki kebutuhan masing-masing dan
hidup bersama untuk menciptakan kebutuhan-kebutuhan tersebut.22
Pada hakikatnya, manusia
tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri sehingga manusia membutuhkan bantuan orang lain
untuk mewujudkan kebutuhan tersebut baik melalui kerjasama maupun persaingan. Hubungan
kerjasama dan persaingan tersebut dilakukan dengan mengorganisir berbagai perserikatan atau
Tulisan ini diambil dari Gabriel A. Almond “political Sosialization and Culture” dan “Political Participation” dalam
Comparative Politics Today (Boston: Little , Brown and Company, 1974). 21
Ibid., 56-57.
22
Harold J Laski mendefinisikan masyarakat sebagai sekelompok manusia yang hidup bersama dan
bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan bersama. Lih., Budiardjo, Dasar-dasar...,cetakan
kedua, 34.
19
asosiasi. Perserikatan atau asosiasi tersebut berfungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di
segala bidang dan membatasi kompetisi serta mewujudkan ketertiban. 23
Negara adalah asosiasi tertinggi dalam suatu wilayah. Negara berfungsi untuk
menyelenggarakan penertiban dan perlindungan bagi seluruh individu yang hidup bersama
sebagai masyarakat serta dapat memaksakan kekuasaannya secara sah dan menetapkan tujuan-
tujuan dari kehidupan bersama tersebut.24
Dengan kata lain, negara menjalankan kekuasaan
politik yang didasarkan oleh hukum melalui perantaraan pemerintah beserta alat-alat
perlengkapannya. Menurut Montesquieu, negara memiliki tiga fungsi yaitu fungsi legislasi,
eksekutif dan yudikatif. Ketiga fungsi ini dibagikan kepada pemegang kekuasaan untuk
mencegah suatu individu atau kelompok menghancurkan kebebasan masyarakat.25
Sebagai akibat dari kekuasaan mutlak negara maka untuk menyelenggarakan hak-hak
politik secara efektif perlu adanya hukum yang berpihak pada rakyat yang disebut sebagai
demokrasi konstitusionil.26
Dengan demikian, agar kebutuhan masyarakat terpenuhi maka
masyarakat harus berinteraksi dengan negara melalui partisipasi politik untuk mempengaruhi
pembuatan keputusan oleh badan-badan penyelenggara negara serta adanya komunikasi politik
yang melahirkan suatu kebijakan untuk seluruh masyarakat.27
23 Setiap asosiasi memiliki aturan-aturan yang memiliki tanggung jawab untuk memperjuangkan
kepentingan bersama anggota-anggota asosiasi serta mencegah timbulnya tindakan yang merugikan anggota asosiasi
lainnya. Lih., Budiardjo, Dasar-dasar..., cetakan kedua, 34-35. 24
Budiardjo, Dasar-dasar..., cetakan kedua, 34-35 40-41. 25
Montesquieu dikutip oleh Merphin Panjaitan. Logika Demokrasi: Rakyat Mengendalikan Negara
(Jakarta: Permata Aksara, 2011), 112. 26
Ciri khas demokrasi konstitusionil adalah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah
yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warganya. Pembatasan-
pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi. Lih., Budiardjo, Dasar-dasar..., cetakan
kedua..., 40-41. 27
Interaksi negara dan masyarakat bertujuan untuk menjalankan keputusan negara, sosialisasi berbagai
aturan perundang-undangan serta kebijakan publik dan untuk menyampaikan berbagai hal yang perlu diiketahui
masyarakat. Interaksi ini juga digunakan kelompok masyarakat untuk memperjuangkan kepentingan kelompoknya
menjadi warga negara. Lih., Panjaitan, Logika Demokrasi..., 117-118.
20
Dalam negara demokrasi, masyarakat berhak untuk mempengaruhi proses
penyelenggaraan negara, seperti pembuatan APBN, APBD, Undang-undang dan Perda serta
berbagai kebijakan negara lainnya, sampai dengan pelaksanaan, pengawasan dan penilaian serta
dalam pemilihan umum. Partisipasi politik masyarakat ditingkatkan untuk memperkuat kendali
rakyat atas negara, agar negara melayani seluruh rakyat tanpa terkecuali.28
Oleh sebab itu, maka
untuk mewujudkan pemerintahan dari rakyat untuk rakyat, partisipasi politik masyarakat harus
berlangsung dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Jika arena penyelenggaraan negara
tidak memberikan ruang bagi semua rakyat maka akan terjadi hegemoni kepentingan mayoritas
terhadap kelompok-kelompok marginal.29
b. Partai Politik
Partai politik merupakan sarana warga negara untuk berpartisipasi dalam proses
pengelolaan suatu daerah atau negara. Melalui partai politik, masyarakat menaruh segala harapan
dan aspirasi mereka untuk diwujudkan ke arah yang lebih baik melalui berbagai kebijakan.
Sigmund Neumann dalam bukunya Modern Political Parties, mengemukakan definisi
partai politik sebagai organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai
kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu
golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda. Selanjutnya,
Giovanni Sartoni dalam bukunya Parties and Party Sistems mendefinisikan partai politik sebagai
suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan melalui pemilihan umum itu
28
Ibid., 76. 29
Martha Tilaar, “Aktivisme Perempuan..., 33.
21
mampu menempatkan calon-calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan publik.30
Dengan
demikian, partai politik merupakan sekelompok orang yang dipilih rakyat sebagai perantara
kekuatan dan ideologi masyarakat dengan pemerintah.
Dalam negara demokratis, partai politik menyelenggarakan beberapa fungsi, yaitu:
pertama, sebagai sarana komunikasi politik, yaitu sebagai jembatan antara pemerintah dengan
rakyat serta rakyat dengan pemerintah untuk merumuskan suatu keputusan; kedua, sebagai
sarana sosialisasi politik di mana melaluinya partai politik dapat memberikan didikan politik
kepada masyarakat, mengembangkan citra peduli akan kepentingan rakyat, mencari dukungan
serta mendidik anggota-anggotanya menjadi manusia yang sadar dan bertanggungjawab; ketiga,
sebagai sarana rekrutmen politik, yaitu mencari anggota baru yang berbakat untuk berpartisipasi
dalam politik; keempat, sebagai sarana pengatur konflik, yaitu membantu meminimalisir akibat
negatif dari sebuah pertikaian atau masalah dalam masyarakat.31
c. Badan Legislatif
Badan legislatif atau legislature atau yang biasa dikenal dengan sebutan assembly,
parliament atau representative body (Dewan Perwakilan Rakyat) memiliki fungsi utama untuk
membuat undang-undang. Undang-undang tersebut haruslah mengikat semua masyarakat. Hal
ini ditegaskan Rousseau bahwa setiap masyarakat memiliki suatu „kehendak‟ yang disebut
Volonte Generale atau General Will. Oleh karena itu, dengan adanya gagasan kedaulatan ada di
tangan rakyat, maka badan legislatif menjadi badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan
itu dengan jalan menentukan kebijakan umum dan menuangkannya dalam undang-undang.32
30
Budiardjo, Dasar-dasar, cetakan ke-15..., 404-405. 31
Budiardjo, Dasar-dasar..., 405-409. 32
Pada mulanya, Rousseau yang memelopori gagasan kedaulatan rakyat tidak menyetujui badan
perwakilan tetapi mencita-citakan suatu bentuk demokrasi langsung di mana rakyat secara langsung merundingkan
22
Di negara-negara demokrasi, badan legislatif disusun untuk mewakili mayoritas dari
rakyat dan pemerintah bertanggung jawab kepadanya. Hal ini ditegaskan oleh pernyataan
C.F.Strong bahwa demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang mayoritas anggota dewasa
dari suatu komunitas politik berpartisipasi atas dasar sistem perwakilan yang manjamin bahwa
pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindannya kepada mayoritas itu.33
Jadi,
sistem perwakilan yang demokratis adalah sistem yang segala usaha dan kebijakannya menjamin
kedaulatan rakyat.
Badan perwakilan terbagi atas dua kategori yaitu badan perwakilan politik (political
representation) yang mewakili rakyat melalui partai politik serta badan perwakilan fungsional
(functional representation) yang berperan sebagai badan parlemen yang dipercayai dan
memegang mandat perwakilan. Perwakilan politik sudah menjadi sangat umum namun ada
beberapa kalangan yang merasa kecewa dengan kinerja perwakilan politik untuk kesatuan-
kesatuan politik dan mengabaikan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, banyak negara
seperti India, Pakistan, dsb, mengangkat wakil rakyat dari kalangan minoritas atau kalangan
yang memerlukan perhatian khusus sebagai bentuk koreksi atas kinerja perwakilan politik.34
Dengan demikian, sebenarnya keterwakilan perempuan dalam politik bukan hanya sebagai
bentuk partisipasi politik tetapi juga seharusnya menjadi suatu bentuk kritik atas praktek
perpolitikan Indonesia yang bias gender.
dan memutuskan kebijakan negara dan politik. Namun hal ini tidak praktis sehingga negara-negara modern
menyelenggarakan kedaulatan rakyat yang dimilikinya melalui wakil-wakil rakyat yang dipilihnya secara berkala.
Lih., Budiardjo, Dasar-dasar, cetakan ke-15..., 315-316. 33
Ibid., 316. 34
Budiardjo, Dasar-dasar, cetakan ke-15..., 317. Pada masa demokrasi dasar, parlemen Pakistan
menyediakan beberapa kursi untuk golongan perempuan dan orang-orang yang berjasa dalam berbagai bidang
seperti bekas pejabat tinggi (gubernur atau mentri)dan dari kalangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan profesi-
profesi (pengacara, dsb) sebagai bentuk kritik terhadap kinerja perwakilan politik. Sedangkan India mengangkat
beberapa orang wakil dari Anglo-Indian sebagai anggota majelis rendah, sedangkan beberapa wakil dari kalangan
kebudayaan, kesusastraan dan pekerjaan sosial diangkat menjadi anggota majelis tinggi.
23
Adapun fungsi-fungsi badan legislatif yaitu:35
1. Menentukan kebijakan dan membuat undang-undang serta mengadakan amandemen
terhadap rancangan UU yang disusun pemerintah terutama di bidang anggaran.
2. Mengontrol tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang
ditetapkan. Fungsi kontrol ini dapat dijalankan melalui beberapa cara, yaitu:
mengajukan pertanyaan parlemen mengenai suatu masalah secara tertulis,
menggunakan hak interpelasi yaitu hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah
mengenai kebijakan di suatu bidang, menggunakan hak angket untuk mengadakan
penyelidikan sendiri serta hak mosi.
3. Menjalankan fungsi edukatif. Dengan berkurangnya fungsi badan legislatif dalam
bidang pembuatan UU, maka yang lebih ditonjolkan adalah peranan edukatifnya.
Badan legislatif bertindak sebagai pembawa suara rakyat dan mengajukan berbagai
pandangan yang berkembang secara dinamis dalam mayarakat melalui berbagai
media. Dengan demikian, rakyat dididik ke arah kewarganegaraan yang sadar dan
bertanggung jawab dan partisipasi politiknya dapat dibina.
4. Sebagai sarana sosialisai politik
Gabriel A. Almond mendefinisikan sosialisasi politik sebagai suatu proses
pengajaran nilai nilai masyarakat, dalam hal ini nilai-nilai dan kebudayaan politik,
kepada warganegara yang berlangsung selama hidup seseorang.36
Menurut Almond,
meskipun pengalaman sosialisasi tidak bersifat politik tetapi dapat mempengaruhi
tingkah laku politik di kemudian hari. Keluarga menjadi tempat pertama bagi
pembentukan sosialisai politik karena pengalaman nonpolitik di masa dapat
35
Ibid., 322-326. 36
Gabriel A. Almond, “Sosialisasi..., 40.
24
memainkan peran penting dalam sikap politik dan tingkahlaku politik dan akan terrus
berkembang sepanjang masa.37
Selain keluarga sebagai pembentukan sosialisasi
primer, sekolah ketetanggaan atau kelompok bermain, gereja, kelompok kerja dan
media komunikasi juga mempengaruhi sikap dan tingkah laku politik. Oleh karena
itu, badan legislatif sebagai perwakilan politik harus memainkan peran dalam
pembentukan sosialisasi politik.
2.3 Partisipasi Politik Perempuan
Pada awal kemunculannya, demokrasi berasal dari warisan tradisi Yunani yang
menempatkan perempuan sebagai budak belian dan tidak diikutsertakan dalam pemilihan
umum.38
Kenyataan sejarah ini sangat bertentangan dengan pengertian demokrasi itu sendiri
yang semestinya menghadirkan keadilan bagi semua kalangan.39
Artinya bahwa kekuasaan tidak
hanya berada di tangan kaum laki-laki tetapi ada juga di tangan kaum perempuan.
37
Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima
Negara, terj. Sahat Simamora (Jakarta: PT Bina Aksara, 1984), 325. 38
Martha Tilaar, “Aktivisme Perempuan dalam Parlemen..., 53. 39
Menurut asal katanya, demokrasi berarti “rakyat berkuasa” atau “goverment or rule by the people”. (Kata
Yunani demos berarti rakayat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa). Lih., Budiardjo, Dasar-Dasar..., 50.
25
Data menunjukan bahwa negara-negara yang menunjunjung tinggi dan mendukung
emansipasi dan partisipasi politik perempuan baik di lembaga-lembaga kekuasaan negara
maupuan peranan-peranan politik resminya, tetap didominasi oleh kaum laki-laki. Hal ini
dipengaruhi oleh pembuatan kebijakan negara, ras, kelas, latar belakang etnis dan agama. Alasan
utamanya adalah mengenai persoalan memahami istilah kekuasaan (power). Kaum perempuan
memiliki kekuasaan politik tetapi sedikit kekuatan, legitimasi dan otoritasnya.40
Sebelum abad 20, banyak kebijakan konstitusi yang mendiskriminasi kaum perempuan di
Amerika. Perempuan tidak diperkenankan mengikuti Pemilu, tidak berhak menguasai harta
miliknya, pendidikan dibatasi bagi kaum perempuan, dsb. Ketidakadilan gender ini
mengakibatkan banyak perlawanan kaum perempuan untuk keluar dari kungkungan hukum yang
mendiskreditkan kehadiran mereka seperti gerakan feminis. Namun, gerakan feminis yang sudah
tersebar di belahan dunia belum dapat menjawab persoalan ketidakadilan gender.41
Di Indonesia, isu gender yang dikonstruksi salah berimbas pada berbagai bidang
kehidupan masyarakat termasuk bidang politik. Hal ini dapat dilihat pada hasil keterwakilan
perempuan di parlemen (DPR). Sebagai contoh, perempuan hanya terwakili 9,7% di DPR hasil
Pemilu 1997, kemudian menurun menjadi 8,4% dari hasil Pemilu 1999, lalu naik menjadi 11,5%
dari hasil Pemilu 2004. Padahal partisipasi perempuan dalam menggunakan hak pilih lebih tinggi
daripada laki-laki. Pemilu 1999 diikuti 57% pemilih perempuan dan Pemilu 2004 diikuti 53%
pemilih perempuan.42
40
Henrietta L. Moore, Feminisme dan Antropologi, terj. Tim Proyek Studi Jender dan Pembangunan FISIP
UI (Jakarta: Obor, 1998), 258 41
Astrid Anugrah, Keterwakilan Perempuan dalam Politik (Jakarta: Pancuran Alam, 2009), 7-8. 42
Heriyani Agustina, “Keterwakilan Perempuan di Parlemen dalam Perspektif Keadilan dan Kesetaraan
Gender” dalam Gender and Politics, terj. Siti Hariti Sastriyani (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009), 164.
26
Dampak dari ketidakadilan gender ini juga merasuk dalam kehidupan politik. Panggung
politik formal dan arena pengambilan keputusan didominasi oleh laki-laki sehingga kebijakan-
kebijakan pemerintah dalam segala level tidak dapat mengartikulasikan kepentingan kaum
perempuan. Kaum perempuan membutuhkan usaha yang panjang dalam partisipasi politik untuk
memperjuangkan hak-haknya dan semua perempuan melalui arena politik.43
Salah satu terobosan untuk mencapai keadilan gender di bidang politik adalah dengan
pemberlakuan sistem affirmative action yaitu sistem yang digunakan secara global untuk
memungkinkan perempuan memainkan perannya dalam masyarakat. Beberapa orang
berpendapat bahwa affirmative action bukanlah suatu kebijakan yang sesuai dengan sistem
demokrasi karena sangat membatasi peluang bagi laki-laki maupun perempuan untuk
berpartisipasi dalam politik yaitu dengan kebijakan jumlah kuota perempuan 30% dan sekurang-
kurangnya terdapat satu orang perempuan bakal calon. Namun, bila pemerintah tidak tegas
dalam hal ini maka perempuan akan semakin tertinggal. Undang-undang ini membantu negara
keluar dari kesan hukum yang patriakat.44
Menurut Inter-Parliamentary Union (IPU 2013), kehadiran perempuan dalam parlemen di
Portugal meningkat baik di Eropa maupun di tingkat nasional, tetapi mereka masih dikategorikan
sebagai kaum minoritas di arena politik. Oleh karena itu, langkah affirmative seperti kuota yang
diadopsi secara internasional digunakan sebagai strategi untuk memulihkan ketidakadilan dan
menciptakan masyarakat yang egaliter. Dalam konteks politik, penerapan kuota gender bertujuan
43
Nursyahbani Katjasungkana, “Pengantar” dalam Masih Dalam Posisi Pinggiran: Membaca Tingkat
Partisipasi Perempuan di Kota Surakarta, peny. Eva Kusuma Sundari (Solo: Pustaka Pelajar, 2005), xiii. 44
Anugrah, Keterwakilan..., 61. Affirmative Actions merupakan upaya jalan keluar dari permasalahan kaum
perempuan atas ketertinggalannya, dan sesuatu yang tidak mungkin dicapai berhubung sifat nature (alami) dan
nurture (peran) tanpa adanya suatu kebijakan atau tindakan khusus dalam hal mengatasi ketertinggalannya tersebut
dari kaum pria.
27
untuk menjamin keterwakilan perempuan dalam daftar pemilih menurut sebuah target
kuantitatif.45
Sistem kuota merupakan suatu bentuk nyata UU yang dibuat pemerintah Indonesia untuk
keluar dari sistem patriakat. Menurut Azza Karam, ide inti dari sistem kuota ini adalah untuk
merekrut perempuan ke dalam posisi politik dan memastikan bahwa perempuan tidak lagi
terisolasi dalam kehidupan politik. Sistem kuota sering disebut gender neutral karena digunakan
sebagai pengkritik keseimbangan perwakilan laki-laki dan perempuan.46
Upaya-upaya yang dilakukan negara untuk menjamin adanya keadilan gender membawa
kita pada pemahaman akan pentingnya kehadiran perempuan dalam lembaga-lembaga pembuat
keputusan. Ada beberapa argumen yang dikemukakan oleh Joni Lovenduski untuk mendukung
tuntutan partisipasi perempuan, yaitu: pertama, argumen keadilan. Menurut argumen ini,
sangatlah tidak adil jika kaum laki-laki memonopoli perwakilan, terutama di negara yang
menganggap diri sebagai negera demokrasi modern karena perempuan memiliki hak dan
kewajiban yang sama dengan laki-laki; kedua, argumen pragmatis. Melalui partisipasi
perempuan, politik akan lebih konstruktif dan ramah; ketiga, argumen perbedaan. Perempuan
akan membawa gaya dan pendekatan yang berbeda dalam politik yang akan mengubahnya
menjadi lebih baik yaitu suatu pengaruh yang menguntungkan semua pihak.47
Selanjutnya, Drude Dahlrup juga mengemukakan beberapa argumen yang menjadi dasar
pentingnya partisipasi perempuan dalam politik dan peran yang ia hasilkan dengan kekuasaan
yang diperoleh dari rakyat, yaitu pertama, kehadiran anggota legislatif perempuan menjadi
45
Maria Helena Santos, Lígia Amâncio dan Hélder Alves, “Gender and politics: The relevance of gender
on judgements about the merit of candidates and the fairness of quotas” Portuguese Journal of Social Science
Volume 12 Number 2 (2013): 134. 46
Masruchah, “Mengapa Perlu Perempuan di Parlemen?”, dalam Perempuan Parlemen dalam Cakrawala
Politik Indonesia, peny. Indra Syamsi (Jakarta: PT Dian Rakyat, 2013), 28. 47
Lovenduski, Politik Berparas..., 48-52.
28
inspirasi bagi perempuan lainnya untuk terlibat dan berperan dalam dunia politik; kedua,
perempuan dan laki-laki mempunyai kepentingan yang berbeda, oleh karena itu laki-laki tidak
bisa mewakili perempuan seolah mereka tahu kepentingan dan kebutuhan perempuan.48
Meskipun kehadiran mereka di panggung politik memberi banyak manfaat bagi kaum
perempuan lainnya serta lembaga politik itu sendiri, proses keterwakilan perempuan di arena
politik bukanlah perjuangan yang mudah. Ada dua faktor utama yang menjadi kendala bagi
kaum perempuan untuk menjadi pelaku politik yaitu pertama faktor sosial meliputi kurangnya
sumber daya yang dimiliki perempuan, tuntutan pekerjaan rumah tangga dan adanya pemahaman
tentang tugas politik yang dikategorikan sebagai tugas laki-laki. Sedangkan faktor kedua adalah
faktor institusional yang terlihat dari lembaga-lembaga politik yang ditandai dengan prioritas,
budaya dan praktek-praktek yang sangat maskulin. 49
Berbeda dengan negara-negara Skandinavia yang memiliki peluang yang besar bagi
partisipasi perempuan dalam politik, Indonesia memiliki peluang atau akses yang sangat terbatas
bagi kehadiran perempuan dalam arena politik. Hal ini dipengaruhi oleh nilai dan norma gender
yang dikembangkan dalam konteks internasional seperti anti-diskriminasi terhadap perempuan,
pengarusutamaan gender, pemberlakuan kuota 30% dalam parlemen, dll.50
Istilah gender itu
sendiri berbeda dengan seks. Seks berasal dari aspek biologis: anatomi, hormon dan fisiologi;
sedangkan gender adalah sebuah status yang dikonstruksi melalui psikologi, budaya dan
pemahaman masyarakat.51
Seks tampak sebagai sebuah pemberian sedangkan gender tampak
48
Masruchah, “Mengapa Perlu Perempuan..., 30. 49
Joni Lovenduski mengungkapkan bahwa faktor sosial dan faktor institusional menjadi kendala utama bagi
kaum perempuan untuk menjadi pelaku politik. Lih., Lovenduski. Politik Berparas..., 87-95. 50
Ririn Tri Nurhayati, ”The Influence of International Norms on Gender Equality in the Advancement of
Women‟s Political Participation in Indonesia”, dalam Gender and Politics, peny. Siti Hariti Sastriyani (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2009), 131-132. 51
Candace West dan Don N. Zimmerman, “Doing Gender”, dalam The Social Construction of Gender,
peny. Judith Lorber dan Susan A. Farrell (Newbury Park, London, New Delhi: Sage Publications, 1991), 13.
29
seperti sebuah pencapaian atau hasil dalam studi antropologis, psikologis dan kewajiban sosial-
pembagian kerja, pembentukan identitas dan subordinasi sosial perempuan dan laki-laki.52
Gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller pada tahun 1968 untuk memisahkan
pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan
pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Ann Oakley mengartikan gender sebagai
konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan
manusia.53
Perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran dan posisinya tidak akan menjadi
masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilam. Adapun bentuk-bentuk ketidakadilan gender
yang termanifestasi pada perempuan:54
1. Marginalisasi perempuan
Marginalisasi perempuan disebabkan oleh kebijakan pemerintah, keyakinan atau
penafsiran terhadap ajaran agama, tradisi dan ilmu pengetahuan. Ada jenis pekerjaan
tertentu yang dianggap cocok oleh perempuan dan dapat pula didominasi oleh laki-
laki.
2. Subordinasi Perempuan
Perempuan dianggap makhluk yang emosional sehingga tidak dapat menjadi seorang
pemimpin. Perempuan dipatok bekerja di dapur untuk melayani keluarganya/suami.
Perempuan tidak memiliki hak untuk mengatur dirinya sendiri.
3. Stereotip/pelabelan jenis kelamin
52
West dan Zimmerman, “Doing Gender”, dalam The Social..., 13. 53
Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011), 2-3. 54
Achmad Muthali‟in, Bias Gender dalam Pendidikan (Surakarta: Muhammadiyah University Press,
2001), 33-40.
30
Stereoptip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu yang
menimbulkan ketidakadilan. Perempuan dilabelkan sebagai ibu rumah tangga yang
mengakibatkan perempuan tidak pantas bekerja di wilayah laki-laki seperti politik,
olahraga keras, dll. Dengan demikian, pendidikan bukanlah hal yang utama bagi
perempuan. Pelabelan laki-laki sebagai pencari nafkah mengakibatkan pekerjaan
perempuan hanya dipandang sebagai tambahan dalam memenuhi kebutuhan keluarga.
4. Beban kerja lebih berat
Asumsi teori hukum alam (nature) menyatakan bahwa perempuan secara alami
memiliki sifak keibuan, lemah lemut, dll sehingga sangat cocok menjadi ibu rumah
tangga. Akibatnya pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab perempuan. Bagi
masyarakat miskin, pekerjaan rumah tangga menjadi sangat berat karena harus
bekerja di sektor publik untuk memenuhi kebutuhan lainnya meskipun tidak dihargai
secara ekonomi.
2.4 Peran Partisipasi Politik Perempuan
Chusnul Mar‟iyyah mengungkapkan bahwa politik tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan
(power) yang dapat dikelompokan dalam pengertian ability (kemampuan), capacity (kecakapan),
31
faculty (kemampuan), potential (kesanggupan) dan skill (kepandaian).55
Kehadiran perempuan
dalam politik melahirkan berbagai pertanyaan seputar peran perempuan dalam struktur politik
sebagai barometer keterwakilan kaum perempuan lainnya dari segi kuantitas dan kualitas.
Kekuasaan sebagaimana yang diungkapkan oleh Mar‟iyyah tentu perlu dimiliki oleh setiap
anggota legislatif dalam menjalankan perannya di berbagai bidang kehidupan.
Peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status) di mana seseorang dikatakan
menjalankan suatu peranan apabila ia melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai
kedudukannya. Suatu peranan mencakup 3 hal yaitu: pertama, peranan meliputi norma-norma
yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat; peranan merupakan
suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam mayarakat; ketiga, peranan
juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial.56
Peran berfungsi untuk menjalankan hak dan kewajiban.57
Secara normatif, keberadaan
perempuan di parlemen diharapkan bisa mempengaruhi kinerja lembaga legislatif sehingga lebih
berpihak pada kepentingan perempuan. Ada beberapa peran perempuan sebagai anggota
legislatif yang ditetapkan Lovenduski dan Karam, yaitu:58
1. Membuat parlemen menjadi “ramah” kepada perempuan melalui langkah-langkah
yang dapat memajukan kepedulian gender dan menghasilkan peraturan-peraturan
yang lebih ramah kepada perempuan.
55
Chusnul Mar‟iyyah dikutip oleh Katriana dan David Samiyono, “Perempuan dan Politik (Studi Kasus
Perempuan dan Politik di Tewah Pada Pemilu Legislatif Tahun 2009 Kabupaten Gunung Mas)” Tesis. Teologi.
Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga: 2012. 56
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 210-211. 57
Partini. Bias Gender..., 19. 58
Machya Astuti Dewi, “Potret Anggota Legislatif Perempuan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta:
Antara Misi dan Kapasitas Personal” dalam Gender and Politics. Peny. Siti Hariti Sastriyani, 191. Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2009.
32
2. Jaminan keberlanjutan dan peningkatan akses perempuan ke parlemen dengan
mendorong dan mendukung kandidat-kandidat perempuan lain untuk berjuang masuk
menjadi anggota parlemen, mengupayakan agar anggota perempuan mendapat posisi
penting di parlemen, mengubah UU Pemilu dan kampanye, serta mengajukan
legislasi kesetaraan jenis kelamin.
3. Memastikan bahwa semua perundang-undangan atau semua produk kebijakan yang
dibuat oleh lembaga legislatif benar-benar mempertimbangkan kepentingan dan
kebutuhan perempuan.
4. Menjadikan perspektif perempuan dalam perdebatan di parlemen sebagai suatu hal
yang wajar dan mendorong perubahan sikap publik terhadap perempuan. Upaya ini
dapat didukung oleh peran media massa dan publik, sehingga dapat meningkatkan
kapasitas anggota legislatif perempuan dalam debat publik dan meningkatkan
kepedulian mereka pada isu-isu perempuan.