bab ii landasan teori ii.a. pengertian...
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
II.A. PENGERTIAN MOTIVASI BERPRESTASI
II.A.1. PENGERTIAN MOTIVASI
Motif berasal dari bahasa latin yaitu movere yang artinya bergerak. Motif yang
diistilahkan needs adalah dorongan yang sudah terikat pada suatu tujuan (Ahmadi,
1999).Perilaku manusia senantiasa dilatarbelakangi motif dan motivasi. Beragamnya motif
dan motivasi mewarnai kehidupan manusia, misalnya makan karena lapar, ingin mendapat
kasih sayang, ingin diterima lingkungan dan sebagainya (Ahmadi, 1998).
Pendapat para ahli dalam literatur yang dibaca oleh penulis, bahwa pengertian motif
dan motivasi hampir sama dan tidak ditemukan perbedaan arti yang mendasar. Maksud dan
pengertiannya sama, hanya berbeda dalam memformulasikan kalimat pada motif dan kalimat
pada motivasi saja. Sedangkan arti yang terkandung dalam motif dan motivasi sebenarnya
memiliki persamaan. Oleh karena itu dalam penjelasan berikutnya pada tulisan ini tidak
dibedakan antara motif dan motivasi.
Ahmadi (1998)menjelaskan lebih lanjut, bahwa motivasi adalah suatu kekuatan yang
terdapat dalam diri organisme yang menyebabkan organisme itu bertindak atau berbuat.
Motivasi menurut Winkel (1997) adalah sebagai daya penggerak dari dalam diri
individu dengan maksud mencapai kegiatan tertentu dan untuk mencapai tujuan tertentu.
Chaplin (1999) mendefinisikan motivasi sebagai variabel penyelang yang digunakan
untuk menimbulkan faktor-faktor tertentu di dalam organisme, yang membangkitkan,
mengelola, mempertahankan, dan menyalurkan tingkah laku menuju suatu sasaran.
Murray (dalam Chaplin, 1999) juga mengemukakan pendapatnya sendiri mengenai
motivasi. Ia menyebutkan motivasi sebagai motif untuk mengatasi rintangan-rintangan atau
berusaha melaksanakan sebaik dan secepat mungkin pekerjaan-pekerjaan yang sulit
Walgito (2002) menyatakan motivasi merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri
organisme yang menyebabkan organisme itu bertindak atau berbuat dan dorongan ini
biasanya tertuju pada suatu tujuan tertentu.
Sejalan dengan pendapat diatas, Suryabrata (2000) menyatakan motivasi suatu
keadaan dalam diri individu yang mendorong individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas
tertentu guna mencapai suatu tujuan.
McClelland (1987) mendefinisikan motivasi sebagai suatu kebutuhan yang bersifat
sosial, kebutuhan yang muncul akibat pengaruh eksternal. Ia kemudian membagi kebutuhan
tersebut menjadi tiga, yaitu : Kebutuhan Berkuasa (Need for Power), Kebutuhan Berprestasi
(Need for Achievement), Kebutuhan Berteman (Need for Affiliation).
Berdasarkan teori-teori diatas dapat disimpulkan pengertian dari motivasi yaitu suatu
dorongan dalam diri individu karena adanya suatu rangsangan baik dari dalam maupun dari
luar untuk memenuhi kebutuhan individu dan tercapainya tujuan individu. Jadi individu akan
bertingkah laku tertentu dikarenakan adanya motif dan adanya rangsangan untuk memenuhi
kebutuhan serta mendapatkan tujuan yang diinginkan. Berarti motivasi berkaitan dengan
dorongan-dorongan dan kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat disimpulkan bahwa motivasi
adalah dorongan untuk berbuat sesuatu karena ada rangsang atau stimulus yang tujuannya
adalah untuk memenuhi kebutuhan individu.
II.A.2. MOTIVASI BERPRESTASI
Motivasi berprestasi pertama kali diperkenalkan oleh Murray (dalam Martaniah,
1998) yang diistilahkan dengan need for achievement dan dipopulerkan oleh Mc Clelland
(1961) dengan sebutan “n-ach”, yang beranggapan bahwa motif berprestasi merupakan
virus mental sebab merupakan pikiran yang berhubungan dengan cara melakukan kegiatan
dengan lebih baik daripada cara yang pernah dilakukan sebelumnya. Jika sudah terjangkit
virus ini mengakibatkan perilaku individu menjadi lebih aktif dan individu menjadi lebih
giat dalam melakukan kegiatan untuk mencapai prestasi yang lebih baik dari sebelumnya.
Individu yang menunjukkan motivasi berprestasi menurut Mc.Clelland adalah mereka
yang task oriented dan siap menerima tugas-tugas yang menantang dan kerap
mengevaluasi tugas-tugasnya dengan beberapa cara, yaitu membandingkan dengan hasil
kerja orang lain atau dengan standard tertentu (McClelland, dalam Morgan 1986). Selain
itu mcClelland juga mengartikan motivasi berprestasi sebagai standard of exellence yaitu
kecenderungan individu untuk mencapai prestasi secara optimal (McClelland,1987).
Selanjutnya menurut Haditono (Kumalasari, 2006), motivasi berprestasi adalah
kecenderungan untuk meraih prestasi dalam hubungan dengan nilai standar keunggulan.
Motivasi berprestasi ini membuat prestasi sebagai sasaran itu sendiri. Individu yang
dimotivasi untuk prestasi tidak menolak penghargaan itu, tidak sungguh-sungguh merasa
senang jika dalam persaingan yang berat ia berhasil memenangkannya dengan jerih payah
setelah mencapai standar yang ditentukan. Individu yang mempunyai dorongan berprestasi
tinggi umumnya suka menciptakan risiko yang lunak yang bisa memerlukan cukup banyak
kekaguman dan harapan akan hasil yang berharga, keterampilan dan ketetapan hatinya
yang menunjukkan suatu kemungkinan yang masuk akal daripada hasil yang dicapai dari
keuntungan semata. Jika memulai suatu pekerjaan, individu yang mempunyai dorongan
prestasi tinggi ingin mengetahui bagaimana pekerjaannya, ia lebih menyukai aktivitas
yang memberikan umpan balik yang cepat dan tepat.
Menurut Herman (Linda, 2004) motivasi berprestasi ini sangat penting dalam
kehidupan sehari-hari, karena motif berprestasi akan mendorong seseorang untuk
mengatasi tantangan atau rintangan dan memecahkan masalah seseorang, bersaing secara
sehat, serta akan berpengaruh pada prestasi kerja seseorang.
Atkinson (Martaniah, 1998) mengatakan bahwa motivasi berprestasi dalam perilaku
individu mengandung dua kecenderungan perilaku, yaitu :
a. Individu yang cenderung mengejar atau mendekati kesuksesan
b. Individu yang berusaha untuk menghindari kegagalan.
II.B. CIRI-CIRI INDIVIDU YANG MEMILIKI MOTIVASI BERPRESTASI
Menurut McClelland (dalam Morgan, 1986) ciri-ciri individu yang memiliki motivasi
berprestasi tinggi adalah :
1. Menyukai tugas yang memiliki taraf kesulitan sedang/menengah.
Individu yang memilikimotivasi berprestasi tinggi lebih menyukai tugas yang
memiliki taraf kesukaran sedang namun menjanjikan kesuksesan. Rohwer (dalam
Robbins,2001) mengatakan bahwa seseorang yang memiliki motivasi berprestasi
tinggi akan berusaha mencoba setiap tugas yang menantang dan sulit tetapi mampu
untuk diselesaikan, sedangkan orang yang tidak memiliki motivasi berprestasi tinggi
akan enggan melakukannya. Robbins (2001) menambahkan bahwa orang yang
memiliki motivasi berprestasi tinggi menyukai tugas-tugas yang menantang serta
berani mengambil resiko yang diperhitungkan (calculated risk) untuk mencapai suatu
sasaran yang telah ditentukan. Spence (dalam Morgan, 1986) menambahkan, mereka
yang memiliki motivasi berprestasi tinggi memiliki task oriented dan selalu
mempersiapkan diri terhadap tugas-tugas yang menantang.
2. Suka menerima umpan balik (suka membandingkan kinerja dengan orang lain).
Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi mengharapkan umpan balik
dengan cara membandingkan performansinya dengan orang lain atau suatu
standarisasi tertentu (Spence dalam Morgan, 1986). Penetapan standard keberhasilan
merupakan motif ekstrinsik yang bukan dari dalam dirinya, namun ditetapkan dari
orang lain. Seseorang terdorong untuk berusaha mencapai standard yang ditetapkan
oleh orang lain karena takut kalah dari orang lain (Rohwer dalam Robbins, 2001).
Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi kerap mengharapkan umpan balik
dan membandingkan hasil kerjanya dengan hasil kerja orang lain dengan suatu ukuran
keunggulan yaitu perbandingan dengan prestasi orang lain atau standard tertentu
(McClelland dalam Morgan 1986).
3. Tekun dan gigih terhadap tugas yang berkaitan dengan kemajuannya.
Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan memiliki kinerja yang baik,
aktif berproduktivitas, serta tekun dalam bekerja. Dengan adanya motivasi berprestasi
karyawan akan memiliki sifat-sifat seperti selalu berusaha mencapai prestasi sebaik-
baiknya dengan selalu tekun dalam menjalankan tugas (Martaniah, 1998).
Atkinson (Linda,2004) mengatakan bahwa seseorang yang memiliki motivasi
berprestasi adalah sebagai berikut :
a. Free Choise, adalah bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi
menyukai aktivitas-aktivitas atas keberhasilannya sehingga selalu berusaha untuk
meningkatkan segala kemungkinan untuk berprestasi oleh karena kemampuan pengalaman
keberhasilannya yang lebih banyak sehingga kendati mengalami kagagalan masih tetap
tersirat untuk berhasil.
b. Persistence Behaviour, adalah suatu anggapan individu yang memiliki motivasi
berprestasi tinggi menganggap bahwa kegagalan adalah sebagai akibat kurangnya usaha, oleh
sebab itu harapan dan usaha untuk berhasil selalu tinggi.
c. Intensity of performance,adalah suatu intensitas dalam penampilan kerja, artinya
individu yang motivasi berprestasinya tinggi selalu berpenampilan suka kerja keras
dibandingkan seseorang yang motivasi berprestasinya rendah.
d. Risk preference, adalah suatu pertimbangan memilih risiko yang sedang artinya
tidak mudah dan tidak juga sukar.
Menurut Herman dalam Martaniah (1998) ciri-ciri yang menonjol untuk memilih
motivasi berprestasi berprestasi tinggi antara lain :
1. Mempunyai inspirasi yang tingkatannya sedang, hal ini terjadi karena individu
tersebut memiliki keinginan untuk berprestasi tinggi sehingga individu tersebut tidak
ingin melakukan sesuatu yang berbeda diluar jangkauannya atau tidak ingin
membuang waktu yang banyak untuk mengerjakan sesuatu diluar kemampuan
dirinya.
2. Memiliki tugas yang memiliki risiko yang sedang daripada yang tinggi.
3. Persperktif waktunya berorientasi kedepan.
4. Mempunyai keuletan dalam melakukan tugas yang belum selesai.
5. Mempunyai dorongan untuk melakukan tugas yang belum selesai.
6. Memiliki pasangan kerja atas dasar kemampuannya.
7. Usaha yang dilakukannya sangat menonjol.
Berdasarkan uraian diatas dapat dismpulkan bahwa individu yang memiliki motivasi
berprestasi tinggi mempunyai ciri-ciri antara lain, memiliki rasa percaya diri yang besar,
berorientasi kemasa depan, suka pada tugas yang memiliki tingkat kesulitan sedang, tidak
membuang-buang waktu, memilih teman yang berkemampuan baik dan tangguh dalam
mengerjakan tugas-tugasnya.
Heckhausen (Monks dan Haditono,1999) mengatakan bahwa individu yang memiliki
motivasi berprestasi tinggi dan motivasi berprestasi rendah memiliki perbedaan. Adapun
ciri-ciri individu yang motivasi berprestasi rendah adalah :
1. Orientasi pada masa lampau.
2. Memiliki tugas yang sukar dan tidak sesuai dengan kemampuannya.
3. Tidak mempunyai kepercayaan dalam meghadapi tugas, adanya rasa pesimis yang
dimiliki.
4. Menganggap keberhasilan suatu nasib mujur.
5. Cenderung mengambil pekerjaan tingkat resiko lemah, sehingga keberhasilan akan
mudah dicapai.
6. Suka bermalas-malasan serta melakukan dengan cara yang baru.
7. Tidak menyenangi pekerjaan yang menuntut tanggung jawab dan merasa puas sebatas
prestasi yang dicapai.
8. Tidak mencari umpan balik dari perbuatannyajika melakukan pekerjaan yang tidak
diinginkan.
Atkinson (Linda,2004) mengatakan bahwa ciri-ciri individu yang tidak memiliki
motivasi berprestasi antara lain :
1. Individu termotivasi oleh ketakutan akan kegagalan.
2. Lebih senang menghindari kegagalan.
3. Senang melakukan tugas-tugas yang mempunyai taraf-taraf kesulitan yang rendah.
4. Individu senang menghindari kegagalan dan akan menunjukkan performance terbaik
pada tugas-tugas dengan kesulitan yang rendah.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki motivasi
berprestasi rendah memiliki ciri-ciri antara lain, bersikap pesimis, orientasi pada masa
lampau, menganggap keberhasilan sebagai nasib mujur, menghindari kegagalan, suka
memakai cara yang lama, tidak menyenangi pekerjaan pekerjaan yang menuntut tanggung
jawab serta tidak berusaha untuk mencari umpan balik dari pekerjaannya.
II.C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi
Banyak faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi pada seseorang. Faktor-faktor
tersebut antara lain adalah :
a. Kemampuan Intelektual
Menurut Gebhart dan Hoyt (Linda, 2004) dengan kelompok kemampuan intelektual
yang tinggi ternyata menonjol dalam achievement, exhibition, autonomy dan dominance,
sedangkan dengan kelompok kemampuan intelektual rendah ternyata menonjol dalam
order, abasement, dan nurturance.
b. Tingkat Pendidikan Orang tua
Sadli (Linda,2004) menyatakan cara ibu mengasuh anak dapat menimbulkan motivasi
berprestasi yang tinggi dan juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan karena ibu yang
berpendidikan tinggi akan mempunyai aspirasi dan motivasi untuk mendorong anak agar
berprestasi setinggi-tingginya.
c. Jenis Kelamin
Adi Subroto, Watson, Lingren, Martaniah (Linda, 2004) menemukan adanya
perbedaan motivasi berprestasi antara pria dan wanita, pria mempunyai motivasi
berprestasi yang lebih tinggi daripada wanita.
d. Pola Asuh
Dari penelitian didapat bahwa motivasi berprestasi terbentuk sejak masa kanak-kanak
dan dipengaruhi oleh cara ibu mengasuh anaknya (Suroso dalam Linda, 2004).
Selain itu hal-hal yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi adalah :
1. Pendidikan
Soemanto dan Setianingsih (Hurlock,1981) mengatakan bahwa pendidikan adalah
pengalaman yang memberikan pengertian perubahan terhadap suatu objek yang
menyebabkan berkembangnya kecakapan seseorang dalam membentuk sikap tingkah
lakunya. Soemanto (1984) dan Setianingsih (1986) menggambarkan pendidikan formal
seperti TK,SD sederajat,SLTA sederajat dan perguruan tinggi. Sedangkan pendidikan
informal diperoleh dalam keluarga dan kehidupan berkelompok. Semakin tinggi tingkat
pendidikan yang dicapai maka akan semakin besar juga untuk menerima pandangan dan
wawasan baru.
2. Lama Kerja
Menurut Ranupandojo (Linda,2004), lama kerja adalah banyaknya waktu yang
menyatakan bahwa seseorang telah menjadi karyawam pada suatu perusahaan dan faktor
penting yang dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan sehingga dapat
menguasai pekerjaan dengan lebih baik.
3. Lingkungan
Tantangan yang ada dalam suatu lingkungan akan menetukan tinggi rendahnya
dorongan berprestasi individu. Seandainya tantangan yang ada dalam lingkungan itu
sedang-sedang saja maka motivasi berprestasi individu tersebut akan tinggi. Namun jika
tantangan itu terlalu besar atau terlalu kecil maka motivasi berprestasinya akan berkurang
(Mc Clelland dalm Linda, 2004).
4. Keluarga
Cara mengasuh anak dan pelatihan yang diberikan kepada anak-anak untuk dapat
berdiri diatas kaki mereka sendiri (mandiri) serta agar dapat menguasai keterampilan atau
keahlian tertentu dalam usia dini dan tidak ada penolakan dalam diri anak. Orang tua yang
memiliki standar kualitas tinggi menganjurkan anak-anaknya akan meningkatkan motivasi
berprestasi yang tinggi pada anak (Mc Clelland, 2004).
5. Pengaruh yang Berasal dari Dalam Diri Individu
Menurut Harisson (Linda, 2004), yaitu ada kemampuan dalam mempersiapkan diri
secara bersungguh-seungguh untuk bekerja juga bersedia menerima dan mencoba
pekerjaan untuk memperoleh pengalaman kerja. Menghindari dari pola pemuasan
kesukaran untuk mencapai keberhasilan dalam mencapai tujuan yang mengandung arti
bersedia berkorban untuk mencapai tujuan.
Motivasi berprestasi yang terjadi pada masa anak-anak tidak hanya ditentukan oleh
orang tua saja, tetapi juga dapat berubah karena proses pendidikan, latihan-latihan dan
adanya faktor kematangan dan proses belajar pada masa selanjutnya (Mc Clelland dalam
Martaniah, 1984).
Motivasi berprestasi merupakan suatu hal yang dipelajari, oleh karena itu
pembentukannya sangat ditentukan oleh faktor lingkungan terutama keluarga sebagai
lingkungan terdekat. Selain itu karena terbentuk dari lingkungan maka kebutuhan
berprestasi bisa berubah sejalan dengan perkembangan yang dialami individu yaitu
melalui latihan, pendidikan, kematangan dan proses belajar.
Locke (Kumalasari, 2006) menjelaskan bahwa pengalaman atau kematangan,
wawasan diri dan usia individu berpengaruh terhadap motivasi berprestasi individu.
Kemudian Mc Clelland (1961) yang mengemukakan bahwa ada enam aspek motivasi
berprestasi pada diri individu, yaitu :
1. Bertanggungjawab dan kurang suka mendapat bantuan orang lain.
2. Mencapai prestasi dengan sebaik-baiknya.
3. Ingin hasil yang konkrit dari usahanya.
4. Memperhitungkan kemampuan diri dengan resiko sedang.
5. Tidak senang membuang-buang waktu serta gigih.
6. Memiliki antisipasi yang berorientasi kedepan.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa motif berprestasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain pendidikan, masa kerja, lingkungan dan keluarga, disamping faktor yang
berasal dari dalam diri individu yaitu kemampuan diri, adanya kemampuan besar untuk
madiri serta bersedia berkorban untuk mencapai tujuannya. Kemudian ada beberapa aspek
kebutuhan berprestasi dalam diri individu yaitu bertanggung jawab dan kurang suka
mendapat bantuan dari orang lain, mencapai prestasi dengan sebaik-baiknya,
memperhitungkan kemampuan diri dengan risiko yang sedang, ingin hasil yang konkrit
dari usahanya, tidak senang membuang-buang waktu serta memilikiantisipasi yang
berorientasi kedepan.
II E. KARYAWAN ETNIS BATAK DAN ETNIS TIONGHOA
1. Pengertian Etnis
Etnis atau suku merupakan suatu kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan
yang lain berdasarkan akar dan identitas kebudayaan, terutama bahasa. Dengan kata lain etnis
adalah kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas tadi sering kali dikuatkan
oleh kesatuan bahasa (Koentjaraningrat, 2007). Dari pendapat diatas dapat dilihat bahwa etnis
ditentukan oleh adanya kesadaran kelompok, pengakuan akan kesatuan kebudayaan dan juga
persamaan asal-usul.
Wilbinson (Koentjaraningrat, 2007) mengatakan bahwa pengertian etnis mungkin
mencakup dari warna kulit sampai asal ususl acuan kepercayaan, status kelompok minoritas,
kelas stratafikasi, keanggotaan politik bahkan program belajar.
Selanjutnya Koentjaraningrat (2007) juga menjelaskan bahwa etnis dapat ditentukan
berdasarkan persamaan asal-usul yang merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan
suatu ikatan.
Berdasarkan teori-teori diatas dapat disimpulkan bahwa etnis atau suku merupakan
suatu kesatuan sosial yang dapat membedakan kesatuan berdasarkan persamaan asal-usul
seseorang sehingga dapat dikategorikan dalam status kelompok mana ia dimasukkan. Istilah
etnis ini digunakan untuk mengacu pada satu kelompok, atau ketegori sosial yang
perbedaannya terletak pada kriteria kebudayaan.
II.E. 2. Etnis Batak
a. Pandangan Hidup Serta Filsafat Etnis Batak
Tanah Batak adalah daerah pedalaman di Sumatera Utara dengan Danau Toba sebagai
pusatnya. Daerah pedalaman ini merupakan dataran tinggi yang diapit oleh gunung-gunung.
Etnis Batak khususnya terdiri dari sub-sub suku bangsa yaitu : Karo, Simalungun, Pakpak,
Toba, Angkola dan Mandailing. Dimana dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari mereka
menggunakan beberapa logat (Payung dalam Koentjaraningrat, 2007).
Payung (Koentjaraningrat, 2007) mengatakan bahwa menurut cerita-cerita suci
(Tarombo) orang Batak semua sub-sub suku bangsa itu mempunyai nenek moyang yang satu
yaitu Siraja Batak yang tinggalnya dikaki gunung pusuk bukit, letaknya disebelah barat
Danau Toba. Dimana orang Batak mempunyai konsep bahwa alam ini beserta isinya
diciptakan Debata (Ompung).
Selanjutnya Payung (Koentjaraningrat, 2007) menjelaskan bahwa setiap manusia
memiliki tondi, dimana tondi tersebut diterima oleh seseorang ketika masih didalam rahim
ibunya, dan tondi merupakan suatu kekuatan yang akan menentukan wujud dan jalan manusia
dalam kehidupannya. Konsep yang sangat mendasar dalam organisasi kekerabatan adalah
marga. Marga adalah kelompok-kelompok orang yang merupakan keturunan dari seorang
kakek bersama, dan garis keturunan itu diperhitungkan melalui bapak atau bersifat patrilineal
(Verbouwen dalam Ihromi, 1986). Semua anggota dari satu marga memakai nama identitas
yang dibubuhkan sesudah nama kecilnya, dan nama marga itu merupakan suatu pertanda
bahwa orang-orang yang menggunakannya masih mempunyai kakek yang sama, dan ada satu
keyakinan bahwa orang-orang yang menggunakan nama marga sama terjalin oleh hubungan
darah, dan salah satu konsekuensinya adalah larangan menikah bagi wanita dan pria yang
mempunyai nama marga yang sama. Dalam beberapa konsep berfikir ini, kemudian
tumbuhlah suatu ketetapan pandangan hidup dan kemudian berkembanglah menjadi suatu
ajang filsafat hidup yang menjadi dasar praktek sistem kepercayaan orang Batak.
Suku bangsa Batak adalah penduduk yang menghuni kabupaten Tapanuli, propinsi
Sumatera Timur maupun yang berdiam diluarnya, yaitu orang-orang perantauan yang berasal
dari daerah tersebut. Suku bangsa Batak terdiri dari beberapa suku, antara lain suku Toba
yang mendiami bagian tengah daerah Batak yang meliputi Habinsaran, Silindung, Dataran
Tinggi Toba, Barus, Sorkam dan Sibolga. Di sebelah utara berdiam suku Karo, bagian Barat
suku Pakpak, bagian timur suku Simalungun dan dibagian selatan suku Angkola dan
Mandailing, dan suku Gayo dan Alas berdiam dibagian selatan Aceh. Selain daripada itu
penduduk yang berdiam di daerah Rokan, Bila, Pane dan Kotapinang termasuk juga dalam
suku Batak (L.S.Diapari, 1987)
b. Struktur Sosial Orang Batak
Keluarga merupakan struktur masyarakat kelompok terkecil yang terpadu dan
mencakup keluarga pendukung. Arti yang luas dari ini adalah keluarga masih unit terkecil
bahwa keluarga sanggup mencakup kebutuhan sendiri, bahwa keluarga tidak membaur
kemasyarakat luas secara alami, bahwa keluarga mempunyai semangat bersaing dan
anggotanya termotivasi oleh hal-hal praktis untuk melindungi dan meningkatkan kekayaan
keluarga merupakan tiang penyangga (Ihromi, 1986).
Dalam keluarga ini yang memegang peranan penting dan berkuasa adalah ayah dan
anak laki-lakinya. Karena pada praktiknya dominasi laki-laki bagi etnis Batak adalah normal.
Peraturan sering terlihat ketat dan berat untuk dilaksanakan. Anak laki-laki sebagai penerus
marga ayahnya ini disebabkan karena orang Batak memegang prinsip keturunan secara
patrilineal yaitu setiap anak baik laki-laki maupun perempuan dengan sendirinya mempunyai
marga ayahnya (Payung dalam Koentjaraningrat, 2007).
Prinsip kehidupan orang Batak bahwa anak-anak harus patuh kepada orang tua.
Dimana kewajiban anak-anak terhadap orang tua baik sebelum maupun sesudah menikah
harus tetap berbakti kepada orang tua., begitu juga dengan hubungan sosial yang penting
dalam keluarga sesuai dengan etika hubungan sosial saudara laki-laki terhadap saudara
perempuan dan hubungan suami istri. Kalau ketiga dasar fondasi hubungan dalam keluarga
inti dan keluarga besar baik dan harmonis, maka hubungan sosial dalam masyarakat
sekelilingnya akan lebih baik dan harmonis juga. Dimana etika hubungan sosial dalam
keluarga ini terutama kewajiban-kewajiban anak-anak dalam pengabdian kepada orang tua
dan anak laki-laki tidak boleh membuat susah orang tua (Payung dalam Koentjaraningrat,
2007).
C. KARYAWAN ETNIS BATAK
Suku Batak hidup di lereng gunung Bukit Barisan, terisolir dari lalu lintas peradaban
luar. Hutan yang sangat lebat belum pernah terjamah oleh manusia turut menyempurnakan
isolasi itu. Gunung Pusuk Bukit dipinggir Danau Toba itulah tempat etnis Batak berasal.
Suku Batak hidup dalam pola asuh keluarga yang menuntut anak-anak mereka
sekolah setinggi-tingginya dan tak jarang orangtua yang petani didesa rela melepaskan anak-
anak mereka merantau agar dapat menuntut ilmu setinggi-tingginya dan tak jarang orang tua
yang petani di desa rela melepaskan anak-anak mereka merantau agar dapat menuntut ilmu
setinggi-tingginya (Tambunan dalam Kartika,2004). Adanya kemauan yang keras dalam diri
mereka memacu mereka untuk berorientasi kedepan sehingga kalau ditelusuri bahwa disetiap
ibukota diseluruh Indonesia dapat dijumpai etnis Batak.
Ada falsafah etnis Batak yang mengatakan bahwa ada tiga yang menjadi tujuan
mereka hidup yang lebih dikenal dengan 3H yaitu Hamoraon (kekayaan), Hagabeon
(Menikah dan Keturunan) dan Hasangapon (Nama Baik). Selama mereka tumbuh dan
berkembang orangtua selalu menekankan falsafah ini kepada anak-anaknya sehingga etnis
Batak cenderung memiliki karakter atau sifat yang pekerja keras, gigih dan selalu berorientasi
kedepan. Adanya sifat pejuang membuat mereka menjadi pemberani, selalu berusaha untuk
sukses (Togatorop dalam Kartika, 2004).
Salah satu karakter etnis Batak yang menonjol adalah tahan dalam segala situasi
dalam lingkungan yang menghimpit dan mau berjuang, hal ini sesuai dengan pendapat Mc
Clelland (Martaniah,1998) yang mengatakan bahwa orang yang memiliki motif berprestasi
tinggi cenderung memiliki kemauan untuk maju dan mengambil resiko yang sedang.
Tambunan (Kartika, 2004) mengatakan bahwa etnis Batak adalah etnis yang sangat
memandang tinggi derajat manusia, karena pada mereka ada sistem marga yang mengatur
kedudukan dan sosial dimasyarakat yang membuat mereka saling menghargai satu sama lain.
Unsur motif berprestasi inilah yang didistribusikan oleh Weiner (Martaniah,1998)
sebagai suatu usaha sukses dalam mencapai tujuan yang sudah diorientasikan sebelumnya
sebab dalam motif berprestasi tersebut mengandung unsur usaha.
Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa etnis Batak memiliki karakter yang
menunjukkan bahwa mereka memiliki motif berprestasi. Hal ini didasari oleh pola asuh orang
tua yang mendidik mereka untuk berusaha menjadi lebih baik melalui pendidikan yang
tinggi.
II.E. 3. Etnis Tionghoa
a. Pandangan Hidup Serta Filsafat Etnis Tionghoa
Kebanyakan orang Indonesia asli telah banyak bergaul dengan orang Tionghoa
Indonesia, tetapi sebagian besar belum mengenal golongan penduduk ini dengan sewajarnya.
Orang Tionghoa yang ada di Indonesia sebenarnya tidak merupakan satu kelompok yang asal
dari satu daerah di negeri Cina, tetapi terdiri dari beberapa suku bangsa yang berasal dari dua
propinsi yaitu Puksen dan Kwanglung, yang sangat terpencar daerah-daerahnya. Setiap
imigran ke Indonesia membawa kebudayaan suku bangsa sendiri-sendiri bersama dengan
perbedaan bahasanya. Ada empat bahasa yang digunakan oleh orang Tionghoa di Indonesia,
yaitu bahasa Hokkian, Teo-Chiu, Hakka dan Kanton yang demikian besar perbedaannya,
sehingga pembicara dari bahasa yang satu tidak dapat mengerti pembicaraan dari yang lain
(Vasanty dalam Hariyono, 2006).
Selanjutnya Vasanty (Hariyono, 2006) mengatakan para imigran Tionghoa yang
terbesar ke Indonesia mulai abad ke-16 sampai kira-kira pertengahan abad ke-19, berasal dari
suku bangsa Hokkian. Mereka berasal dari propinsi Fukien bagian selatan. Daerah itu
merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perdagangan orang Tionghoa
ke seberang lautan. Kepandaian berdagang ini yang ada didalam kebudayaan suku bangsa
Hokkian telah terendap berabad-abad lamanya dan masih tampak jelas pada orang Tionghoa
di Indonesia. Diantara pedagang pedagang Tionghoa di Indonesia merekalah yang paling
berhasil. Hal ini juga disebabkan karena sebagian dari mereka sangat ulet, tahan uji dan rajin.
Orang Hokkian dan keturunannya yang telah berasimilasi sebagai keseluruhan paling banyak
terdapat di Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Pantai Barat Sumatera.
b. Stereotip Etnis Tionghoa
Stereotip etnis Tionghoa biasanya disebutkan sebagai memiliki sikap tertutup,
angkuh, egoistis, superior dan materialistis. Tapi kadang-kadang menunjukkan sikap ramah,
murah hati, rajin, ulet, memiliki spekulasi tinggi, namun dengan mudah menghambur-
hamburkan materi, suka berpesta pora. Sifatnya muncul secara bergantian, tidak menentu,
seolah-olah berdiri sendiri-sendiri, sehingga orang yang belum mengenalnya akan sulit
menangkap sifat manusia Tionghoa dan akan dengan mudah dilihat sisi negatifnya. Bahkan
sementara orang menganggapnya sebagai suatu eksploitasi terhadap lingkungan (sosial)
disekitarnya. Padahal sifat itu muncul secara spontan dari alam tidak sadarnya yang secara
kultural berasal dari akar budayanya yang tunggal yang memiliki makna tertentu yang akan
dapat dipahami. Justru keanekaragaman sifat dan sikap ini yang membedakan cirri khas
manusia Tionghoa dengan yang lain (Vasanty dalam Hariyono,2006).
Selanjutnya Vasanty (Hariyono, 2006) mengatakan bila ditelusuri stereotip-stereotip
diatas ternyata saling berkaitan, memiliki akar budayanya yang tunggal pada sistem
kepercayaannya. Pada etnis Tionghoa sisitem kepercayaan dan tradisi yang dianut secara
cukup luas terdapat pada agama Konfusius, disamping terdapat juga agama Tao dan Budha.
Ajaran Konfusius selama berabad-abad sempat menjadi ajaran wajib disekolah-sekolah
negeri Cina pada zaman dahulu. Internalisasi yang cukup lama ini membekas pada manusia
Tionghoa sampai generasi-generasi berikutnya.
Meskipun ajaran ini sudah tidak begitu banyak dianut oleh orang Tionghoa di
Indonesi namun sisa-sisa nilai yang terbentuk masih tampak pada manusia Tionghoa dalam
berbagai gradasi internalisasi yang berbeda-beda. Selain itu secara internal ajaran Konfusius
memiliki kekuatan akan pewarisan nilai-nilai, karena salah satu nilai yang cukup menonjol,
yaitu nilai patuh kepada orang tua dan pengabdian kepada keluarga memungkinkan segala
sesuatu, merupakan media internalisasi yang ampuh bagi penamaan nilai secara kuat kepada
generasi berikut (Vasanty dalam Hariyono, 2006).
C. KARYAWAN ETNIS TIONGHOA
Orang turunan Tionghoa atau yang lebih dikenal dengan etnis Cina merupakan orang
pendatang ke Indonesia pada abad ke -16. pada waktu itu etnis Tionghoa yang datang
kebanyakan pria, karena transportasi masih sukar dan akibatnya banyak etnis Tionghoa yang
menikah dengan perempuan Indonesia yang lebih dikenal dengan pribumi.
Pada zaman dahulu golongan etnis Tionghoa peranakan lebih berintegrasi dengan
orang Jawa. Pada umumnya mereka tidak menggunakan bahasa Cina lagi dan mereka
mengambil adapt dan kebudayaan Jawa. Akan tetapi pada abad 20 terjadilah gerakan
nasionalisme di Negara Cina yang mempengaruhi kaun Tionghoa di perantauan. Banayak
orang Cina yang dikirim ke Jawa untuk memberi rangsangan pada orang Tionghoa di Jawa
untuk berorientasi kepada Negara leluhurnya (Vasanty dalam Martaniah, 1998).
Allers (Martaniah, 1998) mengatakan bahwa orang-orang Tionghoa ini suka bekerja,
berani berspekulasi, penuh inisiatif dan materialistik. Golongan keturunan etnis Tionghoa ini
dikagumi akan keuletan maupun kerajinannya. Selanjutnya beliau juga mengatakan bahwa
sifat orang Tionghoa yang kaya dan orang Tionghoa yang miskin berbeda. Orang Tionghoa
yang miskin cenderung memiliki sifat submisif, hati-hati, rasional, hemat, realistis, rajin dan
bersungguh-sungguh. Sedangkan yang kaya lebih cenderung memiliki sifat yang suka dipuji,
tidak simpatik, terlalu bebas, impulsif, boros dan tidak hati-hati.
Seiring dengan perkembangan zman bahwa di tanah air masih tetap terlihat banyak.
Sekolah-sekolah yang mayoritas pelajarnya keturunan Tionghoa dan juga beberapa
perusahaan didominasi etnis Tionghoa dan tentunya kebudayaan yang mereka anut serta
nilai-nilainya masih kuat. Pada umumnya etnis Tionghoa berpegang teguh pada kebudayaan
negri leluhurnya, sangat sukar berhenti sebagai orang Tionghoa (Mitchison dalam Martaniah,
1998). Hubungan kekeluargaan orang Tionghoa begitu erat sehingga sukar bagi mereka untuk
melepaskan diri dari kebudayaan dan nilai-nilai keluarganya.
Disisi lain, Amy Chua (Hariyono, 2006) menyebutkan bila dalam suatu Negara
demokrasi kelompok etnis minoritas menguasai pasar, bukan tidak mungkin suatu saat
memiliki potensi melahirkan percikan api kerusuhan rasial. Dalam persoalan etnis Tionghoa
di Indonesia, persoalan sosio-kultural dan persoalan ekonomi muncul seperti sekeping mata
uang dengan dua sisinya. Secara sederhana dapat dikatakan, perilaku manusia Tionghoa
perantauan umumnya berorientasi pada aktivitas ekonomi. Tetapi aktivitas ekonomi etnis
Tionghoa dilakukan dalam referensi sosil-kultural (dan politik)nya.
Dan ketika Deng Xiaoping membuat slogan “reformasi dan membuka diri” membuat
masyarakat Tionghoa bersemangat dan memasuki era globalisasi dengan cepat (Suryadinata
dalam Wibowo, 2000).
Atas dasar uraian-uraian dan pendapat-pendapat tersebut bahwa karyawan orang-
orang etnis Tionghoa atau Cina yang tinggal di Negara Indonesia masih tetap memegang
teguh kebudayaan maupun nilai-nilai Negara asalnya yang memberikan mereka cara hidup
dalam kesehariannya untuk menuju sukses dan pada umumnya berorientasi pada aktivitas
ekonomi.
E. PERBEDAAN MOTIVASI BERPRESTASI PADA KARYAWAN ETNIS BATAK
DAN ETNIS TIONGHOA
Dalam masyarakat Indonesia etnis Tionghoa dikenal sebagai pedagang dan
wiraswasta yang berhasil. Menurut McClelland (Martaniah, 1984) kewiraswastaan ini
merupakan ciri motif berprestasi yang tinggi.
Motif berprestasi yang lebih tinggi pada etnis Tionghoa ini disebabkan oleh tiga hal,
yaitu : Pertama, akar budaya Tionghoa yang memiliki orientasi pada materi dan kehormatan
(keluarga). Kedua, predikat negatif yang sempat terpatri pada orang Tionghoa yang sempat
menjadi stereotip pada masa orde baru, hal ini oleh sebagian orang Tionghoa merupakan
cambuk untuk menunjukkan prestasi (kerja) yang lebih baik sebagai bukti bahwa etnis
Tionghoa tidak seburuk yang dikatakan orang. Ketiga, posisinya sebagai kelompok minoritas
ikut mempengaruhi munculnya motif berprestasi. Akibat mereka mencoba menonjolkan
identitas dirinya dengan menunjukkan dan mengerahkan segala kemampuannya, sehingga
muncullah motif berprestasi yang lebih tinggi pada etnis minoritas yang pada akhirnya
menunjukkan menunjukkan tingkat ekonomi yang berbeda (Hariyono, 2006).
Crawford (Martaniah, 1998) orang-orang turunan Tionghoa ini suka bekerja,
berspekulasi, penuh inisiatif dan maternalistik. Selain itu mereka juga dikagumi oleh keuletan
dan kegigihan mereka dalam bekerja.
Hidayat (Martaniah, 1998) berpendapat bahwa ajaran Kong Hu Cu yang banyak
dianut oleh etnis Tionghoa, menyatakan bahwa tiap-tiap individu harus mengembangkan
kecakapan dan keterampilan semaksimal mungkin sesuai dengan status sosialnya.
Selanjutnya Hidayat mengatakan bahwa etnis Tionghoa sejak dulu memberikan keyakinan
bahwa mereka adalah pusat pemerintahan dunia, maka dimanapun mereka harus melebihi
tingkat hidup kaum pribumi, akibatnya mereka bekerja keras dan bertekun, sabar serta hemat
supaya tingkat kehidupannya menonjol.
Selanjutnya etnis Batak yang menempuh kebudayaan menurut kepribadiannya sendiri
dan adanya perubahan zaman tidak mempengaruhi kepribadian itu karena orang-orang Batak
dikota pun tetap berpegang teguh kepada filsafat leluhur (Napitupulu dalam Kartika, 2004).
Secara kepribadian orang Batak memiliki sikap dan pembawaan yang agak menonjol dan
terkadang dominan dalam berargumentasi dan cenderung memaksakan kehendak dan ingin
menang sendiri dalam tingkah laku seolah-olah menunjukkan sifat dan ciri khas. Terdorong
oleh keadaan itu menimbulkan sifat yang superioritas selalu tampak, apalagi berhubungan
dengan orang lain.
Sejajar dengan pengaruh Kristen pada pertengahan abad ke-19 yang lalu masuklah
sistem pendidikan sekolah yang membuka kebudayaan Batak untuk pengaruh dari luar
dengan kecepatan yang amat besar. Salah satu kekuatan dari orang Batak sebagai suatu sub
suku bangsa adalah bahwa mereka itu memiliki suatu organisasi berdasarkan agama yang
kuat ialah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Organisasi ini mempersatukan semua
orang Batak yang beragama Kristen, dapat melakukan penyebarluasan terhadap adat istiadat
Batak, dapat menghilangkan unsur-unsur didalamnya yang kolot dan menghambat kemajuan
serta dapat mendorong timbulnya suatu sikap mental yang cocok untuk pembangunan
(Koentjaraningrat, 2007).
Selanjutnya Koentjaraningrat (2007) mengatakan bahwa konsep dasar kebudayaan
Batak adalah Dalihan Na Tolu yang dihayati sebagai sistem kognitif yang memberikan
pedoman bagi orientasi setiap orang Batak yang menentukan persepsi dan definisi terhadap
realitas. Dari sudut pendekatan kebudayaan, Dalihan Na Tolu dapat menjadi potensi yang
didayagunakan untuk mengetahui, memahami dan juga mengambil sikap terhadap apa yang
dipahami dan diketahuinya. Kajian mendalam membuktikan bahwa Dalihan Na Tolu tidak
terlepas dari konsep religi Batak tua, yang didasarkan pada prinsip tritunggal atau sitolu sada
ihot (konsep tiga dalam satu) yang mencakup kehidupan spiritual, sosial, moral dan material.
Dalihan Nan Tolu tidak hanya dijumpai ditengah masyarakat Batak Toba, tetapi juga
ditengah masyarakat Batak lainnya (P.L. Situmeang, 2007)
Dari paparan diatas, pada dasarnya terlihat kesamaan antara etnis Tionghoa dan Etnis
Batak. Namun terdapat faktor –faktor seperti dilema minoritas pada masyarakat Tionghoa
(Suryadinata, 1984) yang memungkinkan terjadinya perbedaan kesenjangan motif berprestasi
dengan etnis Tionghoa. Menurut Wilmoth (Martaniah, 1998) etnis Tionghoa dibandingkan
dengan warga pribumi lebih kompetitif, mempunyai usaha yang besar dan sangat
mengusahakan prestasi dan memiliki tingkat aspirasi yang tinggi. Selanjutnya hal ini terjadi
karena adanya perbedaan dalam pengasuhan anak. Pada kedua perbedaan tersebut, orangtua
turunan Tionghoa lebih banyak meminta kepada anaknya untuk berusaha mencapai prestasi
dan sukses, sedangkan orangtua pribumi lebih longgar, mereka tidak menekankan
permintaan-permintaan kepada anaknya. Atas dasar penemuan itu Wilmoth (Martaniah,1998)
berpendapat bahwa etnis Tionghoa memiliki need achievement yang tinggi.
Didalam kenyataannya dari hasil wawancara dengan para karyawan Citi Financial
terdapat kesenjangan motivasi berprestasi antara karyawan etnis Batak dan karyawan etnis
Tionghoa, sedangkan dari paparan diatas berdasarkan pendapat para ahli dan temuan-temuan
dalam penelitian dapat dikatakan bahwa need of achievement antara etnis Batak dan etnis
Tionghoa seharusnya tidak memiliki perbedaan. Berkaitan dengan konteks ini maka peneliti
tertarik untuk membuktikan tentang sejauh mana derajat perbedaan achievement karyawan di
Citi Fianancial tersebut dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi perbedaannya.
F. HIPOTESIS
Berdasarkan uraian teoritis yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas, maka
hipotesa yang diajukan pada penelitian ini adalah “Tidak Ada Perbedaan Motivasi
Berprestasi Pada Karyawan Etnis Batak Dengan Karyawan Etnis Tionghoa” .