bab ii landasan teori 2.1. media massa · 2019. 6. 27. · 1 bab ii landasan teori . 2.1. media...
TRANSCRIPT
1
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Media Massa
Menurut Albarran (1996) media massa adalah sebuah kekuatan dalam
mengemas dan mempromosikan sebuah peristiwa yang diangkatnya. Dalam suatu
institusi, media tidak hanya mempunyai kekuatan ekonomi saja, akan tetapi kekuatan
politik juga ikut berperan didalamnya melalui kontrol dan penyebaran informasi.
Pada hakekatnya pekerjaan media adalah mengkontruksi realitas (Sobur,
2002). Isi media merupakan hasil para pekerja media dalam mengkontruksikan
berbagai realitas yang dipilihnya untuk dijadikan sebuah berita, diantaranya realitas
politik dan human interest. Disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media
massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka dapat di katakan bahwa seluruh
isi media adalah realitas yang dikonstruksi (construct reality). Pembuatan berita di
media pada dasarnya tidak lebih dari penyusunan realitas-realitas, sehingga
membentuk sebuah “cerita “.
Menurut Eriyanto (2001) media massa mempunyai peranan sebagai agen
sosialisasi pesan tentang norma dan nilai. Media massa mempunyai kekuatan yang
sangat signifikan dalam usaha mempengaruhi khalayaknya. Keberadaan media massa
mempunyai peranan penting dalam usaha memberikan informasi penting bagi
masyarakat, pengetahuan yang dapat memperluas wawasan, sarana hiburan sebagai
pelepas ketegangan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah peranan media sebagai
kontrol sosial untuk memberikan kritik maupun mendukung kebijakan pemerintah
agara memotivasi masyarakat.
Hidayat dalam Siahaan (2001) menambahkan, bahwa media massa
merupakan salah satu arena sosial, tempat berbagai kelompok sosial masing-masing
dengan politik bahasa yang mereka kembangkan sendiri, berusaha menampilkan
definisi situasi atau realitas berdasarkan versi mereka yang dianggap sahih. Berita
untuk media massa harus berfungsi mengarahkan, menumbuhkan atau
2
membangkitkan semangat dan memberikan penerangan kepada khalayak. Sebab
berita yang tersaji setiap harinya adalah produk dari pembentukan realitas oleh media.
Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada
khalayak (Djuroto, 2002).
2.2. Komunikasi Politik
2.2.1. Definisi Komunikasi Politik
Menurut Mulyana (2013) komunikasi politik didefinisikan sebagai suatu
proses linear atau suatu sistem. Pendekatan linear ini berorientasi pada efek atau
pengaruh pesan politik, sedangkan pendekatan sistem berorientasi pada kestabilan
atau kesinambungan suatu sistem politik. Nimmo (2011) menyebutkan cakupan
komuniksai politik terdiri dari komunikator politik, pesan politik, persuasi politik,
media komunikasi politik, khalayak politik dan akibat-akibat komunikasi politik. Dari
segi aplikasinya, sudah lama komunikasi ditelaah untuk tujuan kampanye politik
pemilu dan masalah lain yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan
politik.
2.2.2. Teori Komunikasi Politik
1. Jarum Hipodermik (Hypodermic Needle Theory)
Teori dari Schramm, Rogers, dan Shoemaker yang dikutip dalam Arifin
(2011) menyatakan bahwa komunikasi politik berlangsung dalam sebuah proses
seperti “ban berjalan” secara mekanis dengan unsur-unsur yang jelas, yaitu: sumber
(komunikator), pesan (komunike), saluran (media), penerima (khalayak) dan umpan
balik (efek). Artinya sumber mengirim pesan ke penerima melalui saluran tertentu
dan menimbulkan akibat atau efek. Berdasarkan “hukum peliput” dapat dibuat
prediksi yang bersyarat, yaitu: jika ada (pesan tertentu), maka akan ada efek tertentu
(pada penerima). Itulah sebabnya dalam model mekanistis, studi komunikasi politik
difokuskan pada efek.
Berdasarkan paradigma mekanistis dan unsur-unsur yang terkandung dalam
proses komunikasi tersebut, secara sederhana Lasswell merumuskan dalam sebuah
3
formula, “siapa berkata apa, melalui saluran apa, kepada siapa dan bagaimana
efeknya?” (who say what, in which channel, to whom with what effect?). Kemudian
formula Lasswell tersebut oleh Nimmo (2011) dijadikan sebagai dasar menganalisis
komunikasi politik.
Paradigma mekanistis tersebut kemudian menghasilkan dua asumsi dasar:
Pertama, penerima (komunikan) atau khalayak pasif atau tidak berdaya ketika
menerima pesan dari komuniktor. Artinya komunikator dengan mudah
mempengaruhi komunikan atau khalayak. Kedua, media massa sangat perkasa dan
bahkan kekuatannya mendekati gaib. Artinya semua pesan yang disalurkan oleh
media massa dengan mudah mempengaruhi khalayak (Nimmo, 2011). Bahkan, oleh
McLuhan dalam Littlejohn (2014) menyebut bahwa media itu sendiri adalah pesan
(the medium is the message). Khalayak yang tak berdaya itu sering disebut khalayak
pasif. Konsep khalayak tak berdaya atau khalayak pasif dan asumsi media perkasa
dari paradigma mekanistis itu, dengan mudah dikenal melalui berbagai literatur yang
memuat teori dasar dengan nama yang berbeda seperti hypodermik needle theory
(teori jarum hipodermik) dan bullet theory of communication (teori peluru).
Berdasarkan teori tersebut, komunikator politik (politisi, profesional dan
aktifis) selalu memandang bahwa pesan politik apapun yang disampaikan pada
khalayak, apalagi melalui media massa, pasti menimbulkan efek yang positif berupa
cara yang baik, penerimaan atau dukungan. Itulah sebabnya kegiatan komunikasi
politik banyak dilakukan melalui pidato pada rapat umum atau media massa.
Ternyata asumsi tersebut tidak benar seluruhnya, karena efek sangat tergantung
kepada situasi dan kondisi khalayak, disamping daya tarik isi, dan kredibilitas
komunikator. Bahkan berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa media massa
memiliki pengaruh lebih dominan dalam tingkat kognitif (pengetahuan) saja, tetapi
kurang mampu menembus pengaruh pada sikap dan prilaku.
Tiap-tiap individu ternyata sangat aktif dalam menyaring, menyeleksi, dan
bahkan memiliki daya tangkal atau daya serap terhadap semua pengaruh yang berasal
dari luar dirinya. Tiap-tiap individu itu tidak mengalami pengaruh secara pasif,
4
melainkan secara aktif. Jiwa individu sendiri memiliki potensi dinamis dalam
mewujudkan sikap dan kelakuannya. Dengan demikian asumsi bahwa khalayak pasif
dan media perkasa, tidak terbukti secara empirik. Meskipun demikian, “teori jarum
hipodermik” tidak runtuh sama sekali karena tetap dapat diaplikasikan atau
digunakan untuk menciptakan efektifitas dalam komunikasi politik. Teori jarum
hipodermik (teori peluru) dan teori transmisi selanjutnya oleh para pakar
digambarkan pula dalam bentuk model, itulah sebabnya teori-teori tersebut dilukiskan
sebagai model linier dalam komunikasi politik yang berkembang dalam masyarakat,
terutama yang menganut sistem politik otoritarian. Model linear hanya berlangsung
satu arah, yaitu dari sumber (komunikator) kepada penerima (khalayak) hal itu
ditentukan dalam paradigma mekanistis.
2. Teori Khalayak Kepala Batu (The Obstinate Audience Theory)
Teori dari Richard (1936), Bauer (1964), Schramm & Robert (1977) yang
dikutip Arifin (2011) menyatakan bahwa asumsi khalayak pasif itu gugur. Dengan
gugurnya asumsi khalayak tidak berdaya atau khalayak pasif dan media perkasa
seperti teori jarum hipodermik, berkembanglah sebuah asumsi baru, bahwa khalayak
justru aktif dan sangat berdaya, dan sama sekali tidak pasif dalam proses komunikasi
politik. Bahkan, khalayak memiliki daya tangkal dan daya serap terhadap semua
rangsangan yang menyentuhnya. Dalam hal itu para pakar termasuk Schramm dan
Roberts dalam Nimmo (2011) mengokersi teorinya dan mengakui adanya teori baru
yang dikenal dengan nama teori khalayak kepala batu (the obstinate audience theori).
Teori ini merupakan bentuk penjabaran dari perspektif atau paradigma
psikologis dalam komunikasi yang telah dipaparkan di muka. Teori khalayak kepala
batu itu dikembangkan oleh pakar psikologi-Raymond Bauer pada tahun 1964.
Bahkan, telah diperkenalkan oleh Richards sejak 1936 dan telah diamalkan atau
dipublikasikan oleh ahli retorika pada zaman Yunani dan Romawi 200 tahun yang
lalu. Raymond Bauer mengkritik potret khalayak sebagai robot yang pasif. Khalayak
hanya bersedia mengikuti pesan, bila pesan itu memberi keuntungan atau memenuhi
kepentingan dan kebutuhan khalayak. Komunikasi tidak lagi bersifat linear tetapi
5
merupakan transaksi. Media massa memang berpengaruh, tetapi pengaruh itu
disaring, diseleksi, dan diterima atau ditolak oleh filter konseptual atau faktorfaktor
personal yang memengaruhi reaksi mereka.
Dengan teori khalayak kepala batu itu, fokus penelitian bergeser dari
komunikator kepada komunikan atau khalayak. Para pakar, terutama pakar psikologi
maupun sosiologi mencurahkan perhatian kepada faktor individu. Mereka mengkaji
faktor-faktor yang membuat individu ini mau menerima pesan-pesan komunikasi.
Salah satu di antaranya adalah lahirnya teori “model guna dan kepuasan (uses and
grafititations theory). Model ini dibangun dengan asumsi dasar bahwa manusia
adalah makhluk yang sangat rasional dan sangat aktif, dinamis dan selektif terhadap
semua pengaruh dari luar dirinya.
Pada dasarnya teori khalayak kepala batu dan teori use and gratifications serta
teori lainnya dan model yang sejenis dapat dimasukkan ke dalam kelompok besar
perspektif atau paradigma psikologis dari komunikasi politik. Meskipun individu
menerima pesan karena kegunaan atau karena untuk memenuhi kepuasan dirinya
berdasarkan perbedaan individu, kategori sosial atau hubungan sosial, namun yang
terpenting dalam perspektif psikologis ini ialah semua pesan politik itu diolah secara
internal pada diri individu. Dengan demikian komunikasi politik dalam perspektif ini
berlangsung secara internal dalam diri individu, yang juga dikenal dengan nama
komunikasi intrapersona (intrapribadi). Teori khalayak kepala batu ini sangat penting
menjadi kerangka acuan dalam melaksanakan komunikasi politik di negara
demokrasi. Teori ini mengasumsikan bahwa (1) setiap individu mempunyai
kemampuan untuk menyeleksi, menyaring dalam menerima informasi; (2) khalayak
justru sangat berdaya dan sama sekali tidak pasif dalam proses komunikasi politik.
Khalayak memiliki daya tangkal dan daya serap terhadap semua terpaan pesan
kepada mereka.
6
2.3. Informasi Hoax
Secara singkat informasi hoax adalah informasi yang tidak benar.1 Dalam
cambridge dictionary2, kata hoax sendiri berarti tipuan atau lelucon. Kegiatan
menipu, trik penipuan, rencana penipuan disebut dengan hoax. Kemudian, situs
hoaxes.org3 dalam konteks budaya mengarahkan pengertian hoax sebagai aktivitas
menipu: “Ketika koran sengaja mencetak cerita palsu, kita menyebutnya hoax. Kita
juga menggambarkannya sebagai aksi publisitas yang menyesatkan, ancaman bom
palsu, penipuan ilmiah, penipuan bisnis, dan klaim politik palsu sebagai hoax”. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini dipilih istilah “informasi hoax” sebagai salah satu
konsep penelitian. Pemilihan istilah ini didasarkan pada pengertian dasar kata hoax
itu sendiri (tipuan), dan bentuknya yang berupa informasi ketika disebarkan (sebagai
objek) di sosial media. Informasi hoax yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
bentuk antipati terhadap lawan politik yang berujung pada Chararter Assassination. 4
2.3.1. Tujuan Penyebaran Informasi Hoax
Hoax bertujuan untuk membuat opini publik, menggiring opini publik,
membentuk persepsi juga untuk hufing fun yang menguji kecerdasan dan kecermatan
pengguna internet dan media sosial. Tujuan penyebaran hoax beragam tapi pada
umumnya hoax disebarkan sebagai bahan lelucon atau sekedar iseng, menjatuhkan
pesaing (black Campaigh), promosi dengan penipuan, ataupun ajakan untuk berbuat
amalan-amalan baik yang sebenarnya belum ada dalil yang jelas di dalamnya. Namun
ini menyebabkan banyak penerima hoax terpancing untuk segera menyebarkan
kepada rekan sejawatnya sehingga akhirnya hoax ini dengan cepat tersebar luas.
Kondisi tersebut terjadi karena komunikasi yang dibangun si penulis difasilitasi oleh
daya pikat yang dihasilkan melalui komunikasi menggunakan media sosial (Budiman,
2017).
1http://www. hoaxbusters.org/hoax10.html, diakses tanggal 18 Desember 2017.
2http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/hoax#translations, diakses tanggal 18 Desember
2017. 3http://hoaxes.org/Hoaxipedia/What_is_a_hoax, diakses tanggal 18 Desember 2017.
4http://voxntt.com/2017/10/22/pilkada-hoax-dan-independensi-media
7
Kemudian menurut Kumar, West dan Leskovec (2016)5, setidaknya ada tiga
tujuan mengapa seseorang mengkomunikasikan informasi yang salah secara luas.
Pertama, tujuannya mengajak publik untuk mempercayai sesuatu yang salah sebagai
sebuah kebenaran. Kedua, tujuannya membohongi atau mengkhianati publik. Ketiga,
tujuannya bersifat pribadi yaitu menciptakan kesan-kesan personal tertentu oleh si
penyebar hoax di mata publik.
Namun demikian terdapat juga tujuan lain tersebarnya informasi hoax,
menurut Komisi Bidang Informasi DPR RI, Sukamta, informasi hoax merupakan
reaksi dari rasa penasaran masyarakat karena pemerintah kurang berperan dengan
baik sebagai sumber informasi. Dia mencontohkan pada kasus TKA asal China,
“Sukamta menilai pemerintah tidak satu suara dalam menyatakan kepada publik.
Akhirnya, masyarakat mereaksi, yang benar siapa ini. Menteri Polhukam, Menaker,
Kominfo, Presiden atau siapa? Akhirnya, ini pasti ada yang bohong di antara empat
pihak. Yang benar satu, yang lain bohong”.6
2.3.2. Ciri-ciri Informasi Hoax
Menurut David Harley (2008)7, ada beberapa aturan praktis yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi hoax secara umum. Pertama, informasi hoax
biasanya memiliki karakteristik surat berantai dengan menyertakan kalimat seperti
"Sebarkan ini ke semua orang yang Anda tahu, jika tidak, sesuatu yang tidak
menyenangkan akan terjadi”.
Kedua, informasi hoax biasanya tidak menyertakan tanggal kejadian atau
tidak memiliki tanggal yang realistis atau bisa diverifikasi, misalnya "kemarin" atau
"dikeluarkan oleh..." pernyataan-pernyataan yang tidak menunjukkan sebuah
kejelasan. Kemudian yang ketiga, informasi hoax biasanya tidak memiliki tanggal
kadaluwarsa pada peringatan informasi, meskipun sebenarnya kehadiran tanggal
5Andi Muhammad Irawan, 2017, “Hoax; Manipulasi Kognitif dan Konflik Sosial“, diakses dari
https://www.edunews.id/literasi, tanggal 17 Desember 2017. 6Ali Atwa, 2017, “Anggota DPR: Jika Pemerintah Bekerja Baik, Berita Hoax Hilang Sendiri”, diakses
dari https://www.hidayatullah.com, tanggal 18 Desember 2017. 7“Literasi media baru dan penyebaran informasi hoax”, diakses dari etd.repository.ugm.ac.id, tanggal
18 Desember 2017.
8
tersebut juga tidak akan membuktikan apa-apa, tetapi dapat menimbulkan efek
keresahan yang berkepanjangan.
Keempat, tidak ada organisasi yang dapat diidentifikasi yang dikutip sebagai
sumber informasi atau menyertakan organisasi tetapi biasanya tidak terkait dengan
informasi. Siapapun bisa mengatakan: "Saya mendengarnya dari seseorang yang
bekerja di Microsoft” (atau perusahaan terkenal lainnya).
Keempat ciri-ciri tersebut setidaknya dapat membantu kita dalam
memfokuskan lokus pemikiran kita ketika berhadapan dengan sebuah informasi.
Sehingga idealnya kita harus bersikap skeptis terhadap setiap informasi yang ditemui
sekalipun terlihat benar, lengkap, dan sangat meyakinkan.
Ditambahkan oleh Muhammad Rifki Kurniawan (2017)8, bahwa wacana
hoax sebagaian besar mengirimkan pesan yang sarat emosional. Ciri-ciri pesan
emosional pada berita hoax adalah menyindir orang lain, bersifat sara dan memihak,
serta menebarkan kebencian. Pada kasus di Indonesia, unsur sara sering digunakan
dalam menyebarkan informasi palsu. Karena sara merupakan merupan keyakinan,
yang tertanam dalam pikiran dan karakter penganut sejak kecil sehingga sulit untuk
digoyangkan dan bersifat semi-permanen. Menurut Art Markman, otak tidak
memiliki mekanisme sederhana untuk menghapuskan apa yang telah kita indera.
Termasuk informasi palsu yang telah tersimpan dan dianggap sebagai kebenaran,
yang dapat secara otomatis dipanggil kembali ketika menghadapi situasi yang
berkaitan. Dan ini berbahaya, ketika informasi palsu diperkuat dengan alasan-alasan
palsu yang lain. Hal ini bisa jadi membuat seseorang enggan meluangkan waktu
untuk memperhatikan karena menghindari informasi tersebut mempengaruhi
pikirannya.
2.3.3. Alasan Penyebaran Informasi Hoax
Menurut Sosiolog UGM Derajad S Widhyharto mengungkap alasan
sebagian orang “suka” menyebarkan informasi bohong terutama karena budaya
8Muhammad Rifki Kurniawan, 2017, “Mengapa Orang Cenderung Menyebarkan Hoax?“, diakses dari
https://www.selasar.com/jurnal/38945, tanggal 17 Desember 2017
9
komunikasi kita selama ini terbiasa formal normatif, dimana identitas sangat
dibutuhkan. Ketika muncul online, tanpa harus memberikan identitas orang dapat
mengungkapkan apa yang mereka inginkan. Hal inilah yang menyebabkan ketika ada
isu yang belum tentu benar dan kebetulan sesuai dengan opininya, seseorang
kemudian menyebarkannya begitu saja (Budiman, 2017). Atau dengan kata lain orang
lebih cenderung percaya hoax jika informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang
dimiliki. Secara alami perasaan positif akan timbul dalam diri seseorang jika opini
atau keyakinannya mendapat afirmasi sehingga cenderung tidak akan mempedulikan
apakah informasi yang diterimanya benar dan bahkan mudah saja bagi mereka untuk
menyebarkan kembali informasi tersebut. Hal ini dapat diperparah jika si penyebar
hoax memiliki pengetahuan yang kurang dalam memanfaatkan internet guna mencari
informasi lebih dalam atau sekadar untuk cek dan ricek fakta9.
Selain itu, jika dikaitkan dengan etika berinternet, menurut Floridi (2010)10
alasan penyebaran informasi hoax yang marak terjadi juga disebabkan karena
penyalahgunaan freedom of speech. Freedom of speech ini berasal dari negara-negara
yang memiliki tradisi liberal yang menyalahkan apabila seseorang mempunyai
batasan dalam mengemukakan pendapat dan memiliki fungsi masing-masing individu
pada komunitas dapat mengemukakan pendapat, menyalahkan seseorang, memuji
seseorang dan lain sebagainya sebebas-bebasnya pada suatu komunitas.
Untuk menghadapi informasi hoax, kita harus berpikir kritis, maka jika kita
menyebarkan informasi tanpa mengecek kebenarannya, Harley (2008)11
menilainya
sebagai sebuah tindakan yang naif sekaligus malas. Hal ini sejalan dengan konsep
literasi media yang mensyaratkan seseorang untuk berkomitmen menggunakan sudut
pandang kritis dan meluangkan waktu untuk memeriksa kebenaran informasi yang
kita temui.
9Respati, S., 2017, “Mengapa Banyak Orang Mudah Percaya Berita “Hoax”?”, diakses melalui
http://nasional.kompas.com, tanggal 18 Desember 2017 10
Khaidir Abner, Mohammad Ridho Abdillah, Rizky Bimantoro, dan Weiby Reinaldy, 2017,
“Penyalahgunaan informasi/berita hoax di media sosial“, diakses dari https://mti.binus.ac.id, tanggal
18 Desember 2017. 11
“literasi media baru dan penyebaran informasi hoax”, Loc. Cit
10
2.3.4. Dampak Penyebaran Informasi Hoax
Hasil penelitian yang dilakukan Sholahuddin12
menunjukkan bahwa
perkembangan internet selain memberikan dampak positif pada kehidupan manusia
juga memiliki dampak negatif. Beberapa dampak negatif tersebut diantaranya adalah
mengurangi tingkat privasi individu, dapat meningkatkan kecenderungan potensi
kriminal, dapat menyebabkan overload-nya informasi, dan masih banyak lagi.
Hasil survey yang dilakukan oleh Mastel tentang wabah Hoax Nasional
(2017) menyebutkan bahwa informasi Hoax menyebabkan gangguan kerukunan
masyarakat, dan menghambat pembangunan. Novia (2017)13
juga mengungkapkan
dampak informasi hoax, hoax cukup erat kaitanya pada isu politik. Biasanya ini
dilakukan untuk menyebarkan rumor agar menguntungkan pihak atau golongan
tertentu dan terkadang juga berakhir dengan pemberitaan dan informasi yang bersifat
provokatif. Informasi hoax yang provokatif sangat merugikan bagi public yang
mengkonsumsi nya. Publik akan digiring untuk saling membenci dan berpikiran tidak
sehat satu sama lain.
Irawan (2017)14
juga mengatakan bahwa dalam kondisi masyarakat yang
masih saja mudah memercayai suatu informasi tanpa melakukan crosscheck terlebih
dahulu menyebabkan penyebaran hoax memiliki potensi bahaya tersendiri akan
terciptanya konflik sosial dan menyebabkan ancaman sosial. Hal ini diperparah
dengan rendahnya modal sosial (social capital) masyarakat Indonesia yang ditandai
dengan rendahnya tingkat kepercayaan (trust). Rendahnya modal sosial ini
menyebabkan masyarakat begitu mudah saling menaruh curiga satu sama lain. Selain
itu hoax juga berperan penting untuk memperuncing rasa saling curiga antara satu
orang kepada orang lain atau antara satu kelompok dengan kelompok lain. Walaupun
tidak ada hubungan langsung hoax sebagai suatu wacana dengan konflik sosial, tapi
12
Sholihuddin, M, 2013, Pengaruh Kompetisi Individu (Individual Competence) Terhadap Literasi
Media Internet Di Kalangan Santri, Diakses dari repository.unair.ac.id, tanggal 18 Desember 2017. 13
Weni Novia, 2017, Weni Novia, 2017, “Dampak Negatif dan Jejaring Sosial: Penyebaran Berita
Hoax dan Provokatif“, Diakses dari https://www.kompasiana.com, tanggal 18 Desember 2017. 14
Andi Muhammad Irawan, 2017, Loc. Cit.
11
setidaknya isi berita bohong bisa mengontrol pikiran publik dan menciptakan
kebencian terhadap suatu kelompok atau institusi sosial tertentu.
2.3.5. Cara Menghambat Penyebaran Informasi Hoax
Terdapat beberapa cara untuk menghambat penyebaran informasi hoax,
menurut Irawan (2017)15
, yaitu cross check terhadap setiap informasi yang diterima,
memberikan edukasi kepada masyarakat, ada kontrol (pengawasan) dari pihak
keluarga, tidak mudah terprovokasi, diacuhkan, melakukan pemblokiran oleh pihak
yang berwewenang, melakukan flagging dan sebagainya.
Sementara menurut Septiaji Eko Nugroho16
tindakan sederhana yang bisa
dilakukan agar tidak ikut menyebarkan informasi hoax, yaitu:
1. Hati-hati dengan judul provokatif
Berita hoax seringkali menggunakan judul sensasional yang provokatif, misalnya
dengan langsung menudingkan jari ke pihak tertentu. Isinya pun bisa diambil dari
berita media resmi, hanya saja diubah-ubah agar menimbulkan persepsi sesuai
yang dikehendaki sang pembuat berita palsu itu.
2. Cermati alamat situs
Untuk informasi yang diperoleh dari website atau mencantumkan link, cermatilah
alamat URL situs dimaksud. Berita yang berasal dari situs media yang sudah
terverifikasi Dewan Pers akan lebih mudah diminta pertanggungjawabannya.
Menurut catatan Dewan Pers, di Indonesia terdapat sekitar 43.000 situs di
Indonesia yang mengklaim sebagai portal berita. Dari jumlah tersebut, yang sudah
terverifikasi sebagai situs berita resmi tak sampai 300. Artinya, terdapat setidaknya
puluhan ribu situs yang berpotensi menyebarkan berita palsu di internet yang mesti
diwaspadai.
15
Andi Muhammad Irawan, 2017, Loc. Cit. 16
Kompas & Kominfo, 2017, “Cara Cerdas Mencegah Penyebaran "Hoax" di Media Sosial”, diakses
dari http://nasional.kompas.com, diakses tanggal 17 Desember 2017.
12
3. Periksa fakta
Perhatikan dari mana berita berasal dan siapa sumbernya? Apakah dari institusi
resmi seperti KPK atau Polri? Perhatikan keberimbangan sumber berita. Jika
hanya ada satu sumber, pembaca tidak bisa mendapatkan gambaran yang utuh. Hal
lain yang perlu diamati adalah perbedaan antara berita yang dibuat berdasarkan
fakta dan opini. Fakta adalah peristiwa yang terjadi dengan kesaksian dan bukti,
sementara opini adalah pendapat dan kesan dari penulis berita, sehingga memiliki
kecenderungan untuk bersifat subyektif.
4. Cek keaslian foto
Di era teknologi digital saat ini, bukan hanya konten berupa teks yang bisa
dimanipulasi, melainkan juga konten lain berupa foto atau video. Ada kalanya
pembuat berita palsu juga mengedit foto untuk memprovokasi pembaca. Cara
untuk mengecek keaslian foto bisa dengan memanfaatkan mesin pencari Google,
yakni dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google Images. Hasil
pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat di internet
sehingga bisa dibandingkan.
5. Ikut Dalam grup diskusi anti-hoax
Di Facebook terdapat sejumlah fanpage dan grup diskusi anti-hoax, misalnya
Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH), Fanpage & Group Indonesian
Hoax Buster, Fanpage Indonesian Hoaxes, dan Grup Sekoci. Di grup-grup diskusi
ini, warganet bisa ikut bertanya, apakah suatu informasi merupakan hoax atau
bukan, sekaligus melihat klarifikasi yang sudah diberikan oleh orang lain. Semua
anggota bisa ikut berkontribusi sehingga grup berfungsi layaknya crowdsourcing
yang memanfaatkan tenaga banyak orang.
Kemudian tips dari The Washington Post di bawah ini juga dapat digunakan
sebagai pelajaran cara untuk mencegah penyebaran berita hoax:17
17
Kompas & Kominfo, 2017, Loc. Cit.
13
1. Jangan cuma judulnya
Banyak orang sebenarnya tidak membaca konten yang mereka bagikan. Mereka
hanya membaca judulnya. Untuk mencegah Anda sendiri menjadi penyebar hoax,
hilangkanlah kebiasaan membagikan konten tanpa membaca isinya secara
menyeluruh.
2. Sumber berita
Orang sering tidak mempertimbangkan legitimasi sumber berita. Situs berita hoax
bisa muncul tiap saat, tetapi kita sebenarnya bisa menghindari jebakannya dengan
bersikap lebih hati-hati melihat sebuah situs. Sikap hati-hati ini juga berlaku bagi
narasumber yang mereka kutip, minimal dengan mencari referensi lanjutan di
Google atau situs lain yang sudah terpercaya.
3. Orang cenderung mudah terkena bias konfirmasi
Orang punya kecenderungan untuk menyukai konten yang memperkuat
kepercayaan atau ideologi diri atau kelompoknya. Hal ini membuat kita rentan
membagikan konten yang sesuai dengan pandangan kita, sekalipun konten tersebut
hoax. Jika Anda membaca berita yang betul-betul secara sempurna mengukuhkan
keyakinan Anda, Anda harus lebih berhati-hati dan tidak buru-buru memencet
tombol Share.
4. Orang mengukur legitimasi konten dari berita terkait
Sebuah berita belum tentu bukan hoax hanya karena Anda melihat konten terkait
di media sosial. Jangan buru-buru menyimpulkan lalu ikut membagikannya.
Kadang-kadang, hoax memang diolah dari berita media terpercaya, hanya saja
isinya sudah diplintir.
5. Makin sering orang melihat sebuah konten, makin mudah mereka
mempercayainya
Hanya karena banyak teman-teman Anda share berita tertentu, bukan berarti berita
tersebut pasti benar. Alih-alih langsung mempercayai dan membagikannya, Anda
14
bisa mencegah ikut ramai-ramai termakan hoax dengan melakukan pengecekan
lebih lanjut.
2.3.6. Pihak yang bertanggung jawab Mengatasi Penyebaran Informasi Hoax
Menurut Septiaji Eko Nugroho18
selaku Inisiator Masyarakat Anti-Fitnah
Indonesia (MAFINDO) dan Ketua Masyarakat Indonesia Antihoax menjelaskan
pihak-pihak yang bertanggung jawab mengatasi penyebaran informasi hoax, yaitu:
diri sendiri, keluarga, pemimpin agama, dan pemerintah.
Diri sendiri dalam hal ini dapat dilakukan terus meningkatkan kemampuan
literasi terhadap media sosial. Konsep literasi media yang mensyaratkan seseorang
untuk berkomitmen menggunakan sudut pandang kritis dan meluangkan waktu untuk
memeriksa kebenaran informasi yang ditemui. Keluarga, keluarga merupakan garda
terdepan mencegah hoaks. Orangtua harus aktif saat anak mengakses media sosial.
Pemerintah merupakan pihak yang memiliki peran besar dalam menangkal
terjadinya penyebaran informasi hoax. Pemerintah melalui elemen-elemennya seperti
Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri memberikan mengingatkan agar
generasi muda tidak sembarangan membagikan sesuatu di internet, misalnya
informasi menyinggung orang lain. Menyebarkan atau memberikan informasi buruk
di internet bisa terancaman pidana pasal 310 dan 311 KUHP dan Undang-Undang
ITE. Selain itu pemerintah melalui Kementerian Kominfo juga melakukan
pemblokiran terhadap situs-situs yang diduga menyebarkan informasi-informasi
hoax. Dan masih banyak lagi yang dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai
seminar-seminar kepada siswa SMA, mahasiswa, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, seluruh pihak juga terlibat aktif menangkal hoax, tak terkecuali
para pemimpin agama. Merespons permasalahan hoax, Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI)19
mengeluarkan Fatwa No. 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan
Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. Fatwa ini mengatur dan memberikan
18
“Cara Cerdas Mencegah Penyebaran "Hoax" di Media Sosial”, diakses dari
http://nasional.kompas.com, tanggal 17 Desember 2017. 19
Abdul Rasyid, 2017, “Interaksi Melalui Media Sosial dalam Pandangan Islam”, diakses melalui
http://business-law.binus.ac.id, tanggal 16 Desember 2017.
15
pedoman kepada masyarakat, khususnya umat Islam, tentang bagaimana tata cara
penggunanan media digital berbasis media sosial secara benar berlandaskan kepada
kepada Al-Quran, Sunnah dan pendapat para sabahat serta pakar teknologi informasi
dan komunikasi.
2.4. Black Campaigh
Kampanye dalam Pemilu pada dasarnya dianggap sebagai suatu ajang
berlangsungnya proses komunikasi politik tertentu, yang sangat tinggi intensitasnya.
Ini dikarenakan terutama dalam proses kampanye pemilu, interaksi politik
berlangsung dalam tempo yang meningkat. Setiap peserta kampanye berusaha
meyakinkan para pemberi suara/konstituen, bahwa kelompok atau golongannya
adalah calon-calon yang paling layak untuk memenangkan kedudukan.
Menurut Roger dan Storey dalam Antar (2004) memberi pengertian
kampanye sebagai serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan
menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakuan secara
berkelanjutan pada kurun waktu tertentu. Perlu diperhatikan bahwa pesan kampanye
harus terbuka untuk didiskusikan dan dikritisi. Hal ini dimungkinkan karena gagasan
dan tujuan kampanye pada dasarnya mengandung kebaikan untuk publik bahkan
sebagian kampanye ditujukan sepenuhnya untuk kepentingan dan kesejahtraan umum
(public interest).
Sementara berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD, yang dimaksud dengan kampanye adalah
kegiatan peserta pemilihan umum untuk menyakinkan para pemilih dengan
menawarkan visi misi dan program peserta pemilu. Artinya dalam pelaksanaan
pemilu (DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil, serta Gubernur dan
Bupati/Walikota) harus dilakukan dengan cara yang lurus, bersih dan terang.
Kampanye hitam diyakini sebagai salah satu metode yang efektif untuk
menjatuhkan dan menghancurkan lawan. Permasalahan kampanye hitam bukan hanya
menjadikan lemahnya pengawasan standar moral dan lemahnya aturan hukum,
16
ditambah regulasi politik saat ini tidak mengatur secara tegas. Istilah kampanye
hitam adalah terjemahan dari bahasa Inggris black Campaigh yang bermakna
berkampanye dengan cara buruk atau jahat. Secara umum bentuk kampanye hitam
adalah menyebarkan keburukan atau kejelekan seorang politikus dengan tujuan
menjatuhkan nama baik seorang politikus sehingga dia menjadi tidak disenangi
teman-teman separtainya, khalayak pendukungnya dan masyarakat umum. Apabila
teman-teman separtai tidak menyenanginya, maka bisa berakibat yang bersangkutan
dikeluarkan dari partainya dan ini berarti karir politiknya di partai tersebut hancur.20
Selain itu, menjatuhkan nama baik seorang politikus dengan tujuan
menjatuhkan nama baik parpol tempat si politikus yang berkarir, yang berefek kepada
politikus-politikus lain di parpol tersebut atau bahkan sekaligus menggagalkan calon
presiden yang didukung parpol tersebut. Cara-cara yang dipakai dalam berkampanye
hitam adalah :21
1. Menyebarkan kejelekan atau keburukan tentang seseorang politikus, dengan cara
memunculkan cerita buruk di masa lalunya, menyebarkan cerita yang
berhubungan dengan kasus hukum yang sedang berlangsung, atau menyebarkan
cerita bohong atau fitnah lainnya.
2. Untuk menguatkan cerita tersebut biasanya si penyebar cerita akan menyertakan
berupa bukti foto. Foto-foto tersebut bisa saja benar-benar terjadi, bisa juga
benar-benar terjadi tapi tidak terkait langsung dengan permasalahan, namun si
penyebar foto berharap asumsi masyarakat terbentuk atau bisa juga foto tersebut
hasil rekayasa / manifulasi dengan bantuan teknologi komputer.
3. Yang lebih hebat lagi adalah apabila dimunculkan saksi hidup yang bercerita
perihal keburukan, atau pekerjaan jahat si politikus, baik di masa lalu maupun
yang masih belum lama terjadi.
20
Anwariansyah, 2008, Kampanye Hitam Dan Pendidikan Politik Bangsa, diakses dari
http://www.wikimu.com/news/DisplayNews.aspx?id=10152. 21
Grendi Hendrastomo, 2009. Demokrasi dan Politik Pencitraan Perang Iklan Politik Menuju
Demokratisasi di Indonesia. DIMENSIA, Volume 3, No. 2, September 2009, hal. 1-13
17
Kampanye hitam bukanlah sebuah pilihan dalam berpolitik. Selain
mengandung unsur jahat dan melanggar norma, baik masyarakat atau pun agama,
kampanye hitam juga memberikan pendidikan politik yang jelek bagi
masyarakat. Upaya Menghalalkan segala cara yang melandasi dipilihnya bentuk
kampanye hitam menunjukkan masih buruknya moral dan keimanan seorang
politikus yang melakukan hal tersebut. Sehingga dengan adanya kampanye hitam
dapat mempengaruhi pencitraan terhadap kandidat calon dari partai politik tertentu.
Padahal politik pencintraan intinya ingin membuat orang lain (pemilih) terpesona,
kagum, memunculkan rasa ingin tau, memunculkan kedekatan yang memang sengaja
dibangun demi popularitas. Selama ini apabila berbicara tentang pencitraan mau tidak
mau selalu kita identikkan dengan media, iklan televisi, radio22
.
Dalam demokrasi, pencitraan menjadi penting karena adanya representatif
suara yang disematkan ketika seseorang berlomba-lomba menjadi “wakil rakyat”.
Seseorang yang ingin menjadi wakil rakyat paling tidak harus dikenal massa pemilih
dan kepentingan untuk menampilkan sosok dirinya dengan harapan massa pemilih
akan memilih dirinya. Demi meraih suara konstituen dengan mengobral janji-janji,
berjualan perubahan, meyakinkan massa akan memperjuangkan aspirasi mereka
hingga pemberian dana pembangunan apabila kelak benar-benar terpilih23
.
Kampanye hitam merupakan trend universal di gelanggang politik dunia. Di
negara-negara yang demokrasinya sudah matang sekalipun, kampanye terhadap
keburukan-keburukan lawan sering dilakukan. Namun, dalam konteks Indonesia yang
memiliki kultur Ketimuran yang kuat, membuka keburukan-keburukan lawan masih
belum bisa diterima secara terbuka, kecuali dalam kasus-kasus yang merugikan
publik secara luas, seperti kasus korupsi.
22
Grendi Hendrastomo, 2009, Loc.Cit, hal. 1-13. 23
Haryatmoko, 2008., Demokrasi Dikoreksi [online], diakses dari http://www.kompas.com/kompa
scetak.php/read/xml/2008/04/23/ 00263239/demokrasi.dikoreksi
18
2.5. Kajian Penelitian Sebelumnya
Tabel 1.
Kajian Penelitian Sebelumnya
Nama Judul Hasil Universitas
Nawiroh Vera
(2016)
Media Sosial dan
Runtuhnya Etika
Komunikasi (Studi Kasus
pada Akun Facebook
Quraish Shihab dan
Anies-Sandy)
Komunikasi di media sosial banyak melupakan etika
dalam berkomunikasi. Media sosial seperti facebook
dijadikan alat untuk menjatuhkn citra seseorang atau
kelompok tertentu
Universitas Budi
Luhur Jakarta
Ratna Istriyani
dan Nur Huda
Widiana (2016)
Etika Komunikasi Islam
Dalam Membendung
Informasi Hoax di Ranah
Publik Maya
Maraknya hoax di dunia maya seharusnya menjadikan
pelajaran pada masyarakat untuk tetap selektif dalam
mengupload, menerima informasi, mencari berita,
menjadikan internet sebagai sumber informasi setiap
saat. Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika kita
mencari sumber yang valid diantaranya adalah
mencari kejelasan pada sumber yang dituju baik
secara personal maupun organisasi yang dapat
dipertanggung jawabkan. Hal ini dilakukan untuk
menghindari informasi yang tidak terverifikasi
kebenarannya. Selain itu kejelasan siapa penulisnya
harus menjadi dasar kita untuk mempercayai suatu
informasi. Sehingga reputasi dari sumber yang kita
gunakan tidak sekedar opini atau spekulasi semata,
yang lebih mengedepankan prinsip-prinsip
subjektifitas. Satu hal yang tidak bisa kita tinggalkan
adalah memeriksa kapan situs yang dijadikan
referensi itu dibuat sehingga kita dapat kross cek
dengan sumber-sumber lainnya. Apakah kita
mendapatkan data dan informasi yang up to date atau
bahkan sebaliknya data dan informasi yang kita
adopsi ternyata sudah usang yang mengakibatkan
tidak sesuai dengan perkembangan waktu.
Sekolah Tinggi
Agama Islam
Negeri (STAIN)
Kudus
Puji Rianto (2016) Media Jejaring Sosial dan
Persoalan Etika dalam
Media Baru
Kajian ini menemukan bahwa pertimbangan etis harus
dilakukan dalam setiap tindakan komunikasi karena
sifat otonomi dan kebebasan media baru serta jejaring
sosial media tersebut. Dalam hal ini, tuntutan etika
muncul bukan hanya prasyarat otonomi dan
kebebasan, tapi juga sifat ‟sosial‟ media baru.
Universitas Islam
Indonesia
Roswita
Oktavianti, dan
Riris Loisa (2017)
Penggunaan Media Sosial
Sesuai Nilai Luhur
Budaya di Kalangan
Siswa SMA
Dari hasil survei yang dilakukan sebelum
pembekalan, diketahui sebagian besar siswa sudah
mampu mengenali berita/informasi palsu (hoax) atau
tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya. Namun
demikian, masih ada beberapa siswa yang belum
mampu mengenali Berita palsu tersebut. Setelah
dilakukan pembekalan, seluruh siswa mampu
menunjukkan informasi yang patut disebarkan dan
tidak disebarkan, mengenali atau mengidentifiasi
berita palsu, ragam informasi berita palsu, dan
langkah yang diambil ketika menerima berita alsu
tersebut.
Universitas
Tarumanegara
19
2.6. Model Kerangka Pemikiran
Gambar 3.
Model Kerangka Pemikiran
MEDIA MASSA
TEORI KOMUNIKASI POLITIK
Teori Khalayak Kepala Batu
(The Obstinate Audience Theory) Teori Jarum Hipodermik
(Hypodermic Needle Theory)
INFORMASI HOAX
BLACK CAMPAIGN
Mengetahui peran media dalam penyebaran informasi hoax yang menimpa Prabowo
Subiato terkait dengan “Mahar Politik”.