bab ii kajian teoritik 2.1. kajian teoritik kontrak baku · bisnis memahami bahwa kedua istilah...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN TEORITIK
2.1. Kajian Teoritik Kontrak Baku
Kajian teoritik merupakan pendukung dalam membangun atau berupa
penjelasan permasalahan yang dianalisis. Kajian teoritik digunakan sebagai pisau
analisis terhadap pemecahan permasalahan hukum yang diteliti yang memuat
uraian sistematis tentang teori dasar yang relevan terhadap bahan hukum dan hasil
penelitian sebelumnya yang berasal dari pustaka mutakhir yang memuat teori,
propisisi, konsep atau pendekatan terbaru yang berhubungan dengan penelitian
yang dilakukan.1 Kajian pustaka terdiri dari teori-teori, doktrin, asas-asas dan
konsep-konsep yang dipakai dalam membahas isu hukum yang ada dalam
penelitian ini.
Teori hukum adalah suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan
dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum.2
Filsafat ilmu memberikan konteks dari teori merupakan sesuatu yang paling tinggi
yang dapat dicapai oleh suatu disiplin ilmu.3Terdapat beberapa teori yang
digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini yakni, teori keadilan, teori
kehendak, teori keseimbangan dalam kontrak, teori perlindungan hak asasi
manusia, teori perlindungan minimum dan teori fungsi negara sebagai regulator
Doktrin-doktrin yang dipergunakan adalah doktrin unconscionability, doktrin
keberlakuan hak asasi manusia dalam hukum perdata. Pembahasan diperdalam
1Johnny Ibrahim, Op.Cit, hal.293.
2J.J.H.Brugink, 1996, Refleksi Tentang Hukum Pengertian-Pengertian Dasar Dalam Teori
Hukum, Terjemahan Arief Shidarta, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.160.
3Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-dasar filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, h.11.
dengan menguraikan asas-asas yang berhubungan dengan kontrak pada umumnya
dan kontrak baku pada khususnya, serta ajaran-ajaran dalam hak asasi manusia.
2.1.1. Tinjauan umum kontrak baku
2.1.1.1. Peristilahan dan pengertian kontrak
Pembahasan mengenai kontrak baku dilakukan dengan terlebih dahulu
memahami pengertian kontrak itu sendiri. Istilah kontrak digunakan dalam
praktek bisnis selain istilah perjanjian dan persetujuan. Kerancuan akan istilah
kontrak atau perjanjian masih sering diketemukan dalam praktek bisnis. Pelaku
bisnis memahami bahwa kedua istilah antara perjanjian dan kontrak mempunyai
pengertian yang sama. Menurut Muhammad Syaifuddin4 pengertian antara
perjanjian dan kontrak adalah sama, jika dilihat dari pengertian yang terdapat
dalam KUHPer sebagai produk warisan kolonial Belanda, maka ditemukan istilah
“overeenkomst” dan “contract” untuk pengertian yang sama, sebagaimana
dicermati dalam Buku III Titel Kedua Tentang Perikatan-Perikatan yang Lahir
dari Kontrak atau Persetujuan, yang dalam bahasa Belanda ditulis “Van
verbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren worden”.
Para sarjana seperti Mariam Darus Badrulzaman5, J.Satrio
6, dan Purwahid
Patrik7 juga menganut pandangan yang menyatakan bahwa istilah kontrak dan
4Muhammad Syaifuddin, 2012, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), Mandar Maju,
Bandung, h.15.
5Mariam Darus Badrulzaman, 2011, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, (selanjutnya
disebut Mariam Darus Badrulzaman I), h.89.
6J.Satrio,1992, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut J.Satrio
I), h.19.
7Purwahid Patrik, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya
disebut Purwahid Patrik I), hal.19.
perjanjian mempunyai pengertian yang sama. Agus Yudha Hernoko8 memberikan
alasan bahwa kedua istilah tersebut juga digunakan dalam istilah kontrak
komersial, misalnya perjanjian waralaba, perjanjian sewa guna usaha, kontrak
kerjasama, perjanjian kerjasama dan kontrak konstruksi.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Ricardo Simanjutak, yang menyatakan
bahwa;
Adapun pengertian kontrak secara tegas dimaksudkan sebagai
kesepakatan para pihak yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat.
Walaupun istilah kontrak merupakan istilah yang telah lama diserap ke dalam
bahasa Indonesia, karena secara tegas digunakan dalam KUH Perdata,
pengertian kontrak tidak dimaksudkan seluas dari pengertian perjanjian seperti
yang dimaksudkan dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Pengertian kontrak lebih
dipersamakan dengan pengertian dari perikatan ataupun hukum perikatan yang
digambarkan dalam Pasal 1233 KUH Perdata9.
Pendapat Ricardo Simanjutak lebih menekankan pada istilah “kontrak”
karena memiliki kekuatan hukum yang mengikat berbeda dengan perjanjian yang
lebih luas sifatnya. Pendapat Ricardo tersebut menekankan pada akibat hukum
dari kontrak.
Geoff Monahan dan David Barker berpendapat mengenai bentuk dari
kontrak. Bentuk dari kontrak bisa lisan ataupun tulisan bahkan kombinasi dari
lisan dan tulisan namun disyaratkan mempunyai akibat hukum bagi para pihak
sehingga kontrak yang tidak menimbulkan akibat hukum dipandang sebagai
bukan kontrak. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapatnya sebagai berikut:
A valid contract is a contract that the law will enforce and creates legal
rights and obligations. A contract valid ab initio (from the beginning) contains
all the three essential elements of formation:
8Agus Yudha Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komsersial, Kencana Prenada Media, Jakarta, hal.13.
9Ricardo Simanjutak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Cet-1, Gramedia, Jakarta,
(selanjutnya disebut Ricardo Simanjutak I), h.27.
• agreement (offer and acceptance);
• intention (to be bound by the agreement);
• consideration (for example, the promise to pay for goods or services
received).
In addition, a valid contract may have to be in writing to be legally valid
(although most contracts may be oral, or a combination of oral and written
words)10
.
(Kontrak yang sah adalah kontrak yang dapat dipaksakan berlakunya
secara hukum dan menimbulkan akibat hukum berupa hak-hak dan kewajiban-
kewajiban. Sebuah kontrak sah dari awal jika mengandung tiga elemen yakni
persetujuan (penawaran dan penerimaan), maksud untuk terikat dalam
perjanjian, adanya prestasi contohnya janji untuk membayar barang-barang
atau jasa yang diperlukan). Sebagai tambahan, kontrak yang sah dapat
berbentuk tulisan agar sah secara hukum (walaupun beberapa kontrak dapat
lisan, atau kombinasi dari lisan dan tulisan/ garis bawah dari penulis).
Pandangan Geoff Monahan dan David Barker tersebut tidak mensyaratkan
bahwa kontrak harus dalam bentuk tulisan, karena dapat saja kontrak berbentuk
lisan bahkan gabungan antara lisan dan tulisan.
T.M Scanlon menyatakan bahwa ada perbedaan antara janji dengan
kontrak yakni11
While promises do not, I have argued, presuppose a social institution of
agreement-making, the law of contracts obviously is such an institution.
Moreover, it is an institution backed by the coercive power of the state, and
one that, unlike the morality of promises, is centrally concerned with what is to
be done when contracts have not been fulfilled.
(Sementara janji-janji tidak memiliki akan hal ini, saya berpendapat
bahwa hukum dari kontrak adalah sebuah institusi. Bagaimanapun, ia adalah
sebuah institusi yang ada akibat adanya kekuasaan negara dan berbeda dengan
aspek moral dari janji-janji, hukum kontrak menekankan pada apa yang harus
dilakukan bila kontrak-kontrak tidak dipenuhi).
Berdasarkan pendapat tersebut, maka janji lebih menekankan pada aspek
moral sebagai kekuatan mengikatnya, sedangkan pada kontrak ada pada aspek
kekuatan memaksa jika tidak ditaati.
10Geoff Monahan, David Barker, 2001, Essential Contract Law, Second Edition, Cavendish
Publishing, Sydney, p.3.
11T.M. Scanlon, 2001, “Promises and Contracts”, dalam Peter Benson (ed), The Theory of
Contract Law, Cambridge University Press, New York, p.99.
Penekanan pada aspek memaksa dari kontrak dikemukakan oleh
Muhammad Syaifuddin dengan mengutip pendapat Steven L. Emauel mengenai
istilah kontrak bahwa “A “contract” is an agreement that the law will enforce in
some way. A contract must contain at least one promise, i.e, a commitment to do
something in the future” (Kontrak adalah suatu persetujuan yang mana hukum
akan menegakkannya dalam berbagai cara. Kontrak harus memuat paling tidak
satu janji, yaitu suatu komitmen untuk melakukan sesuatu di masa depan).12
Penjelasan Emanuel bahwa “The term”contract” is often used to refer to
a written document which embodies an agreement. But for legal purpose, an
agreement may be a binding and enforceable contract in most circumstance even
though it is oral,” (istilah “kontrak” seringkali digunakan untuk menunjukkan
dokumen tertulis yang didalamnya terkandung persetujuan. Namun, untuk tujuan
hukum, suatu persetujuan juga merupakan suatu kontrak yang mengikat dan dapat
ditegakkan dalam banyak situasi meskipun hanya secara lisan).13
Subekti menganut pandangan bahwa istilah kontrak, memiliki pengertian
yang lebih sempit, karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang
dibuat secara tertulis sedangkan suatu perjanjian yang dibuat secara tidak tertulis
(lisan) tidak dapat disebut dengan istilah kontrak, melainkan perjanjian atau
persetujuan.14
Subekti lebih menekankan perbedaan antara kontrak dengan
perjanjian pada unsur bentuknya.
12Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, h.16.
13Ibid.
14Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Intermassa, Jakarta, h.1., Pendapat ini juga sama dengan
pendapat Budiono Kusumohamidjojo yang menyatakan bahwa ciri kontrak yang utama adalah
bahwa dia merupakan suatu tulisan yang memuat perjanjian dari para pihak, lengkap dengan
Berdasarkan beberapa pandangan tersebut, penulis lebih sependapat
dengan pendapat dari Ricardo Simanjutak yang memandang kontrak (dalam
bahasa Inggrisnya contract) juga merupakan perjanjian (dalam bahasa Inggrisnya
agreement) dengan penekanan pada konsekuensi hukum (legal enforceability)
apabila tidak dilaksanakan.15
Para pihak dapat membuat suatu kesepakatan-
kesepakatan atau perjanjian-perjanjian yang tidak mempunyai konsekuensi hukum
yang mengikat para pihak walaupun perjanjian-perjanjian tersebut adalah bersifat
komersial.
Ricardo Simanjutak menjelaskan bahwa kontrak merupakan bagian dari
pengertian perjanjian, artinya bahwa kontrak adalah juga perjanjian walaupun
belum tentu perjanjian adalah kontrak. Dalam pengertian kesepakatan para pihak
yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat kontrak sama dengan
perjanjian. Perjanjian yang tidak memiliki konsekuensi hukum tidak sama dengan
kontrak. Dasar untuk menentukan apakah perjanjian mempunyai konsekuensi
hukum yang mengikat ataukah hanya sebagai perjanjian yang mempunyai
konsekuensi moral dapat dilihat dari kemauan dasar dari para pihak yang
berkontrak16
. Dalam penulisan ini lebih mengacu pada pendapat Ricardo
Simanjutak yang menyatakan bahwa kontrak merupakan perjanjian yang memiliki
akibat hukum yang tegas.
ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat, serta yang berfungsi sebagai alat bukti tentang adanya
(seperangkat) kewajiban. Selanjutnya dikemukakan, bahwa kontrak adalah perjanjian yang
dirumuskan secara tertulis yang melahirkan bukti tentang adanya kewajibankewajiban (dan karena
itu memang juga hak-hak) yang timbal balik. Lihat Budiono Kusumohamidjojo, 2001, Panduan
Untuk Merancang Kontrak, Jakarta: Grasindo, h. 6-7).
15Ricardo Simanjutak, Op.Cit., h.28.
16Ibid,h.32.
Konsep perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPer yang menentukan
bahwa “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.” Subekti berpendapat bahwa
”Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.17
Sudikno Mertokusumo menguraikan bahwa “perjanjian adalah hubungan hukum
antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat
hukum”. Berdasarkan kedua pandangan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum antara dua pihak atau lebih
dan dilakukan untuk menimbulkan akibat hukum.
Akibat hukum yang ingin ditimbulkan oleh kontrak adalah berupa
perikatan. Pasal 1233 KUHPer mengatur mengenai perikatan dengan menentukan
bahwa “perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang”.
Perikatan adalah akibat hukum yang hendak dicapai oleh kontrak. Subekti
membedakan pengertian antara perikatan dengan perjanjian. Subekti menyatakan
bahwa hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu
menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, di samping sumber-
sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu
setuju untuk melakukan sesuatu. Menurut Subekti perikatan adalah suatu
perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak
yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”
17Subekti, Loc.Cit.
Secara singkat, perjanjian atau persetujuan menimbulkan perikatan.
Perikatan itu kemudian disebut sebagai kontrak apabila memberikan konsekuensi
hukum yang terkait dengan kekayaan dan mengikat para pihak yang saling
mengikatkan diri dalam perjanjian, atau dengan kata lain kontrak adalah
perjanjian yang memiliki konsekuensi hukum..
2.1.1.2. Peristilahan dan pengertian kontrak baku
Istilah yang dipergunakan dalam kontrak baku beragam.18
Mariam
Darus Badrulzaman mempergunakan istilah “perjanjian baku19
” yang dialih
bahasakan dari istilah bahasa Belanda yakni standaardcontract atau
staandardvoorwaarden. Dalam kepustakaan Jerman, istilah yang dipergunakan
untuk perjanjian baku adalah allgemeine geshaftsbedingun, standaardvertrag,
standaardkenditionen, sementara istilah dari bahasa Inggris, yaitu standardized
18Beberapa sarjana menyamakan istilah “baku” dengan “standar”. (Lihat Mariam Darus
Badrulzaman, 2003, Perjanjian Baku (Standard), Perkembangannya di Indonesia, dalam Buitr-
Butir Pemikiran Guru Besar dari Masa ke Masa, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas
Hukum USU 1979-2001, penyunting Tan Kamello, Pustaka Bangsa, Medan). P.Lindawaty S.Sewu
mempergunakan isilah”baku” di samping mengakui pula beragam peristilahan lainnya untuk
kontrak baku seperti kontrak-kontrak adhesi, syarat-syarat umum, syarat-syarat konsumen, kontrak-kontrak menggilas, ketentuan-ketentuan standar, syarat-syarat standar, kontrak-kontrak
standar (Lihat Lindawaty S.Sewu, 2006,“Aspek Hukum Perjanjian Baku dan Posisi Berimbang
Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba”, Disertasi, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung,
h.135-136). Istilah berbeda dipergunakan oleh J.Satrio yang mempegunakan istilah “adhesie”
(lihat J.Satrio, 1993, Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir Dari Undang-Undang, Citra Aditya
Bakti, Bandung). Istilah dari bahasa Inggris, yaitu standardized contract, standard form of
contract, contract of adhesion. (Lihat Ahmad Fikri Assegaf, 2014, Penjelasan Hukum
(Restatment0 Tentang Klausula Baku, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK),
Jakarta, h.3, istilah “standard form of contract” ;Catherine Elliott and Frances Quinn, 2003,
Contract Law, Pearson Education Limited, England, h.20, lihat juga Roger Halson, 2001, Contract
Law, Pearson Education Limited, England, h.4, P.S.Atiyah, 1995, An Introduction to the Law of
Contract, Clarendon Press, Oxford, h.16. Istilah “contract of adhesion” lihat Jane P.Mallor et.all, 2003, Business Law: The Ethical, Global, and E-Commerce Environment, McGraw Hill, New
York, h.336; dan istilah “baku” diartikan dalam Bahasa Indonesia (lihat Kamus Besar Bahasa
Indonesia,Departemen Pendidikan Nasional, h.94) diartikan sebagai tolak ukur yang berlaku untuk
kuantitas dan kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan, sedangkan standar diartikan
sebagai patokan.(Kamus Besar Bahasa Indonesia,Departemen Pendidikan Nasional, h.1089). 19Beberapa sarjana mempergunakan istilah kontrak baku, Lihat Muhammad Syaifuddin,
Op.Cit. h216, Munir Fuady, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku
Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Munir Fuady I), h.75.
contract, standard form of contract, contract of adhesion. 20
J.Satrio21
mempergunakan istilah perjanjian adhesie untuk kontrak baku, sedangkan
P.Lindawaty S.Sewu22
menyebutkan beragam peristilahan untuk kontrak baku
seperti kontrak-kontrak adhesi, syarat-syarat umum, syarat-syarat konsumen,
kontrak-kontrak menggilas, ketentuan-ketentuan standar, syarat-syarat standar,
kontrak-kontrak standar.
Menurut Black’s Law Dictionary, kontrak baku yang diartikan sebagai
“standard-form contract” adalah “Preprinted contract containing set clauses,
used repeatedly by a business or within a particular industry with only slight
additions or modifications to meet the specific situation (kontrak yang telah
dicetak sebelumnya yang berisikan sekumpulan klausula-klausula atau syarat-
syarat, dipergunakan berulang kali dalam suatu kegiatan usaha atau dalam
industry tertentu dengan sedikit penambahan atau perubahan yang disesuaikan
dengan situasi tertentu).23
Hondius merumuskan kontrak baku sebagai “Usulan klausul-klausul
tertulis yang diajukan untuk ditetapkan tanpa negoisasi terlebih dahulu mengenai
isinya, di dalam perjanjian-perjanjian umum dengan sifat tertentu yang masih
harus dibuat dalam jumlah tak tentu.”24
Pendapat lainnya dikemukakan oleh
Drooglever Fotujin yang mengartikan kontrak baku sebagai “Perjanjian-perjanjian
20Ahmad Fikri Assegaf, 2014, Penjelasan Hukum (Restatement) Tentang Klalusula Baku,
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta, h.3
21J.Satrio, 1993, Hukum Perikatan: Perikatan Yang Lahir Dari Undang-Undang, Citra Aditya
Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut J.Satrio II), h.44
22P.Lindawaty S. Sewu, Op.Cit, h.135-136.
23Bryan A.Garner, 1999, Black‟s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group Publishing,
h.325.
24Mariam Darus Badrulzaman I, Op.Cit, h.15.
yang sebagian penting dari isinya ditentukan oleh sebuah susunan klausul-klausul
perjanjian yang telah ditetapkan.”25
Johannes Gunawan mengartikan kontrak baku sebagai “Kontrak yang
baik isi, bentuk maupun cara penuntupannya dirancang, dibuat, ditetapkan,
digandakan, serta disebarluaskan secara sepihak oleh salah satu pihak, biasanya
pelaku usaha, tanpa kesepakatan dengan pihak lainnya, biasanya konsumen.26
Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan bahwa kontrak baku adalah
merupakan kontrak yang dibakukan, dipakai sebagai pedoman atau patokan bagi
siapapun yang menutup perjanjian tanpa kecuali, disusun terlebih dahulu secara
sepihak serta dibangun mempergunakan syarat-syarat standar, ditawarkan kepada
pihak lain untuk disetujui dengan hampir tidak ada kebebasan untuk melakukan
penawaran atau negoisasi, sedangkan hal yang dibakukan adalah meliputi model,
rumusan dan ukuran.27
Sutan Remy Sjahdeini memberikan pengertian tentang kontrak baku
dengan mengemukakan sebagai berikut:
Perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausul yang dibakukan oleh
pemakainya dan pihak lainnya pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk
merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum dibakukan hanyalah
beberapa hal saja, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna,
tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari objek yang
diperjanjikan. Dengan kata lain yang dibakukan bukan formulir perjanjian
tersebut tetapi klausul-klausulnya. Oleh karena itu, suatu perjanjian yang
dibuat dengan akta notaris, bila dibuat oleh notaris dengan klausul-klausul
yang hanya mengambil alih saja klausul-klausul yang telah dibakukan oleh
salah satu pihak, sedangkan pihak yang lain tidak mempunyai peluang untuk
merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-klausul itu, maka
25Ibid.
26Johannes Gunawan, 2003, “Reorientasi Hukum Kontrak di Indonesia”, Artikel, Jurnal
Hukum Bisnis Volume 22 Nomor 6, (selanjutnya disebut Johannes Gunawan I), h.45.
27Mariam Darus Badrulzaman, 1980, Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya di
Indonesia, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman II), h.96.
perjanjian yang dibuat dengan akta notaris itu pun adalah juga perjanjian
baku28
Pendapat yang sama dikemukan oleh Yusuf Sofhie bahwa “Kontrak standar
adalah perjanjian atau persetujuan yang dibuat para pihak mengenai sesuatu hal
yang telah ditentukan secara baku (standar) serta dituangkan secara tertulis.”29
Pengertian resmi dari kontrak baku ditentukan dalam Pasal 1 angka 10
UUPK yaitu “Setiap aturan baku atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjankjian yang mengikat dan
wajib dipenuhi oleh konsumen.”
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka kontrak baku adalah
kontrak yang didalamnya terkandung klausul-klausul yang dibuat secara baku,
isinya dibakukan oleh salah satu pihak yang memiliki kedudukan lebih dengan
tidak memberikan kesempatan kepada pihak lainnya bernegoisasi, diterima akibat
kebutuhan salah satu pihak untuk dituangkan dalam bentuk tertentu yang dibuat
secara massal dan kolektif.
Berkaitan dengan inti dari penulisan ini yang berkaitan dengan kontrak
baku dalam perspektif hak asasi manusia, maka ruang lingkup kontrak baku dalam
penulisan disertasi ini adalah kontrak baku yang ada dalam lapangan hukum
perdata yang bersifat komersial atau disebut kontrak komersial. Pengertian
kontrak komersial dikemukakan oleh Richard Stone membedakan pengertian
domestic agreement dengan commercial agreement, dengan menguraikan “if
28Sutan Remi Sjahdeini,2009, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, h.66.
29Yusuf Sofhie, 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2000, h.92
agreement is not a „domestic‟ one, then it will be regarder as „commercial‟.30
Menurut Richard Stone yang dimaksud dengan domestic agreement adalah
perjanjian dalam lingkup hukum keluarga, misal perjanjian kawin, sedangkan
commercial agreement diartikan setiap perjanjian yang bukan domestic
agreement. Robert W.Clark sebagaimana dikutip oleh Agus Yudha Hernoko
menambahkan unsur utama dari kontrak komersial adalah adanya “financial or
economic motive (benefit motive)” yang mendasari hubungan para pihak31
.
Berdasarkan pandangan tersebut maka kontrak baku yang akan dibahas dalam
penulisan ini adalah kontrak baku yang merupakan kontrak komersial32
.
Latar belakang lahirnya kontrak baku adalah efisiensi dan efektifitas
dalam berkontrak. Tujuan dibuatnya kontrak baku adalah untuk memberikan
kemudahan atau kepraktisan bagi para pihak yang terlibat. Abdul Kadir
Muhammad33
memberikan beberapa keuntungan kontrak baku yakni efisiensi
biaya, waktu dan tenaga, dan praktis karena telah tersedia naskah yang dicetak
berupa formulir atau blanko yang telah siap untuk ditandantangani. Penyelesaian
cepat karena konsumen tinggal menandatangani saja dan sifat homogenitas
kontrak yang dibuat dalam jumlah banyak.
30Richard Stone, 2000, Principle of Contract Law, Cavendish Publishing, London, h.84.
31Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, h.33.
32Lihat pembagian kontrak berdasarkan tulisan Agus Yudha Hernoko yang menekankan
pembedaan kontrak antara kontrak komersial dengan kontrak konsumen. Kontrak ini dibedakan
berdasarkan hubungan dan orientasi tujuan. Kontrak komersial bertujuan pada “profit motive”,
hubungan para pihak setara, salah satu pihak bukan merupakan konsumen, sedangkan kontrak
konsumen kedudukan para pihaknya subordinat (atas-bawah), bentuknya standar/adhesi, dan salah satu pihak merupakan konsumen/end user. Penulis beranggapan bahwa pembagian berdasarkan
jenis ini memiliki kesamaan yakni sama-sama bergerak di lapangan harta kekayaan dan dalam
kontrak konsumen pun terdapat “profit motive”, demikian pula dalam kontrak komersial bisa
terjadi hubungan atas-bawah (supplier dengan distributor), sehingga penulis lebih setuju dengan
menempatkan kontrak baku dalam kontrak komersial.(Lihat Agus Yudho Hernoko, Op.Cit, h.34-
35).
33Abdul Kadir Muhammad,1992, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perdagangan, Citra Aditya
Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Abdul Kadir Muhammad II), h.6.
Dalam prakteknya yang perlu diperhatikan adalah antara istilah
“klausula baku” dengan istilah “kontrak baku”. Secara leksikal, Kamus Besar
Bahasa Indonesia memberikan arti “klausul” adalah ketentuan tersendiri dari
perjanjian, yang salah pokok atau pasalnya diperluas atau dibatasi34
, sedangkan
kontrak adalah kesepakatan oleh para pihak yang menimbulkan akibat hukum.35
Apabila dihubungkan dari segi bahasa maka klausula baku adalah ketentuan
tersendiri dan bersifat tetap (baku) yang ditambahkan dalam kontrak.36
Pendapat yang menyamakan antara istilah “klausula baku” dengan
“kontrak baku” diungkapkan oleh P. Lindawaty Sewu yang mempergunakan
istilah “syarat-syarat baku” untuk istilah “klausula baku” dengan menyebutkan
bahwa syarat-syarat baku dapat diberi pengertian sebagai syarat-syarat konsep
tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih akan dibuat, yang
jumlah tidak tentu, tanpa membicarakan terlebih dahulu isinya, asas perjanjian
adalah tetap dan tidak dapat diadakan perundingan lagi dan dinyatakan juga
sebagai perjanjian baku.37
Artinya adalah bahwa klausula baku merupakan bagian
dari kontrak baku. Di dalam kontrak baku selalu terkandung klausula-klausula
baku sebagai syarat-syarat yang tidak dapat dinegoisasikan lagi.
Salah satu jenis klausula baku adalah klausula eksonerasi atau eksemsi.
Klausula eksonerasi atau eksemsi dalam bahasa Inggris disebut exoneration atau
34Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, h.351.
35Ricardo Simanjutak, Op.Cit, h.27.
36Ahmad Fikri Assegaf, Op.Cit, h.13.
37P.Lindawaty Sewu, Op.Cit, h.127-128, Adrian Sutedi juga yang menyamakakan antara
istilah klausul baku dengan kontrak standar (Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk Dalam
Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, Bogor, h.1.)
exemption38
. Klausul terkait memuat pembebasan atau pengecuali terhadap suatu
tanggung jawab tertentu. Klausula eksemsi atau exemption clause didefinsikan
sebagai “A contractual provision providing that a party will not be liable for
damages for which that party would otherwise have ordinarily been liable”.
(ketentuan dalam suatu kontrak yang menentukan bahwa salah satu pihak tidak
akan bertanggung jawab atas kerugian-kerugian, ketika biasanya ia harus
bertanggung jawab).39
2.1.1.3. Ciri-ciri kontrak baku
Ciri-ciri dari kontrak baku diuraikan oleh beberapa sarjana. Todd Rakoff
sebagaimana dikutip oleh Wayne R.Barnes40
menyatakan bahwa kontrak baku
memiliki 7(tujuh) ciri yakni:
1. Bentuknya formulir berisikan beberapa syarat yang tertuang dalam
formulir;
2. Formulir dibuat oleh salah satu pihak yang terlibat dalam kontrak yang
biasanya adalah perusahaan bisnis;
3. Kegiatan bisnisnya melibatkan transaksi jenis yang sama sebagai kegiatan
rutin;
4. Perusahaan selalu menghadirkan form kepada pihak lainnya dengan pola
dasar“take-it-or-leave-it”;
38John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia: An English-Indonesian
Dictionary, h.223.
39Bryan A.Garner, Op.Cit, h.325
40Wayne R.Barnes, 2007, “Toward A Fairer Model of Consumer Assent to Standard Form
Contract: In Defense of Restatement Subsection 211 (3)”, Article, Washington Law Review
Association, Washington, h.234-235.
5. Pihak lainnya tidak sering terlibat dengan transaksi jenis tersebut,
dibandingkan dengan volume jenis transaksi tersebut yang dilakukan oleh
pihak perusahaan;
6. Biasanya kewajiban utama dari konsumer atau pihak lainnya adalah hanya
membayar sejumlah uang.
Mariam Darus Badrulzaman41
menguaraikan ciri-ciri dari kontrak baku
adalah sebagai berikut:
1. Isinya ditentukan secara sepihak oleh pihak yang posisi ekonominya kuat;
2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi
kontrak;
3. Penerimaan atas kontrak didasarkan atas kebutuhan dari debitur;
4. Bentuknya tertentu (tertulis);
5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan kolektif.
P.Lindawati Sewu42
menyatakan bahwa unsur-unsur pokok dari suatu
kontrak baku adalah sebagai berikut:
1. kontrak disepakati oleh para pihak yang dijadikan acuan/pedoman bagi
para pihak yang terikat dalam kontrak;
2. pihak penyusun perjanjian adalah pihak pemilik/produsen dari barang atau
jasa yang memiliki daya tawar lebih kuat karena memilik kekuatan lebih;
3. pihak yang menerima kontrak biasanya berada dalam posisi menerima isi
kontrak yang ditawarkan kepadanya tanpa atau dengan kemungkina untuk
melakukan negosisasi lagi;
41Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h.1.
42P.Lindawati Sewu, Op.Cit, h.137.
4. posisi para pihak dalam keadaan tidak seimbang;
5. klausula kontrak biasanya disusun oleh salah satu pihak;
6. isi dari kontrak berupa klausula-klausula yang dibuat secara seragam untuk
diperlakukan kepada para pihak yang terikat dalam kontrak tanpa kecuali;
7. hampir tidak ada kebebasan bagi para pihak yang menerima penawaran
untuk melakukan negoisasi ulang atas klausula-klausula yang disodorkan
kepadanya.
Abdul Kadir Muhammad43
mengemukakan ciri-ciri kontrak baku adalah
sebagai berikut:
1. Bentuknya tertulis
Kata-kata atau kalimat pernyataan kehendak yang termuat dalam
kontrak baku dibuat secara tertulis berupa akta otentik atau akta di bawah
tangan.
2. Format yang dibakukan
Format kontrak meliputi model, rumusan, dan ukuran. Format ini
dibakukan, artinya telah ditentukan model, rumusan, dan ukurannya
sehingga tidak dapat diganti, diubah, atau dibuat dengan cara lain karena
telah dicetak.
3. Syarat-syarat kontrak ditentukan oleh pengusahan
Syarat-syarat kontrak yang merupakan pernyataan kehendak
ditentukan sendiri secara sepihak oleh penguasa.
4. Konsumen hanya menerima atau menolak
43Abdul Kadir Muhammad I, Op.Cit, h.92.
Jika konsumen bersedia menerima syarat-syarat kontrak yang
diberikan kepadanya, maka konsumen dapat menandatangani kontrak
tersebut, dengan konsekwensi bersedia menerima tanggung jawab kontrak.
Jika tidak setuju maka konsumen tidak dapat menawar, sehingga kontrak
tidak ditandatangani;
5. Penyelesaian sengketa
Dalam syarat-syarat kontrak terdapat klausula baku yang menentukan
mengenai penyelesaian sengketa, yang pada umumnya dilakukan melalui
arbitrase, namun tidak menutup kemungkina dilakukan di pengadilan;
6. Kontrak menguntungkan salah satu pihak (pengusaha)
Dalam kontrak baku, syarat-syarat baku biasanya dimuat lengkap
dalam naskah kontrak, atau ditulis sebagai lampiran yang tidak terpisah
atau merupakan satu kesatuan dengan formulir kontrak.
Dari berbagai pendapat mengenai ciri-ciri kontrak baku, maka dapat ditarik
ciri-ciri pokok dari kontrak baku adalah;
1. Kontrak baku bentuknya tertulis;
2. Format yang dibakukan, disusun secara seragam dan dibuat dalam jumlah
kolektif dan massal
3. Adanya klausula-klausula baku yang tidak dapat ditawar oleh pihak
lainnya;
4. Klausula kontrak disusun oleh salah satu pihak yang memiliki posisi lebih
5. Posisi para pihak tidak seimbang.
Berdasarkan ciri-ciri kontrak baku tersebut di atas, maka bentuk-bentuk
dari kontrak baku dibedakan menjadi 3 yang dikemukakan oleh Mariam Darus
Badrulzaman44
yakni:
1. Kontrak baku sepihak, adalah kontrak yang isinya ditentukan oleh pihak
yang kuat kedudukannya, misalnya kreditur yang lazimnya memiliki
posisi (ekonomi) yang lebih kuat dibandingkan dengan debitur;
2. Kontrak baku yang ditetapkan oleh pemerintah, ialah kontrak baku yang
mempunyai objek hak-hak atas tanah;
3. Kontrak baku yang ditentukan oleh Notaris atau Advokat, yang disediakan
untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat.
AZ Nasution45
memberikan pembagian terhadap bentuk-bentuk kontrak
baku berdasarkan Pasal 1 angka 10 UUPK, bentuk kontrak baku dibagi menjadi 2
yakni kontrak dan syarat-syarat:
1. Dalam bentuk kontrak, yakni suatu kontrak yang memuat klausula-
klausula baku yang telah dipersiapkan oleh salah satu pihak, dalam hal ini
pihak pelaku usaha. Kontrak baku selain memuat aturan-aturan umum
yang biasanya terkandung dalam kontrak-kontrak lainnya, juga memuat
pula persyaratan khusus yang berkaitan dengan pelaksanaan kontrak;
2. Dalam bentuk persyaratan, klasula baku berupa syarat-syarat tertentu yang
dimuat dalam kuitansi, tanda penerimaan, papan pengumuman, atau
44Mariam Darus Badrulzaman, 1986, “Perlindungan Konsumen Dilihat dari Sudut Peraturan
Perjanjian Baku (Standar)”, Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen,
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, Bina Cipta, (selanjutnya disebut Mariam Darus
Badrulzaman III), h.58.
45AZ Nasution, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar, Diadit Media,
Jakarta, h.99-100.
secarik kertas tertentu yang termuat dalam kemasan atau wadah produk
yang bersangkutan.
2.1.2. Teori-teori terkait kontrak baku
2.1.2.1. Teori keadilan oleh Aristoteles
Teori keadilan oleh Aristoteles dipakai dalam menjawab rumusan
masalah pertama, kedua dan ketiga. Terhadap rumusan masalah yang pertama,
untuk mengetahui landasan filosofis pembuatan kontrak baku dalam perspektif
hak asasi manusia diperlukan nilai-nilai yang berada di balik perlindungan hak-
hak asasi manusia yakni nilai keadilan. Aspek filosofis dari kontrak adalah
berdasarkan nilai keadilan. Penentuan isi nilai keadilan dengan memakai teori dari
Aristotels yang dikembangkan lagi oleh John Rawls. Rumusan masalah yang
kedua mengenai apakah kontrak baku dapat melindungi hak-hak asasi manusia?
diukur dengan nilai-nilai keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles yang
selanjutnya dikembangkan oleh John Rawls. Rumusan masalah yang ketiga terkait
dengan asas-asas hukum yang dapat dijadikan rujukan dalam pembuatan kontrak
baku yang dapat melindungi hak asasi manusia adalah asas-asas hukum kontrak
yang dapat “mendorong atau meningkatkan” nilai keadilan dalam pembuatannya,
sehingga dipakai teori keadilan.
Aristoteles mendefinisikan apa itu keadilan dengan melihat apa itu
ketidakadilan. Terlebih dahulu Aristoteles mendefinisikan apa yang dimaksud
dengan individu yang tidak adil. Individu yang tidak adil dapat berupa 1)
pelanggar hukum; 2) orang yang menginginkan lebih dari bagiannya; 3) orang
yang tidak bertindak secara kepatutan/layak. Hukum berfungsi untuk membuat
warganya menjadi baik (dengan memaksakan perilaku yang bermoral). Aristoteles
menyebut hukum adalah kebajikan/keutamaan yang sempurna, karena merupakan
kebaikan tertinggi dalam kaitan hubungan bermasyarakat.46
Intinya keadilan
adalah kebajikan dan ketidakadilan adalah ketidakbaikan Artistoteles menyatakan
bahwa “The just, then, is the lawful and the fair, the unjust the unlawful and the
unfair” (Keadilan adalah tindakan yang sah dan layak, sedangkan ketidakadilan
adalah tindakan yang tidak sah dan tidak layak).47
Ketidakadilan tampak dalam dua jenis yakni: 1) Jenis tertentu
(particular type) yang berkaitan dengan pendistribusian barang-barang yang tidak
adil; 2) jenis umum (general type) yang mengatur mengenai pelanggar hukum dan
hal-hal yang berhubungan dengannya. Secara singkat maka ketidakadilan adalah
tindakan yang melanggar hukum dan ketidakseimbangan (unequal), sedangkan
keadilan adalah tindakan berdasarkan hukum dan keseimbangan (equal).
Ketidakseimbangan adalah salah satu bentuk dari ketidaktaatan pada hukum.48
Keadilan juga dapat dibedakan menurut pembagian yakni keadilan jenis tertentu
equality/fairness (keseimbangan/kelayakan) dan keadilan jenis umum (lawfulness)
berdasarkan hukum.
Keadilan jenis tertentu dibagi menjadi dua bentuk yakni distributive
justice (keadilan distribusi) berkaitan dengan pembagian atau distribusi barang-
barang yang sesuai dalam masyarakat (bersifat geometric), dan keadilan korektif
(corrective justice) berkaitan dengan hubungan antar orang (horizontal). Keadilan
46Aristotles, 2009, The Nicomachean Ethics, translated by David Ross, Oxford Univiersity
Press, Oxford New York, h.223-227.
47Ibid, h.225.
48Ibid, h.229-231.
di bidang korektif ini juga dapat dibagi menjadi dua kategori yakni transaksi yang
sukarela (voluntary) dan transaksi yang tidak sukarela (involuntary). Kegiatan
yang bersifat sukarela dalam bidang bisnis seperti jual beli, transaksi-transaksi
komersial, sedangkan kegiatan yang bersifat tidak sukarela dalam bidang
pelanggaran-pelanggaran seperti pencurian, pemerkosaaan, pembunuhan.49
Aristoteles berupaya mendefinisikan titik tengah dari ketidakadilan. Ia
menyatakan bahwa dikarenakan ketidakadilan identik dengan ketidakseimbangan
(since the equal is intermediate, the just will be an intermediate).50
Di antara
kedua titik ekstrem antara keadilan dengan ketidakadilan adalah
kelayakan/keseimbangan (equal). Dalam membahas distribusi yang “equal” atau
layak bukan berarti setiap orang mendapat bagian yang sama namun
pembagiannya berdasarkan kepantasan atau kepatutan, disinilah Aristoteles lebih
menekankan pada pembagian yang proporsional (pembagian berdasarkan
ketidakadilan artinya pembagian yang tidak proporsional, di satu pihak lebih dan
di pihak lainnya secara proporsional kurang). Orang yang tidak adil mendapatkan
lebih banyak sedangkan yang lainnya menderita akibat keuntungan pihak yang
tidak adil. Untuk itulah diperlukan koreksi terhadap pembagian yang tidak adil
yang menimbulkan kesengsaraan. Aristoteles menyatakan bahwa “Unjust is what
violates the proportion; for the proportional is intermediate, and the just is
proportional” (ketidakadilan adalah apa yang melanggar proporsi, dan
proporsional adalah titik tengah, dan keadilan adalah proporsional).51
49Ibid, h.227-231.
50Ibid, h.231-232.
51Ibid, h.232-233.
Keadilan korektif berkaitan dengan equality (persamaan/keseimbangan),
namun proporsional berkaitan dengan aritmetika. Persamaan ini berhubungan
dengan tindakan hakim untuk memulihkan keadilan, tindakan-tindakan untuk
memulihkan pelanggaran hukum, melalui hukuman-hukuman terhadap orang-
orang yang mendapatkan sesuatu berdasarkan tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan hukum. Untuk memulihkan keadaan, keadilan korektif
mencari titik tengah yang mungkin berarti menimbulkan kerugian pada seseorang
yang telah tanpa hak memperoleh sesuatu52
. Keadilan korektif dalam kegiatan-
kegiatan yang bersifat sukarela (voluntary) dengan para pihaknya paling sedikit 2
(dua) orang yang terlibat.
Aristoteles menyatakan bahwa hubungan timbal balik yang bersifat
proporsional merupakan hubungan yang penting dalam mewujudkan keadilan di
masyarakat. Hubungan timbal balik yang menguntungkan merupakan perekat
dalam masyarakat (saling memberi dalam hubungan timbal balik yang
proporsional atau “proportionate reciprocal giving”). Aristoteles mencontohkan
seorang pembuat rumah dan seorang pembuat sepatu yang berniat melakukan
tukar menukar barang-barang atau jasa-jasa. Untuk mewujudkan keadilan mereka
harus melakukan tukar menukar dalam bentuk keseimbangan yang proporsional.
Artinya mereka harus mencari berapa sepatu yang harus ditukar untuk membayar
jasa pembuat rumah53
. Apabila kesamaan atau kelayakan (“equility”) ditemukan
maka hubungan timbal balik yang menguntungkan yang bersifat proporsional
(establisih proportional equlity) baru dapat terwujud. Aristoteles menyatakan
52Aristoteles, Op.Cit, h.234-237.
53Aristoteles, Op.Cit, h.239
bahwa tidak semua harus disamakan, namun para pihak harus berusaha untuk
menemukan proporsional yang pantas untuk semua orang agar bisa bahagia54
.
Keadilan adalah titik tengah sedangkan ketidakadilan adalah titik
ekstrem dan merupakan karakter yang berkaitan dengan
kelayakan/kepantasan/fairness. Ketidakadilan adalah merupakan sesuatu yang
berlebihan (mendapatkan lebih banyak barang) dan merupakan sesuatu yang
kekurangan (mengambil milik orang lain) dan merupakan sesuatu yang buruk
karena menyebabkan penderitaan.
Orang hanya bisa melakukan ketidakadilan apabila dilakukan dalam
tindakan yang sukarela. Apabila melakukan tindakan yang tidak adil dalam
keadaan terpaksa maka orang itu dapat disalahkan namun tidak seluruhnya
dikatakan melakukan tindakan yang tidak adil. Tindakan yang tidak dilakukan
secara sukarela apabila dilakukan dalam ketidaktahuan, bukan merupakan
pilihannya, dilakukan akibat paksaan.55
Syarat-syarat untuk dapat dikatakan
melakukan tindakan yang tidak adil adalah dilakukan dengan sengaja (voluntary),
dilakukan berdasarkan pilihan yang sadar (a product of choice) dan tidak
dilakukan akibat paksaaan (not spurred by external actions).
Teori keadilan dari Aristotels menitikberatkan keadilan berlandaskan
perimbangan khususnya keadilan komutatif dalam bidang tukar menukar.
Keadilan korektif ini yang diharapkan akan terwujud dalam perlindungan hak-hak
asasi manusia di bidang kontrak baku di lapangan hukum keperdataan.
54Aristoteles, Op.Cit, h.238.
55Aristoteles, Op.Cit, h.243.
Munir Fuady menjelaskan lebih lanjut teori Aristoteles yang membagi
keadilan menjadi tiga yakni keadilan distributif, keadilan komutatif (keadilan
korektif), dan keadilan hukum (legal justice). Pembagian ini bertujuan untuk
menemukan kesamaan. Keadilan distributif memberikan setiap orang apa yang
patut didapatnya atau yang sesuai dengan prestasinya seperti jasa baik (merits)
dan kecurangan atau ketercelaan (demerits), yang merupakan pekerjaaan dari
legistlatif. Keadilan distributif berlaku pada bidang hukum publik.56
Keadilan distritubitf berlaku dalam hukum publik, dan keadilan korektif
yang kedua berlaku dalam hukum perdata dan pidana. Keadilan distributif
berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama rata
diberikan oleh pencapaian yang sama rata, sama-sama bisa didapatkan oleh
anggota masyarakat, dengan mengesampingkan pembuktian matematis57
.
Aristoteles menyatakan bahwa “Distributive justice, in accordance with
geometrical proportion,” yang berarti bahwa keadilan distribusi pada dasarnya
memberikan bagian masing-masing orang sama banyaknya, tidak perlu dibedakan
apakah ia kaya atau miskin, dilakukan berdasarkan nilai yang ada di masyarakat.58
Keadilan korektif (komutatif) menurut Aristoteles adalah memberikan
setiap orang haknya atau sedekat mungkin dengan haknya (to give each one his
due) tidak sama rata. Keadilan korektif oleh Aristotetles dikaitkan dengan
pembagian yang bersifat aritmetik.59
Keadilan korektif (komutatif) merupakan
56Munir Fuady, 2007, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, (selanjutnya disebut
Munir Fuady II), h.111.
57Carl Joachim Friedrich diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, 2010, Filsafat Hukum
Perspektif Historis, Nusa Media, Bandung, h.25.
58Aristoteles, Op.Cit, h.231.
59Ibid,h.234.
pekerjaan para hakim dalam hal menjatuhkan hukuman sesuai dengan kadar
kesalahannya atau memberikan ganti rugi sesuai kerugian yang dideritanya,
sehingga tidak ada orang yang mendapatkan keuntungan atas penderitaan orang
lain. Keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu
kontrak dilanggar maka keadilan korektif berupaya memberikan kompensasi yang
memadai bagi para pihak yang dirugikan.60
Menurut The Liang Gie61
bahwa keadilan yang dikemukakan oleh
Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia (fairness in human action).
Kelayakan berada di tengah-tengah antara titik yang terlalu banyak dan terlalu
sedikit. Keadilan menurut Aristoteles menitik beratkan pada perimbangan.
Keadilan berdasarkan Aristoteles berasal dari konsep yang rasional.62
Keadilan distributif (distributive justice) berwujud suatu perimbangan
(proportion) agar merupakan keadilan, yang merupakan suatu persamaan dari dua
perbandingan (equality of ratios). Aristoteles mengemukakan “Therefore the just
is intermediate, between a sort of gain and a sort of loss,namely, those which are
involuntary, it consists in having an equal amount before and after the transaction
(Terjemahan: oleh sebab itu keadilan adalah berada pada titik tengah, antara
keuntungan dan kerugian, terutama mereka yang tidak secara sadar atau sukarela
yang berupaya mendapatkan beberapa hal sebelum dan sesudah transaksi)63
”
Ketidakadilan adalah apa yang melanggar proporsi itu. Aristoteles
60Carl Joachim Friedrich, Op.Cit, h.24.
61The Liang Gie, 1982, Teori-Teori Keadilan Sumbangan Bahan untuk Pemahaman
Pancasila, Supersukses, Yogyakarta, h. 23-25.
62E.Fernando M.Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan; Tinjauan Hukum Kodrat
dan Antinomi Nilai, Kompas Media Nusantara, Jakarta, h.13.
63Aristoteles, Op.Cit, h.238.
mengilustrasikan bahwa bagian A yang diterima sesuai dengan jasa A, dan bagian
B yang diterima sesuai dengan jasa B. Teori keadilan distributif dari Aristoteles
ini mendasarkan pada prinsip persamaan (equality).64
Keadilan korektif atau komutatif dimaksud untuk mengembalikan persamaan
dengan menjatuhkan hukuman kepada pihak yang bersangkutan. Pertukaran itu
merupakan unsur timbal balik yang proporsional (proportionate reciprocity).65
Aristoteles menyatakan bahwa “reciprocity in accordance with proportion and
not on the basis of precisely equal return66
” (pertukaran yang berdasarkan pada
proporsional bukan berdasarkan pada nilai balik yang equal atau sama). Keadilan
ini mengatur hubungan yang adil antara orang yang satu dan yang lain atau antara
warganegara yang satu dengan warga negara lainnya. Keadilan jenis ini
menyangkut hubungan horisontal antara warga yang satu dengan warga yang lain,
disebut juga sebagai keadilan komutatif atau niaga (commutative justice).
Dalam bisnis, keadilan komutatif juga disebut atau berlaku sebagai
keadilan tukar. Dengan kata lain, keadilan komutatif menyangkut pertukaran yang
adil antara pihak-pihak yang terlibat. Prinsip keadilan komutatif menuntut agar
semua orang menepati apa yang telah dijanjikannya, mengembalikan pinjaman,
memberi ganti rugi yang seimbang, memberi imbalan atau gaji yang pantas, dan
menjual barang dengan mutu dan harga yang seimbang. Keadilan perbaikan dan
keadilan komutatif bertujuan untuk memelihara ketertiban masyarakat dan
kesejahteraan umum
64The Liang Gie, Loc.Cit.
65Ibid.
66Aristoteles, Op.Cit, h.239
John Rawls mengembangkan keadilan korektif atau komutatif yang
dikemukakan oleh Aristoteles dalam teori keadilan yang disebut sebagai keadilan
sebagai kelayakan (Justice as Fairness). Menurut John Rawls keadilan akan
diperoleh jika dilakukan maksimum penggunaan barang secara merata dengan
memperhatikan dua prinsip keadilan. Rawls mendasarkan teori keadilannya
melalui pendekatan kontrak, “Justice as fairness is an example of what I have
called a contract theory”.67
Secara spesifik Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-
prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya yang
dikenal dengan posisi asali dan selubung ketidaktahuan. Setelah selubung
ketidaktahuan itu dibuka orang akan tetap secara rasional berupaya untuk
memperoleh lebih besar barang-barang. Rawls menyatakan bahwa “But from the
standpoint of the original position, it is rational for the parties to suppose that
they do want a larger share, since in any case they are not compelled to accept
more if they do not wish to” (Terjemaan: bersandar dari posisi asli, adalah rasional
apabila mereka menginginkan bagian yang lebih besar, karena dalam hal apapun
mereka tidak dipaksa untuk menerima lebih banyak apabila mereka tidak
menginginkannya), 68
Rawls berupaya untuk memposisikan adanya situasi yang sama dan
setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat serta tidak ada pihak yang
memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, seperti misalnya
kedudukan, status sosial, tingkat kecerdasan, kemampuan, kekuatan, dan lain
67John Rawls, 1999, A Theory of Justice Revised Edition, The Belknap Press of Harvard
UniversityPress, Cambrigde Massachosetts, h.14.
68Ibid, h.23.
sebagainya. Tujuan dari kesamaan tersebut adalah agar orang-orang tersebut dapat
melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang (khususnya dalam
kontrak). Teori ini jika dikaitkan dengan kontrak maka kedudukan para pihak
adalah sama sebelum kontrak dibuat, tidak ada diskriminasi, tidak ada kedudukan
pihak yang lebih kuat atau pihak yang lebih lemah, sehingga akan tercapai
pertukaran hak dan kewajiban yang adil.
Di dalam teorinya terdapat dua prinsip utama: Prinsip pertama bahwa
setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan kebebasan dasar yang paling
luas dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain, yang
dikenal dengan prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle), seperti
misalnya kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan
mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression), serta kebebasan
beragama (freedom of religion)69
.
Prinsip kedua dari teori Rawls bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi
diatur sedemikian rupa, sehingga dapat diperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi
anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan, disebut dengan prinsip
perbedaan. Jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang
dalam keadaan dimana adanya persamaan kesempatan yang adil (prinsip
persamaan kesempatan). Prinsip perbedaan dapat dibenarkan sepanjang
69John Rawls memiliki dua prinsip yaitu:” First, each person is to have and equal right to most extensive basic liberty compatible with a similar liberty for others, second: social and
economic inequalities are to be arranged so that are both (a) reasonable expected to be to
everyone‟s advantage (b) attached to position and office open to all”. (Terjemahan: pertama
bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas
kebebasan yang sama bagi semua orang. Kedua, bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi diatur
sedemikian rupa sehingga (a) memberikan keutungan bagi semua orang dan (b) semua poisis dan
jabatan terbuka bagi semua orang). John Rawls, Op.Cit, h.60 , lihat juga Agus Yudha Hernoko,
Op.Cit, h..52-53.
menguntungkan yang lemah, sehigga ketidaksamaan kesempatan akibat adanya
perbedaan kualitas kemampuan, kemauan dan kebutuhan dapat dipandang sesuatu
yang adil menurut Rawls, asalkan memberi manfaat pada orang yang kurang
beruntung atau lemah70
. Hasil kontrak tidak harus pembagian yang sama secara
matematis, namun bersifat proporsional sesuai dengan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban para pihak dalam kontrak.
Rawls menempatkan kebebasan akan hak-hak dasar sebagai nilai yang
tertinggi untuk mewujudkan masyarakat yang adil yang diikuti dengan adanya
jaminan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menduduki jabatan atau
posisi tertentu dan adanya pembedaan tertentu juga dapat diterima sepanjang
meningkatkan atau membawa manfaat terbesar bagi orang-orang yang paling
tidak beruntung. Bagi teori Rawls ini, setiap orang mempunyai hak yang sama
untuk kaya, bukan hak untuk memiliki kekayaan yang sama. Teori keadilan dari
John Rawls yang lebih menekankan pada proporsional dipakai untuk menekankan
nilai keadilan dalam kontrak tidaklah harus sama melainkan lebih megarah ke
proporsional. Hasil tidak harus sama secara matematis namun pembagian hak dan
kewajiban diantara para pihak dilakukan secara proporsional71
..
2.1.2.2. Teori kehendak (will theory) oleh Roscoe Pound
Teori kehendak dipakai dalam membahas rumusan masalah pertama dan
masalah kedua. Teori kehendak untuk menjelaskan dasar filosofi kebebasan
berkontrak yang berasal dari kehendak bebas. Kehendak bebas sebagai dasar dari
kebebasan berkontrak merupakan penjelmaan dari nilai-nilai hak asasi manusia.
70Ibid.
71John Rawls, Op.Cit, h.15.
Pelopor dari teori ini adalah Roscoe Pound dalam buku An Introduction to the
Philoshopy of law72
, menguraikan bahwa:
Putting them in the order of their currency, we may call them (1) the will
theory, (2) the bargain theory, (3) the equivalent theory, (4) the injurious-
reliance theory. That is, promises are enforced as a giving effect to the will of
those who agree, or to the extent that they are bargains or parts of bargains, or
where an equivalent for them has been rendered, or where they have been
relied on by the promisee to his injury, according to the theory chosen.
(Terjemahan: menempatkan mereka dalam urutan; kita dapat
menyebutnya (1) teori kehendak; (2) teori tawar menawar; (3) teori kesamaan,
(4) teori kerugian-ketergantungan. Adalah janji-janji dapat dipaksakan akibat
adanya kehendak dari mereka yang sepakat, atau perjanjian diakui sampai
kepada batas tawar menawar atau bagian dari tawar menawar, atau dimana
suatu kesamaan/kesetaraan terhadap janji yang telah diberikan, atau apabila
perjanjian dipercayai oleh pihak yang menerima janji atas kerugiannya,
berdasarkan pada teori-teori yang dipilih).
Teori kehendak ini menekankan pada pentingnya “kehendak” ( will atau
intend ) dari pihak yang memberikan janji. Ukuran dari eksistensi, kekuatan
berlaku dan substansi dari suatu kontrak diukur dari kehendak tersebut.
Teori kehendak (the will theory) adalah suatu kesepakatan mengikat
karena merupakan keinginan para pihak yang menginginkan kesepakatan itu
mengikat atau para pihak yang menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan
diri73
. Teori ini menekankan pada hasrat dari pihak yang memberikan janji,
ukuran dari eksistensi kontrak, kekuatan berlaku substansi diukur dari hasrat
tersebut. Dalam sebuah kontrak yang terpenting adalah apa yang mereka inginkan.
Berdasarkan teori kehendak ini maka kesepakatan mengikat karena
kehendak para pihak yang menginginkan kesepakatan itu mengikat. Para pihak
sendiri yang pada intinya menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan diri. Kata
72Roscoe Pound, 1922, An Introduction To The Philosophy Of Law, Yale University Press, h.
57.
73Ibid, p.151.
sepakat antara subyek terjadi secara sadar dan disengaja untuk menimbulkan suatu
akibat hukum berupa prestasi. Ukuran dari eksistensi, kekuatan berlaku, dan
substansi dari suatu kontrak diukur dari hasrat/kehendak tersebut. Inti dari
perjanjian adalah perwujudan kehendak para pihak. Teori ini didukung oleh
Subekti yang menyatakan bahwa "Perikatan yang lahir dari perjanjian memang
dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian.”74
Teori kehendak ini dikembangkan lagi oleh Charles Fried dalam teori
Contract as Promise dengan mengemukakan inti utama dari teorinya adalah "An
individual is morally bound to keep his promises because he has intentionally
invoked a convention whose function it is to give grounds--moral grounds--for
another to expect the promised performance. (Individu terikat pada janjinya
secara moral karena individu tersebut telah sengaja menimbulkan persetujuan
yang berfungsi ntuk memberikan dasar-dasar moral bagi orang lain untuk
mengharapkan pemenuhan perjanjian)"75
Janji itu mengikat karena pemberi janji
(promisor) telah memilih dengan sengaja (dari kehendaknya) untuk terikat dengan
janji tersebut. Penggunaan paksaan untuk melaksanakan perjanjian tersebut adalah
sah karena sejak semula pemberi janji memberikan kewenangan tersebut
berdasarkan kehendaknya untuk terikat. Kehendak dimaksud di sini adalah
kehendak bebas tanpa paksaan.
74Subekti, Op.Cit, h.3.
75Charles Fried, 1981, Contract as Promise A Theory of Contractual Obligation, Harvard
University Press, America, h.16.
Berdasarkan teori ini, maka hasrat atau kehendak yang dipakai sebagai
landasan mengikatnya kontrak menimbulkan janji76
. Kehendak yang dapat
dipaksakan berlakunya adalah kehendak yang bebas dari paksaan. Kontrak
dibangun atas dasar kepercayaan dan penghargaan terhadap orang. Pihak yang
telah membuat kontrak secara moral berkewajiban untuk melaksanakan janji-janji
karena pihak tersebut telah berjanji. Janji berasal dari apa yang diucapkan atau
diperbuat yang memberikan tanda adanya persetujuan77
. Landasan mengikat
kontrak adalah janji yang dibuat yang berdasarkan dari kehendak. Pemenuhan
akan janji merupakan pemenuhan terhadap moral. Janji dan moral tidak dapat
dipisahkan. Teori ini dipergunakan untuk memberikan landasan bahwa
keberlakuan kontrak baku adalah dibenarkan apabila terbentuk dari kehendak
yang bebas tanpa paksaan.
2.1.2.3. Teori Keseimbangan dalam kontrak (the balance theory of contracts)
oleh Joel Levin dan Banks Mc.Dowell
Teori ini dipakai untuk memberikan jawaban terhadap rumusan masalah
yang ketiga. Teori ini memberikan rujukan asas-asas yang dipakai dalam
pembuatan kontrak baku agar dapat memberikan keadilan terhadap para pihak
sehingga mampu melindungi hak asasi manusia. Teori ini dikemukakan oleh Joel
Levin dan Banks Mc.Dowell dengan awal thesis landasan kekuatan mengikatnya
76Interprestasi dari perbuatan sebagai perbuatan hukum dan kontrak sebagai suatu proses yang didasarkan atas kehendak dikemukakan pula oleh Wirjono Projodikoro yakni: Suatu perjanjian
berdasarkan atas janji seorang subjek dan janji berdasarkan kemauan orang itu berjanji. Maka
pokoknya harus ada kemauan. Akan tetapi oleh karena suatu janji tentu ditujukan kepada pihak
lain, yang kemudian mendapat hak atas pelaksanaan janji itu, kemauan orang itu baru berarti bagi
pihak lain itu, apa bila diucapkan. Bagaimanapun keluarnya dari suatu kemauan, kalau kemauan
ini disimpan saja di dalam hati sanubari seseorang, ini tidak berarti dalam hukum. (Wirjono
Projodikoro, 2000, Asas-asas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, h.27)
77Ibid, h.4-5.
kontrak adalah “A legally binding contract exists where an obligation has been
voluntarily assumed, is reasonably fair to the party against whom it is enforced, is
consistent with society‟s contractual expectations, and gives rise to no
administrative difficulties barring enforcement”(sebuah kontrak memiliki
kekuatan mengikat secara hukum apabila kewajiban yang timbul secara sukarela,
adil bagi pihak yang lainnya, konsisten dengan harapan-harapan masyarakat dalan
hubungan kontraktual, dan tidak memiliki kesulitan administrasi dalam
pelaksanaannya)78
:
Komponen kontrak yang dapat mengikat secara hukum terdiri dari
empat komponen yakni (1) Dilakukan secara sukarela (voluntariness); (2)
keadilan/kelayakan (fairness), (3) harapan-harapan hubungan kontraktual dalam
masyarakat/ketertiban umum (society‟s contractual expectations); (4) tidak ada
kesulitan adminsitrasi dalam pelaksanaannya (absence of administrative
difficulties). Komponen teori pertama dan kedua yakni “dilakukan secara sukarela
(kesukarelaan)” dan “keadilan” merupakan variabel yang berubah-ubah namun
bersifat “check and balance” artinya dalam suatu kontrak apabila tingkat
kesukarelaannya kurang maka secara proporsional keadilan harus ditingkatkan,
demikian pula sebaliknya apabila tingkat kesukarelaannya tinggi maka penekanan
pada tingkat keadilan menjadi lebih berkurang.
Kesukarelaan (voluntariness) diukur berdasarkan tindakan yang
dilakukan secara sadar (consciously) dan dipilih berdasarkan kehendak bebas
(willingly) dari pemberi janji. Semakin tinggi tingkat kesukarelaan maka semakin
78Joel Levin and Banks McDowell, “The Balance Theory of Contracts: Seeking Justice in
Voluntary Obligations”, Articles, sumber:http://lawjournal.mcgill.ca/userfiles/other-mcdowell.pdf,
diakses pada tanggal 1 November 2015.
besar kekuatan berlakunya yang dapat dipaksakan oleh hukum untuk berlakunya.
Kontrak yang di dalamnya tidak terdapat pilihan bebas (tidak ada pilihan lain)
tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sehingga menimbulkan
kebutuhan akan “keadilan/kelayakan” di dalamnya.
Keadilan atau kelayakan (fairness) adalah sebuah konsep moral yang
menjadi perdebatan sejak dahulu. Berdasarkan teori ini konsep keadilan/kelayakan
(fairness) ditandai dengan adanya pengetahuan yang cukup terhadap semua aspek
dari kontrak dan memiliki kemampuan untuk memperhitungkan akibat dari
kontrak79
. Penekanannya pada hal-hal yang secara wajar akan disepakati oleh
para pihak berdasarkan pengetahuannya bukan pada persamaan hasil yang akan
diharapka (proporsional). Pengetahuan yang penuh oleh para pihak terhadap hal-
hal yang disyaratkan dalam kontrak.
Komponen ketiga dan keempat yakni sesuai dengan ketertiban umum
(consistency with society‟s contractual expectations) 80
dan tidak ada kesulitan
administratif (administrative convenience) dalam pelaksanaanya merupakan
variable yang tergantung pada undang-undang dan bersifat relatif. Kesulitan
administratif diartikan tidak menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaanya
contohnya penentuan ganti rugi yang jelas dan dapat diukur.
79Hal ini sesuai dengan teori keadilan dari John Rawls yang menekankan pada kelayakan
dalam keadilan.
80Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa ketertiban umum yang dibuat untuk membatasi kebebasan berkontrak tidak harus dalam ruang lingkup hukum publik namun terdapat pula dalam
ruang lingkup hukum privat, ketertiban umum tidak harus selalu berupa aturan hukum yang
bersifat memaksa, melainkan dapat pula berupa asas-asas hukum. Suatu kontrak bertentangan
dengan ketertiban umum apabila bertentangan dengan asas yang fundamental dari organisasi
kehidupan bermasyarakat yang ada. Asas-asas fundamental merupakan nilai-nilai filosofis dari
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. (Lihat Peter Mahmud Marzuki, 2003, “Batas-Batas
Kebebasan Berkontrak”, Artikel, Majalah Yuridika Volume 18 No.3 selanjutnya disebut Peter
Mahmud Marzuki II, hal.215)
2.1.3. Doktrin Unconscionability
Doktrin unconscionability berkembang di Amerika Serikat, diatur dalam
Uniform Commercial Code (UCC) Section 2-302 yang menentukan bahwa81
:
(1) If the court as a matter of law finds the contract or any clause of the
contract to have been unconscionable at the time it was made, the court
may refuse to enforce the contract, or it may enforce the remainder of the
contract without the unconscionable clause as to avoid any
unconscionable result;
(2) When it is claimed or appears to the court that the contract or any clause
thereof may be unconscionable the parties shall be afforded a reasonable
opportunity to present evidence as to its commercial setting, purpose and
effect to aid the court in making the determination
(Terjemahan bebas:
(1) Apabila pengadilan berdasarkan hukum menenumkan sebuah kontrak atau
klausula dalam kontrak tidak dibuat berdasarkan hati nurani, pengadilan
dapat menolak melaksanakan kontrak, atau dapat memaksa
memperlakukan sisa kontrak tanpa adanya klausula tersebut untuk
menghindari akibat yang tidak berdasarkan moral;
(2) Apabila diklaim atau diperlihatkan kepada pengadila bahwa kontrak atau
klausula tertentu merupakan klausula yang tidak sesuai dengan hati
nurani, para pihak seharusnya diberikan kesempatan yang wajar untuk
menunjukkan bukti terkait pengaturan komersial, tujuan dan akibat-
akibat untuk membantu pengadilan membuat keputusan).
Pengertian dari unconscionability tidak diatur dalam UCC, mengakibatkan
penentuan dari unconscionability ini diserahkan kepada kebebasan hakim
(penafsiran pengadilan) terhadap fakta-fakta dari pengadilan itu sendiri. Namun
jika dilihat dari asal katanya yakni conscience yang artinya “1. the moral sense of
right and wrong; esp a moral sense applied to one‟s own judgment and action. 2.
In law, the moral rule that requires justice and honest dealings between people.
(Terjemahan bebas: Perasaan moral atau nilai moral tentang benar dan salah,
dipakai sebagai pedoman penilain dan tindakan.2. aturan moral terkait dengan
81Sumber http://www.law.cornell.edu/ucc/2/2-302, diakses pada tanggal 25 Agustus 2016.
keadilan dan tindakan jujur antara para pihak) ”82
sedangkan “conscionable”
diartikan sebagai “confirming with good conscience, just and reasonable” dan
unconscionable diartikan sebagai “consciounableness”83
artinya adalah
pelaksanaan yang dilakukan dengan berdasarkan pada hati nurani (moral), adil
dan layak atau patut, sehingga unconscionable berarti tidak dilakukan berdasarkan
moral, keadilan dan kepatutan. Berdasarkan arti kata ini maka doktrin
uncoscionabilty dapat diartikan sebagai doktrin yang menekankan pada akibat
hukum terhadap kontrak (klausula-klausula dalam kontrak) yang dibuat tidak
berdasarkan pada nilai-nilai moral, keadilan dan kepatutan.
Penekanan penggunaan doktrin ini untuk menilai klausula eksemsi.
Doktrin ini menegaskan bahwa suatu kontrak dapat dibatalkan oleh pihak yang
dirugikan manakala dalam kontrak tersebut terdapat klausula yang tidak adil dan
sangat memberatkan salah satu pihak, walaupun kedua belah pihak telah
menandatangani kontrak yang bersangkutan.84
Doktrin ini mengacu kepada posisi
tawar menawar dalam kontrak yang berat sebelah karena tidak terdapat pilihan
bagi pihak lainnya.
Batalnya kontrak pada umumnya disebabkan adanya posisi tawar
meneawar dalam kontrak yang tidak seimbang (kedudukan para pihak tidak
seimbang) akibat tidak adanya pilihan lain. Alasan-alasan yang dapat mendasari
pembatalan kontrak karena ketidakadilan adalah atas dasar tidak terpenuhinya
82Bryan A Garner, Black‟s Law Dictionary, Ninth Edition, West Publishing, USA, h.345.
83Ibid.
84Munir Fuady, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya
Bakti,Bandung, selanjutnya disebut Munir Fuady III), h.52-53.
unsur kesepakatan (Pasal 1320 KUHPer), kontrak melanggar ketertiban umum
atau kesusilaan (Pasal 1337 KUHPer).
Indikator ditemukannya ketidadilan dalam kontrak ada pada isi klausula
dan asumsi resiko yang diambil oleh para pihak. Indikatornya adalah dengan
melihat apakah dalam suatu kontrak terdapat klausula yang memihak ke salah satu
pihak sehingga menyebabkan kedudukan menjadi tidak seimbang pada saat
kontrak dibuat. Dilihat dari asumsi resiko yang menekankan walaupun pihak-
pihak yang terlibat kontrak tidak membaca isi kontrak namun secara hukum
dianggap telah mengasumsi resiko dari isi kontrak, namun dengan pembatasan
memiliki kedudukan yang seimbang.85
Doktrin ini dibedakan menjadi dua yakni yang bersifat prosedural dan
yang bersifat substantif. Procedural unconscionability berkaitan dengan prosedur
atau cara-cara terbentuknya kontrak sedangkan substantive unconscionability
lebih pada materi atau substansi kontrak. Procedural unconscionability adalah
ketidakadilan yang disebabkan karena klausula kontrak sebagai akibat dari
kedudukan para pihak yang tidak seimbang pada saat pembuatan kontrak.
Substantive unconscionability adalah klausula dalam kontrak yang bersifat berat
sebelah tanpa menghubungkannya dengan kedudukan para pihak, menekankan
pada isi kontrak, lebih bersifat material.86
2.1.4. Asas-asas hukum kontrak
Asas hukum merupakan landasan lahirnya suatu norma hukum.
Pengujian suatu norma hukum akan selalu dikembalikan kepada asas yang
85Ibid, h.53-54.
86Ibid
mendasarinya. Asas hukum itu ditemukan dalam hukum positif, dalam sistem
peraturan-peraturan, keputusan-keputusan dan lembaga-lembaga dalam
keseluruhannya, akan tetapi disamping yang positif itu asas hukum berisi
penilaian susila, pemisahan yang baik dari yang buruk, yang menjadi landasan
hukum.87
Keberadaan asas hukum dalam sebuah sistem hukum diibaratkan
sebagai “otak” dalam tubuh manusia.88
Otak mempunyai fungsi yang sangat vital,
sebagai pusat pengaturan segala fungsi tubuh manusia, demikian pula dengan asas
hukum, menjadi pusat pemikiran sistem hukum. Satjipto Rahardjo bahkan
menyatakan bahwa asas hukum merupakan “jantungnya” peraturan hukum.89
Pentingnya peranan asas hukum baik sebagai “otak” maupun “jantung”
dari peraturan hukum, yang maknanya memberikan landasan bagi lahirnya suatu
peraturan hukum. Asas hukum lahir lebih dahulu dibandingkan dengan peraturan
hukum, sehingga sesuai dengan pendapat dari Bruggink bahwa:
Pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem
hukum, masing-masing dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan
keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.90
Beberapa sarjana mencoba menguraikan arti dan pengertian dari asas
yang dimaksud. Sudikno berpendapat bahwa:91
Asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, asas hukum merupakan
pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan
konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang
87Paul Scholten, 1992, Mr. C Asser: Penuntun Dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda,
terjemahan Siti Soemarti Hartono, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, h.89.
88Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, h.71
89Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.85
90J.J.H.Bruggink, 1996, Op.Cit., h. 119-120.
91Sudikno, 2010, Penemuan Hukum, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, h.7.
terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang
merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat
atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut.
Pendapat dari Sudikno didukung oleh Niewnhuis dengan menguraikan
bahwa asas hukum berfungsi sebagai pembangun sistem dengan menyatakan
bahwa:
Asas hukum berfungsi sebagai pembangun sistem karena asas-asas itu
bukan hanya mempengaruhi hukum positif, tetapi juga di dalam banyak
keadaan menciptakan suatu sistem. Jadi suatu sistem tidak akan ada tanpa
adanya asas-asas. Lebih lanjut asas-asas itu sekaligus membentuk sistem
“check and balance”, artinya asas-asas itu akan saling tarik menarik menuju
proses keseimbangan.92
Asas hukum dapat memberikan arah dalam segala peraturan yang ada. Hal
ini sesuai dengan pendapat dari Bachsan Mustafa yang dikutip oleh Agus Yudha
Hernoko bahwa “Asas hukum berfungsi sebagai pondasi yang memberikan arah,
tujuan, serta penilaian fundamental, mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis.” 93
Asas hukum sebagai salah satu fondasi dasar dalam pengembangan ilmu
hukum, merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan
hukum dan sebagai ratio legis dari peraturan hukum. Asas hukum tidak akan
habis kekuatannya melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja
ada dan melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya.94
Fungsi asas-asas hukum kontrak pada intinya bertujuan untuk
mewujudkan keadilan, menjamin kepastian hukum, dan memberikan manfaat
92Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., h.25.
93Ibid, h.23.
94Satjipto Rahardjo, Op.Cit, ,h.45.
ekonomis bagi para pihak pembuat kontrak. Berkaitan dengan fungsi tersebut
dapat dikelompokkan menjadi dua fungsi yakni95
:
(1) asas-asas hukum kontrak yang membangun konstruksi hukum kontrak
yakni asas-asas hukum kontrak yang fungsinya membangun fondasi
bagi konstruksi hukum kontrak dan menempatkan kedudukan hukum para
pihak dalam kontrak setara, jelas dan konkrit;
(2) asas-asas hukum kontrak yang mengarah pada substansi hukum kontrak,
yaitu asas-asas hukum kontrak yang berkaitan dengan isi kontrak meliputi
hak-hak dan kewajiban dalam hubungan-hubungan hukum kontraktual
yang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan
kesusilaan.
Intinya asas-asas dalam hukum kontrak saling menunjang dan secara
simultan membentuk aturan-aturan yang berkaitan dengan kontrak. Penerapan
asas-asas tersebut bersifat kasuistis artinya dalam kasus-kasus tertentu terdapat
asas-asas yang lebih menonjol dibandingkan asas-asas lainnya.
Di dalam hukum kontrak, dikenal beberapa asas yang penting bagi kontrak.
M Isnaeni sebagaiman dikutip oleh Muhammad Syaifuddin menegaskan beberapa
asas hukum sebagai pilar utama hukum dimana asas kebebasan berkontrak yang
dibantu dengan asas-asas lain sebagai penyangga berdasar proporsi yang
seimbang yakni asas pacta sunt servanda, asas kesederajatan, asas privity of
contract, asas konsensualisme, asas itikad baik.96
Seminar tentang “Reformasi
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata” yang diselenggarakan oleh Badan
95Muhammad Syaifuddin, Op.Cit., h.76-77.
96Ibid, h..75
Pengembangan Hukum Nasional (BPHN) pada Tahun 1981 mengemukakan
beberapa asas yakni asas kebebasan untuk mengadakan kontrak, asas menjamin
perlindungan bagi kelompok-kelompok ekonomi lemah, asas itikad baik, asas
keselarasan, asas kesusilaan, asas kepentingan umum, asas kepastian hukum, asas
pacta sunt servanda.97
Mariam Darus Badrulzaman menguraikan 10 (sepuluh) asas-asas hukum
kontrak yakni (1) asas perjanjian yang sah adalah undang-undang; (2) asas
kebebasan berkontrak; (3) asas konsensualisme; (4) asas kepercayaan; (5) asas
kekuatan mengikat; (6) asas persamaan hukum; (7) asas keseimbangan; (8) asas
kepastian hukum; (9) asas moral; (10) asas kepatutan.98
Berkaitan dengan beberapa asas-asas hukum kontrak tersebut yang akan
dibahas dalam penulisan ini adalah yang paling bersinggungan dengan kontrak
baku sebagai asas yang menempatkan kedudukan para pihak seimbang, sebagai
fondasi landasan kontrak baku yakni:
(1) asas kebebasan berkontrak;
(2) asas kekuatan mengikat kontrak sebagai undang-undang (pacta sunt
servanda);
(3) asas konsensualitas;
(4) asas itikad baik;
(5) asas keseimbangan;
(6) asas proporsionalitas;
(7) Asas perlindungan.
97Ibid, h.76.
98Mariam Darus Badrulzaman dkk, Op.Cit, h.82-89.
Guna lebih memperjelas maksud dan pengertian dari asas-asas tersebut maka
dapat dijelaskan satu persatu yakni.;
Ad. (1) asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dikenal dengan istilah “partij otonomie”
atau “freedom of contract” atau “liberty of contract”. Istilah yang kedua lebih
umum digunakan daripada istilah yang pertama dan ketiga. Asas kebebasan
berkontrak bersifat universal, dianut oleh hukum kontrak di semua negara pada
umumnya. Penekanan utama terhadap asas kebebasan berkontrak karena asas ini
yang akan dijadikan “pintu masuk” nilai-nilai hak asasi manusia dalam kontrak.
Fungsi asas kebebasan berkontrak ditekankan oleh Atiyah99
yang
menyatakan bahwa kebebasan berkontrak"(it) is one of the most fundamental
features of the law of contract”. Prinsip ini berarti bahwa kebebasan berkontrak
didasarkan pada kesepakatan timbal balik dan kebebasan tersebut berasal dari
pilihan yang bebas dari para pihak yang tidak dipengaruhi oleh campur tangan
pihak lain
Pelaksanaan terhadap asas kebebasan berkontrak tidak dapat dilakukan
tanpa batas, sehingga diperlukan pembatas berupa asas-asas lainnya seperti itikad
baik, keseimbangan, konsensualisme. Kebebasan berkontrak merupakan suatu hal
yang mendasar dan sebagai inti dari individu dan masyarakat dalam
pengembangan aktivitas kehidupan pribadi di dalam lalu lintas kemasyarakatan.
Kebebasan berkontrak ditinjau dari dua sudut yakni dalam arti material dan
99P.S. Atiyah, 1984, An Introduction To The Law Of Contract, Clarendo Press, Oxford,
h.7
formal100
.
Arti material dari kebebasan berkontrak memberikan kepada sebuah
perjanjian isi atau substansi yang dikehendaki dan subyek hukum tidak terikat
pada tipe-tipe kontrak tertentu. Pembatasan-pembatasan kontrak hanya dalam
bentuk ketentuan-ketentuan umum yang mensyaratkan bahwa isi tersebut harus
merupakan sesuatu yang halal dan menerapkan aturan-aturan khusus, berupa
hukum memaksa bagi jenis-jenis persetujuan-persetujuan tertentu, misalnya
ketenagekerjaan dan sewa menyewa. Kebebasan berkontrak dalam arti material
dikenal dengan sistem terbuka persetujuan-persetujuan.
Arti formal dari kebebasan berkontrak yakni sebuah persetujuan dapat
diadakan menurut cara yang dikehendaki. Pada prinsipnya tidak diperlukan
persyaratan apa pun tentang bentuk, hanya memerlukan persesuaian kehendak
atau kesepakatan antara para pihak. Kebebasan berkontrak dalam arti formil
dinamakan prinsip konsensualitas. Kedua arti dari kebebasan berkontrak tersebut
baik sistem terbuka dan konsensualitas akan memiliki arti jika dikaitkan dengan
akibat hukum dari suatu kontrak, yakni kekuatan mengikatnya101
Asas kebebasan berkontrak lahir pada abad pertengahan di Eropa bersamaan
dengan munculnya teori ekonomi klasik laissez faire yang merupakan reaksi dari
mercantile system.102
Sistem ini dirasakan kurang adil karena dalam
meningkatkan upaya untuk pertumbuhan ekonomi, sistem ini hanya memberikan
100Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra
Aditya Bakti, Bandung,(selanjutnya disebut Herlien Budiono I), h.12
101Lihat Pasal 1338 kalimat 1 KUHPER yang menentukan bahwa “semua persetujuan yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
102Essel R.Dillaovou (et.al), 1962, Principle of Bussines Law, New Jersey, Prentice Hall Inc,
h.51-55.
hak-hak istimewa bagi kelompok-kelompok tertentu, dan tidak memberikan
kebebasan ekonomi kepada semua pelaku ekonomi.
Adam smith sebagai peletak dasar pemikiran ekonomi modern menekankan
pada tiga prinsip dasarnya yakni Pertama, dorongan psikologis yang utama dari
manusia sebagai mahluk ekonomi adalah dorongan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Kedua, adanya keteraturan atau ketertiban alami (natural order) di
alam semseta ini yang menyebabkan setiap orang berusaha untuk memperoleh
kepentingannya sendiri telah menambah kebaikan (social good). Ketiga,
berdasarkan kedua pemikiran tersebut, dikemukakan bahwa program yang terbaik
adalah membiarkan proses ekonomi berjalan tanpa campur tangan, yaitu
sebagaimana yang kemudian dikenal sebagai laizzes faire, ekonomi liberal, atau
non intervensionisme.103
Adam Smith, dalam bukunya “An Inqury into the Nature and Causes of
the Wealth of Nations” mengatakan bahwa sistem merkantilis tidak memajukan
pertumbuhan ekonomi suatu negara, melainkan menghambat pertumbuhan
ekonomi dan kemajuan negara tersebut.104
Berdasarkan aliran tersebut asas
kebebasan berkontrak muncul dengan memberikan kebebasan kepada individu
untuk melakukan kontrak tanpa campur tangan pemerintah. Asas ini yang
merupakan manifestasi dari paham liberalism membangun dua postulat yakni
perikatan yang lahir dari hubungan kontraktual adalah dibolehkan dengan syarat
hubungan kontraktual dibuat dalam dalam keadaan bebas dan benar.
Eksistensi asas kebebasan berkontrak adalah saling mempertahankan
103Adam Smith, 1965, The Wealth of Nations, The Modern Library, New York, 1965, h.viii.
104Sonny Keraf, 1996, Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah, Kanisius, Yogyakarta,
(selanjutnya disebut Sonny Keraf I), h.214.
eksistensi masing-masing pihak. Dwi Astuti Mochtar sebagaimana diuraikan oleh
Mohammad Syaifuddin berpendapat bahwa setiap kontrak dilandaskan pada
prinsip aequitas praestations, yaitu prinsip yang mendekati adanya kepantasan
menurut hukum yang pernah berkembang pada abad pertengahan. Prinsip itu
menekankan bahwa orang yang mengadakan kontrak harus memperhatikan
masalah keadilan, sehingga dapat mempertahankan eksistensi masing-masing
pihak105
. Fungsi menjaga eksistensi para pihak dipakai sebagai alat uji untuk
syahnya suatu kontrak.
Di Indonesia, asas kebebasan berkontrak terkandung dalam Pasal 1338
kalimat pertama KUHPer yang memuat ketentuan normatif bahwa “semua
kontrak yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Menurut Sutan Remi Sjahdeini asas kebebasan berkontrak meliputi
ruang lingkup:106
1) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat kontrak;
2) Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat kontrak;
3) Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari kontrak yang akan
dibuatnya;
4) Kebebasan untuk menentukan objek kontrak;
5) Kebebasan untuk menentukan bentuk kontrak;
6) Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang
yang bersifat opsional (aanvullend, optional)
Asas kebebasan berkontrak membebaskan para pihak menentukan apa saja
yang ingin diperjanjikan sekaligus menentukan apa saja yang tidak dikehendaki
untuk dituangkan dalam kontrak, namun pelaksanaan asas ini tidak dilakukan
tanpa batas. Udin Silalahi menyebut, bahwa asas kebebasan berkontrak bagi setiap
105Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, h.87.
106Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit, h.47.
individu memiliki dua pengertian sekaligus, yaitu kebebasan melakukan
perjanjian dan kebebasan membuat isi perjanjian.107
Asas kebebasan berkontrak
yang tertuang dalam Pasal 1338 kalimat pertama KUHPer ditafsirkan dan
dipahami secara sistemik dengan pasal-pasal lainnya dalam KUHPer yaitu:108
1) Ketentuan imperatif yang menentukan syarat-syarat sahnya kontrak
(Pasal 1320 KUHPer);
2) Ketentuan limitatif yang melarang pembuatan kontrak tanpa sebab atau
causa, atau pembuatan kontrak berdasarkan sebab atau causa yagn
dilarang, sehingga berakibat hukum kontrak itu tidak mempunyai
kekuatan mengikat (Pasal 1335 KUHPer);
3) Ketentuan limitatif yagn menentukan bahwa suatu sebab adalah
terlarang, jika dilarang oleh undang-undang, atau jika berlawanan dengan
kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 1337 KUHPer);
4) Ketentuan imperatif yagn mengharuskan suatu kontrak dilaksanakan
dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPer);
5) Ketentuan imperatif yagn mengikat kontrak dengan sifat, kepatutan,
kebiasaan dan undang-undang (Pasal 1339 KUHPer);
6) Ketentuan enumeratif yang mengatur hal-hal yang menurut kebiasaan
selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan dalam kontrak
yagn dikenal dengan istilah”bestandiggebruikelijk beding” (Pasal 1347
KUHPer).
Ad (2) asas kekuatan mengikat kontrak sebagai undang undang (pacta sunt
servanda)
Asas ini merupakan asas yang memberikan akibat hukum dari adanya
kontrak. Herlien Budiono109
mengemukakan bahwa asas ini melandasi pernyataan
bahwa suatu kontrak akan mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan karena itu
para pihak terikat untuk melaksanakan kesepakatan kontraktual. Suatu
kesepakatan harus dipenuhi dianggap sudah terberi dan tidak dipertanyakan
kembali. Keterikatan suatu kontrak terkandung di dalam janji yang dilakukan oleh
para pihak sendiri.
107M. Udin Silalahi, “Dasar Hukum Obligation To Contract”, Artikel, Jurnal Hukum Bisnis,
Vol. 22, No. 2, Tahun 2003, h.92.
108Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, h.90.
109Herlien Budiono I, Op.Cit, ,hal.30-31
Niewenhuis sebagaimana dikutip oleh Agus Yudha Hernoko,
menyatakan bahwa kekuatan mengikat dari kontrak yang muncul seiring dengan
asas kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan dan kemandirian kepada
para pihak, pada situasi tertentu daya berlakunya dibatasi oleh dua hal yakni itikad
baik (Pasal 1338 kalimat ketiga KUHPer) dan adanya overmacht atau force
majeure.110
Asas mengikat sebagai undang-undang (pacta sun servanda) adalah
asas dalam kontrak yang mengikat pihak-pihak yang mengadakannya atau setiap
perjanjian harus ditaati dan ditepati.
Kekuatan mengikat kontrak sebagai undang-undang menentukan bahwa
para pihak harus tunduk dan patuh pada ketentuan kontrak yang mereka buat
sebagaimana tunduk dan patuh kepada undang-undang. Apabila ada pihak yang
melanggar ketentuan dan persyaratan di dalam kontrak dapat dikenakan sanksi
seperti juga pelanggaran terhadap undang-undang.
Di Indonesia asas ini dapat dilihat dari Pasal 1338 kalimat pertama
KUHPer yang menentukan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang undang bagi mereka yang membuatnya.” Ketentuan ini
memberi dasar bahwa setiap subyek hukum dan sesama subyek hukum lainnya
dapat melakukan perbuatan hukum seolah-olah sebagai pembentuk undang-
undang melalui kontrak. Pasal 1338 (1) KUH Perdata secara tegas menetapkan
suatu kontrak mempunyai daya kekuatan mengikat sebagai undangundang,
bahkan berlaku sebagailex specialis terhadap ketentuan umum yang berlaku dan
110Agus Yudha Hernoko,Op.Cit, hal.129
mengikat para pihak yang menandatangani kontrak tersebut.111
Berdasarkan hal
tersebut kontrak dianggap sebagai sumber hukum perikatan selain undang-undang
yang berarti setiap subyek hukum dapat membentuk hukum (hukum kontrak)
sama halnya dengan pembentuk undang-undang.
Menurut Van Appeldoorn, kontrak dianalogikan dengan undang-
undang, yang menyamakan hingga batas tertentu pembuat kontrak sebagai
pembuat undang-undang (legislator swasta) dan dibedakan melalui daya
berlakunya. Undang-undang berlaku sesuai prosedur dan proses mengikat semua
orang dan bersifat abstrak, sedangkan kontrak mempunyai daya berlaku terbatas
bagi para pihak yang bermaksud melakukan suatu perbuatan hukum yang
konkrit.112
Para pihak yang membuat kontrak memiliki kekuasaan untuk mengatur
bentuk dan substansi kontrak yang dibuat secara sah, sehingga mempunyai daya
berlaku sebagaimana undang-undang yang dibentuk oleh legislator dan memiliki
konsekwensi harus ditaati oleh para pihak yang membuat kontrak tersebut.
Pelaksanaan kontrak tersebut dapat melalui upaya paksa dengan bantuan sarana
penegakan hukum melalui proses gugatan ke pengadilan agar bagi para pihak taat
terhadap isi kontrak.
Asas hukum ini, telah meletakkan kontrak sebagai salah satu sumber
hukum bagi mereka yang membuatnya. Perumusan Pasal 1338 kalimat pertama
KUHPer tersebut memuat dua asas hukum secara bersamaan, yakni asas
111Ricardo Simanjuntak, “Akibat Dan Tindakan-Tindakan Hukum Terhadap Pencantuman
Klausula Baku Dalam Polis Asuransi Yang Bertentangan Dengan Pasal 18 Undang-Undang No.
8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen”, Artikel, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22, No. 2, Tahun
2003, (selanjutnya disebut Ricardo Simanjutak II), h. 56
112Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, h.93.
kebebasan berkontrak dan asas mengikat sebagai undang-undang yang menurut
logika hukum berarti:
1) Kedua asas hukum tersebut tidak boleh bertentangan satu dengan yang
lainnya;
2) Kontrak baru akan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak
dalam kontrak tersebut, apabila di dalam pembuatannya terpenuhi asas
kebebasan berkontrak yang terdiri atas lima macam kebebasan.113
Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk menentukan isi, bentuk,
pihak, causa dan kesediaan untuk membuat kontrak.
Asas bahwa para pihak harus memenuhi apa yang telah mereka sepakati
sebagai kewajiban masing-masing karena kontrak merupakan undang-undang bagi
pihak-pihak yang mengadakannya dan kekuatan mengikatnya dianggap sama
dengan kekuatan undang-undang, sehingga istilah pacta sunt servanda berarti
“janji itu mengikat”. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata
terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur
lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan secara moral.114
ad (3) asas konsensualitas;
Asas konsensualisme berasal dari kata latin “consensus” yang artinya
sepakat. Para pihak sepakat atau setuju mengenai prestasi yang diperjanjikan.
Dikaitkan dengan Pasal 1338 kalimat pertama KUHPer yang menyatakan bahwa
”Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Kata “sesuai dengan undang-
113Johannes Gunawan I, Op.Cit, h.48.
114Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Op.Cit, h.88.
undang” berarti bahwa pembuatan perjanjian yang sesuai dengan undang-undang
atau hukum adalah mengikat. Sesuai dengan undang-undang berarti memenuhi
keempat syarat yang terkandung di dalam Pasal 1320 KUHPer.
Di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling
mengikatkan dirinya dan menimbulkan kepercayaan diantara para pihak terhadap
pemenuhan kontrak. Setiap kontrak yang telah di buat mengikat para pihak yang
membuatnya jika sudah tercapai kata sepakat mengenai prestasi atau hal pokok
dari suatu perjanjian.115
Asas ini merupakan dasar dari suatu kontrak, namun demikian pada
situasi tertentu terdapat kontrak yang tidak mencerminkan kesepakatan yang
sesungguhnya disebabkan karena adanya cacat kehendak karena kesesatan
(dwaling), penipuan (bedrog) atau paksaan (dwang) yang mempengaruhi
timbulnya pelaksanaan kontrak.
Sebagaimana yang tersirat dalam pasal 1320 KUHPer, bahwa sebuah
kontrak sudah terjadi dan karenanya mengikat para pihak sejak terjadi kata
sepakat. Kontrak-kontrak yang tunduk pada asas konsensualitas, saat terjadinya
kesepakatan merupakan saat terjadinya kontrak.116
Kekuatan mengikat dari suatu
kontrak adalah lahir ketika telah adanya kata sepakat, dimana para pihak yang
berjanji telah sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam suatu perbuatan hukum.
ad (4) Asas itikad baik
Asas itikad baik tertuang dalam kalimat ketiga Pasal 1338 KUHPer
kalimat ketiga yang menentukan bahwa “Persetujuan harus dilaksanakan dengan
115Muhammad Syaifuddin,Op.Cit,h.77
116Riduan Syahrani, 2000, Seluk Beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,
h.214.
itikad baik.” Kendalanya, dalam pasal tersebut tidak disebutkan secara eksplisit
apa yang dimaksud dengan itikad baik sehingga orang akan menenui kesulitan
dalam menafsirkan dari itikad baik itu sendiri. Makna “itikad baik” menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh,
maksud, kemauan (yang baik).117
Itikad baik merupakan suatu pengertian yang abstrak yang berhubungan
dengan apa yang ada dalam alam pikiran manusia. Sampai saat ini tidak ada
makna tunggal itikad baik dalam kontrak, sehingga masih terjadi perdebatan
mengenai bagaimana sebenarnya makna dari itikat baik itu. Itikad baik para pihak,
haruslah mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang ditengah masyarakat,
sebab itikad baik merupakan bagian dari masyarakat. Dalam praktek pelaksanan
kontrak sering ditafsirkan sebagai hal yang berhubungan dengan kepatuhan dan
kepantasan dalam melaksanakan suatu kontrak.
Berdasarkan Simposium Hukum Perdata Nasional yang diselenggarakan
oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), itikad baik diartikan sebagai:
a) Kejujuran pada waktu membuat perjanjian;
b) Pada tahap pembuatan ditekankan, apabila perjanjian dibuat dihadapan
pejabat yang berwenang, para pihak dianggap beritikad baik.
c) Sebagai kepatutuan dalam tahap pelaksanaan.118
Menurut Wirjono Prodjodikoro dan Subekti, itikad baik (te goeder trouw)
yang sering diterjemahkan sebagai kejujuran, dibedakan menjadi dua macam,
117Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa-Depdikbud RI, 1997, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h.369.
118Ridwan Khairandy, 2003, “Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak”, Disertasi, Program
Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, (selanjutnya
disebut Ridwan Khairandy I), h.141.
pertama, itikad baik pada waktu akan mengadakan hubungan hukum atau
kontrak, dan kedua, itikad baik pada waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut.119
Itikad baik pada waktu
akan mengadakan kontrak berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa
syarat-syarat dimulainya hubungan hukum telah terpenuhi. Itikad baik ini
terkandung dalam Pasal 1977 dan 1963 KUHPer, yang menentukan syarat untuk
memperoleh hak milik atas barang melalui daluwarsa. Itikad baik jenis ini bersifat
subjektif dan statis.
Itikad baik jenis kedua yakni itikad baik pada waktu melaksanakan
kontrak diatur dalam Pasal 1338 kalimat ketiga KUHPer bersifat objektif dan
dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya serta titik beratnya pada
tindakan yang akan dilaksanakan oleh kedua belah pihak atas kontrak yang telah
disepakati.120
Arthur S.Hartkamp121
memberikan dua model pengujian terhadap
adanya itikad baik yang bersifat objektif dan dinamis yakni pertama, pengujian
objektif yang dikaitkan dengan kepatutan yang ditekankan pada tindakan yang
dilakukan dengan patut, kedua, pengujian subjektif yang dikaitkan dengan
keadaan karena ketidaktahuan (lack of notice). Pengujian dilakukan untuk setiap
tahap kontrak, baik tahap prakontrak, tahap penandatanganan, tahap pelaksanaan.
Sifat dari itikad baik dapat berupa subjektif, dikarenakan terhadap
perbuatan ketika akan mengadakan hubungan hukum maupun akan melaksanakan
perjanjian adalah sikap mental dari seseorang. Banyak penulis ahli hukum
Indonesia menganggap itikad baik bersifat subjektif. Akan tetapi sebagaimana
119Riduan Syahrani, .Op.Cit., h.260.
120Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, h.95.
121Ibid, h.96.
pendapat Wirjono Projodikoro yang dikutip oleh Riduan Syahrani para kalangan
ahli hukum Belanda antara lain Hofmann dan Vollmar menganggap bahwa
disamping adanya pengertian itikad baik yang subjektif, juga ada itikad baik yang
bersifat objektif, oleh mereka tidak lain maksudnya adalah kepatutan (billikheid,
redelijkheid).122
Berdasarkan teori klasik hukum kontrak, asas itikad baik dapat
diterapkan dalam situasi dimana kontrak sudah memenuhi syarat hal tertentu.
Permasalahan timbul akibat ajaran ini tidak melindungi pihak yang menderita
kerugian dalam tahap pra kontrak atau tahap perundingan, karena dalam tahap ini
perjanjian belum menenuhi syarat tertentu.123
Untuk menjawab hal tersebut maka
beberapa sarjana memberikan dasar keberlakuan itikad baik yang dibedakan pada
pra kontrak dan pasca kontrak.
Menurut Ridwan Khairandy asas itikad baik dalam kontrak dibedakan
antara itikad baik pra kontrak (precontractual good faith) dan itikad baik
pelaksanaan kontrak (good faith on contract performance).124
Itikad baik dalam
fase pra kontrak disebut juga sebagai itikad baik subjektif, sedangkan itikad baik
dalam tahap pelaksanaannya disebut sebagai itikad baik objektif. Itikad baik
subjektif adalah itikad baik yang harus ada pada saat para pihak melakukan
negoisasi dan bermakna kejujuran. Bersifat subjektif karena didasarkan pada
kejujuran para pihak yang melakukan negoisasi.
122Ibid,h.262.
123Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Jakarta, h.5.
124Ridwan Khairandy, 2013, Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan
(Bagian Pertama), FH UII Press, Yogyakarta,(selanjutnya disebut Ridwan Khairandy II), h.91-92.
Itikad baik pada pra kontrak dapat ditemukan pada UUPK yang
mengakui bahwa itikad baik sudah harus ada sebelum ditandatangani perjanjian,
sehingga janji-janji pra kontrak dapat diminta pertanggungjawaban berupa ganti
rugi, apabila janji tersebut diingkari.125
Itikad baik objektif ditekankan pada isi
kontrak yang bersifat rasional dan patut. Isi kontrak berkaitan dengan hak dan
kewajiban para pihak yang melakukan kontrak..
Asas itikad baik menjadi salah satu instrumen hukum untuk membatasi
kebebasan berkontrak dan kekuatan mengikatnya perjanjian. Artinya bahwa
kontrak harus dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Itikad baik meliputi
segala tahapan hubungan kontraktual, baik dari fase pra kontrak, fase kontrak, dan
fase pasca kontrak. Itikad baik mendasari seluruh proses pembuatan kontrak,
sehingga fungsi dari Pasal 1338 kalimat ketiga KUHPer bersifat dinamis
mengikuti seluruh proses kontrak.
Dalam hukum kontrak itikad baik memiliki tiga fungsi yaitu, fungsi
yang pertama, semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, fungsi
kedua adalah fungsi menambah yaitu hakim dapat menambah isi kontrak dan
menambah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kontrak itu
sedangkan fungsi ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan (beperkende en
derogerende werking vande geode trouw).126
Dalam pelaksanaanya asas ini kerap
bersinggungan dengan “keadaan memaksa” dan “penyalahgunaan keadaan”.
ad (5) Asas keseimbangan
125Ibid., h. 8-9.
126Ibid, h. 33.
Kata “keseimbangan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
“keadaan seimbang (seimbang-sama berat, setimbang, sebanding,
setimpal)”127
Makna keseimbangan dijelaskan oleh AB Massier & Marjanne
Termorshuizen-Art sebagaimana dikutip oleh Muhammad Syaifuddin dengan
mengajukan pengertian “ketidakseimbangan” (onvenwichtigheid,
onevenredigheid), dengan memakai indikasi adanya penyalahgunaan keadaan
karena adanya ketidaseimbangan kedudukan para pihak.128
Asas keseimbangan adalah suatu asas yang dimaksudkan untuk
menyelaraskan asas-asas pokok hukum kontrak yang dikenal dalam KUHPer
dengan jiwa dan semangat bangsa Indoensia.129
Kesetaraan para pihak dalam
membuat sebuah perjanjian merupakan landasan dari asas keseimbangan. Asas
keseimbangan diterangkan oleh Mariam Darus Badrulzaman yakni;
Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan
perjanjian itu. Asas keseimbangan merupakan kelanjutan dari asas persamaan.
Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut pelaksanaan prestasi melalui
kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan
perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan
kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan
itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang130
.
Menurut Agus Yudha Hernoko yang mengutip pendapat AB Massier
dan Marjanne Termorshuizen-Arts bahwa dalam hubungan perikatan, makna
seimbang adalah menurut imbangan, dengan memberi contoh pelunasan harus
dianggap berlaku untuk masing-masing utang menurut imbangan jumlah masing-
127Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Depdikbud RI,
Op.Cit, h.373.
128Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, h.97.
129Herlien Budiono, 2006, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia
Berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut
Herlien Budiono II), h.33.
130Mariam Darus Badrulzaman I, Op.Cit, h .43.
masing.131
Keseimbangan diartikan dengan kesamaan, sebanding dalam jumlah,
ukuran atau posisi. Dalam kaitan dengan kontrak baku, maka asas keseimbangan
diartikan pada keseimbangan posisi para pihak.
Asas keseimbangan, menurut Herlien Budiono, dilandaskan pada upaya
mencapai suatu keadaan seimbang yang sebagai akibat darinya harus
memunculkan pengalihan kekayaan secara absah. Tidak terpenuhinya
keseimbangan berpengaruh terhadap kekuatan yuridikal suatu perjanjian. Dalam
terbentuknya perjanjian, ketidakseimbangan dapat muncul, karena perilaku para
pihak sendiri mapun sebagai konsekuensi dari substansi (muatan isi) perjanjian
atau pelaksanaan kontrak. Keadaan seimbang diharapkan dapat mencegah
kerugian di antara para pihak dalam suatu kontrak.132
Penekanan pada asas keseimbangan pada keseimbangan posisi para pihak.
Hal-hal yang dapat menggangu keseimbangan kontrak adalah cara terbentuknya
kontrak yang melibatkan pihak-pihak yang tidak memiliki kedudukan yang sama.
Ketidaksamaan kedudukan tersebut menghalangi terwujudnya kehendak untuk
mewujudkan keadilan dalam pertukaran ekonomi atas barang dan jasa yang
dijanjikan dalam kontrak. Dalam hal terjadi ketidaseimbangan posisi yang
menimbulkan gangguan terhadap isi kontrak diperlukan campur tangan dari badan
kekuasaan (hakim). Tujuan dari asas keseimbangan adalah hasil akhir yang
menempatkan posisi para pihak seimbang (equal) dalam menentukan hak dan
kewajibannya.
Ad (6). Asas proporsionalitas
131Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, h.75.
132Herlien Budiono II, Op.Cit., h.317-318.
Makna asas proporsionalitas diberikan oleh Peter Mahmud Marzuki yang
menyamakan dengan istilah “equitability contract” dengan unsur justice dan
fairness133
. Makna “equability” sebagai suatu hubungan yang setara, tidak berat
sebelah dan adil (fair), artinya hubungan kontraktual berjalan secara proporsional
dan wajar. Asas ini lahir akibat adanya asas aequitas praestasionis yaitu asas yang
menghendaki jaminan keseimbangan dan ajaran justum prestitum, yaitu
kepantasan menurut hukum. Kontrak berawal dari tidak samanya kedudukan para
pihak namun hal tersebut tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak yang lebih
dominan untuk mengambil keuntungan secara tidak layak.
Asas proporsionalitas menekankan pada bagian masing-masing pihak yang
tidak harus selalu sama, namun pada proporsi pembagian kewajiban dan hak. Asas
ini menekankan pada pendekatan prosedural yang menitikberartkan pada
kebebasan berkehendak dan pendekatan substantif pada substansi perjanjian.134
.
Asas proporsionalitas bermakna sebagai asas yang mendasari pertukaran hak dan
kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagiannya dalam seluruh proses
kontraktual.135
Asas ini meliputi seluruh tahapan kontrak, baik dari prakontrak,
pembuatan kontrak dan pelaksanaan kontrak (pre-contractual, contractual, post-
contractual).
Menurut Agus Yudha Hernoko, terdapat beberapa faktor yang dapat
dijadikan ukuran proporsionalitas, diantaranya didasarkan pada nilai-nilai
kesetaraan, kebebasan, distribusi proporsional, terdapatnya asas kecermatan,
133Peter Mahmud Marzuki II, Op.Cit, h.205
134Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, h.87.
135Ibid.
kelayakan dan kepatutuan.136
Faktor-faktor tersebut bukan merupakan diukur
berdasarkan ilmu pasti atau angka-angka matematis (kesamaan hasil) melainkan
pada proporsi pembagian hak dan kewajiban diantara para pihak yang
berlangsung secara layak dan patut. Asas proporsionalitas tidak
mempermasalahkan kesamaan hasil secara matematis, namun lebih menekankan
pada pembagian hak dan kewajiban secara proporsional diantara para pihak
dengan memperhatikan kelayakan dan kepatutuan (fair and reasonableness).
Asas proporsionalitas dalam hal terjadinya kegagalan pelaksaaan kontrak
berfungsi sebagai alat penilai apakah kegagalan tersebut bersifat fundamental
sehingga menganggu pelaksanaan sebagian besar perjanjian atau hanyalah hal-hal
yang merupakan hal ringan/tidak mempengaruhi pelaksanaan perjanjian. Fungsi
tersebut mencegah terjadinya penyalahgunaan klausul pelaksanaan perjanjiaan,
demi keuntungan salah satu pihak.
Hal ini terjadi dalam suatu kontrak baku dimana posisi para pihak tidak
seimbang atau salah satu pihak memiliki kedudukan yang kuat (dominan) dan di
pihak yang lain memiliki kedudukan yang lemah. Asas proporsionalitas
memberikan pedoman dalam menentukan hak dan kewajiban masing-masing
pihak secara proporsional.
Ad 7) Asas perlindungan
Asas perlindungan dirumuskan dalam Lokakarya Hukum Perikatran
yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
Departemen Kehakiman Republik Indonesia pada tanggal 17-19 Desember 1985.
136Ibid, h.89.
Asas perlindungan yaitu asas yang memberikan penekanan pada perlindungan
terhadap pihak yang lemah, dalam hal ini antara hubungan debitur dengan kreditur
yang perlu ditekankan mendapat perlindungan adalah pihak debitur karena pihak
ini berada dalam posisi yang lemah.
2.2. Kajian Teoritik Hak Asasi Manusia
Uraian awal mengenai pengertian hak dan kewajiban sebelum
penjelasan mengenai pengertian hak asasi manusia. Uraian dilanjutkan dengan
klasifikasi hak asasi manusia. Setelah pemaparan tinjauan umum hak asasi
manusia barulah akan diuraikan mengenai teori-teori terkait hak asasi manusia,
doktrin keberlakuan hak asasi manusia dalam hukum perdata dan ajaran hak asasi
manusia.
2.2.1. Tinjauan umum hak asasi manusia
2.2.1.1. Pengertian hak dan kewajiban
Pembahasan terhadap hak asasi manusia tidak akan lepas dari pengertian
tentang “hak” itu sendiri. Hak dibedakan menjadi 2 yakni hak relatif dan hak
absolut. Hak-hak keperdataan sebagai hak yang relatif, sedangkan hak yang
termasuk hak absolut adalah hak asasi manusia. Hak diartikan oleh Satjipto
Rahardjo sebagai suatu pemberian dari hukum kepada seseorang, dengan tujuan
untuk melindungi kepentingan orang tersebut.137
Berdasarkan pendapat ini, maka
Satjipto Rahardjo lebih menekankan fungsi hukum sebagai pemberi hak.
137Satjipto Rahardjo, Op.Cit., h.94
Pendapat Satjipto Rahardjo didukung oleh Fitzgerald sebagaimana
dikutip oleh Achmad Ali138
dengan mendasarkan ciri-ciri hak pada adanya subyek
hukum sebagai pemilik hak, adanya kewajiban sebagai apa yang dituju oleh hak
yang di dalamnya terdapat hubungan korelatif, adanya isi dari hak yakni
kewajiban bagi pihak lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, adanya
obyek hak berupa perbuatan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu, setiap hak mempunyai titel yakni dasar peristiwa tertentu yang
merupakan alasan melekatnya hak tersebut.
Konsep hak menurut Dworkin sebagaimana dikutip oleh Peter Mahmud
Marzuki bahwa hak bukan apa yang dirumuskan melainkan nilai yang mendasari
perumusan itu.139
Menurut Peter Mahmud Marzuki bahwa hak bukan diciptakan
oleh hukum, melainkan hak yang memaksa adanya hukum, dan keberadaan hak
akibat hakekat kemanusiaan itu sendiri yang adalah ciptaan Tuhan.140
K.Bertens menyatakan hak sebagai “klaim yang dibuat oleh orang atau
kelompok yang satu terhadap yang lain atau terhadap masyarakat”141
. Pengertian
klaim yang dikemukakan oleh K.Bertens belum memberikan alasan timbulnya
klaim. Pendapat lain dikemukakan oleh Theo Hujbers142
yang membagi hak dalam
arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas hak adalah undangan berdasarkan rasa
dari manusia itu sendiri, sedangkan dalam arti sempit merupakan tuntutan mutlak
yang tidak boleh diganggu gugat.
138Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Cet-3, Ghalia Indonesia, Bogor, h.179.
139Peter Mahmud Marzuki, 2013, Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki III), h.154.
140Ibid, h.155.
141K.Bertens,2001, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.179.
142Theo Hujbers, 1990, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, h.93.
Unsur atau komponen yang membentuk hak yakni adanya komponen
dari individu yang terletak dari pribadi, kemerdekaan dan tanggung jawab,
komponen yang berupa hubungan antara subyek hukum dengan materi suatu hak,
dan adanya fakta yang menghubungkan subyek tertentu dengan sesuatu
tertentu143
. Pendapat Achmad Ali mengenai unsur hak lebih ke arah gabungan
antara eksternal dengan internal yakni adanya unsur perlindungan, unsur
pengakuan, dan unsur kehendak.144
Dalam kaitan dengan hak asasi manusia,
penulis mengacu pada pendapat dari Peter Mahmud Marzuki dengan
mengedapankan adanya hak terlebih dahulu barulah hukum.
Kewajiban menurut W.Poespoprodjo145
, dapat dipandang dari dua sisi,
yakni sisi subjektif dan sisi obyektif. Sisi subjektif merupakan suatu keharusan
moral untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, sedangkan berdasar sisi
obyektif kewajiban merupakan sesuatu yang harus dikerjakan atau tidak
dikerjakan.
Hubungan antara hak dan kewajiban adalah tak terpisahkan. Hubungan
hak dan kewajiban menyangkut keadilan. Pelaksanaan kewajiban akan
memunculkan timbulnya hak. Hak dibatasi oleh kewajiban. Kewajiban
dibebankan oleh hukum, semua keharusan moral yang merupakan kewajiban
dikuatkan oleh aturan hukum. Hak dan kewajiban diikat oleh suatu sistem hukum.
143Muhamad Erwin, 2011, Filsafat Hukum Refleksi Kritis terhadap Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta, h.240-241.
144Achmad Ali, Op.Cit, h.181
145W.Poespoprodjo, K.Bertens, 1999, Filsafat Moral (Kesusilaan dalam Teori dan Praktek),
Pustaka Grafika, Bandung, h.275-276.
Paul Sieghart146
memberikan pendapat adanya hak dan kewajiban yang
bersifat timbal balik, bahwa terdapat kesalahan pandangan dalam teori-teori
hukum yang menyatakan bahwa hak-hak dan kewajiban-kewajiban adalah bersifat
simmetris berlaku dalam individu yang sama, artinya jika seseorang memiliki hak
berarti orang tersebut memiliki kewajiban yang timbul dari hak itu.
Kenyataannya, jika seseorang memiliki hak, pemenuhan akan hak tersebut akibat
orang lain yang memiliki kewajiban (correlative duty), demikian pula sebaliknya
jika seseroang memiliki kewajiban berarti orang lain memiliki hak akibat
kewajiban tersebut (corresponding right). Hak seseorang untuk berjalan dengan
rasa aman di pinggir jalan berkaitan dengan kewajiban orang lain untuk
mengemudi secara hati-hati. Hak dan kewajiban timbal balik lain ditimbulkan
akibat kepentingan yang timbal balik pula.
2.2.1.2. Peristilahan dan pengertian hak asasi manusia
Pemahaman yang utuh terhadap hak asasi manusia, dimulai dengan
pemahaman terhadap istilah-istilah yang dipergunakan. Ditinjau dari berbagai
istilah yang ditemukan dalam literature. Hak asasi manusia merupakan terjemahan
dari “droits d€ l‟homme” dalam bahasa Perancis yang berarti hak manusia, atau
dalam bahasa Inggrisnya disebut “human rights” dan dalam bahasa Belanda
disebut “mensenrechten”. Istilah hak-hak dasar yang merupakan terjemahan dari
“basic rights” dalam bahasa Inggris dan “fundamentele rechten” dalam bahasa
Belanda147
. Istilah lain yang dikemukakan oleh Philipus M.Hadjon148
adalah
146Paul Sieghart, 1986, The Lawfull Rights of Mankind An Introduction to The International
Legal Code of Human Rights, Oxford University, Oxford, h.43.
147Bahder Johan Nasution, Op.Cit, h.129.
istilah “natural right” dalam bahasa Inggris, dan istilah”rechten van den mens”
dalam bahasa Belanda, sedangkan dalam bahasa Indonesia mempergunakan
istilah-istilah seperti hak-hak asasi manusia, hak-hak kodrat dan hak-hak dasar.
Secara garis besar terdapat dua kelompok peristilahan dalam hak asasi
manusia yakni kelompok pertama mempergunakan istilah “hak dasar” sebagai
terjemahan dari istilah “grondrachten”, “grundrechte”, “fundamental rights”,
“droits fundamentaux” dan kelompok kedua mempergunakan istilah “hak asasi
manusia” sebagai terjemahan dari “mensenrechten”, “menchenrechte”, “human
rights”, dan “droits d€ l‟homme”.
Perbedaan pengertian antara hak-hak asasi dengan hak-hak dasar
dikemukakan oleh Bahder Johan Nasution yakni hak-hak asasi ditekankan pada
hak-hak yang memperoleh pengakuan secara internasional, sedangkan hak dasar
diakui melalui hukum nasional.149
Pengertian hak-hak asasi manusia terkait
dengan asas-asas idea dan politis, sedangkan hak dasar merupakan bagian dari
hukum dasar. Hak-hak asasi manusia bersifat lebih dinamis karena dimuat dalam
dokumen politik sedangkan hak-hak dasar dituangkan dalam dokumen yuridis
seperti Undang-Undang Dasar (konstitusi) dan dalam Konvensi Internasional.
Berdasarkan pemahaman tersebut pengertian hak asasi manusia dipahami pula
sebagai hak dasar, dan sama-sama dibatasi secara yuridis dan moral.
Pengertian hak-hak asasi manusia dapat ditemukan dalam berbagai
pendapat para sarjana. Miriam Budiarjo150
memberikan arti sebagai berikut:
148Philipus M.Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya, h.38
149Bahder Johan Nasution, Op.Cit, h.130.
150Miriam Budiardjo, 1986, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cet-10, Gramedia, Jakarta, h.121.
Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang diperoleh dan
dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan
masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan
atas dasar bangsa, ras, agama atau kelamin, dan karena itu bersifat universal.
Dasar dari semua hak asasi ialah bahwa manusia memperoleh kesempatan
berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya.
Ramdlon Naning sebagaimana dikutip oleh Harum Pudjiarto151
menguraikan
sebagai berikut:
Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada martabat manusia, yang
melekat padanya sebagai insan ciptaan Allah Yang Maha Esa atau hak-hak
dasar yang prinsip sebagai anugerah ilahi. Berarti hak asasi manusia
merupakan hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tidak
dapat dipisahkan dari hakekatnya, karena itu Hak Asasi Manusia bersifat luhur
dan suci.
Pengertian hak asasi manusia yang tertuang dalam UU HAM dijelaskan
dalam menimbang bagian b sebagai berikut: “Bahwa hak asasi manusia
merupakan hak-hak dasar yang melekat secara kodrati melekat pada diri manusia,
bersifat universal and langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh
siapapun”.
Pasal 1 Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia memberikan pengertian bahwa:
Hak asasi manusia sebagai perangkat hak yang melekat pada hakikat dan
Universitas Sumatera Utara keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Menuru Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 memberikan pengertian hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun yakni:
151Harum Pudjiarto, 1993, Hak Asasi Manusia di Indonesia Suatu Tinjauan Filosofis
Berdasarkan Pancasila dan Permasalahannya dalam Hukum Pidana, Atma Jaya, Yogyakarta,
h.25-26.
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun.
Pengertian-pengertian mengenai hak asasi manusia tersebut di atas,
dapat ditarik suatu garis bahwa hak asasi manusia itu ada justru karena sifat
kemanusiaannya, oleh karena derajat dan harkat martabat manusia yang tidak
dimiliki oleh mahluk-mahluk ciptaan Tuhan lainnya, sehingga hanya pada
manusia hak-hak tersebut ada. Hak-hak asasi manusia tersebut tidak boleh dicabut
oleh siapapun, sebab pencabutan hak-hak tersebut berarti hilangnya pengakuan
terhadap derajat dan martabat manusia. Hak asasi manusia merupakan suatu hak
yang lebih dulu ada, bukan sesuatu pemberian dari masyarakat atau negara, hak
itu dibutuhkan oleh manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya. Hak
asasi manusia sebagai hak alamiah yang membutuhkan keberdaan hukum sebagai
legalitas formalnya (positive rights).
Negara memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi individu dari
individu-individu lainnya maupun dari negara itu sendiri. Hak asasi manusia
merupakan kebebasan yang dimiliki oleh seorang manusia, dan tidak ada
kekuasaan yang dapat mencampurinya, namun luas atau wilayah kebebasan ini
dibatasi oleh undang-undang.
Paul Sieghart152
menyatakan bahwa terdapat 3 karakteristik dari hak
asasi yang membedakan dari hak-hak lainnya yakni: tetap (inherence), tidak dapat
dicabut (inalienability) dan persamaan (equalibility). Pendapat dari Paul Sieghart
152Paul Sieghart, Op.Cit, h.43.
sejalan dengan pendapat A. Gunawan Setiardjo yang memberikan pengertian
tentang hak asasi manusia sebagai hak-hak yang melekat pada manusia
berdasarkan kodratnya. Jadi hak-hak yang dimiliki sebagai manusia dan hak asasi
manusia diperlukan pemahaman secara universal.153
Pendapat Gunawan didukung
oleh Darwin Prinst dengan menekankan hak asasi manusia sebagai hak yang
berasal dari Tuhan Yang Maha Esa diberikan sebagai anugerah kepada manusia
melalui akal budi untuk membedakan yang baik dengan yang buruk sebagai
pedoman manusia dalam menjalankan kehidupannya154
Hak asasi manusia artinya hak yang bersifat mendasar. Hak-hak asasi
merupakan suatu perangkat asas-asas yang timbul dari nilai-nilai yang kemudian
menjadi kaidah-kaidah yang mengatur perilaku manusia dalam hubungan dengan
sesama manusia.155
Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh para sarjana di
atas dan yang dianut oleh undang-undang, maka hak asasi manusia adalah
sebagai hak kodrati, melekat akibat kodrat sebagai manusia dan wajib dilindungi
oleh negara. Pengertian ini memberikan makna konsep hak asasi manusia sebagai
hak-hak alamiah (natural rights). Konsep ini memiliki kelemahan yakni gagal
menjelaskan batas-batas dari kebebasan yang dimiliki oleh hak tersebut.
Kelemahan konsep hak asasi manusia sebagai hak-hak alamiah
dilengkapi oleh konsep hak-hak asasi manusia sebagai hak hukum (legal/positive
rights). Konsep hak-hak asasi manusia sebagai hak hukum merupakan hak
153A.Gunawan Setiardjo, 1993, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila,
Kanisius, Yogyakarta, h.71.
154Darwin Prinst, 2001, Sosialisasi dan Diseminasi Penegakkan Hak Asasi Manusia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, h.8.
155Majda El Muhtaj, 2013, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Majda El Muhtaj I), h.31.
seseorang dalam kapasitasnya sebagai subyek hukum yang secara legal tercantum
dalam hukum yang berlaku, sedangkan hak alami merupakan hak manusia in toto.
Hak hukum lebih menekankan sisi legalitas formal, sedangkan hak alami
menekankan sisi alamiah manusia (hak yang tak terpisahkan dari dimensi
kemanusiaan manusia).
Konsep hak-hak asasi manusia sebagai positive rights diatur dalam Pasal
28 J UUD 1945, yang menentukan kewajiban dasar manusia:
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanana dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Pasal 28 J ayat (2) setelah Amandemen, menentukan pembatasan hak asasi
manusia dilakukan berdasarkan undang-undang, sehingga tidak semua hak-hak
asasi manusia bersifat absolut.
Hak hukum dan hak alamiah saling membutuhkan. Hak alami
membutuhkan legalitas formal untuk dapat berlaku dan diberlakukan secara
konkret dalam kehidupan, begitu juga sebaliknya hak hukum harus memiliki
kerangka fundamental berupa nilai-nilai filosofis dalam bingkai alamiah manusia
yang terangkai dalam hak alami. Sekalipun hak asasi manusia tidak kehilangan
kekuatan moralnya hanya karena tidak diakui oleh pihak yang berkuasa, tetapi
tanpa pengakuan formal penjaminan keuutuhan manusia-manusianya akan
semakin sulit.156
Paul Sieghart157
menyatakan bahwa semua hak asasi manusia secara
alami mendasarkan pada individu-individu, namun perlindungan terhadap hak-hak
asasi tersebut dilakukan melalui sebuah entitas yakni negara dengan kekuasaan
yang dimilikinya. Negara memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi
individu dari individu-individu lainnya maupun dari negara itu sendiri. Hak asasi
manusia merupakan kebebasan yang dimiliki oleh seorang manusia, dan tidak ada
kekuasaan yang dapat mencampurinya, namun luas atau wilayah kebebasan ini
dibatasi oleh undang-undang.
2.2.1.3. Klasifikasi hak asasi manusia
Hak asasi manusia dikatagorikan dalam hak sipil, hak politik, serta hak
ekonomi, sosial dan budaya yang merupakan ciri dari nilai-nilai kemausiaan yang
mendasar sebagaimana pendapat dari Gavison yang dikutip oleh Majda El
Muhtaj158
bahwa:
Human rights are a sub-class of rights. Rights have moral, political, and
legal functions. Basic interest required for human dignity and flourishing
should be the subject of rights, and these interests include both CP (civil and
political rights) and SE (economic, social, and cultural rights) concerns. In this
sense, CP and SE concerns reinforce each other as ingridients for basic human
dignity. The satisfication of both is required by the unifying concept of human
dignity. There is no historical, logical, political, or moral reason for thinking
that only CP concerns can and should be the subject of rights.
(hak asasi manusia merupakan subkategori dari hak-hak. Hak-hak yang
memiliki fungsi moral, politik dan hukum. Kebutuhan mendasar akan nilai
kemanusiaan dan pertumbuhannya seharusnya merupakan tema dari hak-hak
tersebut, dan kepentingan akan hal ini termasuk dalam penekanan terhadap
156Ibid, h.32-34.
157Paul Sieghart, Op.Cit. h.44.
158Majda El Muhtaj I, Op.Cit, h.24.
hak-hak sipil dan politik, (CP) dan hak ekonomi, sosial dan kebudayaan (SE).
Dalam kaitan ini, penekanan terhadap CP dan SE menjadi kedua-duanya
sebagai bahan-bahan dari nilai kemanusiaan yang mendasar. Pemenuhan akan
kedua penekanan ini membutuhkan sebuah unifikasi terhadap konsep dari nilai
kemanusiaan. Tidak ada alasan historis, logis, politik atau moral yang
menyatakan bahwa hanya penekanan pada CP yang dapat menjadi subyek dari
hak asasi manusia tersebut);
Hak asasi manusia yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah hak asasi
manusia di bidang ekonomi. Hak asasi manusia dalam bidang tersebut mewakili
hak yang timbul dalam lapangan kontrak keperdataan khususnya kontrak baku.
2.2.2. Teori-teori terkait hak asasi manusia
2.2.2.1. Teori perlindungan hak asasi manusia oleh John Locke
Teori ini dipakai dalam menjawab rumusan masalah yang pertama yakni
landasan filosofis yang dipakai sebagai landasan perlindungan hak-hak asasi
manusia dalam pembuatan kontrak baku. Teori ini menguraikan terlebih dahulu
landasan filosofis kekuatan mengikat dari kontrak yang merupakan hak asasi
manusia.
John Locke sebagai perintis ajaran hak asasi manusia dengan
menguraikan bahwa hak asasi manusia merupakan hak-hak alamiah yang
bersumber dari akal manusia sehingga hak-hak itu bersifat universal. John Locke
159 dalam bukunya “The Second Treaties of Civil Goverment and a Letter
Concerning Toleration” mengajukan sebuah pemikiran bahwa semua individu
dikarunai oleh alam hak mereka sendiri atau hak-hak manusia yang dimilikinya
secara pribadi dan tidak dapat dicabut oleh negara berupa hak hidup, hak
kebebasan/kemerdekaan, hak akan milik (life, liberty, property). Hak akan milik
159Rhona K.M.Smith et.al., 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, Cet-1, PUSHAM UII,
Yogyakarta, h.12.
berkaitan dengan fungsi kontrak untuk memperoleh kebendaan/jasa. John Locke
meletakkan konsepsi dasar yang kuat tentang tujuan negara adalah untuk
melindungi hak-hak asasi manusia. Negara dibentuk dengan tujuan melindungi
properti individu-individu dan menyelenggarakan kepentingan bersama.
Dalam rangka melaksanakan penyelenggaraan negara, maka diadakan
perjanjian pemerintahan (social contract) dengan raja, di mana raja diberikan
kekuasaaan untuk menyelenggarakan pemerintahan dan berkewajiban melindungi
dan tidak boleh melanggar hak-hak individu. Apabila raja melanggar kesepakatan
tersebut, maka bertentangan dengan tujuan dibentuknya negara sehingga rakyat di
negara itu bebas menurunkan sang penguasa dan menggantikannya dengan suatu
pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak tersebut.
Batasan dari kekuasaan negara adalah hak-hak asasi tersebut. Melalui
teori hak-hak kodrati ini maka eksistensi hak-hak individu yang pra positif
mendapat pengakuan kuat. Ajaran hukum alam ini melahirkan konsep hak asasi
manusia sebagai natural rights atau teori hak kodrati manusia.
Tugas negara menurut John Locke adalah menetapkan dan
melaksanakan hukum alam. Hukum alam disini dalam pengertiannya yang luas
artinya negara itu tidak hanya menetapkan dan melaksanakan hukum alam saja,
tetapi dalam pembuatan peraturan/undang-undang berpedoman pada hukum alam
yang bersifat universal dan rasional. Hukum sendiri mengakui akan adanya hak
asasi manusia.
Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada
segala waktu dan tempat berdasarkan takdirnya sebagai manusia. Hak asasi
manusia dimiliki setiap orang berdasarkan fakta bahwa seseorang dilahirkan
sebagai manusia. Hak-hak tersebut termasuk hak untuk hidup, kebebasan dan
harta kekayaan (life, liberty and property) seperti yang diajukan oleh John Locke.
John Locke dalam teorinya mempertahankan hak milik pribadi secara moral.
Pengakuan tidak diperlukan bagi keberlakuan hak tesesebut, baik dari pemerintah
maupun dari suatu sistem hukum, karena hak asasi manusia bersifat universal.
Hak asasi manusia lebih dulu ada dibandingkan dengan negara. Berdasarkan
alasan tersebut, maka sumber hak asasi manusia semata-mata dari kodrati asal
manusia itu sendiri.160
Teori perlindungan hak asasi manusia oleh John Locke sejalan dengan
teori yang dikemukakan oleh Hugo Grotius. Grotius memandang manusia sebagai
oknum pribadi yang bebas serta memiliki hak-hak tertentu. Manusia sebagai
pribadi yang otonom dan bebas, sehingga hukum alam di mata Grotius selalu
berkaitan dengan hukum privat. Hukum positif tidak boleh bertentangan dengan
hukum alam kecuali untuk kepentingan umum.
Hukum digunakan untuk menjamin agar prinsip-prinsip dasar manusia
terjamin. Prinsip-prinsip dasar dimaksud adalah : (1) Milik orang lain harus
dihormati (“Punyamu”, bukan selalu “Punyaku”, jika kita pinjam dan membawa
keuntungan, maka harus diberi imbalan); (2). Kesetiaan pada janji. Kontrak harus
dihormati (pacta sunt servanda); (3) Harus ada ganti rugi untuk tiap kerugian yang
diderita; (4) Harus ada hukuman untuk setiap pelanggaran161
.
160Todung Mulya Lubis, 1993, In search of Human Rights Legal-Political Dilemmas of
Indonesia‟s New Order,1966-1990, Gramedia, Jakarta, h.15-16.
161Bernad L Tanya, Yoan N Simanjutak dan Markus Y Hage, 2013, Teori Hukum Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, h.63.
Grotius meletakkan dasar kekuatan mengikat sebuah kontrak adalah
berasal dari hukum alam. Kontrak adalah kesepakatan timbal balik para pihak
(mutual compact) yang memiliki daya mengikat dari hukum alam. Prinsip-prinsip
hukum dalam semua sistem hukum bukan berasal dari buatan manusia, tetapi
berasal dari prinsip-prinsip yang berlaku secara universal, sepanjang masa dan
dapat ditemui dengan akal sehat. Manusia adalah mahluk lemah, ia membutuhkan
banyak hal untuk membuat hidupnynya nyaman, karena itulah ia mengikatkan diri
pada suatu masyarakat di mana ia berada untuk memenuhi kebutuhannya itu
antara ia dengan masyarakat maka hukum hadir di situ162
.
Sutan Remi Sjahdeini mengutip pendapat yang dikemukakan oleh
Grotius bahwa163
:
Hak untuk mengadakan perjanjian adalah salah satu dari hak-hak asasi
manusia. Grotius mengemukakan bahwa terdapat suatu supreme body of law
yang dilandasi oleh nalar manusia (human reason) yang disebutnya sebagai
hukum alam (natural law). Ia beranggapan bahwa suatu kontrak adalah suatu
tindakan suka rela dari seseorang dimana ia berjanji kepada orang lain dengan
maksud bahwa orang lain itu akan menerimanya. Kontrak tersebut adalah lebih
dari sekedar suatu janji, karena suatu janj tidak memberikan hak kepada yang
lain atas pelaksanaan janji itu.
Pendekatan berdasarkan hukum alam terhadap kebebasan berkontrak sebagai
suatu kebebasan manusia yang fundamental. Kontrak merupakan sarana yang
dapat mewujudkan hak-hak asasi manusia.
Pengaruh ajaran Hugo Grotius dan John Locke terhadap hukum kontrak
sangat besar. Menurut paham ini yang lebih menekankan pada hukum privat
khususnya kebebasan bahwa kebebasan merupakan hak dasar yang diperoleh dari
162Hugo Grotius, 1959, “On The Rights of War and Peace” dalam Clarence Morriss (ed), The
Great Legal Philosophers Selected Reading in Jurisprudence, University of Pennsylvania Press,
Philadelphia, h.44
163Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, h.24.
hukum alam sehingga harus dilindungi oleh hukum. Dalam hukum kontrak asas
ini diwujudkan dalam asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak
memberikan kebebasan bagi para pihak untuk membuat perjanjian terhadap
siapapun, apapun bentuknya asalkan tidak melanggar undang-undang, ketertiban
dan kesusilaan umum, pembatasan tersebut menyebabkan asas ini tidak berlaku
mutlak melainkan relatif.
2.2.2.2 Teori perlindungan minimum (the minimum content of natural law)
oleh H.L.A. Hart
Teori dari Hart yakni the minimum content of natural law dipakai untuk
menjawab permasalahan pertama, kedua dan ketiga. Dalam menjawab
permasalahan pertama maka salah satu alasan filosofis diperlukannya campur
tangan negara dalam pembuatan kontrak baku dengan mempergunakan
pendekatan dari Hart. Permasalahan kedua dijawab dengan melihat klausula-
klausula yang ada dalam kontrak baku apakah klausula-klausula tersebut sudah
memberikan perlindungan terhadap pihak yang lemah. Permasalahan ketiga
dengan memberikan dasar terhadap rujukan asas-asas hukum kontrak yang dapat
memberikan perlindungan terhadap pihak yang lemah dalam pembuatan kontrak
baku.
Teori Hart ini menyatakan bahwa hukum adalah mekanisme untuk
mengatur perilaku individu dalam hubungan sosial sehingga hukum harus
memiliki dasar, konten minimal tertentu agar dapat menjamin kelangsungan
hidupa anggotanya. Hart menerima moralitas sebagai syarat minimum hukum.
Bagi Hart, masuknya moral menjadi isi minimum hukum dikarenakan terdapat
berbagai fakta natural dalam kehidupan manusia yang membuat prinsip moral
menjadi penting dan tak bisa diabaikan dalam pertimbangan hukum. Isi aturan
hukum yang menjamin kelangsungan hidup didasarkan pada 5 (lima) kelemahan
dasar manusia.
Lima kelemahan dasar manusia tersebut yakni: (1) Kerentanan manusia
(human vulnerability) sehingga perlu pembatasan terhadap penggunaan
kekekerasan; (2) kesetaraan perkiraan (approximate equality) keadaan yang
hampir sama antara manusia satu dengan manusia lainnya sehingga diperlukan
pembatasan terhadap tindakan agresi; (3) limited altruism (keterbatasan sifat tidak
mementingkan diri sendiri atau altruisme), manusia tidak setan namun tidak juga
malaikat, manusia berada di antara kedua kutub ekstrem sehingga diperlukan
sistem untuk saling sabar dan memahami yang melandasi aturan hukum dan
moral; (4) keterbatasan sumber daya (limited resources) sumber daya alam
terbatas, sedangkan manusia butuh sandang, pangan dan papan yang semuanya
tersedia dalam jumlah terbatas, sehingga diperlukan sistem untuk mengatur
kepemlikan dan hak-hak kepemilikan/sistem property; (5) keterbasan pemahaman
dan daya kemauan (limited understanding and strength of will) sehingga
diperlukan beberapa bentuk sanksi untuk menghindari dari godaan terhadap segala
bentuk penindasan.164
Merujuk pada keterbatasan manusia diperlukan upaya
hukum untuk melindunginya khususnya dalam pembuatan kontrak baku dimana
salah satu pihak berada pada kedudukan yang lebih rendah dibandingkan pihak
lainnya.
164H.L. A, Hart, Op.Cit, h.189-195.
2.2.2.3. Teori fungsi negara sebagai regulator oleh W.Friedmann
Teori ini dipakai untuk menjawab permasalahan ketiga yakni mengenai
asas-asas hukum yang dapat dijadikan rujukan dalam pembuatan kontrak baku
agar dapat melindungi hak-hak asasi manusia. Fungsi negara sebagai regulator
dipakai menjelaskan dasar turut campur negara dalam pengaturan kontrak baku
sebagai bentuk pengaturan di bidang ekonomi. Friedman menjelaskan fungsi
negara dalam “mixed economy”. Friedmann menyatakan bahwa negara tidak
hanya sebagai wadah dari kekuasaan publik, namun sebagai fokus dari loyalitas,
keterikatan emosional, dan khususnya dalam masa krisis sebagai perwujudan dari
kesatuan kepentingan-kepentingan yang berbeda.165
. Mixed economy sebagai
aspek yang penting dimana turut campur negara terhadap kekuasaan privat
(kontrol harga atau anti monopoli) ataupun terhadap kekuasaan publik.166
Menurut Friedman terdapat 4 (empat) fungsi negara dalam sistem
ekonomi campuran yakni: (1) negara sebagai “provider” dari pelayanan-
pelayanan sosial; (2) negara sebagai “regulator” untuk mengatur dalam bidang
ekonomi; (3) negara sebagai “enterpeneur”(wirausaha) terkait nasionalisasi sektor
umum; (4) negara sebagai “umpire” dalam kaitan penyelesaian konflik dan klaim-
klaim terhadap sumber daya ekonomi, hak-hak dan kesempatan.
Dalam kaitan dengan penulisan ini, fungsi negara yang lebih ditekankan
adalah fungsi negara sebagai regulator yang mencangkup berbagai cara di mana
negara melakukan intervensi melalui penggunaan hukum publik dan langkah-
165W.Friedmann I, Op.Cit. h.9.
166Ibid, h.10
lagkah kontrol legislatif, administratif dan judisial. Langkah-langkah kontrol
hukum yang paling representatif dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori yakni:
1. Pembatasan hukum tentang kebebasan berkontrak dan property;
2. Kontrol hukum dimaksudkan untuk mengurangi konsentrasi kekuatan
ekonomi yang berlebihan;
3. Kontrol hukum dimaksudkan untuk memberikan perlindungan ekonomi
nasional khususnya di negara-negara sedang berkembang.
Dalam kaitan dengan penulisan disertasi ini,maka penekanan pembatasan
pada kebebasan berkontrak khususnya dalam kontrak baku dengan cara membuat
undang-undang yang mengontrol dan mengatur mengenai kontrak baku.
2.2.3. Doktrin keberlakuan hak asasi manusia dalam hukum perdata
Kaitan antara kontrak dengan hak asasi manusia dapat dilihat dari
doktrin keberlakuan hak asasi manusia dalam hukum perdata. Doktrin hukum
model keberlakuan hak asasi manusia dalam hukum perdata. Aharon Barak
mengemukakan167
empat model keberlakuan hak asasi manusia dalam hukum
perdata yakni (1) keberlakuan langsung (direct application model); (2) model
tidak dapat diperlakukan (non application model); (3) model keberlakuan tidak
langsung (indirect application model); (4) model keberlakukan khusus hanya bagi
negara.
Model keberlakuan langsung (direct application model) menekankan bahwa
hukum perdata, dan secara langsung dalam hubungan antara pribadi. Berdasarkan
167Aharon Barak, 1996, “Constitutional Human Rights and Private Law”, Articles,
sumber:http://digitalcommons.law.yale.edu/fss_papers/3698, diakses pada tanggal 01 Maret 2015,
h.224-226.
model ini maka hak asasi manusia dilindungi selain dalam kaitannya dengan
hubungannya pada negara, juga antara individu.
Model kedua adalah model tidak dapat diperlakukan (non-application
model), artinya hak asasi manusia yang ada dalam konstitusi tidak dapat
diperlakukan bagi hubungan antar pribadi subyek hukum, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Pengadilan tidak dapat memaksakan keberlakuan keadah-
kaedah hak asasi manusia yang ada pada konstitusi dalam perkara perdata namun
hanya dapat diperlukan dalam kaitannya terhadap negara.
Model ketiga dan keempat adalah model yang terletak di tengah-tengah
kedua model tersebut. Model ketiga adalah keberlakuan secara tidak langsung
(indirect application model). Hak asasi manusia yang dilindungi tidak dapat
dipergunakan secara langsung dalam menangani perkara perdata namun nilai-nilai
hak asasi manusia diserap (absorption) dan dipakai dalam doktrin-doktrin (baik
terhadap doktrin yang telah ada maupun doktrin baru)
Model keempat adalah model yang menyatakan bahwa hak asasi manusia
hanya dipakai dalam kaitannya terhadap negara, tidak memiliki aplikasi baik
langsung maupun tidak langsung kepada selain negara, namun pengadilan atau
badang legislatif dilarang untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan hak-
hak asasi manusia.
Dalam penulisan disertasi ini memakai penekanan pada model keberlakuan
tidak secara tidak langsung (indirect application model). Hak asasi manusia yang
dilindungi tidak dapat dipergunakan secara langsung dalam menangani perkara
perdata namun nilai-nilai hak asasi manusia diserap (absorption) dan dipakai
dalam doktrin-doktrin (baik terhadap doktrin yang telah ada maupun doktrin baru)
sebagai asas pembentukan peraturan yang berkaitan dengan kontrak baku.
2.2.4. Ajaran hak asasi manusia
Terdapat beberapa ajaran hak asasi manusia yang dapat diuraikan
terkait dengan pembuatan kontrak baku yakni.
1) Kesetaraan dan non-diskriminasi;
2) Ajaran mengenai kewajiban negara dalam implementasi hak asasi
manusia.
Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:
Ad 1) kesetaraan dan non-disrkiminasi
Hal essensial yang ada dalam hak asasi manusia berkaitan dengan
penulisan disertasi ini adalah kesetaraan/persamaan (equality) dan non-
diskriminasi. kesetaraan adalah ide yang meletakkan semua orang terlahir bebas
dan memiliki kesetaraan dalam hak asasi manusia. Kesetaraaan mensyaratkan
adanya perlakuan yang setara, di mana pada situasi yang sama harus diperlakukan
dengan sama, dan dengan perdebatan, dimana pada situasi yang berbeda
diperlakukan dengan berbeda pula168
.
Kesetaraan menegaskan pemahaman tentang penghormatan untuk
martabat yang melekat pada setiap manusia. Hal ini terjelaskan dalam pasal 1
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948, sebagai prinsip
hak-hak asasi manusia: “Setiap orang dilahirkan merdeka dan mempunyai
martabat serta hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan
168C de Rover, 2000, To Serve & To Protect, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.340
hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.” Konsekuensi pemenuhan
persamaan hak-hak juga menyangkut kebutuhan dasar seseorang tidak boleh
dikecualikan. Persamaan, merupakan hak yang dimiliki setiap orang dengan
kewajiban yang sama pula antara yang satu dengan yang lain untuk
menghormatinya.
Non-diskriminasi adalah salah satu bagian dari kesetaraan. Jika semua
orang setara, maka seharusnya tidak ada perlakukan yang diskriminatif.169
Non-
diskriminasi sebenarnya merupakan bagian integral dengan persamaan yang
menjelaskan bahwa tiada perlakuan yang membedakan dalam rangka
penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak seseorang. Pembedaan, baik
berdasarkan kelas/bangsa tertentu, agama, suku, adat, keyakinan, jenis kelamin,
warna kulit dan sebagainya, adalah praktek yang justru menghambat realisasi hak-
hak asasi manusia. Hak-hak asasi manusia melarang adanya diskriminasi yang
merendahkan martabat atau harga diri komunitas tertentu, dan bila dilanggar akan
melahirkan pertentangan dan ketidakadilan di dalam kehidupan manusia.
Pelarangan terhadap diskriminasi adalah salah satu bagian dari prinsip
kesetaraan. Jika semua orang setara, maka seharusnya tidak ada perlakuan yang
diskriminatif (selain tindakan afirmatif yang dilakukan untuk mencapai
kesetaraan). Diskriminasi adalah kesenjangan perbedaan perlakuan dari perlakuan
yang seharusnya sama atau setara.170
Diskriminasi dibedakan menjadi dua yakni diskriminasi langsung dan
tidak langsung. Diskriminasi langsung adalah ketika seseorang baik langsung
169Rhona K.Smith et.al, Op.Cit.,h.39-40.
170C de Rover, Op.Cit, h.342..
maupun tidak langsung diperlakukan dengan berbeda (less favourable) daripada
lainnya. Diskriminasi tidak langsung muncul ketika dampak dari hukum atau
dalam praktek hukum adalah bentuk dari diskriminasi, walaupun hal itu tidak
ditujukan untuk tujuan diskriminasi. Misalnya, pembatasan pada hak kehamilan
lebih berpengaruh kepada perempuan daripada kepada laki-laki.
DUHAM 1948 menyebutkan beberapa asalan dskriminasi antara lain
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau opini lainnya,
nasional atau kebangsaan, kepemilikan akan suatu benda (property), kelahiran
atau status lainnya. Semua hal tersebut merupakan alasan yang tidak terbatas dan
semakin banyak pula instrumen yang memperluas alasan diskriminasi termasuk di
dalamnya orientasi seksual, umur dan cacat tubuh. Dalam penulisan ini
menekankan pada ketidaksamaan kedudukan para pihak dalam pembuatan
kontrak baku yang mengarah pada diskiriminasi tidak langsung.
Ad b) Kewajiban negara dalam implementasi hak asasi manusia
Implementasi hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan
yang ada di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari tiga sifat dan fungsi tanggung
jawab negara terkait dengan hak asasi manusia yakni kewajiban untuk
menghormati (to respect), kewajiban untuk melindungi (to protect), dan
kewajiban untuk memenuhi (to fulfil)171
. Ketiga kewajiban ini dikaitkan dengan
dua sifat yang berbeda yakni sifat positif dan negatif dari kewajiban negara.
Kewajiban untuk menghormati (to respect) dikaitkan dengan kewajiban yang
171Yosep Adi Prasetyo, 2012, “Hak Ekosob dan Kewajiban Negara”, Makalah, disampaikan
dalam rangka Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia untuk Seluruh Hakim di Indonesia,
Lombok tanggal 28-31 Mei 2012, h.2, sumber httpl://pusham.uii.ac.id/, diakses pada tanggal 1 Mei
2015.
bersifat negatif, dimana campur tangan negara tidak diperlukan, sedangkan dua
kewajiban lainnya yakni “to protect” dan “to fulfil” mensyaratkan negara untuk
melakukan tindakan aktif.172
Kewajiban negara untuk memenuhi (to fulfil) mewajibkan negara untuk
mengambil langkah-langkah positif melalui kebijakan, tindakan administratif dan
tindakan yudisial untuk memastikan setiap individu pemegang hak dapat
semaksimal mungkin menikmati hak asasi manusia dan klaim atas hak asasi
manusia. Kebijakan perumusan undang-undang yang menjamin hak asasi manusia
artinya menjamin penikmatan hak dan atau mencegah pelanggaran oleh pihak lain
merupakan kewajiban negara terkait dengan hak asasi manusia.
Secara garis besar, kewajiban negara dalam implementasi hak asasi manusia
dapat dibagi dalam dua tugas pokok yakni proteksi (protection) dan realisasi
(realisation). Proteksi atau perlindungan mengharuskan negara untuk menjamin
dan melindungi hak asasi manusia. Kewajiban ini sering juga disebut “negative
rights” dimana negara dalam hal ini bersifat pasif. Negara hanya memberi regulasi
secara konstitusional agar semua warganya dapat menikmati hak-hak dasar yang
seharusnya dimiliki. Realisasi, merupakan kewajiban yang menuntut negara untuk
bertindak secara aktif dalam memenuhi hak asasi manusia.
172Nukila Evanty, Nurul Ghufron, Op.Cit, h.14-16.