bab ii landasan teoretis, konseptual dan kerangka … · landasan teoretis, konseptual dan kerangka...
TRANSCRIPT
49
BAB II
LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR
Bab inimerupakan bab yang memaparkan mengenai landasan teoritis,
konseptual, dankerangka berpikir. Teori yang dipakai dalam Disertasi ini, yaitu:
(i) teori kedaulatan hukum, (ii) teori trias politica, (iii) teori kewenangan, (iv) teori
ratio decidendi, (v) teori penemuan hukum (a contrario), (vi) konsep negara
hukum, (vii) asas legalitas, dan (viii). asas erga omnes, Sedangkan landasan
konseptual, diantaranya: (i) pentaatan, (ii) putusan, (iii) pengadilan tata usaha
negara, (iv) badan atau pejabat tata usaha negara, (v) pemilihan umum, (vi)
konsep pemilihan kepala daerah, (vii) kepala daerah dan wakil kepala daerah, dan
(viii) pasangan calon kepala daerah, serta kerangka berpikir, yang dimaksud
dengan kerangka berpikir adalah sebuah alur berpikir secara rasional dan
sistematis mengenai apa yang hendak mau digambarkan dalam suatu penulisan
ilmiah dalam bentuk disertasi.
2.1. Landasan Teoritis
Landasan teoritis adalah upaya untuk mengindentifikasi teori hukum umum
atau khusus, konsep-konsep, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-norma dan
lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan
penelitian.Menurut Bernard Arief Sidharta,24
teori hukum adalah seperangkat
pernyataan (klaim), pandangan dan pengertian yang saling berkaitan secara logika
berkenaan dengan sistem hukum tertentu atau suatu bagian dari sistem tersebut,
24
Bernard Arief Sidharta, 2013, Ilmu Hukum Indonesia Upaya Pengembangan Ilmu hukum
Sistematik Yang Responsif Terhadap Perubahan Masyarakat, Genta Publishing, Cetakan Pertama,
Yogyakarta, h. 69
50
yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga berdasarkannya dimungkinkan untuk
merancang hipotesis tentang isi aturan hukum (yakni produk interpretasi aturan
hukum) dan konsep yuridik yang terbuka untuk pengujian dan fungsi untuk
mensistematisasi kaidah-kaidah hukum dengan cara tertentu. Lebih lanjut beliau
katakan teori hukum dengan demikian berfungsi untuk menjelaskankan, menilai
dan memprediksi. Teori hukum dapat diuji secara empirikal dengan meneliti
sejauh mana metode interpretasi dan intepretasi suatu aturan hukum digunakan
dalam praktek hukum dan secara rasional dikaji konsistensinya dalam kerangka
sistem hukum yang berlaku.25
Teori dikatakan pula sebagai seperangkat, konsep, defenisi, dan proposisi-
proposisi yang berhubungan satu sama lain, yang menunjukkan fenomena-
fenomena. Teori dimaknai sebagai suatu konstruksi yang jelas, yang dibangun
atas jalinan fakta-fakta.Teori pada dasarnya menjelaskan suatu fenomena atau
merupakan proses atau produk atau aktivitas, atau merupakan suatu sistem.
Hakikat Teori dari segi manfaatnya ada dua yaitu manfaat teoritis dan manfaat
praktis. Manfaat teoritis adalah sebagai alat dalam menganalisis dan mengkaji
penelitian-penelitian yang dikembangkan oleh para ahli berupapenelitian-
penelitian dalam bentuk hibah bersaing atau hibah kompetisi dan disertasi.
Sedangkanmanfaat praktis adalah sebagai alat atau instrumen dalam mengkaji dan
menganalisis sebuah fenomena-fenomena yang timbul dan berkambang dalam
masyarakat, bangsa, dan negara.
25
Ibid
51
JJ.H. Bruggink mengatakan yang dimaksud dengan teori hukum adalah
suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem
konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut
untuk sebagian yang penting dipositifkan.26
Sedangkan Meuwissen
mengklasifikasiteori hukum atas lima jenis, meliputi: (i) teori sistem, (ii) teori
hukum fungsional, (iii) teori hukum politik, (iv) teori hukum empiris, dan (v) teori
hukum Marxistik.27
Teori hukum sebagaimana dikemukakan oleh JJ.H.Brunggink
dan Meuwissen di atas melihat teori hukum sebagai pisau analisis terhadap
fenomen hukum yang timbul dalam masyarakat. Untuk itu, terkait penulisan
Disertasi ini terdapatbeberapa penjastifikasian teori yang akan dipakai sebagai
pisau analisis guna memecahkan permasalahansebagaimana diatas. Kelima teori
dan dua asas dan serta satu konsep yang telah disebutkan di atas merupakan pisau
analisis guna membedah tiga substansi permasalahan yang ditelah dirumuskan
pada bab pendahuluan.
2.1.1. Teori Kedaulatan Hukum
Istilah “kedaulatan” merupakan terjemahan dari sovereignity (bahasa
Inggris), souverainete (bahasa Prancis), souranus (bahasa Italia),
souvereiniteit(bahasaBelanda), Superanus (bahasa Latin), yang berarti
supremasi.28
Sovereignity berasal dari kata latin yaitu: “superanus” yang
26
JJ.H. Brunggink, 2011, Refleksi Tentang Hukum “pengertian-Pengertian Dasar Dalam
Teori Hukum, alih bahasa B. Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti,Cetakan Kedua, Bandung, h. 160 27
B. Arief Sidharta, 2013, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum Ilmu Hukum, Teori
Hukum, Dan Filsafat Hukum, Rafika Aditama , Cetakan Keempat, Bandung, h. 32-34 28
Khairul Fahmi, 2012, Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat, Rajagrafindo Persada,
Cetakan Kedua, Jakarta, h. 17
52
sinonimnya “supernius” atau “hiperbus” atau superus”29
berarti titik yang
tertinggi. Dalam Black‟s Law Dictionarymendefenisikansovereignit sebagai
berikut:30
“it is well to (distinguish) the senses in which the word Sovereignity is used.
In the ordinary popular sense it means Supremacy, the right to demand
obedience. Although the idea of actual power is not absent, the prominent
idea is that of some sort of title to exercise control. An ordinary would call
that person (or body of persons) Soveriegn in a State who is obeyed because
he is acknowledged to stand at the top, whose will must be expected to
prevail, who can get his own way, and make others go his, because such is
the practice of the country. Etymologically the word of course means merely
superiority, and familiar usage applies it in monarchies to the monarch,
because he stands firts in the State, be his real power great or small”.
Sovereignity pertama kali diperkenalkan oleh Jean Bodinpada 1576,
dengan mengartikansovereignitysebagai “the state which made sovereign
power its essential characteristic”31
(negara yang membuat kekuasaan yang
berdaulat itulah karakteristik esensial”).Dalam bukunya “Six Books Concerning
the State” Jean Bodin menyebutkan kedaulatan adalah kekuasaan satu-satunya
yang:
1. asli (urspriinglich, oorspronkelijk), artinya tidak diturunkan dari sesuatu
kekuasaan lain;
2. tertinggi, artinya tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat
membatasi kekuasaannya;
3. kekal (permanent, dauerhaft, duurzaam), artinya pemerintah dapat
berganti-ganti, kepala negara dapat meninggal dunia, bahkan susunan
negara dapat berubah-rubah, akan tetapi negara dengan kekuasaannya
berlangsung terustanpa terputus-putus;
29
Bahder Johan Nasution, 2012, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju,
Bandung, Cetakan Kedua, h. 48 30
Bryana A. Garner,1998, Black‟s Law Dictioneri, West Group ST. Paul, MNN, Seventh
Edition, USA, h. 1402, Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Pusat Bahasa, Edisi Keempat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 298 Lihat Yan Pramadya
Puspa, 1977, Kamus Hukum Edisi Lengkap Belanda, Indonesia, Inggris , Aneka Ilmu, Semarang,
h. 778 31
H. Krabbe, dkk, 1922, The Modern Of The State, The Hague Martinus Nijhoff, h. XVIII
53
4. tidak dapat dibagi-bagi (indivisible, unteilbar, ondeelbaar), artinya
karena hanya ada satu kekuasaan tertinggi, maka kekuasaan itu tidak
dapat dilepaskan dan diserahkan kepada suatu badan lain.
5. tidak dapat dialihkan (unverauszerlich, onvervreemdbaar), artinya tidak
dapat dipindahkan kepada suatu badan lain, tidak dapat dilepaskan dan
diserahkan kepada sesuatu badan lain.32
Defenisikedaulatan menurut Jean Bodin penekanannya pada: “asli,
tertinggi, kekal, tidak dibagi, dan dialihkan” artianbahwa negara yang memiliki
kedaulatan tertinggi. Selain itu, C.F. Strong mengatakan bahwa yang memiliki
kekuasaan untuk membuat dan melaksanakan Undang-Undang dengan cara
paksaan adalah negara.33
Pandangan Jean Bodin dan C.F. Strong di atas pada
dasarnya mengakui pemilik kedaulatan adalah negara sebab negara yang
membuat dan melaksanakan segala aturan yang dibuatnya.
Kedaulatan muncul sebagai penjastifikasian terhadapsubjek hukum yang
memilikiotoritas tertinggi dalam suatu negara berdaulat.Pertanyaan mendasar
ialah subyek hukum mana yang memiliki kedaulatan tertinggi, apakah Tuhan,
negara, hukum, atau rakyat. Tentunya pertanyaan ini dijawab variatif
tergantung cara pandangan penggunanya dalam penjastifikasi terhadap fakta
dan fenoma yang terjadi. Dalam ilmu ketatanegaraan dikenal beberapa, yaitu:
Teori Kedaulatan Tuhan, Teori Kedaulatan Negara, Teori Kedaulatan Rakyat
dan Teori Kedaulatan Hukum. Teori kedaulatan ini,laludikembangkan seiring
sistem ketatanegaraan dalam suatu negara modern. Selain itu dikenal juga
Teori Trias Politika dan Teori Demokrasi sebagai pengayaan dari teori-teori
32
Muchtar Arfandi,1971, Himpunan Kuliah Ilmu-Ilmu Kenegaraan, Alumni, Bandung, h.
160 33
C.F. Strong,1966,Modern Political Constitutions “Konstitusi-Konstitusi Politik Negara”
Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh Derta Sri Widowatie, Nusa
Media, Bandung, h. 8
54
kedaulatan. Selaras dengan Teori Kedaulatan di atas, tidak semua teori
digunakan dalam penulisan ini, hanya difokuskan pada Teori Kedaulatan
Hukum sebagai teori pokok atau utama atau kata lain grand teori, untuk
mengkaji dan menganalisis masalah pertama mengenai hakekat Pengadilan
Tata Usaha Negara.
Teori Kedaulatan Hukum (rechtssouvereniteit)dipelopori oleh filsuf
berkebangsaan Belanda bernamaHugoKrabbe (1857-1936). Teori ini
dijabarkan dalam pelbagai karyanya, yaitu:
a. Die Lehre der Rechtssouvereinitet, Betrag zur Staatslehre (1906);
b. De moderne Staatsidee (1916; terjemahannya dalam bahasa Jerman
dikeluarkan tahun 1919 dan dalam bahasa Inggris tahun 1922);
c. Het Rechtsgezag (1917);
d. De Innerlijke waardesder Wet (terjemahkan di Lei den 1924).34
Teori Kedaulatan Menurut Krabbe pada hakekatnya adalah:
“Hukum itu sama sekali tidak tergantung dari kehendak manusia, bahkan
hukum adalah suatu hal yang terlepas dari keinginan manusia. Hukum
terdapat dalam kesadaran hukum tiap-tiap orang. Kesadaran hukum itu
tidaklah dipaksakan dari luar, melainkan dirasakan orang dalam dirinya
sendiri. Kesadaran itu memaksa orang untuk menyesuaikan segala
tindakkannya dengan kesadaran hukum itu”.35
Sunarjati Hartono mengemukakan bahwa bagiKrabbe “hanyalah hukum
yang menjadi sumber dari pada kekuasaan negara itu”.36
Oleh karena itu, tugas
negara adalah untuk menjelmakan kesadaran hukum itu dalam bentuk
ketentuan-ketentuan hukum positif, yang nyata, berupa peraturan-peraturan
hukum.
34
Muchtar Affandi, 1971, Himpunan Kuliah Ilmu Ilmu Kenegaraan, Alumni, Bandung, h.
166-167 35
Ibid 36
Sunarjati Hartono, 1969, Apakah The Rule Of Law itu?, Alumni, Bandung, h. 45
55
Teori Kedaulatan Hukum mendalilkan bahwa hukum lahir dari kesadaran
individu, sedangkan Teori Kedaulatan Negara mendalilkan negara lebih tinggi
dari pada hukum yang dapat pula diartikan bahwa negaratidak tunduk pada
hukum karena hukum merupakan perintah dari negara itu sendiri. Teori
Kedaulatan Hukum memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah
hukum itu sendiri,baik raja, penguasa, maupun rakyat bahkan negara itu sendiri
tunduk pada hukum. Semua sikap, tingkah laku, dan perbuatan harus menurut
hukum”. 37
Krabbe mendalilkan bahwa hukum bukanlah ketentuan-ketentuan yang
dibuat penguasa. Penguasa hanya memberikan perumusan formil saja kepada
hukum yang telah ada pada kesadaran hukum orang, malahan sebaliknya
kekuasaan penguasa pun berasal dari hukum dan harus sesui dengan kesadaran
hukum orang. Kelemahan dari Teori Kedaulatan Hukum ini adalah bahwa
anggapan tentang hukum, yaitu anggapan tentang apa yang adil dan apa yang
tidak adil, tidaklah mutlak sama pada semua orang sehingga hukum tidak sama
dan secara mutlak pada setiap tempat dan setiap waktu, Hal ini ditegaskan oleh
Rodee, Anderson dan Christol dalam buku mereka “Introduction to Political
Science” yang dikutip oleh Muchtar Affandi mereka berkata. „A basic difficulty
is, that law means so many differen things to so many different persons at so
many different times and places”.38
Jellinek dengan teori Selbstbindung, yaitu suatu teori yang menyatakan
bahwa negara dengan sukarela mengikatkan diri atau mengharuskan dirinya
37
H. Salim, HS, 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajagrafindo Persada,
Cetakan Kedua, Jakarta, h. 135. 38
Muchtar Affandi, Op Cit, h. 167
56
tunduk kepada hukum sebagai penjelmaan dari kehendak sendiri.39
Teori
Jellinek ini merupakan bentuk kritik terhadap teori Krabbe, bahwa bukanlah
negara yang memiliki kedaulatan melainkan kesadaran hukum yang memiliki
kedaulatan. Padangan ini kemudian dibantah oleh Krabbe dengan mengatakan
hukum yang berasal dari kesadaran hukum individual memiliki cara berlaku
dan kekuatannya mengikat negara, karena perasaan kesusilaan, estetika, dan
keagamaan.
Teori Krabbe dapat disanggah oleh Struycken, dalam bukunya “Recht en
Gezag Critiche Bescchauwing van Krabe‟s Moderne Staatsidee”.40
Struycken
mengatakan bahwa rasa hukum individu tidak dapat dijadikan sumber hukum
karena ia selalu berubah pada setiap waktu, pandangan Struycken sejalan
dengan Rodee, Anderson dan Christol sebagai telah disinggung di atas.
Namun, A.M. Doner ikut memperkuat Teori Krabbe, ia mengatakan tunduknya
negara terhadap hukum sebagai “de doordringing van de staat met het recht”41
artinya hukum mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara. Selain itu,
Peperzak42
menilai, sumber hukum berasal dari kesadaran hukum masayarakat
tidak lain sebagai kristalisasi moral sehingga setiap pihak secara moral pula
harus mentaati hukum “hance the feeling that there is amoral duty to obey the
law”…). Hal senada juga dikatakan oleh Lawrence M. Friedman bahwa “tidak
ada siapa pun bahkan Walikota Mephis, Gubernur New York, Presiden, dan
39
Dossy Iskandar & Bernard L. Tanya, 2005, Ilmu Negara “Beberapa Isu Utama”,
Srikandi, Surabaya, h.127 40
Ibid, h. 128 41
Ibid 42
ibid
57
Mahkamah Agung itu sendiri, yang benar-benar tertinggi secara mutlak adalah
hukum.43
Benih Teori Kedaulatan Hukum dari Krabbe ini sesungguhnya sudah
ditabur oleh Aristoteles sejak zaman Yunani kuno. Aristoteles bahkan sampai
pada suatu kesimpulan, bahwa salah satu kriteria dari suatu negara yang baik
adalah harus terlihat secara formal dianutnya kedaulatan hukum oleh negara
itu. Lebih jauh Aristoteles mengatakan, tidaklah benar apa yang dikemukakan
oleh Plato bahwa pemerintah yang berdasarkan hukum dapat diganti dengan
pemerintah oleh penguasa yang bijaksana, sebab penguasa yang bagaimanapun
bijaksananya tidak dapat menggantikan hukum karena hukum mempunyai sifat
yang terlepas dari perseorangan. Hukum adalah akal yang tidak dapat
dipengaruhi oleh keinginan, demikian pandangan Aristoteles untuk
menguatkan teorinya tentang negara hukum.
Inti teori kedaulatan hukum yang mengajarkan tunduknya negara kepada
hukum, membawa konsekuensi bahwa setiap kekuasaan yang ada dalam negara
harus tunduk tehadap hukum. jadi hukum merupakan kekuasaan tertinggi
dalam negara, oleh karena itu berpegang pada inti teori kedaulatan hukum,
maka kekuasaan kehakiman pun harus tunduk pada hukum. konsekuensi semua
kekuasaan yang berada di bawah tetanan negara hukum juga harus tunduk pada
hukum. pada awalnya pemikiran negara hukum muncul sejak zaman Yunani
kuno yang dikemukakan oleh Plato dengan konsepnya bahwa penyelenggaraan
negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik
43
Lawrence M. Friedman, 2001, Hukum Amerika Sebuah Pengantar “American Law An
Introduction” diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Tatanusa, Edisi Kedua, Cetakan Pertama,
Jakarta, h. 17
58
yang disebut dengan istilah Nomoi. Gagasan Plato tentang negara hukum ini
semakin tegas ketika didukung oleh muridnya Aristoteles dengan karyanya
Politica, menurut Aristoteles suatu negara yang baik adalah negara yang
diperintah dengan konstitusi dan kedaulatan hukum. Ada tiga unsur dari
pemerintah yang berkonstitusi, yaitu: Pertama, Pemerintahan dilaksanakan
untuk kepentingan umum; Kedua, pemerintah dilaksanakan menurut hukum
didasarkan pada ketentuan-ketentuan umum; Ketiga, Pemerintah berkonstitusi
berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat. Dalam kaitan
dengan konstitusi Aristoteles mengatakan bahwa konstitusi merupakan
penyusunan jabatan dalam suatu negara, dan menentukan apa yang dimaksud
dengan badan pemerintahan dan apa akhir dari setiap masyarakat selain itu
konstitusi merupakan aturan-aturan dan penguasa harus mengatur negara
menurut aturan tersebut.
2.1.2. Teori Trias Politica
Pemisahan kekuasaan negara merupakan prinsip yang fundamental dalam
sebuah negara hukum. Selain karena berfungsi membatasi kekuasaan dari
lembaga-lembaga penyelenggara negara, pemisahan kekuasaan negara juga
untuk mewujudkan spesialisasi fungsi dalam rangka mencapai efesiensi yang
masimun, sesuai dengan tuntutan zaman yang modern.
Pemisahan kekuasaan secara historis pertama kali dikemukakan oleh
John Locke (1632-1704) dan dikembangkan oleh Montesquieu (1689-
1755).Teori ini sebelum mendunia, sesungguhnya cikal bakal atau embrio dari
teori ini pernah ditulis oleh Aristoteles, ketika dipopulerkan oleh Montesquieu
59
dianggap bukan teori baru, tetapi merupakan pengembangan dari ide
Aristoteles dan John Locke.
John Locke dalam bukunya yang berjudul “Two Treties on
CivilGovernmentmengemukakan kekuasaan di dalam suatu negara dapat
dibagi-bagi kepada organ-organ negara yang berbedaagar pemerintahan tidak
sewenang-wenang tetapi harus ada pembedaan pemegang kekuasaan dalam
negara. Tiga model kekuasaan di maksud, yaitu:
a. Kekuasaan Legislatif (membuat Undang-Undang);
b. Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan Undang-Undang);
c. Kekuasaan Federatif (melakukan hubungan diplomatik dengan
negera-negara lain.44
Sedangkan Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan menjadi tiga
jenis, yaitu:
“legislatif, eksekutif, dan yudikatif. kekuasaan legislatif adalah kekuasaan
untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan
melaksanakan undang-undang (di dalamnya kekuasaan politik luar negeri),
dan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran
undang-undang.45
Pembagian kekuasaan menurut Montesquieu di atas, ditulis dalam
bukunya “L‟esprit des Lois”, pada tahun 1948.Montesquieu menawarkan
model yang agak berbeda dari yang ditawarkan oleh John Locke. Pandangan
John Locke dan Monteqiueu itu menampilkan kekhasan tersendiri, kekhasan
John Locke ialah memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan
eksekutif dan kekuasaan federatif menjadi kekuasaan tersendiri. sedangkan
44
Idul Rishan, 2013, Komisi Yudisial Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan,
Cetakan Pertama, Genta, Yogyakarta, h. 17 45
Ibid
60
Montesquieu memasukkan kekuasaan federatif ke dalam kekuasaan eksekutif
dan memisahkan kekuasaan yudikatif menjadi kekuasaan tersendiri.
Teori Trias Politika Montesquieu mendapat kritik karena dipandang tidak
sesuai realita. Utrecht mengemukkan dua keberatan terhadap Teori Trias
Politika untuk dipraktekan seluruhnya dalam negara modern, yaitu:
a. Pemisahan mutlak yang seperti dikemukkan Montesquieu,
mengakibatkan adanya badan kenegaraan yang tidak ditempatkan di
bawah penguasaan suatu badan kenegaraan lain. Tidak ada
pengawasan bararti kemungkinan suatu badan kenegaraan untuk
melampaui batas kekuasannya. Oleh karena itu, kerja sama antara
masing-masing badan kenegaraan dipersulit. Dengan demikian yang
berlainan dalam negara perlu diberikan kesempatan untuk saling
mengawasi.
b. Dalam negara modern, atau welfare state, atau welvaarstaat, atau
wehlfahrstaat (mulai berkembang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-
20), lapangan tugas pemerintah bertambah luas untuk mewujudkan
berbagai kepentingan masyarakat. Dalam hal demikian, tidak mungkin
diterima asa teguh (vest beginsel) bahwa tiga fungsi tersebut masing-
masing hanya boleh diserahkan kepada suatu badan kenegaraan
tertentu. Ada banyak badan kenegaraan diserahi lebih dari satu fungsi
(kemungkinan untuk mengoordinasi beberapa fungsi).46
Walapun Teori Trias Politia Montesquieu mendapat kritikan, namun
keberadaannya sangat penting karena substansinya dari teori tersebut
menghendaki kekuasaan dalam negara jangan sampai terpusat pada satu tangan
(badan) karena akan melahirkan kesewenang-wenangan. Akan tetapi,
kekuasaan tersebut dibagi sehingga hak asasi warga negara dapat terlindungi.
Teori Trias Politika sebagai pisau analisis permasalahan pertama dalam
disertasi ini yaitu hakikat Pengadilan Tata Usaha Negara dalam negara hukum
sebab Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu badan peradilan di
bawah sebuah Mahkamah Agung yang berfungsi menjalankan kekuasaan
46
Ibid
61
kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi warga negara pencari
keadilan.
2.1.3. Teori Kewenangan
Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda. Istilah itu
seringkali diperlukannya dengan istilah kewenangan. Istilah wewenang dan
kewenangan sering disejajarkan dengan istilah “bevoegdheid” dalam istilah
hukum Belanda. Istilah wewenang dan kewenangan bila dicermati ada sedikit
perbedaan dengan istilah “bevoegdheid”. Perbedaan istilah ituterletak dalam
karakter hukumnya. Istilah “bevoegdheid” digunakan baik dalam konsep
hukum publik maupun dalam konsep hukum privat. Hukum Indonesia
kewenangan atau wewenang sebatas pada ranah hukum publik saja.
Kewenangan atau wewenangselalu menjadi bagian penting dan bagian
awal dari hukum adminitrasi karena obyek hukum administrasi adalah
wewenang pemerintahan (bestuurs bevoegdheid). Menurut F.A.M. Stroink,
wewenang merupakan suatu konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum
administrasi.47
Dalam hukum tata negara, wewenang (bevoegdheid)
dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep
hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan hukum kata Henc Van
Maarseveen.48
Lebih lanjut beliau mengatakan wewenang merupakan konsep
hukum publik maka wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga
komponen, yaitu: (a) pengaruh, (b) dasar hukum, dan (c) konformitas
47
Philipus M. Hadjon, dkk, 2011, Hukum Administrasi Tindak Pidana Korupsi, Gadjah
Mada University Press, Cetakan Kedua, Yogyakarta, h. 10 48
Ibid
62
hukum.49
Tiga komponen yang dimaksudkan ini ditegaskan oleh
beliau,komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan
untuk mengendalikan perilaku subyek hukum. Komponen dasar hukum, bahwa
wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya dan komponen
konformitas hukum, mengandung makna adanya standar wewenang, yaitu
standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis
wewenang tertentu).
Dalam khasanah hukum administrasi dikenal tiga sumber hukum
kewenangan pemerintah, yaitu “atribusi”, “delegasi”, dan “Mandat”. Dari
ketiga sumber hukum kewenangan ini dalam hubungannya dengan penulisan
disertasi ini, maka penulis hanya fokuskan pada kewenangan Atribusi dan
kewenangan Delegasi.
Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintah atau
lembaga yudisial dalam melakukan perbuatan nyata, mengadakan pengaturan
atau mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh
dari konstitusi secara atribusi, delegasi maupun mandat. Suatu atribusi
menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar UUD atau UU. Kewenangan
delegasi penegasannyapada suatu pelimpahan wewenang kepada organ
pemerintah yang lain. Sedangkan mandat tidak terjadi perubahan wewenang
yang sudah ada dan merupakan hubungan internal pada suatu badan, atas
penugasan bawahan melakukan suatu tindakan atas nama dan atas tanggung
jawab pemberi mandat.
49
Ibid
63
Konsep teoritis tentang kewenangan dikemukakan pula oleh H.D, Stoud,
yang berpendapat bahwa kewenangan adalah “keseluruhan aturan-aturan yang
berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh
subjek hukum publik dalam hubungan hukum publik”.50
2.1.3.1. Atribusi
Atribusi, dikatakan sebagai cara normal untuk memperoleh wewenang
pemerintahan. Juga dikatakan bahwa atribusi juga merupakan wewenang untuk
membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang
dalam arti materil.51
Atribusi menurut “H.D. van Wijk dalam Lukman Hakim
memberikan pengertian “atributie: toekening van bestuurbevoegheid door een
wetgever aan bestuursorgaan (atribusi, adalah pemberian wewenang
pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada pemerintah).52
Dijelaskan
bahwa pembentukan undang-undang yang dilakukan baik oleh pembentuk
undang-undang orisinal (orginaire wetgevers) maupun membentuk undang-
undang yang mewakilkan (gedelegeerde wetgevers) memberikan kekuasaan
kepada suatu organ pemerintahan yang dibentuk kepada kesempatan itu atau
kepada organ pemerintahan yang sudah ada sebagaimana dinyatakan sebagai
berikut ini:53
“Eeen wetgever schept een (nieuwe) bestuursbevoegdheid en kent die toe
aan een bestuursorgaan. Dat kan een bestaand bestuursorgan zijn of een
50
Ridwan HR,2011, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, RajaGrafindo Persada,
Cetakan Keenam, Jakarta, h. 98 51
Philipus M. Hadjon dkk, 2011, Hukum Administrasi Dan Tindak Pidana Korupsi, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, h. 11 52
Lukman Hakim, 2012, Filosofis Kewenangan Organ dan Lembaga Daerah Perspektif
Teori Otonomi dan Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara Hukum dan
Kesatuan, Setera Press, Malang, h. 126 53
Ibid
64
voor de gelegenheid nieuw geschappen bestuursorgan;...” (pembuat
undang-undang menciptakan suatu wewenang pemerintahan (yang baru)
dan menyerahkan kepada suatu lembaga pemerintahan. Ini bisa berupa
lembaga pemerintahan yang telah ada, atau suatu lembaga pemerintahan
baru yang diciptakan pada kesempatan tersebut...).
Menurut S.F. Marbun,54
Atribusi berarti adanya pemberian suatu
wewenang (baru) oleh rakyat melalui wakilnya di parlemen kepada
pemerintah, dimana wewenang tersebut sebelumnya tidak dimiliki oleh
pemerintah. Dengan adanya pemberian wewenang itu berarti tindakan
pemerintah menjadi sah (halal) dan secara yuridis mempunyai kekuatan
mengikat umum, karena telah memperoleh persetujuan dari rakyat melalui
wakilnya di parleman.
Selanjutnya dalam pasal 12 UU No. 30 Tahun 20014 tentang
Administrasi Pemerintahan menyatakan:
(1) Badan dan/atau pejabat pemerintahan memperoleh wewenang
melalui artibusi apabila:
a. diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan/atau undang-undang;
b. merupakan wewenang baru atau sebelumnya tiada ada; dan
c. Atribusi diberikan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang
melalui atribusi, tanggungjawab kewenangan berada pada badan
dan/atau pejabat pemerintahan yang bersangkutan.
(3) Kewenangan atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan/atau undang-undang.
Berdasarkan pandangan teoritik mengenai atribusi dan ketentuan Pasal
12 UU Nomor 30 Tahun 2014, sebagaimana telah diuraikan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa atribusi adalah kewenangan yang diperoleh dari Undang-
54
S.F. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi Di
Indonesia, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta, h. 158
65
Undang Dasar atau Undang-Undang, atribusi menjadi tanggung jawab
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, dan atribusi tidak dapat didelegasikan
kepada organ lain kecuali diatur dalam UUD atau Undang-Undang.
2.1.3.2. Delegasi
Delegasi, diartikan sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat
besluit) oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain dan wewenang tersebut
menjadi tanggungjawab pihak lain tersebut.55
Menurut H.D. Van Wijk:
overdraacht van bevoegheid van het one bestuursorgaan een onder
(pernyerahan wewenang pemerintahan dari suatu badan atau pejabat
pemerintah kepada badan atau pejabat yang lain). Setelah wewenang
diserahkan maka pemberi wewenang tidak mempunyai wewenang lagi.56
Sebagaimana ditegaskan: Van delegate van bestuurbevoegheid is spreke
wanner een bevoegheid van een bestuursorgan wordi overgedragen aan een
ender orgaan, dat die bevoegheid gaat uitoefenen in plaats van het
oorspronkelijk bevoegd van A was, is voortaan bevoegheid van B (en niet meer
van A). (kita dapat berbicara tentang delegasi wewenang pemerintahan
bilamana suatu wewenang lembaga pemerintahan diserahkan kepada lembaga
lain, yang menjelankan wewenang tersebut dan bukannya lembaga yang
semula berwenang. Delegasi dengan demikian disimpulkan sebagai
penyerahan: apa yang semula merupakan wewenang A, sekarang menjadi
wewenang B (jadi bukan lagi wewenang A).
55
Ibid, h. 13 56
Lukman Hakim, Op Cit, h, 126
66
Selain itu, J.G. Brouwer berpendapat “...delegasi adalah kewenangan
yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintah
atau lembaga negara kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang
telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas
namanya...”.57
J.B.J.M. ten Berge dalam Philupus M. Hadjon menyebutkan syarat-syarat
delegasi meliputi:58
a. delegasi harus defenitif, artinya delegans tidak dapat lagi
menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.
b. delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,
artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu
dalam peraturan perundang-undangan.
c. delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki
kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.
d. kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans
berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang
tersebut.
e. adanya peraturan kebijakan (beleidsregel) untuk memberikan instruksi
(pentunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.
Delegasi secara normatif diatur dalam Pasal 13 UU No. 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan yang berbunyi:
(1) Pendelegasian kewenangan ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh wewenang
melalui Delegasi apabila:
a. diberikan oleh badan/pejabat pemerintahan kepada badan
dan/atau pejabat pemerintahan lainnya;
b. ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
dan/atau Peraturan Daerah; dan
c. merupakan wewenang pelimbahan atau sebelumnya telah ada.
(3) Kewenangan yang didelegasikan kepada badan dan/atau pejabat
Pemerintahan tidak dapat didelegasikan lebih lanjut, kecuali
ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.
57
Abdul Rasyid Thalib,2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik IndonesiaCitra Aditya Bakti,, Cetakan Kesatu, Bandung, h. 218 58
Philipus M. Hadjon, Op.Cit, h.
67
(4) Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan menentukan
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), badan dan/atau pejabat
pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui delegasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mensubdelegasikan
Tindakan kepada badan dan/atau pejabat pemerintah lain dengan
ketentuan:
a. Dituangkan dalam bentuk peraturan sebelum wewenang
dilaksanakan;
b. Dilakukan dalam bentuk lingkungan pemerintahan itu sendiri; dan
c. Paling banyak diberikan kepada badan dan/atau pejabat
pemerintahan 1 (satu). tingkat di bawahnya.
(5) Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang memberikan delegasi
dapat menggunakan sendiri wewenang yang telah diberikan melalui
delegasi, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan;
(6) Dalam hal pelaksanaan wewenang berdasarkan delegasi
menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan,
badan dan atau pejabat pemerintahan yang memberikan
pendelegasian kewenangan dapat menarik badan dan/atau pejabat
Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui delegasi
tanggung jawab kewenangan berada pada penerima delegasi.
Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang
dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa
suatu kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.
Bertolak dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewenangan
adalah perintah undang-undang dan pelimpahan kewenangan yang sifatnya
hubungan hukum.
Teori kewenangan kegunaanya dalam disertasi ini sebagai pisau analisis
yang diperuntukkan untuk menelaah permasalahan pertama dan masalah kedua
dalam disertasi ini yang menyoroti terhadap kompetensi Pengadilan Tata
Usaha Negaradalam mengadili sengketa Pemlihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah dan juga mengenai kewenangan Komisi Pemilihan Umum
dalam menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,
68
serta alasan pertimbangan apa sehinggga Komisi Pemilihan Umum
mengabaikan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang berkekuatan hukum
tetap.
2.1.4. Teori Ratio Decidendi
Setiap sistem hukum yang menggunakan modelprecedent (keputusan
pengadilan sebelumnya yang dianggap sebagai sumber hukum), ini dianggap
secara teknis mengikat atau tidak, akan perlu mempertimbangkan dalam cara
apa ia mengikat terhadap kasus-kasus. Tujuan ini secara umum diterima bahwa
relevansi ini ditemukan pada fakta bahwa keputusan melibatkan beberapa
prinsip dari penerapan yang umum. Sebuah sistem hukum di Inggris,
menggambarkan dimana sebuah keputusan mungkin diperlakukan secara
mutlat mengikat pada pengadilan, karena pengadilan yang bisa menetapkan apa
yang mengikat.59
Teori tradisional di Inggris secara umum didominasi untuk
menganggap bagian yang mengikat dari sebuah keputusan sebagai asas hukum
yang dirumuskan oleh pengadilan dalam hubungan dengan hal yang
sebenarnya diputuskan.60
Ian McLeod mengatakan “the phrase ratio decidendi may be translated
as the reason for the decision”61
yakni suatu alasan dari ditetapkannya suatu
amar putusan atau diktum. Selanjutnya, dia menekankan pentingnya “ratio
59
Lord Lloyd Of Hampstead and M.D.A. Freeman, 1985, Lloyd‟s Introduction To
Jurisprudence, Fifth Edition, Stevens & Sons, London, h. 1115 60
Ibid 61
Ian McLeod, 1996, Legal Method, Macmillan London, h. 137 lihat I Made Pasek Diantha,
2016, Metode Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum, Prenada Media Group,
Cetakan Pertama, Jakarta, h. 166
69
decidendi” bagi hakim berikutnya yang menangani perkara yang sama, sebagai
berikut:
“in this descrptive sense the phrase ration decidendi in used to describe
the way in which the earlier judge reached the decision. Clearly there
fore in this contex a later judge must acknowledge the materiality of the
facts which the earlier judge treated as being materials”.
Maksudnya, hakim belakangan diharap memahami deskripsi ratio hakim
terdahulu yang mendasarkan pada fakta-fakta materiil dari perkara itu sehingga
dicapai suatu amar putusan. Ian McLeod dalam bukunya legal Method,
mengemukakan bahwa “… principle of legal certainty simply requires that
people who are subject to the law should be able to ascertain their rights and
obligations62
(prinsip dari kepastian hukum semata-mata mengharuskan bahwa
orang-orang yang tunduk kepada hukum harus mampu memastikan hak-hak
dan kewajiban mereka). Di negara yang menganut asas preseden deskripsi
ration hakim terdahulu yang berupa “ratio decidendi” merupaka faktor penting
karena putusan itu akan merupakan atau level yang rendah. Hal ini ditegaskan
pula oleh Hampstead dan Freeman sebagai berikut:63
“This appeans to be a matter of firts inportance at least in a system such
as English law, where a decision my be treated as absolutly binding on
fiture courts, for these court ought to be able to determine what is that
bind them”.
Teori Ratio Decidendi merupakan bagian yang penting dari suatu putusan
maka Goodhart seperti disitir oleh Hampsted dan Freedman memberi ajaran
62
Ibid, h. 214 63
I Made Pasek Diantha, Op.Cit, h. 166
70
tentang cara menyusun ration decidendi yang baik yakni ... “the better way to
approach the problem was to elucidate the ratio of a case from facts
themselves,64
... atau ration decidendi itu sebaiknya harus dijelaskan dari fakta
yang muncul pada perkara itu sendiri. Fakta yang dimaksud oleh Goodhart
adalah fakta materiil (material facts), seperti: orang, waktu, jenis dan jumlah
(person, time, place, kind, and amount). Seperti juga disitir oleh Ian McLeod,
ajaran Goodhart ini pertama kali diterbitkan tahun 1930 dalam jurnal
Universita Yale No. 4 halaman 161 dan diterbitkan kembali tahun 1931”.65
Dengan demikian, Goodhart dapat dianggap sebagai pencetus teori “ration
decidendi”.
Menurut Goodheart, ratio decidendi dapat diketemukan dengan
memperhatikan fakta materiel,66
Fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat,
waktu, dan segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya.
Perlunya fakta materiel tersebut diperhatikan karena baik hakim maupun para
pihak akan mencari aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada
fakta tersebut. Ratio decidendi inilah yang menunjukkan bahwa ilmu hukum
merupakan ilmu yang bersifat preskriptif, bukan deskriptif. Adapun diktum,
yaitu putusannya merupakan sesuatu yang bersifat deskriptif. Oleh karena
itulah, pendekatan kasus bukanlah merujuk kepada diktum putusan pengadilan,
melainkan merujuk kepada ratio decidendi. Yang dimaksud oleh Goodheart
mengenai ratio decidendi yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh
hakim untuk sampai kepada putusannya.
64
Ibid 65
Ibid 66
ibid
71
Mahkamah Internasional mengatakan bahwa “dalam bidang pertanggung
jawaban keuangan, prinsip dari kepastian hukum mengharuskan bahwa
peraturan yang menerapkan tagihan pada pembayaran pajak harus jelas dan
tepat sehingga dia dapat mengetahui tanpa ambiguitas apa hak dan
kewajibannya dan dapat mengambil langkah sepantasnya. Dimana prinsip ini
dilanggar, setiap ambiguitas harus dipecahkan yang sifatnya mendukung si
individu”.67
Pandangan lain yang dikemukakan oleh R. Cross yang juga senada
menekankan pentingnya suatu ration decidendi karena ... every court is bound
to follow atau tiap hakim harus terikat oleh putusan hakim terdahulu sesuai asas
“preseden”.68
Menurut R. Cross bagian yang mengikat itu adalah bagian ration
decidendi (bagian pertimbangan) karena dalam bagian ini disusun fakta
materiil yang ada dalam persidangan perkara itu. Di katakan, ... judgement
must be read on the light at the facts of cases in which they delivered.
Selan itu, Hakim Jerome Frank adalah seorang penganut paham
realisme, dia kontras dengan teori yudisial Inggris ortodoks atas kebebasan
hakim yang memutuskan perkara berkenaan dengan rasio recidendinya. Teori
ini menekankan kebebasan hakim berikutnya untuk tidak memperdulikan apa
yang dikatakan oleh pendahulunya dalam kasus-kasus yang dikutip untuknya.
Para penganut paham realis mempertahankan bahwa merupakan suatu
kesalahan untuk terlalu memperdulikan kepada perilaku vokal (yang suka
mengeluarkan opini) sebagai lawan dari perilaku non vokal dari para
67
Ibid 68
Ibid, h. 167
72
hakim.Jangan terlalu khawatir dengan apa yang pengadilan katakan,
pertimbangkan apa yang mereka lakukan.”69
Selain itu, Holmes (Hakim Agung As), menyatakan “apa yang
diputuskan oleh seorang hakim tentang sesuatu persengketaan adalah hukum
itu sendiri.70
Holmes lebih lanjut menyatakan “kehidupan hukum bukan logika,
melainkan pengalaman (the life of the law has been not logic but
experience)”.71
Dalam teori hukum menjelaskan, bahwa antara logika personal
dengan logika hukum tidak ada bentukan, tetapi saling mengisi. Namun,
disadari bahwa hal itu dalam logika hukum merupakan ciri-ciri hukum yang
memberi warna kepada logika hukum.
Salah satu tokoh yudisial “ketika ditanyakan tentang perbedaan antara
ration decidendi dan orbiter dictum, dia menjawab: “Aturan cukup sederhana,
bila anda setuju dengan pria lainnya anda katakan bahwa ini adalah bagian dari
ratio, bila anda tidak setuju anda katakan ini adalah orbiter dictum, dengan
implikasi bahwa ia adalah seorang idiot sejak lahir. Perbedaan antara ration
dan dicta semata-mata “perangkat yang digunakan oleh pengadilan berikutnya
untuk pengadopsian atau penolakan dari doktrin yang diekspresikan dalam
kasus-kasus sebelumnya menurut kencenderungan dari pengadilan
berikutnya”.72
Menurut Hans Kelsen hakekat dari validitas hukum:
69
Rupert Cross,1977, Precedent In English Law, Third Edition, Clarendon Press, Oxford,
h. 50-51 70
A. Masyhur Effendi & Taufani Sukmana Evandri, 2010, HAM Dalam Dimensi/Dinamika
Yuridis, Sosial, Politik: Dan Proses Penyusunan/Aplikasi HA-KHAM (Hukum Hak Asasi Manusia)
dalam Masyarakat, Cetakan Pertama Edisi Ketiga, Ghalia Indonesia, Bogor, h. 52 71
Ibid 72
Ibid
73
“Suatu perintah adalah mengikat, bukan karena individu yang
memerintah memiliki kekuatan nyata yang lebih tinggi, melainkan karena
dia “diberi wewenang” atau “diberi kekuasaan” untuk mengeluarkan
perintah-perintah yang bersifat mengikat. Dan dia hanya “berwenang”
atau “berkuasa” jika suatu tatanan normatif, yang dianggap mengikat,
memberikan kapasitas ini kepadanya, yakni memberikan kompetensi
untuk menerbitkan perintah-perintah yang mengikat…jelas bahwa
kekuatan mengikat terdapat dalam perintah tersebut karena perintah
tersebut diterbitkan oleh pejabat yang berwenang”.73
Teori kekuatan (macht) yang diajarkan oleh L.J. van Apeldoorn, menurut
pendapatnya, hak itu ialah sesuatu kekuatan (match), diatur oleh hukum yang
berdasarkan kesusilaan (zadelijkheid atau moral) dan fisik. Contoh, seorang
pencuri menguasai barang curian, tetapi tidak mempunyai hak apa pun atas
barang itu, karena tidak mempunyai kekuatan dari kesusilaan dan keadilan.74
Kekuatan mengikat yang diajarkan oleh L.J. van Apeldoorn ini, pada
prinsipnya menegaskan bahwa hak itu adalah suatu kekuatan yang diatur secara
normatif oleh karena itu, terjadi perbuatan kesusilaan terhadap hak maka yang
melanggar hak dimaknai telah melanggar hukum sebagaimana dicontohkan
dengan pencurian di atas.
Dituangkannya putusan dalam bentuk tertulis, yang merupakan akta
otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para
pihak, yang mungkin diperlukannya untuk mengajukan banding, kasasi atau
pelaksanaannya. Menurut hukum pembuktian dengan putusan telah diperoleh
suatu kepastian tentang suatu peristiwa mempunyai kekuatan pembuktian.75
73
Hans Kelsen Penerjemah Raisul Muttaqien, 2011, Teori Umum Tentang Hukum dan
Negara, Cetakan Ketujuh, Nusa Media, Bandung, h. 42 74
H.M. Agus Santoso, 2012, Hukum, Moral, & Keadilan “Sebuah Kajian Filsafat Hukum”,
Edisi Pertama, Cetakan Ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 125 75
Irfan Fachruddin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Alumni, Bandung, h.247
74
Putusan tidak dimaksudkan untuk menetapkan hak atau hukumnya saja,
tetapi untuk menyelesaikan sengketa, terutama merealisasikan dengan sukarela
atau secara paksa. Oleh karena itu, putusan selain menetapkan dengan tugas
hak atau hukumnya juga supaya dapat direalisir, mempunyai kekuatan
eksekutorial, supaya dapat direalisir, mempunyai kekuatan eksekutorial,
putusan itu secara paksa oleh alat perlengkapan negara.
Pasal 97 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
menyatakan sebagai berikut:
Ayat (7) Putusan pengadilan dapat berupa:
a. gugatan ditolak;
b. gugatan dikabulkan;
c. gugatan tidak diterima;
d. gugatan gugur.
Ayat (8)
Dalam hal gugatan dikabulkan maka dalam putusan pengadilan
tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan Tata
Usaha Negara.
Ayat (9) kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa:
a. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, atau
b. pencabutan Keputusan Tata Usaha negara yang bersangkutan dan
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau
c. penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan
didasarkan pada Pasal 3.
Ayat (10) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat
disertai pembebanan ganti rugi.
Ayat (11)
Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8)
menyangkut kepegawaian maka di samping kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian
rehabilitasi.
Kegunaan dari teori ration decidendisebagai pisau analisis dalam
memecahkan permasalahan kedua dan ketiga dalam disertasi ini mengenai
ketidaktaatan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dan implikasi hukum
75
terhadap ketidaktaatan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Komisi
Pemilihan Umum.
2.1.5. Teori Penemuan Hukum
Intepretasi adalah upaya menemukan dan menyajikan makna yang
sebenarnya dari tanda-tanda apapun yang digunakan untuk menyampaikan ide-
ide. “Makna yang sebenarnya” dari tanda tersebut adalah makna yang memang
dikehendaki untuk diekspresikan oleh orang yang menggunakan tanda itu,
sedangkan Kontruksi adalah penarikan kesimpulan mengenai pokok bahasan
yang ada dibalik ekspresi langsung teks, dari unusr-unusr uang diketahui dan
terdapat dalam teks-kesimpulan yang terkandung dalam semangat, dan bukan
pada huruf yang tertera pada teks.76
Menurut A. Soeteman dan P.W. Brouwer dalam Philipus M. Hadjon77
menyebutkan satu dalil yang kuat; satu argumentasi bermakna hanya dibangun
atas dasar logika. Dengan kata lain adalah “condition sine qua non” agar suatu
keputusan dapat diterima adalah apabila didasarkan pada proses nalar, sesuai
dengan sistem logika formal yang merupakan syarat mutlak dalam
argumentasi. Argumentasi yuridis merupakan salah satu argumentasi khusus.
Terdapat 2 (dua) hal yang menjadi dasar yaitu:
a. Tidak ada hakim ataupun pengacara, yang mulai berargumentasi dari
suatu keadaan hampa, yang mulai berargumentasi dari hukum selalu dari
hukum positif. Hukum Positif bukan merupakan suatu keadaan yang
tertutup maupun statis, akan tetapi merupakan satu perkembangan yang
berlanjut. Dari suatu ketentuan hukum positif, yurisprudensi akan
menentukan norma-norma baru. Orang dapat bernalar dari ketentuan
76
Gregory Leyh, 2011, Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori dan Praktik, Nusa Media,
Cetakan Kedua, Bandung, h. 141-144 77
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Loc.Cit, h. 17-18
76
hukum positif dari asas-asas yang terdapat dalam hukum positif untuk
mengambil keputusan-keputusan baru.
b. Khususan yang kedua dalam argumentasi hukum atau penalaran hukum
berkaitan dengan kerangka prosedural, yang di dalamnya berlangsung
argumentasi rasional dan diskresi rasional.78
Suatu argumentasi yang memenuhi ruang kosong dalam sistem
perundang-undangan ialah tindakan yang disebut argumentum a contrario.
Paul Scholten dalam Abintoro Prakoso79
mengatakan bahwa Undang-Undang
secara analogi dan menerapkan Undang-Undang secara argumentum a
contrario. Hanya hasil dari kedua cara menjalankan undang-undang itu yang
berbeda. Analogi menghasilkan hal-hal yang positif, sedangkan tindakan
menjalankan Undang-Undang secara argumentum a contratio menghasilkan
hal-hal yang negatif. Kedua cara menjalankan Undang-Undang ini berdasarkan
argumentasi. Adakalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh
undang-undang, namun kebalikan dari peristiwa tersebut diatur oleh Undang-
Undang. Cara menemukan hukum ialah dengan mempertimbangkan bahwa
apabila Undang-Undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu,
maka peratuan itu terbatas pada peristiwa tertentu dan untuk peristiwa diluar
berlaku kebalikannya. Ini merupakan metode a contrario. Ini merupakan cara
penafsiran atau penjelasan undang-undang yang didasarkan pada pengertian
sebaliknya dari peristiwa konkrit yang dihadapi dengan perisiwa yang diatur
dalam undang-undang. Apabila suatu peristiwa tertentu diatur, tetapi peristiwa
lainnya yang mirip tidak diatur, maka untuk yang terakhir ini berlaku hal yang
sebaliknya.
78
Ibid 79
Abintoro Prakoso, 2016, Penemuan Hukum: Sistem, Metode, Aliran dan Prosedur dalam
Menemukan Hukum, LaksBang Pressindo, Cetakan Pertama, Yogyakarta, h. 126
77
Teori penemuan hukum (a contrario) digunakan sebagai pisau analisis
dalam mengkaji permasalah yang ketika mengenai implikasi hukum
ketidaktaatan terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Oleh Komisi
Pemilihan Umum Daerah.
2.1.6. Konsep Negara Hukum
Istilah negara hukum bersumber dari paham rechtstaat dan the rule of
law, juga berkaitan dengan nomocracy yang berasal dari perkataan nomos dan
cratos. Nomos berarti norma, sedangkan cratos adalah kekuasaan. Nomos dan
cratos diartikan sebagai kekuasaan oleh norma atau kedaulatan hukum. Dalam
kaitannya dengan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara, menurut paham
demokrasi, kekuasaan tertinggi ada pada norma atau yang berdaulat adalah
norma atau hukum. Plato dalam bukunya yang berjudul nomoi yang kemudian
terjemahan dalam bahasa Inggris dengan judul the laws, jelas tergambar
bagaimana ide nomokrasi sesungguhnya, yang sejak lama dikembangkan dari
zaman Yunani Kuno.80
Istilah “rechtsstaat” mulai dipopularkan di Eropa sejak abad XIX
meskipun pemikiran tentang istilah itu sudah lama ada. Istilah rechtsstaat
pertama kali dipergunakan oleh Rudolf Von Gneist guru besar Universitas
Berlin dalam sebuah bukunya yang berjudul “Des Englisehe
Verwaltungserecht”(1857).81
Dalam buku itu digunakan istilah rechtsstaat
80
Tim Penulis, 2013, Membangun Negara Hukum Yang Bermartabat, Setara Press, Edisi
Cetakan Pertama, Malang, h. 157 81
Bahder Johan Nasution, 2012, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju,
Cetakan Kedua, Bandung, h. 18
78
untuk menunjuk sistem hukum yang berlaku di Inggris. Kemudian istilah ini di
kembangkan oleh Friederich Julius Sthal.
Istilah “the rule of law” mulai popular dengan terbitnya sebuah buku dari
Albert Venn Dicey (1885) dengan judul “Introduction to the study of the law of
the constitution”.82
Menurut Philipus M. Hadjon konsep rechtsstaat lahir dari
suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner
sedangkan the rule of law berkembang secara evolusioner.83
Beliau lebih
lanjut mengatakan konsep rechtsstaat bertumpu atas sistem hukum continental
yang disebut “civil law” atau modern Roman law”, sedangkan Konsep the rule
of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut common law”. Karakteristik
“civil law” adalah administratif” sedangkan karakteristik “common law” adalah
“judicial”.84
Menurut Mahfud MD, kebenaran hukum dan keadilan di dalam
rechtsstaat terletak pada ketentuan bahkan pembuktian tertulis. Hakim yang
bagus menurut paham civil law (legisme) adalah dapat menerapkan atau
membuat putusan sesuai dengan bunyi undang-undang.85
Sedangkan the rule of
law kebenaran dan keadilan semata-mata hukum tertulis.86
Ciri-ciri rechtsstaat yang klasik (formalrechtsstaat) menurut Friederich
Julius Stahl adalah:
82
Tim Penulis, Op. Cit, h. 157 83
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia “sebuah studi
tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan
Umum dan pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Cetakan Pertama, Surabaya,
h. 72 84
Ibid 85
Moh. Mahfud MD, 2011, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Cetakan
Kedua, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 25 86
Ibid
79
1. Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia;
2. Adanya pembagian kekuasaan;
3. Pemerintahan berdasarkan atas undang-undang (wetmatigheid van
bestuur);
4. Adanya pengadilan tata usaha negara.87
Sedangkan ciri-ciri rule of law menurut A.V. Dicey, diantaranya:
1. Supremacy of law, artinya tidak boleh ada kesewenang-wenangan,
seseorang boleh dihukum jika melanggar hukum;
2. Quality before the law, artinya kedudukan yang sama di depan
hukum; dan
3. Human rights, artinya terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh
undang-undang dan putusan-putusan pengadilan.88
Lahirnya konsep negara hukum dimaksudkan sebagai usaha untuk
membatasi penguasa negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk
menindas rakyat. Sebab konsep ini mengetengahkan bahwa semua orang sama
di depan hukum oleh karana itu, tidak ada seorang pun termasuk negara yang
kebal terhadap hukum.Konsep negara hukum penulis gunakan sebagai pisau
analisis dalam menyoroti permasalahan hukum ketiga dalam disertasi ini.
2.1.7. Asas Legalitas
Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf a menyebutkan yang dimaksud dengan
“asas kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, keputusan, keajegan, dan
keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.89
Menurut
87
Bahder Johan Nasution, h. 18-19 88
Rommy Librayanto, 2008, Trias Politika Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia,
Cetakan pertama, PuKAP, Makassar, h. 12 89
Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601.
80
Fachmi,90
asas legalitas atau kepastian hukum dalam pandangan positivis
adalah setiap pernyataan preskriptif yang dapat dikualifikasikan sebagai hukum
positif itu mesti dirumuskan dalam suatu kalimat yang menyatakan adanya
hubungan kausal yang logis-yuridis antara suatu peristiwa hukum atau
perbuatan hukum (judex factie) dengan akibat yang timbul sebagai konsekuensi
peristiwa itu (judex juris), yang terbentuk sebagai hasil kesepakatan
kontraktual oleh para hakim yang berkepentingan di ranah publik, sebagaimana
dirupakan dalam bentuk Undang-Undang.
Oleh sebab itu, dapat diakui sifatnya yang tersubjektif-objektif
(objective-intersubjective), netral alias tidak memihak, untuk kemudian
difungsikan sebagai sarana kontrol, yang pengelolaan penyelenggaraannya dan
pengembangan doktrinnya dipercayakan kepada suatu kelompok khusus yang
profesional, yang disebut lawyer atau jurist. Asas legalitas yang penulis
munculkan dalam disertasi ini, dimaksudkan oleh penulis sebagai salah satu
pisau analisis dalam menguji permasalahan kedua mengenai ketidaktaatan
terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Komisi Pemilihan
Umum selaku Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
2.1.8. Asas Erga Omnes
Sengketa TUN (administrasi) adalah sengketa hukum publik (hukum
administrasi). Putusan hakim Peradilan Administrasi merupakan putusan
hukum publik (mempunyai karakter hukum publik). Dengan demikian, putusan
hakim Peradilan Administrasi berlaku bagi siapa saja yang berkepentingan
90
Facmi, 2011, Kepastian Hukum Mengenai Putusan Batal Demi Hukum Dalam Sistem
Peradilan Pidana Indonesia, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia Publishing, Bogor, h. 43
81
dengan suatu obyek sengketa (perkara) dapat ditarik menjadi pihak yang
berperkara; tergugat. Dalam hukum acara Peradilan administrasi hanya organ
pemerintah yang mengeluarkan Surat keputusan yang menjadi obyek sengketa
saja yang dapat dijadikan pihak tergugat.91
Sengketa administrasi merupakan sengketa yang terletak dalam lapangan
hukum public, maka putusan hakim peradilan administrasi akan menimbulkan
konsekuensi mengikat umum dan mengikat terhadap sengketa yang
mengadung persamaan, yang mungkin timbul pada masa yang akan datang.
Sebab apabila suatu peraturan perundang-undangan oleh hakim dinyatakan
tidak sah, karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi berarti peraturan perundang-undangan tersebut berakibat menjadi
batal dan tidak sah untuk mengikat setiap orang.
Asas hukum erga omnes merupakan salah satu asas yang penting bagi
penulis untuk menguji permasalahan kedua dalam disertasi penulis mengenai
ketidaktaatan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Komisi Pemilihan
Umum.
2.2. Orientasi Hubungan Putusan PTUN Dengan Pemilihan Kepala Daerah
Dalam bahasa sehari-hari, apa yang disebut “konsep” itu tak lain dari pada
„kata‟, dengan makna yang disepakati bersama. Disebut dalam batasan tertentu
yang definitif, apa yang disebut konsep secara umum ini tak lain daripada apa
yang disebut konsep secara umum ini tak lain daripada apa yang disebut “terma”
dalam logika dan apa yang disebut „istilah‟ dalam setiap perbincangan keilmuan.
91
Suparto Wijoyo, 1997, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, Airlangga
University Press, Surabaya, h. 174
82
Apapun sebutannya dalam berbagai perbincangan, secara umum dapatlah
dikatakan perdefenisi bahwa “konsep” yang berarti „menangkap‟ itu adalah
simbol kebahasan tertentu yang digunakan sebagai representasi objek yang
diketahui dan/atau dialami bersama oleh kelompok manusia dalam kehidupan
bermasyarakatnya.92
2.2.1. Pentaatan
Kebiasaan mentaati peraturan hukum positif dalam proses pembudayaan
hukum itu menyangkut dua faktor intern orang atau kelompok orang; pertama;
faktor psychologist dan faktor ratio orang atau kelompok orang, secara
psychologist orang merasa terikat pada peraturan tersebut, karena peraturan
hukum itu adalah hasil kesepakatan kelompok orang yang diberi fungsi
legislatif atau kesepakatan masyarakat hukum di mana hukum itu diberlakukan,
kedua; secara rational memang hukum itu berfungsi untuk melindungi hak-hak
hukum orang dari perbuatan sewenang-wenang yang dapat dilakukan oleh
pihak siapapun juga tidak dari pihak pemerintah.93
Hak-hak hukum yang dimaksud adalah hak yang diberikan oleh hukum
kepada orang seperti hak untuk menggugat, kemudian peraturan hukum juga
dapat memaksakan orang yang mempunyai kewajiban hukum, yaitu kewajiban
yang dibebankan oleh hukum kepada orang yang berhak.
92
Soetandyo Wignjosoebroto, 2013, Pergeseran Paradigma Dalam Kajian-Kajian Sosial
Dan Hukum, Setara Press, Malang, h. 2 93
Umar Dani, 2015, Putusan Pengadilan Non-Executable Proses dan Dinamika Dalam
Konteks PTUN, Cetakan Pertama, Genta, Yogyakarta, h. 43
83
Menurut Radisman dalam Umar Dani94
menyebutkan faktor-faktor
penyebab para warga masyarakat mematuhi hukum adalah sebagai berikut:
a. Kepentingan-kepentingan warga masyarakat terlindung oleh hukum;
b. Compliance, pada faktor ini orang patuh terhadap hukum karena didasarkan
pada harapan akan suatu imbalan atau sebagai usaha untuk menghindarkan
diri dari hukuman/sanksi yang akan mungkin akan dijatuhkan mana kala
hukum itu dilanggar;
c. Indentification, orang mematuhi hukum karena identifikasi artinya dia
mematuhi hukum bukan nilai sesungguhnya dari kaedah itu, akan tetapi
karena ingin memelihara hubungan dengan warga-warga lainnya yang
sekelompok/segolongan atau dengan pejabat hukum.
d. Internalizatio, pada faktor ini menjelaskan bahwa orang patuh kepada
hukum karena kaedah-kaedah hukum itu ternyata sesuai dengan nilai-nilai
yang menjadi perjuangan warga masyarakat.
2.2.2. Putusan
Kata “putusan” lazim dipandang dengan kata asing seperti “von‟nis‟ dari
bahasa Belanda dan kata “judgement” dari bahasa Inggris. Menurut N.E. Algra
et al., “von‟nis” adalah: “keputusan yang diberikan oleh hakim untuk
sementara mengakhiri perkara yang dibawa kehadapannya dalam bentuk yang
disyaratkan”.95
Dalam Black Dictonary istilah” judgment adalah “a court‟s final
determination of the rights and obligations of the parties in a case96
(terjemahan bebas “putusan adalah keputusan akhir pengadilan tentang hak dan
kewajiban para pihak dalam sebuah kasus).Henry Cambell Black
mengemukakan pengertian“Judgement” adalah “the official and authentic
decision of a court of justice upon respective rights and claims of the parties to
94
Ibid 95
Irfan Fachruddin,2004, Pengawasan Pengadilan Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah, PT. Alumni, Edisi Pertama Cetakan Kesatu, Bandung, h. 227-228 96
Bryana Garner, 1999, Black‟s Law Dictionary, ST. Paul, Minn, Seventh Edition, United
States of America, h. 846
84
an action or suit there in litigated and submitied to its determination”.97
(Keputusan pejabat pengadilan yang resmi dan otentik tentang hak dan tuntutan
suatu pihak terhadap tindakan atau gugatan dimana tuntutan diserahkan pada
ketetapannya).
Putusan hakim menurut Sudikno Mertokusumo adalah“… suatu
pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang
untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para
pihak”.98
Memperhatikan unsur dari pengadilan administrasi dan sengketa
putusan peradilan, dihubungkan dengan batasan sengketa administrasi dalam
undang-undang peradilan administrasi, dapat disimpulkan bahwa putusan
badan peradilan administrasi adalah pernyataan oleh hakim peradilan yang
berwenang memutus dan menyelesaikan sengketa administrasi antara orang
atau badan hukum perdata dengan pemerintah, dan diucapkan pada sidang
terbuka untuk umum.
2.2.3. Pengadilan Tata Usaha Negara
Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu badan peradilan di
bawah sebuah Mahkamah Agung yang memiliki fungsi kekuasaan kehakiman
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan. Fungsi kekuasaan kehakiman ini dilihat dari kewenangan atribusi
diamanatkan dalam Pasal 24 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUDNRI
97
Irfan Fachruddin, OP. Cit, h. 228 98
Ibid
85
1945.99
Pasal 24 ayat (2) UUDNRI 1945 menyebutkan salah satu peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung adalah Peradilan Tata Usaha Negara.
Kewenangan atribusi dimaksud pada ayat (2), selanjutnya Peradilan Tata
Usaha dibentuk dengan Undang-Undangan tersendiri yaitu Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, kemudian diubah
dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Pasal 1 angka 1 Perubahan Kedua Atas Undang-Undan Nomor 51 Tahun 2009
memberi batasan defenisi pengadilan tata usaha negara.100
Penggunaan istilah Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana secara
normatif dalam UU No. 51 Tahun 2009, di samping itu temukan pula pada UU
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, TAP MPR No. II/1983,
dan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Ketiga instrument hukum ini menggunakan istilah hukum tata usaha negara.
Istilah Pengadilan Tata Usaha Negara awalnya mendapat perdebatan
mengenai penggunaan istilah tersebut. Penggunaan istilah Peradilan Tata
Usaha Negara lebih dikenal dengan berbagai peristilahan, antara lain:
99
Pasal 24 UUDNRI 1945
(1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan Tata Usaha
Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(3) Badan-badan peradilan lain yang fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
diatur dalam undang-undang. 100
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 “Pengadilan adalah Tata
Usaha Negara Dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara.
86
1. Peradilan Administrasi;
2. Peradilan Administratif;
3. Peradilan Administrasi Negara;
4. Peradilan Tata Usaha;
5. Peradilan Tata Usaha Negara;
6. Peradilan Tata Usaha Pemerintahan.101
Keenam istilah tersebut di atas cenderung dipergunakan istilah Peradilan
Admnistrasi. Menurut Rochmat Soemitro:102
Dengan sengaja kami mempergunakan istilah „peradilan administrasi‟.
Sering pula dalam tulisan-tulisan bahkan dalam Undang-Undang atau
penjelasan dijumpai kata „peradilan administratip‟ merupakan suatu
perusakan bahasa, karena dalam bahasa Indonesia suatu kata yang
merupakan „adjective‟ dari suatu kata lain tidak mengalami perubahan,
seperti: kayu, meja besi, rumah batu dsb. Oleh karena itu kata sifat
„administrasi‟ tidak kami ubah.
Lebih lanjut Rochmat Soemitro mengatakan penggunaan kata-kata
„administrasi‟ dan bukan tata usaha negara‟ karena sebab-sebab tertentu:103
1. Kata administrasi itu sudah diterima umum dan pula telah
dipergunakan oleh pemerintah kita; buktinya dengan adanya
“Lembaga Administrasi Negara‟, „Administrasi Niaga‟, dsb.
2. Kata „administrasi‟ yang asalnya dari kata-kata Latin‟ administrare‟
dapat mempunyai dua arti.104
101
Suparto Wijoyo, 1997, Karakteristik Hukum Acara peradilan Administrasi, Airlangga
University Press, Cetakan Pertama, Surabaya, h. 1 102
Ibid 103
Ibid, h. 1-2 104
Dua arti administrasi yang dimaksudkan adalah:
a. „eike steisseimatige, schriftelijke vastiegging en ordering van gegevens te
verkrijgen van aantekeningen kan men als administratie qualificeren‟, (setiap
penyusunan keterangan yang dilakukan secara tertulis dan sistematis dengan
maksud mendapatkan suatu ikhtiar dari keterangan-keterangan itu dalam
keseluruhan dan dalam hubungan satu dengan lain. Tidak semua himpunan catatan
yang lepas dapat dinyatakan sebagai administrasi).
b. „word ook in bijzonder gebruikt voor het bestuur van de staat, de provincien, de
waterschappen, de gemeenten en grote maatschappijen. in de V.S. Verstaat men
onder „the administration‟ het gehele staatsbestuur, de president daaronder
begrepen‟, (digunakan juga istimewa untuk menyatakan pemerintahan suatu
negara, Provinsi, waterchapp (=subak), kota-kota dalam maskape-maskape besar.
Di Amarika Serikat dengan kata „theadministration‟ dimaksudkan keseluruhan
pemerintahan, termasuk presiden). Bila „administratie‟ diartikan seperti
dimaksudkan di bawah sub (b), maka akan kami gunakan terjemahan
„administrasi‟.
87
3. Kata administrasi itu mengingatkan kita pada kata-kata asing yang
mirip yaitu „administration‟ dan „administratie‟ yang mempunyai arti
sama, sehingga penggunaan istilah itu akan memudahkan kami bila
kami mempelajari buku asing dalam bahasa Inggris, Prancis, dan
Belanda.
2.2.4. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan undang-undang
yang berlaku. Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
Pasal 122 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil
Negara (ASN) menentukan Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
121 yaitu:
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
d. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
e. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakimagung pada Mahkamah
Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan
peradilan kecuali hakim ad hoc;
f. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi;
g. Ketua, wakil ketua, dan anggota badan Pemeriksa Keuangan;
h. Ketua, wakill ketua, dan anggota Komisi Yudisial;
i. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
j. Menteri dan jabatan setingkat menteri;
k. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang
berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
l. Gubernur dan wakil gubernur;
m. Bupati/wakil bupati dan wakil bupati/wakil walikota; dan
n. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.
Peraturan Kepala badan Kepegawaian Negara Nomor 7 Tahun 2013
tentang Pedoman Standar Kompetensi Manajerial Pegawai Negeri sipil
88
memberi batasan pengertian mengenai jabatan. Pengertian jabatan yang
dimaksudkan dengan dalam peraturan ini adalah kedudukan yang menunjukkan
tugas, tanggungjawab, wewenang, dan hak seorang PNS dalam melaksanakan
tugas jabatan.
Pejabat adalah orang yang menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi
pemerintah. Kekuasaan pejabat ini amat menentukan, karena segala
urusan yang berhubungan dengan jabatan itu maka orang yang berada
dalam jabatan itu yang menentukan. Jabatan-jabatan itu disusun dalam
tatanan hierarki dari atas ke bawah. Jabatan-jabatan yang berada hierarki
atas mempunyai kekuasaan yang lebih besar ketimbang jabatan yang ada
di tataran bawah. Semua jabatan lengkap dengan fasilitas yang
mencerminkan kekuasaan tersebut…105
2.2.5. Pemilihan Umum
Pemilihan umum secara eksplisit diatur dalam Bab VIIB Pasal
22EUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, sebagai berikut:
(1) Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai
politik.
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Daerah adalah perseorangan.
(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan
Umum yang bersifat nasional tetap, dan mandiri.
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan
undang-undang.
Pengertian pemilihan umum dapat didefenisikan secara jelas dalam Pasal
1 angka 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelengara
Komisi Pemilihan Umum berbunyi “Pemilihan Umum, selanjutnya disebut
105
Miftah Thoha, 2014, Birokrasi Politik & Pemilihan Umum Di Indonesia, Prenamedia
Group, Cetakan Pertama, Jakarta, h. 7
89
Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
2.2.6. Pemilihan Kepala Daerah
Konsep pilkada yang tidak memasukkan unsur kata “umum” di
dalamnya, menjadi permasalahan serius hingga kini. Oleh sebab itu, perdebatan
apakah pemilihan kepala daerah merupakan bagian dari pemilu, tidak akan
pernah berhenti.106
Pemahaman yang mendalam akan konsep “Pemilihan Umum”, harus
dimulai dari mengetahui hakekat pemilu. Secara konstitusional pengaturan
pemilihan umum tercantum pada Bab VII yakni pasal 22 E, yang menentukan:
(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota dewan
perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, presiden dan wakil
presiden dan perwakilan rakyat daerah.
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota dewan perwakilan
rakyat dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah adalah partai
politik.
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota dewan perwakilan
rakyat daeah adalah perseorangan.
(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan
umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Beberapa ketentuan di atas menunjukkan beberapa hal, pertama,
ketentuan pada ayat (1) menekankan pada sifat atau karakter dari pemiihan
umum, kedua, ayat (2) terkontruksi pada pembatasan penyelenggaraan
106
Jemmy Z. Usfunan, Memahami Hakekat Pilkada dan Upaya Penyelesaiannya,
Makalah Seminar Nasional, Fakultas Hukum Universitas Jember, 25 April 2015,h. 1
90
(momentum/kegiatan) dari pemilihan umum yang diatur dalam konstitusi.
Ketiga, ayat (3) dan (4) menentukan peserta pemilu. Keempat, ayat (5)
menekankan pada fungsi lembaga yang menyelenggarakan pemilihan umum.
Kendati, konstitusi tidak menentukan secara rigit tentang pengertian
pemilu, namun memberikan beberapa ciri yang dapat dikategorikan sebagai
suatu pemilu yakni berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan
adil (Luber-Jurdil); diadakan setiap lima tahun; dan diselenggarakan oleh suatu
komisi pemilihan umum. Esensi pada ayat (2) memberikan batasan terhadap 3
unsur lainnya, yang berimplikasi tidak dapatnya “pemilu” ditafsirkan lebih luas
lagi (konstekstual). Dengan kata lain harus ditafsirkan secara leterlijk atau
original intent.
Esensi batasan penyelenggaraan pemilu menekankan pada penegasan
bahwa „suatu komisi pemilihan umum” sebagaimana diatur Pasal 22 E ayat (5)
UUDNRI 1945, memiliki fungsi utama (berdasarkan konstitusi) untuk
menyelenggarakan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan
Wakil Presiden dan DPRD. Mengingat antara ketentuan saling berkaitan maka
patut diperhatikan frasa Pasal 22 E ayat (3) dan ayat (5) UUDNRI 1945, secara
seksama:
Frasa pertama, “peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah adalah partai politik.”
Frasa kedua, “pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi
pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”.
91
Kedua ayat tersebut memperjelas eksistensi “suatu komisi pemilihan
umum” hanya memiliki wewenang dalam peyelenggaraan pemilu yang
dimaksud pada ayat (3). Terlepas dalam Undang-Undang kemudian
memberikan kewenangan kepada KPUD bukan berarti itu menunjukkan bahwa
pilkada termasuk pemilu sebagaimana diamanatkan dalam
konstitusi.Argumentasi lain untuk menegaskan bahwa pilkada bukan pemilu
menurut konstitusi dapat dilihat dari perspektif asas noscitus a sociis, sebagai
salah satu asas dalam prinsip contextualism yang dipopulerkan oleh Ian
Mcleod. Dari sudut pandang asas yang mengartikan bahwa setiap kata harus
dilihat dari kesatuannya, memerlukan pengkajian lebih lanjut mengenai makna
pemilu dari sudut pandang konstitusi. Adapun penggunaan kata, pemilihan
umum” digunakan dalam beberapa rumusan ketentuan yaitu:
1. Pasal 2 ayat (1) UUDNRI 1945
Majelis permusyarawatan rakyat terdiri atas anggota DPR dan anggota
DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebh lanjut
dengan undang-undang`
2. Pasal 6 A ayat (2) UUDNRI 1945
Pasangan calon Presiden dan Wakil presiden diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum.
3. Pasal 18 ayat (3) UUDNRI 1945
Pemerintahan dengan Provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota memiliki
dewan perwakilan rakyat daerah yang anggota-anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum.
4. Pasal 19 ayat (1) UUDNRI 1945
Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum.
5. Pasal 22C ayat (1) UUDNRI 1945
Anggota Dewan Perwakilan daerah dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum.
Ketentuan-ketentuan tersebut menegaskan kembali bahwa pemilihan
umum hanya dibatasi pada pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
92
Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.Pengaturan tentang batasan kekuasaan atau kewenangan, dari pemilu
ini merupakan eksistensi konsep negara hukum “rechtsstaat” sebagaimana
dipopulerkan oleh Immanuel kant dan dikembangkan oleh Friedrich Stahl. Hal
ini sejalan dengan kodifikasi hukum yang mengedepankan pembatasan
kekuasaan tersebut. Apabila diperhatikan secara hakiki frasa “suatu komisi
pemilihan umum” tidak menunjukkan pada nama lembaga sebab menggunakan
awalan huruf kecil. Bandingkan dengan penyebutan lembaga negara lain dalam
UUDNRI 1945 yang menggunakan awalan huruf besar seperti Presiden, Badan
Pemeriksa Keuangan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial.
Pembasatan kewenangan Komisi Pemilihan Umum yang diatur dalam
konstitusi terhadap pemilihan kepala daerah, diatur belakang esensi otonomi
daerah yang saat amandemen UUD 1945 merupakan bagian suasana kebatinan.
Sehingga secara konstitusional Komisi Pemilihan Umum tidak secara otomatis
menjadi penyelenggara Pilkada. Msekipun secara sifat pemilihan kepala
daerah, menggunakan asas Luber-Jurdil sebagai landasan, bukan berarti
menjadi kewenangan mutlak dari Komisi Pemilihan Umum untuk
menanganinya.
Pasal 18 ayat (4) UUDNRI 1945, yang menentukan: “Gubernur, Bupati,
dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi,
Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis.” Penggunaan frasa “dipilih
93
secara demokratis” merupakan penghargaan terhadap eksistensi Pasal 18 ayat
(2) UUDNRI 1945: Pemerintah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Kota
mengatur asas otonomi dan tugas pembantuan. Penerapan otonomi daerah
memberikan keleluasaan kepada daerah untuk melakukan pemilihan secara
demokratis menurut kebutuhan. Disamping itu memberikan keleluasaan kepada
pembentuk undang-undang untuk memilih metode alternative antara pilkada
langsung atau tidak langsung, berdasarkan kebutuhan masyarakat. pemikiran-
pemikiran ini menunjakkan bahwa pemilihan kepala daerah bukan merupakan
pemilihan umum sebagaimana yang ditentukan oleh konstitusi.
Keputusan MK No. 97/PUU-XI/2013 yang telah mengabulkan semua
permohonan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) tentang
kewenangan Mahkamah Konstitusi suadah sangat jelas dan gamblang.
Diperkuat lagi komentar anggota Hakim Konstitusi Patrialis “RUU Pilkada
sesungguhnya sudah sangat jelas di Putusakan MK No. 97 yakni MK tidak
berhak mengani perkara Pilkada bukan pemilihan Umum seperti yang
diamanatkan di dalam UUD 1945.107
Pemilihan kepala daerah dalam UUD 1945, dituliskan pada bab yang
berbeda, yaitu BAB IV tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 18 ayat (4)
menentukan “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala
Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara
demokratis”. Artinya konsitusi sendiri tidak memasukkan pemilihan Kepala
Daerah kedalam bab yang mengatur tentang Pemilu. Dapat dikatakan
107
H. Supandi, Peranan Mahkamah Agung Dalam Penyelesaian Perselisihan Hasil
Pilkada Di Indonesia, Materi Seminar Nasional, Fakultas Hukum Universitas Jember, 25 April
2015,h. 2
94
pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) tidak tergolong dalam rezim Pemilu.
Itu sebab dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 tidak memasukkan frase Kepala
Daerah dalam Pasal 22EPemilihan Umum. Sehingga pada awal
penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah diserahkan kepada Mahkamah
Agung, dan saat itu Mahkamah Konstitusi masih terus fokus pada
kewenangannya dalam menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945.
Setelah munculnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 sebagaimana
telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum menggolongkan Pemilihan Kepala Daerah
ke dalam rezim Pemilu yang terdapat pada Pasal 1 ayat (4) ketentuan Umum
berbunyi “Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Derah adalah Pemilu
untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945”. Kemudian
dilakukan perubahan hingga muncul Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini penanganan sengketa
Pemilukada dialihkan dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.
Peralihan kewenangan penyelesaikan sengketa tersebut sebagaimana diatur
dalam Pasal 236C yang menyatakan bahwa “penanganan sengketa hasil
perhitungan suara pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh
Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18
(delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Kemudian
dilanjutkan dengan dibuatnya nota kesepahaman (MOU) pada tahun 2008
95
tentang pelimpahan kewenangan penanganan penyelesaian sengketa
Pemilukada dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi. Sementara
dalam Undang-Undang Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi.
Sementara dalam Undang-Undang Mahkamah Konsitusi (Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 dan perubahannya yaitu Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011), tidak ada frasa yang menambahkan kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam mengadili terhadap perkara sengketa pemilihan Kepala
Daerah. Namun penambahan kewenangan itu diatur dalam Pasal 29 ayat (1)
huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, dikatakan bahwa “kewenangan lain yang diberikan oleh Undang-
Undang”. Kemudian terdapat frasa tentang penambahan kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam penjelasan Pasal 29 ayat (1) huruf e yang
mengatakan bahwa kewenangan memeriksa, dan memutus sengketa hasil
Pemilihan Umum Kepala Daerah sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-Undangan”, yang menjadi legal standing para pemohon perselisihan
hasil Kepala Daerah. Implikasi dari pengalihan kewenangan itulah yang
kemudian memaksa Mahkamah Konstitusi sebagai fokus antara wewenang
yang diberikan UUD 1945, terutama pengujian Undang-Undang, dengan
ketatnya batas waktu penyelesaian sengketa Pemilu yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 pada Pasal 78 huruf a paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku Registrasi Perkara
Konstitusi dalam hal Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,
selanjutnya huruf b menyebutkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
96
permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, dalam hal
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
2.2.7. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-
masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota
dipilih secara demokratis. Kepala Daerah dapat diatur dalam Bab VII Bagian
ketiga Paragraf 1Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah yang pengaturannya dimuat dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 66
Undang-Undang ini.108
108
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 59
(1) Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebutkan kepala daerah.
(2) Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk daerah provinsi disebut gubernur,
untuk daerah kabupaten disebut bupati, dan untuk daerah kota disebut walikota.
Pasal 60
Masa jabatan kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) adalah 5 (lima)
tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang
sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Pasal 61
(1) Kepala Daerah sebelum memangku jabatannya dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji
yang dipandu oleh pejabat yang melantik.
(2) Sumpah/janji kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
“Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala
daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala undang- undang dan
peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa”.
Pasal 62
Ketentuan mengenai pemilihan kepala daerah diatur dengan undang-undang.
Pasal 63
(1) Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dapat dibantu oleh wakil
kepala daerah.
(2) Wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk daerah provinsi disebut
wakil gubernur, untuk daerah kabupaten disebut wakil bupati, dan untuk daerah kota disebut
wakil walikota.
97
Pasal 64
(1) Wakil kepala daerah sebelum memangku jabatannya dilantik dengan mengucapkan
sumpah/jani yang dipandu oleh pejabat yang melantik.
(2) Sumpah/janji wakil kepala daerah sebagaimana dimasud pada ayat 91) adalah sebagai
berikut:
“Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai wakil
kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan
peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa”.
Pasal 65
(1) Kepala daerah mempunyai tugas:
a. memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintah yang menjadi kewenangan daerah
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan
bersama DPRD;
b. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;
c. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan rancangan Perda tentang
RPJMD kepada DPRD untuk dibahas bersama DPRD, serta menyususn dan menetapkan
RKPD;
d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda tentang
perubahan APBD, dan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
kepada DPRD untuk dibahas bersama;
e. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum
untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. mengusulkan pengangkatan wakil kepala daerah; dan
g. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepala daerah berwenang:
a. mengajukan rancangan Perda;
b. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
c. menetapkan Perkada dan keputusan kepala daerah;
d. mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan oleh
Daerah dan/atau masyarakat;
e. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Kepala daerah yang sedang menjalani masa tahanan dilarang melaksanakan tugas dan
kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat 91) dan ayat (2).
(4) dalam hal kepala daerah sedang menjalani masa tahanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) atau berhalangan sementara, wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan wewenang
kepala daerah.
(5) Apabila kepala daerah sedang menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara dan tidak
ada wakil kepala daerah, sekretaris daerah melaksanakan tugas sehari-hari kepala daerah.
(6) Apabila kepala daerah dan wakil kepala daerah sedang menjalani masa tahanan atau
berhalangan sementara, sekretaris daerah melaksanakan tugas sehari-hari kepala daerah.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang kepala daerah oleh wakil
kepala daerah dan pelaksanaan tugas sehari-hari kepala daerah oleh sekretaris daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6) diatur dalam peraturan
pemerintah.
Pasal 66
(1) Wakil kepala daerah mempunyai tugas:
a. membantu kepala daerah:
1. memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintah yang menjadi kewenangan daerah;
2. mengoordinasikan kegiatan perangkat daerah dan menindaklanjuti laporan dan/atau
temuan hasil pengawasan aparat pengawasan;
3. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintah daerah yang dilaksanakan
oleh perangkat daerah provinsi bagi wakil gubernur; dan
98
2.2.8. Pasangan Calon Kepala Daerah
Dalam Pasal 1 angka3 dan angka 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-
Undang, menyatakan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur adalah
peserta Pemilihan yang diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik,
atau perseorangan yang didaftarkan atau mendaftar di Komisi Pemilihan
Umum Provinsi, sedangkan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, Calon
Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah peserta Pemilihan yang diusulkan
oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorang yang didaftarkan
atau mendaftarkan diri di Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota.
Ketentuan Pasal 1 angka 3 dan 4 di atas secara sejalas mendefenisikan
mengenai Calon Kepala Daerah atau pasangan Calon Kepala daerah. Ketentuan
dimaksud menyebutkan bahwa Calon Kepala Daerah, baik Gubernur, Wakil
Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota adalah
4. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintah yang dilaksanakan oleh
perangkat daerah kabupaten/kota, kelurahan, dan/atau Desa bagi wakil bupati/wali
kota.
b. memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam pelaksanaan
pemerintah daerah;
c. melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah menjalani
masa tahanan atau berhalangan sementara; dan
d. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wakil kepala daerah
melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintah lainnya yang diberikan oleh kepala daerah
yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayata (1) dan ayat (2), wakil kepala
daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah.
99
pasangan calon peserta pemilihan yang disulkan oleh partai politik, gabungan
partai politik, atau perseorangan yang didaftarkan atau mendaftarkan diri
sendiri kepada Komisi Pemilihan Umum Provinsi atau Kabupaten/Kota.
2.3. Kerangka Berpikir
Kerangkan berpikir adalah sebuah alur berpikir secara rasional dan
sistematis mengenai apa yang hendak mau digambarkan dalam suatu penulisan
ilmiah dalam bentuk disertasi. Melalui Pemahaman sederhana menyangkut
kerangka berpikir yang dimaksud maka secara umum dapat dijelaskan secara
singkat sebagai berikut:
Judul dalam disertasi ini adalah Pentaatan Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara Dalam Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah Peserta Pemilukada.
Permasalahan yang hendak dikaji ada tiga masalah yaitu: apa hakekat Pengadilan
Tata Usaha Negara, mengapa Putusan PTUN tidak ditaati oleh KPUD selaku
pejabat/badan TUN, dan masalah ketiga apa akibat hukum ketidaktaatan Putusan
PTUN oleh KPUD. Teori yang dipakai untuk menjawab ketiga permasalahan di
atas yakni: Teori Kedaulatan Hukum digunakan untuk menjawab masalah
pertama, Teori Trias Politika dan Teori Kewenangan digunakan untuk menjawab
masalah kedua dan Teori Kekuatan Mengikat Putusan dipakai untuk menjawab
masalah ketiga. Sedangkan Metode yang dipakai adalah metode normatif, dengan
pendekatan peraturan perundangan-undangan, konseptual dan kasus, dan bahan
yang digunakan adalah bahan hukum. Proses tersebut kemudian melahirkan hasil
dan hasil merupakan jawaban atas judul disertasi yang dipersembahkan oleh
100
penulis ini. Kerangkan berpikir di bawah ini merupakan konklusi dari deskripsi di
atas.
Kerangka Berpikir
Tabel. 2.1
Hasil Penelitian
Later Belakang
Masalah
Rumusan Masalah Teori Metode
Penelitian
Problem Filosofis
o Ketidaktaatan
Putusn PTUN
Problem Yuridis
o Pasal 28D ayat
((3) UUDNRI
1945
o Pasal 115 UU
No. 51 Tahun
2009 ttg PTUN
Problem Sosiologis
o Ketiadak
percayaan
Masyarakat
terhadap
Pengadilan Tata
Usaha Negara
1. Apa hakikat
Pengadilan Tata
Usaha Negara dalam
Negara Hukum?
2. Mengapa Putusan
Pengadilan Tata
Usaha Tidak ditaati
oleh Komisi
Pemilihan Umum
Daerah?
3. Apa implikasi
hukum terhadap
ketidaktaatan
Putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara
o Teori
Kedaulatan
Hukum
o Teori Trias
Politika
o Teori
Kewenangan
o Teori ration
decidendi
o Asas Erga
Omnes
o Asas
Kepastian
Hukum
o Teori
Penemuan
hukum
o Konsep
Negara
Hukum
Jenis Penelitian
Hukum Normatif
Pendekatan:
o Perundangan-
Undangan
o Konseptual
o Perbandingan
o Kasus
Sumber Bahan
Hukum:
o Primer
o Sekunder
Teknik Peng
Bahan Hukum
o Bola salju
o Sistem Kartu
Teknik Analisis:
o Deskripsi
o konstruksi
o Interpretasi
o Argumentasi/
Evaluas
Saran