bab ii landasan teori - binus librarylibrary.binus.ac.id/ecolls/ethesisdoc/bab2/bab 2_38.pdfadalah...

31
8 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Retail Menurut (Levy & Weitz, 2001) Retailing adalah sekumpulan aktivitas bisnis yang menambah nilai produk atau jasa, kemudian dijual pada konsumen yang menggunakan untuk dirinya sendiri atau keluarga. Perkembangan retailing sekarang ini semakin pesat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya department store dan hypermarket yang berdiri di kota-kota besar. Dengan berkembangnya retail, maka menuntut pemasar mengembangkan strateginya kembali untuk dapat bersaing dalam menarik dan memperahankan konsumen potensial mereka. Dalam hal ini, ada berbagai macam faktor yang mempengaruhi pembelian konsumen terhadap kategori produk dan merek tertentu. Maka tidak mengherankan, jika kini perkembangan retail store berusaha untuk menarik minat beli konsumen. 2.1.1 Jenis-Jenis Pengecer (Kotler, 2003) membagi retail store kedalam beberapa jenis yaitu: Toko Barang Khusus (speciality store) merupakan lini produk yang sempit dengan ragam pilihan yang mendalam; departement store merupakan beberapa lini produk dan setiap lini beroperasi sebagai bagian departemen tersendiri, dikelola oleh pembeli.

Upload: others

Post on 12-Jan-2020

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

8

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Retail

Menurut (Levy & Weitz, 2001) Retailing adalah sekumpulan aktivitas bisnis

yang menambah nilai produk atau jasa, kemudian dijual pada konsumen yang

menggunakan untuk dirinya sendiri atau keluarga.

Perkembangan retailing sekarang ini semakin pesat. Hal ini dibuktikan

dengan banyaknya department store dan hypermarket yang berdiri di kota-kota besar.

Dengan berkembangnya retail, maka menuntut pemasar mengembangkan strateginya

kembali untuk dapat bersaing dalam menarik dan memperahankan konsumen

potensial mereka. Dalam hal ini, ada berbagai macam faktor yang mempengaruhi

pembelian konsumen terhadap kategori produk dan merek tertentu. Maka tidak

mengherankan, jika kini perkembangan retail store berusaha untuk menarik minat

beli konsumen.

2.1.1 Jenis-Jenis Pengecer

(Kotler, 2003) membagi retail store kedalam beberapa jenis yaitu: Toko

Barang Khusus (speciality store) merupakan lini produk yang sempit dengan ragam

pilihan yang mendalam; departement store merupakan beberapa lini produk dan

setiap lini beroperasi sebagai bagian departemen tersendiri, dikelola oleh pembeli.

9

atau pedagang khusus; pasar swalayan (supermarket) merupakan usaha yang

beroperasi dalam ukuran yang relatif besar, biaya yang rendah, margin yang rendah,

volume yang tinggi, dan dirancang untuk melayani sendiri kebutuhan konsumen; toko

kelontong (convinence store) merupakan toko yang relatif kecil, berlokasi di daerah

pemukiman dan memiliki jam buka yang lebih lama yaitu tujuh hari dalam seminggu,

serta menjual lini produk yang terbatas dengan perputaran barang yang tinggi;

pengecer off-price (off-price retailer) merupakan pedagang dengan membeli lebih

sedikit dari harga pedagang besar dan menjual lebih sedikit dari harga eceran; toko

diskon (discount store) dimana menjual barang-barang standar pada harga yang lebih

rendah dengan margin yang lebih rendah dan volume yang lebih tinggi; superstore

rata-rata memiliki ruang penjualan 35.000 kaki persegi, secara tradisional bertujuan

mempertemukan kebutuhan total konsumen untuk pembelian makanan dan bukan

makanan secara rutin dengan diberi tambahan pelayanan; catalog showroom

merupakan barang-barang yang bernilai tinggi, perputarannya cepat, dan barang-

barang bermerek dengan harga diskon.

Nike, Inc. adalah salah satu perusahaan sepatu, pakaian dan alat-alat olahraga

Amerika Serikat yang merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Mereka terkenal

karena mensponsori beberapa olahragawan terkenal di dunia seperti Tiger Woods,

Ronaldo dan Michael Jordan. Selain itu mereka juga memiliki perjanjian dengan

berbagai tim sepak bola dunia. Nike telah beroperasi di Indonesia sejak 1988 dan

hampir sepertiga dari sepatu yang ada sekarang merupakan produk dari sana. Dalam

sebuah wawancara pers di November 1994, koordinator perusahaan Nike di

Indonesia, Tony Band, mengatakan perusahaan yang digunakan di Indonesia

10

berjumlah 11 kontraktor. Di antaranya merupakan bekas-bekas basis perusahaan

asosiasi Nike di Korea Selatan dan Taiwan -yang juga pada saat yang sama

menghasilkan untuk merek lain seperti Reebok, Adidas dan Puma-. Hubungan antara

Nike dan kontraktor di Indonesia cukup dekat. Setiap personil Nike di setiap pabrik di

Indonesia memeriksa kualitas dan pengerjaan yang memenuhi persyaratan ketat Nike.

(http://wapedia.mobi/id/Nike,_Inc.)

Nike yang sekarang mendefinisikan dirinya sebagai bagian dari pasar

olahraga. Adapun pergerakan segmen yang dilakukan oleh perusahaan sepatu "Nike"

diantaranya: Kesuksesan Nike yang pertama adalah membuat sepatu lari yang hebat

untuk para pelari yang serius. Kemudian beralih pada sepatu untuk bermain bola

basket, tenis, dan sepakbola, selanjutnya Nike beralih lagi pada pembuatan sepatu

aerobik.

Nike akhirnya menyadari bahwa perusahaan dapat melakukan segmentasi

lebih lanjut bagi pasar sepatu bola basket, sepatu untuk pemain-pemain yang agresif,

bagi pemain-pemain yang memiliki lompatan tinggi, dan sebagainya. Nike beralih

pada penjualan pakaian yang digunakan oleh pemain-pemain dari berbagai jenis olah

raga. Berdasarkan penjelasan diatas bahwa saat ini perusahaan Nike sebagai market

leader dari sepatu olahraga dan memperluas produknya pada penjualan baju olah

raga. Tetapi saat ini Nike mempertimbangkan untuk menjual jasa-jasa olahraga

seperti pengelolaan karier atlet serta langkah yang dilakukan oleh Reebok sebagai

pesaing ketat Nike, melakukan resegmentasi pada keseluruhan pasar dengan

memperkenalkan sepatu bergaya untuk pasar pemakai santai yang dapat dikenakan

setiap hari tanpa melakukan kegiatan olahraga. Kini produk-produk Nike tidak hanya

11

sepatu, namun juga merambah ke produk lain seperti seperti jaket, topi, jam tangan,

serta produk olahraga lainnya. Baru-baru ini Nike juga memperkenalkan

pengembangan iPod yang bisa dikombinasikan pada sepatu lari. Dalam sepatu

dipasang chip yang mampu mengirimkan data ke iPod, yang salah satu fungsinya

adalah untuk menghitung jumlah langkah.

Produk kreatif dan inovatif memerlukan strategi pengembangan dan

manajeman yang baik. Hal ini pula yang dilakukan pihak Nike agar selalu eksis

dalam kancah dunia bisnis agar terus menghasilkan produk-produk yang berkualitas

fenomenal seperti rencana Nike di tahun 2011 untuk menjadi perusahaan bebas

karbon.

Di balik kesuksesan, intrik dan konflik selalu membayang, demikian juga

dengan Nike inc seperti yang terjadi di China, Vietnam, Indonesia dan Meksiko. Nike

dikritik karena berusaha menutupi kondisi kerja yang buruk serta eksploitasi buruh.

Nike juga adalah perusahaan besar yang tidak memiliki pabrik. Karena mereka lebih

senang untuk outsourcing kebutuhan-kebutuhan mereka terutama kepada sektor

informal, ataupun perusahaan lainnya, sehingga mengefisienkan dan meminimalisir

ongkos produksi.

Disinilah pembuktian kekuatan merek dagang dan faktor-faktor pendukung

lainnya ikut memegang peranan yang penting. Banyaknya masalah ataupun konflik

yang terpublikasi, tidak akan membuat kosumen beralih ke merek lain. Hal ini karena

ikatan psikologis antara Nike dengan konsumen. Nike mampu menciptakan loyalitas

dengan para konsumen. Keterlibatan mereka dengan produk Nike ini menjadi lebih

totalitas. Konsumen secara emosional sangat terlibat dengan produk tersebut. Karena

12

mereka juga terlibat dalam komunitas, bisa dibayangkan bila kemudian loyalitas

mereka menjadi tinggi. Beralih dari merek Nike, sama saja mereka harus

meninggalkan komunitas mereka.

(http://globalmarketingpost.blogspot.com/2010/05/studi-kasus-nike.html)

2.2 Merek

Merek telah menjadi salah satu elemen penting yang turut memberi

kontribusi terhadap kesuksesan suatu perusahaan. Setiap pemilik merek atau peritel

berharap agar merek mereka bisa menjadi top of mind dalam memori konsumen.

Umumnya merek digunakan oleh konsumen sebagai petunjuk untuk mengevaluasi

kualitas suatu produk, hal ini menjadi suatu hal yang menyebabkan peritel untuk

lebih fokus dalam membangun citra merek yang kuat untuk produk-produk mereka.

Dalam dunia industri, istilah merek menjadi salah satu kata yang populer

dalam kehidupan sehari-hari. Merek sekarang tidak hanya dikaitkan oleh produk

tetapi juga dengan berbagai strategi yang dilakukan oleh perusahaan (Knapp, 2000).

Merek mempunyai makna yang berbeda-beda bagi para produsen. Menurut

Hermawan Kertajaya (dalam Simamora, 2002), perusahaan memiliki cara yang

berbeda-beda dalam memandang merek. Hal itu tergantungan pada tipe pemasaran

yang digunakan oleh perusahaan tersebut. Berikut ini adalah tipe-tipe pemasaran yang

biasa digunakan oleh berbagai perusahaan:

1. No marketing, tipe pemasaran ini dilakukan pada saat perusahaan

memonopoli pasar dan tidak memiliki pesaing. Konsumen pasti mencari

13

produk karena tidak ada pilihan. Dalam hal ini, merek hanya dianggap sekedar

nama.

2. Mass marketing, tipe pemasaran ini dilakukan ketika perusahaan sudah

memiliki pesaing walaupun pesaingnya lemah, untuk itu perusahaan masih

menguasai sebagian besar pasar dengan melakukan pemasaran massal (mass

marketing), dan pada saat ini merek tidak lebih dari sekedar mengenalkan

produk (brand awarness).

3. Segmented marketing, dilakukan pada saat persaingan mulai ketat, oleh karena

itu perusahaan perlu melakukan segmentasi pasar. Dalam tipe pemasaran ini,

perusahaan harus menancapkan citra yang baik tentang mereknya, karena itu

merek diperlukan sebagai jangkar asosiasi (brand association).

4. Niche marketing, ketika persaingan bertambah ketat lagi, perusahaan tidak

bisa hanya mengandalkan segmen, melainkan ceruk pasar (niche marketing)

yang ukurannya lebih kecil tetapi memiliki perilaku khas. Oleh karena itu,

perusahaan perlu menciptakan kesan bahwa mereknya berkualitas, karena itu

merek adalah persepsi kualitas (perceived quality).

5. Individualized marketing, ketika sudah mencapai puncak persaingan, bagi

perusahaan merek berkaitan dengan loyalitas (brand loyalty). Dalam puncak

persaingan tentunya jumlah pesaing sangat banyak dengan berbagai strategi

yang digunakan dan konsumen tidak mau hanya sekedar dipandang sebagai

pembeli saja, karena itu perusahaan harus menjalin kemitraan dengan

konsumen melalui individualized marketing.

14

2.3 Citra Merek

Citra merek merupakan serangkaian asosiasi yang ada dalam benak konsumen

terhadap suatu merek, biasanya terorganisasi menjadi suatu makna. Hubungan

terhadap suatu merek akan semakin kuat jika didasarkan pada pengalaman dan

mendapat banyak informasi. Citra atau asosiasi merepresentasikan persepsi yang bisa

merefleksikan keyataan yang objektif ataupun tidak. Citra yang terbentuk dari

asosiasi inilah yang mendasari dari keputusan membeli bahkan loyalitas merek dari

konsumen. Konsumen lebih sering membeli produk dengan merek yang terkenal

karena merasa lebih nyaman dengan hal-hal yang sudah dikenal, adanya asumsi

bahwa merek terkenal lebih dapat diandalkan, selalu tersedia dan mudah dicari, dan

memiliki kualitas yang tidak diragukan, sehingga merek yang lebih dikenal lebih

sering dipilih konsumen daripada merek yang tidak. (Aaker, 1991, p.99-100).

Hasil penelitian (Martin, 1998, Syrgy, 1990, Syrgy, 1992) menemukan bahwa

serangkaian perasaan, ide, dan sikap yang dimiliki konsumen terhadap suatu merek

merupakan aspek penting dalam perilaku pembelian. Citra merek didefinisikan

sebagai sekumpulan atribut spesifik yang berelasi dengan produk, merek, dan

konsumen pengetahuan, perasaan, dan sikap terhadap merek yang disimpan individu

di dalam memori. Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa sebagai simbol,

merek sangat mempengaruhi status dan harga diri konsumen. Penelitian-penelitian ini

juga menyebutkan bahwa suatu merek lebih mungkin dibeli dan dikonsumsi jika

konsumen mengenali hubungan simbolis yang sama antara citra merek dengan citra

15

diri konsumen baik citra diri ideal maupun citra diri aktual. (Arnould, Price &

Zinkan, 2005, h.120-122).

2.3.1 Faktor-Faktor yang membentuk Citra merek

(Glen, 1974) mengemukakan pentingnya faktor lingkungan dan personal

sebagai awal terbentuknya suatu citra merek, karena faktor lingkungan dan personal

mempengaruhi persepsi seseorang. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi

adalah; atribut-atribut tekhnis yang ada pada suatu produk dimana faktor ini dapat

dikontrol oleh produsen, selain itu juga, sosial budaya termasuk dalam faktor ini.

Faktor personal adalah; kesiapan mental konsumen untuk melakukan proses persepsi,

pengalaman konsumen sendiri, mood, kebutuhan serta motivasi konsumen. Citra

merupakan produk akhir dari sikap awal dan pengetahuan yang terbentuk lewat

proses pengulangan yang dinamis karena pengalaman. (Arnould, Price & Zinkan,

2005).

Menurut (Runyon, 1980), citra merek terbentuk dari stimulus tertentu yang

ditampilkan oleh produk tersebut, yang menimbulkan respon tertentu pada diri

konsumen.

1. Stimulus yang muncul dalam citra merek tidak hanya terbatas pada stimulus

yang bersifat fisik, tetapi juga mencakup stimulus yang bersifat psikologis.

Ada tiga sifat stimulus yang dapat membentuk citra merek yaitu stimulus

yang bersifat fisik, seperti atribut-atribut teknis dari produk tertentu; stimulus

16

yang bersifat psikologis, seperti nama merek; stimulus yang mencakup sifat

keduanya, seperti kemasan produk atau iklan produk.

2. Datangnya stimulus menimbulkan respon dari konsumen. Ada dua respon

yang mempengaruhi pikiran seseorang, yang membentuk citra merek yaitu

respon rasional, penilaian mengenai performa aktual dari merek yang

dikaitkan dengan harga pokok tersebut, dan respon emosional kecenderungan

perasaan yang timbul dari merek tersebut.

Menurut (Timmerman, 1999), citra merek sering terkonseptualisasi sebagai

sebuah koleksi dari semua asosiasi yang berhubungan dengan sebuah merek.

Citra merek terdiri dari:

1. Faktor fisik : karakteristik fisik dari merek tersebut, seperti desain

kemasan, logo, nama merek, fungsi dan kegunaan produk dari merek

itu;

2. Faktor psikologis : dibentuk oleh emosi, kepercayaan, nilai,

kepribadian yang dianggap oleh konsumen menggambarkan produk

dari merek tersebut.

Citra merek sangat erat kaitannya dengan apa yang orang pikirkan, rasakan

terhadap sesuatu merek tertentu sehingga dalam citra merek faktor psikologis lebih

banyak berperan dibandingkan faktor fisik dari merek tersebut.

17

2.3.2 Komponen Citra Merek

Menurut (Hogan, 2005) citra merek merupakan asosiasi dari semua informasi

yang tersedia mengenai produk, jasa dan perusahaan dari merek yang dimaksud.

Informasi ini didapat dari dua cara, yang pertama melalui pengalaman konsumen

secara langsung, yang terdiri dari kepuasan fungsional dan kepuasan emosional.

Kedua, persepsi yang dibentuk oleh perusahaan dari merek tersebut melalui berbagai

macam bentuk komunikasi, seperti iklan, promosi, hubungan masyarakat, logo,

fasilitas retail, sikap karyawan dalam melayani penjualan, dan performa pelayanan.

Citra pada suatu merek merefleksikan image dari perspektif konsumen dan

melihat janji yang dibuat merek tersebut pada konsumennya. Citra merek terdiri atas

asosiasi konsumen pada kelebihan produk dan karakteristik personal yang dilihat oleh

konsumen pada merek tersebut. Menurut (Davis, 2000), citra merek memiliki dua

komponen, yaitu:

1. Brand Associations (Asosiasi Merek)

Asosiasi terhadap karakteristik produk atau jasa yang dilekatkan oleh

konsumen pada merek tersebut, termasuk persepsi konsumen mengenai janji-

janji yang dibuat oleh merek tersebut, positif maupun negatif, dan harapan

mengenai usaha-usaha untuk mempertahankan kepuasan konsumen dari

merek tersebut. Suatu merek memiliki akar yang kuat, ketika merek tersebut

diasosiasikan dengan nilai-nilai yang mewakili atau yang diinginkan oleh

konsumen. Asosiasi merek membantu pemasar mengerti kelebihan dari merek

yang tersampaikan pada konsumen.

18

2. Brand Personal/ Personality (Persona/Kepribadian Merek)

Merupakan serangkaian karakteristik manusia yang oleh konsumen

diasosiasikan dengan merek tersebut, seperti, kepribadian, penampilan, nilai-

nilai, kesukaan, gender, ukuran, bentuk, etnis, inteligensi, kelas sosioekonomi,

dan pendidikan. Hal ini membuat merek seakan-akan hidup dan

mempermudah konsumen mendeskripsikannya, serta faktor penentu apakah

konsumen ingin diasosiasikan dengan merek tersebut atau tidak. Persona

merek membantu pemasar lebih mengerti kelebihan dan kekurangan merek

tersebut dan cara memposisikan merek secara tepat.

2.4 Karakteristik Produk

Menurut (kotler, 1997), produk adalah segala sesuatu tang dapat ditawarkan

ke suatu pasar unuk memenuhi keinginan atau kebutuhan. Produk-produk yang

dipasarkan meliputi barang fisik, jasa, orang, tempat, organisasi dan gagasan.

Sedangkan menurut (Ryerson, 2009) karakteristik suatu produk merupakan modal

atau atribut penting, sejauh produk tersebut mampu memberikan keuntungan untuk

memenuhi tujuan yang lebih besar. Dalam industri fashion, tiap produsen berlomba-

lomba untuk menciptakan produk dan model baru yang bertujuan untuk mendapatkan

pangsa pasar yang lebih. Perusahaan yang dapat menciptakan suatu produk yang

memiliki kelebihan dalam tiap karakteristik produknya, tentunya memiliki nilai

tambah yang menjadi suatu kelebihan di dalam perusahaan tersebut, sehingga dapat

meningkatkan target konsumennya.

19

Menurut (kotler, 1997), pemasar biasanya mengklasifikasikan produk

berdasarkan macam-macam karakteristik produk, yaitu (1) daya tahan dan wujud.

Produk dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok menurut daya tahan dan

wujudnya (a) barang yang terpakai habis (nondurable goods) adalah barang berwujud

yang biasanya dikonsumsi dalam satu atau beberapa kali penggunaan (b) barang

tahan lama (durable goods) adalah barang berwujud yang biasanya dapat digunakan

banyak kali. (2) klasifikasi barang konsumen. Konsumen membeli sangat banyak

macam barang. Barang-barang ini dapat diklasifikasikan berdasarkan kebiasaan

berbelanja konsumen, yaitu (a) convenience goods adalah barang-barang yang

biasanya sering dibeli konsumen, segera dan dengan usaha minimum. Convenience

goods dapat dibagi lagi menjadi tiga, yaitu (1) staples adalah barang yang dibeli

konsumensecara teratur. (2) impulse goods dibeli berdasarkan keinginan perencanaan

atau usaha karena para pembeli mungkin tidak berfikir untuk membeli sampai mereka

melihatnya. (3) emergency goods dibeli saat kebutuhan itu mendesak. (b) shopping

goods adalah barang-barang yang karakteristiknya berdasarkan kesesuaian, kualitas,

harga dan gaya dalam proses pemilihan dan pemelinya. Shopping goods dibagi

menjadi dua, yaitu (1) homogenous shopping goods adalah barang-barang yang

serupa kualitasnya tetapi cukup beda harganya perbandingan belanja. (2)

heterogenous shopping goods adalah barang-barang keistimewaan produk sering

lebih penting bagi konsumen daripada harganya. (c) unsought goods adalah barang-

barang yang tidak diketahui konsumen atau diketahui namun secara normal

konsumen tidak beerfikir untuk membelinya. (3) klasifikasi barang industri. Barang

industri dapat diklasifikasikan berdasarkan cara mereka memasuki proses produksi

20

dan harga relatifnya. Dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu (a). Bahan baku

dan suku cadang adalah barang-barang yang sepenuhnya masuk ke produk. (b)

barang modal adalah barang-barang tahan lama yang memudahkan pengemangan

dan/atau pengelolaan produk akhir. (c) perlengkapan dan jasa adalah barang atau jasa

tidak tahan lama yang membantu pengembangan dan/atau pengelolaan produk akhir.

2.5 Lingkungan Toko

Menurut (Hatane, 2005), lingkungan toko merupakan salah satu faktor yang

sangat penting dalam usaha retail, khususnya yang bergerak dibidang fashion.

Dengan adanya elemen-elemen lingkungan toko yang mendukung dan menarik, maka

dapat menimbulkan keinginan didalam diri konsumen untuk tertarik membeli produk

yang ada di dalam toko retail tersebut. Sehingga secara tidak langsung dapat

meningkatkan target penjualan toko retail tersebut.

Lingkungan mengacu pada semua karakteristik fisik dan sosial konsumen,

termasuk objek fisik (produk dan toko), hubungan ruang (lokasi toko dan produk

dalam toko), dan prilaku sosial dari orang lain (siapa saja yang di sekitar dan apa saja

yang mereka lakukan). Menurut (Paul dan Jerry, 2002), lingkungan terdiri dari dua

macam, yaitu: lingkungan makro, termasuk skala besar, faktor-faktor lingkungan luar

seperti iklim, kondisi ekonomi, sistem politik, dan kondisi alam. Faktor-faktor

lingkungan makro ini mempunyai pengaruh hukum atas prilaku, seperti ketika

keadaan ekonomi mempengaruhi jumlah beanja rumah tangga, mobil dan barang.

Lingkungan mikro berhubungan dengan aspek nyata fisik dan sosial lingkungan

21

seseorang, seperti lantai yang kotor, karyawan toko yang cerewet, cuacana panas,

atau anggota keluarga atau rumah tangga. Faktor skala kecil dapat berpengaruh

langsung pada prilaku spesifik konsumen, pendapat, dan perasaan. Seperti orang lebih

memilih tidak untuk berlama-lama dalam keadaan kotor, di dalam toko yang ramai;

konsumen harus menunggu sampai sore untuk belanja selama cuaca panas, dan

merasa marah dalam antrian yang panjang dan lama ketika anda ingin pulang.

Menurut (Peter dan Olsen, 2002), membagi lingkungan menjadi 2 (dua) aspek dan

dimensi yaitu: aspek lingkungan sosial, termasuk semua interaksi sosial diantara dan

di sekitar orang lain, secara langsung ataupun secara tidak langsung, dan aspek

lingkungan fisik termasuk semua yang bukan manusia, yang dapat dibagi menjadi

element yang mempunyai ruang atau tidak mempunyai ruang. Element yang

mempunyai ruang meliputi objek fisik dari semua jenis (termasuk produk dan merek)

seperti negara, kota, toko, dan dalam desain interior. Element tidak mempunyai ruang

meliputi faktor tidak nyata seperti temperatur, kelembaban, penerangan, tingkat

kebisingan, dan waktu.

2.6 Country Of Origin

Dalam pasar global yang semakin terhubung serta sangat kompetitif,

pemerintah dan pemasar sangat memperhatikan bagaimana sikap dan kepercayaan

mengenai negara mereka mempengaruhi pengambilan keputusan konsumen dan

bisnis. Country of origin adalah tempat dimana suatu produk di produksi. Efek dari

country of origin di negara maju cenderung lebih kecil (Elliot dan Comoron, 1994).

22

Di negara maju, masyarakat cenderung lebih tertarik untuk membeli produk lokal

daripada produk import, karena mereka mengetahui kualitas produknya. Sedangkan

negara berkembang memiliki dampak country of origin lebih besar. Masyarakat

negara berkembang lebih menyukai merek luar negeri karena percaya memiliki

kualitas yang tinggi.

Dalam beberapa penelitian (Ahmed dan d’Astous: 2004; Kaynak dan Kara,

2002; Hyder, 2000) disepakati bahwa konsumen mempunyai persepsi tertentu

mengenai lokasi atau negara tempat suatu produk dihasilkan. Ketika konsumen hanya

mempunyai informasi lokasi suatu produk dihasilkan, maka dalam pengambilan

keputusan pembelian akan dipengaruhi oleh persepsi konsumen akan negara tersebut.

Efek dari country of origin sering dijelaskan dalam tingkat pembangunan

ekonomi negara asal (Cordell, 1991, 1992; Gaedeke, 1973; Schooler, 1971; schooler

& wildt, 1968; tse & gorn, 1993; wang & lamb, 1983). Penelitian mengusulkan efek

hierarki berdasarkan tingkat pembangunan ekonomi, yang menunjukkan bahwa

evaluasi produk tertinggi cenderung kepada negara dengan tingkat pembangunan

yang tinggi, diikuti oleh negara-negara industri baru, dan terendah untuk Eropa

Timur/ negara-negara sosialis dan negara-negara berkembang.

Dari suatu segi pandang konseptual, country of origin membangun

pendekatan literatur pada dua tingkat yang berbeda: (1) mewakili gambaran suatu

negara, (2) mewakili gambaran suatu produk; sebagian besar country of origin

mewakili gambaran suatu produk, dan, seringkali ukuran gambar produk dengan

suatu negara membingungkan. Seringkali country of origin mempunyai arti yang

mirip dengan pengaruh lingkungan, persepsi negeri, stereotypical kepercayaan, sikap

23

negri umum, dan negeri evaluasi. Kondisi yang sama berlaku juga untuk product

image yang mana sering dikenal sebagai produk kepercayaan, country of origin

kepercayaan, gambaran merek, sikap produk, produk country of origin, produk

persepsi, evaluasi produk, mutu produk, negeri mempengaruhi dan bahkan ‘country

image”.

2.6.1 Persepsi Konsumen tentang Country Of Origin

Menurut (Kotler, 2008) Pemasar global tahu bahwa pembeli mempunyai sikap

dan kepercayaan berbeda tentang merek dan produk dari berbagai negara. Persepsi

negara asal ini dapat mempengaruhi pengambilan keputusan konsumen secara

langsung dan tidak langsung. Persepsi bisa dimasukkan sebagai atribut daam

pengambilan keputusan atau memengaruhi atribut lain dalam proses (“ jika produk

merupakan produk dari Prancis, produk itu pasti penuh gaya “). Fakta bahwa merek

dianggap berhasil di pangung global dapat meningkatkan kredibilitas dan rasa

hormat. Beberapa studi menemukan hal sebagai berikut:

1. Orang sering bersifat etnosentris dan lebih suka menggunakan produk dalam

negeri mereka sendiri, kecuali mereka berasal dari negara yang kurang maju.

2. Semakin bagus citra negara, semakin penting lable “Made in...” harus

ditampilkan.

3. Dampak asal negara bervariasi dengan jenis produk. Konsumen ingin tahu di

mana sebuah mobil dibuat, tetapi tidak untuk minyak pelumasnya.

24

4. Negara tertentu menikmati reputasi atas barang tertentu: Jepang untuk mobil

dan elektronik konsumen; Amerika Serikat untuk inovasi teknologi tinggi,

minuman ringan, mainan dan barang mewah.

5. Kadang-kadang persepsi negara asal dapat meliputi seluruh produk negara

tersebut. Dalam salah satu studi, konsumen Cina di Hong Kong menganggap

produk AS sebagai produk yang bergengsi, produk Jepang sebagai produk

yang inovatif, dan produk Cina sebagai produk yang murah.

Pemasar harus melihat persepsi negara asal dari perspektif domestik dan asing. Di

pasar domestik, persepsi ini dapat menggugah rasa patriotisme atau mengingatkan

konsumen akan masa lalu mereka. Ketika perdagangan International tumbuh,

konsumen dapat memandang merek tertentu sebagai sesuatu yang penting secara

simbolis dalam warisan budaya dan identitas mereka.

Menurut (Kaynak dan Hyder, 2000), terdapat empat pendekatan dalam

county-of-origin. Keempat pendekatan tersebut adalah, single cue studies, multi-cue

studies, conjoint analysis dan environmental analysis. Pada pendekatan yang pertama,

dalam melakukan evaluasi produk konsumen menggunakan dasar baik intrinsik

maupun ekstrinsik. Seperti misalnya penggunaan county of origin sebagai single cue

dalam riset mengenai produk tertentu. Konsumen memandang produk-produk

tersebut sangat erat dengan negara tertentu, misalnya produk anggur dari Prancis.

Pada pendekatan kedua, selain county of origin digunakan sebagai faktor dalam

evaluasi produk, terdapat faktor-faktor lain yang diteliti seperti misalnya harga,

merek dan sebagainya.

25

Diyakini bahwa dua pendekatan tersebut masih mempunyai kelemahan, maka

didesainlah pendekatan ketiga untuk mengakomodasi kelemahan dua pendekatan

terdahulu. Pada conjoint analysis ini peneliti dimungkinkan untuk mengukur seberapa

besar nilai konsumen terhadap atribut-atribut produk. Secara lebih jelas, peneliti bisa

melihat alasan dibalik keputusan konsumen dalam memilih produk asing versus

produk domestik. Pada pendekatan terakhir, environmental analysis, faktor-faktor

lingkungan dimasukkan. Studi tentang faktor-faktor lingkungan terkait dengan

kondisi sosio ekonomi dan teknologi negara suplier. Perlu dipahami bagaimana

berbagai faktor lingkungan akan mempengaruhi persepsi konsumen mengenai produk

dan merek asing maupun domestik.

2.7 Kepuasan Pelanggan

Menurut Hatane Samuel dan (Foedjiawati, 2005) Kunci keberhasilan

perusahaan yang berada dalam industri yang tingkat persaingan dan perubahan

lingkungan yang tinggi terletak pada seberapa jauh perusahaan tersebut dapat

memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen. Konsumen yang puas terhadap

merek atau produk tertentu cenderung untuk membeli kembali merek atau produk

tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kepuasan konsumen merupakan faktor kunci

bagi konsumen dalam melakukan pembelian ulang. Sementara pembelian yang

dilakukan berulang-ulang merupakan faktor terbesar dalam peningkatan volume

penjualan di dalam perusahaan tersebut. Selanjutnya konsumen yang puas tersebut

sangat dimungkinkan untuk mempengaruhi lingkungannya untuk mengkonsumsi

26

merek atau produk yang telah mereka anggap memberikan rasa kepuasan akan merek

dan produk tersebut. Keadaan ini akan sangat membantu perusahaan dalam

mempromosikan produknya. Dari penjelasan di atas nampak jelas bahwa kepuasan

konsumen merupakan faktor yang penting bagi kelangsungan hidup perusahaan untuk

bertahan dalam persaingan di indusrti, khususnya industri fashion.

Selanjutnya menurut Singgih (Santoso, 2009), Untuk dapat memuaskan

konsumennya, perusahaan dapat mulai dari mencari tahu kebutuhan dan keinginan itu

sendiri. Atau dengan kata lain perusahaan haru dapat mengetahui motif konsumen

dalam membeli suatu produk. Apakah konsumen membeli produk untuk memperoleh

manfaat inti dari produk atau merek tersebut, atau mereka mereka membeli produk

tersebut akan memperoleh tambahan manfaat dari produk yang dibelinya.

Kepuasan pelanggan merupakan evaluasi pelanggan menyangkut produk atau

jasa dalam kaitannya apakah produk atau jasa tersebut sudah sesuai dengan

kebutuhan dan harapannya (Zeithaml & Bitner, 2000). Kegagalan dari sebuah produk

atau jasa dalam memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen diasumsikan dapat

mengakibatkan dissatisfaction. Kepuasan pelanggan akan dipengaruhi oleh fitur

produk atau jasa yang spesifik dan persepsi mutu. Kepuasan juga akan dipengaruhi

oleh tanggapan-tanggapan pelanggan secara emosional, kedudukan kelas sosialnya,

dan persepsi mereka (Zeithaml & Bitner, 2000).

Kepuasan pelanggan timbul dari adanya respon emosional terhadap produk

yang digunakan, khususnya ketika mereka membandingkan kinerja yang ia rasakan

dibandingkan dengan harapannya, yang prosesnya dapat dilihat pada gamar berikut:

27

Gambar 2.1. Model Kepuasan – Ketidakpuasan Pelanggan

Sumber: (Hasan, 2008)

Indikator dari sebuah produk adalah paket nilai (value package) yang dapat

dideteksi dari perasaan subyektif pelanggan atau calon pelanggan. Oleh karena itu,

perusahaan yang sukses adalah apabila mampu menciptakan dan menghaantarkan

paket nilai produk yang dapat dinikmati pelanggan sebagai sesuatu yang unggul

dibanding pesaing. Kepuasan pelanggan dibentuk oleh harapan dan persepsi

28

pelanggan terhadap sebuah produk yang memiliki nilai unggul. Kepuasan pelanggan

merupakan fungsi dasar dari sejumlah value produk yang dipersepsikan oleh

pelanggan sebelum menggunakannya. (Lesmana, 2009).

2.8 Loyalitas Pelanggan

(Oliver, 1999) mendefinisikan loyalitas konsumen adalah suatu keyakinan

yang teguh dan tidak berubah dari konsumen kepada perusahaan, dimana konsumen

memiliki suatu komitmen untuk melakukan pembelian ulang di masa mendatang

secara konsisten, dan akibat dari komitmen ini terjadi pembelian merek atau

sekelompok merek yang sama, meskipun pengaruh situasi dan usaha pemasaran

mempunyai potensi yang dapat menyebabkan konsumen beralih kepada produk lain.

Sedangkan secara praktis, loyalitas dapat didefinisikan (Griffin, 2005) sebagai

perilaku pembelian non-random yang diungkapkan oleh waktu ke waktu oleh

beberapa unit pengambilan keputusan. Kata non-random berarti konsumen memiliki

prasangka spesifik mengenai apa yang akan dibeli dan dari siapa. Atau dengan kata

lain pembelian yang terjadi bukan merupakan peristiwa acak.

2.8.1 Fase-Fase Loyalitas

Menurut (Oliver, 1999), loyalitas akan melalui fase-fase loyalitas sebagai

berikut: (1) cognitive loyalty, (2) affactive loyalty, (3) conative loyalty dan (4) action

loyalty.

29

1. Cognitive loyalty

Adalah tahap pertama dalam fase loyalitas. Pada tahap ini tersedianya

informasi mengenai atribut-atribut produk bagi konsumen

mengidentifikasikan bahwa merek tersebut menjadi salah satu preferensi dari

alternatif merek yang ada. Loyalitas pada tahap ini diarahkan langsung kepada

produk karena informasi ini (tingkat performance attribut merk)

2. Affective loyalty

Pada tahap ini konsumen sudah menyenangi (liking) sebagai satu sikap

kumulatif kepuasan menggunakan produk dalam beberapa transaksi. Pada

tahap ini komitmen dirujuk sebagai affective loyalty dan disimpan dalam

pikiran konsumen sebagai kognitif dan affective.

3. Conative loyalty

Tahap selanjutnya dari loyalitas adalah conative (behavioral intention)

yang dipengaruhi oleh pengalaman positif konsumen dalam menggunakan

produk. Namun dalam tahap ini konsumen masih dalam tahap menginginkan

untuk membeli kembali, keinginan ini dapat saja merupakan suatu antisipasi

namun belum tentu terealisasi secara aksi.

4. Action loyalty

Pada tahap ini minat-minat tersebut diterjemahkan dalam suatu aksi.

Dalam tahap ini konsumen mempunyai suatu keinginan untuk mengatasi

hambatan-hambatan yang mungkin menghalangi niatnya untuk membeli

kembali.

30

Selain memiliki kolerasi langsung dengan tingkat laba suatu perusahaan

(Griffin, 2005), loyalitas konsumen juga memberikan keuntungan-keuntungan

sebagai berikut: (1) tingkat sensitifitas harga dari konsumen akan lebih rendah, (2)

mengurangi biaya dalam mendapatkan konsumen baru, (3) meningkatkan tingkat

keuntungan perusahaan.

Dari sisi praktisnya, (Griffin, 2005) mengatakan bahwa konsumen yang loyal

akan memberikan keuntungan sebagai berikut bagi perusahaan: (1) meningkatkan

keuntungan perusahaan, (2) mengurangi biaya transaksi, seperti biaya negosiasi

kontrak dan proses order, (3) mengurangi biaya perputaran konsumen karena jumlah

pelanggan yang hilang berkurang, (4) meningkatkan penjualan cross-selling sehingga

pangsa pelanggan juga menjadi meningkat, (5) mendapatkan word of mouth yang

positif, (6) mengurangi biaya kegagalan.

2.9 Model konseptual dan Hipotesis 2.9.1 Mode Konseptual

Penelitian ini akan menganalisis tentang sejauh mana citra merek (brand

image), karakteristik produk, store environment dan country of origin mempengaruhi

kepuasan pelanggan dan loyalitas.

31

Gambar 2.2. Model Konseptual

2.9.2 Hipotesis

Loyalitas konsumen terhadap suatu produk dapat terbentuk setelah individu-

individu konsumen menerima dan merasakan adanya kepuasan akan produk tersebut.

Dan kepuasan konsumen tersebut dapat terbentuk dengan adanya beberapa faktor

yang mempengaruhi, antara lain: citra merek, karakteristik produk, store

environment, dan country of origin. Dalam merumuskan hubungan antara faktor-

faktor tersebut, dapat dilihat melalui penjelasan dibawah ini:

32

Citra perusahaan atau toko dalam pandangan perusahaan sebagai sebuah

merek biasanya diukur dari persepsi konsumen mengenai kinerja toko atau

perusahaan bersangkutan. Hal ini menjadi dasar pemikiran yang menyangkut

keanekaragaman dari persepsi nilai. Misalnya, pelanggan nampaknya akan lebih

terpuaskan dengan tawaran yang menyediakan apa yang diperlukan konsumen,

inginkan, maupun keinginan meningkatkan sehubungan dengan biaya yang

dikeluarkan (Johnson, 1998; Szymanski & Henard, 2001). Citra (image) toko atau

perusahaan dapat didefinisikan sebagai cara dimana konsumen memandang toko atau

perusahaan.

Dalam jurnal tersebut ditemukan bahwa yang terpenting untuk kepuasan

pelanggan adalah toko sebagai sebuah merek. Pengecer harus ahli dalam penjualan

eceran. Pelanggan terpuaskan ketika toko rapi dan menyenangkan serta ketika mereka

merasakan bahwa toko memahami kebutuhan mereka. Hanya dengan segmen

pelanggan tertentu tertarik akan merek toko. Pelanggan terpuaskan menjadi setia.

Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesisnya adalah sebagai berikut:

Hipotesis 1: Citra Merek memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan pelanggan.

Karakteristik produk yang menarik dan melekat dalam suatu merek tertentu,

merupakan salah satu faktor penting dalam memicu minat konsumen untuk membeli

produk tersebut. Kualitas yang bagus didalam produk tersebut, juga memicu perilaku

konsumen untuk membeli secara terus-menerus pada merek tertentu, khususnya di

dalam industri fashion. Dalam industri fashion, karaktersistik suatu produk

33

merupakan faktor terpenting dalam andil kosumen untuk membeli barang tersebut,

dan karakteristik produk juga akan terus melekat dalam merek tersebut.

Di dalam jurnal (Asmani, 2005), menjelaskan bahwa perusahaan harus

mampu merebut hati pasar sasarannya untuk mencapai volume penjualan tertentu

agar tetap bertahan atau mengembangkan usahanya dalam industri yang sudah

dipilihnya. Dalam kondisi seperti ini kepuasan konsumen mempunyai peranan yang

cukup penting bagi perusahaan. Karena secanggih atau sebagus produk yang

dihasilkan oleh perusahaan, jika konsumen tidak menyukainya, baik karena terlalu

mahal atau terlalu rumit dalam penggunaannya, maka produk tersebut tidak ada

artinya. Pada kenyataan lain mungkin saja konsumen enggan membeli merek tertentu

karena produknya kurang berkualitas, tetapi mungkin mereka pernah dikecewakan

dalam pelayanan pada saat atau pasca pembelian. Fenomena ini menunjukkan bahwa

untuk memuaskan konsumen bukan merupakan suatu permasalahan yang sederhana

tetapi merupakan permasalahan yang komplek yang saling terkait. Berdasarkan

asumsi tersebut, maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai berikut:

Hipotesis 2: Karakteristik Produk memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan

pelanggan.

Dilihat dari jenis retail, produk yang dijual dan merek tertentu, maka

lingkungan dimana toko tersebut berada sangatlah penting. Keputusan pembelian

yang dilakukan belum tentu direncanakan, terdapat pembelian yang tidak

direncanakan akibat adanya rangsangan lingkungan belanja. Implikasi dari

lingkungan belanja terhadap perilaku pembelian mendukung asumsi bahwa jasa

34

layanan fisik menyediakan lingkungan yang mempengaruhi perilaku konsumen,

dihubungkan dengan karakteristik lingkungan konsumsi fisik (Bitner, Booms dan

Tetreault, 1990; Cole dan Gaeth, 1990). Secara spesifik, dokumentasi mengenai

suasanan sebuah lingkungan belanja serta lingkungan retail dapat mengubah emosi

konsumen (Donovan dan Rossiter, 1992). Perubahan emosi mengubah suasana hati

konsumen yang mempengaruhi keduanya, yaitu perilaku pembelian dan evaluasi

adanya emosional yang menyebabkan ternjadinya kepuasan yang timbul di dalam diri

konsumen. Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai

berikut:

Hipotesis 3: Store Environment memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan

pelanggan.

Telah diketahui bahwa lokasi dimana produk dihasilkan akan mempengaruhi

niat beli maupun keputusan pembelian oleh konsumen. Suatu Negara akan

dipersepsikan mempunyai reputasi yang ekslusif atas suatu produk tertentu. Namun

demikian country of origin merupakan salah satu penentu keputusan pembelian oleh

konsumen. Menurut (Lin dan Kao, 2004), country of origin akan menciptakan suatu

persepsi tertentu akan suatu merek atau produk, dimana persepsi bisa positif maupun

negatif. Pada level berikutnya persepsi positif akan mendorong terciptanya kepuasan

di dalam diri konsumen. Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesis selanjutnya

adalah sebagai berikut:

Hipotesis 4: Country Of Origin memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan

pelanggan.

35

Dijelaskan bahwa kepuasan pelanggan merupakan awal yang diperlukan

dalam pembentukan loyalitas pelanggan (Fitzel 1998; Fornell 1992), selanjutnya

(Faullant, 2008) menjelaskan bahwa kepuasan pelanggan adalah faktor penentu

utama dari loyalitas konsumen. Hal ini didasari oleh penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh (Mittal & Kamakura, 2001; Reicheld & Sasser, 1990; serta Zeithaml

1996), yang menunjukkan asosiasi yang positif antara kepuasan dan pembelian

kembali. Efek positif dari kepuasan terhadap loyalitas direfleksikan pada intensitas

konsumen melakukan pembelian kembali dari produk maupun jasa dan dia bersedia

untuk merekomendasikannya kepada orang lain. Sebagai konsekuensinya perusahaan

harus dapat memantapkan dasar konsumen yang stabil yang dengan demikian dapat

mengurangi akuisisi dan biaya transaksi serta menekan pengurangan pendapatan.

Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai berikut:

Hipotesis 5: kepuasan pelanggan memiliki pengaruh positif terhadap loyalitas.

Dukungan empiris dalam hubungan antara merek perusahaan denga loyalitas

pelanggan sangat langka, namun demikian ada beberapa hasil penelitian yang

diangkat oleh (Anisimova, 2007) diantaranya adalah mengemukakan persepsi

perlindungan merek perusahaan berpengaruh besar terhadap perilaku pembelian

merek. Walaupun pemahaman konsumen terhadap merek sangat berpengaruh

terhadap perilaku pembelian, namun pandangan perilaku saja tidak cukup untuk

menjelaskan proses pengembangan loyalitas (Dick & Besu, 1994). Mertenson

berdasarkan penelitian sebelumnya menyatakan bahwa toko dengan citra yang baik

dapat menciptakan kepuasan pelanggan yang pada akhirnya menuntun kearah

36

loyalitas. Merek pabrik membawa pula merek perusahaan atau toko. Jika konsumen

suka bagaimana retailer beroperasi sebagai seorang retailer dan pilihan merek yang

ada di tokonya, mereka berasumsi untuk terpuaskan dengan toko tersebut. Pelanggan

terpuaskan diharapkan untuk menjadi pelanggan setia. Berdasarkan asumsi tersebut,

maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai berikut:

Hipotesis 6: Citra Merek memiliki pengaruh positif terhadap Loyalitas.

Menghadapi selera yang beragam, perusahaan dituntut untuk serba

meningkatkan inovasi dan peka terhadap perubahan dan keinginan pasar, Sehingga

mampu memberikan derajad kepuasan yang memenuhi kepuasan. Umumnya

konsumen akan memutuskan untuk melakukan pembelian atas suatu produk yang

berkualitas baik dengan memiliki karakteristik yang sesuai dengan keinginan

konsumen serta tingkat kepuasan yang tinggi, sehingga konsumen akan terus-

menerus menggunakannya. Demikian halnya dengan produk olah raga khususnya

sepatu yang saat ini beredar dipasaran memiliki kelebihan dan kekurangan masing-

masing. Dimana kelebihan dan kekurangan yang ada pada tiap merek tersebut

memiliki fungsi yang berbeda dari masing-masing produk yang dikeluarkan (Hatane,

2005). Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai

berikut:

Hipotesis 7: karakteristik produk memiliki pengaruh positif terhadap Loyalitas.

Lingkungan toko merupakan faktor pendukung bagi terciptanya loyalitas

pelanggan. Dengan lingkungan toko yang baik, pelanggan bukan hanya berminat

37

untuk mengunjungi, merasa nyaman tetapi juga memiliki kesetiaan terhadap toko

tersebut. Elemen-elemen lingkungan toko adalah citra toko, atmosfer toko dan

pertunjukkan toko. (Gladys, 2009)

Pengetahuan tentang pelanggan merupakan kunci dalam merencanakan suatu

strategi pemasaran yang baik. Pelanggan dapat menjadi asset perusahaan yang paling

berharga, sehingga perusahaan perlu untuk menciptakan sekaligus menjaga kondisi

tersebut, (Ambier, Bhattacharya, Edell, Keller, Lemon, dan Mittal, 2002). Perusahaan

membutuhkan informasi pelanggan yang efektif dari dalam ruang toko dan

mengembangkan menjadi stimulus terhadap perilaku pembelian produk secara umum.

Pengecer membutuhkan informasi tersebut untuk menentukan efisiensi penggunaan

sumberdaya yang dirancang dalam menambah penjualan dan juga dapat

mendefrensiasi ruang toko sebagai salah satu strategi bersaing terhadap pesaing,

(Abratt dan Goodey, 1990).

Implikasi dari lingkungan belanja terhadap perilaku pembelian mendukung

asumsi bahwa jasa layanan fisik menyediakan lingkungan yang mempengaruhi

perilaku konsumen, dihubungkan dengan karakteristik lingkungan konsumsi fisik

(Bitner, Booms dan Tetreault, 1990; Cole dan Gaeth, 1990; Eroglu dan Machleit,

1990; Iyer, 1989). Secara spesifik, dokumentasi mengenai suasana sebuah lingkungan

belanja serta lingkungan retail dapat mengubah emosi konsumen (Donovan dan

Rossiter, 1982; Donovan, 1994). Perubahan emosi mengubah suasana hati konsumen

yang mempengaruhi keduanya yaitu perilaku pembelian dan evaluasi tempat belanja

konsumen semula (Babin, Darden dan Griffin, 1994; Dawson, Bloch dan Ridgway,

1990; Gardner, 1985). Toko dapat menawarkan suasana atau lingkungan yang dapat

38

mempengaruhi pola perilaku keputusan. konsumen (Baker, Grewal, dan Parasuraman,

1994). Lingkungan belanja dan suasana hati dapat mempengaruhi seseorang untuk

melakukan pembelian ulang dalam waktu tertentu

Hipotesis 8 : lingkungan toko memiliki pengaruh positif terhadap loyalitas.

Salah satu efek dari pasar terbuka adalah masuknya merek-merek asing ke

Indonesia. Merek asing yang masuk ke pasar Indonesia meliputi banyak industri.

Salah satu industri yang diserbu merek asing adalah industri fashion. Dalam industri

fashion, faktor negara asalah merupakan faktor yang terpenting, yang menimbulkan

adanya loyalitas pada konsumen. Dalam beberapa penelitian (Aatous, 2004)

konsumen memiliki persepsi tertentu mengenai negara asal tempat suatu produk

dihasilkan. Ketika konsumen mendapatkan informasi mengenai negara produk

tersebut diproduksi, maka dalam melakukan pembelian akan mempengaruhi persepsi

konsumen sehingga timbul perasaan emosional dan kepercayaan, sehingga

terbentuknya loyalitas akan merek tertentu tanpa memperhatikan faktor-faktor lain.

Dalam jurnal Noviandra Krisjanti juga dijelaskan dimana negara maju dipersepsikan

mempunyai kolerasi yang positif dengan kualitas produk dan loyalitas. Salah satu

produk yang mengangkat informasi “made-in” adalah Oli Top 1 yang selalu

mengedepankan informasi “dibuat di Amerika”. Berdasarkan asumsi tersebut, maka

hipotesis selanjutnya adalah sebagai berikut:

Hipotesis 9: Country Of Origin memiliki pengaruh positif terhadap Loyalitas.