bab ii landasan teori 2.1. manajemen peningkatan mutu...
TRANSCRIPT
15
BAB II LANDASAN TEORI
2.1. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Sesuatu akan dikatakan bermutu jika sesuatu
tersebut dapat sesuai dengan standard atau melebihi
standard. Mutu berkaitan dengan pemenuhan harapan
atau tujuan.Dalam usaha memenuhi standard mutu
hendaknya makna mutu yang sesungguhnya perlu
dipahami secara komprehensif. Menurut Tjiptono dan
Diana (2009) sesuatu dikatakan berkualitas/ bermutu
jika sesuatu yang dikatakan bermutu tersebut dapat
memenuhi atau melebihi harapan pelanggan,
mencakup produk, jasa, manusia, proses dan
lingkungan serta merupakan kondisi yang selalu
berubah dan dinamis (apa yang dianggap bermutu saat
ini mungkin dianggap kurang bermutu pada saat yang
lain).
Dalam dunia pendidikan, sekolah-sekolah terus
bersaing dalam meningkatkan mutu sekolahnya.
Secara yuridis formal, dalam pasal 51, ayat (1), UU No
20 tahun 2003 yang berkaitan dengan Sistem
Pendidikan Nasional menyatakan bahwa standar
pelayanan minimal (SPM) yang menganut prinsip MBS
harus dilaksanakan oleh pengelolaan satuan
16
pendidikan baik dari usia dini hingga pendidikan dasar
dan menengah. Menurut Umiarso dan Gojali (2010)
Manajemen Berbabsis Sekolah (MBS) memiliki arti
bahwa sekolah diberi kewenangan untuk mengelola dan
memperbaiki kualitas diri secara terus-menerus.
Sedangkan Direktorat TK dan SD (2005) menyatakan
bahwa MBS pada dasarnya adalah pengelolaan sumber
daya secara mandiri oleh sekolah untuk meningkatkan
mutu sekolah dan mencapai tujuan pendidikan
nasional yang dilakukan secara langsung dengan
melibatkan stakeholder terkait dalam proses
pengambilan keputusan. MBS pada MPMBS pada
intinya merupakan model manajemen peningkatan
mutu sekolah tanpa melupakan unsur kebijakan
pendidikan nasional yang memberi kesempatan lebih
besar pada sekolah untuk melibatkan langsung semua
warga sekolah dalam pengambilan keputusan secara
partisipatif (Depdiknas, 2002).
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
atau yang biasa disebut MPMBS dapat disimpulkan
sebagai sistem pengelolaan persekolahan yang mengacu
pada manajemen sumber daya secara mandiri untuk
meningkatkan mutu sekolah dengan memberikan
kewenangan dan kekuasaan kepada sekolah yang
melibatkan partisipasi masyarakat, warga sekolah dan
orang tua secara langsung pada proses pengambilan
keputusan. Pengelolaan sekolah juga hendaknya
17
disesuaikan dengan potensi, tuntutan dan kebutuhan
sekolah yang bersangkutan dan ditetapkan oleh
masing-masing sekolah sesuai dengan tujuan dan
strateginya, sehingga dapat mengarahkan organisasi
sekolah kedepan (Slameto, 2015: 13; Daryanto, 2013:
176; Mulyasa, 2012: 177).
Menurut Syaifudin, M. dkk (2006) terdapat
beberapa prinsip MBS diantaranya yaitu otonomi
sekolah, fleksibilitas, partisipasi untuk mencapai
sasaran mutu pendidikan. Sedangkan Nurkolis (2003)
menyatakan terdapat empat prinsip pengelolaaan
sekolah dengan menggunakan MBS yaitu prinsip
equifinalitas, prinsip desentralisasi, prinsip pengelolaan
mandiri dan prinsip insiatif manusia.Prinsip-prinsip
tersebut mengacu pada manajemen pengelolaan
pendidikan yang lebih terbuka dan menekankan pada
pengoptimalan sumber daya manusia dalam usaha-
usaha kreatif dan inovatifnya demi peningkatan
layanan dan mutu pendidikan. Hal tersebut tentunya
disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan serta
kondisi lingkungan sekolah.
MPMBS ini bertujuan memandirikan dan
memberdayakan sekolah melalui pemberian kewe-
nangan (otonomi) terhadap sekolah dalam mengelola
sumber daya yang dimiliki secara efektif dan efisien,
serta mendorong sekolah untuk melakukan
pengambilan keputusan yang tepat secara partisipatif,
18
transparan, dan akuntabel dalam mencapai tujuan
yang telah ditetapkan (Syaifudin, 2013; Mulyasa,
2012:179).Dalam pelaksanaan MBS Slameto (2015)
juga mengingatkan bahwa tujuan utama penerapan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah mening-
katkan mutu pendidikan melalui peningkatan prestasi
belajar siswa di sekolah. Hal ini berarti usaha
penerapan MBS harus bermuara pada peningkatan
prestasi peserta didik.
Secara khusus Mulyasa (2012:179) menetapkan
tujuan penerapan MPMBS adalah untuk: (1)
Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian
dan insiatif sekolah dalam mengelola dan member-
dayakan sumber daya yang tersedia; (2) Meningkatkan
kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendididkan melalui pengambilan
keputusan bersama; (3) Meningkatkan tanggung jawab
sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah
tentang mutu sekolahnya; (4) Meningkatkan kompetisi
yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan
yang akan dicapai.
Berdasarkan paparan diatas, jelas dinyatakan
bahwa pelibatan partisipasi orang tua dan masyarakat
sangat penting bagi peningkatan mutu sekolah.
Pelibatan orang tua dan masyarakat dalam program
sekolah bertujuan antara lain untuk (1) memajukan
kualitas pembelajaran dan petumbuhan peserta didik;
19
(2) memperkokoh tujuan serta meningkatkan kualitas
hidup dan penghidupan masyarakat; dan (3)
menggairahkan masyarakat untuk menjalin hubungan
dengan sekolah. (Mulyasa, 2012: 75). Hubungan
sekolah dengan orang tua dan masyarakat yang baik
akan menimbulkan rasa tanggung jawab dan
partisipasi tinggi oleh masyarakat dan orang orang tua
dalam berkerjasama memajukan sekolah menjadi lebih
baik dan bermutu. Terlebih lagi partisispasi orang tua
dalam pendidikan dapat menjadi pintu bagi mereka
untuk memberikan gagasan, kritis membangun,
dukungan dan pelaksanakan pendidikan yang lebih
baik.
Dapat disimpulkan dari pernyataan Slameto
(2015) dan Mulyasa (2012) bahwa penerapan MPMBS
khususnya dalam meningkatkan partisipasi orang tua
dan masyarakat, maka sekolah dapat melakukan hal-
hal yang berkaitan sebagai berikut: (1) Penggunaan
sumber daya pendidikan lebih efisien dan efektif
bilamana dikontrol oleh masyarakat setempat dengan
mengembangkan norma kebersamaan dan kerjasama
dengan kegiatan belajar dan perencanaan bersama; (2)
Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat
dalam pengelolan sekolah khusunya pengambilan
keputusan sekolah menciptakan transparansi dan
demokrasi yang sehat, salah caranya dengan
memberikan kepada “dewan sekolah” sebagai badan
20
pembuat keputusan bukan sekedar penasehat; (3)
Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu
pendidikan masing-masing kepada pemerintah, orang
tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya,
sehingga dia akan berupaya semaksimal mungkin
untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu
pendidikan yang telah direncanakan, hal ini berarti
tidak hanya melaksanakan MBS dengan meng-
implikasikan peningkatan peluang wakil orang tua
murid dan masyarakat untuk memberikan masukan
dalam pegambilan keputusan disekolah, melainkan
juga meyediakan pelatihan untuk menolong mereka
agar lebih mampu menjadi partisipan dalam upaya
perencanaan maupun pengambilan keputusan; (4)
Sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi
masyarakat dan lingkungan yang berubah dengan
cepat.
Terdapat dua jenis kegiatan hubungan sekolah
dengan masyarakat menurut Daryanto, dkk (2013:
148). Keterlibatan orang tua dalam kegiatan sekolah
merupakan jenis kegiatan eksternal.Kegiatan Eksternal
ini berhubungan atau ditujukan kepada instansi
atasan dan masyarakat diluar sekolah.Orang tua dalam
hal ini merupakan perwakilan masyarakat diluar
sekolah. Dalam jenis kegiatan ekstenal ini, ada dua
kemungkinan yang bisa dilakukan yaitu: (1) Indirect Act
adalah kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat
21
melalui perantara media tertentu seperti: Informasi
lewat televsisi, radio, media cetak, pameran sekolah
dan berusaha independen dalam penerbitan majalah
atau buletin sekolah. Dalam era digital ini media sosial
juga dapat menjadi alat komunikasi yang efektif dan
efisien dalam penyebaran informasi pada pemangku
kepentingan; (2) Direct Act adalah kegiatan hubungan
sekolah dengan masyarakat melalui tatap muka, misal:
rapat bersama dengan komite sekolah, konsultasi
dengan tokoh masyarakat, melayani kunjungan tamu
dan sebagainya.
Selain itu menurut Daryanto (2013: 144) terdapat
sarana-sarana yang diperlukan dalam pelaksanan
hubungan sekolah dengan masyarakat adalah sebagai
beikut: (1) Sistem visual yaitu sistem komunikasi
dengan mempergunakan alat-alat yang dapat dilihat
dengan pancaindra seperti: majalah, surat kabar,
poster, gambar, dan lain sebagainya; (2) Sistem audio
yaitu dengan menggunakan alat-alat yang
berhubungan dengan indra pendengaran seperti: rapat-
rapat, kontak dengan telepon, telegram dan lain
sebagainya; (3) Sistem audio visual yaitu sistem
komunikasi dengan mempergunakan alat-alat indra
penglihatan dan pendengaran seperti televisi, film dan
lain sebagainya.
22
2.2. Partisipasi Orang Tua dalam Pendidikan
Partisipasi erat kaitannya dengan berbagi
tanggungjawab untuk mencapai tujuan bersama.
Menurut Rodliyah (2013: 31-32) partispasi dapat
diartikan sebagai keterlibatan mental dan emosi dalam
situasi kelompok sehingga dapat dimanfaatkan sebagai
motivasi dalam usaha mencapai tujuan organisasi.
Partisipasi juga dimaknai sebagai pelibatan seseorang
atau beberapa orang dalam suatu kegiatan termasuk
keterlibatan dalam proses pembuatan keputusan,
pelaksanaan program, memperoleh kemanfaatan dan
mengevaluasi program (Dwiningrum, 2015: 50-51).
Maka dalam hal ini partisipasi masyarakat dapat
dikatakan sebagai keikutsertaan atau keterlibatan
masyarakat terhadap suatu kegiatan atau organisasi
sosial dalam merencanakan, melaksanakan,
mengendalikan dan mengevaluasi serta mampu untuk
meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan
untuk menanggapi, baik secara langsung maupun tidak
langsung sejak dari gagasan, perumusan kebijak-
sanaan hingga pelaksanaan program. Hal tersebut
dilakukan dalam rangka untuk mewujudkan keinginan
dan kepentingan bersama dalam pelaksanaan dan
pengembangan pendidikan (Slameto, 2015: 73,
Rodliyah, 2013: 33-34).
23
Partisipasi atau keterlibatan orang tua dalam
satuan pendidikan tidak hanya dibutuhkan pada
tingkat taman kanak-kanan atau sekolah dasar saja
namun di tingkat sekolah menengah pula. Dalam usia
11-17 tahun, anak-anak justru sedang berada pada
masa puberitas, transisi dan pengembangan
kemampuan berpikir abstrak. Pada usia tersebut,
anak-anak juga dianggap sebagai anak pada usia yang
tingkat kerawanannya tinggi. Mereka dapat mudah
terpengaruh dengan narkoba, tawuran, putus sekolah
dan kejahatan lain serta mengalami gangguan
psikologi. Dalam masa seperti ini dukungan dari orang
tua sangat dibutuhkan untuk menghindari hal-hal
tersebut. Kemitraan sekolah dengan orang tua pada
tingkat sekolah menengah memang memiliki perbedaan
dengan tingkat sekolah dasar. Dalam tingkat sekolah
menengah, anak lebih membutuhkan hubungan yang
mengutamakan kepedulian dan kepercayaan terhadap
anak. Para siswa sekolah menengah memerlukan
kesempatan untuk membentuk identitas diri mereka
masing-masing, mengekspresikan diri dan terlibat
dalam pengalaman yang memiliki tantangan yang dapat
mengembangkan kemapuan dan harga diri mereka.
Mereka menginginkan otonomi, kebebasan dan waktu
dengan teman sebaya namun disaat yang sama mereka
juga membutuhkan orang tua atau orang dewasa yang
24
dapat diandalkan. (Havard Family Research Project,
2007: 1).
Pemaknaan kata partisipasi dan pelibatan sering
kali dianggap sama. Namun ada beberapa ahli yang
membedakan makna kata tersebut.Salah satu ahli yang
membedakan makna tersebut adalah Davis. Menurut
Davis, (Dwiningrum 2015: 72) partisipasi dalam
indikasi parental participation adalah orang tua
berpengaruh atau berupaya mempengaruhi dalam
pengambilan keputusan pada hal-hal yang sangat
penting disekolah, seperti penentuan program sekolah,
masalah keuangan dan lain-lain. Sedangkan pelibatan
dalam indikasi parental involvement mengacu pada
keterlibatan orang tua pada semua jenis aktivitas yang
ditujukan untuk mendukung program-program
sekolah. Berdasarkan pada perbedaan makna diatas,
model kemitraan ini akan mengarah pada makna
pelibatan dalam indikasi parental involvement oleh
Davis tersebut.Khumas (2005: 77-78) berpendapat
bahwa parental involvement merupakan solusi yang
mungkin lebih tepat untuk dilakukan di sekolah-
sekolah.
Pelibatan orang tua dan masyarakat dalam
program sekolah bertujuan antara lain untuk (1)
memajukan kualitas pembelajaran dan pertumbuhan
peserta didik; (2) memperkokoh tujuan serta
meningkatkan kualitas hidup dan penghidupan
25
masyarakat; dan (3) menggairahkan masyarakat untuk
menjalin hubungan dengan sekolah (Mulyasa, 2012:
75). Harmonisnya hubungan sekolah dengan orang tua
dan masyarakat juga akan meningkatkan pula rasa
tanggung jawab dan partisipasi masyarakat untuk
memajukan pendidikan di sekolah. Dalam hal ini,
sekolah dapat melakukan hal seperti memberitahu
masyarakat mengenai program-program sekolah, baik
program yang telah dilaksanakan dan yang sedang
dilaksanakan, serta yang akan dilaksanakan sehingga
masyarakat dan orang tua mendapat gambaran yang
jelas tentang program sekolah yang bersangkutan.
Corolado Springs School District 11 (2014)
menyimpulkan dari beberapa penelitian yang secara
konsisten menemukan bahwa manfaat family-school-
community partnership diantaranya yaitu: (1)
Meningkatkan moral guru; (2) Meningkatkan
komunikasi antara orang tua, guru dan pemimpin
sekolah; (3) Meningkatkan keterlibatan orangtua dalam
mendukung proses belajar mengajar; (4) Meningkatkan
dukungan masyarakat pada sekolah; (5) Meningkatkan
keberhasilan siswa.
Schreens (Mulyasa 2012: 76) menilai bahwa
keterlibatan orang tua merupakan stimulus eksternal
yang memainkan peranan penting bagi peningkatan
kualitas pembelajaran di sekolah.Orang tua dapat
dikatakan sebagai salah satu pelanggan utama
26
pendidikan atau para pemakai jasa pendidikan yang
dapat berpengaruh strategis pada keefektifan sekolah
(Dwiningrum, 2015). Mereka merupakan partner utama
sekolah dalam membimbing belajar dan menumbuhkan
kedisiplinan kepada anak mereka.Perbedaan karakter
orang tua membuat harapannya terhadap sekolah
terutama lulusannya berbeda pula. Oleh karena itu
sekolah harus menjalin kerjasama yang baik dan
harmonis dengan orang tua peserta didik.
Keterlibatan orang tua dalam kegiatan dan
komunikasi dengan sekolah diharapkan dapat
mendukung sekolah untuk melaksanakan proses
pendidikan disekolah secara produktif, efektif dan
efisien sehingga menghasilkan lulusan sekolah yang
produktif dan berkualitas. Mulyasa (2012: 77)
menetapkan indikator keterlibatan orang tua dan
masyarakat sebagai berikut: (1) Sekolah senantiasa
menjalin komunikasi yang harmonis dengan orang tua,
dan berusaha melibatkan mereka dalam pelaksanaan
program-program sekolah; (2) Prosedur-prosedur
pelibatan orang tua peserta didik dalam kegiatan
kegiatan sekolah disampaikan secara jelas dan
dilaksanakan secara konsisten; (3) Orangtua peserta
didik memiliki kesempatan untuk mengunjungi sekolah
guna mengobservasi program pendidikan dan
pembelajaran; (4) Pada pertemuan antara orang tua
dengan sekolah, tingkat kehadiran orangtua peserta
27
didik tinggi; (5) Ada kerjasama yang baik antara guru
dan orang tua peserta didik, sehubungan dengan
pemantauan pekerjaan rumah; (6) Orang tua dan
masyarakat dilibatkan dalam pembuatan keputusan-
keputusan sekolah; (7) Para guru sering berkomunikasi
dengan orang tua peserta didik mengenai kemajuan
peserta didik dan menunjukan bidang-bidang
keunggulan dan kelemahannya; (8) Sebagian besar
orang tua pesera didik memahami dan ikut
mempromosikan program pembelajaran sekolah; (9)
Masyarakat melalui komite sekolah aktif melaksanakan
peran dan fungsi sesuai aturan.
Dalam usaha meningkatkan kemitraan dengan
orang tua, kebijaksanaan dan program yang akan
dibuat harus berfokus pada beberapa area (U.S.
Department of Education, 2013:10) yaitu: (1)
Kemampuan (capability): human capital, skill and
knowledge; (2) Hubungan (connection): important
relationship and network- social capital; (3) Kesadaran
(confidence): Individual level of self-efficacy; (4)
Kepercayaan (cognition): assumption, belief and
woldview.
Kesuksesan sekolah dalam menjalankan program
kemitraan sekolah dengan orang tua dapat dicapai jika
ada keselarasan antara pemenuhan kebutuhan
perkembangan anak remaja, cara berpikir dan sikap
orang tua, harapan dan dukungan sekolah pada
28
keterlibatan orang tua. Menurut Havard Family
Research Project (2007: 1) ada tiga hal yang perlu
dilakukan untuk memenuhi keselarasan tersebut yaitu
sebagai berikut: (1) Parenting: sikap, nilai dan cara
orang tua menghadapi anak remaja; (2) Home School
Relationships: hubungan formal dan informal orang tua
dan sekolah menengah; (3) Responsibility for Learning:
Pola pengasuhan yang menekankan pada kegiatan
dirumah dan dimasyarakat yang mendukung
pertumbuhan sosial dan akademik anak remaja.
Dalam rangka menjalin hubungan harmonis
dengan orangtua, maka menurut Mulyasa sekolah
perlu memprogramkan beberapa hal (Slameto, 2015:
78) sebagai berikut: (1) Melibatkan orang tua secara
professional dalam mengembangkan perencanaan,
pelaksanaan dan program sekolah; (2) Menjalin
komunikasi secara intensif; (3) Mengadakan pembagian
tugas dan tanggung jawab antara sekolah dengan
orangtua dalam pembinaan pribadi siswa; (4)
Melibatkan orangtua dalam berbagai program dan
kegiatan sekolah yang bersifat sosial kemasyarakatan;
(5) Melibatkan orangtua dalam mengambil berbagai
keputusan agar mereka merasa bertanggungjawab
untuk melaksanakan; (6) Mendorong guru untuk
mendayagunakan orangtua sebagai sumber belajar dan
menunjang keberhasilan belajar peserta didik.
29
Slameto (2015: 78) menambahkan untuk men-
dorong partisipasi orangtua, kepala sekolah perlu
melakukan hal-hal sebagai berikut: (1) Mengidentifikasi
kebutuhan sekolah dan partisipasi orangtua dalam
program dan kegiatan sekolah. Upayakan untuk
melibatkan guru, tenaga kependidikan dan wakil dewan
pendidikan serta komite sekolah dalam identifikasi
tersebut; (2) Menyusun tugas-tugas yang dapat
dilakukan bersama dengan orangtua secara fleksibel;
(3) Membantu guru mengembangkan program pelibatan
orangtua dalam berbagai aktivitas sekolah dan
pembelajaran; (4) Menginformasikan secara luas
program sekolah dan membuka peluang bagi orangtua
untuk mlibatkan diri dalam program tersebut; (5)
Mengundang orangtua untuk menjadi relawan dalam
berbagai aktivitas sekolah; (6) Memberi penghargaan
secara proporsional dan profesional terhadap
keterlibatan orangtua dalam berbagai program dan
kegiatan sekolah.
Slameto (2015: 85) juga berpendapat bahwa
dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat,
maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: (1)
Melakukan persuasi kepada masyarakat, bahwa
dengan keikutsertaan masyarakat dalam kebijakan
yang dilaksanakan, justru akan menguntungkan
masyarakat sendiri; (2) Menghimbau masyarakat untuk
turut berpartisipasi melalui serangkaian kegiatan; (3)
30
Menggunakan tokoh-tokoh masyarakat yang mem-
punyai khalayak banyak untuk ikut serta dalam
kebiaksanaan agar masyarakat kebanyakan yang
menjadi pengikutnya juga sekaligus ikut serta dalam
kebijakan yang diimplementasikan; (4) Mengaitkan
keikutsertaan masyarakat dalam implementasi
kebijaksanaan dengan kepentingan mereka,
masyarakat memang perlu diyakinkan, bahwa ada
banyak kepentingan mereka yang terlayani dengan
baik, jika mereka berpartisipasi dalam kebijaksanaan;
(5) Menyadarkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi
terhadap kebijaksanaan yang telah ditetapkan secara
sah, dan kebijaksanaan yang sah tersebut adalah satu
dari wujud pelaksanaan dan perwujudan aspirasi
masyarakat.
Menurut Dwiningrum (2005), proses keterlibatan
orang tua disekolah disusun secara hirarkis dengan
level spectator, support, engagement dan decision
making. Dalam penelitian ini keterlibatan orang tua
akan berfokus pada hirarki engagement yaitu
hubungan orangtua dan sekolah yang saling
menghormati dalam suasana yang saling mendukung.
Pada hirarki ini pihak sekolah mengharapkan orangtua
dapat mengembangkan dan mendistribusikan sumber
informasi untuk sekolah dan masyarakat dan bekerja
sebagai ‘volunteer’ dan atau sebagai narasumber untuk
membagi pengetahuan, ketrampilan, dan bakat khusus
31
kepada para siswa. Keterlibatan orangtua sejalan
dengan harapan untuk mengetahui pengalaman anak-
anak lain, serta orangtua menyadari bahwa fungsi
sekolah tidak hanya menyediakan ketrampilan sebagai
bekal kerja tetapi sekolah juga berfungsi memberi bekal
agar memiliki ketrampilan hidup yang berkualitas.
Tingkatan partisipasi masyarakat menurut
Direktorat Pembinaan Taman Kanak-kanak dan
Sekolah Dasar meliputi: (1) Peran serta dengan
menggunakan jasa yang tersedia. Jenis peran peran
serta masyarakat ini merupkan jenis paling umum.
Masyarakat hanya memanfaatkan jasa sekolah dengan
memasukan anak ke sekolah; (2) Peran serta dengan
memberikan konstribusi dana, bahan, dan tenaga.
Masyarakat berpartisipasi dalam perawatan dan
pembangunan fisik sekolah dengan menyumbangkan
dana, barang dan atau tenaga; (3) Peran serta secara
pasif. Artinya menyetujui dan menerima apa yang
diputuskan oleh komite sekolah, misalnya komite
sekolah memutuskan agar orangtua membayar iuran
bagian anaknya yang bersekolah dan orangtua
menerima keputusan tersebut dengan mematuhinya;
(4) Peran serta melalui adanya konsultasi. Orangtua
datang ke sekolah untuk berkonsultasi tentang
masalah pemebelajaran yang dialami anaknya; (5)
Peran serta dalam pelayanan. Orangtua/ masyarakat
terlibat dalam kegiatan sekolah, misalnya orangtua ikut
32
membantu sekolah ketika ada studi banding, kegiatan
pramuka, kegiatan keagamaan, dan lain sebagainya; (6)
Peran serta sebagai pelaksana kegiatan yang
didelegasikan/ dilimpahkan. Misalnya, sekolah me-
minta orangtua/ masyarakat untuk memberikan
penyuluhan tentang pentingnya pendidikan, masalah
gender, gizi dan sebagainya; (7) Partisipasi dalam
pengambilan keputusan.
Menurut Slamet (Rodliyah, 2013: 56-58) faktor-
faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat
adalah jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, tingkat
pendapatan dan mata pencaharian. Sedangkan
menurut Slameto (2015: 85) terdapat tiga hal yang
mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam
pendidikan. Pertama, kesadaran masyarakat, kedua,
responsibility sekolah, dan yang ketiga adalah regulasi.
Contoh partisipasi masyarakat dalam pendidikan
menurut Rodliyah (2013: 36) ialah:
1) Mengawasi perkembangan pribadi dan proses
putra-putrinya dirumah dan bila perlu memberi
laporan dan berkonsultasi dengan pihak
sekolah;
2) Menyediakan fasilitas belajar dirumah dan
membimbing putra putri nya agar belajar dengan motivasi dan perhatian;
3) Menyediakan perlengkapan belajar yang
dibutuhkan untuk belajar di lembaga pendidikan
sekolah;
4) Berusaha melunasi SPP dan bantuan pendidikan lainnya;
5) Memberikan umpan balik kepada sekolah
tentang pendidikan, terutama yang menyangkut
keadaan putra putrinya;
33
6) Bersedia datang ke sekolah bila diundang atau
diperlukan oleh sekolah;
7) Ikut berdiskusi memecahkan masalah-masalah pendidikan seperi sarana, pra sarana, kegiatan,
keuangan, program kerja dan sebagianya;
8) Membantu fasilitas-fasilitas belajar yang
dibutuhkan sekolah dalam memajukan proses
pembelajaran;
9) Meminjamkan alat,alat yang dibutuhkan sekolah untuk berpraktek, apabila sekolah memerlukan;
10) Bersedia menjadi tenaga pelatih/ narasumber
bila diperlukan oleh sekolah;
11) Mengajukan usul-usul untuk perbaikan
pendidikan; 12) Ikut mengontrol jalannya pendidikan (control
sosial).
Berdasarkan Slameto (2015: 81) yang didukung
oleh Dwiningrum (2015: 58-59), bentuk-bentuk
partisipasi masyarakat secara umum dapat berupa
yaitu: (1) Partisipasi fisik adalah partisipasi masyarakat
(orang tua) dalam bentuk menyelenggarakan usaha-
usaha pendidikan, seperti mendirikan dan
menyelenggarakan usaha sekolah, menyelenggarakan
usaha-usaha beasiswa, membantu pemerintah
membangun gedung-gedung dan perlengkapannya
untuk masyarakat berupa tempat dan perlengkapan
belajar di kelas, alat-alat pengajaran, buku-buku
pelajaran, perlengkapan berbagai praktikan dan
ketrampilan lainnya, menyelenggarakan usaha-usaha
perpustakaan berupa buku atau bentuk bantuan
lainnya. Sedangkan (2) Partisipasi non fisik adalah
partisipasi keikutsertaan masyarakat dalam menen-
tukan arah dan pendidikan nasional dan meratanya
animo masyarakat untuk menuntut ilmu pengetahuan
34
melalui pendidikan, sehingga pemerintah tidak ada
kesulitan mengarahkan rakyat untuk bersekolah.
Partisipasi non fisik dapat berupa waktu, kesempatan,
biaya dan berbagai aturan serta kebijaksanaan
pimpinan sekolah.
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mening-
katkan partisipasi orang tua dan masyarakat menurut
Rodliyah (2013: 52) antara lain:
Tabel 2.1 Tangga Partisipasi
KLASIFIKASI URAIAN TINGKATAN
I. Citizen Power Pada tahap ini sudah terjadi pembagian hak,
tanggung jawab, dan
wewenang antara
masyarakat dengan
pemerintah dalam pengambilan keputusan.
Kontrol masyarakat (citizen control)
Pelimpahan
kekuasaan (delegated control)
Kemitraan (partnership)
II. Tokenism Hanya sekadar
formalitas yang
memungkinkan
masyarakat mendengar
dan memiliki hak untuk
memberikan suara, tetapi pendapat mereka
belum menjadi bahan
dalam pengambilan
keputusan.
Penetraman (placation)
Konsultasi (consultation)
Informasi (information)
III. Non
Participation
Mayarakat hanya
dijadikan objek.
Terapi (therapy)
Manipulation (manipulation)
Tabel 2.2 Tingkatan Partisipasi
Tingkatan Deskripsi
Manipulation Tingkat paling rendah mendekati situasi tidak
ada partisipasi, cenderung berbentuk
indoktrinasi.
Consultation Stakeholder mempunyai peluang untuk
memeberikan saran akan digunakan seperti
yang mereka harapan.
35
Consensus-building
Pada tingkat ini stakeholder berinteraksi
untuk saling memahami dan dalam posisi
saling bernegoisasi, toleransi dengan seluruh
anggota kelompok. Kelemahan yang sering
terjadi adalah individu-individu dan kelompok masih cenderung diam atau setuju bersifat
pasif.
Decision-making Konsensus terjadi didasarkan pada
keputusan kolektif dan bersumber pada rasa
tanggung jawab untuk menghasilkan sesuatu.
Negosiasi pada tahap ini mencerminkan derajat perbedaan yang terjadi dalam individu
maupun kelompok.
Risk-taking Proses yang berlangsung dan berkembang
tidak hanya sekedar menghasilkan
keputusan, tetapi memikirkan akibat dari
hasil yang memyangkut keuntungan,
hambaan, dan implikasi. Pada tahap ini semua orang memikirkan risiko yang
diharapkan dari hasil keputusan. Karenanya,
akuntabilitas merupakan basis penting.
Partnership Memerlukan kerja secara equal menuju hasil
yang mutual. Equal tidak hanya sekadar
dalam bentuk struktur dan fungsi tetapi dalam tanggung jawab.
Self-management Puncak dari partisispasi masyarakat. Stakeholder berinteraski dalam proses saling
belajar (learning process) untuk
mengoptimalkan hasil dan hal-hal yang
menjadi perhatian.
2.3. Model Partisipasi Orang Tua
Beberapa pendapat yang mengemukakan tentang
definisi model, seperti yang dikemukakan oleh
Stockburger (1998: 2) “A model is a representation
containing the essential structure of some object or event
in the real world. The representation may take two major
forms: (1) Phisical, as in a model airplane or architect’s
model of a building or (2) Symbolyc, as in a natural
language, a computer program, or a set of mathematical
36
equations”. Arti dari definisi tersebut adalah bahwa
model merupakan sebuah representasi yang
mengandung struktur pokok dari suatu obyek atau
kejadian di dunia nyata. Representasi itu dapat berupa:
(1) Fisik seperti model pesawat terbang atau bangunan
atau (2) Simbolis seperti program komputer dan
persamaan matematis. Pendapat yang hampir sama
dikemukakan oleh Law & Kelton (1991: 5) yang
memaparkan bahwa model adalah representasi suatu
sistem yang dipandang dapat mewakili sistem
sesungguhnya. Kemudian Mills (Anwar, 2003: 38)
mendefinisikan bahwa ‘Model adalah bentuk
representasi akurat sebagai proses aktual yang
memungkinkan seseorang atau kelompok orang
mencoba bertindak berdasarkan kebijakan yang
terepresentasi dari model itu’. Sedangkan Departemen
P dan K, (1984: 75) menyatakan bahwa model adalah
pola (contoh, acuan, ragam) dari sesuatu yang akan
dibuat atau dihasilkan.
Pendapat lain tentang model adalah abstraksi
dari sistem sebenarnya, dalam gambaran yang lebih
sederhana serta mempunyai tingkat prosentase yang
bersifat menyeluruh. Dengan perkataan lain model
adalah abstraksi dari realitas dengan hanya
memusatkan perhatian pada beberapa sifat dari
kehidupan secara sebenarnya (Simarmata, 1983: IX).
Setyosari (2010: 200), mengemukakan bahwa “Model
37
menyajikan sesuatu atau informasi yang kompleks atau
rumit menjadi sesuatu yang lebih sederhana”.
Selanjutnya dipaparkan ada 2 jenis model yaitu model
konseptual dan model prosedural. Model konseptual
adalah model yang bersifat analitis yang memberikan
atau menjelaskan komponen-komponen produk yang
akan dikembangkan dan keterkaitan antar kompo-
nennya. Model prosedural adalah model deskriptif yang
menggambarkan alur atau langkah-langkah prosedural
yang harus diikuti untuk menghasilkan suatu produk
tertentu.Model prosedural biasanya berupa urutan
langkah-langkah, yang diikuti secara bertahap dari
awal hingga akhir.
Menurut Marreli, dkk. (2005: 533), model yang
baik memiliki ciri: 1) simple, 2) applicable, 3) important,
4) controllable, 5) adaptable, dan 6) communicable.
Merujuk pada ciri-ciri tersebut maka dalam menyusun
model harus memenuhi kriteria: 1) mengidentifikasikan
kerangka kunci, 2) memerinci setiap bagian atau
tahapan dalam kerangka, 3) menyeleksi atau
memodifikasi bagian proses yang memerlukan per-
baikan, 4) menyusun proses dalam model, dan 5)
melakukan revisi model (Draganidis, dkk. 2006: 51).
Ada beberapa jenis model yang di ungkapkan
oleh Simarmata (1983) jenis-jenis model dapat dibagi
dalam 5 (lima) kelas yang berbeda:
1) Kelas I, pembagian menurut fungsi:
38
a. Model deskriptif: hanya menggambarkan situasi
sebuah sistem tanpa rekomendasi dan
peramalan.
Contoh: peta organisasi
b. Model prediktif: model ini menunjukkan apa yang
akan terjadi, bila sesuatu terjadi.
c. Model normatif: model yang menyediakan
jawaban terbaik terhadap satu persoalan. Model
ini memberi rekomendasi tindakan-tindakan yang
dapat diambil.
Contohnya: model budget advertensi, model
economics, model marketing.
2) Kelas II, pembagian menurut struktur.
a. Model Ikonik: adalah model yang menirukan
sistem aslinya, tetapi dalam suatu skala tertentu.
Contoh: model pesawat.
b. Model Analog: adalah suatu model yang
menirukan sistem aslinya dengan hanya
mengambil beberapa karakteristik utama dan
dapat menggambarkannya dengan benda atau
sistem lain secara analog.
Contoh: aliran lalu lintas di jalan dianalogkan
dengan aliran air dalam sistem pipa.
c. Model simbolis: adalah suatu model yang
menggambarkan sistem yang ditinjau dengan
symbol biasanya dengan simbol-simbol
matematik. Dalam hal ini sistem diwakili oleh
39
variabel-variabel dari karakteristik sistem yang
ditinjau.
3) Kelas III, pembagian menurut referensi waktu.
a. Statis: model statis tidak memasukkan factor
waktu dalam perumusannya.
b. Dinamis: mempunyai unsur waktu dalam
perumusannya.
4) Kelas IV, pembagian menurut referensi kepastian.
a. Deterministik: dalam model ini pada setiap
kumpulan nilai input, hanya ada satu output
yang unik, yang merupakan solusi dari model
dalam keadaan pasti.
b. Probabilistik: model probabilistik menyangkut
distribusi probabilistik dari input atau proses dan
menghasilkan suatu deretan harga bagi paling
tidak satu variabel output yang disertai dengan
kemungkinan-kemungkinan dari harga-harga
tersebut.
c. Game: teori permainan yang mengembangkan
solusi-solusi optimum dalam menghadapi situasi
yang tidak pasti.
5) Kelas V, pembagian menurut tingkat generalitas.
a. Umum
b. Khusus
Model yang akan disusun dalam penelitian ini
termasuk model normatif yang berusaha memberikan
rekomendasi-rekomendasi langkah-langkah serta
40
kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam
mewujudkan program kemitraan sekolah dengan orang
tua. Dengan model pengembangan program kemitraan
sekolah dengan orang tua diharapkan juga dapat
menjadi solusi pemecahan masalah terhadap masalah-
masalah yang masih dihadapi berkenaan dengan
hubungan antara beberapa orang tua dan siswa serta
meningkatkan keharmonisasian hubungan antara
sekolah dengan pelanggannya, orang tua dan para
peserta didik. Model yang akan dibuat juga dapat
dikatakan model simbolis karena model yang dibuat
berdasarkan hasil tinjauan perpaduan model yang
mengacu pada model kemitraan sekolah dengan
keluarga, masyarakat dan model home-school
partnership/ family-school partnership. Dalam hal ini
model yang akan dibuat akan mengacu pada variabel-
variabel atau karakteristik-karakteristik pokok pada
model yang ditinjau tersebut. Model kemitraan ini juga
merupakan model prosedural yang bersifat umum
karena model ini menggambarkan alur atau langkah-
langkah yang harus diikuti oleh sekolah-sekolah
menengah swasta untuk menjalankan program
kemitraan sekolah dengan orang tua melalui media
sosial.Namun tentunya dalam melaksanakan model
kemitraan ini harus disesuaikan dengan karakteristik
dan kebutuhan sekolah.
41
Model partisipasi orang tua di sekolah
merupakan konsep yang multidimensional. Bahkan
sering juga digunakan istilah-istilah lain dan tidak
seragam seperti: parent participation, parent
involvement, home-school connection, home-school
participation atau family-school relationships (Greenfield
2003: 2). Maka dalam memahami model partisipasi
orang tua di sekolah diperlukan pemahaman beberapa
model yang telah terdefinisikan.
Havard Family Research Project (2002: 1-2)
mengembangkan empat model partisipasi orang tua
seperti berikut ini.
1) Model Parenting Practice: keyakinan, sikap dan
kegiatan-kegiatan orang tua untuk mendukung
anaknya belajar baik disekolah maupun
dirumah.
2) Model School-Family Partnership: didasarkan ide
bahwa keluarga dan sekolah merupakan
lingkungan yang mempengaruhi belajar anak,
walau begitu sekolah mempunyai tanggung
jawab utama untuk menjangkau orang tua dan
masyarakat, maka perlu dikembangkan kemitraan antar pihak.
3) Model Democratic Participation: partisispiasi
orang tua dapat berarti sebagai partisipasi dalam
kelembagaan masyarakat. Orang tua dan
masyarakat adalah pihak yang memiliki
kekuatan sebagai agen pembaruan sosial dapat berperan serta secara efektif dalam reformasi
sekolah (MBS) baik secara konfrontatif maupun
kolaboratif.
4) Model School Choice: partisipasi orang tua terkait
dengan pilihan sekolah, sekolah manayang
dipilih orang tua untuk anaknya. Pemilihan sekolah dan program-programnya sesuai prinsip
42
pasar itu menentukan partisipasi orang tua
anak.
Sebagai konstruk yang multi dimensi, model
partisipasi orangtua menurut Bosse (2001) memiliki 5
(lima) perspektif:
1) Behavioral: penggunaan metode stimulant yang
merangsang ganjaran misalnya) agar orangtua
berpartisispasi dalam memanfaatkan potensi lingkungan.
2) Social marketing: penggunaan strategi
komuniaksi khususnya yang menolong dan
manjangkau orangtua.
3) Ekologis: kemitraan yang kuat antar berbagai
stakeholder.
4) Pragmatik: kemampuan organisasi me-
ngembangkan kesempatan untuk berpartisi-
pasinya orangtua seuai dengan kebutuhan
orangtua dan anak.
5) Pemberdayaan Warga Negara: peningkatan partisipasi orangtua dalam 5 (lima) area
organisasi yaitu: (a) menolong identifikasi
kebuthan (b) latihan kepemimpinan (c) bantuan
keorganisasian. (d) mobilisasi berbagai seumber
dan (e) manajemen organisasi.
Dalam penelitian ini model yang akan digunakan
adalah pengembangan dari model School-Family
Partnership yang dikolaborasikan dengan Model
Partnership dan Shared Responsibilities yang
menekankan koordinasi dan kerjasama sekolah dan
keluarga untuk mengembangkan komunikasi dan
kolaborasi. Asumsinya sekolah dan keluarga lebih
efektif jika informasi, nasehat dan pengalaman di
“shared” secara berkelanjutan diantara semua warga
sekolah, keluarga dan masyarakat (Slameto, 2015: 76).
43
Supaya menjadi lebih efektif maka digunakan lagi satu
model partisipasi orang tua menurut Bosse (2001) yaitu
model Social marketing yaitu dengan penggunaan
strategi komuniakasi untuk menolong dan manjangkau
orangtua. Strategi komunikasi dalam hal ini yaitu
melalui media sosial.
Pada School-Family Partnership (PTA national
standard US, 2014: 1-6) memaparkan bahwa ada 6
standard dimana sekolah, orang tua dan masyarakat
dapat bekerjasama:
1) Welcoming All Families Into The School Community
2) Communicating Effectively
3) Supporting Student Success 4) Speaking Up For Every Child 5) Sharing Power
6) Collaborating With Community
2.4. Model Kemitraan Sekolah dan Orang Tua
Seperti yang sudah disampaikan diatas dalam
rangka mengatasi permasalahan semakin maraknya
aksi kekerasan dan perilaku menyimpang dalam dunia
pendidikan dikalangan pelajar, yang dapat
menghambat terbangunnya lingkungan belajar yang
kondusif bagi anak-anak, sehingga membuat
perkembangan potensi mereka tidak berkembang
secara optimal maka di buatlah program pendidikan
keluarga. Program ini sudah di sahkan oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
44
(Kemendikbud) yang membentuk Direktorat Pembinaan
Pendidikan Keluarga di bawah Direktorat Jenderal
Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat
yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2015
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Hal tersebut juga menjadi
upaya pemerintah dalam meningkatkan kemitraan
yang lebih baik diantara keluarga, satuan pendidikan,
dan masyarakat untuk mendukung terciptanya
ekosistem pendidikan yang menumbuhkan karakter
dan budaya prestasi.
Tujuan umum Program kemitraan ini adalah
untuk menjalin kerjasama dan keselarasan program
pendidikan di sekolah, keluarga, dan masyarakat
dalam membangun ekosistem pendidikan yang
kondusif untuk menumbuh-kembangkan karakter dan
budaya berprestasi pada peserta didik. Sedangkan
tujuan khusunya yaitu (1) Menguatkan jalinan
kemitraan antara sekolah, keluarga, dan masyarakat
dalam mendukung lingkungan belajar yang dapat
mengembangkan potensi anak secara utuh; (2)
meningkatkan keterlibatan orang tua/ wali dalam
mendukung keberhasilan pendidikan anak di rumah
dan di sekolah; dan (3) meningkatkan peran serta
masyarakat dalam mendukung program pendidikan di
sekolah dan di masyarakat.
45
Dilihat dari tujuan khusus program tersebut,
salah satunya adalah meningkatkan keterlibatan orang
tua/ wali dalam mendukung keberhasilan pendidikan
anak di rumah dan di sekolah. Keluarga dalam hal ini
orang tua/ wali adalah pendidik yang pertama dan
utama yang akan berpengaruh pada karakter anak.
Selain prestasi belajar, penumbuhan karakter juga
membutuhkan peran keluarga. Berbagai studi
menunjukkan bahwa keterlibatan keluarga dalam
pendidikan dapat meningkatkan prestasi belajar anak.
Slameto (2006) menemukan bahwa partisipasi orang
tua secara positif dan signifikan berpengaruh 25,2%
terhadap prestasi belajar siswa. Pada partisipasi orang
tua aras rendah, variabel: struktur keluarga, tingkat
pendidikan ayah dan ibu, status ekonomi, pola asuh
non direktif, struktur dan lingkungan keluarga secara
bersama-sama berpengaruh 86,7% terhadap prestasi
siswa. Pada partisipasi orang tua aras tinggi, variabel
gender/ ayah dan pola asuh otoriter secara bersama-
sama berpengaruh 85,9% terhadap prestasi siswa,
bahkan menjadi maksimal pengaruhnya jika diikuti
dengan pendidikan orang tua. Maka tidak perlu
disangsikan lagi betapa pentingnya manajemen sekolah
yang memungkinkan peningkatan partisipasi orang tua
dalam rangka peningkatan mutu penddikan/ prestasi
belajar. Kerjasama dan keselarasan antara pendidikan
yang dilakukan di satuan pendidikan dan di
46
lingkungan keluarga merupakan kunci keberhasilan
pendidikan.
Kemitraan antar pelaku pendidikan yang terdiri
dari tiga unsur, yaitu keluarga, sekolah, dan
masyarakat yang dalam hal ini diwakili oleh komite
sekolah, dapat digambarkan apabila setiap unsur dapat
melaksanakan fungsi dan perannya secara baik.
Berikut adalah gambar model jalinan kemitraannya:
Gambar 2.1 Model Jalinan Kemitraan antara Keluarga, Sekolah
dan Masyarakat (Kemendikbud, 2015)
Model operasional kemitraan ini dikembangkan
dengan mendayagunakan semua potensi sumber daya
yang dimiliki sekolah, keluarga dan masyarakat secara
kolaboratif. Model operasional kemitraan tersebut
digambarkan oleh model berikut:
47
Gambar 2.2 Model Jalinan Kemitraan antara Keluarga, Sekolah dan Masyarakat (Kemendikbud, 2016)
Berdasarkan Kemendikbud (2016) secara opera-
sional model ini dapat dikembangkan atas dasar
pendayagunaan potensi dan sumber daya keluarga dan
masyarakat secara kolaboratif. Kemitraan dibangun di
atas dasar kebutuhan anak sehingga orang tua/ wali
dan masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi aktif
dalam kegiatan yang berkaitan dengan sekolah.Model
kemitraan melibatkan jejaring yang luas dan
melibatkan peserta didik, orang tua, guru, tenaga
kependidikan, masyarakat, kalangan pengusaha, dan
organisasi mitra di bidang pendidikan.
48
Demi mewujudkan ekosistem pendidikan yang
dapat mendorong tumbuhnya karakter dan budaya
prestasi semua warga sekolah melalui kemitraan antara
sekolah dengan keluarga dan masyarakat, maka
kemendikbud (2015) membentuk prinsip-prinsip
sebagai acuan pelaksanaan program kemitraan sebagai
berikut: (1) Kesamaan hak, kesejajaran, dan saling
menghargai; (2) Semangat gotong-royong dan
kebersamaan; (3) Saling melengkapi dan memperkuat;
(4) Saling asah, saling asih, dan saling asuh; (5) Semua
upaya ditujukan untuk kepentingan terbaik peserta
didik.
Bentuk-bentuk kemitraan sekolah, keluarga, dan
masyarakat dapat dilakukan antara lain dengan
penguatan komunikasi dua arah, pendidikan orang tua,
kegiatan sukarela, belajar dirumah dan kolaborasi
dengan masyarakat. Unsur-unsur yang memiliki peran
utama dalam program pendidikan kemitraan sekolah
dengan orang tua serta masyarakat di sekolah adalah
Kepala sekolah, wali kelas dan komite sekolah.
2.5. Media Sosial dalam Kemitraan Sekolah dengan Keluarga
Media sosial adalah saluran komunikasi online
kolektif yang didedikasikan untuk komunitas berbasis
input, interaksi, berbagi isi dan kolaborasi berbasis
masyarakat. Situs web dan aplikasi yang didedikasikan
49
untuk forum, microblogging, jaringan sosial, bookmark
sosial, kurasi sosial, dan wiki adalah salah satu jenis
media sosial (Laksono, dkk, 2014).
Menurut APJII, sebagian besar pengguna internet
di Indonesia adalah orang yang bekerja atau
wiraswasta, hal ini ditunjukan pada prosentase 55%
dari total pengguna internet. Angka terbesar kedua
diduduki oleh mahasiswa sebesar 18% sedangkan 16%
penggunanya yaitu ibu rumah tangga. Dari 252,4 juta
penduduk Indonesia, 88,1 juta diantaranya
menggunakan internet. Angka penetrasi pengguna
internet di Indonesia mencapai 34% dari total
penduduknya. Bahkan 52 juta penggunanya dari pulau
Jawa. Sebagian besar pengguna intrenet mengakses
internet menggunakan telepon seluler.Tiga alasan
utama orang Indonesia menggunakan internet yaitu
untuk mengakses sarana sosial/ komunikasi (72%),
sumber informasi harian (65%), dan mengikuti
perkembangan jaman (51%). Tiga alasan utama
mengakses internet itu dipraktikan melalui empat
kegiatan utama, yaitu menggunakan jejaring sosial
(87%), mencari informasi (69%), instant messaging
(60%) dan mencari berita terbaru (60%). Untuk sarana
pendididkan (29%) hal ini belum dimaksimalkan.
Dalam hal ini, praktik terbanyak dalam menggunakan
internet untuk menggunakan jejaring sosial diikuti
oleh, mencari info/ searching/ browsing (68,7%),
50
Instant messaging (59,9%), mencari berita (59,7%),
video streaming download atau upload (27,3%) dll.
Namun dari hasil penelitian singapura, Indonesia
mengakses internet sebgaian besar untuk mobile
messenger (22%), watching videos on mobile (22%),
playing games on mobile (19%), using mobile banking
(20%), using mobile map service (22%). Mereka juga
menemukan bahwa berdasarkan survey, pengguna
media sosial di Idonesia lebih sering menggunakan
BBM (19%), Facebook (15%), Whatsapp (14%),
Facebook messenger (13%), google (12%), line (12%),
twitter (11%), instagram (10%0, wechat (8%), pinterest
(7%) (Global Web Index, 2015).
Beberapa peneliti percaya bahwa kepala sekolah
sebagai administrator sekolah harus mencakup alat
media sosial sebagai bagian dari strategi komunikasi
mereka dengan para pemangku kepentingan. (Jones,
Torres, & Arminio, 2006). Penggunaan alat media sosial
telah memungkinkan pengawas untuk menyampaikan
pesan mereka dengan cepat dan efisien kepada para
pemangku kepentingan mereka. Pengawas melihat
bahwa penggunaan alat-alat media sosial memberikan
mereka kesempatan untuk berbagi tanggapan yang
mendalam dan informasi dengan masyarakat yang
seringkali tidak akan dicetak dalam format media
tradisional karena keterbatasan ruang. Pengawas juga
menyebutkan bahwa melalui penggunaan alat-alat
51
media sosial mereka secara transparan bisa berbagi
alasan di balik keputusan yang dibuat.
Dell (2014) memberi contoh bagaimana mereka
melengkapi bentuk komunikasi tradisional cetak
dengan penggunaan media sosial/ bentuk komunikasi
digital atau bagaimana mereka telah benar-benar
menggunakan komunikasi digital. Pengalaman mereka
pada transisi dari komunikasi satu arah ke komunikasi
dua arah telah menghasilkan tingkat yang lebih tinggi,
diantaranya yaitu koneksi kuat dengan para pemangku
kepentingan, serta meningkatkan peluang
pertumbuhan profesional dan pribadi, relatif mudah
dalam berkomunikasi dengan para pemangku
kepentingan dan hal ini menjadi alasan mengapa
kepala sekolah terus menggunakan media sosial.
Berdasarkan penelitian, Mazza (2013) dan Cox
(2012) telah menemukan bahwa media sosial telah
berpengaruh positif pada sekolah-sekolah yang telah
mengunakannya sebagai media komunikasi dengan
pemangku kepentingan. Berdasarkan penelitian mereka
media sosial yang sering digunakan sekolah sebagai
alat komunikasi untuk memperkuat kemitraan yaitu
diantaranya dengan Facebook, Twitter, Blog, Website,
Email, dan Youtube. Mazza (2013) melihat beberapa
fungsi media sosial disekolah-sekolah yang sudah
menggunakannya. Fungsi media sosial dalam
memperkuat kemitraan sekolah dengan keluarga dan
52
masyarakan serta pemangku kepentingan lainnya
diantaranya yaitu: (1) Menginformasikan orang tua
mengenai kegiatan sekolah yang up to date; (2)
Memberikan kesempatan komunitas untuk mengenal
para pendidik dan tenaga pendidik sekolah; (3)
Mendorong partisipasi global; (4) Membangun
kepercayaan; (5) Mendukung dana bagi kegiatan
sekolah; (6) Berbagi fakta mengenai pencapaian atau
prestasi siswa, pendidik atau tenaga kependidikan; (7)
Menggungah pengingat hal-hal penting seperti rapat
pertemuan atau kegiatan sekolah pada keluarga; (8)
Berbagi sumber bacaan atau artikel yang dapat
mendukung atau mendorong pedidikan dirumah; (9)
Menunjukan penghargaan kepada pemangku
kepentingan; (10) Berbagi infotmasi untuk kegiatan
atau peristiwa masa lalu, sekarang dan yang akan
datang.
Selain itu studi Cox (2012) juga telah
menemukan hasil positif dari penggunaan media sosial
di sekolah menggunakan empat tema besar.Keempat
tema besar itu meliputi interaksi, hubungan, dampak
dan harapan. Berdasarkan tema tersebut dihasilkan
bahwa pertama, alat komunikasi media sosial
memungkinkan interaksi yang lebih luas antara
adminstrasi sekolah dan para pemangku kepentingan,
kedua alat komunikasi media sosial memberikan
hubungan yang lebih kuat kepada peran pemangku
53
kepentingan lokal, memberikan jaringan rekan kerja
sesama pendidik pada dunia yang lebih luas, ketiga
penggunaan media sosial dapat memiliki dampak
signifikan dalam perkembangan keprofesionalan
administrator sekolah, dan yang terakhir penggunaan
media sosial adalah sebuah harapan yang berarti
bukan hanya sekedar sebuah pilihan. Dalam hal ini
merupakan harapan akan penguatan kemitraan yang
lebih baik.
Epstein (2010) dalam penelitianya telah terlebih
dulu memberikan contoh bagaimana media sosial
diterapkan dalam rangka peningkatan kemitraan
sekolah dengan keuarga dan masyarakat berdasarkan
beberapa bentuk kemitraan yang ada. Dalam
penelitianya Epstein mencoba merangkum apa yang dia
temukan dengan tabel dibawah ini.
54
Tabel 2.3 Enam Jenis Keterlibatan berdasarkan Epstein
melalui Sosial Media
Tidak Tipe
Keterlibatan Contoh penggunaan alat media sosial
1 Parenting Sekolah membuat sebuah artikel
menggunakan Facebook atau Twitter tentang bagaimana berkomunikasi
dengan anak-anak melalui program
sekolah.
2 Komunikasi Sekolah menfasilitasi komunikasi mingguan secara online melalui Twitter
yang disebut hashtag chat.
3 Kolaborasi
komunitas
Sekolah menfasilitasi halaman Facebook
untuk menghasilkan dana untuk
membeli laptop untuk setiap anak.
4 Sukarela Sekolah menawarkan program "Relawan
disini" pada aplikasi mobile atau
halaman Facebook untuk menawarkan
orang tua yang ingin membantu kegiatan sekolah.
5 Di rumah
belajar
Sekolah memberikan video pendek
tentang kegiatan anak didalam kelas
untuk membantu orang tua mendukung
pembelajaran siswa.
6 Pengambilan
keputusan
Sekolah memberikan laporan bulanan
berupa audio/ video bulanan mengenai
rapat atau pertemuan kegiatan
sarasehan kemitraan keluarga dan hasil
keputusan-keputusan yang dibuat berdasarkan hasil keputusan kepala
sekolah dan pemangku kepentingan.
Beberapa media sosial telah berhasil menjadi alat
untuk mendukung dan meningkatkan kemitraan
sekolah dengan keluarga. Peneliti Mazza (2013) dan Cox
(2012) menemukan beberapa sekolah puas dengan
penggunaan media sosial di sekolahnya. Hal ini tidak
terlepas dari bagaimana sekolah tersebut dapat
mengelola dengan baik alat media sosial ini dan hal ini
55
juga disesuaikan dengan kebutuhan sekolah yang
selaras dengan program dari pemerintah. Contoh
penggunaan media sosial pada program kemitraan
sekolah dan keluarga diantaranya yaitu:
1) Facebook
Facebook merupakan sebuah alat media sosial
populer. Pengguna harus mendaftar sebelum
menggunakan situs ini, setelah itu mereka dapat
membuat profil pribadi, menambahkan pengguna
lain sebagai teman, dan bertukar pesan, termasuk
pemberitahuan otomatis ketika mereka memper-
barui profil mereka. Selain itu, pengguna dapat
bergabung pada kelompok pengguna sesuai
kepentingan dan minatnya, kelompok tempat kerja,
sekolah atau perguruan tinggi, dan dapat
mengkategorikan teman-teman mereka ke dalam
daftar seperti "rekan kerja" atau "teman
dekat". Facebook juga dapat disinkronisasikan
dengan alat media sosial lain seperti Twitter,
instagram dll. Contoh penggunaan media sosial
dalam program kemitraan sekolah dan keluarga
melalui facebook yaitu dapat berbagi informasi atau
kegiatan sekolah baik yang sudah dilaksanakan
atau yang sedang dilaksanakan dan yang akan
datang. Melalui jaringan komunikasi sosial ini
sekolah dapat menginformasikan kegiatan sekolah
terkini dan dapat mendapatkan umpan balik dari
56
orang tua siswa segera. Melalui facebook sekolah
dapat menginformasikan setiap pencapaian prestasi
ssiwa, pendidik maupun tenaga kependidikan serta
dapat memperkenalkan staff sekolah. Hal ini
diterapkan agar terdapat budaya menghargai dan
menghormati disekolah dana meningkatkan
kedekatan dan saling mengenal dan lebih akrab
antar keluarga siswa dan ‘keluarga’ siswa disekolah.
Facebook juga terhubungkan dengan media sosial
lain seperti tweeter, instagram, youtube dll. Hal ini
dapat menjadi wadah yang interaktif bagi
penggunanya. Namun disisi lain Carr (2010b)
mengusulkan beberapa hal yang administrator
sekolah bisa lakukan untuk menghindari kesalahan
dalam berkomunikasi di media sosial seperti
Facebook. Terutama untuk mengelola situs resmi
sekolah sebaiknya dibuat sebagai fan page. Kepala
sekolah hendaknya mendorng administrator sekolah
untuk memantau apa yang akan diposting ke situs
untuk memastikan bahwa hal itu adalah
tepat. Seorang administrator sekolah yang tidak
memiliki waktu atau tenaga untuk mencurahkan
untuk memantau konten juga bisa memilih salah
satu dari dua pilihan. Pertama, semua komentar
harus diatur dengan pengaturan yang tepat, contoh
suatu komentar orang lain sebelum terposting maka
harus ada persetujuan dari sekolah terlebih dahulu,
57
pengaturan semacam ini harus diatur secara
otomatis pada pengaturan facebook. Kedua, bagian
komentar bisa dinonaktifkan. Namun jika pilihan
kedua diterapkan maka kelemahannya yang jelas
yaitu akan terajadi penghapusan dua arah
percakapan antara stakeholder dan administrator.
2) Twitter
Twitter merupaka sebuah alat media sosial
dan layanan microblogging yang memampukan
penggunanya untuk mengirim dan membaca pesan
berbasis teks hingga 140 karakter, yang dikenal
sebagai "tweets". Dapat disinkronisasikan dengan
alat media sosial lain seperti Facebook. Contoh
penggunaan media sosial dalam program kemitraan
sekolah dan keluarga melalui twitter yaitu sekolah
dapat memberikan info terkini mengenai kegiatan
sekolah secara singkat atau posting blog baru, serta
dapat memberikan informasi potongan singkat
tentang kunjungan kelas. Melalui komunikasi dua
arah yang disediakan Twitter, hal ini juga akan
memungkinkan administrator sekolah untuk mulai
membentuk apa yang disebut "Personal Learning
Network" (PLN) yang bersifat individual. PLN
menyediakan koneksi pada para ahlu dan akan
mencatat sesuai bidangnya contoh bidang
pendidikan. Melalui Twitter, lokasi dan anggaran
bukan menjadi hambatan lagi untuk kepala sekolah
58
dan pengawas dari daerah pedesaan, pinggiran kota,
dan perkotaan memiliki akses ke para ahli
terkemuka di lapangan. Administrator tidak perlu
melakukan perjalanan ke konferensi regional atau
nasional untuk mendapatkan akses
tersebut; namun hal itu dapat langsung tersedia
bagi mereka yang sudah terkoneksi melalui
twitter. Koneksi semacam ini dapat menjadi role
model bagi para pemangku kepentingan lainnya
seperti orang tua. Mereka akan lebih mengenal para
pendidik anaknya dalam kesehariannya dan cara
pandang mereka menanggapi berbagai isu terkini.
Maka dengan adanya hal tersebut administrator
sekolah yang berwenang mengelola twitter sekolah
atau kepala sekolah dan pendidik dan tenaga
pendidiknya harus memberikan contoh yang baik
dalam penggunaan media sosial.
3) Blog
Blog yaitu sebuah situs untuk berdiskusi atau
member informasi yang dipublikasikan di Internet
yang terdiri dari entri, hal ini sering disebut juga
("posting"). Posting terbaru akan muncul pertama
kali. Blog dari surat kabar, media lain, universitas,
kelompok berkepentingan dan lembaga-lembaga
sejenis berkontribusi pada blog. Blog juga dapat
digunakan sebagai kata kerja, yang berarti untuk
memelihara atau menambahkan konten/ isi ke
59
blog. Contoh blog gratis populer yang tersedia untuk
siswa,guru dan orang tua seperti Wordpress,
Blogger, Edublogs dan Kidblogs.Contoh penggunaan
media sosial dalam program kemitraan sekolah dan
keluarga melalui blog yaitu denganberbagi informasi
dengan stakeholder melalui rubrik berita atau info
terkini mingguan atau bulanan dan buletin. Isi dari
publikasi suatu media berita lain juga bisa
dibagikan melalui blog beserta dengan
tanggapannya jika dibutuhkan. Keuntungan dalam
berbagi melalui blog adalah bahwa para pemangku
kepentingan bisa dengan mudah mengaksesnya
(Weil, 2006). Isi dari rubrik berita dan buletin yang
ditulis oleh administrator sekolah mungkin
mencerminkan pandangan dan keyakinan sekolah
tentang pendidikan mereka, informasi dalam
kerjasama mengasuh anak di era ini dll. Posting blog
tidak perlu ditulis setiap hari, hal ini biasditulis
pada waktu yang ditentukan oleh administrator
sekolah dan kemudian dapat dijadwalkan secara
rutin diposting mingguan atau bulanan.
4) Video online seperti Youtube dan Podcast
Sebuah alat media sosial untuk berbagi video
dimana penggunanya dapat mengunggah, melihat
dan berbagi berbagai macam konten video yang
dihasilkan pengguna, termasuk klip video, klip TV,
dan video musik, serta konten amatir seperti video
60
blogging, video asli pendek, dan video pendidikan.
Contoh penggunaan media sosial dalam program
kemitraan sekolah dan keluarga melalui blog yaitu
dengan berbagi pesan video online untuk warga
sekolah setempat secara berkala. Dapat juga
digunakan untuk menemukan klip audio atau video
menarik yang kemudian bisa dimasukkan ke dalam
posting blog atau tweet untuk membuatnya lebih
interaktif sehingga akan ada bahan yang cukup
untuk berbagi sesuatu dengan para pemangku
kepentingan.Hal ini dapat dilakukan sebulan sekali.
Isi video dapat dengan cara membuat video sendiri
atau hanya berbagi video yang sudah ada sesuai
dengan kebutuhan dan topik. Diharapkan video
dapat berisi tentang kegiatan sekolah atau tentang
isu pendidikan yang dapat dibahas secara interaktif.
5) Instagram
Instagram merupakan salah satu alat media
sosial yang secara online yang dapat digunakan
untuk berbagi foto yang memungkinkan
penggunanya untuk mengambil gambar,
menerapkan filter digital untuk mereka, dan
memampukan mereka berbagi pada berbagai situs
media sosial lainnya termasuk Facebook atau
Twitter. Dengan berbagi gambar dan video meng-
gunakan media sosial seperti instagram, orang tua
bisa mendapatkan informasi awal mengenaiekstra
61
kurikuler anak mereka sehingga orang tua lebih
memahami anak dan dapat meningkatkan
komunikasi dengan anak saat bertemu tatap muka.
Sebuah alat media sosial yang disebut Instagram
dapat digunakan untuk menyimpan album foto yang
dijalankan sekolah sepanjang tahun sekolah.
Instagram dapat dengan mudah dihubungkan
dengan halaman Facebook sekolah untuk
kemudahan penggunaan.
2.6. Langkah-Langkah Pengembangan Model
Dalam Sugiyono (2012: 298-311) memberikan 10
langkah-langkah yang dapat digunakan dalam
mengembangkan peningkatan mutu, sebagai berikut:
Gambar 2.3 Langkah-langkah pengembangan menurut
Sugiyono (Sugiyono, 2012)
Potensi dan
Masalah
Pengumpulan Data
Desain Produk
Validasi Desain
Perbaikan Desain
Uji Coba Produk
Revisi Produk
Uji Coba Pemakai
an
Revisi Produk
Pembuatan
Produk Massal
62
Penelitian ini hanya akan sampai pada tahap
kelima berdasarkan tahapan-tahapan menurut
Sugiyono (2012: 298-311) yang adalah sebagai berikut:
1) Potensi dan Masalah.
Penelitian berasal dari adanya potensi atau
masalah.
Potensi adalah segala sesuatu yang bila
didayagunakan akan memiliki nilai tambah,
sedangkan masalah adalah penyimpangan antara
yang diharapkan dengan yang terjadi. Potensi dan
masalah yang dikemukakan dalam penelitian harus
ditunjukkan dengan data empirik. Data tentang
potensi dan masalah tidak harus dicari sendiri,
tetapi bisa berdasarkan laporan penelitian orang
lain, atau dokumentasi laporan kegiatan dari
perorangan atau instansi tertentu yang masih up to
date.
2) Pengumpulan Data.
Setelah potensi dan masalah dapat ditunjukan
secara faktual, maka selanjutnya perlu
dikumpulkan berbagai informasi dan studi literatur
yang dapat digunakan sebagai bahan untuk
perencanaan produk tertentu yang diharapkan
dapat mengatasi masalah tersebut. Disini
diperlukan metode penelitian tersendiri. Metode apa
yang akan digunakan untuk penelitian tergantung
63
permasalahan dan ketelitian tujuan yang ingin
dicapai.
3) Desain Produk.
Desain produk harus diwujudkan dalam
gambar atau bagan, sehingga dapat digunakan
sebagai pegangan untuk menilai dan membuatnya.
4) Validasi Desain.
Validasi produk dapat dilakukan dengan cara
menghadirkan beberapa pakar atau tenaga ahli yang
sudah berpengalaman untuk menilai produk baru
yang dirancang tersebut. Setiap pakar diminta
untuk menilai desain tersebut, sehingga selanjutnya
dapat diketahui kelemahan dan kekuatannya.
Validasi desain dapat dilakukan dalam forum
diskusi. Sebelum diskusi peneliti mempresentasikan
proses penelitian sampai ditemukan desain tersebut,
berikut keunggulannya.
5) Perbaikan Desain.
Setelah desain produk, divalidasi melalui
diskusi dengan pakar dan para ahli lainnya, maka
akan dapat diketahui kelemahannya. Kelemahan
tersebut selanjutnya dicoba untuk dikurangi dengan
cara memperbaiki desain. Yang bertugas
memperbaiki desain adalah peneliti yang mau
menghasilkan produk tersebut.
64
6) Uji Coba Produk.
Uji coba produk dilakukan pada kelompok
terbatas yang telah ditentukan.
7) Revisi Produk.
Revisi produk dilakukan apabila dalam
pemakaian pada skala lebih luas terdapat
kekurangan.
8) Uji Coba Pemakaian.
Uji coba pemakaian dilakukan untuk melihat
efektivitas produk jika digunakan dalam ruang
lingkup yang lebih luas lagi.
9) Revisi Produk.
Revisi produk ini dilakukan, apabila dalam
pemakaian kondisi nyata terdapat kekurangan dan
kelemahan.
10) Pembuatan Produk Massal.
Pembuatan produk masal ini dilakukan
apabila produk yang telah diujicobakan dinyatakan
efektif dan layak untuk diproduksi masal.
2.7. Kajian Penelitian Yang Relevan
Penelitian sejenis sudah pernah dilakukan
sebelumnya oleh beberapa peneliti terdahulu. Dalam
karya thesisnya yang berjudul “The Use Of Social Media
Tools By School Principals To Communicate Between
Home And School”, Mazza (2013) telah meneliti tentang
pentingnya peran teknologi khusunya media sosial
65
dalam penggunaanya oleh beberapa kepala sekolah di
Amerika dan bagaimana penggunaan media sosial
berpengaruh terhadap komunikasi antara sekolah dan
para orang tua. Penelitian ini menggunakan teknik
pengumpulan data triangulasi yang meliputi tiga bagian
yaitu menggunakan data sampel untuk memahami
manfaat dan tantangan penggunaan media sosial
untuk membangun kemitraan orang tua dan sekolah.
Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa beberapa
pihak sekolah khususnya kepala sekolah sebagai pihak
yang bertanggung jawab atas penggunaan media sosial
sekolah sudah mencoba menggunakan teknologi
khusunya media sosial sebagai alat komunikasi tidak
hanya satu arah namun dapat digunakan untuk
komunikasi dua arah dalam membangun kemitraan
orang tua dan sekolah. Namun hal ini juga sejalan
dengan media komunikasi tradisional seperti
penyebaran surat sebagai media formal untuk
menginformasikan program sekolah. Hasil diskusi
dalam penelitian ini juga dapat digunakan untuk
mengarahkan kemitraan sekolah dan orang tua melalui
media sosial seiring perkembangan penggunaan media
sosial dikalangan komunitas orang tua.Peneliti juga
menyarankan agar penelitian ini dapat mendukung
penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan
strategi pengimplementasian komunikasi kemitraan
orang tua dan sekolah penggunaan media sosial. Oleh
66
sebab itu peneliti melihat penelitian yang dilakukan
oleh Mazza sebagai bahan pertimbangan dalam menulis
thesis ini.
Penelitian relevan yang kedua adalah penelitian
dari Cox (2012) yang berjudul “School Communications
2.0: A Social Media Strategy for K-12 Principals and
Superintendents”. Penelitian Kualitatif ini hampir sama
dengan penelitian diatas. Penelitian ini merupakan
penelitian beberapa studi kasus di Amerika dan
Kanada.Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan,
menganalisa dan mentafsirkan pengalaman beberapa
kepala sekolah dan pengawas yang menggunakan
beragam alat komunikasi media sosial seperti blog,
microblog, situs jaringan sosial, podcast dan video
online untuk berkomunikasi dengan para pemangku
kepentingan sebagai suatu sistem komunikasi yang
komprehensif. Berikutnya peneliti juga meneliti
mengapa para kepala sekolah dan pengawas telah
memilih media sosial untuk berkomunikasi dengan
pemangku kepentingan lainnya.Penelitian ini dilakukan
menggunakan wawancara semi terstruktur dengan 12
kepala sekolah dan 12 pengawas di keempat wilayah
Amerika dan Kanada yang terpilih. Hasil penelitian ini
dibagi menjadi empat tema besar yaitu pertama, alat
komunikasi media sosial memungkinkan interaksi yang
lebih luas antara adminstrasi sekolah dan para
pemangku kepentingan, kedua alat komunikasi media
67
sosial memberikan hubungan yang lebih kuat kepada
para pemangku kepentingan lokal, rekan kerja sesama
pendidik dan pada dunia yang lebih luas, ketiga
penggunaan media sosial dapat memiliki dampak
signifikan dalam perkembangan keprofesionalan
administrator sekolah, dan yang terakhir penggunaan
media sosial merupakan sebuah harapan atau peluang
yang berarti bukan hanya sekedar sebuah pilihan.
Penelitian ini dapat digunakan untuk referensi
pendidikan yang lebih luas, program kepemimpinan
pendidikan dan untuk definisi media sosial yang lebih
luas. Oleh sebab itu peneliti melihat penelitian yang
dilakukan oleh Mazza sebagai bahan pertimbangan
dalam menulis thesis ini.
Penelitian relevan yang ketiga adalah penelitian
yang berjudul “Model Kolaborasi Guru, Orangtua Dan
Masyarakat Di Satuan Pendidikan Dasar (Studi
Pengembangan Di SD Negeri Inpres 1 Kabupaten Barru
Provinsi Sulawesi Selatan)” oleh Jamalludin (2015).
Penelitian ini berangkat dari isu dan permasalahan
program pendidikan untuk orangtua, dan sebagai
upaya peningkatan kualitas pendidikan serta pelibatan
orangtua secara merata, perlu pemetaan dan kajian
pengembangan program sekolah untuk orangtua
peserta didik. Berdasarkan analisis hasil identifikasi
terkait kebutuhan pengembangan model, rata-rata
responden (satuan pendidikan) sudah ada pelaksanaan
68
kegiatan kemitraan orangtua dan guru dalam berbagai
bentuk, namun dalam pelaksanaannya masih
dibutuhkan berbagai macam bentuk-bentuk kemitraan
yang dapat memperkuat hubungan orangtua, guru dan
masyarakat. Berdasarkan hasil pelaksanaan prosedur
penelitian dan pengembangan “Borg and Gall” yang
disederhanakan melalui 7 langkah pengembangan
“Model Kolaborasi Guru, Orangtua Dan Masyarakat Di
Satuan Pendidikan” melalui uji validitas oleh ahli dan
uji empirik di lapangan, didapatkan hasil bahwa model
ini dinyatakan valid untuk digunakan dan setiap
produk yang dikembangkan memiliki reliabilitas lebih
dari 75%. Kemudian setelah dilaksanakan kolaborasi di
satuan pendidikan selama 3 bulan, didapatkan data
hasil respon guru, orangtua dan masyarakat terhadap
model kolaborasi orangtua, guru dan masyarakat di
satuan pendidikan berada pada kategori positif yaitu
“baik/ setuju”.
Penelitian relevan yang keempat adalah
penelitian dari Tita Rosita yang pada tahun 2009
menulis Pengembangan Model Pola Pengasuhan
Berbasis Keluarga di Panti Asuhan Dalam
Meningkatkan Kreativitas Seni Anak. Studi Deskriptif
tentang pengasuhan di Kinderdorf SOS Desa Taruna
Lembang. Tujuan penelitian ini untuk menemukan
model konseptual pola pengasuhan keluarga yang
dapat meningkatkan kreativitas melalui seni bagi anak
69
terlantar. Pendekatan penelitian ini menggunakan
kualitatif dengan metode penelitian dan pengembangan,
dalam menarik kesimpulan penelitian ini dilakukan
SWOT analisis secara cermat dan akurat. Dilakukan
tiga tahapan terhadap konsep pengasuhan untuk
mendapatkan model pengasuhan. Tahap pertama
merupakan eksploratif dan studi kepustakaan, tahap
kedua dilakukan pengembangan model konseptual
berdasarkan temuan pada tahap pertama, dan pada
tahap ketiga pengembangan secara menyeluruh,
selanjutnya melakukan ujicoba model yang telah
diperbaiki.
Penelitian relevan yang terakhir yaitu penelitian
dari Prastawa, dkk (2010) yang berjudul
“Pengembangan Hutan Pinus Masyarakat Berbasis
Kemitraan”. Penelitian ini memang penelitian dibidang
non-akademik namun penelitian ini merupakan
penelitian pengembangan model dengan SWOT sebagai
salah satu alat bantu dan perangkat proses. Dalam
upaya untuk menyelesaikan masalah pada penelitian
ini, menggunakan pendekatan klaster industry.
Pendekatan ini menggunakan alat bantu dan perangkat
data proses, termasuk analisa internal dan eksternal
komunitas lingkungan hutan pinus, analisa SWOT,
penentuan keputusan menggunakan Analitycal Network
Process (ANP), analisa Competitiveness Diamond, dan
model formulasi strategi berdasar analisa sebelumnya
70
dan analisa pendukung. Dari beberapa perangkat
diharapkan untuk memperoleh formulasi strategi yang
tepat dan pelaksanaan pengembangan potensi hutan
pinus publik di Kabupaten Pekalongan dalam rangka
mendukung peningkatan daya saing Kabupaten
Pekalongan.
Beberapa penelitian relevan diatas memiliki
persamaan dan perbedaan serta keterkaitan dengan
penelitian ini. Penelitian Mazza (2013) dan Cox (2012)
memiliki persamaan yaitu sama-sama meneliti tentang
kemitraan sekolah dan keluarga, khususnya penelitian
Mazza (2013) dan Cox (2012) telah mendeskripsikan
kemitraan melalui media sosial. Rosita (2009) dan
Prastawa (2010) juga memiliki persamaan dalam
penelitian mereka yaitu sama-sama mengembangkan
model kemitraan dengan alat bantuan analisis SWOT.
Namun terdapat perbedaan pula diantara penelitian-
penelitian ini diantaranya penelitian Mazza (2013) dan
Cox (2012) merupakan penelitian kualitatif yang
mendeskripsikan dan menganalisis kemitraan sekolah
dan keluarga sedangkan penelitian Jamalludin (2015)
merupakan penelitian pengembangan yang
mengembangkan model kemitraan. Dalam penelitian
ini, peneliti akan melakukan penelitian tentang
kemitraan sekolah dengan keluarga melalui media
sosial seperti topik penelitian Mazza (2013), Cox (2012)
dan Jamalludin (2015) namun penelitian ini
71
diikhususkan dalam pengembangan model kemitraan
melalui media sosial yang diawali dengan evalusi
formatif untuk menganalisis kebutuhan sekolah.
Penelitian ini juga akan menggunakan analisis SWOT
seperti penelitian Rosita (2009) dan Prastawa (2010)
untuk melihat potensi kekuatan, kelemahan, hambatan
dan peluang dalam pelaksanaan program kemitraan
tersebut.
2.8. Kerangka Berpikir
Gambar 2.4 Kerangka Berpikir Penelitian
Kondisi
potensial sekolah
Pengembangan
Model
Identifikasi
Kebutuhan
Kesenjangan/
permasalahan
Kondisi
sekolah yang diharapkan
dalam
memenuhi
standar
kemitraan
Model Faktual Kemitraan Sekolah
Analisis
SWOT (IFAS,EFAS)
dan MAS
Produk
Pengembangan:
Model Kemitraan melalui Media sosial
Studi Pustaka
Pihak
Orang Tua
dan Masyarakat
Pihak Sekolah
Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah (MPMBS) pada
pilar Peran serta Masyarakat
72
Penelitian ini diawali dengan evaluasi formatif
untuk mengetahui kelemahan dan hambatan selama
program dilaksanakan. Melalui evalusi formatif,
pertama peneliti melihat kondisi potensial sekolah dan
kondisi sekolah yang diharapkan dalam memenuhi
standar kemitraan pemerintah melalui wawancara.
Dalam hal ini, peneliti mencari kelemahan dan
hambatan dalam melaksanakan kemitraan sekolah
dengan orang tua. Selama pencarian informasi
tersebut, peneliti juga menambah wawasan mengenai
topik penelitian ini, serta kemudian peneliti
menganalisis kebutuhan dari pihak sekolah dan orang
tua untuk melengkapi data yang menjadi dasar dari
pengembangan suatu model kemitraan melalui
pembagian angket, wawancara dan FGD. Langkah
ketiga, pengolahan data yang dimiliki dengan dianalisis
menggunakan SWOT dan MAS sehingga dihasilkan
saran-saran perbaikan serta pengembangan model
kemitraan yang baru, dalam hal ini dikhususkan pada
penguatan kemitraan sekolah dan orang tua melalui
media sosial. Hasil pengembangan kemitraan sekolah
dengan orang tua yang baru kemudian divalidasi oleh
pakar ahli dan pakar praktisi.
73
2.9. Hipotesis Penelitian
Melalui pengembangan model kemitraan sekolah
dengan orang tua melalui media sosial ini dapat
membantu sekolah untuk meningkatkan layanan mutu
pendidikannya terkhusus pada program kemitraan
sekolah dengan orang tua di sekolah menengah swasta
melalui:
1.Penguatkan jalinan kemitraan antara sekolah,
keluarga, dan masyarakat dalam mendukung
lingkungan belajar yang dapat mengembangkan potensi
anak secara utuh;
2.Peningkatkan keterlibatan orang tua/wali dalam
mendukung keberhasilan pendidikan anak di rumah
dan di sekolah; dan
3.Peningkatkan peran serta masyarakat dalam
mendukung program pendidikan di sekolah dan di
masyarakat.
74
75