bab ii - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/118/jtptunimus-gdl-octaviawid... ·...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. TINJAUAN TEORI
1. Imunisasi
a. Pengertian imunisasi
Imunisasi merupakan suatu program yang dengan sengaja
memasukkan antigen lemah agar merangsang antibodi keluar sehingga
tubuh dapat resisten terhadap penyakit tertentu (Proverawati, 2010).
b. Tujuan imunisasi
Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan
kepada bayi agar dapat mencegah penyakit dan kematian bayi serta
anak yang disebabkan oleh penyakit yang sering berjangkit. Secara
umum tujuan imunisasi antara lain:
1) Melalui imunisasi, tubuh tidak mudah terserang penyakit menular.
2) Imunisasi sangat efektif mencegah penyakit menular.
3) Imunisasi menurunkan angka morbiditas (angka kesakitan) dan
mortalitas (angka kematian) pada balita (Proverawati, 2010).
c. Manfaat imunisasi
1) Untuk anak: mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit
dan kemungkinan cacat atau kematian.
2) Untuk keluarga: menghilangkan kecemasan dan psikologi
pengobatan bila anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga
apabila orang tua yakin bahwa anaknya akan menjalani masa
kanak-kanak yang nyaman.
3) Untuk negara: memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa
yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara
(Proverawati, 2010).
d. Jenis-jenis imunisasi
Imunisasi telah dipersiapkan sedemikian rupa, agar tidak
menimbulkan efek-efek yang merugikan. Imunisasi ada 2 macam
yaitu:
1) Imunisasi aktif
Merupakan pemberian suatu bibit penyakit yang telah
dilemahkan (vaksin) agar nantinya sistem imun tubuh berespon
spesifik dan memberikan suatu ingatan terhadap antigen ini,
sehingga ketika terpapar lagi tubuh dapat mengenali dan
merersponnya. Contoh imunisasi aktif adalah imunisasi polio atau
campak.
2) Imunisasi pasif
Merupakan suatu proses peningkatan kekebalan tubuh dengan
cara pemberian zat imunoglobulin yaitu zat yang dihasilkan
melalui suatu proses infeksi yang dapat berasal dari plasma
manusia (kekebalan yang di dapat bayi dari ibu melalui plasenta)
atau binatang (bisa ular) yang digunakan untuk mengatasi
mikroba yang sudah masuk dalam tubuh yang terinfeksi. Contoh
imunisasi pasif adalah penyuntikan ATS (Anti Tetanus Serum)
pada orang yang mengalami luka kecelakaan (Proverawati, 2010).
e. Imunisasi dasar pada bayi
1) Imunisasi BCG,
2) Imunisasi DPT,
3) Imunisasi polio,
4) Imunisasi hepatitis,
5) Imunisasi campak (Proverawati, 2010).
f. Kontraindikasi pemberian imunisasi
Kontraindikasi dalam pemberian imunisasi ada 3 yaitu:
1) Analfilaksis atau reaksi hipersensitivitas yang hebat merupakan
kontraindikasi mutlak terhadap dosis vaksin berikutnya. Riwayat
kejang demam dan panas lebih dari 38°C merupakan kontraindikasi
pemberian DPT atau HB1 dan campak.
2) Jangan berikan vaksin BCG kepada bayi yang menunjukkan tanda-
tanda dan gejala AIDS, sedangkan vaksin yang lain sebaiknya
diberikan.
3) Jika orang tua sangat berkeberatan terhadap pemberian imunisasi
kepada bayi yang sakit, lebih baik jangan diberikan vaksin, tetapi
mintalah ibu kembali lagi ketika bayi sudah sehat (Proverawati,
2010).
2. Imunisasi Hepatitis B
Vaksin Hepatitis B (hepB) harus segera diberikan setelah lahir,
mengingat vaksinasi hepB merupakan upaya pencegahan yang sangat
efektif untuk memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal
dari ibu kepada bayinya (Ranuh, 2008).
a. Fungsi imunisasi Hepatitis B
Imunisasi Hepatitis B ditujukan untuk memberi tubuh kekebalan
terhadap penyakit Hepatitis B (Proverawati, 2010).
b. Kandungan vaksin Hepatitis B
Kandungan vaksin ini adalah HBsAg dalam bentuk cair
(Proverawati, 2010).
c. Cara pemberian imunisasi Hepatitis B
Imunisasi Hepatitis ini diberikan melalui injeksi intramuskular
dalam. Dosis pertama (HB-0) diberikan segera setelah bayi lahir atau
kurang dari 7 hari setelah kelahiran. Vaksin ini menggunakan PID
( Prefilled Injection Device ), merupakan jenis alat suntik yang hanya
bisa digunakan sekali pakai dan telah berisi vaksin dosis tunggal dari
pabrik. Vaksin ini diberikan dengan dosis 0,5 ml. Vaksin tidak hanya
diberikan pada bayi. Vaksin juga diberikan pada anak usia 12 tahun
yang di masa kecilnya belum diberi vaksin Hepatitis B. Selain itu
orang-orang yang berada dalam rentan risiko Hepatitis B sebaiknya
juga diberi vaksin ini (Proverawati, 2010).
d. Reaksi KIPI
Efek samping yang terjadi umumnya berupa reaksi lokal seperti
rasa sakit, kemerahan dan pembengkakan di sekitar tempat
penyuntikan. Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya hilang
setelah 2 hari (Proverawati, 2010). Kadang-kadang dapat
menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari (Ranuh, 2008).
e. Kontraindikasi imunisasi Hepatitis B
Hipersensitif terhadap komponen vaksin. Sama halnya seperti
vaksin-vaksin lain, vaksin ini tidak boleh diberikan kepada penderita
infeksi berat yang disertai kejang (Proverawati, 2010). Kehamilan dan
laktasi bukan indikasi kontra imunisasi VHB (Ranuh, 2008).
f. Jadwal imunisasi Hepatitis B
1) Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam)
setelah lahir, mengingat paling tidak 3,9% ibu hamil mengidap
Hepatitis B aktif dengan risiko penularan kepada bayinya sebesar
45%.
2) Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari
imunisasi hepB-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat
respons imun optimal, interval imunisasi hepB-2 dengan hepB-3
minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi hepB-3 diberikan
pada umur 3-6 bulan.
3) Jadwal dan dosis hepB-1 saat bayi lahir, dibuat berdasarkan status
HBsAg ibu saat melahirkan yaitu ibu dengan status HBsAg yang
tidak diketahui, ibu HBsAg positif atau ibu HBsAg negatif (Ranuh,
2008).
Hepatitis B saat bayi lahir, tergantung status HBsAg ibu
1) Bayi lahir dari ibu dengan status HBsAg yang tidak diketahui
hepB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan
dilanjutkan pada umur 1 bulan dan 3-6 bulan. Apabila semula
status HBsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan
selanjutnya diketahui bahwa ibu HBsAg positif maka ditambahkan
Hepatitis B Imunoglobulin (HBIg) 0,5 ml sebelum bayi berumur 7
hari.
2) Bayi lahir dari ibu dengan status HBsAg positif diberikan vaksin
hepB-1 dan HBIg 0,5 ml secara bersamaan dalam waktu 12 jam
setelah lahir (Ranuh, 2008).
Ulangan imunisasi Hepatitis B
Telah dilakukan penelitian multisenter di Thailand dan Taiwan
terhadap anak dari ibu pengidap Hepatitis B yang telah memperoleh
imunisasi dasar 3 kali pada masa bayi. Pada umur 5 tahun 90,7%
diantaranya masih memiliki titer antibodi anti HBs protektif (kadar
anti HBs > 10 ug/ml). Mengingat epidemiologi di Thailand maka
dapat disimpulkan bahwa imunisasi ulang (booster) pada usia 5 tahun
belum diperlukan. Idealnya pada usia 5 tahun dilakukan pemeriksaan
kadar anti HBs. Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum
pernah memperoleh imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan
imunisasi Hepatitis B dengtan jadwal 3 kali pemberian (catch-up
vaccination). Ulangan imunisasi Hepatitis B (hepB-4) dapat
dipertimbangkan pada umur 10-12 tahun, apabila kadar pencegahan
belum tercapai (anti HBs 10 ug/ml) (Ranuh, 2008).
Imunisai pasif
Hepatitis B Immune globulin (HBIg) dalam waktu singkat segera
memberikan proteksi meskipun hanya untuk jangka pendek (3-6
bulan). HBIg hanya diberikan pada kondisi pasca paparan (needle
stick injury, kontak seksual, bayi dan ibu VHB, terciprat darah ke
mukosa atau ke mata). Sebaiknya HBIg diberikan bersamaan vaksin
VHB sehingga proteksinya berlangsung lama.
Tabel 2.1 Kebijakan imunisasi pada needle stick injury
Kontak yang Tatalaksana bila sumber penularan Terpapar HBsAg (+) HBsAg (-) Imunisasi (-) HBIg dan vaksin atau Vaksin atau periksa anti periksa anti HBs bila HBs bila tergolong risiko tergolong risiko tinggi* tinggi Imunisasi (+) tidak perlu profilaksis tidak perlu profilaksis Responder Imunisasi (+) HBIg 2x (jarak 1 bulan) Bila sumber penularan Non responder atau HBIg & vaksin risiko tinggi VHB, perlakuan seperti HBsAg + (*)
Ket: HBIg (0,06 ml/kg; maksimum 5 ml) dalam 48 jam pertama setelah kontak Bila sumber penularan needle stick injury HBsAg-HbeAg positif,
maka 22%-31% kontak mengalami hepatitis akut dan 37%-61%
mengalami sero-evidence infeksi VHB (Tabel 2.1). Kebijakan kontak
seksual tergantung kondisi sumber penularan (tabel 2.2).
Tabel 2.2 Kebijakan imunisasi pada kontak seksual
Kontak yang Sumber penularan Terpapar VHB akut Carrier Imunisasi (-) atau HBIg 0,06 ml/kg atau HBIg dan vaksin atau Anti HBs HBIg vaksin atau periksa anti HBs bila periksa anti HBs bila tergolong risiko tinggi risiko tinggi Imunisasi (+) tidak perlu profilaksis tidak perlu profilaksis Lupa periksa anti HBsAg anti HBs (-): anti HBs (-): HBIg & vaksin HBIg & vaksin Ket: HBIg (0,06 ml/kg; maksimum 5 ml) dalam waktu < 14 hari sesudah kontak terakhir Pada bayi dan ibu VHB, HBIg (0,5 ml) diberikan bersama vaksin
di sisi tubuh berbeda, dalam waktu 12 jam setelah lahir. Efektivitas
proteksinya (85%-95%) dalam mencegah infeksi VHB dan kronisitas.
Bila yang diberikan hanya vaksin VHB, tingkat efektivitasnya 75%
(Ranuh, 2008).
Imunisasi aktif
Vaksin VHB yang tersedia adalah vaksin rekombinan pemberian
ketiga seri vaksin dan dengan dosis yang sesuai rekomendasinya, akan
menyebabkan terbentuknya respons protektif (anti HBs ≥ 10 mlU/ml)
pada > 90% dewasa, bayi, anak dan remaja.
Vaksin diberikan secara intramuskular dalam. Pada neonatus dan
bayi diberikan di anterolateral paha, sedangkan pada anak besar dan
dewasa diberikan di regio deltoid (Ranuh, 2008).
g. Efektivitas, lama proteksi
Efektivitas vaksin dalam mencegah infeksi VHB adalah 90-95%.
Memori sistem imun menetap minimal sampai 12 tahun pasca
imunisasi sehingga pada anak normal, tidak dianjurkan untuk
imunisasi booster.
Pada pasien hemodialisis, proteksi vaksin tidak sebaik individu
normal dan mungkin hanya berlangsung selama titer anti HBs ≥ 10
mlU/ml. Pada kelompok ini dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
anti HBs setiap tahun dan booster diberikan bila anti HBs turun
menjadi , 10 mlU/ml (Ranuh, 2008).
Non Responder. Mereka yang tidak memberikan respons terhadap
imunisasi primer, diberikan vaksinasi tambahan (kecuali bila HBsAg
positif). Tambahan satu kali vaksinasi menyebabkan 15%-25% non
responder memberikan respons antibodi yang adekuat. Bila vaksinasi
diulang 3 kali, sampai dengan 40% dapat membentuk antibodi yang
adekuat. Bila sesudah 3 kali vaksinasi tambahan tidak terjadi
serokonversi, tidak perlu tambahan imunisasi lagi (Ranuh, 2008).
Uji Serologis. Pada bayi-anak, pemeriksaan anti-HBs pra dan pasca
imunisasi tidak dianjurkan. Uji serologis pra imunisasi hanya
dilakukan pada yang akan memperoleh profilaksis pasca paparan dan
individu berisiko tinggi tertular infeksi HBV. Uji serologis pasca
imunisasi perlu dilakukan pada bayi dan ibu pengidap VHB, individu
yang memperoleh profilaksis pasca paparan dan pasien
imunokompromis. Uji serologis pasca imunisasi ini dilakukan 1 bulan
sesudah imunisasi ke-3 (Ranuh, 2008).
3. Penyakit Hepatitis B
a. Penyebab penyakit Hepatitis B
Penyakit Hepatitis B, disebabkan oleh virus yang telah
mempengaruhi organ liver (hati). Virus ini akan tinggal selamanya
dalam tubuh. Bayi-bayi yang terjangkit virus Hepatitis berisiko
terkena kanker hati atau kerusakan pada hati. Virus Hepatitis B
ditemukan di dalam cairan tubuh orang yang terjangkit termasuk
darah, ludah dan air mani (Proverawati, 2010).
b. Penularan penyakit Hepatitis B
Virus Hepatitis B biasanya disebarkan melalui kontak dengan
cairan tubuh (darah, air liur, air mani) penderita penyakit ini atau pada
ibu ke anak pada saat melahirkan. Kebanyakan anak kecil yang
terkena virus Hepatitis B akan menjadi pembawa virus. Ini berarti
mereka dapat memberikan penyakit tersebut pada orang lain walaupun
mereka tidak menunjukkan gejala apapun. Jika anak terkena Hepatitis
B dan menjadi pembawa virus, mereka akan memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk terkena penyakit hati dan kanker nantinya dalam
hidup.
Ibu yang terjangkit Hepatitis B dapat menularkan virus pada
bayinya. Hepatitis B dapat menular melalui kontak antara darah
dengan darah, sebagai contoh apabila luka pada tubuh kita telah
terkontaminasi cairan yang dikeluarkan oleh penderita Hepatitis B,
seperti jarum suntik atau pisau yang terkontaminasi, transfusi darah
dan gigitan manusia, hal ini termasuk hubungan seksual. Penyakit ini
bisa menjadi kronis dan menimbulkan Cirrhosis hepatis, kanker hati
dan menimbulkan kematian.
Secara umum orang yang dapat atau berisiko tertular Hepatitis B,
dapat diidentifikasikan dari perilakunya. Individu yang dimaksud,
termasuk dalam beberapa kriteria, seperti para pengguna narkoba
suntik, pasangan seks orang yang terinfeksi Hepatitis, bayi yang
dilahirkan dari ibu yang terinfeksi Hepatitis, orang yang suka
berganti-ganti pasangan seks (Proverawati, 2010).
c. Pencegahan penyakit Hepatitis B
Pencegahan merupakan upaya terpenting karena paling cost-
effective. Secara garis besar upaya pencegahan terdiri dari preventif
umum dan khusus yaitu imunisasi VHB pasif dan aktif.
Umum. Selain uji tapis donor darah, upaya pencegahan umum
mencakup sterilisasi instrumen kesehatan, alat dialisis individual,
membuang jarum disposable ke tempat khusus dan pemakaian sarung
tangan oleh tenaga medis. Mencakup juga penyuluhan perihal safe
sex, penggunaan jarum suntik disposable, mencegah kontak mikrolesi
(pemakaian sikat gigi, sisir), menutup luka. Selain itu idealnya
skrining ibu hamil (trimester ke-1 dan ke-3, terutama ibu risiko tinggi)
dan skrining populasi risiko tinggi (lahir di daerah hiperendemis dan
belum pernah imunisasi, homo-heteroseksual, pasangan seks ganda,
tenaga medis, pasien dialisis, keluarga pasien VHB, kontak seksual
dengan pasien VHB).
Khusus. Program imunisasi universal bayi baru lahir berhasil
menurunkan prevalensi infeksi VHB dan KHS di Taiwan, Gambia,
Alaska, Polynesia (Ranuh, 2008).
d. Gejala penyakit Hepatitis B
Gejala mirip flu yaitu hilangnya nafsu makan, mual, muntah, rasa
lelah, mata kuning dan muntah serta demam, urine menjadi kuning,
sakit perut (Proverawati, 2010).
4. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
Reaksi lokal maupun sistemik yang tidak diinginkan dapat terjadi
pasca imunisasi. Sebagian besar hanya ringan dan bisa hilang sendiri.
Reaksi yang berat dan tidak terduga bisa terjadi meskipun jarang.
Umumnya reaksi terjadi segera setelah dilakukan vaksinasi, namun bisa
juga reaksi tersebut muncul kemudian (Ranuh, 2008).
Keamanan vaksin sudah menjadi perhatian sejak lama, dan masalah
medikolegal vaksin di Indonesia mulai mencuat di tahun 1990, sehingga
mulai dibentuklah KOMNAS pengkajian penanggulangan KIPI/PP KIPI
yang merupakan badan independent yang dibentuk oleh Departemen
Kesehatan dengan anggotanya terdiri dari IDAI, Subdit Imunisasi Depkes,
BPOM dan lain-lain (Ranuh, 2008).
a. Definisi KIPI
Untuk kepentingan operasional maka Komnas PP KIPI
menentukan bahwa kejadian ikutan pasca imunisasi adalah sebagai
reaksi simpang yang dikenal sebagai kejadian ikutan pasca imunisasi
(KIPI) atau adverse events following immunization (AEFI) adalah
kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek
vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek
farmakologis atau kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan
atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan (Ranuh, 2008).
b. Klasifikasi KIPI
Komnas Pengkajian dan Penanggulangan KIPI (Komnas PP KIPI)
mengelompokkan etiologi KIPI dalam 2 klasifikasi (Ranuh, 2008):
1) Klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pacific (1999) untuk
petugas kesehatan di lapangan.
Sesuai dengan manfaatnya di lapangan maka Komnas PP-
KIPI memakai kriteria WHO Western Pacific untuk memilah
KIPI dalam lima kelompok penyebab, yaitu kesalahan program,
reaksi suntikan, reaksi vaksin, koinsiden dan sebab tidak
diketahui. Klasifikasi lapangan ini dapat dipakai untuk pencatatan
dan pelaporan KIPI.
a) Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmatic
errors).
Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masaalh
program dan teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi
kesalahan program penyimpanan, pengelolaan dan tata
laksana pemberian vaksin.
b) Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum
suntik baik langsung maupun tidak langsung dan harus
dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung
misalnya nyeri sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat
suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya
rasa takut, pusing, mual, sampai sinkop.
c) Induksi vaksin (reaksi vaksin)
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah
dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi
simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun
demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi
anafilaktik sintemik dengan risiko kematian.
d) Faktor kebetulan
Indikator faktor kebetulan ditandai dengan ditemukannya
kejadian yang sama di saat bersamaan pada kelompok
populasi setempat dengan karakteristik serupa tetapi tidak
mendapat imunisasi.
e) Penyebab tidak diketahui
World Health Organization pada tahun 1991 melalui
expanded programme on immunization (EPI) telah
menganjurkan agar pelaporan KIPI dibuat oleh setiap negara.
Ditekankan pula bahwa untuk memperkecil terjadinya KIPI
harus selalu diupayakan peningkatan ketelitian pemberian
imunisasi selama program imunisasi dilaksanakan.
2) Klasifikasi kausalitas
Vaccine Safety Committee 1994 membuat klasifikasi KIPI
yang sedikit berbeda dengan laporan Committee Institute of
Medicine (1991) dan menjadi dasar klasifikasi saat ini, yaitu:
a) Tidak terdapat bukti hubungan kausal (unrelated)
b) Bukti tidak cukup untuk menerima atau menolak hubungan
kausal (unlikely)
c) Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal (possible)
d) Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal (probable)
e) Bukti memastikan hubungan kausal (very like/certain)
c. Gejala klinis KIPI
Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan
dapat dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat,
serta reaksi lainnya. Pada umumnya makin cepat terjadi KIPI makin
berat gejalanya.
Baku keamanan suatu vaksin dituntut lebih tinggi daripada obat.
Hal ini disebabkan oleh karena pada umumnya produk farmasi
diperuntukkan orang sakit sedangkan vaksin untuk orang sehat
terutama bayi. Karena itu toleransi terhadap efek samping vaksin
harus lebih kecil daripada obat-obatan untuk orang sakit. Mengingat
tidak ada satu pun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka
apabila seorang anak telah mendapat imunisasi perlu diobservasi
beberapa saat, sehingga dipastikan bahwa tidak terjadi KIPI (reaksi
cepat). Berapa lama observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada
umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan
observasi selama 15 menit (Ranuh, 2008).
5. Pengetahuan
a. Pengertian pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu“ dan ini terjadi setelah
orang mengadakan pengindraan terhadap suatu objek tertentu (Wawan
dan Dewi, 2010).
b. Tingkat pengetahuan
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior). Dari
pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak
didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan yang cukup di dalam domain
kognitif mempunyai 6 tingkat yaitu : (Wawan dan Dewi, 2010).
1) Tahu (know)
Merupakan tingkat pengetahuan yang sangat rencah. Kata
kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang
dipelajari yaitu menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasi,
menyatakan dan sebagainya.
2) Memahami (comprehention)
Memahami artinya sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secar benar tentang objek yang diketahui dan di
mana dapat menginterprestasikan secar benar.
3) Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi ataupun kondisi riil
(sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau
penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan
sebagainya dalm konteks atau situasi yang lain.
4) Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menyatakan materi
atau suatu objek kedalam komponen-komponen tetapi masih di
dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu
sama lain.
5) Sintesis (syntesis)
Sintesis yang dimaksud menunjukkan pada suatu kemampuan
untuk melaksanakan atau menghubungkan bagian-bagian di
dalam suatu keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis
adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi yang ada.
6) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan
sendiri atau menggunaakan kriteria-kriteria yang telah ada.
c. Cara memperoleh pengetahuan
Cara memperoleh pengetahuan (Wawan dan Dewi, 2010) yang
dikutip dari Notoatmodjo, 2003 adalah sebagai berikut ;
1) Cara kuno untuk memperoleh pengetahuan
a) Cara coba salah
Cara coba salah ini dilakukan dengan menggunakan
kemungkinan dalam memecahkan masalah dan apabila
kemungkinan itu tidak berhasil maka dicoba. Kemungkinan
yang lain sampai masalah tersebut dapat dipecahkan.
b) Cara kekuasaan atau otoriter
Sumber pengetahuan cara ini dapat berupa pemimpin-
pemimpin masyarakat baik formal ataupun informal, ahli
agama, pemegang pemerintah dan berbagai prinsip orang lain
yang menerima mempunyai yang dikemukakan oleh orang
yang mempunyai otoritas, tanpa menguji terlebih dahulu atau
membuktikan kebenarannya baik berdasarkan fakta empiris
maupun penalaran sendiri.
c) Berdasarkan pengalaman pribadi
Pengalaman pribadipun dapat digunakan sebagai upaya
memperoleh pengetahuan dengan cara mengulang kembali
pengalaman yang pernah diperoleh dalam memecahkan
permasalahan yang dihadapi masa lalu.
2) Cara modern dalam memperoleh pengetahuan
Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau lebih populer
atau disebut metodologi penelitian. Cara ini mula-mula
dikembangkan oleh Francis Bacon (1561-1626), kemudian
dikembangkan oleh Deobold Van Daven. Akhirnya lahir suatu
cara untuk melakukan penelitian yang dewasa ini kita kenal
dengan penelitian ilmiah.
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
1) Faktor internal
a) Pendidikan
Pendidikan diperlukan untuk mendapatkan informasi
misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup. Menurut YB Mantra yang
dikutip Notoatmodjo (2003), pendidikan dapat
mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang
akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap
berperan serta dalam pembangunan. Menurut Nursalam
(2003) yang dikutip wawan (2010) pada umumnya makin
tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima
informasi (Wawan dan Dewi, 2010).
b) Pekerjaan
Menurut Thomas yang dikutip oleh Nursalam (2003),
pekerjaan adalah keburukan yang harus dilakukan terutama
untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga.
Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh terhadap
kehidupan keluarga (Wawan dan Dewi, 2010).
c) Umur
Menurut Huclok (1998) semakin cukup umur, tingkat
kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang
dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan
masyarakat, seseorang yang lebih dewasa dipercaya dari
orang yang belum tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai dari
pengalaman dan kematangan jiwa (Wawan dan Dewi, 2010).
d) Pengalaman
Pengalaman diartikan sebagai sumber belajar sekalipun
banyak orang yang berpendapat bahwa pengalaman itu lebih
luas daripada sumber belajar. Pengalaman artinya
berdasarkan pada pikiran yang kritis akan tetapi pengalaman
belum tentu teratur dan bertujuan. Pengalaman-pengalaman
yang disusun secara sistematis oleh otak maka hasilnya
adalah ilmu pengetahuan (Soekanto, 2002).
Semua pengalaman pribadi dapat merupakan sumber
kebenaran pengetahuan namun perlu diperhatikan di sini
bahwa tidak semua pengalaman pribadi dapat menuntun
seseorang untuk menarik kesimpulan dengan benar, untuk
dapat menarik kesimpulan dan pengalaman dengan benar
diperlukan berfikir kritis dan logis (Notoatmodjo, 2003).
2) Faktor eksternal
a) Faktor lingkungan
Menurut Ann. Mariner yang dikutip dari Nursalam
(2003) lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada
disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat
mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau
kelompok (Wawan dan Dewi, 2010).
b) Sosial budaya
Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat
mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi
(Wawan dan Dewi, 2010).
e. Kriteria tingkat pengetahuan
Menurut Arikunto (2006) pengetahuan seseorang dapat
diketahui dan diinterprestasikan dengan skala yang bersifat kualitatif,
yaitu:
1) Baik : hasil persentase 76% - 100%
2) Cukup : hasil persentase 56% - 75%
3) Kurang : hasil persentase < 56%
6. Perilaku kesehatan
Dari segi biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas
organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Skiner (1938) seorang
ahli psikologis, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau
reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena
perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme
dan kemudian organisme tersebut merespon maka teori Skiner ini disebut
teori “S-O-R” atau Stimulus Organisme Respon. Skiner membedakan
adanya dua respon:
a. Respondent respons atau reflexive, yakni respon yang ditimbulkan
oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam
ini disebut eliciting stimulation karena menimbulkan respon-respon
yang relatif tetap.
b. Operant respons atau instrumental respons, yakni respon yang timbul
dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang
tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau
reinforcer, karena memperkuat respon (Notoatmodjo, 2007).
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat
dibedakan menjadi dua:
a. Perilaku tertutup (covert behaviour)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau
tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih
terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran dan sikap
yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum
dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
b. Perilaku terbuka (overt behaviour)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau
terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk
tindakan atau praktik yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat
orang lain (Notoatmodjo, 2007).
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang
(organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit,
sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Batasan ini
mempunyai 2 unsur pokok yakni respon dan stimulus atau perangsangan.
Respon atau reaksi manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi
dan sikap) maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata atau practice).
Sedangkan stimulus atau rangsangan disini terdiri 4 unsur pokok yakni
sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan lingkungan.
Dengan demikian secara lebih terinci perilaku kesehatan itu mencakup:
a. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana
manusia berespon, baik secara pasif (mengetahui, bersikap dan
mempersepsi penyakit atau rasa sakit yang ada pada dirinya dan diluar
dirinya), maupun aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan
penyakit atau sakit tersebut.
b. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan adalah respon seseorang
terhadap sistem pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan kesehatan
modern maupun tradisional.
c. Perilaku terhadap makanan (nutrition behaviour) yakni respon
seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan.
Perilaku ini meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktik kita
terhadap makanan serta unsur-unsur yang terkandung didalamnya (zat
gizi), pengelolaan makanan dan sebagainya sehubungan dengan
kebutuhan tubuh kita.
d. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (enviromental health
behaviour) adalah respon seseorang terhadap lingkungan sebagai
determinan kesehatan manusia. Lingkup perilaku ini seluas lingkup
kesehatan lingkungan itu sendiri (Wawan dan Dewi, 2010).
Meskipun perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap
stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam
memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-
faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti meskipun
stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap-tiap orang
berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang
berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat
dibedakan menjadi dua, yakni:
a. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang
bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat
kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin dan sebagainya.
b. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan
fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Faktor
lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai
perilaku seseorang.
Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa perilaku adalah
merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang, yang
merupakan hasil bersama atau resultante antara berbagai faktor, baik
faktor internal maupun eksternal. Dengan perkataan lain perilaku
manusia sangatlah kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat
luas. Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan
membagi perilaku manusia itu ke dalam tiga domain, ranah atau kawasan
yakni: kognitif (cognitive), afektif (affective), psikomotor (psychomotor).
Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk
pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni pengetahuan, sikap,
praktik atau tindakan (Notoatmodjo, 2007).
Perubahan atau adopsi perilaku baru adalah suatu proses yang
kompleks dan memerlukan waktu yang relatif lama. Secara teori
perubahan perilaku atau seseorang menerima atau mengadopsi perilaku
baru dalam kehidupannya meliputi 3 tahap:
a. Pengetahuan
Sebelum seseorang mengadopsi perilaku (berperilaku baru), ia harus
tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi
dirinya atau keluarganya.
b. Sikap
Sikap adalah penilaian (bisa berupa pendapat) seseorang terhadap
stimulus atau objek (dalam hal ini adalah masalah kesehatan,
termasuk penyakit). Setelah seseorang mengetahui stimulus atau
objek, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap
stimulus atau objek kesehatan tersebut.
c. Praktik atau tindakan
Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan,
kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang
diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau
mempraktikkan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik)
(Notoatmodjo, 2007).
B. KERANGKA TEORI
*Yang diteliti
Skema 2.1 Kerangka Teori
Sumber: Modifikasi Notoatmodjo (2003) dan Notoatmodjo (2007)
· Pendidikan
· Pekerjaan
· Umur
· Pengalaman
· Lingkungan
· Sosial Budaya
*Pengetahuan Perilaku