bab ii landasan teori a. 1.sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/bab214111410011.pdfsama dalam...

34
BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1. Masyarakat a. Pengertian Masyarakat Masyarakat merupakan wadah untuk membentuk kepribadian diri setiap kelompok manusia atau suku yang berbeda satu dengan yang lainnya. Selain itu masyarakat adalah kelompok manusia yang tinggal menetap dalam suatu wilayah yang tidak terlalu jelas batas-batasnya, berinteraksi menurut kesamaan pola tertentu, diikat oleh suatu harapan dan kepentingan yang sama, keberadaannya berlangsung terus-menerus, dengan suatu rasa identitas yang sama. Dalam bahasa ingris masyarakat disebut society, yang berasal dari kata Latin “socius” yang berarti: teman atau kawan. Kata masyarakat berasal dari bahasa Arab syirksama-sama menunjuk pada apa yang kita maksud dengan kata masyarakat, yakni sekelompok orang yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam suatu proses pergaulan, yang berlangsung secara berkesinambungan. Pergaulan ini terjadi karena adanya nilai-nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur serta harapan dan keinginan yang merupakan kebutuhan bersama. Hal-hal yang disebut terakhir inilah merupakan tali pengikat bagi sekelompok orang yang disebut masyarakat (Antonius Atosokhi Gea dkk, 2003 : 30-31). Berikut beberapa pendapat dari para ahli mengenai konsep masyarakat adalah sebagai berikut : Menurut Horton dalam M. Zaini Hasan dkk, (1996 : 12-13) mengatakan masyarakat adalah sekumpulan manusia yang relatif mandiri, yang hidup bersama-sama dalam waktu relatif lama mendiami kawasan tertentu, memiliki kebudayaan relatif lama, serta melakukan aktivitas yang cukup lama pada kelompok tersebut. Lebih lanjut Horton dalam M. Zaini Hasan dkk, (1996 : 247) mengatakan bahwa masyarakat 6

Upload: others

Post on 09-Feb-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 6

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. Kajian Teori

    1. Masyarakat

    a. Pengertian Masyarakat

    Masyarakat merupakan wadah untuk membentuk kepribadian

    diri setiap kelompok manusia atau suku yang berbeda satu dengan yang

    lainnya. Selain itu masyarakat adalah kelompok manusia yang tinggal

    menetap dalam suatu wilayah yang tidak terlalu jelas batas-batasnya,

    berinteraksi menurut kesamaan pola tertentu, diikat oleh suatu harapan

    dan kepentingan yang sama, keberadaannya berlangsung terus-menerus,

    dengan suatu rasa identitas yang sama.

    Dalam bahasa ingris masyarakat disebut society, yang berasal

    dari kata Latin “socius” yang berarti: teman atau kawan. Kata masyarakat

    berasal dari bahasa Arab “syirk” sama-sama menunjuk pada apa yang

    kita maksud dengan kata masyarakat, yakni sekelompok orang yang

    saling mempengaruhi satu sama lain dalam suatu proses pergaulan,

    yang berlangsung secara berkesinambungan. Pergaulan ini terjadi karena

    adanya nilai-nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur serta harapan

    dan keinginan yang merupakan kebutuhan bersama. Hal-hal yang disebut

    terakhir inilah merupakan tali pengikat bagi sekelompok orang yang

    disebut masyarakat (Antonius Atosokhi Gea dkk, 2003 : 30-31).

    Berikut beberapa pendapat dari para ahli mengenai konsep

    masyarakat adalah sebagai berikut :

    Menurut Horton dalam M. Zaini Hasan dkk, (1996 : 12-13)

    mengatakan masyarakat adalah sekumpulan manusia yang relatif

    mandiri, yang hidup bersama-sama dalam waktu relatif lama mendiami

    kawasan tertentu, memiliki kebudayaan relatif lama, serta melakukan

    aktivitas yang cukup lama pada kelompok tersebut. Lebih lanjut Horton

    dalam M. Zaini Hasan dkk, (1996 : 247) mengatakan bahwa masyarakat

    6

  • 7

    adalah sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah tertentu, yang

    memiliki pembagian kerja yang berfungsi khusus dan saling tergantung

    (interdependent), dan memiliki sistem sosial budaya yang mengatur

    kegiatan para anggota, yang memiliki kesadaran akan kesatuan dan

    perasaan memiliki, serta mampu untuk bertindak dengan cara yang

    teratur.

    Menurut Bouman dalam M. Zaini Hasan dkk, (1996 : 12)

    mengatakan bahwa “masyarakat adalah pergaulan hidup yang akrab

    antara manusia, dipersatukan dengan cara tertentu oleh hasrat-hasrat

    kemasyarakatan mereka”.

    Menurut Maclver dalam Harsojo, (1999 : 127) mengatakan

    masyarakat adalah “satu sistem dari cara kerja dan prosedur, dari otoritas

    dan saling bantu-membantu yang meliputi kelompok-kelompok dan

    pembagian sosial lain, sistem dan pengawasan tingkah laku manusia dan

    kebebasan”.

    Menurut Banks, Clegg dan Stewart dalam M. Zaini Hasan dkk,

    (1996 : 79) mengatakan bahwa “masyarakat adalah suatu kelompok

    hidup manusia disuatu wilayah tertentu, yang telah berlangsung dari

    generasi ke generasi, dan sedikit banyak independen (self sufficient)

    terhadap kelompok hidup lainnya”.

    Menurut Koentjaraningrat dalam Usman Pelly dkk, (1994 : 29)

    mengemukakan masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang

    berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat

    kontinu, dan yang terikat oleh rasa identitas bersama. Lebih lanjut

    Koentjaraningrat (2002 : 144) mendefinisikan masyarakat adalah

    memang sekumpulan manusia yang saling “bergaul”, atau dengan istilah

    ilmiah, saling “berinteraksi”.

    Menurut Kingsley Davis dalam Soerjono Soekanto, (1982 : 266)

    mengatakan masyarakat adalah “sistem hubungan dalam arti hubungan

    antara organisasiorganisasi, dan bukan hubungan antar sel-sel”.

  • 8

    Menurut Emile Durkheim dalam Soleman B. Taneko, (1984: 11)

    bahwa masyarakat merupakan suatu kenyataan yang obyektif secara

    mandiri, bebas dari individu-individu yang merupakan anggota-

    anggotanya.

    Dari beberapa pendapat para ahli di atas penulis mengambil suatu

    kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat adalah

    sekelompok manusia yang hidup bersama-sama untuk mendiami wilayah

    tertentu dan saling bergaul serta mempunyai kebudayaan dan memiliki

    pembagian kerja, dalam waktu relatif lama, saling tergantung

    (interdependent), memiliki sistem sosial budaya yang mengatur kegiatan

    para anggota serta memiliki kesadaran akan kesatuan dan perasaan

    memiliki, mampu untuk bertindak dengan cara yang teratur dan bekerja

    sama dalam melakukan aktivitas yang cukup lama pada kelompok

    tersebut.

    Masyarakat sebagai sekumpulan manusia didalamnya ada

    beberapa unsur yang mencakup. Adapun unsur-unsur tersebut adalah:

    1) Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama;

    2) Bercampur untuk waktu yang cukup lama;

    3) Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan;

    4) Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama.

    Menurut Emile Durkheim dalam Djuretnaa Imam Muhni, (1994:

    29-31) keseluruhan ilmu pengetahuan tentang masyarakat harus didasari

    pada prinsip-prinsip fundamental yaitu realitas sosial dan kenyataan

    sosial. Kenyataan sosial diartikan sebagai gejala kekuatan sosial didalam

    bermasyarakat. Masyarakat sebagai wadah yang paling sempurna bagi

    kehidupan bersama antar manusia.

    Dari beberap penjelasan para ahli di atas, penulis mengambil

    sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat adalah

    sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dalam suatu wilayah

    tertentu dan saling bekerja sama, memiliki pembagian kerja sehingga

    mereka dapat berorganisasi serta mempunyai kebiasaan-kebiasaan,

  • 9

    tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama untuk mencapai suatu

    tujuan tertentu.

    b. Masyarakat Desa

    Pada umumnya pengertian desa dikaitkan dengan pertanian, yang

    sebenarnya masih bisa didefinisikan lagi berdasarkan pada jenis dan

    tingkatannya. Masyarakat desa yaitu masyarakat yang ruang lingkupnya

    berada di desa dan cenderung hidup secara tradisional serta memegang

    adat istiadat. Menurut P.H Landis terdapat tiga definisi tentang desa yaitu

    pertama desa itu lingkungan yang penduduknya kurang dari 2.500 orang,

    kedua desa adalah suatu lingkungan yang penduduknya mempunyai

    hubungan yang saling akrab serba informal satu sama lain, dan yang

    ketiga desa adalah suatu lingkungan yang penduduknya hidup dari

    pertanian.

    Sedangkan menurut Koentjaraningrat desa adalah suatu

    komunitas kecil yang menetap secara tetap di suatu tempat (Rahadjo,

    2010 : 29), masyarakat desa itu sendiri mempunyai karakteristik seperti

    yang dikemukakan oleh Roucek dan Warren mereka menggambarkan

    karakteristik masyarakat desa sebagai berikut (Jefta Leibo, 1995:7).

    1) Besarnya peranan kelompok primer

    2) Faktor geografis menentukan dasar pembentukan kelompok atau

    asosiasi

    3) Hubungan lebih bersifat akrab dan langgeng

    4) Homogen

    5) Keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi

    6) Populasi anak dalam proporsi yang lebih besar

    Karakteristik desa sangat diperlukan adanya pembagian desa

    atau biasa disebut dengan tipologi desa. Tipologi desa itu sendiri akan

    mudah diketahui jika dihubungkan dengan kegiatan pokok yang ditekuni

    oleh masyarakat itu dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,

    adapun pembagiannya sebagai berikut (Jefta Leibo, 1995: 18):

    1) Desa Pertanian

  • 10

    Pada jenis desa ini semua kegiatan masyarakatnya terlibat dalam

    bidang pertanian.

    2) Desa Industri

    Pada jenis desa ini pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup

    sehari-hari lebih banyak bergantung pada sektor industri baik

    industri kecil maupun industri besar.

    3) Desa Nelayan atau Desa Pantai

    Pada jenis desa ini pusat kegiatan dari seluruh anggota

    masyarakatnya bersumber pada usaha-usaha di bidang perikanan

    baik perikanan laut, pantai, maupun darat.

    4) Desa Pariwisata

    Pada jenis desa ini terdapat obyek wisata seperti peninggalan-

    peninggalan kuno, keistimewaan kebudayaan rakyat, dan juga

    terdapat keindahan alam.

    Kebudayaan yang terdapat pada masyarakat desa masih tergolong

    masuk dalam kategori yang belum maju dan masih sederhana.

    Kebanyakan orang menganggap bahwa masyarakat desa khususnya

    masyarakat petani masih dianggap secara umum yang mana mereka

    dianggap seragam atau sama antara masyarakat petani yang satu dengan

    yang lain.

    Kebudayaan tradisional masyarakat desa merupakan suatu hasil

    produk dari besar kecilnya pengaruh alam terhadap masyarakat yang

    bergantung pada alam itu sendiri. Menurut P. H Landis besar kecilnya

    pengaruh alam terhadap pola kebudayaan masyarakat desa ditentukan

    sebagai berikut :

    1) Sejauh mana ketergantungan mereka terhadap pertanian.

    2) Sejauh mana tingkat teknologi yang mereka miliki.

    3) Sejauh mana sistem produksi yang diterapkan.

    Ketiga faktor diatas menjadikan faktor determinan bagi

    terciptanya kebudayaan tradisional masyarakat desa yang artinya

    kebudayaan tradisional akan tercipta apabila masyarakatnya sangat

  • 11

    tergantung pada pertanian, tingkat teknologi yang rendah dan

    produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga (Rahardjo,

    2010: 66).

    c. Masyarakat Kota

    Masyarakat perkotaan sering disebut juga urban community yaitu

    masyarakat yang tidak tertentu jumlah penduduknya. Pengertian kota

    sendiri adalah suatu himpunan penduduk masalah yang tidak agraris,

    bertempat tinggal di dalam dan di sekitar suatu kegiatan ekonomi,

    pemerintah, kesenian, ilmu pengetahuan dan sebagainya.

    Kota merupakan suatu daerah yang memiliki ciri-ciri khusus yang

    dapat membedakannya dengan daerah desa, seperti pemusatan jumlah

    penduduk, pusat pemerintahan dan sarana prasarana penunjang aktivitas

    manusia yang relatif lebih lengkap di bandingkan dengan daerah desa,

    menurut Bintarto ( 1989 : 36 ):

    “Kota ialah suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang di

    tandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai

    dengan strata sosial ekonomi yang heterogen secara materialis serta

    dapat pula diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh

    unsur alami dan unsur-unsur non alami dengan gejala-gejala

    penduduk yang cukup besar dan dengan corak kehidupan yang

    heterogen materialistis dibandingkan dengan daerah belakangnya”.

    Kota besar merupakan tempat berlangsungnya peningkatan dan

    pengembangan banyak dimensi kehidupan, serta tempat

    berkonsentrasinya warga baru yang berdatangan setiap saat. Banyak

    masalah yang dihadapi masyarakat kota besar, misalnya:

    1) Skala jarak yang semakin besar memisahkan tempat kerja dengan

    tempat tinggal yang membutuhkan waktu, energi dan biaya yang

    besar pula.

    2) Buruknya kondisi perumahan baik kualiatas maupun kuantitasnya,

    penanganan limbah yang buruk, pencemaran udara, kebisingan dan

    masalah-masalah lainnya yang meningkatkan biaya hidup warganya.

  • 12

    3) Keterbatasan fasilitas dan pelayanan publik, lapangan kerja, dan

    persaingan yang ketat, gejala-gejala pengangguran, bentuk-bentuk

    kejahatan dan perilaku-perilaku yang tidak layak lainnya.

    Tanggung jawab perbaikan mutu kehidupan kota memang berada

    ditangan pemerintah baik lokal, regional, maupun nasional akan tetapi

    partisipasi warga kota ikut menentukan keberhasilan perbaikan

    kehidupan kota yang bersangkutan. Oleh karena itu warga harus ikut

    berperan dan berpartisipasi aktif untuk meningkatkan kualitas kehidupan

    perkotaan.

    Masyarakat kota sering dicirikan dengan masyarakat modern.

    Adapun ciri-ciri masyarakat modern menurut Mutakin (2007:104), antara

    lain :

    1) Hubungan antar sesama nyaris hanya didasarkan pada pertimbangan

    untuk kepentingan pribadi.

    2) Hubungan dengan masyarakat lain berlangsung secara terbuka dan

    saling mempengaruhi.

    3) Menyakini bahwa iptek memiliki kemanfaatan untuk meningkatkan

    kualitas hidupnya.

    4) Masyarakat kota berdeferensi atas dasar perbedaan profesi dan

    keahlian sebagai fungsi pendidikan serta pelatihan.

    5) Tingkat pendidikan masyarakat kota relatif lebih tinggi bila

    dibandingkan dengan masyarakat pedesaan.

    6) Aturan-aturan atau hukum yang berlaku dalam masyarakat perkotaan

    lebih berorientasi pada aturan atau huku formal yang bersifat

    kompleks.

    7) Tata ekonomi yang berlaku bagi masyarakat kota umumnya ekonomi

    pasar yang berorientasi pada nilai uang, persaingan, dan nilai-nilai

    inovatif lainnya.

    8) Kehidupan keagamaannya berkurang, kadangkala tidak terlalu

    dipikirkan karena memang kehidupan yang cenderung kearah

    keduniaan saja.

  • 13

    9) Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa

    harus berdantung pada orang lain (Individualisme).

    Sedangkan, beberapa ciri-ciri sosial kehidupan masyarakat kota,

    antara lain:

    1) Pelapisan Sosial Ekonomi

    Perbedaan tingkat pendidikan dan status sosial dapat menimbulkan

    suatu keadaan yang heterogen.

    2) Individualisme

    Perbedaan status sosial-ekonomi maupun kultural dapat

    menimbulkan sifat “individualisme”.

    3) Toleransi Sosial

    Kesibukan masing-masing warga kota dalam tempo yang cukup

    tinggi dapat mengurangi perhatiannya kepada sesamanya. Apabila

    ini berlebihan maka mereka mampu akan mempunyai sifat acuh tak

    acuh atau kurang mempunyai toleransi sosial. Di kota masalah ini

    dapat diatasi dengan adanya lembaga atau yayasan yang

    berkecimpung dalam bidang kemasyarakatan.

    4) Jarak Sosial

    Kepadatan penduduk di kota-kota memang pada umumnya dapat

    dikatakan cukup tinggi. Biasanya sudah melebihi 10.000 orang/km2.

    Jadi, secara fisik di jalan, di pasar, di toko, di bioskop dan di tempat

    yang lain warga kota berdekatan tetapi dari segi sosial berjauhan,

    karena perbedaan kebutuhan dan kepentingan.

    5) Pelapisan Sosial

    Perbedaan status, kepentingan dan situasi kondisi kehidupan kota

    mempunyai pengaruh terhadap sistem penilaian yang berbeda

    mengenai gejala-gejala yang timbul di kota. Penilaian dapat

    didasarkan pada latar belakang ekonomi, pendidikan dan filsafat.

    Perubahan dan variasi dapat terjadi, karena tidak ada kota yang sama

    persis struktur dan keadaannya.

    Bertambahnya penghuni kota baik berasal dari dari penghuni kota

    maupun dari arus penduduk yang masuk dari luar kota mengakibatkan

  • 14

    bertambahnya perumahan-perumahan yang berarti berkurangnya daerah-

    daerah kosong di dalam kota. Semakin banyaknya anak-anak kota yang

    menjadi semakin banyak pula diperlukan gedung-gedung sekolah.

    Bertambah pelajar dan mahasiswa berarti bertambah juga jumlah sepeda

    dan kendaraan bermotor roda dua. Toko-toko. Warung makan atau

    restoran bertambahnya terus sehingga makin mempercepat habisnya

    tanah-tanah kosong di dalam kota. Kota terpaksa harus diperluas secara

    bertahap menjauhi kota.

    Masyarakat kota adalah masyarakat yang anggota-anggotanya

    terdiri dari manusia yang bermacam-macam lapisan/tingkatan hidup,

    pendidikan, kebudayaan dan lain-lain. Mayoritas penduduknya hidup

    berjenis-jenis usaha yang bersifat non-agraris.

    2. Interaksi Sosial dan Proses Sosial

    a. Pengertian Interaksi Sosial

    Sebagai makhluk individual manusia mempunyai dorongan atau

    motif untuk mengadakan hubungan dengan dirinya sendiri, sedangkan

    sebagai makhluk sosial manusia mempunyai dorongan untuk

    mengadakan hubungan dengan orang lain. Dengan adanya dorongan atau

    motif sosial pada manusia, maka manusia akan mencari orang lain untuk

    mengadakan hubungan atau untuk mengadakan interaksi. Dengan

    demikian maka akan terjadilah interaksi antara manusia satu dengan

    manusia yang lain.

    Interaksi sosial adalah hubungan antar individu satu dengan

    individu lainnya. Individu satu dapat mempengaruhi yang lain begitu

    juga sebaliknya. Pada kenyataannya interaksi yang terjadi sesungguhnya

    tidak sesederhana kelihatannya melainkan merupakan suatu proses yang

    sangat kompleks. Interaksi terjadi karena ditentukan oleh banyak faktor

    termasuk manusia lain yang ada di sekitar yang memiliki juga perilaku

    spesifik.

    Di dalam interaksi sosial ada kemungkinan individu dapat

    menyesuaikan dengan yang lain atau sebaliknya. Pengertian penyesuaian

  • 15

    di sini dalam arti yang luas yaitu bahwa individu dapat melebur diri

    dengan keadaan di sekitarnya atau sebaliknya individu dapat mengubah

    lingkungan sesuai dengan keadaan dalam diri individu, sesuai dengan apa

    yang diinginkan oleh individu yang bersangkutan.

    Pengertian Interaksi Sosial dikemukakan oleh Soerjono Soekanto,

    Interaksi sosial adalah dasar dari proses sosial yang terjadi akibat adanya

    hubungan-hubungan sosial yang dinamis, dalam hal ini mencakup

    hubungan antarindividu, antarkelompok maupun yang terjadi antara

    individu dan kelompok.

    Menurut Bonner, Pengertian interaksi sosial adalah suatu

    hubungan yang antara dua orang atau lebih individu, dimana kelakuan

    dari individu saling mempengaruhi dan mengubah satu sama lainnya.

    Thibaut dan Kelley mengemukakan pengertian interaksi sosial,

    Interaksi Sosial merupakan peristiwa saling mempengaruhi satu sama

    lain ketika dua orang atau lebih hadir secara bersamaan, mereka

    menciptakan suatu hasil satu sama lain atau berkomunikasi antara satu

    sama lain.

    Pengertian Interaksi Sosial menurut pendapat Gillin, Interaksi

    Sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis, dimana

    menyangkut hubungan antarindividu dan kelompok atau antarkelompok.

    Di dalam hubungan sosial ini, individu maupun kelompok bekerja sama

    atau yang berkonflik, melakukan interaksi baik itu formal atau tidak

    formal yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung.

    Menurut Homans, Pengertian Interaksi Sosial ialah suatu proses

    dimana aktivitas yang dilakukan oleh seseorang terhadap individu lain

    diberikan ganjaran atau hukuman dengan menggunakan suatu tindakan

    oleh individu lain yang menjadi pasangannya. Dalam hal ini, suatu

    tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam interaksi merupakan suatu

    reaksi balasan bagi tindakan individu lain yang menjadi pasangannya.

    Dari pengertian interaksi sosial yang diungkapkan para pakar di

    atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa interaksi sosial adalah suatu proses

  • 16

    sosial dimana terjadi hubungan antara individu yang satu dengan yang

    lainnya, individu dengan kelompok maupun yang terjadi antara

    kelompok dengan kelompok.

    Bentuk umum dari proses sosial merupakan interaksi sosial.

    Interaksi sosial adalah syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial.

    Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa bentuk lain dari proses sosial hanya

    merupakan bentuk-bentuk khusus dari interaksi sosial. Jadi, interasi

    sosial adalah hubungan sosial yang dinamis dimana menyangkut

    hubungan antara orang perorangan, antar kelompok-kelompok manusia,

    maupun yang terjadi antara orang perorangan dengan kelompok manusia.

    b. Syarat-syarat Terjadinya Interaksi Sosial

    Berbicara mengenai syarat syarat terjadinya interaksi sosial, maka

    suatu interaksi sosial tidak akan dapat terjadi apabila tidak memenuhi dua

    syarat, yaitu :

    1) Syarat terjadinya Interaksi Sosial adanya Kontak Sosial (Social

    Contact)

    Syarat terjadi interaksi sosial yang pertama adalah adanya

    kontak sosial. Kontak sosial merupakan hubungan sosial yang terjadi

    baik secara fisik maupun non fisik. Kontak sosial yang terjadi secara

    fisik yaitu bertemunya individu secara langsung, sedangkan kontak

    sosial yang terjadi secara non fisik yaitu pada percakapan yang

    dilakukan tanpa bertemu langsung, misalnya berhubungan melalui

    media elektronik seperti telepon, radio dan lain sebagainya.

    Dalam interaksi sosial, kontak sosial juga dapat bersifat

    positif atau negatif. Dalam hal ini, kontak sosial yang bersifat positif

    mengarah pada suatu kerja sama, sedangkan kontak sosial yang

    bersifat negatif mengarah pada suatu pertentangan atau bahkan sama

    sekali tidak menghasilkan suatu interaksi sosial.

    Dalam Interaksi Sosial, Kontak sosial dapat pula bersifat

    primer dan sekunder. Kontak sosial primer terjadi apabila yang

    mengadakan hubungan langsung bertemu dan berhadapam muka,

  • 17

    misalnya apabila orang-orang tersebut berjabat tangan, saling

    senyum. Sebaliknya kontak sosial yang sekunder memerlukan suatu

    perantara.

    2) Syarat terjadinya Interaksi Sosial adanya Komunikasi

    Syarat terjadinya interaksi sosial yang kedua adalah adanya

    komunikasi. Komunikasi adalah memberikan tafsiran pada perilaku

    orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak tubuh maupun

    sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang

    tersebut. Individu yang bersangkutan kemudian memberikan reaksi

    terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh individu lain

    tersebut. Jadi komunikasi merupakan suatu proses dimana satu sama

    lainnya saling mengerti maksud atau perasaan masing-masing, tanpa

    mengerti maksud atau perasaan satu sama lainnya tidak dapat

    dikatakan sebagai komunikasi.

    Dari kedua syarat terjadinya interaksi sosial di atas, dapat

    disimpulkan bahwa terjadinya interaksi sosial harus adanya kontak sosial

    dan komunikasi. Jika salah satu syarat tidak dipenuhi, maka tidak dapat

    dikatakan sebagai interaksi sosial. Adanya kontak sosial yang terjadi

    tanpa adanya saling mengerti maksud atau perasaan masing-masing,

    maka bukan merupakan proses interaksi sosial. Jadi disini Interaksi sosial

    merupakan kontak sosial yang terjadi, dimana saling mengerti maksud

    atau perasaan masing-masing.

    c. Faktor-faktor Dasar Penyebab Interaksi Sosial

    Faktor-faktor terjadinya interaksi sosial sosial sebagai berikut:

    1) Faktor imitasi

    Imitasi merupakan dorongan untuk meniru orang lain.

    Menurut Tarde faktor imitasi ini merupakan satu-satunya faktor yang

    mendasari atau melandasi interaksi sosial. Seperti yang dikemukakan

    oleh Gerungan (1966:36), imitasi tidak berlangsung secara otomatis

    melainkan dipengaruhi oleh sikap menerima dan mengagumi terhadap

    apa yang diimitasi. Untuk mengadakan imitasi atau meniru ada faktor

  • 18

    psikologis lain yang berperan. Dengan kata lain imitasi tidak

    berlangsung secara otomatis, tetapi ada faktor lain yang ikut berperan,

    sehingga seseorang mengadakan imitasi. Bagaimana orang dapat

    mengimitasi sesuatu kalau orang yang bersangkutan tidak mempunyai

    sikap menerima terhadap apa yang diimitasi itu. Dengan demikian

    untuk mengimitasi sesuatu perlu adanya sikap menerima, ada sikap

    mengagumi terhadap apa yang diimitasi itu, karena itu imitasi tidak

    berlangsung dengan sendirinya.

    2) Faktor sugesti

    Sugesti adalah pengaruh psikis yang diterima tanpa adanya kritik

    Yang dimaksud dengan sugesti ialah pengaruh psikis, baik yang

    datang dari diri sendiri, maupun yang datang dari orang lain, yang

    pada umumnya diterima tanpa adanya kritik dari individu yang

    bersangkutan. Karena itu segesti dapat dibedakan (1) auto sugesti,

    yaitu sugesti terhadap diri sendiri, sugesti yang datang dari dalam diri

    individu yang bersangkutan, dan (2) hetero sugesti, yaitu sugesti yang

    datang dari orang lain. Misal sering seseorang merasa sakit-sakit saja,

    walaupun secara obyektif yang bersangkutan dalam keadaan sehat-

    sehat saja terapi karena auto-sugesti orang tersebut merasa tidak

    dalam keadaan sehat, maka ia merasa tidak sehat.

    3) Faktor identifikasi

    Identifikasi adalah dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan

    orang lain. Identifikasi adalah suatu istilah yang dikemukakan oleh

    Freud, seorang tokoh dalam psikologi dalam, khususnya dalam

    psikoanalisis. Contoh anak-anak belajar norma-norma sosial dari hasil

    identifikasinya terhadap orang tua mereka. Di dalam identifikasi anak

    akan mengabil oper sikap-sikap ataupun norma-norma dari orang

    tuanya yang dijadikan tempat identifikasi itu. Dalam proses

    identifikasi ini seluruh norma-norma, cita-cita, sikap dan

    sebagainyadari orang tua sedapat mungkin dijadikan norma-norma,

  • 19

    sikap-sikap dan sebagainya itu dari anak sendiri, dan anak

    menggunakan hal tersebut dalam perilaku sehari-hari.

    4) Faktor Simpati

    Simpati merupakan perasaan tertarik kepada orang lain. Oleh karena

    merupakan perasaan maka timbulnya atas dasar emosi. Dalam simpati

    orang merasa tertarik pada orang lain yang seakan-akan berlangsung

    dengan sendirinya, apa sebabnya tertarik sering tidak dapat

    memberikan penjelasan lebih lanjut. Lawan dari simpati adalah

    antipati yaitu merupakan penolakan atau bersifat negatif. Sedangkan

    empati adalah kecenderungan untuk ikut merasakan segala sesuatu

    yang sedang dirasakan orang lain (feeling with another person).

    d. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial

    Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama

    (cooperation), persaingan (competition), dan bahkan dapat juga

    berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). Pertikaian mungkin

    akan mendapatkan suatu penyelesaian, namun penyelesaian tersebut

    hanya akan dapat diterima untuk sementara waktu, yang dinamakan

    akomodasi. Ini berarti kedua belah pihak belum tentu puas sepenunya.

    Suatu keadaan dapat dianggap sebagai bentuk keempat dari interaksi

    sosial. Keempat bentuk poko dari interaksi sosial tersebut tidak perlu

    merupakan suatu kontinuitas, di dalam arti bahwa interaksi itu dimulai

    dengan kerja sama yang kemudian menjadi persaingan serta memuncak

    menjadi pertikaian untuk akhirnya sampai pada akomodasi.

    Gillin dan Gillin mengadakan penggolongan yang lebih luas lagi.

    Menurut mereka, ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai

    akibat adanya interaksi sosial :

    1) Proses-proses yang Asosiatif

    a) Kerja Sama (Cooperation)

    Suatu usaha bersama antara orang perorangan atau

    kelompok manusia untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan

    bersama. Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila orang

  • 20

    dapat digerakan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus

    ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari

    mempunyai manfaat bagi semua. Juga harus ada iklim yang

    menyenangkan dalam pembagian kerja serta balas jasa yang akan

    diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahlian-keahlian

    tertentu diperlukan bagi mereka yang bekerja sama supaya

    rencana kerja samanya dapat terlaksana dengan baik.Kerja sama

    timbul karena orientasi orang-perorangan terhadap kelompoknya

    (yaitu in-group-nya) dan kelompok lainya (yang merupakan out-

    group-nya). Kerja sama akan bertambah kuat jika ada hal-hal

    yang menyinggung anggota/perorangan lainnya.

    b) Akomodasi (Accomodation)

    Istilah Akomodasi dipergunakan dalam dua arti yaitu

    menujuk pada suatu keadaan dan yntuk menujuk pada suatu

    proses. Akomodasi menunjuk pada keadaan, adanya suatu

    keseimbangan dalam interaksi antara orang-perorangan atau

    kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-

    norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam

    masyarakat. Sebagai suatu proses akomodasi menunjuk pada

    usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu

    usaha-usaha manusia untuk mencapai kestabilan.

    Menurut Gillin dan Gillin, akomodasi adalah suatu

    perngertian yang digunakan oleh para sosiolog untuk

    menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial

    yang sama artinya dengan adaptasi dalam biologi. Maksudnya,

    sebagai suatu proses dimana orang atau kelompok manusia yang

    mulanya saling bertentangan, mengadakan penyesuaian diri untuk

    mengatasi ketegangan-ketegangan. Akomodasi merupakan suatu

    cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan

    pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.

  • 21

    Tujuan Akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan

    situasi yang dihadapinya, yaitu :

    (1) Untuk mengurangi pertentangan antara orang atau kelompok

    manusia sebagai akibat perbedaan paham

    (2) Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara

    waktu atau secara temporer

    (3) Memungkinkan terjadinya kerjasama antara kelompok sosial

    yang hidupnya terpisah akibat faktor-faktor sosial psikologis

    dan kebudayaan, seperti yang dijumpai pada masyarakat yang

    mengenal sistem berkasta.

    (4) mengusahakan peleburan antara kelompok sosial yang

    terpisah.

    c) Asimilasi (Assimilation)

    Asimilasi merupakan proses sosial dalam taraf lanjut. Ia

    ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-

    perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-

    kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk

    mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses-proses mental

    dengan memerhatikan kepentingan dan tujuan bersama.

    Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu

    asimilasi adalah :

    (1) Toleransi

    (2) Kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi

    (3) Sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya

    (4) Sikap tebuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat

    (5) Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan

    (6) Perkawinan campuran (amaigamation)

    (7) Adanya musuh bersama dari luar

    Asimilasi menyebabkan perubahan-perubahan dalam

    hubungan sosial dan dalam pola adat istiadat serta interaksi sosial.

    Proses yang disebut terakhir biasa dinamakan akulturasi.

  • 22

    Perubahan-perubahan dalam pola adat istiadat dan interaksi sosial

    kadangkala tidak terlalu penting dan menonjol.

    2) Proses Disosiatif

    Proses disosiatif sering disebut sebagai oppositional

    proccesses, yang persis halnya dengan kerjasama, dapat ditemukan

    pada setiap masyarakat, walaupun bentuk dan arahnya ditentukan

    oleh kebudayaan dan sistem sosial masyarakat bersangkutan. Oposisi

    dapat diartikan sebagai cara berjuang melawan seseorang atau

    sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Pola-pola

    oposisi tersebut dinamakan juga sebagai perjuangan untuk tetap

    hidup (struggle for existence). Untuk kepentingan analisis ilmu

    pengetahan, oposisi proses-proses yang disosiatif dibedkan dalam

    tiga bentuk, yaitu:

    a) Persaingan (Competition)

    Persaingan atau competition dapat diartikan sebagai suatu

    proses sosial dimana individu atau kelompok manusia yang

    bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan

    yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum

    (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara

    menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka

    yang telah ada tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan.

    Persaingan mempunya dua tipe umum:

    (1) Bersifat Pribadi : Individu, perorangan, bersaing dalam

    memperoleh kedudukan. Tipe ini dinamakan rivalry.

    (2) Bersifat Tidak Pribadi : Misalnya terjadi antara dua

    perusahaan besar yang bersaing untuk mendapatkan

    monopoli di suatu wilayah tertentu.

    b) Kontraversi (Contravetion)

    Kontravensi pada hakikatnya merupakan suatu bentuk

    proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan atau

    pertikaian.

  • 23

    c) Pertentangan (Pertikaian atau conflict)

    Pribadi maupun kelompok menydari adanya perbedaan-

    perbedaan misalnya dalam ciri-ciri badaniyah, emosi, unsur-unsur

    kebudayaan, pola-pola perilaku, dan seterusnya dengan pihak

    lain. Ciri tersebut dapat mempertajam perbedaan yang ada hingga

    menjadi suatu pertentangan atau pertikaian.

    Faktor terjadinya pertentangan adalah :

    (1) Perbedaan antara individu

    (2) Perbedaan kebudayaan

    (3) perbedaan kepentingan

    (4) perubahan sosial.

    3. Masyarakat Cirebon

    Masyarakat Cirebon merupakan masyarakat pesisir yang sama

    seperti halnya masyarakat pesisir di kota-kota lainya. Ciri khas dari

    masyarakat pesisir adalah masyarakatnya yang beraneka ragam. Hal tersebut

    terjadi karena biasanya masyarakat yang ada di kota pesisir adalah

    pendatang, yang melakukan kegiatan dan hubungan dagang. Mereka datang

    dari berbagai daerah baik lokal maupun internasional. Masyarakat yang

    datang dari manca negara biasanya membentuk kampung-kampung sendiri

    dan kampung tersebut pun diberi nama tersendiri berdasarakan negara-

    negara masing-masing, daerah Cirebon memang ramai didatangi orang

    Arab, Cina, dll (Depdikbud, 1998: 73). Contohnya Kampung Arab yang

    penghuninya adalah orang-orang dari Arab, Kampung Pecinan yang

    penghuninya adalah komunitas Cina, dll. Selain itu nama-nama kampung

    juga di berikan berdasarkan profesi penghuninya. Misalnya Kauman adalah

    tempat para orang yang berilmu atau para pemuka agama dan Ksatrian

    adalah tempat tinggalnya para prajurit sedangkan Kademangan adalah

    tempatnya para demang-demang kraton.

    Cirebon juga terkenal dengan gaya bahasa masyarakatnya yang unik.

    Bahasa yang di pakai orang-orang Cirebon adalah bahasa perpaduan antara

    Jawa dan Sunda, yang melahirkan suatu gaya bahasa yang baru. Gaya

  • 24

    bahasa orang-orang Cirebon juga sering dikenal dengan “dialek

    Cirebonan”. Selain dalam bidang komunikasi, perpaduan kebudayaan yang

    kita lihat juga bukan hanya perpaduan antara Jawa dan Sunda saja, akan

    tetapi pengaruh kebudayaan dari Cina dan Arab juga melengkapi

    kebudayaan masyarat Cirebon. Hal di atas tercermin dalam lambang naga

    yang menjadi khas kebudayaan Cina yang terdapat pada kereta pusakan,

    motif hiasan panji dan batik yang bermotif mega. Arsitek bangunan masjid

    mendapat pengaruh dari perpaduan antara Hindu dan Islam.

    Sejak awal berdirinya, kota pelabuhan Cirebon menduduki posisi

    yang sentral. Selanjutnya desa ini berkembang menjadi kota dengan nama

    Cirebon yang sebelumnya bernama Lemahwungkuk yang menjadi pusat

    kerajaan Cirebon. Pada zaman VOC kota Cirebon menjadi pusat perniagaan

    Belanda di daerah antara Batavia dan Jepara. Kemudian pada zaman hindia

    Belanda, Cirebon berkedudukan sebagai ibukota karesidenan, ibukota

    kabupaten, dan sekaligus sebagai ibukota distrik. Bahkan pada tahun 1906

    kota Cirebon dijadikan sebagai gementee (kotamadya).

    a. Letak Geografis dan Asal Nama Cirebon

    Kota Cirebon secara administratif termasuk wilayah Propinsi

    Daerah Tingkat 1 Jawa Barat. kota Cirebon berada di bagian timur Jawa

    Barat, tepatnya di pantai Laut Jawa. Kotamadya Cirebon sebelah barat

    berbatasan dengan Banjir Kanal, Kabupaten Daerah Tingkat II Cirebon,

    sebelah utara/barat laut berbatasan dengan Kabupaten Daerah Tingkat II

    Indramayu, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Daerah

    Tingkat II Kuningan, dan sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa dan

    Kabupaten Brebes, Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah.

    Kota Cirebon terletak pada lintang 108º 35 BT dan 9º 30 LS.

    Curah hujan rata-rata 1.963 mm/tahun, kelembaban udara mencapai

    angka tertinggi pada bulan Mei yaitu 94% dan tercatat jatuh pada bulan

    Juni, Juli, dan Agustus yaitu 48% iklim pada umumnya bersifat tropis

    dengan temperatur nasional terjadi bulan September sampai Oktober

    mencapai 32,5º C dan temperatur terendah pada bulan Juni sampai bulan

  • 25

    Juli mencapai 24º C sehingga suhu rata-rata 27º C evalasi sangat landai

    dengan ketinggian tanah rata-rata kurang lebih 5 m di atas permukaan

    laut.

    Kota Cirebon menghubungkan daerah-daerah di Jawa Tengah dan

    Jawa Timur. Ia juga menghubungkan Jawa Barat dengan Jakarta. Dengan

    letak geografis yang strategis, tidak mengherankan apabila kota Cirebon

    tumbuh dan berkembang sebagai kota pelabuhan, perdagangan, industri,

    dan budaya pariwisata di Jawa Barat (Adeng: 9).

    Berita tentang nama Cirebon menurut sumber Portugis yaitu

    berita dari Tome Pires yang menyebut Cirebon dengan „Chorobon‟.

    Menurut catatan Pires, Cirebon adalah sebuah pelabuhan yang indah dan

    selalu ada empat sampai lima kapal yang berlabuh di sana. Menurut

    sumber dari Belanda yang berkurun waktu abad 16 M awal, Cirebon

    disebut sebagai „Charabaon‟, sedangkan dari sumber yang lebih muda

    disebutnya dengan „Cheribon‟, atau Tjerbon (Adeng: 11).

    Sedangkan menurut naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, yang

    disusun oleh Pangeran Arya Carbon pada 1720 M, istilah Cirebon

    asalnya dari kata „Caruban‟, kemudian „Carbon‟, dan akhirnya Cirebon.

    Caruban berarti campuran, karena tempat itu (Cirebon) dahulunya

    didiami oleh penduduk dari berbagai bangsa, agama, bahasa, dan tulisan

    mereka menurut bawaannya masing-masing serta pekerjaan mereka

    berlainan. Sedangkan, Carbon menurut para wali disebut „puser jagat‟

    karena negara yang terletak di tengah-tengah pulau Jawa. Cirebon oleh

    penduduk setempat disebut „Nagari Gede‟, lama kelamaan diucapkan

    oleh orang kebanyakan menjadi „Garege‟, dan selanjutnya menjadi

    Grage. Menurut orang tua setempat, ada yang memberi keterangan

    bahwa kata „Grage‟ itu berasal dari „glagi‟, yaitu nama udang kering

    untuk bahan membuat terasi. Istilah Cirebon secara kiratabasa

    (Volksetymologi) berasal dari „Ci-rebon‟. Ci, bahasa Sunda berarti air

    dan rebon, sejenis udang kecil, yang merupakan bahan untuk membuat

  • 26

    terasi. Jika dihubungkan dengan kenyataan, bahwa Cirebon dari dahulu

    hingga sekarang ini merupakan penghasil udang dan terasi.

    b. Gambaran Umun Cirebon Masa lalu

    Kota Cirebon merupakan kota pantai yang terletak di ujung timur

    pantai utara Jawa Barat. Pada zaman Hindu, Cirebon berada di bawah

    kekuasaan kerajaan Galuh. Dibandingkan dengan pelabuhan-pelabuhan

    lain di sekitarnay seperti Muarajati, Singapura dan Indramayu, Cirebon

    yang baru berdiri yaitu pada masa akhir kerajaan Galuh justru dapat

    berkembang dengan pesat mengalahkan pelabuhan lainnya terutama pada

    masa awal berkembangnya agama Islam. Bahkan akhirnya pelabuhan-

    pelabuhan yang lain mati kecuali Indramayu, sedangkan Cirebon

    berkembang menjadi pelabuhan besar.

    Masa awal perkembangan kota Cirebon mencakup periode awal

    berdirinya sampai pada masa datangnya pengaruh kerajaan-kerajaan

    pedalaman di Jawa Tengah. Pada periode ini kota Cirebon tumbuh

    sebagai pusat pelayaran dan perdagangan.

    Pada periode ini pedagang Islam menduduki posisi yang sentral di

    kota Cirebon, bukan hanya di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang

    lainnya termasuk bidang politik. Di mana para saudagar Islam ini

    berkuasa, para ulama dan pedagangnya Islam memperoleh martabat yang

    tinggi.

    Banyak peperangan yang dilakukan oleh Cirebon terhadap daerah

    pedalaman seperti Galuh pada tahun 1528, Telaga tahun 1530, Babadan,

    Luragung, Kuningan, Indramayu, dan Krawang. Peperanga ini dilakukan

    dalam upaya memperbesar hegemoni Cirebon dibidang perdagangan dan

    pelayaran melihat daerah yang dikuasainya adalah daerah penghasil

    komoditi yang besar terutama beras. Pada pertengahan abad XVI di Jawa

    Tengah muncul kerajaan Pajang yang menjadi cikal bakal kerajaan

    Mataram. Mataram yang menganggap dirinya sebagai pewaris kerajaan

    Majapahit berusaha memasukkan penguasa-penguasa daerah pesisir di

    bawah genggamannya. Namun, kemudian setelah gagalnya Sultan agung

  • 27

    dalam invasi ke Batavia mengusir VOC gagal, Cirebon akhirnya mau

    tidak mau harus tunduk di bawah kekuasaan kerajaan Mataram.

    Hal ini menyebabkan terjadinya pergeseran-pergeseran dalam

    orientasi kehidupan politik maupun ekonomi kerajaan Cirebon. Keraton

    Cirebon semakin tenggelam dalam maslah politik dengan kerajaan

    pedalaman, sedangkan di bidang perdagangan, VOC mulai menanamkan

    dominasinya di pelabuhan Cirebon. Pada saat ini terjadilah proses

    feodalisasi kerajaan pesisir di Jawa.

    Ketika Cirebon mulai sibuk dengan masalah-masalah dengan

    kerajaan-kerajaan pedalaman, VOC mulai menanamkan dominasinya di

    Cirebon pada tahun 1681. Perjanjian yang dilakukan Cirebon dengan

    VOC pada tanggal 7 Januari 1681 membolehkan VOC memonopoli

    impor pakaian, kapas, opium, dan monopoli ekspor seperti lada, kayu,

    gula, beras, dan produk yang lainnya yang dikehendaki oleh VOC

    (Zuhdi: 121-124). Dengan adanya perjanjian tersebut, secara tidak

    langsung Cirebon telah berada dalam kekuasaan Kompeni. Dala situasi

    seperti ini, kesultanan semakin berorientasi kedalam dengan

    mengembangkan kehidupan budaya dan ritual-ritual keraton. Sehingga

    kota Cirebon terbagi menjadi dua yaitu kota Cirebon yang berpusat di

    kraton sebagai pusat upacara-upacara keraton di adakan dan pusat bisnis

    baru di sekitar pelabuhan yang pusatnya di benteng VOC. Dengan

    munculnya pusat bisnis baru ini, maka kota Cirebon lama yang berpusat

    di kraton semakin jauh dari aktivitas ekonomi perdagangan.

    Setelah VOC bubar pada tahun 1799, kekuasaan politik Cirebon

    beralih ke perintahan Hindia Belanda. Pada tahun 1906, kota Cirebon

    ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai gementee atau

    kotamadya dengan nama gementee Cirebon. Sejalan dengan pesatnya

    gementee ini, akhirnya pemerintah pusat menetapkan untuk memberikan

    otonomi yang lebih kepada gementee. Gementee ini di berikan kebebasan

    untuk mengatur keuangan, sarana-sarana sosial seperti jalan, taman,

  • 28

    pasar, makam, dan sebagainya. Selain itu, gementee juga di beri

    kewenangan untuk menentukan batas-batas kota.

    c. Struktur Masyarakat Cirebon

    Penggolongan masyarakat kota pada zaman pertumbuhan dan

    perkembangan Kerajaan Islam di Cirebon abad ke-17 dapat dibagi tiga

    golongan, (Adeng, dkk: 41) yaitu:

    1) Golongan Atas

    Golongan yang termasuk dalam golongan atas adalah para

    kaum bangsawan tingkat atas, elit birokrasi (tradisional) dan elit

    agama. Gelar raja pada awal mula perkembangan Islam masih tetap

    dipergunakan, tetapi kemudian diganti dengan gelar sultan akibat

    pengaruh Islam. Selain gelar sultan, terdapat juga Adipati, Senapati,

    Pangeran, dan Panembahan.

    Dalam Kerajaan Islam Cirebon, gelar Susuhunan Jati hanya

    boleh dipakai oleh Sunan gunung Jati. Gelar Sunan, Tumenggung,

    Panetep Panata Sama Rasul juga hanya boleh dipakai oleh Sunan

    gunung Jati. Orang yang menjadi pemimpin Cirebon kemudian

    diberi gelar Sultan atau Penembahan Ratu.

    Kemudian menurut tradisi keraton, sebagai pengganti raja

    ditetapkan putera laki-laki tertua atau satu-satunya putera laki-laki

    dari raja dengan permaisuri (garwa padmi). Apabila permaisuri tidak

    mempunyai putera laki-laki, maka putera laki-laki, maka putera laki-

    laki tertua dari selir (garwa ampeyan) dapat di angkat saudara laki-

    laki dari raja, paman, atau saudara tua dari ayah raja sebagai

    pengganti. Penyimpangan dapat terjadi apabila calon yang berhak,

    tidak memenuhi syarat sebagai raja (Adeng, dkk: 42).

    Pergantian raja di Cirebon untuk pengganti Sunan gunung

    Jati dipilih oleh Sunan sendiri. Dalam memilih penggantinya Sunan

    sangat selektif, bukan hanya pengetahuannya yang dibutuhkan tetapi

    seorang Sultan juga harus bijaksana. Bisa memimpin rakyat dengan

    baik dan membawa kemajuan bagi kerajaan.

  • 29

    Hubungan antara raja dengan rakyat terbatas karena

    tergantung pada peraturan adat istiadat dan kehendak raja. Begitu

    pula keluarga raja yang tinggal di kompleks keraton tidak mudah

    untuk berhubungan dengan rakyat dan orang-orang sekitar keraton.

    Benteng yang mengelilingi kompleks keraton adalah pemisah antara

    raja dengan lapisan masyarakat kerajaan.

    2) Golongan Menengah

    Golongan ini adalah golongan bangsawan tingkat menengah,

    yang terdiri atas pegawai kerajaan tingkat menengah, pemuka

    agama, syahbandar, dan lain-lain.

    Syahbandar di Cirebon bukan hanya orang-orang pribumi

    saja, tetapi ada juga orang Belanda. Dijadikannya sebagai

    syahbandar karena mereka mempunyai pengetahuan dan pengalaman

    mengenai perdagangan dan hubungan internasional, karena fungsi

    dari syahbandar tidak sebatas pada masalah hubungan dengan orang-

    orang asing.

    3) Golongan Bawah

    Golongan ini adalah mayarakat biasa atau masyarakat kecil

    yang bekerja sebagai petani, pedagang tukang, nelayan, dan lainnya.

    Kerajaan Cirebon yang letaknya di tepi pantai, tetapi sebagian besar

    wilayahnya berada di pedalaman, jadi masyarakat Cirebon bukan

    hanya merupakan kerajaan maritim, tetapi juga merupakan kerajaan

    agraris (Adeng, dkk: 43).

    Masyarakat Cirebon golongan bawah juga bermata

    pencaharian sebagai menanam padi, kopi, tembakau, dan sebagainya.

    Golongan ini merupakan tulang punggung bagi kehidupan

    perekonomian Kerajaan Cirebon. Tanpa adanya masyarakat kecil

    yang menjadi tukang, kemungkinan perekonomian akan berjalan

    lancar. Oleh karena itu, Golongan bawah menjadi tulang punggung

    bagi kehidupan perekonomian Kerajaan Cirebon.

  • 30

    d. Kondisi Sosial Masyarakat Cirebon

    Masyarakat Jawa tradisional terklasifikasikan secara umum

    menjadi beberapa golongan sebagai berikut, pertama, kelompok

    penduduk desa inti yang disebut dengan sikep, baku, gogol atau pribumi.

    Penduduk desa inti bermukim di suatu tempat sejak secara turun

    temurun, memiliki tanah, rumah dan halaman, dan juga pekarangan

    sempit untuk tanaman kebutuhan dapur atau kebun buah-buahan,

    mempunyai kewajiban penuh sebagai warga desa terutama dalam

    pelaksanaan pekerjaan perbaikan dan pemeliharaan komunal. Kedua,

    Kelompok penduduk yang disebut dengan indung, hanya memiliki

    sebidang tanah pertanian atau rumah halaman dan halaman, namun

    mereka tidak memiliki keduanya (hanya salah satu), serta mempunyai

    hak kewajiban komunal yang terbatas. Ketiga, yaitu kelompok penduduk

    yang disebut dengan wuwungan, nusup, tlosor atau bujang. Mereka tidak

    memiliki baik itu tanah pertanian maupun rumah dan halaman, namun

    bertempat tinggal di halaman orang lain, dan bekerja sebagai penyewa

    atau petani bagi hasil, atau bahkan mereka hidup menumpang dan

    bekerja untuk pemilik rumah di mana dia tinggal.

    Di dalam masyarakat pedesaan di Cirebon kekuasaan tertinggi

    terletak pada peran kuwu, tugas kuwu tersebut adalah mengatur kerja

    wajib secara bergiliran serta mengatur kehidupan sehari-hari di desa

    dengan dibantu oleh beberapa aparat pemerintahan desa lainnya. Para

    pejabat desa tersebut di antaranya adalah reksa bumi yang mempunyai

    tugas menjaga batas desa, ngabehi dan ngalambang yang merupakan dua

    orang wakil kuwu dalam menjalankan roda pemerintahan desa sehari-

    hari, cap gawe tugasnya adalah mengatur hampir semua urusan desa yang

    paling pokok di antaranya adalah urusan mengumpulkan masyarakat

    desa, kabayan atau jurutulis desa, dan lebe yaitu ulama.

    Kedudukan seorang kuwu dan bawahannya adalah bagian dari

    priyayi (yayi = adik raja), yang merupakan penghubung antara pihak

    kerajaan dengan rakyat (wong cilik). Kaum elit kerajaan dan priyayi

  • 31

    tersebut dibedakan statusnya dari rakyat biasa karena mereka dapat

    menikmati hasil tanah tanpa harus mengerjakannya sendiri.

    Selain adanya penguasa lokal yaitu para elit desa (priyayi), maka

    di Keresidenan Cirebon terdapat pula gologan yang “dikuasai” yaitu

    masyarakat desa tradisional yang terikat dalam suatu sistem yang

    dinamakan cacah. Cacah merupakan suatu ikatan hubungan

    ketergantungan antara keluarga petani pemilik dengan keluarga petani

    yang tidak memiliki tanah. Tanpa banyak mengadakan perubahan sistem

    dalam struktur tradisional, sistem cacah tersebut merupakan sistem

    pengerahan tenaga kerja yang tetap dipertahankan oleh pemerintah. Di

    dalam sistem cacah tersebut ternyata terdapat perbedaan kelas antar-

    kaum petani yang didasarkan atas cara-cara petani tersebut menguasai

    tanah.

    Petani penguasa tanah disebut sikep yang merupakan kelas petani

    penanggung beban atas tanah. Seorang sikep maksimal dapat menguasai

    sekitar 22 cacah yang tidak memiliki tanah.

    Selain sikep ada pula golongan tangkong yang merupakan

    penduduk desa pemilik rumah dan pekarangan namun tidak memiliki

    tanah kasikepan, dan mereka tidak mempunyai kewajiban dalam

    melakukan kerja wajib yang menyangkut pertanian namun mereka tetap

    mempunyai kewajiban untuk melakukan kerja wajib yang berkaitan

    dengan kepentingan desa. Tangkong dapat disebut pula sebagai sikep

    nomor dua. Istilah tersebut dapat pula berarti bahwa tangkong belum

    sepenuhnya menjadi sikep. Di Cirebon Tangkong merupakan calon

    utama pemegang hak atas tanah komunal apabila suatu ketika ada

    pembagian tanah tersebut. Linck, menyebutkan bahwa setiap patok kecil

    yang mereka terima dalam tanah komunal merupakan panjar untuk patok

    komunal seutuhnya. Namun setelah terjadinya perombakan agraria di

    Cirebon pada permulaan abad ke-20, maka fasilitas pembagian tanah

    komunal seperti itu tidak terjadi lagi.

  • 32

    Oleh karena itu, pada saat itu para tangkong pun tidak lagi

    mendapat kesempatan untuk memperbaiki status sosialnya untuk mejadi

    sikep penuh.

    Sikep mempunyai lapisan sosial yang berada di bawahnya yaitu

    wuwungan atau yang disebut juga dengan bujang apabila belum

    menikah. Biasanya mereka tinggal di dalam lingkungan keluarga sikep,

    dan segala kebutuhan hidupnya menjadi kewajiban sikep. Sebagai

    balasan atas perlindungan yang diperolehnya itu, biasanya kelompok

    wuwungan akan dimanfaatkan tenaganya oleh sikep untuk melakukan

    pengolahan tanah miliknya. Petani-petani wuwungan tidak mempunyai

    kewajiban-kewajiban seperti pajak atau kerja wajib terhadap negara

    melainkan hanya bekerja untuk sikep-nya. Terkadang sikep

    menggunakan mereka untuk melakukan kerja wajib bagi pemerintah

    kolonial Hindia Belanda, sebab semua kewajiban terhadap pemerintah

    kolonial Hindia Belanda seperti pajak dan kerja wajib dibebankan kepada

    kaum tani penguasa tanah.

    Lapisan wuwungan terbagi menjadi dua macam yaitu pemaro dan

    tani hamba, perbedaan di antara keduanya terletak pada kemandirian.

    Petani pemaro mempunyai rumah sendiri walaupun biasanya berada di

    lingkungan petani pemilik tanah, sedangkan petani hamba tinggal di

    dalam rumah induk semangnya dan tetap bekerja sebagai orang suruhan.

    Status petani bertanah dan tidak bertanah tersebut merupakan gambaran

    dari hubungan “penghambaan” yang di masing-masing daerah

    mempunyai sebutan yang beragam. Selain itu juga ada kemungkinan

    sebutan-sebutan tersebut didasarkan atas status perkawinan mereka, yang

    mana para anak-anak muda yang belum menikah (bujang) memulai

    pekerjaan mereka dengan menjadi hamba sebelum menjadi wuwungan

    (setelah menikah) pada keluarga (sikep) yang sama maupun yang lain.

    Seorang sikep yang berpindah tempat tinggal ke suatu wilayah

    baru karena alasan terbelit hutang ataupun masalah yang lain, dapat saja

    menyerahkan jasanya sebagai wuwungan di tempat barunya tersebut.

  • 33

    Namun sebaliknya apabila seorang wuwungan berhasil mengumpulkan

    modal dan membuka tanah di lahan baru dapat mengangkat dirinya

    menjadi sikep dan bahkan dapat membangun cacah-nya sendiri. Selain

    itu dapat dimungkinkan juga terjadinya mobilitas vertikal yang mungkin

    dialami oleh wuwungan melalui jalan adopsi atau perkawinan sehingga

    wuwungan menjadi golongan sikep.

    Di samping berstatus sikep, mereka juga umumnya merupakan

    cikal-bakal desa. Dalam kedudukan seperti itu mereka berhak dipilih

    menjadi kuwu atau duduk di dalam pemerintahan desa. Kedudukan-

    kedudukan seperti itu memiliki banyak keuntungan, yaitu dengan adanya

    fasilitas tanah bengkok yang merupakan tanah gaji pejabat desa seluas

    lima hektar untuk kuwu dan sekitar dua hektar untuk aparat desa yang

    lainnya. Di samping adanya persentase Sistem Tanam Paksa dan hak

    kerja wajib untuk tanah gaji mereka. Sementara itu pejabat-pejabat desa

    merupakan pihak-pihak yang paling aktif dalam melakukan penguasaan

    atas tanah dan kerja wajib bagi desa. Karena tanah yang dimiliki oleh

    desa biasanya merupakan tanah yang memiliki kualitas terbaik, terlebih

    apabila tanah tersebut merupakan tanah bengkok (tanah gaji).

    Tekanan atas tanah dan tenaga kerja di Cirebon pada masa

    pemberlakuan Sistem Tanam Paksa telah mengakibatkan perubahan-

    perubahan yang terjadi atas posisi petani. Istilah petani sikep dalam arti

    penduduk desa dengan hak atas tanah telah hilang dari lingkungan desa

    dan bertransformasi menjadi kuli (coolie) sebuah istilah yang berarti

    pekerja tanpa keahlian. Hal itu disebabkan karena semua penduduk desa

    dengan hak-hak tanah diwajibkan untuk melakukan kerja wajib tanpa

    kecuali. Transformasi tersebut merupakan gambaran peralihan orientasi

    petani tradisonal dari pertanian sawah menjadi petani tanaman ekspor

    pada masa Sistem Tanam Paksa dan akhirnya menjadi seorang kuli

    industri setelah kehilangan tanah mereka.

    Pada permulaan abad ke-20, ciri penting masyarakat tani di Jawa

    yang terbagi ke dalam kelas-kelas yang didasarkan pada kepemilikan

  • 34

    tanah tetap berlaku di pedesaan. Masyarakat itu pada hakikatnya terbagi

    menjadi dua golongan. Golongan pertama, yaitu golongan manyarakat

    desa yang memiliki kesempatan untuk menjadi pemegang hak

    penggarapan tanah komunal. Golongan itu umumnya disebut sebagai

    sikep, kuli kenceng, kuli kendo, dan sebagainya. Golongan kedua yaitu

    golongan yang tidak mempunyai hak apapun atas tanah. Umumnya

    mereka itu disebut dengan wuwungan, bujang, tlosor, dan sebagainya.

    B. Kajian Penelitian yang Relevan

    1. Hambali. 2001. KONSEPSI TENTANG MASYARAKAT ISLAM

    (Studi atas pemikiran Yusuf Al-Qardhawi). Skripsi, Program Studi

    Perbandingan Agama, Fakultas Ushuludin, UIN Sunan Kalijaga

    Yogyakarta.

    Banyak aspek dari agama Islam yang saat ini perlu ditinjau

    kembali, tetapi disini ada satu aspek yang perlu dan mendesak untuk

    ditinjau ulang, yaitu mengenai masyarakat Islam. Kenyataan yang terjadi

    saat sekarang ini adalah adanya berbagai gambaran yang tidak benar

    mengenai potret masyarakat Islam. Adanya berbagai penelitian yang

    dilakukan, baik oleh kalangan Barat maupun keuarga Muslim pada

    masyarakat Islam telah memberikan gambaran yang buruk pada citra

    masyarakat Islam yang diteliti. Hal ini dikarenakan para peneliti hanya

    melihat masyarakat Islam hanya kulit luarnya saja dengan berpedoman

    pada pendekatan sosiologis maupun antropologis dan melupakan atau

    mengabaikan sisi-sisi yang paling mendasar yang ada dalam masyarakat

    Islam.

    Berdasarkan permasalahan diatas, penelitian ini ingin mencoba

    mendeskripsikan tentang konsepsi masyarakat Islam yang dilontarkan oleh

    Yusuf al-Qardhawi. Pemikiran al-Qardhawi mengenai permasalahan diatas

    yang menjadi inti penulisan skripsi ini. Dalam penyusunan skripsi ini,

    data-data yang disajikan merupakan hasil dari pemikiran al-Qardhawi

    yang diperoleh dengan cara menyelidiki, menganalisis dan mengklasifikasi

  • 35

    pemikiran dan juga membandingkannya dengan pemikiran-pemikiran

    yang lain serta pendekatan sosiologi pendektan agama yang digunakan

    untuk mendekati data-data tersebut. Penelitian ini pada intinya ingin

    memperoleh sebuah konsepsi tentang masyarakat Islam yang ada dalam

    pemikiran al-Qardhawi. Dengan dua persoalan yang dimunculkan, yaitu:

    pertama mengenai konstruksi masyarakat Islam dan kedua, mengenai

    karakteristik masyarakat Islam yang ideal menurut al-Qardhawi. Dua

    persoalan inilah yang akan menjadi pokok pembahasan dalam skripsi ini.

    Adapun konsepsi tentang masyarakat Islam yang diuraikan oleh al-

    Qhardawi merupakan bentuk masyarakat Islam yang seimbang dengan

    karakteristiknya yang khas. Dengan berlandaskan argumen yang didukung

    dalil-dalil aqli dan naqli, al-Qardhawi berusaha meluruskan persepsi

    mengenai masyarakay Islam yang selama ini dinilai dan digambarkan

    kebanyakan orang secara sepihak. Dengan berpedoman pada pemikiran

    aliran pertengahan (moderat) al-Qardhawi ingin menunjukan bahwa

    masyarakat yang dibangun oleh Islam bukanlah suatu masyarakat yang

    autopis, tetapi suatu masyarakat yang realistis, sejalan dengan tuntutan

    zaman dan tidak mengabaikan sendi-sendi ajaran Islam yang mendasar,

    karena masyarakat Islam adalah masyarakat yang maju dan menyintai

    kemajuan dalam arti kemajuan yang utuh, rohani dan jasmani, moral dan

    bangunan pisik, dunia dan akhirat, ilmiah dan imaniah, dan tidak ada

    pertentangan diantara semua ini melainkan keseimbangan dan keserasian

    yang saling menopang. Jika semua itu bisa diwujudkan, maka cita-cita

    untuk mewujudkan Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghofur (Negeri

    Aman Sentosa dan Penuh Ampunan Tuhan) bisa tercapai.

    Sumber: http://digilib.uin-suka.ac.id/9603/ (Diunduh tanggal

    23/10/2014 pukul: 15.31)

    Penelitian skripsi ini termasuk dalam penelitian studi kepustakaan

    dan merupakan dara historis kualitatif. Adapun pendekatan yang

    digunakan dalam penelitian ini pendekatan sosiologis, yang dalam hal ini

    sosiologi agama. Dalam penelitian ini membahas tentang konsep

    http://digilib.uin-suka.ac.id/9603/

  • 36

    masyarakat Islam yang dilontarkan oleh Yusuf al-Qardhawi. Berkaitan

    dengan penelitian yang saya teliti yaitu meneliti tentang masyarakat, yang

    mana Hambali meneliti tentang konsepsi masyarakat Islam brdasarkan

    pada pemikiran Yusuf Al-Qardhawi, sedangkan peneliti disini meneliti

    tetang kehidupan sosial masyarakat Cirebon berdasarkan pada pemikiran

    Sunan Gunung Jati.

    2. Darkum. 2007. PERANAN PANGERAN WALANG SUNGSANG

    DALAM MERINTIS KESULTANAN CIREBON 1445 - 1529 M.

    Skripsi, Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial,

    Universitas Negeri Semarang.

    Penulis tertarik untuk mengkaji Peranan Pangeran

    Walangsungsang Dalam Merintis Kesultanana Cirebon 1445-1529 M,

    dikarenakan kesultanan Cirebon merupakan salah satu kerajaan Islam di

    Pulau Jawa yang sampai saat sekarang ini masih eksis diperintah oleh

    Sultan-sultan penerus.Walaupun sultan sudah tidak mempunyai kekuasaan

    untuk memerintah secara mutlak masyarakat Cirebon. Sultan hanya

    berfungsi sebagai penanggung jawab dan pelaksana adat saja. kesultanan

    Cirebon pernah menjadi suatu Negeri berdaulat yang diakui oleh kerajaan-

    kerajaan lain, baik kerajaan di Nusantara, maupun kerajaan dari

    Mancanegara. Terbentuknya Kesultanan Cirebon tidak terlepas dari peran

    pangeran Walangsungsang yang mampu memberdayakan daerah Cirebon,

    baik dari segi ekonomi, sosial, maupun politik, sehingga menjadi salah

    satu kesultanan besar di Nusantara.

    Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan yang

    dilakukan pangeran Walangsungsang, dalam upaya awal merintis serta

    membentuk satu kerajaan Islam yang mampu berdaulat. Metode yang

    digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis atau metode sejarah.

    Langkah-langkah dalam metode sejarah atau historis terbagi dalam empat

    langkah yaitu, heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.

    Sedangkan tekhnik pengumpulan data yang digunakan adalah pengamatan

    atau observasi, dan studi pustaka. Manfaat dari penelitian ini adalah,

  • 37

    secara teoritik memberikan penjelasan tentang perananperanan pangeran

    Walangsungsang dalam merintis kesultanan Cirebon, mengungkap kan

    fakta tentang usaha-usaha yang dilakukanya dalam merintis kesultanan

    Cirebon, serta usahanya dalam menyiarkan agama Islam di daerah

    Cirebon. Secara praktis manfaat yang diperoleh adalah, dapat dijadikan

    sebagai pertimbangan, pemikiran, dan perbandingan dalam penelitian

    selanjutnya, serta dapat memberikan pengetahuan baru dalam khasanah

    sejarah lokal dan nasional mengenai proses Islamisasi dan terbentuknya

    kesultanan Cirebon, baik terhadap pengajaran sejarah, maupun masyarakat

    luas.

    Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pangeran

    Walangsungsang merupakan putra dari prabu Jaya Dewata yang bergelar

    Sri Baduga Maharaja, penguasa dari kerajaan sunda pakuan Pajajaran.

    Pangeran Walangsungsang terlahir dari seorang ibu yang bernama

    Subanglarang. Beliau mempunyai dua saudara kandung yang bernama

    Rara Santang dan raja Sengara. Peranan awal yang dilakukan oleh

    pangeran Walangsungsang dalam mengembangkan daerah Cirebon yakni

    pada saat beliau menjabat sebagai Pangraksa bumi. Beliau berhasil

    mengembangkan ekonomi masyarakatnya dengan pemberdayaan hasil

    laut, khususnya Rebon / Udang kecil menjadi terasi dan petis yang

    mrupakan komoditas perdagangan yang banyak diminati oleh masyarakat

    skitar Cirebon pada saat itu. Dalam bidang agama pangeran

    walangsungsang berhasil menyiarkan agama Islam kepada penduduk

    Cirebon dan sekitarnya, sehingga daerah Cirebon mampu menjadi salah

    satu daerah pusat penyiaran agama Islam di tanah Jawa, khususnya daerah

    tatar Pasundan / jawa Barat sekarang ini. Dalam proses syiar Islamnya

    beliau menggunakan Istana Pakungwati menjadi tempat untuk

    mengajarkan agama Islam kepada Santrinya. Disamping itu beliau

    mendirikan mesjid yang diberi nama Mesjid Pejalagrahan, untuk kaum

    muslim daerah Cirebon beribadat. Mesjid yang dibangun pangeran

    Walangsungsang ini merupakan Mesjid pertama di daerah Cirebon.

  • 38

    Sumber:http://www.pustakaskripsi.com/perananpangeranwalangsu

    ngsang-dalam-merintis-kesultanan-cirebon-1445-1529m-5632.html

    (Diunduh tanggal 23/10/2014 pukul 13.13)

    Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

    historis atau metode sejarah. Sedangkan tekhnik pengumpulan data yang

    digunakan adalah pengamatan atau observasi, dan studi pustaka. Berkaitan

    dengan penelitian skripsi yang peneliti teliti yaitu tetang penyebaran

    agama Islam ditanah pasundan termasuk Cirebon dan merintis kesultanan

    Cirebon yang mana Sunan gunung Jati berperan penting dalam penyebaran

    agama Islam di tanah pasundan termasuk Cirebon dan juga dalam sejarah

    membangun Cirebon. Sunan Gunung Jati juga merupakan salah satu

    pemimpin yang memimpin kesultanan Cirebon.

    C. Kerangka Pikir

    Sunan Gunung Jati merupakan salah satu walisongo yang pernah

    memimpin dan menyebarkan agama Islam di Jawa Barat dan Banten termasuk

    Cirebon. Petatah-petitih dan ajarannya membawa pengaruh besar terhadap

    perkembangan kehidupan sosial masyarakat Cirebon. Dengan masuknya

    modernisasi dan westernisasi yang menjadikan kota Cirebon sebagai kota

    besar dan memungkinkan masyarakat menjadi individualis.

    Oleh karena itu, kerangka pemikiran yang saya angkat dalam proposal

    penelitian ini ialah pemikiran Sunan Gunung Jati terhadap perkembangan

    kehidupan sosial masyarakat Cirebon.

    http://www.pustakaskripsi.com/perananpangeranwalangsungsang-dalam-merintis-kesultanan-cirebon-1445-1529m-5632.htmlhttp://www.pustakaskripsi.com/perananpangeranwalangsungsang-dalam-merintis-kesultanan-cirebon-1445-1529m-5632.htmlhttp://www.pustakaskripsi.com/perananpangeranwalangsungsang-dalam-merintis-kesultanan-cirebon-1445-1529m-5632.html

  • 39

    Gambar I. Alur Pikir Penelitian

    Catatan :

    Pokok-pokok pemikiran Sunan Gunung Jati sangat kompleks sekali dan

    mengandung banyak nilai didalamnya. Nilai-nilai yang terkandung dalam

    pokok pemikiran beliau yaitu meliputi ketaqwaan dan keyakinan,

    kedisiplinan, kearifan dan kebijakan, kesopanan dan tata krama serta

    kehidupan sosial. Melalui pokok pemikiran beliau yang begitu kompleks

    dan mengandung banyak nilai, kontribusi pemikiran beliau terhadap

    kehidupan sosial sangat besar sekali. Pokok pemikiran beliau sangat

    banyak, tetapi yang akan diteliti oleh penulis dalam penelitian skripsi ini

    ialah pokok pemikiran beliau yang berbunyi “Ingsung titip tajug lan fakir

    miskin”. Karena dari pokok pemikiran beliau tersebut terdapat makna

    yang sangat luas sekali. Pokok pemikiran tersebut terdapat dua subjek

    yaitu tajug dan fakir miskin. Yang mana dua subjek tersebut sangat erat

    sekali hubungannya dengan kehidupan sosial terutama kehidupan sosial

    masyarakat Cirebon di era sekarang.

    Ketaqwaan & Keyakinan

    Kedisiplinan

    Kearifan & Kebijakan

    Kesopanan & Tata krama

    Kehidupan Sosial

    Kehidupan Sosial

    Masyarakat Cirebon

    Dimasa Sekarang

    Pokok-Pokok Pemikiran

    Sunan Gunung Jati