bab ii landasan teori a. dasar-dasar perencanaan pajakeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3452/3/bab...
TRANSCRIPT
10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Dasar-Dasar Perencanaan Pajak
1. Manajemen Pajak
Menurut Sophar Lumbantoruan (Suandy, 2011:6) manajemen
pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan
benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah
mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan.
Tujuan manajemen pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Menerapkan peraturan perpajakan secara benar.
b. Usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya.
Tujuan manajemen pajak dapat dicapai melalui fungi-fungsi
manajemen pajak yang terdiri atas :
a. Perencanaan Pajak (tax planning)
Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak
dimana pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap
peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan
pajak yang akan dilakukan. Pada umumnya penekanan perencanaan pajak
adalah untuk meminimumkan kewajiban pajak. Perencanaan pajak
merupakan tindakan legal pengendalian transaksi dengan konsekuensi
11
potensi pajak, pajak yang dapat mengefisiensikan jumlah pajak yang
ditransfer ke pemerintah.
Tujuan perencanaan pajak adalah merekayasa agar beban pajak
(tax burden) serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang ada
tetapi berbeda dengan tujuan pembuatan Undang-undang. Maka tax
planning disini sama dengan tax avoidance karena secara hakikat
ekonomis kedua-duanya berusaha untuk memaksimalkan penghasilan
setelah pajak (after tax return) karena pajak merupakan unsur pengurang
laba yang tersedia baik untuk dibagikan kepada pemegang saham maupun
diinvestasikan kembali.
Perencanaan perpajakan pada umumnya selalu dimulai dengan
meyakinkan apakah suatu transaksi atau fenomena terkena pajak. Kalau
fenomena tersebut terkena pajak, apakah dapat diupayakan untuk
dikecualikan/dikurangi jumlah pajaknya, selanjutnya apakah pembayaran
pajak dimaksud dapat ditunda pembayarannya dan lain sebagainya. Oleh
karena itu, setiap wajib pajak akan membuat rencana pengenaan pajak atas
setiap tindakan secara seksama. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa
perencanaan pajak adalah proses pengambilan faktor non pajak yang
material untuk menentukan apakah, kapan, bagaimana, dengan siapa
dilakukan transaksi, operasi, dan hubungan dagang yang memungkinkan
tercapainya beban pajak pada tax events yang serendah mungkin dan
sejalan dengan tercapainya tujuan perusahaan.
12
Untuk meminimumkan kewajiban pajak dapat dilakukan dengan
berbagai cara baik yang masih memenuhi ketentuan perpajakan (lawful)
maupun yang melanggar peraturan perpajakan (unlawful). Menurut
Suandy (2011), ukuran yang digunakan dalam mengukur kepatuhan
perpajakan wajib pajak adalah :
1. Tax saving merupakan upaya efisiensi beban pajak melalui pemilihan
alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah. Misalnya,
dimana suatu perusahaan yang memiliki penghasilan kena pajak lebih
dari Rp 100.000.000 dapat melakukan perubahan pemberian natura
kepada karyawan menjadi tunjangan dalam bentuk uang.
2. Tax avoidance merupakan upaya efisiensi beban pajak dengan
menghindari pengenaan pajak melalu transaksi yang bukan merupakan
objek pajak. Misalnya, perusahaan yang masih mengalami kerugian,
perlu mengubah tunjangan karyawan dalam bentuk uang menjadi
pemberian natura karena natura bukan merupakan objek pajak PPh
Pasal 21.
3. Tax evasion merupakan upaya wajib pajak dengan penghindaran pajak
terhutang secara ilegal dengan cara menyembunyikan keadaan yang
sebenarnya.
13
b. Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan (Tax Implementation)
Setelah tahap perencanaan maka langkah selanjutnya adalah
mengimplementasikannya baik secara formal maupun material. Harus
dipastikan bahwa pelaksanaan kewajiban perpajakan telah memenuhi
peraturan perpajakan yang berlaku. Manajemen pajak tidak
dimaksudkan untuk melanggar peraturan dan jika dalam
pelaksanaannya menyimpang dari peraturan yang berlaku, maka
praktik tersebut telah menyimpang dari tujuan manajemen pajak.
Untuk mencapai tujuan manajemen pajak ada dua hal yang perlu
dikuasai dan dilaksanakan yaitu antara lain :
a. Memahami ketentuan dan peraturan perpajakan dengan
mempelajari peraturan perpajakan seperti UU, PP, Keppres, KMK,
SK, dan SE Ditjen Pajak, kita dapat mengetahui peluang-peluang
yang dapat dimanfaatkan untuk menghemat beban pajak.
b. Menyelesaikan pembukuan yang memenuhi syarat. Pembukuan
merupakan sarana yang sangat penting dalam menyajikan
informasi keuangan perusahaan yang disajikan dalam bentuk LK
dan menjadi dasar dalam menghitung besarnya jumlah pajak (UU
KUP Pasal 28).
14
Apabila implementasi tax planning pada perusahaan dilakukan
secara baik dan benar, hal tersebut akan memberikan beberapa manfaat
bagi perusahaan yang diantaranya, adalah :
1. Penghematan kas keluar, pajak dianggap sebagai unsur biaya yang
dapat diminimalisasi dalam proses operasional perusahaan.
2. Mengatur aliran kas, dengan tax planning yang dikelola secara cermat,
perusahaan dapat menyusun anggaran kas secara lebih akurat,
mengestimasi kebutuhan kas terhadap pajak dan menentukan waktu
pembayarannyan sehingga tidak terlalu awal atau terlambat yang
mengakibtakan denda atau sanksi.
c. Pengendalian Pajak (Tax Control)
Pengendalian pajak bertujuan untuk memastikan bahwa kewajiban
pajak telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan
telah memenuhi persyaratan formal maupun material. Hal yang
terpenting dalam pengendalian pajak adalah pemeriksaan pembayaran
pajak. Oleh sebab itu, pengendalian dan pengaturan arus kas sangat
penting dalam strategi penghematan pajak, misalnya melakukan
pembayaran pajak pada saat terakhir tentu lebih menguntungkan jika
dibandingkan dengan membayar lebih awal. Pengendalian pajak
termasuk pemeriksaan jika perusahaan telah membayar pajak lebih
besar dari jumlah pajak terutang.
15
2. Motivasi Dilakukannya Perencanaan Pajak
Suandy (2011) menerangkan bahwa motivasi yang mendasari
dilakukannya suatu perencanaan pajak umumnya bersumber dari tiga
unsur perpajakan, yaitu :
a. Kebijakan Perpajakan (tax policy)
Kebijakan perpajakan (tax policy) merupakan alternatif dari
berbagai sasaran yang hendak dituju dalam sistem perpajakan. Dari
berbagai aspek kebijakan pajak, terdapat faktor-faktor yang
mendorong dilakukannya suatu perencanaan pajak.
1. Jenis Pajak yang Akan Dipungut
Dalam sistem perpajakan modern terdapat berbagai jenis
pajak harus menjadi pertimbangan utama, baik berupa pajak
langsung maupun pajak tidak langsung dan cukai sebagai berikut :
a) PPh Badan dan Orang Pribadi.
b) Pajak atas keuntungan modal (capital gains).
c) Withholding tax atas gaji, deviden, sewa, bunga, royalty.
d) Pajak atas impor, ekspor, serta bea masuk.
e) Pajak atas undian/hadiah.
f) Bea materai.
16
g) Capital transfer taxes/transfer duties.
h) Lisensi usaha dan pajak perdagangan lainnya.
Terdapat berbagai kewajiban jenis pajak yang harus dibayar
dimana masing-masing jenis pajak tersebut mempunyai sifat
perlakuan pajak sendiri-sendiri. Misalnya bea masuk dianggap
sebagai biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak
atau bisa dimintakan restitusi apabila kita melakukan ekspor
barang (output).
Sedangkan Pajak Penghasilan adalah pajak atas laba atau
penghasilan kena pajak yang dapat mengurangi besarnya
penghasilan bersih setelah pajak. Maka agar tidak mengganggu
atau tidak memberatkan arus kas perusahaan, diperlukan
perencanaan pajak yang baik untuk bisa menganalisis transaksi apa
yang akan terkena pajak yang mana dan berapa dana yang
diperlukan, sehingga dapat diketahui berapa penghasilan bersih
setelah pajak.
2. Subjek Pajak
Di Indonesia terdapat pemisahan antara badan usaha
dengan pribadi pemiliknya (pemegang saham) yang akan
menimbulkan pajak ganda.
17
Adanya perbedaan perlakuan perpajakan atas pembayaran
dividen badan usaha kepada pemegang saham perorangan dan
kepada pemegang saham berbentuk badan usaha menyebabkan
timbulnya usaha untuk merencanakan pajak dengan baik agar
beban pajak rendah sehingga sumber daya perusahaan bisa
dimanfaatkan untuk tujuan yang lain. Di samping itu, ada
pertimbangan untuk menunda pembayaran dividen dengan cara
meningkatkan jumlah laba yang ditahan bagi perusahaan yang juga
akan menimbulkan penundaan pembayaran pajak.
3. Objek Pajak
Adanya perlakuan perpajakan yang berbeda atas objek
pajak yang secara ekonomis hakikatnya sama, akan menimbulkan
usaha perencanaan pajak agar beban pajaknya rendah. Karena
objek pajak merupakan basis perhitungan besarnya pajak, maka
untuk optimalisasi alokasi sumber dana, manajemen akan
merencanakan pajak yang tidak lebih (karena bisa mengurangi
optimalisasi alokasi sumber daya) dan tidak kurang (agar tidak
harus membayar sanksi yang berarti pemborosan dana).
b. Undang-Undang Perpajakan (Tax Law)
Kenyataan menunjukkan bahwa di mana pun tidak ada Undang-
undang yang mengatur setiap permasalahan secara sempurna. Oleh
karena itu, dalam pelaksanaannya selalu diikuti oleh ketentuan-
18
ketentuan lain (Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan
Menteri Keuangan, dan Keputusan Ditjen Pajak). Tidak jarang
ketentuan pelaksanaan pajak tersebut bertentangan dengan Undang-
undang itu sendiri karena disesuaikan dengan kepentingan pembuat
kebijakan dalam mencapai tujuan lain yang ingin dicapainya.
Akibatnya terbuka celah (loopholes) bagi Wajib Pajak untuk
menganalisis kesempatan tersebut dengan cermat untuk perencanaan
pajak yang baik.
c. Administrasi Perpajakan (Tax Administration)
Indonesia merupakan negara dengan wilayah luas dan jumlah
penduduk yang banyak. Sebagai negara berkembang, Indonesia masih
mengalami kesulitan dalam melaksanakan administrasi perpajakannya
secara memadai. Hal ini mendorong perusahaan untuk melaksanakan
perencanaan pajak dengan baik agar terhindar dari sanksi administrasi
maupun pidana karena adanya perbedaan penafsiran antara aparat
fiskus dengan Wajib Pajak akibat luasnya peraturan perpajakannya
yang berlaku dan sistem informasi yang masih belum efektif.
Secara umum motivasi dilakukannya perencanaan pajak adalah
untuk memaksimalkan laba setelah pajak, karena pajak ikut
mempengaruhi pengambilan keputusan atas suatu tindakan dalam
operasi perusahaan untuk melakukan investasi melalui analisis yang
cermat dan pemanfaatan peluang atau kesempatan yang ada dalam
19
ketentuan peraturan yang sengaja dibuat oleh pemerintah, untuk
memberikan perlakuan yang berbeda atas objek yang secara ekonomi
hakikatnya sama (karena pemerintah mempunyai tujuan lain tertentu)
dengan memanfaatkan :
1. Perbedaan tarif pajak (tax rates).
2. Perbedaan perlakuan atas objek pajak sebagai dasar pengenaan
pajak (tax base).
3. Loopholes, Shelters, dan Havens.
3. Tahapan Dalam Membuat Perencanaan Pajak
Agar tax planning berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka
perencanaan itu seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan tahap-
tahap berikut :
1. Analisis informasi yang ada.
2. Buat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak.
3. Evaluasi pelaksanaan rencana pajak.
4. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana
pajak.
5. Mutakhirkan rencana pajak.
20
Meskipun suatu rencana pajak telah dilaksanakan dan proyek juga
telah berjalan, namun juga masih perlu mempertimbangkan setiap
perubahan yang terjadi baik undang-undang maupun pelaksanaannya
di negara dimana aktivitas tersebut dilakukan yang mungkin
mempunyai dampak terhadap komponen dari suatu perjanjian, yang
berkenaan dengan perubahan yang terjadi di luar negeri atas berbagai
macam pajak maupun aktifitas informasi bisnis yang tersedia sangat
terbatas. Pemutakhiran dari suatu rencana adalah konsekuensi yang
perlu dilakukan sebagaimana dilakukan oleh masyarakat yang dinamis.
Dengan memberikan perhatian terhadap perkembangan yang akan
datang maupun situasi yang terjadi saat ini, seorang manajer akan
mampu mengurangi akibat yang merugikan dari adanya perubahan,
dan pada saat yang bersamaan mampu mengambil kesempatan untuk
memperoleh manfaat yang potensial.
B. Implementasi Perencanaan Pajak
1. Tahapan dalam Membuat Perencanaan Pajak
Menurut Suandy (2011), agar perencanaan pajak dapat berhasil
sesaui dengan yang diharapkan, maka rencana itu seharusnya
dilakukan melalui berbagai urutan tahap-tahap, yaitu sebagai berikut :
21
a. Menganalisis Informasi (Basis Data) yang Ada
Tahap pertama dari proses pembuatan perencanaan pajak
adalah menganalisis komponen yang berbeda atas pajak yang
terlibat dalam suatu proyek dan menghitung seakurat mungkin
beban pajak yang harus ditanggung. Hal ini hanya bisa dilakukan
dengan mempertimbangkan masing-masing elemen dari pajak, baik
secara sendiri-sendiri maupun secara total pajak yang harus dapat
dirumuskan sebagai perencanaan pajak yang paling efisien. Penting
juga untuk memperhitungkan kemungkinan besarnya penghasilan
dari suatu proyek dan pengeluaran-pengeluaran lain diluar pajak
yang mungkin terjadi.
Untuk itu, seorang manajer perpajakan harus
memperhatikan faktor-faktor baik internal maupun eksternal, yaitu
sebagai berikut :
1) Fakta yang Relevan
Dalam arus globalisasi dan tingkat persaingan yang
semakin tinggi, seorang manajer perusahaan dalam melakukan
perencanaan pajak untuk perusahaannya dituntut untuk benar-
benar menguasai situasi yang dihadapi. Baik dari segi internal
maupun eksternal yang terjadi agar perencanaan pajak dapat
dilakukan secara tepat dan menyeluruh terhadap situasi maupun
transaksi yang mempunyai dampak dalam perpajakan.
22
2) Faktor-faktor Pajak
Dalam menganalisis setiap permasalahan yang dihadapi
dalam penyusunan perencanaan pajak tidak terlepas dari dua
hal utama yang berkaitan dengan faktor-faktor berikut :
a) Sistem perpajakan nasional yang dianut oleh suatu negara.
b) Sistem fiskus dalam menafsirkan peraturan perpajakan baik
Undang-undang domestik maupun kebijakan perpajakan.
Faktor-faktor pajak, terdiri dari :
a) Tipe pajak yang ada
Dalam merencanakan pajak, manajer harus
mengetahui secara pasti kewajiban perpajakan apa saja
yang berhubungan dengan perusahaan, baik pajak lokal
maupun pajak luar negeri.
b) Penafsiran atas undang-undang atau perjanjian
Manajer harus berhati-hati dalam menafsirkan atau
menentukan definisi dari suatu perjanjian, karena perjanjian
umumnya merumuskan istilah-istilah tertentu namun tidak
didefinisikan secara khusus.
23
c) Faktor penghubung
Faktor-faktor penghubung yang mempengaruhi besarnya
beban pajak antara lain :
1. Bentuk badan dari pembayar pajak
Setiap negara mempunyai perlakuan sendiri-sendiri
atas kewajiban perpajakannya tergantung dari bentuk
badan wajib pajak. Masing-masing bentuk badan akan
memperoleh perlakuan yang berbeda mulai dari beban
pajak, pengurangan dan pembatasan yang diberikan
maupun tarif pajak yang diperlukan.
2. Sumber penghasilan
Sumber penghasilan merupakan dasar pertimbangan
apakah wajib pajak akan dikenai pajak atau tidak.
Terutama bagi negara yang menganut sistem perpajakan
schedular (schedular tax system) dimana dalam sistem
ini diatur apa saja yang dikenakan pajak, siapa saja
yang dikenai pajak, apa dasar pengenaan pajaknya,
berapa tarifnya, apa saja yang dikurangkan, dan lain
sebagainya.
24
3. Sifat dari transaksi atau operasi
Dalam merencanakan pajak, manajer harus
memperhatikan setiap aspek perpajakan yang melekat
dalam setiap transaksi yang akan dilakukan, karena
transaksi tertentu mungkin akan mendapatkan
perlakuan yang menguntungkan atau sebaliknya.
4. Hubungan antara pembayar dengan pihak lain
Perlakuan pajak dipengaruhi oleh beberapa hal,
antara lain dengan siapa dan dalam bentuk apa kita
berhubungan. Bahkan, ada beberapa negara yang
memberikan perlakuan khusus terhadap perusahaan
yang melaporkan keuntungan dan kerugiannya secara
terkonsolidasi dengan anak perusahaannya.
5. Insentif pajak
Insentif pajak adalah salah satu fasilitas perpajakan
yang diberikan kepada investor luar negeri untuk
aktivitas tertentu atau untuk suatu wilayah tertentu.
Insentif ini diberikan guna pembangunan ekonomi suatu
negara khususnya negara berkembang.
25
3) Faktor Nonpajak Lainnya
a) Masalah Badan Hukum (Legal Entity)
Pemilihan bentuk badan usaha yang diusulkan
sering dibuat sebagai fungsi dari seluruh peraturan (baik
pajak maupun nonpajak) dalam rangka administrasi
pembentukan dan pembubaran badan hukum yang
bersangkutan.
b) Masalah Mata Uang dan Nilai Tukar
Nilai tukar mata uang yang berfluktuasi atau tidak
stabil memberikan risiko usaha yang cukup tinggi. Apalagi
jika ada masalah devaluasi maupun revaluasi. Dari dampak
finansial tentunya berakibat pada posisi laba rugi, terutama
bila terdapat banyak transaksi baik ekspor/impor maupun
pinjaman dalam bentuk mata uang asing. Disini diperlukan
strategi bisnis dalam menangani jual beli antara induk
perusahaan dengan anak perusahaan ataupun dengan
berbagai mitra usaha.
c) Masalah Pengawasan Devisa
Berbagai aturan yang dibuat mengenai devisa
tentunya menjadi bahan pertimbangan bagi perusahaan
untuk menanamkan modal atau tidak, karena perhitungan
26
untung rugi akhirnya selalu menjadi patokan dasar dalam
mengambil keputusan. Perencanaan pajak juga akan
terpengaruh karena bagaimanapun pengaturan pengawasan
devisa berdampak terhadap transfer pembayaran-
pembayaran, misalnya pembayaran pinjaman dari residen
ke non residen.
d) Masalah Program Insentif Investasi
Masalah program insentif yang ditawarkan negara
tertentu memberikan pilihan bagi WP untuk melakukan
investasi atau pemekaran usaha pada suatu lokasi/negara
tertentu. Insentif investasi yang merangsang biaya berupa
pemberian pinjaman dengan tarif bunga rendah, bebas
bunga, ataupun adanya pemberian bantuan dari pemerintah.
e) Masalah Faktor Nonpajak Lainnya
Faktor nonpajak lainnya seperti hukum dan sistem
administrasi yang berlaku, kestabilan ekonomi dan politik,
tenaga kerja, pasar, ada atau tidaknya tenaga profesional,
fasilitas perbankan, iklim usaha, bahasa, sistem akuntansi,
dan lain-lain harus dipertimbangkan juga dalam
penyusunan perencanaan pajak terutama berkaitan dengan
pemilihan lokasi investasi, apakah berupa cabang, anak
perusahaan, atau lainnya.
27
b. Buat Satu Model atau Lebih Rencana Besarnya Pajak
Model perjanjian internasional dapat melibatkan satu atau
lebih atas tindakan-tindakan berikut ini :
1) Pemilihan bentuk transaksi operasi atau hubungan
internasional.
2) Pemilihan negara asing sebagai tempat melakukan investasi
atau menjadi residen dari negara tersebut.
3) Penggunaan satu atau lebih negara tambahan.
c. Evaluasi atas Perencanaan Pajak
Perencanaan pajak sebagai suatu perencanaan yang
merupakan bagian kecil dari seluruh perencanaan strategis
perusahaan, oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi untuk melihat
sejauh mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap
beban pajak, perbedaan laba kotor, dan pengeluaran selain pajak
atas berbagai alternatif perencanaan. Variabel-variabel tersebut
akan dihitung seakurat mungkin dengan hipotesis sebagai berikut :
1) Bagaimana jika rencana tersebut tidak dilaksanakan.
2) Bagaimana jika rencana tersebut dilaksanakan dan berhasil
dengan baik.
3) Bagaimana jika rencana tersebut dilaksanakan tetap gagal.
28
Dari ketiga hipotesis tersebut tentu akan memberikan hasil
yang berbeda. Dari hasil tersebut barulah ditentukan apakah
perencanaan pajak tersebut layak untuk dilaksanakan atau tidak.
d. Mencari Kelemahan dan Kemudian Memperbaiki Kembali
Rencana Pajak
Untuk mengatakan bahwa hasil suatu perencanaan pajak
baik atau tidak, tentu harus dievaluasi melalui berbagai rencana
yang dibuat. Dengan demikian, keputusan yang terbaik atas suatu
perencanaan pajak harus sesuai dengan bentuk transaksi dan tujuan
operasi. Akan sangat membantu jika pembuatan suatu rencana
disertai gambaran atau perkiraan berapa peluang kesuksesan dan
berapa laba potensial yang akan diperoleh jika berhasil maupun
kerugian potensial jika terjadi kegagalan.
e. Memutakhirkan Rencana Pajak
Pemutakhiran dari suatu rencana adalah konsekuensi yang
perlu dilakukan sebagaimana dilakukan oleh masyarakat yang
dinamis. Dengan memberikan perhatian terhadap perkembangan
yang akan datang maupun situasi yang terjadi saat ini, seorang
manajer akan mampu mengurangi akibat yang merugikan dari
adanya perubahann dan pada saat yang bersamaan mampu
mengambil kesempatan untuk memperoleh manfaat yang potensial.
29
2. Strategi Umum Perencanaan Pajak
a. Tax Saving
Tax Saving merupakan upaya efisiensi beban pajak melalui
pemilihan alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih
rendah. Misalnya, perusahaan dapat melakukan perubahan
pemberian natura kepada karyawan menjadi tunjangan dalam
bentuk uang. Salah satu caranya dengan memberikan tunjangan
PPh Pasal 21 dengan menggunakan metode Gross Up.
Metode ini merupakan metode pemotongan pajak oleh
perusahaan dengan memberikan tunjangan pajak yang jumlahnya
sama besar dengan jumlah pajak karyawan yang terutang. Metode
Gross Up dapat memberikan keadilan pada kedua belah pihak,
karena bagi perusahaan tunjangan pajak dapat diakui sebagai biaya,
sedangkan bagi pegawai dianggap sebagai penghasilan.
Perhitungan tunjangan pajak pada metode Gross Up
diformulasikan untuk menyamakan jumlah pajak yang akan
dipotong dengan tunjangan pihak yang diberikan perusahaan
kepada karyawannya.
Rumus dari metode ini untuk menghitung besarnya
tunjangan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut :
30
1) Lapisan 1 (Rp 0 – Rp 47.500.00)
= (PKP setahun – Rp 0) x 5 + Rp 0
95
2) Lapisan 2 (Rp 47.500.00 – Rp 217.500.000)
= (PKP setahun – Rp 47.500.000) x 15 + Rp 2.5000.000
85
3) Lapisan 3 (Rp 217.500.000 – Rp 405.000.000)
= (PKP setahun – Rp 217.500.000) x 25 + Rp 32.500.000
75
4) Lapisan 4 (> Rp 405.000.000)
= (PKP setahun – Rp 405.000.000) x 30 + Rp 95.000.000
70
Sumber : http://perpajakan-indo.blogsport.co.id/2017/11
b. Tax Avoidance
Tax Avoidance merupakan upaya efisiensi beban pajak
dengan menghindari pengenaan pajak melalui transaksi yang bukan
merupakan objek pajak. Misalnya, perusahaan yang masih
mengalami kerugian, perlu mengubah tunjangan karyawan dalam
bentuk uang menjadi pemberian natura karena natura bukan
merupakan objek pajak PPh Pasal 21.
31
c. Menghindari Pelanggaran atas Peraturan Perpajakan
Dengan menguasai peraturan pajak yang berlaku,
perusahaan dapat menghindari timbulnya sanksi perpajakan berupa
sanksi administrasi (denda, bunga, atau kenaikan) dan sanksi
pidana (pidana atau kurungan).
d. Menunda Pembayaran Kewajiban Pajak
Menunda kewajiban pajak tanpa melanggar peraturan yang
berlaku dapat dilakukan melalui penundaan pembayaran PPN.
Penundaan ini dilakukan dengan menunda penerbitan faktur pajak
keluaran hingga batas waktu yang diperkenankan, khususnya untuk
penjualan kredit. Dalam hal ini, penjual dapat menerbitkan faktur
pajak pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan
barang.
e. Mengoptimalkan Kredit Pajak yang Diperkenankan
Wajib Pajak sering kurang memperoleh informasi
mengenai pembayaran pajak yang dapat dikreditkan yang
merupakan pajak dibayar dimuka. Misalnya, PPh Pasal 22 atas
impor, Ph Pasal 23 atas penghasilan jasa atau sewa.
Setelah mengetahui dengan jelas tahapan-tahapan dalam
membuat perencanaan pajak, kita dapat secepatnya menyusun
strategi untuk mengefisienkan beban pajak tentunya yang sesuai
32
dengan kondisi perusahaan. Strategi tersebut menurut Suandy
(2006) dan Zain (2005) dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Memilih bentuk badan hukum yang paling sesuai dengan
kebutuhan dan jenis usaha.
b. Memilih lokasi berdirinya perusahaan dimana lokasi tersebut
hendaknya mendapatkan insentif atau fasilitas perpajakan dari
pemerintah.
c. Mengambil keuntungan yang maksimal dari pengecualian,
potongan atau pengurangan atas Penghasilan Kena Pajak yang
diperbolehkan oleh Undang-Undang.
d. Mengingat bahwa di Indonesia pembagian dividen antar
corporate (inter corporate dividend) tidak dikenai pajak, maka
sebaiknya perusahaan didirikan dalam satu jalur usaha
(corporate company) sehingga dapat menguntungkan masing-
masing badan usaha.
e. Memisahkan profit center dan cost center didalam perusahaan.
f. Pemilihan metode pembukuan, cash basis atau accrual basis.
C. Pajak Penghasilan
1. Definisi Pajak Penghasilan
33
Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 17 Tahun
2000 Pasal 1 “Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan
terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterimanya atau
diperolehnya dalam tahun pajak”. Pajak penghasilan merupakan pajak
subjektif karena subjek pajak akan dikenai pajak apabila dia menerima
atau memperoleh penghasilan. Dalam Undang-Undang Pajak
Penghasilan, subjek pajak yang menerima atau memperoleh
penghasilan disebut sebagai Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenakan pajak
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak
atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun
pajak.
2. Dasar Hukum Pajak Penghasilan
Berikut ini adalah Dasar Hukum Pajak yang berlaku di Indonesia,
antara lain :
1) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23A
Dari berbagai jenis undang-undang yang mengatur tentang
pajak yang ada di Indonesia, UUD 1945 Pasal 23A merupakan
induk sumber hukum dari semua undang-undang yang ada. UUD
1945 Pasal 23 berisi tentang aturan dalam hal keuangan negara
yang meliputi penyusunan anggaran belanja, mata uang negara,
dan peraturan tentang perpajakan. Khusus perpajakan disusun
dalam Pasal 23A yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang
34
bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-
undang”. Dari isi pasal tersebut jelas sekali jika Pasal 23A
merupakan sumber hukum utama dari peraturan-peraturan yang
menetapkan sisten dan tata cara seluruh perpajakan yang berlaku di
Indonesia.
Melihat pajak yang berlaku di Indonesia, tentu kita
mengenal berbagai jenis pajak yang umum sering kita bayar per
tahunnya, seperti PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) dan PPh (Pajak
Penghasilan). Secara hukum masing-masing dari jenis pajak
tersebut diatur terpisah berdasarkan undang-undang yang berbeda,
pemisahan aturan hukum disebabkan karena setiap pajak memiliki
ruang lingkup yang berbeda, sehingga membutuhkan penyesuaian
peraturan secara tepat. Setiap undang-undang yang dibuat untuk
mengatur jenis perpajakan tertentu pada dasarnya secara
menyeluruh merupakan bentuk tindak lanjut dari Undang-Undang
Dasar Pasal 23A.
2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 didalamnya
mengatur tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Sebelum terbentuknya undang-undang ini, sebenarnya sudah
terdapat undang-undang yang memiliki tujuan dan aturan hukum
yang sama yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983. Hadirnya
35
UU No. 16 Tahun 2000 merupakan pengganti dari UU Nomor 6
Tahun 1983. Perubahan undang-undang ini didasari oleh beberapa
hal yang berkaitan dengan perbaikan dalam pelaksanaan undang-
undang ini yaitu lebih memberikan kesejajaran dalam keadilan dan
meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat atau wajib
pajak dan yang lebih penting adalah menciptakan kepastian hukum
yang lebih tegas.
Dalam UU No. 16 Tahun 2000 menjelaskan beberapa
informasi yang bersifat umum, seperti siapa saja yang memiliki
kewajiban perpajakan beserta ruang lingkup yang meliputi
keseluruhan tentang perpajakan pada umumnya. Selain itu dalam
undang-undang ini juga mengatur tentang fungsi dan mekanisme
penggunaan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), faktor-faktor
tentang pengukuhan pengusaha kena pajak, fungsi dan tata cara
dalam surat pemberitahuan, dan tata cara pembayaran pajak secara
prosedural yang benar.
3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
Pada dasarnya undang-undang ini merupakan bentuk
perubahan untuk yang ketiga kali dari undang-undang sebelumnya.
UU Nomor 7 Tahun 1983 merupakan bentuk pertama dari undang-
undang yang berlaku mengenai beberapa peraturan tentang pajak
penghasilan (PPh). Perubahan kedua pada undang-undang ini
36
terjadi pada tahun 1994, dimana beberapa pasal mengalami
perubahan isi dan ketentuan yang lebih relevan dengan
perkembangan kondisi negara. Beberapa jenis undang-undang
lainnya banyak yang mengalami perubahan saat itu, sehingga
untuk mendukung perubahan tersebut dibutuhkan penyesuaian
pada undang-undang pajak penghasilan agar secara keseluruhan isi
mampu menguatkan dan memiliki keterikatan yang lebih dengan
undang-undang lainnya.
UU Nomor 17 Tahun 2000 didalamnya berisi tentang
penjelasan dan ketentuan yang berkaitan dengan keseluruhan ruang
lingkup pajak penghasilan. Undang-undang ini memiliki beberapa
pasal didalamnya yang menyebutkan perihal tentang siapa saja
yang termasuk sebagai subjek pajak penghasilan, penggolongan
jenis-jenis pajak, ketentuan tentang penyebutan objek pajak
penghasilan, perhitungan besarnya pajak penghasilan yang harus
dikeluarkan oleh wajib pajak, dan penghasilan tidak kena pajak.
4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 merupakan
perubahan kedua dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983,
undang-undang ini merupakan dasar peraturan tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan atas
barang mewah. Jika melihat isi pembukaan dalam undang-undang
37
ini akan terlihat beberapa kepentingan terhadap pelaksanaan aturan
yang menjadi acuan dalam melakukan perubahan terhadap undang-
undang sebelumnya. Perubahan dalam undang-undang diwujudkan
untuk meningkatkan jaminan kepastian hukum dan meratanya
tingkat keadilan, selain itu perubahan yang terjadi bersifat
mempermudah dalam penerapan sistem perpajakan tanpa
mengabaikan fungsi pengawasan pengamanan penerimaan negara
yang ditujukan untuk menggerakkan pembangunan nasional.
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2000 memuat
beberapa peraturan mengenai penjelasan tentang apa saja yang
termasuk jenis barang dan jasa kena pajak, kegiatan ekspor, impor
dan perdagangan, subjek-subjek yang kena pajak, ketentuan untuk
melaporkan dan menyetor pajak yang terhutang, perihal ketentuan
objek pajak, dan ketentuan tentang pajak atas penjualan barang
mewah beserta ruang lingkup baik jenis maupun hingga
perhitungan didalamnya mulai dari aturan tarif minimum dan
maksimum atas pajak barang mewah.
5) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 merupakan
pengganti dari undang-undang sebelumnya yang telah berlaku,
yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997. Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2000 didalamnya berisi aturan dan prosedural
38
tentang penagihan pajak dengan surat paksa. Mengingat sifat pajak
adalah kewajiban yang harus dibayar, maka dalam penerapan harus
terdapat mekanisme pengawasan dan ketegasan terhadap
ketidakpatuhan dalam segala upaya yang berkaitan dengan
pelaksanan kewajiban tertanggung oleh subjek pajak. Itulah salah
satu alasan mengapa undang-undang ini mengalami perubahan,
selain dipengaruhi juga oleh faktor perubahan sistem hukum
nasional dan tatanan kehidupan masyarakat yang membutuhkan
akan meningkatnya kepastian hukum dan memberikan keadilan
bersama.
6) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 memuat tentang
perubahan atas peraturan sebelumnya, yaitu Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1997. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000
mengatur tentang bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.
Dilihat dari isi yang ada dalam undang-undang ini meliputi
beberapa ketentuan mengenai pengertian umum tentang bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan, penjelasan tentang
perolehan hak atas tanah dan bangunan beserta maksud dari adanya
hak atas tanah dan bangunan, surat ketetapan dan surat setoran bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan, penjelasan tentang objek
pajak atas tanah dan bangunan, dan pemindahan serta pelepasan
hak atas tanah dan bangunan.
39
7) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
Merupakan Undang-Undang yang mengatur segala
ketentuan yang berkaitan tentang pengadilan pajak yang berlaku di
Indonesia. Hal yang menjadi dasar dan tujuan dari penetapan
undang-undang ini adalah bahwa Indonesia adalah negara hukum
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang tujuannya menjamin
terwujudnya keadilan dan kesejahteraan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, terselenggaranya pembangunan nasional
yang merata di seluruh Indonesia, belum adanya lembaga hukum
yang bertindak sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa
pajak, dan tujuan yang paling terpenting adalah mampu
menciptakan kepastian dan keadilan hukum dalam penyelesaian
sengketa pajak. Dilihat dari isi undang-undang ini, didalamnya
menjelaskan tentang beberapa ketentuan umum mengenai susunan
lembaga pajak, fungsi dan prosedural dalam perpajakan,
kedudukan pengadilan pajak, dan susunan dari pengadilan pajak.
8) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994
Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 merupakan
pengganti dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 yang
sebelumnya telah berlaku dalam perpajakan Indonesia. Undang-
Undang ini secara keseluruhan mengatur pelaksanaan dan aturan
tentang pajak bumi dan bangunan yang berlaku di Indonesia.
40
Pengubahan undang-undang ini ditujukan untuk lebih
meningkatnya peran pajak dalam pembangunan nasional
khususnya dalam kegiatan perekonomian, menjaga agar
perkembangan ekonomi terus terselenggara dan berjalan dengan
baik sesuai dengan kebijakan pembangunan yang berlaku, dan
untuk meningkatkan kepastian hukum yang berkaitan dengan
sistem perpajakan yang terus berkembang. Perubahan undang-
undang ini memuat beberapa aturan mengenai objek pajak yang
tidak termasuk dalam hitungan pajak bumi dan bangunan serta
ketentuan terhadap penetapan nilai jual objek pajak beserta ruang
lingkup yang terkandung dalam pajak bumi dan bangunan.
3. Wajib Pajak dan Kewajibannya
a. Wajib Pajak
Wajib Pajak adalah setiap orang pribadi atau badan yang
telah memenuhi kewajiban objektif dan subjektif perpajakan.
Wajib Pajak yang diwajibkan mempunyai NPWP dibedakan
menjadi :
1) Orang Pribadi yang mempunyai penghasilan diatas PTKP.
2) Badan Usaha dalam segala bentuk termasuk BUT.
3) Bendahara pemerintah pusat maupun daerah.
b. Kewajiban Wajib Pajak Setelah Mempunyai NPWP
41
1) Wajib Pajak yang Mempunyai Penghasilan dari Hubungan
Kerja
Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) yang tidak melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas (berstatus sebagai
karyawan) dan hanya bekerja pada satu pemberi kerja tidak
memiliki kewajiban untuk membayar pajak sendiri setiap bulan
atas penghasilan yang diterima/diperoleh sehubungan dengan
pekerjaan. WPOP ini juga tidak memliki kewajiban untuk
membuat laporan (Surat Pemberitahuan Masa) ke KPP setiap
bulan.
Perusahaan tempat wajib pajak bekerja memiliki kewajiban
untuk memotong pajak atas penghasilan sehubungan pekerjaan
yang dibayarkan/terutang kepada karyawannya setiap bulan
dan menyetorkannya ke kas negara serta melaporkannya ke
KPP setempat. Oleh karena itu, gaji yang diterima oleh WPOP
yang berstatus sebagai karyawan adalah gaji bersih setelah
dipotong pajak penghasilan.
2) Wajib Pajak yang Mempunyai Penghasilan dari Kegiatan
Usaha
WPOP yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas
selaku pemberi kerja selain diwajibkan untuk menghitung,
membayar, dan melaporkan pajak yang terutang atas
42
penghasilan yang diterima atau diperolehnya sendiri juga
diwajibkan untuk menghitung, menyetorkan, dan melaporkan
PPh yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan atau
terutang kepada karyawannya.
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang adalah sebesar PPh
terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu,
setelah dikurangi dengan PPh yang dipotong/dipungut oleh
pihak pemberi kerja dan PPh yang terutang/dibayar di luar
negeri yang dapat dikreditkan, dibagi dua belas.
c. Kewajiban Wajib Pajak yang Menjalankan Usaha
1) Kewajiban Menghitung dan Membayar Pajak
Dalam hal kewajiban menghitung dan membayar sendiri
pajak Wajib Pajak wajib menghitung dan membayar sendiri
pajak terutang, yang meliputi pembayaran angsuran PPh setiap
bulan (PPh Pasal 25) dan kekurangan PPh selama setahun (PPh
Pasal 29). Di samping itu, juga meliputi kewajiban untuk
membayar atau melunasi utang pajak yang timbul karena
pemeriksaan pajak.
2) Kewajiban Pemungutan/Pemotongan Pajak
Selain pembayaran yang dilakukan sendiri, terdapat
mekanisme pembayaran lainnya, yaitu dengan mekanisme
43
pemotongan atau pemungutan yang dilakukan oleh pihak
pemberi penghasilan. Pihak pemberi penghasilan adalah pihak
yang ditunjuk berdasarkan ketentuan perpajakan untuk
memotong atau memungut, antara lain yang ditunjuk tersebut
adalah bendahara pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggaraan kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya. Apabila Wajib Pajak tergolong
sebagai subjek pajak badan dalam negeri, maka diwajibkan
juga sebagai pemotong atau pemungut pajak.
3) Kewajiban Pelaporan Pajak
Pajak yang telah dibayar oleh Wajib Pajak wajib
dilaporkan. Pelaporan pajak dapat disampaikan di KPP tempat
Wajib Pajak terdaftar, KP2KP di lingkungannya, drop box, e-
filing, dan/atau mobil pajak atau pojok pajak. Wajib Pajak
menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) sebagai sarana
pelaporan dan pertanggungjawaban penghitungan jumlah pajak
yang sebenarnya terutang. Selain itu, SPT juga digunakan
untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak baik yang
dilakukan WP sendiri maupun melalui mekanisme pemotongan
dan pemungutan yang dilakukan oleh pihak pemotong atau
pemungut, melaporkan harta dan kewajiban, dan pembayaran
dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan dan
pemungutan pajak yang telah dilakukan.
44
4) Kewajiban Pembukuan/Pencatatan
Pembukuan diwajibkan bagi WP Badan dan WPOP yang
melakukan kegiatan usaha atau perkerjaan bebas, dengan
pengecualian apabila omsetnya dalam satu tahun di bawah Rp
4,8 milyar. Sedangkan bagi WPOP yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas dengan omset di bawah Rp 4,8
milyar setahun atau tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas, diwajibkan untuk melakukan pencatatan.
4. Wajib Pajak Badan
Wajib Pajak Badan adalah beban yang telah memenuhi kewajiban
objektif dan subjektif perpajakan. Objek pajak PPh Badan adalah
penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh wajib pajak badan baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak badan yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Tarif yang
diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Badan dalam
negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 25%. Penurunan tarif
sebesar 5% lebih rendah dari tarif normal apabila :
a. WP merupakan WP dalam negeri berbentuk perseroan terbuka
dengan kepemilikan saham publiknya 40% atau lebih dari
45
keseluruhan saham yang disetor, dan saham tersebut dimiliki
paling sedikit 300 pihak.
b. Masing-masing pihak pemilik saham hanya boleh memiliki kurang
dari 5% dari keseluruhan saham yang disetor.
c. Kondisi pada huruf a dan b tersebut harus terpenuhi paling singkat
6 bulan dalam jangka waktu 1 tahun pajak.
D. Jenis-Jenis Pajak Penghasilan
1. Pajak Penghasilan Pasal 21
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan
berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjan atau
jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan orang pribadi
(Mardiasmo,2011:188).
a. Pemotong PPh Pasal 21
1) Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan.
2) Bendahara pemerintah baik Pusat maupun Daerah.
3) Dana pensiun atau badan lain seperti jaminan Sosial Tenaga
Kerja (Jamsostek) dan badan-badan lainnya.
4) Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas serta yang membayar honorarium atau pembayaran lain
46
kepada jasa tenaga ahli, orang pribadi dengan status sugjek
pajak luar negeri, peserta pendidikan, pelatihan dan magang.
5) Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah,
oraganisasi yang bersifat internasional, perkumpulan, orang
pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan
kegiatan.
b. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21
1) Pegawai.
2) Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun,
tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli
warisnya.
3) Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan,jasa, atau kegiatan.
c. Penerima Penghasilan yang Tidak Dipotong PPh Pasal 21
Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain
dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada
mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka,
dengan syarat :
1) Bukan Warga Negara Indonesia.
47
2) Di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain
di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang
bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
3) Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan
oleh Keputusan Menteri Keuangan sepanjang bukan Warga
Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau pekerjaan
lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.
d. Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21
1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik
berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur.
2) Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun
secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejeninya.
3) Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja
dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima
secara sekaligus berupa uang peasngon, uang manfaat pensiun,
tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain
sejenisnya.
4) Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa
uapah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan,
atau upah yang dibayarkan secara bulanan.
48
5) Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium,
komisi, fee, dan imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
dan kegiatan yang dilakukan.
6) Imbalan kepada peserta kegiatan, anatara lain berupa uang
saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau
penghargaan dengan nama apapun.
e. Tidak termasuk Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21
1) Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa.
2) Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam
bentuk apapun yang diberikan oleh Waji Pajak atau
Pemerintah, kecuali diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib
Pajak yang dikenakan PPh yang bersifat final dan yang
dikenakan PPh berdasarkan norma perhitungan khusus (deemed
profit).
3) Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran
tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan
penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara
jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja.
49
4) Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan
atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah.
5) Beasiswa yang diterima atau diperoleh Warga Negara
Indonesia dari Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam rangka
mengikuti pendidikan formal/nonformal yang terstruktur baik
di dalam negeri maupun luar negeri.
f. Penghasilan Tidak Kena Pajak
Besarnya penghasilan tidak kena pajak sesuai dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 adalah sebagai
berikut :
1) Rp 54.000.000 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi.
2) Rp 4.500.000 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin.
3) Rp 54.000.000 tambahan untuk istri yang penghasilannya
digabung dengan penghasilan suami.
4) Rp 4.500.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah
dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak
angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3
orang untuk setiap keluarga.
g. Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21
50
Berdasarkan UU Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008
Pasal 17 Tarif Pajak Penghasilan Orang Pribadi adalah sebagai
berikut :
Tabel 2.1
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21
Lapisan Penghasilan Tarif
sampai dengan Rp 50.000.000 5%
di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000 15%
di atas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 500.000.000 25%
di atas Rp 500.000.000 30%
Sumber : UU PPh Nomor 36 Tahun 2008
Bagi Wajib Pajak penerima penghasilan yang dikenai
pemotongan PPh Pasal 21 yang tidak mempunyai NPWP dikenai
pemotongan 20% lebih tinggi dari tarif normal.
2. Pajak Penghasilan Pasal 22
a. Definisi Pajak Penghasilan Pasal 22
Mardiasmo (2011:246) mengemukakan bahwa Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh :
51
1) Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah, instansi/lembaga
pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan
dengan pembayaran atas penyerahan barang.
2) Badan-badan tertentu, baik dalam pemerintah maupun swasta
berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan
usaha di bidang lain.
3) Wajib Pajak Badan tertentu untuk memungut pajak dari
pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
b. Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
1) Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC), atas
impor barang.
2) Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), Bendahara
Pemerintah Pusat/Daerah yang melakukan pembayaran atas
pembelian barang.
3) BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan
dana yang bersumber dari APBN dan atau APBD, kecuali
badan-badan tersebut pada angka 4.
4) Bank Indonesia (BI), Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Badan
Urusan Logistik (BULOG), PT. Telkom, PT. PLN, PT. Garuda
Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, Pertamina dan
52
bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang
dananya bersumber baik dari APBN maunpun non APBN.
5) Badan usaha yang bergerak dalam bidang industri semen,
industri rokok, industri kertas, industri baja dan industry
otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak,
atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri.
6) Produsen atau importer bahan bakar minyak, gas, dan pelumas
atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas.
7) Industri dan eksportir yang bergerak dalam bidang perhutanan,
perkebunan, pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk oleh
Dirjen Pajak, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan
industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
8) WP Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong
sangat mewah.
c. Tarif PPh Pasal 22
1) Atas impor :
a) Yang mengunakan Angka Pengenal Importir (API), 2,5%
dari nilai impor.
b) Yang tidak menggunakan API, 7,5% dari nilai impor.
c) Yang tidak dikuasai, 7,5% dari harga jual lelang.
53
2) Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPb, Bendahara
Pemerintah, BUMN/BUMD sebesar 1,5% dari harga pembelian
tidak termasuk PPN dan tidak final.
3) Atas penjualan hasil produksi ditetapkan berdasarkan
Keputusan Dirjen Pajak, yaitu :
a) Kertas = 0,1% x DPP PPN (tidak final).
b) Semen = 0,25% x DPP PPN (tidak final).
c) Baja = 0,3% x DPP PPN (tidak final).
d) Rokok = 0,15% x harga bandrol (final).
e) Otomotif = 0,45% x DPP PPN (tidak final).
4) Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh
produsen atau importer bahan bakar minyak, gas, dan pelumas
adalah sebagai berikut :
a) Bahan bakar minyak sebesar :
1. 0,25% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk
penjualan kepada SPBU Pertamina.
2. 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk
penjualan kepada SPBU bukan Pertamina dan non
SPBU.
54
b) Bahan bakar gas sebesar 0,3% dari penjualan tidak
termasuk PPN.
c) Pelumas sebesar 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN.
5) Atas penjualan bahan-bahan untuk keperluan industri atau
ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir yang bergerak
dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan
yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 dari pedagang
pengumpul sebesar 0,25% dari harga pembelian tidak termasuk
PPN.
d. Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22
1) Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh,
dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas (SKB).
2) Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan PPN,
dilaksanakan oleh DJBC.
3) Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata
dimaksudkan untuk diekspor kembali, dan dilaksanakan oleh
Dirjen BC.
4) Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah atau yang
lainnya yang jumlahnya paling banyak Rp 2.000.000 dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
55
5) Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas,
air minum/PDAM, benda-benda pos.
6) Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang
perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan
SKB.
7) Pembayaran/pencarian dan Jaring Pengaman Sosial oleh
Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.
8) Impor kembali (re-impor) dalam kualitas yang sama atau
barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan,
pengerjaan dan pengujian yang memenuhi syarat yang
ditentukan oleh Ditjen Bea dan Cukai.
9) Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog.
3. Pajak Penghasilan Pasal 23
a. Definisi Pajak Penghasilan Pasal 23
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang
dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak dalam negeri dan BUT yang berasal dari modal, penyerahan
jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh
21, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh
tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan
56
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya (Mardiasmo,2011:255).
b. Pemotong PPh Pasal 23
1) Badan pemerintah.
2) Subjek pajak badan dalam negeri.
3) Penyelenggara kegiatan.
4) Bentuk usaha tetap (BUT).
5) Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
6) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk
oleh Direktur Jenderal Pajak.
c. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 23
1) Wajib Pajak dalam negeri.
2) BUT.
d. Tarif dan Objek PPh Pasal 23
1) 15% dari jumlah bruto atas :
a) Dividen kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi
dikenakan final, bunga, royalti.
57
b) Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh
Pasal 23.
2) 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta kecuali sewa tanah
dan/atau bangunan.
3) 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen,
jasa kontruksi, dan jasa konsultan.
4) 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya.
5) Untuk yang tidak non NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari
tarif PPh Pasal 23.
Jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang
dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh
tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak
dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak termasuk :
1) Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan yang dibayarkan oleh WP penyedia tenaga kerja
kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan,
berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa.
58
2) Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau
material (dibuktikan dengan faktur pembelian).
3) Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk
selanjutnya dibayarkan kepada pihak ketiga (dibuktikan
dengan faktur tagihan pihak keiga disertai dengan
perjanjian tertulis).
4) Pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu
penggantian pembayaran sebesar jumlah yang nyata-nyata
telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga
(dibuktikan dengan faktur tagihan atau bukti pembayaran
yang telah dibayarkan kepada pihak ketiga).
Jumlah bruto tersebut tidak berlaku :
1) Atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa
catering.
2) Dalam hal penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan
jasa, telah dikenakan pajak yang bersifat final.
e. Pengecualian Pemotongan PPh Pasal 23
1) Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada Bank.
2) Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa
guna usaha dengan hak opsi.
59
3) Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh
perseroan terbatas sebagai WP dalam negeri, koperasi,
BUMN/BUMD, dari penyertan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
a) Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.
b) Bagi perseroan terbatas, BUMN/BUMD, kepemilikan
saham pada badan yang memberikan deviden paling renah
25% dari jumlah modal yang disetor.
4) Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari
perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-
saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi termasuk
pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
5) SHU koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggotanya.
6) Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha
atau jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman
dan/atau pembiayaan.
4. Pajak Penghasilan Pasal 25
Meurut Undang-Undang PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 25,
ketentuan angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan antara lain
sebagai berikut :
60
a. Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar
Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi
dengan :
1) Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dalam Pasal 21
dan Pasal 23.
2) Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22.
3) Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri
yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
b. Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh WP
untuk bulan-bulan sebelum SPT Pajak Penghasilan disampaikan
sebelum batas waktu penyampaian SPT Pajak Penghasilan sama
dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak
yang lalu.
c. Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan Surat Ketetapan
Pajak untuk tahun pajak yang lalu, besarnya angsuran pajak
dihitung kembali berdasarkan Surat Ketetapan Pajak tersebut dan
61
berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan Surat
Ketetapan Pajak.
d. Dirjen Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya
angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu,
sebagi berikut :
1) WP berhak atas kompensasi kerugian.
2) WP memperoleh penghasilan tidak teratur.
3) SPT Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah
lewat batas waktu yang ditentukan.
4) WP diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT
Pajak Penghasilan.
5) WP membentulkan sendiri SPT Pajak Penghasilan yang
mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran
bulanan sebelum pembetulan.
6) Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
e. Menteri Keuangan menetapkan penghitungan besarnya angsuran
pajak bagi :
1) WP baru.
62
2) Bank, BUMN, BUMD, Wp masuk bursa, dan Wp lainnya yang
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus
membuat laporan keuangan berkala.
3) WP orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi
0.75% dari peredaran bruto.
f. Penurunan PPh Pasal 25
1) Pengelolaan transaksi yang berkaitan dengan kesejahteraan
karyawan. Karena Indonesia termasuk negara yang cenderung
sering mengalami inflasi, maka metode penilaian persediaan
yang disarankan adalah metode rata-rata (average). Metode ini
akan menghasilkan beban pokok penjualan (BPP) yang lebih
tinggi dibandingkan metode penilaian persediaan yang lain.
BPP yang tinggi akan menurunkan laba kotor sehingga
penghasilan kena pajak ikut mengecil.
2) Selain pembelian langsung, perusahaan dapat
mempertimbangkan untuk memperoleh aktiva tetap melalui
sewa guna usaha karean jangka waktu leasing umumnya lebih
pendek dari umum aktiva dan dapat dibiayakan seluruhnya,
sehingga aktiva tersebut dapat dibiayakan lebih cepat daripada
melalui penyusutan jika membeli secara langsung.
63
3) Memilih metode penyusutan dan amortisasi yang paling sesuai
dan menguntungkan bagi perusahaan.
4) Menghindari pengenaan pajak dengan mengarahkan pada
transaksi yang bukan objek pajak.
5) Mengoptimalkan jumlah kredit pajak yang diperbolehkan.
6) Pengelolaan transaksi yang berkaitan dengan withholding tax.
7) Memberikan tunjangan PPh Pasal 21 kepada karyawan dengan
cara gross up.
8) Menunda pembayaran kewajiban pajak sampai dengan
mendekati tanggal jatuh tempo.
9) Menghindari pemeriksaan pajak. Pemeriksaan pajak biasa
dilakukan terhadap wajib pajak yang :
1. SPT lebih bayar
a. Menghindari lebih bayar dapat dilakukan dengan cara
mengajukan pengurangan pembayaran lumpsum
(angsuran masa) PPh Pasal 25 ke KPP yang
bersangkutan jika pada tahun yang bersangkutan
diperkirakan akan terjadi kelebihan pembayaran pajak.
b. Mengajukan permohonan pembebasan Pasal 22 impor
jika perusahaan melakukan impor.
64
2. SPT rugi
a. Tidak memasukkan atau terlambat memasukkan SPT.
b. Ada informasi pelanggaran.
c. Memenuhi kriteria yang ditetapkan Dirjen Pajak.
5. Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2
Berdasarkan Undang-Undang PPh Nomor 36 Tahun 2008, Pajak
Penghasilan Pasal 4 Ayat 2 adalah pajak atas penghasilan berupa
bunga deposito, dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari
transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari
pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan
tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
a. Pemotong PPh Pasal 4 Ayat 2
1) Koperasi.
2) Penyelenggara kegiatan.
3) Otoritas bursa.
4) Bendaharawan.
b. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 4 Ayat 2
65
1) Penerima bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi
dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan
oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.
2) Penerima hadiah undian.
3) Penjual saham dan sekuritas lainnya.
4) Pemilik properti berupa tanah dan/atau bangunan.
c. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2
Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI dikenakan
tarif 20%. Pengecualian :
1) Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI sepanjang
jumlah deposito dan tabungan serta SBI tersebut tidak melebihi
Rp 7.500.000 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-
pecah.
2) Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang
didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di
Indonesia.
3) Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima
aau diperoleh Dana Pensiun yang telah disahkan Menteri
Keuangan, sepanjang dananya diperoleh dari sumber
66
pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
4) Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk pemerintah dalam
rangka pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana,
kapling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat
sederhana, atau rumah susun sederhana sepanjang untuk dihuni
sendiri.
Omset terkait transaksi yang dikenakan PPh Pasal 4 Ayat 2
tidak dimasukkan dalam omset usaha, namun dimasukkan
dalam omset penghasilan yang telah dipotong PPh Final.
E. Riset Sebelumnya
1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh INDAH YULIA
PUSPITASARI (B12.2009.01454) dengan judul “PENERAPAN TAX
PLANNING ATAS PAJAK PENGHASILAN (PPh) BADAN (STUDI
KASUS PADA CV. SCRONICA SARI)”.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis pada CV.
SCRONICA SARI maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1) Tax Planning yang dipakai dalam penelitian ini difokuskan pada :
a. Tunjangan Kesehatan Kepada Karyawan.
b. Memberikan Bonus Gaji Kepada Karwayan.
67
c. Biaya Perawatan Kendaraan.
2) CV. Scronica Sari adalah perusahaan jasa catering yang termaju di
daerah Mangkang.
3) CV. Scronica Sari hanya melakukan kegiatan pembukuan dengan
menyajikan laporan Laba/Rugi untuk pemasukan dan pengeluaran
kas untuk pembiayaan kegiatan operasional.
4) CV. Scronica Sari belum memilki karyawan khusus untuk
menangani pajak. Jadi secara langsung tidak melakukan kegiatan
tax planning.
5) Dalam pemenuhan kebijakan perpajakan CV. Scronica Sari adalah
Wajib Pajak yang taat. Hal ini terlihat dari tidak adanya sanksi
ataupun denda dari pihak perpajakan kepada CV. Scronica Sari.
2. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh DEBORA NOVAYANTI
(1006811406/FE UI 2012) dengan judul “ANALISIS PENERAPAN
PERENCANAAN PAJAK PPh 21 SEBAGAI UPAYA
MENGOPTIMALKAN PAJAK PENGHASILAN (STUDI KASUS
PT.A)”.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis pada PT. A
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1) Perencanaan pajak yang dilakukan perusahaan terbagi menjadi 2
cara yaitu :
68
a. Pemberian Tunjangan Tunai
a) Pemberian tunjangan kesehatan secara tunai pada
karyawan. Tunjangan kesehatan yang diberikan akan
menambah penghasilan karyawan, tunjangan tersebut boleh
dibebankan oleh perusahaan.
b) Memberi tunjangan makan dalam bentuk tunai pada
karyawan. Tunjangan makan tersebut dibayarkan perbulan
oleh perusahaan. Tunjangan makan yang diberikan kepada
karyawan dapat dijadikan beban oleh perusahaan.
c) Memberikan tunjangan transportasi pada karyawan dalam
bentuk tunai. Tunjangan transportasi yang diberikan kepada
karyawan dapat dijadikan beban oleh perusahaan.
b. Pemberian Natura
Pemberian natura atau kenikmatan yang diberikan oleh
perusahaan adalah dalam bentuk pemberian voucher pulsa
telpon yang digunakan untuk kebutuhan karyawan. Natura
dalam bentuk voucher telepon dapat dibebankan sebesar 50%.
2) Selisih yang terjadi setelah menerapkan perencanaan pajak
merupakan penghematan pajak yang diperoleh oleh perusahaan.
Dimana sebelum penerapan perencanaan pajak, pajak penghasilan
yang harus dibayar perusahaan Rp 426.355.441 dan setelah
69
melakukan perencanaan pajak menjadi Rp 307.561.567. Sehingga
diperoleh penghematan pajak sebesar Rp 118.793.874 selisih
tersebut dapat digunakan perusahaan untuk hal yang lebih berguna
dan bermanfaat.
3) Semua perencanaan pajak yang ditetapkan oelh PT. A sudah sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
3. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ENI RAMAYANTI BR
JAWAK (070522081.2009) Universitas Sumatra Utara dengan judul
“PENEFRAPAN TAX PLANNING ATAS PAJAK BADAN PADA
PT. AGRICON PUTRA CITRA OPTIMA CABANG MEDAN”.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis pada PT.
Agricon Putra Citra Optima Cabang Medan maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1) PT. Agricon Putra Citra Optima adalah perusahaan jasa yang sudah
tersebar di 6 kota besar di Indonesia termasuk kota medan.
2) PT. Agricon Putra Citra Optima sebagai cabang perusahaan hanya
melakukan kegiatan pembukuan dengan menyajikan laporan
Laba/Rugi untuk pemasukan dan pengeluaran kas untuk
pembiayaan kegiatan operasional cabang Medan. Selebihnya
ditangani langsung oleh perusahaan yang pusat yang berkedudukan
di Bogor.
70
3) Kegiatan pembukuan dilaksanakan berdasarkan Standar Akuntansi
Keuangan yang berlaku umum. Kegiatan pembuatan laporan
keuangan dilakukan oleh Branch Manager yang dibantu oleh
Finance Branch Administrator.
4) PT. Agricon Putra Citra Optima melakukan revaluasi terhadap
aktiva tetap.
5) Efisiensi terhadap Pajak Penghasilan Badan yang terutang dapat
dilakukan dengan cara :
a) Pemanfaatan pengembangan dan pendidikan SDM (Sumber
Daya Manusia).
b) Diadakan pos khusus untuk tunjangan pensiun.
c) Diadakan revaluasi atas aktiva.
6) Dalam pemenuhan kewajiban perpajakan PT. Agricon Putra Citra
Optima adalah Wajb Pajak yang taat. Hal ini terlihat dari tidak
adanya sanksi ataupun denda dari pihak perpajakan kepada PT.
Agricon Putra Citra Optima.
4. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ROY CHANDRA
SIHOTANG, UNIVERSITAS BANDAR LAMPUNG 2017 dengan
judul “ANALISIS PENERAPAN PENERAPAN PERENCANAAN
PAJAK (TAX PLANNING) PPh PASAL 21 DALAM UPAYA
71
EFISIENSI BEBAN PAJAK PENGHASILAN BADAN USAHA
(STUDI KASUS PADA PT. XYZ)”.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis pada
PT.XYZ maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1) Tax Palnning mampu mengefisiensikan beban pajak penghasilan
badan pada PT. XYZ. Hal ini terlihat dari adanya penghematan
yang timbul tiap tahun dilakukan tax planning. Besarnya
penghematan pajak yang didapat perusahaan tahun 2013 sebesar
Rp 10.541.000, tahun 2014 sebesar Rp 21.355.750, dan tahun 2015
sebesar Rp 24.474.000.
2) Berdasarkan uji beda yang dilakukan atas penerapan tax planning
pada tahun buku 2013 sampai dengan tahun buku 2015 besarnya
penghematan pajak/efisensi yang didapat perusahaan adalah
signifikan dimana probabilitas yang dihasilkan sebesar 0,047 lebih
kecil dari tingkat signifikan sebesar 0,05.
3) Komponen dalam laporan keuangan PT. XYZ digunakan untuk
menghemat pajak penghasilan adalah pemaksimalan elemen beban
gaji yang berhubungan dengan PPh Pasal 21 dengan memilih
metode gross-up dalam menghitung besaran PPh Pasal 21 terutang
yang menimbulkan akun tunjangan PPh Pasal 21 dalam laporan
keuangan perusahaan yang secara fiscal dapat diakui sebagai
pengurang penghasilan. Selanjutnya memaksimalkan deductible
72
expense dimana laporan keuangan perusahaan terdapat pada akun
beban entertainment yang dikoreksi fiskal karena tidak adanya
daftar nominatif penerima entertainment.
Agar penghematan PPh dapat dilakukan, perushaan dapat
mereklafikasi biaya tersebut kedalam pemberian honor atau
imbalan kepada pihak ketiga. Perhitungan pajak dilakukan dengan
cara gross-up sehingga penghematan pajaknya dapat dilakukan
secara optimal.
5. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh RESTU MUTMAINNAH
MARJAN (A31110115) UNIVERSITAS HASANUDIN MAKASSAR
2014 dengan judul “PENGARUH KESADARAN WAJIB PAJAK,
PELAYANAN FISKUS, DAN SANKSI PAJAK TERHADAP
KEPATUHAN FORMAL WAJIB PAJAK (STUDI KASUS DI
KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA MAKASSAR
SELATAN)”.
Dari hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan oleh
penulis yaitu mengenai pengaruh kesadaran wajib pajak, pelayanan
fiskus, dan sanksi pajak terhadap kepatuhan formalwajib pajak orang
pribadi maka dapat diberikan kesimpulan sebagai berikut :
1) Kesadaran Wajib Pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kepatuhan formal wajib pajak. Hal ini menunjukkan bahwa makin
73
tinggi kesadaran wajib pajak, maka kepatuhan formal wajib pajak
pun akan tinggi.
2) Sanksi Pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kepatuhan formal wajib pajak. Hal ini menunjukkan bahwa makin
tinggi sanksi wajib pajak, maka kepatuhan formal wajib pajak pun
akan tinggi.
3) Kemampuan perusahaan regresi ini untuk menjelaskan besarnya
variasi yang terjadi dalam variabel terkait adalah sebesar 54,8%,
sementara 45,2% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak
dipergunakan dalam persamaan regresi ini.