bab ii landasan teori ii.1 pembangkit listrik tenaga uap
TRANSCRIPT
II-1
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) adalah pembangkit yang
mengandalkan energi kinetik dari uap untuk menghasilkan energi listrik. Jenis
pembangkit listrik tenaga termal yang paling banyak digunakan di Indonesia,
karena efisiensi yang tinggi sehingga menghasilkan energi listrik yang ekonomis.
PLTU merupakan mesin konversi energi yang mengubah energi kimia dalam bahan
bakar menjadi energi listrik. Siklus pembangkit listrik tenaga uap ini memanfaatkan
siklus rankine atau siklus tenaga uap yang merupakan siklus sederhana yang
memanfaatkan air yang dikonversi menjadi uap sebagai medium kerja. Siklus rankine
digambarkan pada Gambar II.1 sebagai berikut:
Gambar II.1 PLTU dan siklus rankine
(Cengel & Boles, 2006)
Pada gambar tersebut menggambarkan proses pada Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU) proses konversi air menjadi uap.
1. Air masuk pompa di titik (1) yang masih pada fasa cair jenuh dan
dikompresi pada tekanan isentropik dengan operasi boiler. Temperatur air
sedikit meningkat selama proses kompresi isentropik dan juga terjadi
penurunan volume spesifik air. Pada diagram T-s dijelaskan antara titik (1)
dan (2).
II-2
2. Air masuk boiler masih pada fasa cair yang bertekanan tinggi di titik (2) dan
keluar dari boiler sebagai superheated vapor di titik (3). Pada dasarnya
boiler adalah alat penukar panas skala besar dimana panas yang dihasilkan
berasal dari gas pembakaran, reactor nuklir, atau sumber lainnya yang
ditransfer ke air dengan tekanan konstan. Pada boiler, dibagian yang
bersamaan dimana uap adalah superheated (superheater) sering disebut
juga steam generator.
3. Uap superheat keluaran boiler titik (3) masuk turbin, dimana uap
diekspansikan sehingga menghasilkan kerja berupa putaran poros turbin
yang dikopel dengan poros generator listrik sehingga menghasilkan energi
listrik. Drop tekanan dan temperatur terjadi selama proses sampai di titik
(4).
4. Di titik (4), dimana uap masuk kondensor. Dititik ini, uap biasanya berubah
fasa menjadi cair jenuh – uap campuran dengan kualitas tinggi. Uap
dikondensasi pada tekanan konstan dalam kondensor, dengan membuang
panas ke media pendingin seperti sungai, laut dan media pendingin lainnya.
Uap keluar dari kondensor sudah menjadi fasa cair jenuh dan masuk
kembali ke pompa dititik (1).
II.2 Batubara
Batubara adalah istilah umum yang meliputi sejumlah besar bahan galian
organik yang sifat-sifat dan komposisinya sangat beragam . Batubara adalah batuan
sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik sisa-sisa tumbuhan
jutaan tahun melalui proses pambatuan (coalification). Batubara diklasifikasikan
dalam berbagai bentuk menurut sifat kimia dan fisikanya yang unsur utamanya
terdiri dari karbon, hidrogen, sulfur dan oksigen. Klasifikasi batubara dari yang
tertinggi sampai yang terendah berdasarkan buku (El-Wakil, 1985) adalah sebagai
berikut:
1. Antrasit: Batubara yang kualitasnya paling tinggi. Antrasit mengandung 86
– 96% massa karbon tetap (kandungan karbon dalam bentuk unsur), serta
II-3
kandungan bahan mudah menguap yang rendah, yaitu kurang dari 2 – 14%
massa (terutama metana, CH4)
2. Bituminus: Batubara yang mengandung 46 – 86% massa karbon tetap dan
20 – 40% zat yang mudah menguap. Nilai kalor batubara bituminus
berkisar dari 25.600 – 32.600 kJ/kg.
3. Sub bituminus: Batubara yang nilai kalornya rendah daripada batubara
bituminus, yaitu antara 19.300 – 26.750 kJ/kg.
4. Lignit: Batubara yang kualitasnya paling rendah. Nilai kalornya berkisar
antara 14.650 – 19.300 kJ/kg.
5. Gambut: Bukanlah batubara yang termasuk dalam klasifikasi ASTM.
Namun gambut dianggap sebagai langkah pertama pembentukan batubara
dalam tahap-tahap geologi.
Nilai kalor pembakaran pada batubara ditentukan berdasarkan kandungan
unsur-unsur yang ada didalam batubara. Unsur-unsur di dalam bahan bakar yang
dapat menghasilkan energi panas adalah karbon (C), hidrogen (H), dan belerang
(S). Belerang walaupun dapat menghasilkan panas namun dapat mengakibatkan
pengkaratan, sehingga bahan bakar dapat dikelaskan berdasarkan jumlah
kandungan unsur belerang. Bahan bakar yang baik adalah bahan bakar yang
mempunyai kandungan belerang dengan jumlah yang kecil.
II.3 Boiler (Ketel Uap)
Boiler adalah alat yang digunakan untuk memanaskan air sehingga menjadi
uap bertemperatur tinggi dengan menggunakan panas dari hasil pembakaran bahan
bakar. Jumlah produksi uap tergantung pada luas permukaan pemindah panas, laju
aliran, dan panas pembakaran yang diberikan. Panas hasil pembakaran selanjutnya
dialirkan ke air sehingga menghasilkan uap air yang memiliki temperatur tinggi.
Umumnya bahan bakar yang digunakan untuk memanaskan suatu boiler yaitu
batubara, gas, dan bahan bakar minyak. Gambar II.2 menjelaskan skema dari
sebuah circulating fluidized bed boiler pada sebuah PLTU.
II-4
Gambar II.2 Circulating fluidized bed boiler
(Basu P. , 2006)
Komponen Utama Boiler
Boiler memiliki komponen utama yang berfungsi untuk menghasilkan uap
yang akan digunakan untuk memutar turbin. Komponen utama dari boiler adalah:
1. Ruang bakar (Furnace)
Ruang bakar adalah tempat terjadinya proses pembakaran bahan bakar
untuk menghasilkan kalor yang akan digunakan untuk mengubah air
menjadi uap. Ruang bakar harus memiliki dimensi volume dan luas
permukaan yang sesuai dengan rata-rata pelepasan kalor (heat release rate),
hal ini bertujuan untuk menjamin proses pembakaran sempurna dan
penyerapan kalor maksimum oleh permukaan ruang bakar sehingga dapat
meningkatkan efisiensi pembangkit uap tersebut.
2. Alat pembakar (burner)
Burner berfungsi memberikan panas untuk proses raksi pembakaran.
Pemilihan burner disesuaikan dengan bahan bakar yang digunakan. Burner
II-5
harus mampu menghasilkan pembakaran yang baik, sehingga kerugian
karena bahan bakar tidak terbakar dapat dikurangi.
3. Dinding Pipa (Wall Tube)
Merupakan dinding di dalam ruang bakar yang berfungsi sebagai tempat
penguapan air. Dinding ini berupa pipa-pipa yang berisi air yang berderet
secara vertical yang dipanaskan oleh kalor dari hasil pembakaran bahan
bakar.
4. Pendidih (Evaporator)
Evaporator berfungsi untuk mengubah air menjadi uap jenuh. Konstruksi
evaporator dapat berupa drum pada pembangkit uap pipa api atau berupa
pipa-pipa didih pada pembangkit uap pipa air. Pada pembangkit uap pipa
air, pipa-pipa didih terletak di dinding ruang bakar sehingga disebut dinding
air (water cooled walls).
5. Cyclone
Cyclone berfungi untuk memisahkan antar bottom ash dan fly ash pada gas
buang. Fly ash akan disirkulasikan menuju electrostatic precipitators
sedangkan bottom ash disirkulasi kembali kedalam ruang bakar sehingga
dapat meningkatkan efisiensi pembakaran.
6. Pemanas lanjut (superheater)
Superheater berfungsi untuk menaikkan temperatur uap jenuh menjadi uap
kering. Panas yang digunakan adalah panas pada gas buang yang dihasilkan
dari proses pembakaran bahan bakar.
7. Ekonomizer
Ekonomizer berfungsi untuk menaikkan temperatur air umpan boiler. Air
umpan yang sudah dinaikkan temperaturnya kemudian disalurkan ke drum
uap sehingga bahan bakar yang dibutuhkan untuk mengubah air menjadi
uap menjadi lebih sedikit.
8. Pemanas udara (Air prehater)
Air preheater berfungsi untuk memanaskan udara sebelum masuk kedalam
ruang bakar dengan memanfaatkan kalor dari gas buang hasil pembakaran.
II-6
II.4 Ruang Bakar (Furnace)
Ruang bakar merupakan tempat terjadinya pembakaran bahan bakar yang
akan menjadi sumber panas untuk mengubah air menjadi uap. Proses penerimaan
panas oleh media air dilakukan melalui evaporator yang terdiri dari pipa-pipa
vertikal yang berisi air. Pipa tersebut menempel pada dinding ruang bakar.
Ruang bakar terdiri atas dua bagian yaitu ruang pertama dan ruang kedua.
Pada ruang pertama akan tejadi pemanasan langsung dari sumber panas yang
diterima langsung oleh pipa-pipa evaporator, sedangkan pada ruang kedua yang
terdapat bagian atas, panas yang diterima berasal dari udara panas hasil
pembakaran pada ruang pertama.
Gambar II.3 Mass and energy balance pada ruang bakar
Ruang bakar yang digunakan tipe pembakaran fluidized bed combustion
dengan jenis pipa air (water tube) dimana terdapat pipa-pipa air yang disusun secara
vertikal dan rapat sehingga menutupi seluruh permukaan dalam dinding ruang
bakar. Adapun tipe pipa yang digunakan dalam perancangan ini yaitu tipe pipa
membrane tubes seperti ditampilkan pada gambar di bawah ini:
Gambar II.4 Jenis-jenis pipa pemanas dalam ruang bakar
(Incropera & Dewitt, 2011)
II-7
Pembakaran Batubara pada Pembangkit Uap
Cara pembakaran batubara pada pembangkit uap pada dasarnya memiliki 3
cara yaitu:
1. Fixed bed combustion
Proses pembakaran batubara tersebut dilakukan dengan cara memasukkan
batubara kedalam ruang bakar melalui conveyor atau secara manual.
Kemudian udara primer dihembuskan dari bawah ruang bakar. untuk
menjamin proses pembakaran sempurna maka pada bagian atas ruang
bakar diberikan saluran udara sekunder. Tipe pembakaran ini memiliki
bottom ash atau fly ash yang dapat perlu ditangani agar tidak mencemari
lingkungan.
2. Fluidized bed combustion
Proses pembakaran dilakukan dengan cara meniupkan udara pada partikel
pasir sehingga terjadi fluidasi dan partikel pasir dipanaskan oleh burner
sampai temperatur nyala batubara. Kemudian batubara yang telah
dihaluskan (< 2 mm) diinjeksikan secara terus menerus ke bed, batubara
akan terbakar dengan cepat dan bed mencapai suhu yang seragam. Cara
pembakaran secara fluidized bed dapat mengurangi kandungan SOx hasil
pembakaran, selain itu dapat meningkatkan efisiensi pembakaran karena
pembakaran terjadi pada temperatur yang rendah dibandingkan jenis ruang
bakar lainnya
3. Pulverized combustion (suspension burning)
Proses pembakaran batura tersebut dilakukan dengan cara menghaluskan
batubara dengan ball mill atau roller mill hingga ukuran kurang dari 300
µm, kemudian serbuk batubara tersebut disemburkan ke ruang bakar
bersama dengan udara panas melalui nozel pembakar.
Pada perancangan ruang bakar dengan kapasitas 8 MW ini akan digunakan
tipe pembakaran batubara dengan sistem fluidized bed combustion, dimana
pembakaran batubara berlangsung pada suhu yang lebih rendah berkisar antara
850 ̊C sehingga dapat mengurangi emisi polutan yang merugikan seperti SOx dan
NOx pada gas buang.
II-8
II.5 Fluidized Bed Combution
Fluidized Bed Combustion adalah salah satu tipe system pembakaran pada
boiler, dan komponen utama yang digunakan adalah bed yang berupa pasir silica.
Udara ditiupkan pada partikel bed sehingga terjadi fluidasi.
Ada dua tipe utama boiler fluidized bed combustion:
1. Bubbling fluidized bed (BFB)
2. Circulating fluidized bed (CFB)
Kedua jenis dapat beroperasi di bawah tekanan atmosfir untuk pembangkit
uap. Perbandingan bentuk fisik fluidized bed boiler dijelaskan pada Tabel II.1
sebagai berikut:
Gambar II.5 Fluidized bed combustion
(The Babcock & Wilcox, 2005)
II-9
Tabel II.1 Perbandingan bentuk fisik fluidized bed boiler
(Basu P. , 2006)
Dalam perancangan ini boiler yang digunakan adalah boiler jenis circulating
fluidized bed. Parameter operasi untuk boiler jenis circulating fluidized bed
djelaskan pada Tabel II.2 sebagai berikut:
Tabel II.2 Parameter circulating fluidized bed boiler
(Black & Veatch, 1996)
II.6 Circulating Fluidized Bed Boiler
Circulating fluidized bed (CFB) boiler merupakan salah satu jenis pembakaran
dari fluidized bed combustion. Teknologi ini sudah sangat dikenal dalam industry
pembangkitan listrik baik dari segi ekonomis maupun emisi gas buang yang
dihasilkan.
II-10
Gambar II.6 Circulating fluidized bed boiler
(Basu P. , 2015)
Boiler CFB dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah loop
CFB, sedangkan untuk yang kedua adalah back-pass yang terdiri dari reheater,
superheater, economizer, dan air-preheater. Back-pass dari boiler CFB mirip
dengan boiler pulverizer ataupun bubbling fluidized bed. Loop CFB dari mencakup
elemen berikut:
1. Ruang bakar atau riser dari unggun fast fluidized bed
2. Pemisah gas-padat (cyclone)
3. Solid recycle device (seal loop)
4. External heat exchanger (opsional)
Ruang bakar boiler CFB umumnya tersusun dari pipa evaporator yang serupa
dengan boiler pulverizer, dan ini menyerap sebagian kecil dari panas pembakaran
yang dihasilkan dari pembakaran batubara didalam ruang bakar. Bagian kedua
disebut convective section atau back pass, dimana reheater, superheater,
economizer, dan preheater udara menyerap sisa panas dari gas buang.
Bagian bawah ruang bakar umumnya lebih kecil dari bagian atas, dan
meruncing pada cross section. Ini membantu mempertahankan fluidisasi yang baik,
bahkan dengan partikel bed yang lebih besar. Dinding bagian bawah dilapisi dengan
II-11
refraktori sampai ke tingkat masuk udara sekunder atau lebih tinggi sehingga
mengurangi panas yang akan terbuang untuk tempat menyimpan panas sementara.
Bahan bakar umumnya dimasukan pada bagian bawah ruang bakar, baik
secara langung atau melalui loop-seal. Batu kapur untuk penangkapan sulfur
dimasukkan kedalam ruang bakar pada ketinggian yang lebih tinggi.
Udara pembakaran utama memasuki ruang bakar melalui distributor udara
atau perapian yang terletak dibagian bawah ruang bakar. Udara sekunder
dimasukkan pada ketinggian di atas bed untuk menghasilkan pembakaran
sempurna. Padatan bed harus dicampur dengan baik sepanjang tinggi ruang bakar.
Dengan demikian, suhu bed hampir seragam berada pada kisaran 800 – 900 °C,
meski panas diekstraksi sepanjang ketinggiannya.
Sebagian besar partikel flue gas hasil pembakaran akan masuk kedalam
cyclone untuk memisahkan antar bottom ash dan fly ash pada gas buang. Fly ash
akan disirkulasikan menuju electrostatic precipitators sedangkan bottom ash
disirkulasi kembali kedalam ruang bakar sehingga dapat meningkatkan efisiensi
pembakaran.
Prinsip Kerja Circulating Fluidized Bed
Secara skematis pembakaran pada boiler CFB ditunjukan pada Gambar II.7.
Udara primer dimasukan pada bagian bawah bed dengan menggunakan nozzle. Bila
udara atau gas yang terdistribusi secara merata dialirkan melalui bed partikel seperti
pasir silica yang ditopang oleh saringan halus, bed partikel tidak akan terganggu
pada kecepatan yang rendah. Begitu kecepatan udaranya berangsur-angsur naik,
terbentuklah suatu keadaan dimana bed partikel tersuspensi dalam aliran udara
sehingga bed tersebut terfluidasi. Dengan meningkatnya kecepatan udara pada
bagian bawah bed selanjutnya, terjadi pembentukan gelembung pada bed partikel,
turbulensi yang kuat, pencampuran yang cepat dan pembentukan permukaan bed
yang rapat seperti pada Gambar II.8.
Kemudian partikel bed dalam keadaan terfluidisasi dipanaskan oleh burner
hingga ke temperatur nyala batubara, dan batubara diinjeksikan secara terus
menerus ke dalam bed dan burner dimatikan, batubara akan terbakar dengan cepat
dan bed mencapai temperatur yang seragam. Pembakaran dengan fluidized bed
II-12
combution berlangsung pada temperatur sekitar 800°C hingga 900°C. Karena
temperatur ini jauh berada dibawah temperatur fusi abu, maka pelelehan abu dan
permasalahan yang terkait didalamnya dapat dihindari. Temperatur pembakaran
yang lebih rendah dapat tercapai disebabkan tingginya koefisien perpindahan panas
karena proses pencampuran yang cepat dalam fluidized bed dan ekstraksi panas
yang efektif dari bed melalui perpindahan panas pada pipa-pipa dan dinding ruang
bakar. Flue gas hasil pembakaran akan masuk kedalam cyclone untuk memisahkan
antar bottom ash dan fly ash pada gas buang. Fly ash akan disirkulasikan menuju
backpass sedangkan bottom ash disirkulasi kembali kedalam ruang bakar sehingga
dapat meningkatkan efisiensi pembakaran.
Gambar II.7 Skema pembakaran pada boiler CFB
(Basu P. , 2006)
Kelebihan Circulating Fluidized Bed
Pembakaran dengan circulating fluidized bed (CFB) memiliki kelebihan
yang cukup berarti dibanding sistem pembakaran konvensional dan memberikan
banyak keuntungan menurut buku (Basu P. , 2015) antara lain:
1. Fleksibilitas Bahan Bakar
Boiler CFB dapat digunakan dengan berbagai jenis bahan bakar sehingga
menjadi keuntungan tesendiri bila dibandingkan dengan boiler jenis lainnya
II-13
terutama di arus pasar bahan bakar dimana harga dan ketersediaan bahan
bakar yang tidak stabil. Tabel dibawah ini merupakan bahan bakar yang
dapat digunakan dalak boiler CFB:
Tabel II.3 Bahan bakar yang dapat digunakan pada boiler CFB
(Basu P. , 2015)
Untuk menjaga suhu pembakaran dalam kisaran optimum (800 – 900 °C),
diperlukan untuk menyerap fraksi tertentu dari panas yang dihasilkan dari
zona pembakaran itu sendiri. Fraksi ini bervariasi duntuk setiap jenis bahan
bakar. Boiler CFB memenuhi persyaratan ini untuk berbagai jenis bahan
bakar dengan mengendalikan penyerapan panas didalam ruang bakar
dengan penyesuaian parameter operasinya.
2. Efisiensi Pembakaran yang Tinggi
Efisiensi pembakaran dari boiler CFB lebih tinggi daripada boiler bubbling
fluidized bed (BFB) dan mendekati boiler pulverizer. Efisiensi pembakaran
CFB combustion yang tinggi dipengaruhi oleh:
- Pencampuran gas-padat yang lebih baik
- Tingkat pembakaran yang lebih tinggi (terutama untuk partikel kasar)
- Resirkulasi kontinyu partikel karbon tidak terbakar panas sampai ke
dasar tungku
Dalam boiler CFB, di sisi lain zona pembakaran meluas sampai ke puncak
tungku dan selanjutnya melalui cyclone. Dengan demikian, denda karbon
yang dihasilkan di tungku memiliki waktu yang lebih lama untuk membakar
II-14
selama perjalanan mereka melalui ketinggian tungku. Selain itu partikel
batubara yang tidak terbakar dikumpulkan oleh siklon panas dan didaur
ulang kembali ke dasar tungku untuk dibakar kembali.
3. Emisi NOx yang rendah
Pembakaran fluidized bed berlangsung pada suhu yang realtif rendah (800
– 900 ̊C), sehingga nitrogen tidak dapat teroksidasi menjadi nitrat oksida
(N2O).
4. Pereduksian kadar sulfur dioksida
Pembakaran fluidized bed berlangsung pada suhu yang realtif rendah (800
– 900 ̊C) sehingga dapat mereduksi kadar SO2 didalam ruang bakar. Untuk
mengurangi kadar SO2 pada ruang bakar dilakukan dengan cara
menginjeksi batu kapur (CaCO3) pada ruang bakar sehingga dapat
mereduksi kadar SO2. Di dalam ruang bakar, batu kapur bereaksi dengan
SO2 dan oksigen membentuk kalsium sulfat (CaSO4). Reaksi pengikatan
kadar SO2 pada ruang bakar adalah sebagai berikut:
Limestone
CaCO3 → CaO + CO2 (Calcination)
CaO + SO2 + ½ O2 → CaSO4 (Sulfation)
Bed Material
Fluidized bed boiler adalah sejenis generator uap dimana bahan bakar dibakar
dalam keadaan terfluidasi (Gambar II.8). Tungku dari fluidized bed boiler
mengandung massa padatan granular, umumnya dalam kisaran ukuran 0,1 sampai
0,3 mm. Padatan ini disebut bed material, partikel yang dapat digunakan adalah
sebagai berikut:
Pasir atau kerikil (untuk boiler membakar bahan bakar rendah abu)
Batu kapur segar atau bekas (untuk boiler yang membakar batubara sulfur
tinggi yang membutuhkan kontrol emisi sulfur)
Abu dari batu bara (untuk boiler yang menembaki batubara dengan abu
tinggi atau sedang yang tidak memerlukan retensi sulfur)
Kecepatan gas dicapai diantara kecepatan fluidisasi minimum dan
kecepatan masuk partikel. Hal ini menjamin operasi bed yang stabil dan
II-15
menghindari terbawanya partikel dalam jalur gas. Pasir dalam keadaan terfluidasi
dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar II.8 Proses fluidasi bed material
(The Babcock & Wilcox, 2005)
Ukuran partikel bahan bakar, terutama untuk varietas abu rendah tidak
memiliki pengaruh besar pada ukuran bahan bed, karena bahan bakar hanya
merupakan fraksi kecil (1 sampai 3%) dari bahan bed total di ruang bakar
terfluidisasi. Namun, untuk bahan bakar abu tinggi, karakteristik bahan bakar
memberikan pengaruh penting pada ukuran dan komposisi material bed. Suhu
pembakaran dari boiler unggun terfluidisasi dipertahankan pada kisaran 800 sampai
900 ̊C.
Fast Fluidized Bed
Dalam konteks penggunaannya dalam boiler CFB, fast fluidized bed dapat
didefinisikan sebagai: suspensi padat-gas kecepatan tinggi dimana partikel, yang
dipisahkan oleh gas fluidisasi di atas kecepatan terminal partikel, dipulihkan dan
dikembalikan ke dasar tungku pada tingkat yang cukup tinggi sehingga
menyebabkan tingkat pengembaliaan padatan yang akan memastikan tingkat
II-16
minimum keseragaman temperatur di ruang bakar (Basu P. , 2015). Minimum
fluidasi dan kecepatan terminal partikel dapat dilihat pada Tabel II.4 sebagai
berikut: Tabel II.4 Minimum fluidasi dan kecepatan terminal partikel
(Basu P. , 2006)
Pembakaran pada Circulating Fluidized Bed Boiler
Meskipun boiler CFB fleksibel bahan bakar, komposisi bahan bakar
memberikan beberapa efek pada ukuran tungku untuk kinerja optimal. Namun,
pengaruh jenis bahan bakar tidak dominan seperti pada kasus boiler berbahan bakar
batubara. Investigasi efek jenis bahan bakar pada desain komersial tungku CFB
menggunakan perangkat lunak komersial (CFBCAD) menunjukkan bahwa nilai
pemanasan yang lebih rendah (LHV) batubara merupakan parameter utama yang
mempengaruhi ukuran tungku (Lafanechere et al., 1995a; 1995b). Gambar II.7
menunjukkan bahwa ketika bahan bakar desain bergerak dari bituminous volatil
rendah ke lignit, luas penampang tungku meningkat sekitar 200% untuk menjaga
konstanta kecepatan tungku. Angka tersebut juga menunjukkan bagaimana rasio
panjang / lebar optimum tungku akan berubah seiring dengan pengaturan siklon.
Titik umpan bahan bakar dipilih untuk memastikan distribusi partikel
pembakaran yang seragam. Bahan bakar yang lebih reaktif dengan kandungan
volatil yang tinggi terbakar dengan sangat cepat di dekat feed stock. Dengan
demikian, dibutuhkan lebih banyak umpan daripada bahan bakar yang kurang
reaktif. Ini menunjukkan bahwa area bed yang dilayani oleh feeder bervariasi.
Aturan umumnya adalah bahwa batubara bituminus dan batubara yang lebih reaktif
membutuhkan lebih sedikit pengumpan per unit area bed. Misalnya, bahan bakar
dengan tingkat rendah menggunakan satu pengumpan per 14 sampai 17 m2 bed,
II-17
sementara antrasit hanya membutuhkan satu titik umpan per 20 sampai 26 m2 area
bed.
Suhu pembakaran boiler CFB jauh lebih rendah dari pada boiler
konvensional. Idealnya harus berada dalam kisaran temperatur 800 – 900 ̊C. Bahan
bakar dengan kandungan sulfur yang tinggi harus dibakar pada temperatur sekitar
850 ̊C agar penangkapan kadar sulfur dapat bekerja secara optimal, sedangkan batu
bara dengan kandungan sulfur rendah harus dibakar pada suhu yang lebih tinggi
dan dengan udara berlebih. Untuk efisiensi pembakaran yang baik. Selain efisiensi
pembakaran yang meningkat, suhu tinggi juga membantu mengurangi emisi gas
rumah kaca N2O. Dengan demikian, karakteristik bahan bakar mengatur suhu
pembakaran optimum, yang pada gilirannya akan memperbaiki jumlah energi yang
meninggalkan ruang bakar. Sebagai contoh, bahan bakar bermutu rendah akan
membawa persentase tinggi panas yang dihasilkan keluar dari ruang bakar. Dengan
demikian panas yang lebih sedikit disyaratkan untuk diserap dalam loop CFB, dan
lebih banyak panas akan diserap di bagian konvektif boiler. Pengaruh jenis bahan
bakar terhadap ukuran optimal boiler CFB digambarkan pada Gambar II.7 sebagai
berikut:
Gambar II.9 Pengaruh jenis bahan bakar terhadap ukuran optimum boiler CFB
(Basu P. , 2006)
II-18
II.7 Perancangan Ruang Bakar
Untuk mendapatkan ukuran ruang bakar perlu diketahui parameter-parameter
yang dibutuhkan dalam proses perancangan meliputi: laju kalor pembangkitan uap
untuk PLTU kapasitas 8 MW, proses pembakaran (stoichiometric), heat balance,
mass balance, fuel heat input. Dalam perancangan ruang bakar pertimbangan
utama dalam penentuan ukuran dasar ruang bakar boiler CFB, yang meliputi:
1. Furnace cross section
2. Furnace height
3. Ketebalan dinding ruang bakar
4. Perancangan pipa evaporator
Laju Kalor Pembangkitan Uap
Perpindahan kalor pada boiler terjadi pada saat proses pembakaran terjadi
dimana partikel-partikel gas asap diserap secara radiasi oleh dinding ruang bakar
(evaporator), kemudian gas asap digunakan oleh pemanas air lainya seperti
superheater dan economizer untuk memproduksi uap. Sehingga laju kalor
pembangkitan uap adalah total dari seluruh kalor yang dapat diserap oleh alat
pemanas untuk dapat memproduksi uap. Kalor yang dibutuhkan untuk proses
pembangkitan uap dapat dihitung dengan persamaan pada buku (Basu P. , 2006)
sebagai berikut:
1. Laju Kalor di Economizer
�̇�eco = �̇�𝑠𝑡𝑒𝑎𝑚 x (h2 –h1) ......................................................................... (II.1)
2. Laju Kalor di Evaporator
�̇�eva = �̇�𝑠𝑡𝑒𝑎𝑚 x (h4 –h3) ......................................................................... (II.2)
3. Laju Kalor di Superheater
�̇�sh = �̇�𝑠𝑡𝑒𝑎𝑚 x (h5–h4) ............................................................................ (II.3)
Laju Kalor Total Pembangkitan Uap
�̇�uap = �̇�eco + �̇�eva + �̇�sh .......................................................................... (II.4)
Dimana: �̇�uap : Laju kalor total pembangkitan uap [MW]
�̇�eco : Laju kalor di economizer [MW]
II-19
�̇�eva : Laju kalor di evaporator [MW]
�̇�sh : Laju kalor di superheater [MW]
�̇�𝑠𝑡𝑒𝑎𝑚 : Laju aliran steam [𝑘𝑔
𝑠]
h1 : Enthalpy masuk economizer [𝑘𝐽
𝑘𝑔]
h2 : Enthalpy keluar economizer [𝑘𝐽
𝑘𝑔]
h3 : Enthalpy masuk evaporator [𝑘𝐽
𝑘𝑔]
h4 : Enthalpy masuk superheater [𝑘𝐽
𝑘𝑔]
h5 : Enthalpy keluar superheater [𝑘𝐽
𝑘𝑔]
Pembakaran (Stoichiometric)
Perhitungan pembakaran (juga dikenal sebagai perhitungan stoichiometric)
memberikan jumlah dasar massa gas dan padatan yang menjadi basis desain
selanjutnya. Ini bisa menentukan jumlah udara yang dibutuhkan untuk membakar
satuan massa bahan bakar dan jumlah gas buang yang dihasilkan. Perhitungan
pembakaran juga membantu menentukan kapasitas peralatan, seperti kipas angin,
pengumpan, dan sistem penanganan abu. Persamaan untuk perhitungan
stoikiometri didapatkan dari Appendix 2 pada buku (Basu P. , 2006) dijelaskan pada
bagian berikut:
Kebutuhan Batu Kapur
Jika abu batubara mengandung kalsium oksida yang dapat diabaikan, sorbent
yang dibutuhkan Lq , untuk mempertahankan belerang dalam satuan berat bahan
bakar ditemukan dari persamaan berikut:
Lq = 100 . 𝑆
32 . 𝑋𝐶𝑎𝐶𝑂3
x R’ ................................................................................. (II.5)
Dimana: Lq : Kebutuhan batu kapur [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
S : Jumlah sulfur pada batubara
𝑋𝐶𝑎𝐶𝑂3 : Fraksi CaCO3 (kalsium karbonat)
R’ : Inherent Ca/S (kalsium dan sulfur)
II-20
Terkadang abu batubara mengandung sejumlah kalsium oksida yang cukup
besar, yang menghilangkan sebagian sulfur yang dilepaskan dari batu bara. Jika
XCaO adalah berat kalsium oksida per satuan berat umpan bahan bakar sebesar
0,0136, rasio Ca/S yang melekat adalah 32XCaO / 56S. Oleh karena itu batu kapur
yang dibutuhkan untuk menghilangkan jumlah belerang yang sama (Esor) akan
berkurang dengan jumlah di atas. Nilai rasio Ca/S diganti dengan inherent Ca/S
sebagai berikut:
R’ = R – 32 . 𝑋𝐶𝑎𝑂
56 . 𝑆 ...................................................................................... (II.6)
Dimana: R’ : Inherent Ca/S (kalsium dan sulfur)
R : Rasio Ca/S (kalsium dan sulfur)
XCaO : Fraksi CaO (kalsium oksida)
Nilai Pembakaran Bahan Bakar
Nilai pembakaran adalah jumlah energi yang dapat dihasilkan pada proses
pembakaran per satuan massa atau persatuan volume bahan bakar. Nilai
pembakaran dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
1. Nilai pembakaran atas (HHV)
Nilai pembakaran atas adalah pembakaran yang menghasilkan H2O berfasa
cair.
2. Nilai pembakaran bawah (LHV)
Nilai pembakaran bawah adalah pembakaran yang menghasilkan H2O berfasa
uap. Nilai LHV dapat dicari menggunakan persamaan berikut:
LHV = HHV – 22604 x H – 2581 x Mf .................................................. (II.7)
Dimana: LHV : Nilai pembakaran bawah [𝑘𝐽
𝑘𝑔]
HHV : Nilai pembakaran atas [𝑘𝐽
𝑘𝑔]
H : Jumlah hidrogen pada batubara
Mf : Kelembaban batubara
II-21
Kebutuhan Udara
Untuk setiap satuan massa belerang yang dikonversi menjadi kalsium sulfat,
sejumlah tambahan udara kering untuk satuan berat batubara adalah A · S, di mana
A sebesar 2,16 untuk penangkapan sulfur dan nol bila tidak ada belerang yang
ditangkap sebagai kalsium sulfat. Kebutuhan udara kering untuk pembakaran total
satuan berat batubara Mda dapat dihitung sebagai berikut:
Mda = 11,53 x C + 34,34 x (H – 𝑂
8 ) + 4,34 x S + A x S .......................... (II.8)
Dimana: Mda : Theoritical dry air [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
C : Jumlah karbon pada batubara
H : Jumlah hidrogen pada batubara
O : Jumlah oksigen pada batubara
S : Jumlah sulfur pada batubara
A : Jumlah tambahan udara kering untuk penangkapan sulfur
Untuk pembakaran yang efisien, dibutuhkan sejumlah udara tertentu melebihi
apa yang dibutuhkan secara teoritis. Untuk mendapatkan total udara kering harus
menjumlahkan udara teoritis dengan koefisien udara berlebih (EAC). Koefisien
udara berlebih EAC, didefinisikan sebesar EAC = 1,2 berarti 20% kelebihan udara.
Total udara kering (Tda), adalah jumlah kebutuhan teoritis dan kelebihan udara yang
diperbolehkan untuk menyelesaikan pembakaran.
Tda = EAC x Mda ..................................................................................... (II.9)
Dimana: Tda : Total dry air [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
EAC : Excess air coefficient
Udara biasanya mengandung beberapa kelembaban. Di udara standar, fraksi
berat uap air Xm ini adalah sekitar 0,013 kg / kg udara, dan Xm adalah fraksi berat
uap air di udara. Dengan demikian, total udara basah adalah:
Mwa = Tda x (1 + Xm) ............................................................................... (II.10)
Dimana: Mwa : Total wet air [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
Xm : Fraksi moisture
II-22
Kebutuhan udara pada primary air sebesar 78% dari theoritical air. Sehingga
dapat dicari menggunakan persamaan:
Mpa = 0,78 x Mda ..................................................................................... (II.11)
Dimana: Mpa : Primary air [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
Gas Asap Hasil Pembakaran (Flue Gas)
Bobot gas buang karena reaksi pembakaran (Wc) adalah jumlah karbon
dioksida, uap air, nitrogen, oksigen, sulfur dioksida, dan fly ash. Konstituen
individu dari gas buang dapat ditemukan sebagai berikut:
1. Nitrogen
Nitrogen dalam gas buang berasal dari batubara dan juga udara bakar.
N2 = N + 0,768 x Mda x EAC .................................................................. (II.12)
Dimana: N2 : Jumlah nitrogen pada gas buang [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
N : Jumlah nitrogen pada batubara
Mda : Theoritical dry air [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
EAC : Excess air coefficient
2. Water vapor
Air dalam gas buang berasal dari pembakaran hidrogen di batubara dan uap air
dari udara pembakaran, batu bara, dan batu kapur. Air dalam gas buang per
satuan berat batubara yang terbakar adalah:
H2O = 9 x H + EAC x Mda x Xm + Mf + Lq x Xml ................................... (II.13)
Dimana: H2O : Jumlah air pada gas buang [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
Mda : Theoritical dry air [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
EAC : Excess air coefficient
Xm : Fraksi moisture
Mf : Kelembaban batubara
Lq : Batu kapur yang dibutuhkan [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
Xml : Kelembaban batu kapur
II-23
3. Karbon dioksida
Selain karbon dioksida yang dihasilkan dari karbon tetap, sejumlah tambahan
karbon dioksida dihasilkan karena kalsinasi CaCO3 dan MgCO3 dalam material
sorbent, Jumlah karbon dioksida dari hasil pembakaran batubara adalah
sebagai berikut:
CO2 = 3,66 x C ........................................................................................ (II.14)
Jumlah karbon dioksida yang dihasilkan dari proses calcination CaCO3 dan
MgCO3.
𝑊𝐶𝑂2 = 1,375 x S x R x (1 +
1,19 . 𝑋𝑀𝑔𝐶𝑂3
𝑋𝐶𝑎𝐶𝑂3
) .............................................. (II.15)
Sehingga jumlah karbon dioksida yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
Total CO2 = CO2 + 𝑊𝐶𝑂2 ......................................................................... (II.16)
Dimana: CO2 : Jumlah karbon dioksida pada gas buang [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
𝑊𝐶𝑂2 : Jumlah karbon dioksida dari proses kalsinasi [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
R : Rasio Ca/S (kalsium dan sulfur)
𝑋𝑀𝑔𝐶𝑂3 : Fraksi MgCO3 (kalsium karbonat)
𝑋𝐶𝑎𝐶𝑂3 : Fraksi CaCO3 (kalsium karbonat)
4. Sulfur dioksida
Pereduksian kadar SO2 didalam ruang bakar dapat diketahui menggunakan
Gambar II.10 sebagai berikut:
II-24
Gambar II.10 Pereduksian kadar SO2 didalam ruang bakar
(Black & Veatch, 1996)
Jika hanya fraksi Esor belerang yang diubah menjadi CaSO4, SO2 yang ada
dalam gas buang adalah:
SO2 = 2 x S x (1 – Esor) ........................................................................... (II.17)
Dimana: SO2 : Jumlah sulfur dioksida pada gas buang [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
Esor : Pereduksian kadar SO2
5. Oksigen
Oksigen dalam gas buang berasal dari oksigen di batubara, kelebihan oksigen
di udara bakar, dan oksigen yang tertinggal dalam gas buang untuk
penangkapan belerang yang tidak sempurna. Pada proses pengikatan kadar SO2
dibutuhkan 1/2 mol oksigen. Sehingga jumlah oksigen yang dihasilkan:
O2 = O + 0,2315 x Mda x (EAC – 1) + (1 – Esor) x 𝑆
2 ............................... (II.18)
Dimana: O2 : Jumlah oksigen pada gas buang [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
Mda : Theoritical dry air [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
EAC : Excess air coefficient (1,2)
Esor : Pereduksian kadar SO2
II-25
6. Fly ash
Gas buang dapat membawa sebagian dari abu batubara atau sorbent. Meskipun
jumlahnya sangat kecil dan akhirnya dikumpulkan di kolektor debu, fly ash
membawa melalui bagian konvektif boiler sebagian kecil dari panas yang
dibawa pada fly ash. Jumlah fly ash pada gas buang diketahui menggunakan
persamaan:
Fraksi ash pada fly ash berkisar antara 0,1 – 0,5.
Fly ash = ac x ASH .................................................................................. (II.19)
Dimana: Fly ash : Jumlah fly ash pada gas buang [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
ac : Fraksi ash pada fly ash
ASH : Jumlah abu pada batubara
7. Total berat gas buang
Berat total gas buang dapat ditemukan dengan menambahkan komponen di
atas. Sehingga, berat total gas buang per satuan berat batubara yang terbakar
adalah:
Wc = N2 + H2O + CO2 + SO2 + O2 + Fly ash .......................................... (II.20)
Dimana: Wc : Total berat gas buang [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
Limbah Padat yang Diproduksi
Total limbah padat mengandung, selain sorbent yang dihabiskan (Lw), abu
batubara ASH, dan karbon yang tidak terbakar (1 – Ec), Kurang dari kandungan
CaO (XCaO), sulfur dikonversi menjadi CaSO4 dan termasuk dalam Lw. Limbah
padat yang dihasilkan per satuan bobot bahan bakar yang terbakar adalah:
Wa = Lw + ASH + (1 – Ec) – XCaO........................................................... (II.21)
Dimana: Wa : Limbah padat yang diproduksi [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
Lw : Spent sorbent [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
ASH : Jumlah abu pada batubara
Ec : Efisiensi pembakaran
II-26
XCaO : Fraksi CaO (kalsium oksida)
Sorbent terdekomposisi menjadi MgO dan CaO. Dari ini bagian CaO diubah
menjadi CaSO4. Sorbent yang dihabiskan dengan demikian akan mengandung
CaSO4, CaO, MgO, dan komponen inert dari sorbent. Bobot sorbent yang
dihabiskan yang dihasilkan per satuan berat batubara yang terbakar (Lw), adalah
jumlah CaSO4, CaO, MgO, dan inerts.
Spent sorbent = calsium sulfate + calsium oxide + magnesium oxide + inert
Lw = 136 x 𝑆
32 x Esor + 56 x (
𝐿𝑞 . 𝑋𝐶𝑎𝐶𝑂3
100−
𝑆 . 𝐸𝑠𝑜𝑟
32) +
40 . 𝐿𝑞. 𝑋𝑀𝑔𝐶𝑂3
84 + Lq . Xinert ........... (II.22)
Dimana: Lw : Spent sorbent [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
S : Jumlah sulfur pada batubara
Esor : Pereduksian kadar SO2
Lq : Batu kapur yang dibutuhkan [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
𝑋𝐶𝑎𝐶𝑂3 : Fraksi CaCO3 (kalsium karbonat)
𝑋𝑀𝑔𝐶𝑂3 : Fraksi MgCO3 (kalsium karbonat)
Xinert : Fraksi kandungan zat lain pada sorbent
Heat Balance
Fraksi atau efisiensi termal boiler dihitung dengan melakukan keseimbangan
panas di sekitar boiler. Keseimbangan panas boiler CFB, meskipun mirip dengan
jenis boiler lainnya, tidak persis sama. Hal ini membutuhkan beberapa
pertimbangan khusus.
Dalam boiler berbahan bakar batubara konvensional, suhu gas buang dibatasi
oleh titik embun sulfur dioksida dalam gas buang. Sebuah fluidized bed boiler, di
sisi lain dapat dirancang untuk suhu gas buang jauh lebih rendah karena gas
cerobongnya relatif bebas dari sulfur dioksida karena penangkapan sulfur di ruang
bakar. Dengan demikian, kehilangan gas buang dalam boiler CFB bisa lebih rendah
dari pada boiler konvensional. Tabel II.5 membandingkan kerugian panas dari
boiler CFB dengan boiler konvensional. Persamaan untuk perhitungan heat balance
didapatkan dari buku (Basu P. , 2006) dijelaskan pada bagian berikut:
II-27
1. Base Temperature
Base temperature merupakan temperatur udara di lingkungan sekitar yang
biasanya berkisar diantara 30 ̊C.
2. Enthalpi air pada temperatur 30 ̊C
Nilai enthalpi air pada temperatur 30 ̊C dapat diketahui menggunakan Tabel
5.1 steam table properties (saturated water) pada lampiran 5.
3. Enthalpi uap pada temperatur 190 ̊C dan tekanan 33 bar
Nilai enthalpi uap pada temperatur 190 ̊C dan tekanan 33 bar dapat diketahui
menggunakan Tabel 5.1 steam table properties (saturated water) pada
lampiran 5 dikurangi dengan enthalpi air pada temperatur 30 ̊C.
4. Panas spesifik gas buang
Nilai panas spesifik pada gas buang untuk boiler fluidized bed dengan bahan
bakar batubara dapat dicari menggunakan Tabel II.5 sebagai berikut:
Tabel II.5 Panas spesifik dan konduktivitas termal gas buang pada FBC
(Basu P. , 2006)
5. Moisture losses
Kelembaban membawa serta sejumlah panas yang dikenal sebagai kehilangan
kelembaban. Kelembaban dalam gas buang terdiri dari tiga komponen: uap air
dari udara, batubara, dan hydrogen didalam bahan bakar. Karena pada boiler
CFB ditambahkan batu kapur kedalam ruang bakar sehingga kelembaban pada
batu kapur diperhitungkan. Losses kelembaban untuk setiap komponen ini
dihitung secara terpisah.
a. Loss due to moisture pada batubara didalam bahan bakar
Batubara mungkin mengandung beberapa uap air, yang kerugiannya dapat
dihitung dengan:
Loss due to moisture in fuel = 1 𝑥 𝑀𝑓 𝑥 ℎ𝑔 𝑥 100
𝐻𝐻𝑉 ................................. (II.23)
Dimana: Mf : Kelembaban batubara
hg : Enthalpy uap pada 190 ̊C
II-28
HHV : Nilai pembakaran atas [𝑘𝐽
𝑘𝑔]
b. Moisture pada udara didalam bahan bakar
Kehilangan panas akibat kelembaban relatif tinggi karena suhu tumpukan
tipikal berada di atas titik penguapan air. Kehilangan kelembaban pada
udara didalam bahan bakar didefinisikan sebagai:
Lm,air = 𝑀𝑑𝑎 . 𝐸𝐴𝐶 . 𝑋𝑚 . ℎ𝑔 . 100
𝐻𝐻𝑉 ........................................................... (II.24)
Dimana: Lm,air : Moisture pada udara didalam bahan bakar [%]
Mda : Theoritical dry air [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
EAC : Excess air coefficient (1,2)
Xm : Fraksi moisture
c. Moisture pada hidrogen didalam bahan bakar
Bila 2 kg hidrogen dibakar, 18 kg air dihasilkan. Dengan demikian,
kehilangan kelembaban dari kandungan hidrogen bahan bakar, dihitung
dengan persamaan:
Lm,h = 9 𝑥 𝐻 𝑥 ℎ𝑔 𝑥 100
𝐻𝐻𝑉 ......................................................................... (II.25)
Dimana: Lm,h : Moisture pada hidrogen didalam bahan bakar [%]
H : Jumlah hidrogen pada batubara
d. Loss due to moisture in sorbent didalam bahan bakar
Batu kapur mungkin mengandung beberapa uap air, H2O, yang
kerugiannya dapat dihitung dengan persamaan:
Loss due to moisture in sorbent = 𝐿𝑞 𝑥 𝑀𝑓 𝑥 ℎ𝑔 𝑥 100
𝐻𝐻𝑉 ........................... (II.26)
Dimana: Lq : Batu kapur yang dibutuhkan [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
Mf : Kelembaban batubara
6. Calcination loss
Bila boiler menggunakan batu kapur untuk menangkap sulfur, dua syarat
tambahan, kehilangan kalsinasi, dan kredit sulfasi dipertimbangkan dalam
neraca panas. Batu kapur dan dolomit mengandung kalsium karbonat,
magnesium karbonat, dan kotoran. Saat terkena panas ruang bakar, kedua
II-29
karbonat mengkalsinasi oksida masing-masing. Kehilangan panas dari
kalsinasi dapat dihitung dari persamaan berikut:
a. Calcination loss CaCO3 didalam bahan bakar
Untuk penyerapan SO2, batu kapur dimasukkan ke dalam ruang bakar. Batu
kapur pertama dikalsinasi ke CaO melalui reaksi berikut:
CaCO3 ↔ CaO + CO2 – 1830 kJ/kg of CaCO3
Calcination loss CaCO3 = 𝑋𝐶𝑎𝐶𝑂3 . 𝐿𝑞 . 1830 [
𝑘𝐽
𝑘𝑔] . 100
𝐻𝐻𝑉 ............................ (II.27)
Dimana: 𝑋𝐶𝑎𝐶𝑂3 : Fraksi CaCO3 (kalsium karbonat)
Lq : Batu kapur yang dibutuhkan [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
b. Calicination loss MgCO3 didalam bahan bakar
Jika sorbent mengandung magnesium karbonat, reaksi tambahan
terjadi:
MgCO3 ↔ MgO + CO2 – 1183 kJ/kg of MgCO3
Calcination loss MgCO3 = 𝑋𝑀𝑔𝐶𝑂3 . 𝐿𝑞 . 1183 [
𝑘𝐽
𝑘𝑔] . 100
𝐻𝐻𝑉 .......................... (II.28)
Dimana: 𝑋𝑀𝑔𝐶𝑂3: Fraksi MgCO3 (magnesium karbonat)
Lq : Batu kapur yang dibutuhkan [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
7. Sulfation credit didalam bahan bakar
Batu kapur yang dikalsinasi (CaO) bereaksi dengan sulfur dioksida (SO2)
sehingga menghasilkan kalsium sulfat (CaSO4) sesuai dengan reaksi eksoterm
berikut:
CaCO3 + SO2 + 12 O2 → CaSO4 + CO2 + 15141 kJ/kg of sulfur
Heat gained from sulfation = 𝐸𝑠𝑜𝑟 𝑥 𝑆 𝑥 (−15141 [
𝑘𝐽
𝑘𝑔]) 𝑥 100
𝐻𝐻𝑉 .......................... (II.29)
Dimana: Esor : Pereduksian kadar SO2
S : Jumlah sulfur pada batubara
II-30
8. Karbon yang tidak terbakar
Ini merupakan kerugian yang mudah terbakar, yang merupakan fungsi dari
sejumlah faktor desain dan operasi. Kerugian yang mudah terbakar bisa berupa
hidrokarbon yang tidak terbakar dan karbon monoksida.
Namun, karbon padat yang tidak terbakar mewakili fraksi utama. Data yang
tersedia dari tanaman CFB komersial memperkirakan bahwa karbon yang tidak
terbakar di dasar abu sekitar 0,2 – 4,0% dan 4,0 – 9,0% pada abu terbang (Lee
et al., 1999). Tungku yang lebih tinggi dengan siklon yang efisien biasanya
memiliki kerugian yang mudah terbakar lebih rendah. Ucl kehilangan karbon
yang tidak terbakar, dalam persentase dapat dihitung sebagai berikut:
Ucl = 𝑋𝑐 . 𝑊𝑎 . 32790 . 100
𝐻𝐻𝑉 ........................................................................... (II.30)
Dimana: Ucl : Karbon yang tidak terbakar [%]
Xc : Ash content
Wa : Limbah padat yang diproduksi [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
9. Heat in dry flue gas
Kerugian ini terdiri dari dua komponen: gas buang kering dan uap air di dalam
bahan bakar. Hilangnya gas buang kering dapat dihitung sebagai berikut:
Lstack = 𝑊𝑐 𝑥 𝐶𝑓 𝑥 (𝑇𝑓− 𝑇𝑎) 𝑥 100
𝐻𝐻𝑉 .................................................................... (II.31)
Dimana: Lstack : Heat in dry flue gas [%]
Wc : Total berat gas buang [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
Cf : Panas spesifik [ 𝑘𝐽
𝑘𝑔 . 𝐾]
Tf : Temperatur gas buang [K]
Ta : Base temperatur [K]
10. Heat loss radiasi dan konveksi
Heat loss radiasi dan konveksi dapat diketahui menggunakan Tabel II.6
sebagai berikut:
II-31
Tabel II.6 Heat losses pada circulating fluidized bed
(Basu P. , 2006)
11. Ash loss
Kerugian abu dihasilkan karena pembakaran kandungan abu pada batubara.
Ash loss = 𝑊𝑎 𝑥 0,2 𝑥 4,186 𝑥 𝑇𝑎𝑠ℎ 𝑥 100
𝐻𝐻𝑉 ......................................................... (II.32)
Dimana: Wa : Limbah padat yang diproduksi [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
Tash : Temperatur ash keluar boiler [K]
12. FD fan credit
Kehilangan panas lainnya harus diestimasi sesuai pengalaman sebelumnya
karena tidak dapat dihitung secara langsung. Kerugian ini, yang meliputi
kehilangan radiasi konvektif, kehilangan panas yang sensitif terhadap abu,
kredit kipas angin, dan kerugian lain yang tidak terhitung.
Asumsi yang digunakan sebesar 1%
13. Total kehilangan panas
Kehilangan panas total dapat dihitung dengan menambahkan semua kerugian
yang terjadi pada ruang bakar. Dengan rumus sebagai berikut:
Ltotal = Loss due to mositure in sorbent + Loss due moisture in fuel +
Calcination loss CaCO3 + Calcination loss MgCO3 + Heat gained
II-32
from sulfation + Ucl + Lstack + Lm,h + Lm,air + Heat loss in radiation and
convection + Ash loss + FD fan credit ........................................ (II.33)
Dimana: Ltotal : Total kehilangan panas [%]
Ucl : Karbon yang tidak terbakar [%]
Lstack : Heat in dry flue gas [%]
Lm,h : Moisture pada hidrogen didalam bahan bakar [%]
Lm,air : Moisture pada udara didalam bahan bakar [%]
14. Effisiensi
Efisiensi boiler didefinisikan oleh fraksi panas pembakaran total yang
dilepaskan yang dialihkan ke air dan uap. Hal ini dihitung dengan mengurangi
semua jenis kerugian dari masukan energi bahan bakar. Metode ini disebut
metode heat loss. Efisiensi boiler dapat dihitung dengan persamaan di bawah
ini:
η = (1 – Ltotal) x 100 ................................................................................ (II.34)
Dimana: η : Efisiensi [%]
Ltotal : Total kehilangan panas [%]
Fuel Heat Input
Perhitungan fuel heat input dilakukan untuk mengetahui jumlah kalor yang
masuk kedalam ruang bakar dengan memperhitungkan losses yang terjadi didalam
ruang bakar. Nilai fuel heat input diketahui menggunakan pesamaan pada buku
(Basu P. , 2015) sebagai berikut:
Qi = �̇�uap
1− 𝐿𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 ............................................................................................. (II.35)
Dimana: Qi : Fuel heat input [kW]
�̇�uap : Laju kalor total pembangkitan uap [kW]
Ltotal : Total kehilangan panas [%]
Mass Balance
Keseimbangan massa menentukan komponen penting seperti pembagian abu
bakar dan menghabiskan batu kapur antara kolektor partikulat dan pengeringan bed.
II-33
Ini juga memerlukan perhatian khusus pada boiler CFB, terutama dengan
kemampuan menangkap belerang.
Bahan bakar dan sorbent adalah dua jenis zat padat utama yang dimasukkan
ke dalam ruang bakar CFB. Bagian dari bahan bakar muncul sebagai produk gas
SO2 dan CO2. Sisa bahan bakar muncul sebagai produk limbah di berbagai lokasi
pada bed. Terkadang bahan tambahan ditambahkan untuk menjaga keseimbangan.
Input dan output dari aliran padat pada boiler CFB tercantum di bawah ini:
Tabel II.7 Mass balance pada boiler CFB
(Basu P. , 2006)
Pengetahuan tentang masing-masing komponen dari masukan dan keluaran
aliran padat diperlukan untuk perancangan sistem umpan / drainase system dan
hopper / debit cerobong. Desain berlebihan dari sistem pembuangan abu
menghasilkan pemborosan ruang dan biaya modal yang lebih tinggi. Desain yang
mendasari menyebabkan overloading, dan mungkin kegagalan total sistem
penanganan yang solid. Dengan demikian penting untuk mengetahui bagaimana
total limbah padat yang dihasilkan dalam pembakar didistribusikan di antara aliran
padat yang berbeda. Nilai heat balance dketahui menggunakan pesamaan pada
buku (Basu P. , 2015) sebagai berikut:
1. Kebutuhan bahan bakar
Kebutuhan bakar bakar adalah jumlah bahan bakar yang dibutuhkan untuk tiap
satuan waktu pada proses pembangkitan uap dengan kondisi yang diinginkan.
Kebutuhan bahan bakar dapat dihitung sebagai berikut:
�̇�𝑐 = 𝑄𝑖
𝐻𝐻𝑉 ................................................................................................. (II.36)
Dimana: �̇�𝑐 : Kebutuhan bahan bakar [𝑘𝑔
𝑠]
II-34
Qi : Fuel heat input [kW]
HHV : Nilai pembakaran atas [𝑘𝐽
𝑘𝑔]
2. Laju aliran abu batubara
Ma = ASH x �̇�𝑐 ....................................................................................... (II.37)
Dimana: Ma : Laju aliran abu batubara [𝑘𝑔
𝑠]
ASH : Jumlah abu pada batubara
�̇�𝑐 : Kebutuhan bahan bakar [𝑘𝑔
𝑠]
3. Laju aliran fly ash (10% dari total abu)
�̇�𝑓𝑎 = 0,1 x Ma ....................................................................................... (II.38)
Dimana: �̇�𝑓𝑎 : Laju aliran fly ash [𝑘𝑔
𝑠]
4. Laju aliran sorbent
�̇�𝑠𝑜𝑟𝑏𝑒𝑛𝑡 = �̇�𝑐 x Lq ................................................................................. (II.39)
Dimana: �̇�𝑠𝑜𝑟𝑏𝑒𝑛𝑡 : Laju aliran abu batubara [𝑘𝑔
𝑠]
Lq : Batu kapur yang dibutuhkan [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
5. Total abu
�̇�𝑎𝑠ℎ = �̇�𝑐 x Wa ..................................................................................... (II.40)
Dimana: �̇�𝑎𝑠ℎ : Total abu [𝑘𝑔
𝑠]
Wa : Limbah padat yang diproduksi [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
6. Laju aliran primary air
�̇�𝑝𝑎 = �̇�𝑐 x Mpa ...................................................................................... (II.41)
Dimana: �̇�𝑝𝑎 : Laju aliran primay air [𝑘𝑔
𝑠]
Mpa : Primary air [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
7. Laju aliran udara
�̇�𝑎𝑖𝑟 = �̇�𝑐 x Mwa ..................................................................................... (II.42)
Dimana: �̇�𝑎𝑖𝑟 : Laju aliran udara [𝑘𝑔
𝑠]
II-35
Mda : Theoritical dry air [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
8. Laju aliran gas buang
�̇�𝑓𝑔 = �̇�𝑐 x Wc ....................................................................................... (II.43)
Dimana: �̇�𝑓𝑔 : Laju aliran gas buang [𝑘𝑔
𝑠]
Wc : Total berat gas buang [ 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏]
Furnace Cross Section
Tidak seperti boiler berbahan bakar batubara, kecepatan rata-rata cross-
sectional boiler CFB perlu diperiksa dengan hati-hati. Untuk mendapatkan manfaat
maksimum dari proses fluidized yang cepat, bed harus dioperasikan dalam batas-
batas kecepatan kecepatan dan sirkulasi tertentu. Tabel II.7 menyajikan tingkat
pelepasan panas pada beberapa boiler CFB komersial besar. Meskipun pelepasan
panas tergantung pada sifat bahan bakar dan preferensi pabrikan, tingkat pelepasan
panas umumnya berkisar antara 3,0 – 4,5 MW/m2 di bagian atas bed. Tingkat
pelepasan panas volumetrik bukanlah kriteria desain utama pada boiler CFB. Tabel
II.7, bagaimanapun, menghitung ini dan ditemukan mendukung kisaran 0,08 – 0,15
MW/m3. Bahaya erosi dan kebutuhan daya kipas tinggi mungkin menjadi alasan
untuk tingkat pelepasan panas yang rendah. Aturan umum untuk menghindari erosi
ruang bakar adalah penggunaan kecepatan fluidisasi yang tidak melebihi 5 m/s
(Basu P. , 2006). Nilai furnace cross section dketahui menggunakan pesamaan pada
buku (Basu P. , 2015) sebagai berikut:
1. Kebutuhan kalor pembakaran
Kalor yang dilepaskan oleh bahan bakar tidak seutuhnya diserap oleh air karena
adanya kerugian yang terjadi saat proses perpindahan kalor. Kerugian tersebut
dapat diakibatkan oleh pembakaran yang tidak sempurna, pelepasan kalor
kelingkungan melalui abu. Kebutuhan kalor pembakaran untuk proses
pembakaran dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
�̇�𝑏𝑏 = �̇�𝑐 x LHV ..................................................................................... (II.44)
Dimana: �̇�𝑏𝑏 : Kebutuhan kalor pembakaran [𝑘𝐽
𝑠]
�̇�𝑐 : Kebutuhan bahan bakar [𝑘𝑔
𝑠]
II-36
LHV : Nilai pembakaran bawah [𝑘𝐽
𝑘𝑔]
2. Pelepasan panas (Heat release)
Meskipun heat release tergantung pada sifat bahan bakar dan preferensi
produsen, laju pelepasan panas umumnya berkisar diantara 3,0 – 4,5 MW/m2
di bagian atas bed. Tingkat pelepasan panas volumetrik bukanlah kriteria
desain utama pada boiler CFB. Untuk mengetahui nilai heat release dapat
menggunakan Tabel II.8 sebagai berikut:
Tabel II.8 Heat release untuk komersial CFB boiler
(Basu P. , 2015)
3. Luas penampang bed
Luas penampang bed dapat diketahui dengan mebagi jumlah fuel heat input
dengan heat release pada bagian ats bed. Sehingga luas penampang bed
adalah sebagai berikut:
Abed = 𝑄𝑖
𝐻𝑒𝑎𝑡 𝑟𝑒𝑙𝑒𝑎𝑠𝑒 .................................................................................... (II.45)
Dimana: Abed : Luas penampang bed [m2]
Qi : Fuel heat input [kW]
II-37
4. Massa jenis gas buang pada temperatur 850 ̊C
Dengan nilai Molecular mass of flue gas sebesar 29,5 [ 𝑘𝑔
𝑘𝑚𝑜𝑙] dan niali konstanta
gas sebesar 8,314 x 10-2 [𝑚3 . 𝑏𝑎𝑟
𝑘𝑚𝑜𝑙 . 𝐾]. Nilai massa jenis gas buang dapat dicari
menggunakan persamaan berikut:
ρf = n x 𝑃
𝑅𝑔 𝑥 𝑇𝑓𝑢𝑟𝑛𝑎𝑐𝑒 ................................................................................. (II.46)
Dimana: ρf : Massa jenis gas buang [𝑘𝑔
𝑚3]
n : Molecular mass of flue gas [ 𝑘𝑔
𝑘𝑚𝑜𝑙]
Rg : Konstanta gas [𝑚3 . 𝑏𝑎𝑟
𝑘𝑚𝑜𝑙 . 𝐾]
Tfurnace : Temperatur ruang bakar [K]
5. Kecepatan fluidasi pada temperatur 850 ̊C
Bahaya erosi dan kebutuhan daya kipas tinggi mungkin menjadi alasan untuk
tingkat pelepasan panas yang rendah. Aturan umum untuk menghindari erosi
pada ruang bakar adalah penggunaan kecepatan fluidisasi yang tidak melebihi
5 m/s (Basu P. , 2006).
vfluidizing = �̇�𝑓𝑔
ρ x 𝐴𝑏𝑒𝑑 .................................................................................... (II.47)
Dimana: vfluidizing : Kecepatan fluidasi [𝑘𝑔
𝑠]
�̇�𝑓𝑔 : Laju aliran gas buang [𝑘𝑔
𝑠]
ρ : Massa jenis gas buang [𝑘𝑔
𝑚3]
6. Luas yang dibutuhkan primary air
Udara utama masuk melalui bagian bawah furnace untuk membuat partikel bed
menjadi tefluidasi. Untuk menjaga bed agar tetap terfluidasi, bahkan di bawah
beban rendah, maka digunakan penampang sempit. Hal ini membantu menjaga
kecepatan fluidasi yang sama di atas dan di bawah tingkat udara sekunder di
bawah semua kondisi operasi. Sehingga luas yang dibutuhkan primary air yang
dibutuhkan adalah sebagai berikut:
Apa = �̇�𝑝𝑎
�̇�𝑎𝑖𝑟 x Abed .................................................................................... (II.48)
Dimana: Apa : Luasyang dibutuhkan primary air [m2]
II-38
�̇�𝑝𝑎 : Laju aliran primay air [𝑘𝑔
𝑠]
�̇�𝑎𝑖𝑟 : Laju aliran udara [𝑘𝑔
𝑠]
7. Bentuk penampang, lebar = 0,5 panjang
Lebar (atau kedalaman) ruang bakar seharusnya tidak begitu besar sehingga
mengakibatkan penetrasi udara sekunder yang buruk ke ruang bakar dan
penyebaran bahan volatil yang tidak seragam. Meskipun tidak ada aturan yang
tersedia saat ini, unit operasi dapat memberikan panduan yang baik untuk
memilih rasio ini.
a. Lebar
W = (𝐴𝑏𝑒𝑑
2 )0,5 ..................................................................................... (II.49)
Dimana: W : Lebar [m]
Abed : Luas penampang bed [m2]
b. Panjang
B = 𝐴𝑏𝑒𝑑
𝑊 ............................................................................................ (II.50)
Dimana: B : Panjang [m]
W : Lebar [m]
Furnace Height
Perhitungan ini dilakukan untuk mengetahui dimensi-dimensi dan tinggi
ruang bakar yang dibutuhkan dalam perancangan ruang bakar. Nilai furnace height
diketahui menggunakan pesamaan pada buku (Basu P. , 2015) sebagai berikut:
1. Koefisien perpindahan panas
Nilai koefisien perpindahan panas dapat dicari menggunakan Tabel II.9
sebagai berikut:
II-39
Tabel II.9 Perpindahan panas pada fluidized bed boiler
(Basu P. , 2006)
2. Temperatur dinding ruang bakar
Temperatur logam pada pipa evaporator umumnya 25 °C lebih panas dari pada
temperature saturasi air. Temperatur dinding ruang bakar dapat dihitung
menggunakan persamaan sebagai berikut:
Twall = Tsat + 25 [ ̊C] ................................................................................ (II.51)
Dimana: Twall : Temperatur dinding ruang bakar [ ̊C]
Tsat : Temperatur saturasi [ ̊C]
3. Laju kalor di evaporator
Laju kalor di evaporator adalah sejumlah kalor yang dibutuhkan untuk
memproduksi uap melalui proses pemanasan air umpan pada evaporator. Data
didapatkan dari basic design sistem boiler hasil simulasi menggunakan
software GateCycle yang terdapat pada lampiran 2. Sehingga nilai laju kalor di
evaporator dapat dihitung sebagai berikut:
�̇�eva = msteam x (h3 – h2) ........................................................................... (II.52)
Dimana: �̇�eva : Laju kalor di evaporator [MW]
�̇�𝑠𝑡𝑒𝑎𝑚 : Laju aliran steam [𝑘𝑔
𝑠]
h2 : Enthalpy keluar economizer [𝑘𝐽
𝑘𝑔]
h3 : Enthalpy masuk superheater [𝑘𝐽
𝑘𝑔]
II-40
4. Log mean temperature difference
LMTD = ∆𝑇1− ∆𝑇2
ln (∆𝑇1∆𝑇2
) ..................................................................................... (II.53)
a. Counter current flow
∆T1 = Thi – Tco
∆T2 = Tho – Tci
b. Co-current flow
∆T1 = Thi – Tci
∆T2 = Tho – Tco
Dimana: LMTD : Log mean temperature difference [ ̊C]
Tci : Cold temperature input [ ̊C]
Tco : Cold temperature output [ ̊C]
Thi : Hot temperature input [ ̊C]
Tho : Hot temperature output [ ̊C]
5. Luas evaporator
Luas evaporator dapat dihitung dengan membagi laju kalor di evaporator
dengan log mean temperature difference dan koefisien perpindahan panas.
Sehingga luas evaporator adalah sebagai berikut:
Aeva = �̇�𝑒𝑣𝑎
𝐿𝑀𝑇𝐷 𝑥 𝑈ℎ ....................................................................................... (II.54)
Dimana: Aeva : Luas evaporator [m2]
�̇�eva : Laju kalor di evaporator [MW]
Uh : Koefisien perpindahan panas [𝑘𝑊
𝑚2 .𝐾]
6. Rasio luas permukaan aktual dengan luas dinding proyek
Ruang bakar boiler CFB biasanya dibangun dari panel wall tube . Jika tube
dengan diameter luar D berada pada pitch p; Rasio luas aktual dan luas dinding
yang diproyeksikan adalah:
Ax = 𝜋 𝑥
𝐷
2 + 𝑝 − 𝐷
𝑝 ....................................................................................... (II.55)
Dimana: Ax : Rasio luas permukaan aktual dengan ruang bakar
D : Diameter [inch]
p : Pitch [inch]
II-41
7. Luas proyek yang dibutuhkan
Luas proyek yang dibutuhkan adalah luas evaporator dibagi dengan rasio luas
permukaan aktual dengan luas dinding proyek. Sehingga luas proyek yang
dibutuhkan adalah sebagai beikut:
A = 𝐴𝑒𝑣𝑎
𝐴𝑥 ................................................................................................... (II.56)
Dimana: A : Luas ruang bakar [m2]
Aeva : Luas evaporator [m2]
Ax : Rasio luas permukaan aktual dengan ruang bakar
8. Luas roof
Luas roof memiliki nilai yang sama dengan luar penampang bed. Sehingga luas
roof adalah sebagai berikut:
Aroof = Abed .............................................................................................. (II.57)
Dimana: Aroof : Luas roof [m2]
Abed : Luas penampang bed [m2]
9. Luas dinding ruang bakar
Dinding ruang bakar berfungsi sebagai tempat penguapan air. Dinding ini
berupa pipa-pipa yang berisi air yang berderet secara vertical yang dipanaskan
oleh kalor dari hasil pembakaran bahan bakar. Luas dinding ruang bakar
merupakan pengurangan dari luas proyek yang dibutuhkan dikurangi dengan
luas roof. Sehingga luas dinding ruang bakar adalah sebagai berikut:
Awall = A – Aroof ....................................................................................... (II.58)
Dimana: Awall : Luas dinding ruang bakar [m2]
Aroof : Luas penampang roof [m2]
10. Opening area
Opening area adalah luas dinding yang tidak menghantarkan panas. Opening
area pada dinding diasumsikan 30% luas penampang bed. Sehingga opening
area adalah sebagai berikut:
Aunvailable = 0,3 x Abed ............................................................................... (II.59)
Dimana: Aunvailable : Luas dinding yang tidak menghantarkan panas [m2]
II-42
Abed : Luas penampang bed [m2]
11. Luas dinding ruang bakar keseluruhan
Luas dinding ruang bakar keseluruhan adalah jumlah luas dinding ruang bakar
dengan opening area pada ruang bakar sebesar 30%. Sehingga luas dinding
ruang bakar keseluruhan adalah sebagai berikut:
Awall(total) = Awall + Aunvailable ..................................................................... (II.60)
Dimana: Awall(total) : Luas dinding ruang bakar keseluruhan [m2]
Aunvailable : Luas dinding yang tidak menghantarkan panas [m2]
12. Tinggi ruang bakar
L = 𝐴𝑤𝑎𝑙𝑙(𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙)
2 𝑥 (𝑊 + 𝐵) .......................................................................................... (II.61)
Dimana: L : Tinggi ruang bakar [m]
W : Lebar [m]
B : Panjang [m]
Ketebalan Dinding Furnace
Dinding furnace tersusun dari beberapa lapisan dan berbagai jenis dinding.
Dinding ini berfungsi untuk mengisolasis panas yan terjadi didalam ruang bakar
sehingga akan mengurangi panas yang terbuang ke lingkungan. Lapisan dalam
harus memiliki ketahanan yang tinggi pada temperatur yang tinggi, karena langsung
berhubungan dengan gas asap panas hasil pembakaran. Temperatur lapisan luar
diusahakan mendekati temperatur lingkungan yaitu sekitar 25 – 35 ̊C. Ketebalan
dinding furnace dapat diketahui menggunakan pesamaan pada buku (Incropera &
Dewitt, 2011) sebagai berikut:
II-43
Gambar II.11 Skematik perpindahan kalor pada dinding furnace
(Incropera & Dewitt, 2011)
1. Ketebalan dinding furnace bagian luar dapat dicari dengan persamaan:
�̇�d2 = �̇�cv
𝐾2
𝐿2 𝑥 𝐴 𝑥 (𝑇2 − 𝑇3) = ℎ𝑜 𝑥 (𝑇3 − 𝑇4)
L2 = 𝐾2 𝑥 (𝑇2−𝑇3)
ℎ𝑜 𝑥 (𝑇3−𝑇4) ...................................................... (II.62)
Dimana: L2 : Ketebalan dinding luar furnace [m]
K2 : Konduktivitas termal dinding luar furnace [ 𝑊
𝑚 . 𝐾]
ho : Koefisien perpindahan panas konveksi [ 𝑊
𝑚2 . 𝐾]
T : Temperatur [̊C]
2. Ketebalan dinding furnace bagian dalam dapat dicari dengan persamaan:
�̇�d1 = �̇�d2
𝐾1
𝐿1 𝑥 𝐴 𝑥 (𝑇1 − 𝑇2) =
𝐾2
𝐿2 𝑥 𝐴 𝑥 (𝑇2 − 𝑇3)
L1 = 𝐾1 𝑥 (𝑇1−𝑇2)
𝑘2 𝑥 (𝑇2−𝑇3) 𝑥 𝐿2 .................................... (II.63)
Dimana: L1 : Ketebalan dinding dalam furnace [m]
K1 : Konduktivitas termal dinding dalam furnace [ 𝑊
𝑚 . 𝐾]
K2 : Konduktivitas termal dinding luar furnace [ 𝑊
𝑚 . 𝐾]
II-44
T : Temperatur [̊C]
Perancangan Pipa Evaporator
Pipa evaporator yang digunakan dalam perancangan harus dapat mentransfer
panas dari hasil pembakaran kedalam air sehingga menjadi uap. Pipa evaporator
ini harus dapat menahan tekanan yang terjadi didalam pipa maupun diluar pipa
untuk mencegah terjadinya ledakan akibat tekanan berlebih dan kebocoran pada
pipa. Standar yang digunakan untuk merancangan pipa evaporator ini
menggunakan ASME B31.1 Pressure Piping. Untuk mengetahui ketebalan tekanan
desain dapat dicari menggunakan persamaan sebagai berikut:
t = 𝑃𝑠 𝑥 𝐷
2 𝑥 ((𝑆 𝑥 𝐸 𝑥 𝑊) + (𝑃𝑠 𝑥 𝑌) .......................................................................... (II.64)
Dimana: t : Ketebalan tekanan desain [inch]
PS : Tekanan desain [bar]
D : Diameter luar [inch]
S : Stresses allowable [bar]
E : Faktor kualitas sambungan pipa
W : Faktor pengurangan kekuatan akibat pengelasan
Y : Koefisien
Untuk mengetahui faktor pengurangan kekuatan pipa dari proses pengelasan
dapat dicari menggunakan Tabel II.10 sebagai berikut:
Tabel II.10 Faktor pengurangan kekuatan pipa dari proses pengelasan
(ASME, 2015)
II-45
Untuk mengetahui nilai koefisien Y dapat dicari menggunakan Tabel II.11
sebagai berikut: Tabel II.11 Koefisien Y
(ASME, 2015)
Ketebalan minimum yang dibutuhkan dapat dihitung menggunakan persamaan
sebagai berkut:
tm = t + c .................................................................................................. (II.65)
Dimana: tm : Ketebalan minimum [inch]
t : Ketebalan tekanan desain [inch]
c : Mechanical, stress and erosion allowance [inch]
Jumlah pipa yang dibutuhkan untuk evaporator dapat dicari menggunakan
persamaan sebagai berikut:
NT = 2 𝑥 (𝑊+𝐵)
𝑝𝑖𝑡𝑐ℎ ........................................................................................... (II.66)
Dimana: NT : Jumlah pipa [tube]
W : Lebar [m]
B : Panjang [m]