bab ii landasan teori a. hakikat pengembangan diri
TRANSCRIPT
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Hakikat Pengembangan Diri
Penggunaan istilah Pengembangan Diri dalam
kebijakan kurikulum memang relatif baru. Jika
menelaah literatur tentang teori-teori pendidikan,
khususnya bidang psikologi pendidikan, istilah
Pengembangan Diri tampaknya dapat disepadankan
dengan istilah pengembangan kepribadian (personal
development), sudah lazim digunakan dan banyak
dikenal meskipun istilah diri (self) tidak sepenuhnya
identik dengan kepribadian (personality). Personal
development atau pengembangan pribadi merupakan
kegiatan meningkatkan kesadaran dan identitas,
mengembangkan bakat dan potensi, membangun
modal manusia dan memfasilitasi kerja,
meningkatkan kualitas hidup serta berkontribusi
pada realisasi mimpi dan aspirasi (Aubrey, 2010).
Konsep ini lebih luas daripada Pengembangan Diri
(self-help) karena dalam pengembangan pribadi juga
mencakup mengembangkan orang lain. Misalnya
seorang guru, disamping mengembangkan
kompetensi pribadi dalam kemampuan menejerial
tertentu untuk mengajar, guru juga memberikan
layanan profesional (seperti memberikan pelatihan,
penilaian ataupun pembinaan).
Menurut Aubrey (2010) dalam konteks
institusi, pengembangan pribadi mengacu pada
10
metode, program, alat, teknik, dan sistem penilaian
yang mendukung pengembangan manusia pada
tingkat individu dalam organisasi. Pada tingkat
individu, pengembangan pribadi meliputi kegiatan
meningkatkan kesadaran diri, meningkatkan
pengetahuan diri, membangun atau memperbaharui
identitas, mengembangkan bakat, meningkatkan
kekayaan, pengembangan rohani, mengidentifikasi
dan meningkatkan potensi, membangun modal kerja
manusia, meningkatkan kualitas hidup,
meningkatkan kesehatan, memenuhi aspirasi,
memulai sebuah perusahaan hidup atau otonomi
pribadi, mendefinisikan dan melaksanakan rencana
pengembangan pribadi, dan meningkatkan
kemampuan sosial.
Istilah “diri” dalam bahasa psikologi disebut
pula sebagai aku, ego atau self yang merupakan
salah satu aspek sekaligus inti dari kepribadian,
yang di dalamnya meliputi kepercayaan, sikap,
perasaan, dan cita-cita, baik yang disadari atau pun
tidak disadari. Sukmadinata (2005) menyebutkan
“aku” yang disadari oleh individu, biasa disebut self
picture (gambaran diri), sedangkan “aku” yang tidak
disadari disebut unconscious aspect of the self (aku
tak sadar). Menurut Freud (Hall & Lindzey, 1993)
“ego atau diri” merupakan eksekutif kepribadian
untuk mengontrol tindakan (perilaku) dengan
mengikuti prinsip kenyataan atau rasional, untuk
membedakan antara hal-hal yang terdapat dalam
11
batin seseorang dengan hal-hal yang terdapat dalam
dunia luar.
Setiap orang memiliki kepercayaan, sikap,
perasaan dan cita-cita akan dirinya, ada yang
realistis atau justru tidak realistis. Sejauh mana
individu dapat memiliki kepercayaan, sikap,
perasaan dan cita-citanya akan berpengaruh
terhadap perkembangan kepribadiannya, terutama
kesehatan mentalnya. Kepercayaan, sikap, perasaan
dan cita-cita seseorang akan dirinya secara tepat
dan realistis memungkinkan untuk memiliki
kepribadian yang sehat. Namun sebaliknya jika
tidak tepat dan tidak realistis akan menimbulkan
pribadi yang bermasalah.
Kepercayaan akan dirinya yang berlebihan
(over confidence) menyebabkan seseorang dapat
bertindak kurang memperhatikan lingkungannya
dan cenderung bertabrakan dengan norma dan etika
standar yang berlaku, serta memandang sepele
orang lain. Selain itu, orang yang memiliki over
confidence sering memiliki sikap dan pemikiran yang
over estimate terhadap sesuatu. Sebaliknya
kepercayaan diri yang kurang, dapat menyebabkan
seseorang cenderung bertindak ragu-ragu, rasa
rendah diri dan tidak memiliki keberanian.
Kepercayaan diri yang berlebihan maupun kurang
dapat menimbulkan kerugian tidak hanya bagi
dirinya namun juga bagi lingkungan sosialnya.
12
Begitu pula, setiap orang memiliki sikap dan
perasaan tertentu terhadap dirinya. Sikap akan
diwujudkan dalam bentuk penerimaan atau
penolakan akan dirinya, sedangkan perasaan
dinyatakan dalam bentuk rasa senang atau tidak
senang akan keadaan dirinya. Sikap terhadap
dirinya berkaitan erat dengan pembentukan harga
diri (penilaian diri), yang menurut Maslow
merupakan salah satu jenis kebutuhan manusia
yang amat penting. Sikap dan mencintai diri yang
berlebihan merupakan gejala ketidaksehatan
mental, biasa disebut narcisisme. Sebaliknya, orang
yang membenci dirinya secara berlebihan dapat
menimbulkan masochisme. Di samping itu, setiap
orang pun memiliki cita-cita akan dirinya. Cita-cita
yang tidak realistis dan berlebihan, serta sangat
sulit untuk dicapai mungkin hanya akan berakhir
dengan kegagalan yang pada akhirnya dapat
menimbulkan frustrasi. Frustasi dapat berupa
perilaku salah-suai (maladjusted). Sebaliknya, orang
yang kurang memiliki cita-cita tidak akan
mendorong ke arah kemajuan.
Berkenaan dengan “diri atau ego” ini,
Pietrofesa dalam Sudrajat (2008) mengemukakan
tiga komponen tentang diri, yaitu : (1) aku ideal (ego
ideal); (2) aku yang dilihat dirinya (self as seen by
self); dan (3) aku yang dilihat orang lain (self as seen
by others). Dalam keadaan ideal ketiga “aku” ini
persis sama dan menunjukkan kepribadian yang
13
sehat, sementara jika terjadi perbedaan-perbedaan
yang signifikan diantara ketiga “aku” tersebut
merupakan gambaran dari ketidakutuhan dan
ketidaksehatan kepribadian.
Dengan memperhatikan dasar teoritik tersebut
di atas, kita bisa melihat arah dan hasil yang
diharapkan dari kegiatan Pengembangan Diri di
sekolah yaitu terbentuknya keyakinan, sikap,
perasaan dan cita-cita para peserta didik yang
realistis, sehingga peserta didik dapat memiliki
kepribadian yang sehat dan utuh.
B. Pengertian Pengembangan Diri
Terdapat perbedaan mendasar antara ideologi
humanis dan behavioris dalam hal tingkat pilihan
tentang perubahan yang terjadi pada manusia
selama hidupnya. Hal ini menyangkut „freewill’ atau
kehendak bebas manusia dalam pengambilan
keputusan. Menurut ideologi humanis, individu
bebas mengaktualisasi diri dalam perkembangan
hidupnya menuju beberapa tujuan akhir, sedangkan
teori behavioris berusaha mengurangi pentingnya
kehendak bebas dalam pengambilan keputusan
yang mengatur tindakan individu.
Selanjutnya pengertian Pengembangan Diri
lebih banyak berkembang menurut humanis seperti
dikatakan McNeil (1979), bahwa “pengembangan”
mengacu pada gerakan-gerakan dari waktu ke
waktu ke arah kompleksitas organisasi dari
14
organisme hidup. Hal ini mengingatkan pernyataan
Piaget tentang bagaimana anak berkembang untuk
memahami dunia. Untuk mengembangkan suatu
pengertian, anak menggunakan proses yang
didefinisikan sebagai asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses masuknya informasi baru
disesuaikan dengan pemahaman yang sudah ada
dan akomodasi berkaitan dengan memodifikasi ide-
ide lama untuk menghasilkan pengetahuan yang
baru.
Penerapan pendekatan humanis untuk
Pengembangan Diri juga terlihat dalam karya Steven
Covey dalam bukunya The Seven Habit of Effektive
People. Menurut Covey (1993), Pengembangan Diri
merupakan proses pembaruan. Covey menyebutnya
sebagai konsep asah gergaji. Proses tersebut
meliputi empat bentuk perkembangan yaitu fisik,
spiritual, mental dan sosio-emosional.
Perkembangan fisik peserta didik usia SD/MI
meliputi pertumbuhan tinggi dan berat badan,
perubahan proporsi atau perbandingan antar bagian
tubuh yang membentuk postur tubuh,
pertumbuhan tulang, gigi, otot dan lemak.
Perkembangan fisik anak dipengaruhi oleh faktor
keturunan dalam keluarga, jenis kelamin, gizi dan
kesehatan, status sosial ekonomi, gangguan
emosional, dan lain-lain. Pertumbuhan dan
perkembangan fisik tubuh ini secara langsung akan
menentukan keterampilan bergerak anak, dan
15
secara tidak langsung akan mempengaruhi cara
anak memandang dirinya sendiri dan memandang
orang lain, serta mempengaruhi cara anak
melakukan penyesuaian dengan dirinya sendiri
maupun orang lain. Terdapat perbedaan dalam
pertambahan tinggi dan berat, namun umumnya
mengikuti hukum arah perkembangan. Pada peserta
didik di kelas V dan VI, terjadi perubahan fisik yang
sangat pesat disebabkan oleh kematangan kelenjar
dan hormon yang berkaitan dengan pertumbuhan
seksual. Perubahan ini mengakibatkan anak
mengalami ketidakseimbangan, menarik diri,
bersikap negatif, kurang percaya diri, perubahan
minat dan aktivitas. Di sini pendidik harus lebih
cermat dan memberikan perhatian lebih, artinya
pendidik harus lebih banyak melakukan pendekatan
supaya anak didik terarah dan dapat memperoleh
apa yang anak didik cita -citakan.
Aspek perkembangan fisik diantaranya adalah
perkembangan motorik. Perkembangan motorik
merupakan perkembangan pengendalian
gerakan jasmaniah melalui kegiatan pusat syaraf,
urat syaraf dan otot terkoordinasi (Hurlock: 1998).
Keterampilan motorik anak terdiri atas keterampilan
motorik kasar dan keterampilan motorik halus.
Keterampilan motorik anak usia 4-5 tahun lebih
banyak berkembang pada motorik kasar, setelah
usia 5 tahun baru terjadi perkembangan motorik
halus. Untuk anak SD yang rata-rata sudah berusia
16
diatas 6 tahun tentunya telah berada pada taraf ini.
Untuk itu perlu diberikan kegiatan yang dapat
mengembangkan motorik kasar maupun motorik
halus. Pada peserta didik usia SD/MI keterampilan
motorik meliputi keterampilan tangan dan kaki.
Selain perkembangan fisik dan motorik, Hurlock
(1997) mengemukakan ada empat keterampilan
dasar yang perlu dikuasai anak SD/MI pada masa
anak akhir yaitu keterampilan menolong diri sendiri,
keterampilan menolong orang lain (sosial),
keterampilan bermain, dan keterampilan bersekolah
(skolastik). Menurut Covey (1993), pembaruan fisik
ini dapat dilakukan dengan olah raga, asupan
nutrisi dan pengelolaan stres.
Selanjutnya tentang pembaruan spiritual,
Covey (1993) menyebutkan bahwa pembaruan
spiritual dapat diraih melalui penjelasan tentang
nilai dan komitmen, melakukan studi atau kajian
dan berkontemplasi. Dimensi mental dapat
diperbarui melalui kegiatan membaca, melakukan
visualisasi, membuat perencanaan dan menulis.
Adapun dimensi sosio-emosional diasah melalui
pemberian pelayanan, bersikap empati, melakukan
sinergi dan menumbuhkan rasa aman dalam diri.
Perkembangan sosio-emosional anak SD
berada pada tahap “masa sekolah (School Age)” yang
ditandai adanya kecenderungan industry–inferiority.
Pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa
saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk
17
mengetahui dan berbuat terhadap lingkungannya
sangat besar, tetapi di lain pihak karena
keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan
pengetahuannya kadang-kadang dia menghadapi
kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan
dan kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa
rendah diri (Erikson dalam Sukmadinata, 2005).
Oleh karena itu di sekolah-sekolah perlu diadakan
layanan bimbingan dan konseling serta kegiatan
yang dapat mengembangkan aspek-aspek mental,
spiritual, dan sosio-emosional anak, misalnya
kegiatan Pengembangan Diri.
Dalam proses Pengembangan Diri diperlukan
keseimbangan dan sinergi untuk mencapai hasil
optimal sebagaimana yang diharapkan.
Pengembangan Diri tidak muncul begitu saja. Untuk
meraihnya, diperlukan latihan dengan pola spiral ke
atas. Pola ini melatih untuk bergerak ke atas
sepanjang spiral secara terus-menerus. Pola spiral
ini memaksa untuk melalui tiga tahap kegiatan
yakni belajar, berkomitmen, dan berbuat. Latihan
ini harus terus-menerus berjalan secara berulang-
ulang sampai kualitas dan produktivitas diri
manusia menjadi semakin tinggi (Covey, 1993).
Pengertian Pengembangan Diri dalam struktur
kurikulum, mengacu pada landasan adanya
program Pengembangan Diri, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 butir 6 yang
18
mengemukakan bahwa konselor adalah pendidik,
Pasal 3 bahwa pendidikan nasional bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik, dan
Pasal 4 ayat (4) menyatakan bahwa pendidikan
diselenggarakan dengan memberi keteladanan,
membangun kemauan, dan mengembangkan
kreativitas peserta didik dalam proses
pembelajaran, dan Pasal 12 Ayat (1b) yang
menyatakan bahwa setiap peserta didik pada
setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan
pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat,
minat, dan kemampuannya.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 5 s.d
Pasal 18 tentang standar isi untuk satuan
pendidikan dasar dan menengah.
3. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah, yang memuat
Pengembangan Diri peserta didik dalam struktur
kurikulum setiap satuan pendidikan difasilitasi
dan/atau dibimbing oleh konselor, guru, atau
tenaga kependidikan.
4. Dasar Standarisasi Profesi Konseling yang
dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Tahun 2004 untuk memberi arah
pengembangan profesi konseling di sekolah dan
di luar sekolah.
19
Dalam Permendiknas nomor 22 tahun 2006
disebutkan bahwa muatan kurikulum mencakup
tiga hal yaitu mata pelajaran, muatan lokal dan
Pengembangan Diri. Pengembangan Diri bukan
merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh
guru. Pengembangan Diri bertujuan memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk
mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai
dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta
didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan
Pengembangan Diri difasilitasi dan atau dibimbing
oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang
dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan
ekstrakurikuler. Kegiatan Pengembangan Diri
dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling
yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan
kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir
peserta didik.
Untuk memperjelas dalam pelaksanaan
Pengembangan Diri di sekolah-sekolah, Pusat
Kurikulum membuat buku panduan untuk masing-
masing jenjang pendidikan yaitu buku Model dan
Contoh Program Pengembangan Diri untuk SD/MI,
SMP/MTs, SMA/MA, SMK yang terbit pada tahun
2007. Buku ini memberi contoh bagi konselor (guru
pembimbing), guru, dan atau tenaga kependidikan
lainnya di sekolah/madrasah untuk menyusun
program, melaksanakan, menilai dan melaporkan
kegiatan Pengembangan Diri yang mencakup
20
kegiatan pelayanan konseling dan kegiatan
ekstrakurikuler.
Menurut buku “Model dan Contoh
Pengembangan Diri Sekolah Dasar” terbitan Puskur
Balitbang Depdiknas (2007), Pengembangan Diri
merupakan kegiatan pendidikan di luar mata
pelajaran sebagai bagian integral dari kurikulum
sekolah/madrasah. Kegiatan Pengembangan Diri
merupakan upaya pembentukan watak dan
kepribadian peserta didik yang dilakukan melalui
kegiatan pelayanan konseling berkenaan dengan
masalah pribadi dan kehidupan sosial, kegiatan
belajar, dan pengembangan karir, serta kegiatan
ekstrakurikuler yang dipilih sesuai kebutuhan dan
kemampuan sekolah. Untuk satuan pendidikan
khusus, pelayanan konseling menekankan
peningkatan kecakapan hidup sesuai dengan
kebutuhan khusus peserta didik. Kegiatan
Pengembangan Diri yang berupa pelayanan
konseling difasilitasi/dilaksanakan oleh konselor,
dan kegiatan ekstra kurikuler dapat dibina oleh
konselor, guru dan atau tenaga kependidikan lain
sesuai dengan kemampuan dan kewenangannya.
Pengembangan Diri yang dilakukan dalam bentuk
kegiatan pelayanan konseling dan kegiatan ekstra
kurikuler dapat mengembangkan kompetensi dan
kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari peserta
didik.
21
Menurut Sudrajat (2008), bahwa kegiatan
Pengembangan Diri seyogyanya lebih banyak
dilakukan di luar jam reguler (jam efektif), melalui
berbagai jenis kegiatan Pengembangan Diri. Di
bawah bimbingan guru maupun orang lain yang
memiliki kompetensi di bidangnya, kegiatan
Pengembangan Diri dapat pula dilakukan melalui
kegiatan-kegiatan di luar jam efektif yang bersifat
temporer, seperti mengadakan diskusi kelompok,
permainan kelompok, bimbingan kelompok, dan
kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat kelompok.
Selain dilakukan melalui kegiatan yang bersifat
kelompok, kegiatan Pengembangan Diri dapat
dilakukan pula melalui kegiatan mandiri, misalnya
seorang siswa diberi tugas untuk mengkaji buku,
mengunjungi narasumber atau mengunjungi suatu
tempat tertentu untuk kepentingan pembelajaran
dan Pengembangan Diri siswa itu sendiri.
Hal yang fundamental dalam kegiatan
Pengembangan Diri bahwa pelaksanaan
Pengembangan Diri harus terlebih dahulu diawali
dengan upaya untuk mengidentifikasi kebutuhan,
bakat dan minat, yang dapat dilakukan melalui
teknik tes (tes kecerdasan, tes bakat, tes minat dan
sebagainya) maupun non tes (skala sikap, inventori,
observasi, studi dokumenter, wawancara dan
sebagainya). Dalam hal ini, peranan bimbingan dan
konseling menjadi amat penting, melalui kegiatan
aplikasi instrumentasi data dan himpunan data,
22
bimbingan dan konseling seyogyanya dapat
menyediakan data yang memadai tentang
kebutuhan, bakat, minat serta karakteristik peserta
didik lainnya. Data tersebut menjadi bahan dasar
untuk penyelenggaraan Pengembangan Diri di
sekolah, baik melalui kegiatan yang bersifat
temporer, kegiatan ekstra kurikuler, maupun
melalui layanan bimbingan dan konseling itu sendiri
(Sudrajat, 2008).
Menurut Sudrajat (2008) pula, yang harus
diperhatikan bahwa kegiatan Pengembangan Diri
tidak identik dengan Bimbingan dan Konseling.
Bimbingan dan Konseling tetap harus ditempatkan
sebagai bagian integral sistem pendidikan di sekolah
dengan keunikan karakteristik pelayanannya.
Dari uraian di atas, tampak bahwa kegiatan
Pengembangan Diri akan mencakup banyak
kegiatan sekaligus juga banyak melibatkan orang,
oleh karena itu diperlukan pengelolaan dan
pengorganisasian tersendiri. Namun secara prinsip,
pengelolaan dan pengorganisasian Pengembangan
Diri betul-betul diarahkan untuk melayani seluruh
siswa agar dapat mengembangkan dirinya secara
optimal, sesuai bakat, minat, dan kebutuhannya
masing-masing dan Pengembangan Diri menjadi
wilayah garapan bersama antara komponen
pembelajaran dan komponen Bimbingan dan
Konseling di sekolah dengan keunikan tugas dan
tanggung jawabnya masing-masing.
23
Jadi yang dimaksud Pengembangan Diri
dalam penelitian ini adalah proses perubahan yang
meliputi aspek fisik, spiritual, mental dan sosio-
emosional pada siswa di sekolah dasar dengan
melalui kegiatan-kegiatan di luar mata pelajaran
yang dapat mengembangkan potensi, bakat, dan
minat siswa secara optimal.
C. Keberhasilan dalam Hidup
Umumnya, keberhasilan hidup selama ini
hanya dilihat dari seberapa besar penghasilan yang
didapatkan. Seseorang disebut sukses hidupnya
manakala berhasil menjadi kaya, rumahnya besar,
tabungan banyak dan memiliki investasi dimana-
mana. Akan tetapi, ukuran keberhasilan hidup
sebenarnya adalah seberapa jauh seseorang
memberi manfaat bagi orang lain.
William Stern, pelopor teori konvergensi
(Ahmadi dan Uhbiyati, 1991) mengatakan bahwa
kemungkinan-kemungkinan yang dibawa sejak lahir
itu merupakan petunjuk-petunjuk nasib manusia
yang akan datang dengan ruang permainan. Dalam
ruang permainan itulah terletak pendidikan dalam
arti yang sangat luas. Tenaga-tenaga dari luar dapat
menolong tetapi bukanlah ia yang menyebabkan
perkembangan itu, karena ini datangnya dari dalam
yang mengandung dasar keaktifan dan tenaga
pendorong. Sebagai contoh: anak dalam tahun
pertama belajar mengoceh, baru kemudian becakap-
24
cakap, dorongan dan bakat itu telah ada, di meniru
suara-suara dari ibunya dan orang di sekelilingnya.
Ia meniru dan mendengarkan dari kata-kata yang
diucapkan kepadanya, bakat dan dorongan itu tidak
akan berkembang jika tidak ada bantuan dari luar
yang merangsangnya. Dengan demikian jika tidak
ada bantuan suara-suara dari luar atau kata-kata
yang di dengarnya tidak mungkin anak tesebut bisa
bercakap-cakap.
Stern menolak atau tidak setuju dengan teori
nativisme dan teori empirisme yang berat sebelah.
Menurut Stern, perkembangan manusia adalah hasil
perpaduan kerjasama antara faktor bakat dan faktor
lingkungan. Manusia memiliki potensi berkembang
yang dibawa sejak lahir dan lingkungan
membantunya merangsang dari luar. Jadi, teori
konvergensi menyatakan bahwa perkembangan
anak merupakan hasil proses kerjasama antara
faktor bakat atau bawaan dan faktor lingkungan
(termasuk pendidikan). Jika faktor bakat atau
bawaan seorang anak dinilai baik, akan tetapi dalam
perkembangannya, mungkin rusak karena faktor
lingkungan (pendidikan) yang tidak menunjang.
Sebaliknya, jika faktor bakat atau bawaan tidak baik
namun lingkungan (pendidikan) menunjang, maka
perkembangan anak dapat lebih baik. Bisa
dikatakan keberhasilan hidup manusia ditentukan
oleh faktor pembawaan dan lingkungan.
25
Pembawaan atau potensi setiap orang
berbeda-beda, hal ini dapat dilihat dari perilaku
manusia sebagai hasil belajarnya. Gagne dan Briggs
(1974) mengemukakan lima kategori yaitu intelectual
skill, cognitive strategies, verbal information, motor
skill dan attitude. Bloom (1975) mengemukakan tiga
kategori sesuai domain-domain perilaku individu
yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Domain
kognitif berkenaan perkembangan kecakapan dan
keterampilan intelektual meliputi pengetahuan
(knowledge), pemahaman (comprehension),
penerapan (application), penguraian (analysis),
memadukan (synthesis) dan penilaian (evaluation).
Afektif berkenaan dengan perubahan minat, sikap,
nilai-nilai, perkembangan apresiasi dan kemampuan
menyesuaikan diri. Domain psikomotor berkenaan
dengan keterampilan-keterampilan gerak. Masing-
masing domain tersebut memiliki tingkat kesukaran
berbeda-beda pula.
Umumnya pendidikan bertujuan menyediakan
lingkungan yang memungkinkan anak didik untuk
mengembangkan potensi, bakat, dan kemampuan
secara optimal, sehingga mereka mampu
mewujudkan kemampuan dirinya dan berfungsi
sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan pribadi
maupun kebutuhan masyarakat (Munandar dalam
Sunarno, 2007). Namun, kenyataan di lapangan,
sistem pendidikan, yang diterapkan di sekolah-
26
sekolah hingga sekarang masih mementingkan
aspek kognitif daripada aspek lainnya.
Menurut Suyanto dan Djihad (Rahman, 2004),
proses pendidikan kita saat ini terlalu
mementingkan perkembangan aspek kognitif pada
tataran pengetahuan dengan mengabaikan
persoalan kreativitas. Hal tersebut menunjukkan
bahwa proses pembelajaran di sekolah-sekolah lebih
menekankan pada perkembangan dua jenis
kecerdasan, yakni kecerdasan linguistik dan
kecerdasan matematis-logis. Praktik nyata ini
bertentangan dengan teori unsur kecerdasan yang
ada dalam diri setiap individu. Gardner (Uno, 2009)
menyatakan bahwa setiap individu memiliki
setidaknya delapan unsur kecerdasan yang berbeda-
beda yaitu kecerdasan logis matematis, kecerdasan
linguistik verbal, kecerdasan interpersonal,
kecerdasan ruang visual, kecerdasan kinestetik,
kecerdasan musik, kecerdasan hubungan sosial,
dan kecerdasan naturalis
Dalam rangka memfasilitasi potensi siswa
yang bermacam-macam itulah, maka di dalam
struktur kurikulum dimasukkan tidak hanya
muatan pendidikan berupa mata pelajaran maupun
muatan lokal akan tetapi juga Pengembangan Diri.
Kegiatan Pengembangan Diri penting sebagai
pelengkap pengembangan potensi siswa di luar mata
pelajaran dan muatan lokal.
27
D. Pelaksanaan Pengembangan Diri di Sekolah Dasar
Menurut buku model dan Contoh Pelaksanaan
Pengembangan Diri Sekolah Dasar (Puskur, 2007)
Pengembangan Diri dapat dilakukan melalui dua hal
yaitu kegiatan Pengembangan Diri terprogram
berupa layanan konseling dan kegiatan
ekstrakurikuler serta kegiatan Pengembangan Diri
tidak terprogram, biasa disebut kegiatan
pembiasaan. Kegiatan pembiasaan ini dapat
dilaksanakan secara spontan, rutin dan
keteladanan. Yang termasuk kegiatan spontan
adalah perilaku memberi salam, membuang sampah
pada tempatnya, budaya antri, dan lain-lain.
Termasuk kegiatan rutin adalah upacara bendera,
senam, ibadah khusus keagamaan, pemeliharaan
kebersihan dan kesehatan diri. Sementara untuk
keteladanan adalah berbagai bentuk perilaku sehari-
hari yang dapat dijadikan teladan, seperti:
berpakaian rapi, berbahasa yang baik, rajin
membaca, datang tepat waktu, memuji kebaikan
atau keberhasilan orang lain, dan lain-lain.
Pengembangan Diri yang terprogram meliputi
layanan konseling dan kegiatan pendukung
konseling, serta kegiatan ekstrakurikuler. Pelayanan
konseling difasilitasi/dilaksanakan oleh konselor,
sementara kegiatan ekstrakurikuler dapat dibina
konselor, guru dan atau tenaga kependidikan lain
sesuai dengan kemampuan dan kewenangannya.
Pengembangan Diri dapat mengembangkan
28
kompetensi dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-
hari peserta didik (Puskur, 2007).
1. Layanan Konseling
Kegiatan layanan konseling merupakan
pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik
secara perorangan maupun kelompok agar
mampu mandiri dan berkembang secara optimal,
dalam bidang pengembangan kehidupan pribadi,
kehidupan sosial, kemampuan belajar, dan
perencanaan karir, melalui berbagai jenis
layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan
norma-norma yang berlaku. Layanan ini juga
membantu mengatasi kelemahan, hambatan
serta masalah yang dihadapai peserta didik
dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan
peserta didik SD/MI.
Tugas-tugas perkembangan anak usia
sekolah dasar adalah memiliki kebiasaan dan
sikap dalam beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, mengembangkan
keterampilan dasar dalam membaca, menulis,
dan berhitung, mengembangkan konsep-konsep
yang perlu dalam kehidupan sehari-hari, belajar
bergaul dan bekerja kelompok sebaya, belajar
menjadi pribadi yang mandiri, mempelajari
keterampilan fisik sederhana yang diperlukan
baik untuk permainan maupun kehidupan.
Selain itu juga mengembangkan kata hati, moral
29
dan nilai-nilai sebagai pedoman perilaku,
membina hidup sehat untuk diri sendiri dan
lingkungan serta keindahan, belajar memahami
diri sendiri dan orang lain sesuai jenis kelamin
dan menjalankan peran tanpa membedakan jenis
kelamin, serta mengembangkan sikap terhadap
kelompok, lembaga sosial, tanah air dan bangsa,
serta mengembangkan pemahaman dan sikap
awal untuk perencanaan masa depan.
Di dalam memenuhi tugas perkembangan
siswa tersebut maka layanan konseling
menyediakan berbagai jenis layanan, berupa
layanan Orientasi, yaitu layanan yang membantu
peserta didik memahami lingkungan baru,
terutama lingkungan sekolah dan obyek-obyek
yang dipelajari, untuk menyesuaikan diri serta
mempermudah dan memperlancar peran peserta
didik di lingkungan yang baru. Informasi, yaitu
layanan yang membantu peserta didik menerima
dan memahami berbagai informasi diri, sosial,
belajar, karir/jabatan, dan pendidikan lanjutan.
Penempatan dan Penyaluran, yaitu layanan yang
membantu peserta didik memperoleh
penempatan dan penyaluran yang tepat di dalam
kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi,
program latihan, magang, dan kegiatan ekstra
kurikuler. Penguasaan Konten, yaitu layanan
yang membantu peserta didik menguasai konten
tertentu, terutama kompetensi dan atau
30
kebiasaan yang berguna dalam kehidupan di
sekolah, keluarga, dan masyarakat. Konseling
Perorangan, yaitu layanan yang membantu
peserta didik dalam mengentaskan masalah
pribadinya. Bimbingan Kelompok, yaitu layanan
yang membantu peserta didik dalam
pengembangan pribadi, kemampuan hubungan
sosial, kegiatan belajar, karir/jabatan, dan
pengambilan keputusan, serta melakukan
kegiatan tertentu melalui dinamika kelompok.
Konseling Kelompok, yaitu layanan yang
membantu peserta didik dalam pembahasan dan
pengentasan masalah pribadi melalui dinamika
kelompok. Konsultasi, yaitu layanan yang
membantu peserta didik dan atau pihak lain
dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan
cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam
menangani kondisi dan atau masalah peserta
didik. Mediasi, yaitu layanan yang membantu
peserta didik menyelesaikan permasalahan dan
memperbaiki hubungan antar mereka.
Selain berbagai layanan tersebut, terdapat
kegiatan pendukung layanan konseling yang
meliputi Aplikasi Instrumentasi, yaitu kegiatan
mengumpulkan data tentang diri peserta didik
dan lingkungannya, melalui aplikasi berbagai
instrumen, baik tes maupun non-tes. Himpunan
Data, yaitu kegiatan menghimpun data yang
relevan dengan pengembangan peserta didik,
31
yang diselenggarakan secara berkelanjutan,
sistematis, komprehensif, terpadu, dan bersifat
rahasia. Konferensi Kasus, yaitu kegiatan
membahas permasalahan peserta didik dalam
pertemuan khusus yang dihadiri oleh pihak-
pihak yang dapat memberikan data, kemudahan
dan komitmen bagi terentaskannya masalah
peserta didik, yang bersifat terbatas dan tertutup.
Kunjungan Rumah, yaitu kegiatan memperoleh
data, kemudahan dan komitmen terentaskannya
masalah peserta didik melalui pertemuan dengan
orang tua dan atau keluarganya. Tampilan
Kepustakaan, yaitu kegiatan menyediakan
berbagai bahan pustaka yang dapat digunakan
peserta didik dalam pengembangan pribadi,
kemampuan sosial, kegiatan belajar, dan karir/
jabatan dan Alih Tangan Kasus, yaitu kegiatan
untuk memindahkan penanganan masalah
peserta didik ke pihak lain sesuai keahlian dan
kewenangannya.
Demi terlaksana dengan baik, perlu
disusun perencanaan program layanan konseling
berupa program tahunan, program semesteran,
program bulanan, program mingguan dan
program harian berupa satuan layanan (SATLAN)
dan atau satuan kegiatan pendukung konseling
(SATKUNG). SATLAN dan SATKUNG masing-
masing memuat sasaran kegiatan, substansi
kegiatan, jenis kegiatan dan alat bantu yang
32
digunakan, pelaksanaan kegiatan dan pihak-
pihak yang terlibat serta waktu dan tempat
pelaksanaan. Satu kali kegiatan layanan dan
kegiatan pendukung konseling berbobot
ekuivalen 2 (dua) jam pelajaran. Volume
keseluruhan kegiatan pelayanan konseling yang
dilakukan oleh konselor per minggu minimal
ekuivalen dengan beban tugas guru kelas
mengajar di sekolah/madrasah, sedangkan
untuk guru kelas yang diberi tugas menjadi
konselor (guru pembimbing), beban tugas wajib
mengajar mata pelajaran dijumlahkan dengan
tugas melaksanakan pelayanan konseling sesuai
jumlah peserta didik yang menjadi asuhannya.
Kegiatan layanan konseling dicatat dalam
laporan pelaksanaan program (LAPELPROG) dan
hasilnya dinilai melalui Penilaian segera
(LAISEG), yaitu penilaian pada akhir setiap jenis
layanan dan kegiatan pendukung konseling
untuk mengetahui perolehan peserta didik yang
dilayani. Dilanjutkan Penilaian jangka pendek
(LAIJAPEN), yaitu penilaian dalam waktu tertentu
(satu minggu sampai dengan satu bulan) setelah
satu jenis layanan dan atau kegiatan pendukung
konseling diselenggarakan untuk mengetahui
dampak layanan/kegiatan terhadap peserta
didik. Disamping itu juga dilakukan Penilaian
jangka panjang (LAIJAPANG), yaitu penilaian
dalam waktu tertentu (satu bulan sampai dengan
33
satu semester) setelah satu atau beberapa
layanan dan kegiatan pendukung konseling
diselenggarakan untuk mengetahui lebih jauh
dampak layanan dan atau kegiatan pendukung
konseling terhadap peserta didik. Hasil kegiatan
pelayanan konseling secara keseluruhan dalam
satu semester untuk setiap peserta didik
dilaporkan secara kualitatif dan deskriptif pada
kolom Pengembangan Diri di laporan hasil
belajar. Hasil penilaian yang dituliskan adalah
proses kegiatan pelayanan yang diberikan dan
ketercapaian tugas perkembangan.
Pelaksana pelayanan konseling di SD/MI
pada dasarnya adalah guru kelas yang
melaksanakan layanan orientasi, informasi,
penempatan dan penyaluran, dan penguasaan
konten dengan menginfusikan materi layanan
tersebut ke dalam pembelajaran, serta untuk
peserta didik di kelas IV, V dan VI dapat
diselenggarakan layanan konseling perorangan,
bimbingan kelompok, dan konseling kelompok.
Dapat juga dilakukan di satu SD/MI atau di
sejumlah SD/MI diangkat seorang konselor
untuk menyelenggarakan pelayanan konseling.
Pelayanan konseling ini diawasi secara intern
oleh kepala sekolah/madrasah dan secara
ekstern oleh pengawas sekolah/madrasah bidang
konseling, untuk meningkatkan mutu layanan.
34
2. Ekstrakurikuler
Kegiatan Pengembangan Diri sekolah dasar
selain layanan konseling adalah ekstrakurikuler.
Ada berbagai jenis kegiatan ekstra kurikuler yang
diselenggarakan di lingkungan sekolah dasar
yang meliputi bidang seni budaya, olahraga,
kepramukaan, dan lain-lain. Di dalam buku
pedoman disebutkan bahwa jenis-jenis kegiatan
ekstrakurikuler sekolah/madrasah berupa Krida,
meliputi Kepramukaan, Latihan Dasar
Kepemimpinan Siswa (LDKS), Palang Merah
Remaja (PMR), Pasukan Pengibar Bendera
Pusaka (PASKIBRAKA). Karya Ilmiah, meliputi
Kegiatan Ilmiah Remaja (KIR), penguasaan
keilmuan dan kemampuan akademik, penelitian.
Latihan/lomba keberbakatan/prestasi, meliputi
pengembangan bakat olah raga, seni dan budaya,
cinta alam, jurnaistik, teater, keagamaan.
Seminar, lokakarya, dan pameran/bazar, dengan
substansi antara lain karir, pendidikan,
kesehatan, perlindungan HAM, keagamaan, seni
budaya.
Kegiatan ekstrakurikuler dapat diikuti
secara individual, kelompok, klasikal, gabungan
(antar kelas/antar sekolah/antar madrasah) dan
lapangan, yaitu diikuti oleh seorang atau
sejumlah peserta didik melalui kegiatan di luar
kelas atau kegiatan lapangan. Kegiatan ini
berfungsi untuk mengembangkan kemampuan
35
dan kreativitas peserta didik sesuai dengan
potensi, bakat dan minat mereka. Selain itu,
ekstrakurikuler juga dapat mengembangkan
kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial
peserta didik, mengembangkan suasana rileks
dan menyenangkan serta mengembangkan
kesiapan karir peserta didik.
Sebelum pelaksanaan, perlu disusun
rencana kegiatan ekstrakurikuler yang memuat
unsur-unsur sasaran kegiatan, substansi
kegiatan, pelaksana kegiatan dan pihak-pihak
yang terkait serta pengorganisasiannya, waktu
dan tempat, serta sarana yang diperlukan. Di
sekolah dasar, pelaksana kegiatan
ekstrakurikuler adalah pendidik atau tenaga
kependidikan yang mampu dan mempunyai
kewenangan pada substansi kegiatan
ekstrakurikuler yang dimaksud.
Pada setiap akhir semester, untuk setiap
peserta didik diberikan nilai yang dilaporkan
secara kualitatif maupun deskriptif pada kolom
Pengembangan Diri di laporan hasil belajar. Di
samping itu, hasil penilaian pada kegiatan
ekstrakurikuler juga dilaporkan kepada pimpinan
sekolah/madrasah dan pemangku kepentingan
lainnya oleh penanggung jawab kegiatan.
Pelaksanaan pada kegiatan ekstrakurikuler
dipantau, dievaluasi, dan dibina melalui kegiatan
pengawasan oleh kepala sekolah/madrasah dan
36
oleh pihak yang secara struktural/fungsional
memiliki kewenangan membina kegiatan
ekstrakurikuler tersebut. Hasil pengawasan
didokumentasikan, dianalisis, dan ditindaklanjuti
untuk peningkatan mutu perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah/
madrasah.