bab ii landasan teori 2.1. ampas tahu -...
TRANSCRIPT
6
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Ampas Tahu
Ampas tahu merupakan limbah dalam bentuk padatan dari bubur kedelai
yang diperas dan tidak berguna lagi dalam pembuatan tahu dan cukup potensial
dipakai sebagai bahan makanan karena ampas tahu masih mengandung gizi yang
baik. Penggunaan ampas tahu masih sangat terbatas bahkan sering sekali menjadi
limbah yang tidak termanfaatkan sama sekali (Winarno, 2003).
Gambar 2.1 Ampas Tahu Kering dan Ampas Tahu Basah
Tabel 2.1 Komposisi Zat Gizi Ampas Tahu dalam 100 gram
Sumber: Arbaiyah (2003)
Kandungan zat gizi ampas tahu yang masih cukup tinggi dan terdapat dalam jumlah
yang banyak memberikan peluang yang sangat besar untuk dimanfaatkan sebagai
substituent dalam pengolahan makanan seperti kue kering.
7
Menurut Rahayu (2012) yang dikutip oleh Wati (2013) ampas tahu basah
dalam per 100 gram mengandung Karbohidrat 11,07%, Protein 4,71%, Lemak
1,94% dan Abu 0,08%. Oleh karena itu ampas tahu perlu dioptimalkan
pemanfaatanya sebagai bahan pangan campuran/subtitusi pada bahan pangan dasar
pada olahan makanan. Akan tetapi ampas tahu basah mudah mengalami kerusakan
dan pembusukan sehingga perlu penanganan lebih lanjut untuk meningkatkan umur
simpan ampas tahu serta lebih fleksibel dalam penggunaan.
2.2. Daya Motor
Pada alat ini biasanya digerakkan oleh sebuah tenaga motor dengan
menggunakan listrik sebagai sumber tenaganya.
Daya dan putaran yang dibutuhkan pada alat ini adalah:
P =2𝜋.𝑛.𝑇
60 (Sularso & Suga, 1983 : 7)
T = f.r (Sularso & Suga,1983 :45)
Dimana :
N= putaran permenit (rpm)
T= Torsi (kg.mm)
P = daya (Watt)
F = gaya (N)
r = jari-jari (mm)
2.3. Poros (shaft)
Poros merupakan batang logam yang memiliki penampang berupa silinder
yang digunakan untuk meneruskan putaran atau daya, serta sebagai sarana
pendukung. Poros merupakan salah satu bagian yang terpenting dari setiap
mesin untuk meneruskan putaran. Bagian-bagian mesin yang sudah dirakit tidak
8
dapat dipisahkan dari poros. Peranan utama poros adalah untuk transmisikan
daya dan putaran (Sularso, 2004:1).
Poros ini harus mampu menahan getaran yang timbul dan gaya yang
timbul akibat putaran yang tinggi. Dengan demikian tenaga yang terjadi
diusahakan sekecil mungkin sesuai dengan konstruksi mesin.
Berdasarkan pembebanannya, poros digolongkan menjadi tiga, yaitu:
a. Poros transmisi
Poros ini mendapat beban puntir dan lentur dari daya yang ditransmisikan
melalui komponen mesin yang lain, seperti sabuk, kopling, roda gigi, dan
lain-lain.
b. Spindel
Spindel adalah poros transmisi yang relatif pendek, karena beban utamanya
adalah puntiran, sehingga deformasinya harus kecil.
c. Gandar
Poros ini dipasang di antara roda-roda kereta barang yang hanya mendapat
beban lentur saja, tetapi jika digerakkan oleh penggerak mula akan
mengalami beban puntir juga.
Poros pada umumya meneruskan daya, baik melalui sabuk, rantai maupun
roda gigi. Daya yang direncanakan (Pd) dalam perhitungan adalah hasil kali
daya nominal out put dari motor penggerak (P) dikalikan dengan faktor
koreksi (fc):
Pd = fc . P (kW) (Sularso & Suga, 1997:244)
Jika momen puntir (momen rencana) adalah T (kg.mm), maka:
Pd = (Sularso dan Suga, 1997:244)
maka:
T = 9,74 x 105 (Sularso dan Suga, 1997:244)
Apabila momen rencana tersebut dibebankan pada suatu diameter poros ds
(mm) maka tegangan geser () yang terjadi adalah:
102
60
2
1000
nT
n
Pd
9
= = (Sularso dan Suga, 1997:7)
Tegangan geser maksimum (maks) yang terjadi harus lebih kecil dari tegangan
geser yang diijinkan ( ). Persamaan yang dipakai adalah sebagai berikut:
= (Sularso dan Suga, 1997:18)
Besarnya Km untuk beban dengan tumbukan ringan adalah 1,5 – 2,0 (Sularso
dan Suga, 1997:17), sedangkan besarnya Kt adalah 1,0 – 1,5 C.
dihitung berdasar batas kelelahan puntir yang besarnya 45% dari kekuatan
tarik. Besar harga Sf1 adalah 6,0 dan besarnya harga Sf2 adalah 1,3 - 3,0.
= (Sularso dan Suga, 1997:8)
Perhitungan diameter poros dengan beban puntir:
ds = (Sularso dan Suga, 1997:8)
Poros dengan beban puntir dan lentur:
ds (Sularso dan Suga, 1997:18)
Dimana:
ds = Diameter poros (mm)
= Tegangan geser ijin bahan poros (kg/mm2)
Km = Faktor koreksi momen lentur (1,5 – 2,0)
M = Momen lentur yang bekerja pada poros (kg.mm)
Kt = Faktor koreksi momen puntir (1,0 – 1,5)
T = Momen puntir (kg.mm)
Besarnya defleksi puntiran dihitung berdasarkan rumus:
θ = 584 𝑇 . 𝑙
𝐺 .𝑑𝑠4 (Sularso dan Suga, 1997:18)
di mana :
θ : Defleksi puntiran (o)
T : Momen puntiran (Kg.mm)
16
3ds
T
2
1,5
ds
T
a
maks 22
3).().(
1,5TKtMKm
ds
a
a 21.SfSf
B
3/11,5
xKtxCbxT
a
2)..(1,5
TKtMKma
a
10
l : Panjang poros (mm)
G : Modulus geser (Kg/mm2)
Selain itu juga harus ditetukan kekuatan tarik (σt) dari bahan pasak, sehingga
tegangan geser ijin ( a ) dapat dihitung dengan :
a = 𝜎𝐵
𝑆𝑓1 . 𝑆𝑓2 (Sularso, 1997: 8)
Dimana:
a = Tegangan Geser yang Diijinkan(Kg/mm2)
σB = Kekuatan bending (Kg/mm2)
Sf1 = Faktor Keamanan Yang diambil harga 6
Sf2 = Faktor Keamanan Yang Diambil Harga Sebesar 1 – 1,5 bila beban
dikenakan perlahan-lahan.
2.4. Puli (Pulley)
Puli (pulley) adalah suatu elemen mesin yang digunakan untuk
mentransmisikan atau memindahkan daya dengan perantara sabuk (belt), yang
terbuat dari bahan besi cor atau baja cor. Pada puli dengan diameter 200 mm tidak
mempunyai lengan. Ketebalan piringan sama dengan lebar rim. Untuk mengetahui
jumlah lengan pada diameter besar dapat dilihat pada (Lampiran 12: Khurmi, 1984:
692).
11
Gambar 2.2. Groove Pulley
Sumber : http://www.roymech.co.uk
Keterangan gambar :
lp = Lebar pitch (pitch width)
b = Tinggi minimum groove di atas pitch line (minimum height of groove above
the pitch line)
h = Kedalaman minimum groove di bawah pitch line (minimum depth of groove
below the pitch line)
α = groove angle (Sudut groove)
dp = pitch diameter
e = Jarak antara titik tengah 2 groove (distance between the axes of the sections
of two grooves)
f = Jarak antara titik tengah groove dengan bagian tepi pulley (distance between
the axis of the section of the outer groove and the rim of the pulley).
Dimensi dan daya:
Lebar puli = B (mm)
Lebar puli dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
B = 1,25.b (mm) (Khurmi, 1984:695)
Dimana :
b = lebar sabuk (mm)
12
Diameter hubungan puli
Diameter hubungan puli dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
dh = 1,5 ds + 25 (mm) (Khurmi, 1984:695)
dimana :
ds = diameter poros (mm)
Diameter Puli
Diameter puli dapat dihitung dengan menggunakan rumusan:
𝐷 =60.𝑉
𝜋.𝑛(𝑚𝑚) (Khurmi, 1984:695)
Dimana :
V = kecepatan puli (cm/s)
n = putaran puli (rpm)
Tebalan rim pulley
Tebal rim puli dapat dihitung dengan menggunakan rumusan:
𝑇 =𝑑
200+ 3(𝑚𝑚) (Khurmi,1984:695)
Beban tangensial tiap lengan
Beban tangensial tiap lengan pada puli dapat ihitung dengan menggunakan
rumusan:
τ =2.𝑇
𝑅.𝑥(𝑘𝑔) (Khurmi, 1984:696)
Dimana :
T = torsi (kg.mm)
R = jari – jari puli (mm)
X = jumlah lengan
13
2.5 Transmisi Sabuk (Belt)
Sabuk merupakan elemen mesin yang berfungsi untuk mentransmisikan
daya dengan putaran dari motor melalui puli, antara poros satu dengan yang lain
dengan jarak yang jauh. Sabuk dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Sabuk rata (Flat Belt)
Sabuk jenis ini biasanya dipasang pada pully silinder dan meneruskan momen
antara dua poros. Sabuk ini umumnya tidak menimbulkan suara (tidak
berisik), efisien pada putaran tinggi, dan dapat mentransmisikan daya besar
dengan jarak yang panjang.
b. Sabuk dengan gigi (Timing Belt)
Sabuk jenis ini biasanya dipasang secara berpasangan dengan jenis pulley,
untuk meneruskan putaran secara tepat. Sabuk jenis ini memiliki
kecenderungan selip yang kecil, daya yang ditransmisikan konstan dan
dengan adanya gigi memungkinkan untuk mendapatkan putaran rendah atau
tinggi.
c. Sabuk-V (V-Belt)
Sabuk ini biasanya dipasang dengan cara membelitkannya dikeliling alur
pully berbentuk V dan meneruskan putaran dua poros. Sabuk jenis ini
biasanya digunakan pada jarak pendek dan daya yang dihasilkan besar pada
tegangan yang relatif rendah serta tidak ada sambungan pada sabuknya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam transmisi sabuk adalah:
1. Tegangan Sabuk.
2. Kecepatan Pulley.
3. Sudut Kontak antara sabuk dengan Pulley yang terjadi.
4. Kondisi dimana sabuk digunakan.
Dalam pemilihan sabuk berlaku rumusan-rumusan sebagai berikut:
14
Gambar 2.3. Keterangan Rumus Perhitungan V-Belt
Keterangan :
C : jarak sumbu poros
d2 : diameter luar pulley yang digerakkan
d1 : diameter luar pulley penggerak
Kecepatan linear sabuk v (m/s).
v = (Sularso dan suga, 1997:166)
Dimana:
v : Kecepatan Keliling Sabuk (m/s).
dp : Diameter Pulley Mesin (mm)
n : Putaran Pulley Mesin(rpm)
Antara poros penggerak dengan poros yang digerakan ada jarak, maka
panjang keliling sabuk L (mm) harus dihitung, dimana masing-masing adalah dp
(mm) dan Dp (mm) serta perbandingan putaran dinyatakan atau . Jarak
sumbu poros dan keliling sabuk berturut-turut adalah C dan L, maka:
L = 2C + (dp + Dp) + (Dp dp)2 (Sularso, 1997: 170)
Dimana:
L = Panjang Sabuk (mm)
C = Jarak Sumbu Poros (mm)
Dalam mendapatkan sabuk yang panjangnya sama maka perhitungan
menggunakan jarak antara kedua poros dengan rumus sebagai berikut:
1000x60
ndπ p
2n
1n
Dp
dp
2
π
C4
1
15
C = (Sularso, 1997: 170)
Dimana:
b = 2L 3,14 (Dp dp) (Sularso, 1997: 170)
Dan untuk menentukan sudut antara kedua sumbu pulley (θ)
θ = 1800 57 (𝐷𝑝− 𝑑𝑝)
𝐶 (Sularso, 1997: 170)
Dimana:
θ = Sudut Kontak Antara Kedua Pulley (Radian)
C = Jarak Kedua Sumbu Poros (mm)
Jumlah sabuk yang diperlukan dapat diperoleh dengan rumusan :
N = 𝑃𝑑
𝑃𝑜. 𝐾𝜃 (Sularso, 1983:173)
Di mana :
N : Jumlah sabuk yang diperlukan
Pd : Daya motor (Watt)
Po : Daya yang ditransmisikan sabuk (Watt)
Kθ : Faktor koreksi sabuk
Gambar 2.4. : Konstruksi dan Tipe Sabuk V
(Sularso, 1983: 164)
2.6. Pasak (spline)
Pasak adalah elemen mesin yang dipakai untuk menetapkan bagian-bagian
mesin seperti roda gigi, sproket, puli, kopling dan sebagainya pada poros
(Sularso, 2004:23). Fungsi pasak dalam perancangan mesin adalah untuk
menghubungkan antara dua elemen mesin (umumnya poros dan naf), sehingga
terjadi pengaluran momen antara dua komponen tersebut. Pasak memiliki sifat
sederhana, dapat diandalkan, mudah digunakan (dipasang dan dibongkar) dan
8
dD(8b+b pp2
16
murah pembuatannya.
Menurut Sularso (2004:24), berdasarkan letak pada poros, pasak
dibedakan menjadi empat, yaitu pasak pelana, pasak rata, pasak benam dan
pasak singgung yang umumnya berpenampang segi empat. Sedangkan
berdasarkan bentuknya, pasak dibedakan menjadi dua, yaitu pasak tembereng
dan pasak jarum. Adapun keterangan lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar
di bawah ini.
Gambar 2.5 : Jenis-jenis Pasak Berdasarkan Letak Poros
Sumber: Sularso, 1979:24
Pasak yang digunakan pada perencanaan mesin pemilah limbah sagu ini
adalah jenis pasak benam yang berfungsi untuk mengikat poros dengan puli.
Pemilihan pasak benam ini didasarkan pada pembebanan yang terjadi pada
pasak yaitu beban puntir dan meneruskan momen yang besar.
Dengan mengetahui daya rencana (Pd) yang dihitung pada perhitungan
poros serta mengetahui putaran poros (n) dan juga torsi (T) diketahui pada
perhitungan poros, maka daya tangensial pada permukaan poros (F) dapat
ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
Ft = (Sularso, 1997: 25)
Dimana:
Ft = Gaya Tangensial (Kg)
2
d
T
s
17
T = Torsi (Kg.mm)
Ds = Diameter Poros (mm)
Gaya geser τk (Kg/mm2) yang bekerja pada penampang mendatar bxl (mm2) oleh
gaya F (kg) adalah :
τk = F / b . l (Sularso, 1983;25)
Besarnya tegangan geser yang diijinkan :
τka ≥ 𝐹
𝑏. 𝑙1 (Sularso, 1983;25)
di mana :
τka : Tegangan geser yang diijinkan (Kg/mm2)
l1 : Panjang pasak yang diperlukan (mm)
Gaya keliling F (kg) yang sama seperti tersebut di atas dikenakan pada luas
permukaan samping pasak. Kedalaman alur pasak pada poros dinyatakan dengan t1
dan kedalaman alur pasak pada naf dengan t2 sehingga tekanan permukaan p adalah
:
p = 𝐹
𝑙 𝑥 (𝑡1𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑡2) (Sularso, 1983;27)
Dari harga tekanan permukaan yang diijinkan pa (kg) maka panjang pasak yang
diperlukan dapat dihitung :
pa ≥ 𝐹
𝑙 𝑥 (𝑡1𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑡2) (Sularso, 1983;27)
Dimensi pasak yang digunakan sesuai dengan tabel.
Table 2.2. Ukuran standart pasak
18
(Sularso;Elemen Mesin; Hal 10)
2.7. Bantalan (Bearing)
Bantalan adalah elemen mesin yang menumpu poros berbeban sehingga
putaran atau gerakan bolak – baliknya dapat berlangsung halus, aman dan berumur
panjang. Bantalan harus cukup kokoh untuk memungkinkan poros serta elemen
mesin lainnya bekerja dengan baik. Jika bantalan tidak berfungsi dengan baik, maka
prestasi dari seluruh sistem akan menurun atau tidak dapat bekerja secara mestinya.
Menurut Soelarso (1991:170), bantalan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Atas dasar gerakan bantalan terhadap poros
a. Bantalan luncur. Pada bantalan ini terdapat gesekan luncur antara poros
dan bantalan karena permukaan poros ditumpu oleh permukaan bantalan
dengan perantaraan lapisan pelumas.
b. Bantalan gelinding. Pada bantalan ini terjadi gesekan gelinding antara
bagian yang berputar dengan yang diam melalui elemen gelinding.
Seperti bola (peluru), rol, atau rol jarum, dan rol bulat.
2. Atas dasar arah beban terhadap poros
19
a. Bantalan aksial. Arah beban yang ditumpu bantalan ini adalah tegak
lurus sumbu poros.
b. Bantalan radial. Arah beban ini sejajar dengan sumbu poros.
c. Bantalan gelinding khusus. Bantalan ini dapat menumpu beban yang
arahnya sejajar dan tegak lurus sumbu poros.
Bantalan luncur mampu menumpu poros berputaran tinggi dengan beban
besar. Konstruksi bantalan ini sederhana dan dapat dibuat serta dipasang dengan
mudah. Sedangkan konstruksi bantalan gelinding sukar dan memerlukan ketelitian
yang lebih tinggi sehingga lebih mahal. Bantalan gelinding secara umum lebih
cocok untuk beban kecil daripada bantalan luncur. Oleh karena itu, bantalan
gelinding hanya dapat dibuat oleh pabrik – pabrik tertentu saja. Untuk menekan
biaya pembuatan serta memudahkan pemakaian, bantalan gelinding diproduksi
menurut standar dalam berbagai ukuran dan bentuk.
Dalam perancangan di digunakan bantalan gelinding beberapa kelebihan
kelakuan yaitu kemampuan membawa beban aksial, kelakuan terhadap putaran, dan
kelakuan gesekan.
Gambar 2.6. Macam – Macam Bantalan Gelinding
20
Dalam perancangan ini digunakan bantalan gelinding karena gesekannya sangat
kecil dibandingkan bantalan luncur, disamping itu adanya kemudahan dalam
pembelian , pelumasan , perawatan , dan penggantian bila mengalami kerusakan.
Dengan diketahui diameter poros dan gaya yang bekerja, maka jenis bantalan dan
ukuran bantalan akan dapat ditentukan berdasarkan perhitungan.
Beban ekivalensi dinamis P (kg ) dihitung dengan rumus sebagai berikut :
P = X . Pr + Y . Pa (sularso & Suga, 1983 : 135)
Dimana :
X = Faktor beban radial ( diambil 1,5 )
Y = Faktor beban aksial
Pr = Gaya radial pada tumpuan beban terbesar ( kg )
Pa = Gaya aksial yang bekerja pada bantalan ( kg )
Table 2.3. Faktor-faktor X,V dan Y
(Sularso;Elemen Mesin; Hal 135)
Jika C ( kg ) menyatakan beban nominal dinamis spesifik dan P ( kg ) beban
ekivalen dinamis , maka faktor kecepatan fn adalah :
21
Faktor kecepatan (fn) untuk kecepatan
fn = (33.3
𝑛)
1/3
(sularso & Suga, 1983 : 136)
Dimana :
fn = Faktor kecepatan
n = Jumlah putaran tiap menit
Faktor umur (fh)
fh = fn 𝐶
𝑃 (sularso & Suga, 1983 : 136)
Dimana :
fh = fahktor umur
fn = faktor kecepatan
C = kapasitas dinamis ( kg)
P = beban ekivvanlen (kg)
Umur nominal (Lh)
Lh=500.f3
ℎ
Dimana :
Lh = umur nominal
fh = Faktor umur
Tabel 2.4. Beban nominal dinamik spesifik
22
(Sularso;Elemen Mesin; Hal 143)
2.8. Gaya Sentrifugal.
Gaya sentrifugal adalah gaya yang arahnya keluar dari pusat lingkaran.
23
Gambar 2.7. Arah Gaya Sentrifugal
Gaya sentrifugal itu dihitung dengan menggunakan rumusan (Bob foster, 2004) :
F = m 𝑣2
𝑟
Keterangan :
F : Gaya sentrifugal (N)
m : Massa bahan (kg)
v : Kecepatan putar (m/s)
r : Jari-jari keranjang peniris (mm)
Dan akibat dari gaya sentrifugal yang terjadi maka didapatkan tekanan (preasure)
yang menuju kesegala arah sehingga rumus tekanan yaitu (Bob foster 2004) :
P = 𝐹
𝐴
Keterangan :
P : Tekanan yang menuju kesegala arah (N/m²)
F : Gaya sentrifugal (N)
A : Luasan bidang (m²)
Dengan adanya gaya sentrifugal dan tekanan maka empengaruhi tegangan yang
terjadi pada permukaan dinding tabung pemutar, maka rumus tegangan yaitu :
σp = 𝑃 .𝐷
2 𝑇 (Romadloni, 2012)
Keterangan :
σp : Tegangan (Mpa)
P : Tekanan segala arah (N/m²)
T : Tinggi tabung pemutar (mm)
24
2.9. Material Stainless Steel
Baja Tahan Karat (Stainless Stell) Baja tahan karat termasuk dalam baja paduan
tinggi yang tahan terhadap korosi, suhu tinggi, ketangguhan dan suhu rendah.
Karena sifatnya, maka baja ini banyak digunakan dalam pembuatan turbin, mesin
jet, pesawat terbang, bejana tekan, alat rumah tangga dan lain-lainnya.
Secara garis besar baja tahan karat dapat dikelompokkan dalam tiga
jenis, yaitu : jenis austenite, ferit, dan martensit seperti yang ditunjukkan dalam
tabel 2.5.
Tabel 2.5. Klasifikasi Baja Tahan Karat
(Wiryosumarto, 2004).
a) Baja Tahan Karat (Austenitic), kelompok ini adalah yang paling
banyak ditemukan dalam aplikasi disekitar kita, contohnya: peralatan
rumah tangga, tangki, pressure vessel (bajana tekan), pipa, struktur
baik yang bersifat konstruksi maupun arsitektural. Memiliki
kandungan Ni tidak kurang dari 7% yang mengakibatkan
terbentuknya struktur austenite dan memberikan sifat ulet (ductile).
Stainless Steel 304, 304L, 316, 316L termasuk ke dalam tipe ini.
Stainless Steel austenitic bersifat non magnetic.
b) Baja Tahan Karat (Ferritic), kolompok ini memiliki sifat yang
mendekati baja umum (mild steel) tetapi memiliki ketahanan korosi
yang lebih baik. Didalam kelompok ini yang paling umum dipakai
25
adalah tipe 12% Chromium yang banyak dipakai dalam aplikasi
struktural dan tipe 17% Chromium yang banyak dipakai pada
aplikasi peralatan rumah tangga, boiler, mesin cuci dan benda-benda
arsitektural.
c) Baja Tahan Karat (Martensitic), tipe ini umumnya mengandung 11 –
13% Chromium. Tipe ini memiliki kekuatan dan kekerasan yang
tinggi, serta ketahanan terhadap korosi. Aplikasi terbanyak adalah
untuk turbine blade. Dalam peneiltian ini jenis material yang digunakan
adalah (A 240 Type 304) merupakan baja tahan karat austenit dengan kadar
karbon 0,026%. Baja tahan karat austenit memiliki sifat mampu las yang
baik, tahan terhadap korosi, dan tahan dalam keadaan suhu tinggi dan suhu
rendah. Diaplikasikan untuk pembuatan turbin, mesin jet, pesawat
terbang, bejana tekan (pressure vessel), dan alat-alat rumah tangga.
Dalam perancangan ini yang dimaksud dengan (A 240 Type 304) menurut
ASTM (American Society for Testing Material) adalah:
A = Menunjukkan Pengkodean Material Standar Amerika.
240 = Spesifikasi Number Plate Baja Tahan Karat.
Type 304 = Menujukkan material berjenis plate.