bab ii landasan teori, kerangka berfikir dan …
TRANSCRIPT
II-1
BAB II
LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN
PENGAJUAN HIPOTESIS
2.1 Pajak
2.1.1 Pengertian pajak
Berdasarkan Undang-undang nomor 28 tahun 2007 tentang Tata
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pasal 1, ayat 1, menyatakan bahwa:
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Menurut Rochmat Soemitro dalam buku Mardiasmo (2011:1), menyatakan
bahwa:
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Muzammil (2016:2), menyatakan bahwa:
“Pajak adalah sejumlah uang yang wajib dibayarkan seorang warga Negara kepada pemerintahnya. Kontribusi ini bersifat memaksa dan pembayar pajak tidak akan mendapatkan imbalan secara langsung”.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
pajak adalah iuran wajib masyarakat terhadap Negara yang pembayarannya dapat
dipaksakan tanpa mendapatkan imbalan secara langsung yang digunakan untuk
membiayai keperluan Negara untuk menyelengarakan pemerintahan demi
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
II-2
2.1.2 Fungsi pajak
Fungsi pajak menurut Abuyamin (2016:35), yaitu:
1. Fungsi Budgetair
Fungsi budgetair dari pajak adalah fungsi untuk mengisi kas Negara
yang merupakan salah satu sumber yang utama bagi penerimaan
anggaran Negara. (di Indonesia salah satu sumber yang utama bagi
APBN/APBD)
2. Fungsi Regulerend (Fungsi Mengatur)
Fungsi Regulerend adalah fungsi mengatur di bidang sosial dan
perekonomian pada umumnya dalam rangka mencapai tujuan tertentu
yang diharapkan oleh Negara/pemerintah. Misalnya dalam rangka
meningkatkan daya saing produksi dalam negeri.
2.1.3 Syarat-syarat pemungutan pajak
Syarat-syarat pemungutan pajak dalam buku Mardiasmo (2011:2) yaitu:
1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat keadilan)
Pemungutan pajak yang dikenakan secara adil dan melihat kemampuan
Wajib Pajak dalam membayar pajak.
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis)
Pemungutan pajak yang diatur dalam pasal 23 ayat 2 UUD 1945 untuk
memberikan jaminan hukum yang adil baik bagi negara maupun
Warga Negara Indonesia.
3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)
Pemungutan pajak harus menjaga keseimbangan kehidupan
perekonomian dan tidak menganggu kehidupan ekonomi dari Wajib
Pajak.
4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansial)
Pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga biaya pemungutan
pajak tidak terlalu besar.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Pemungutan pajak dilakukan secara sederhana yang berguna bagi
masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
II-3
2.1.4 Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Abuyamin (2016:35) Sistem pemungutan pajak dapat dibagi
menjadi:
1. Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang berdasarkan UU
pemerintah (fiskus) diberi wewenang untuk menentukan besarnya
pajak yang terutang.
Ciri official Assesment System:
a. Wewenanng untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada
pada fiskus
b. Wajib Pajak bersifat menunggu (pasif)
c. Utang pajak yang harus dibayar oleh WP timbul setelah
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh fiskus.
2. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada wajib pajak yang berdasarkan UU memberikan kepercayaan
kepada WP untuk melaksanakan hak dan kewajibannya di bidang
perpajakan.
Ciri Self Assesment System:
a. WP menghitung dan memperhitungkan sendiri oleh WP, pajak
yang harus dibayar/pajak yang terutang
b. WP membayar/menyetor sendiri pajak yang harus dibayar/pajak
yang terutang ke Bank/Kantor Pos
c. WP melaporkan sendiri pajak yang harus dibayar/pajak yang
terutang
d. Pemerintah (fiskus) mengawasi pelaksanaan hak dan kewajiban
WP di bidang perpajakan
3. With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang berdasarkan UU memberi
kepercayaan/wewenang kepada pihak ketiga (bukan pemerintah dan
bukan WP yang bersangkutan) untuk memotong atau memungut pajak
yang wajib dipotong/dipungut dari WP yang wajib membayarnya.
II-4
Pihak ketiga wajib menyetorkan hasil pemotongan/pemungutan pajak
tersebut.
Ciri With Holding System:
a. Pemotongan/pemungutan pajak dilakukan oleh pihak ketiga (bukan
pemerintah/bukan fiskus)
b. Pemotong/pemungut pajak wajib menyetorkan hasil
pemotongan/pemungutan pajak tersebut
c. Pemerintah (fiskus) mengawasi pelaksanaan
pemotongan/pemungutan dan penyetoran oleh pihak ketiga
2.1.5 Asas Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo (2011:7) asas pemungutan pajak terdiri dari:
1. Asas Domisili (asas tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak
yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal
dari dalam maupun luar negeri. Asas ini berlaku untuk wajib pajak
dalam negeri.
2. Asas Sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di
wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
3. Asas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.
2.1.6 Penggolongan Pajak
Menurut Abuyamin (2016:69), penggolongan pajak dibagi menjadi 3,
yaitu:
1. Berdasarkan Sifatnya
a. Pajak Bersifat Subjektif. Pajak yang bersifat subjektif adalah pajak
yang berdasarkan atau berpangkal pada keadaan diri subjek
pajaknya (wajib pajaknya). Dalam hal ini jumlah pajak yang
terutang dipengaruhi oleh keadaan diri subjek pajaknya. Contoh:
PPh.
II-5
b. Pajak Bersifat Objektif. Pajak yang bersifat objektif adalah pajak
yang berdasarkan atau berpangkal pada objek pajaknya yang
berupa benda, atau keadaan, atau peristiwa, dan setelah ada
objeknya baru ditentukan subjek pajaknya. Contoh: PPN & PPn
BM.
2. Berdasarkan Cara Pemungutan
a. Pajak Langsung (Direct). Dalam arti administratif: mempunyai
kohir (SKP) dan pajak yang dipungut secara periodik (berulang-
ulang; berkala). Dalam arti ekonomis: harus dipikul sendiri oleh
WP dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang
lain (afwentelen). Contoh: Pajak Penghasilan.
b. Pajak Tidak Langsung (Indirect). Dalam arti administratif: tidak
punya kohir. Tidak dikenakan berulang-ulang. Pajak yang dipungut
karena perbuatan atau peristiwa tertentu dan dalam arti ekonomis:
pada akhirnya pembayar pajak dapat membebankan atau
melimpahkan beban pajaknya kepada orang lain. Contoh: Pajak
Pertambahan Nilai.
3. Menurut Lembaga Pemungutannya
a. Pajak Pusat/Pajak Negara. Pajak yang dipungut dan dikelola oleh
pemerintah pusat (Departemen Keuangan, Direktorat Jenderal
Pajak) dan hasil penerimaannya sebagai sumber utama bagi APBN
yang digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, baik
biaya rutin maupun biaya penggunaan. Contoh: PPh, PPN/PPn
BM, BM.
b. Pajak Daerah. Pajak yang dipungut dan dikelola oleh pemerintah
daerah (Propinsi/Kabupaten/Kota) dan hasil penerimaannya
sebagai sumber utama APBD digunakan untuk membiayai rumah
tangga daerah baik biaya rutin maupun biaya pembangunan.
Contoh: Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran,
Pajak Hiburan
II-6
2.2 Upaya Peningkatan Pajak Daerah
Menurut (Mardiasmo, 2000; 10) Upaya meningkatkan kemampuan
penerimaan daerah, khususnya penerimaan dalam pendapatan asli daerah harus
dilaksanankan secara terus menerus oleh semua pihak dalam pemerintah daerah,
agar pendapatan asli daerah tersebut terus meningkat. Pemerintah daerah
diharapkan dapat meningkatkan PAD untuk mengurangi ketergantungan daerah
terhadap pembiayaan dari pusat, sehingga meningkatkan otonomi dan keluasan
daerah. Langkah penting yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah untuk
meningkatkan penerimaan daerah adalah menghitung potensi PAD yang riil
dimiliki daerah. Mengoptimalisasi PAD akan berimplikasi pada peningkatan
pungutan pajak daerah dan retribusi daerah, karena penyumbang terbesar PAD
adalah dua komponen tersebut.
2.2.1 Ekstensifikasi Pajak
Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ.9/2001,
disebutkan bahwa:
“Ekstensifikasi Wajib Pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP)”.
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-35/PJ/2013,
disebutkan bahwa:
“Ekstensifikasi adalah upaya proaktif yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak”.
Halim (2014:205), menyatakan bahwa:
“Kebijakan Ekstensifikasi ini dilakukan dalam upaya mencari/menemukan objek atau wajib pajak dan retribusi daerah baru ataupun memperluas ruang lingkup pajak yang ada. Adanya kegiatan ekstensifikasi ini dimaksudkan untuk memberikan hasil berupa adanya penambahan jumlah wajib pajak yang terdaftar”.
Pemerintah kabupaten/kota berdasarkan Peraturan Daerah baru yang ada,
dimungkinkan untuk menambah jenis pajak lain diluar yang diatur dalam Undang-
undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Upaya
II-7
ekstensifikasi atas sumber-sumber penerimaan pajak daerah harus didasarkan
kepada kriteria-kriteria Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000, dengan kriteria
sebagai berikut:
1. Bersifat pajak dan bukan retribusi
2. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya
melayani masyarakat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang
bersangkutan.
3. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan denga kepentingan
umum
4. Objek pajak bukan merupakan objek pajak propinsi dan/atau objek pajak
pusat
5. Potensinnya memadai
6. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif
7. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat
8. Menjaga kelestarian lingkungan
Ekstesifikasi pajak merupakan kegiatan yang berfokus pada peningkatan
kesadaran wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dan demi
meningkatnya jumlah wajib pajak terdaftar serta perluasan objek pajak. Hal ini
sesuai dengan strategi ekstensifikasi yang dilakukan oleh Badan Pengelolaan
Pendapatan Daerah Kota Bandung guna mengoptimalisasi pajak daerah, antara
lain:
1. Penyesuaian tarif pajak daerah disesuaikan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta dengan mempertimbangkan perkembangan
kondisi sosial ekonomi masyarakat,
2. Menggali potensi pajak daerah baru, melalui persiapan perlimpahan pajak
pusat dan pajak propinsi.
Jadi ekstensifikasi pajak merupakan salah satu cara atau upaya yang
dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan penerimaan pajak. Ekstensifikasi
dilakukan guna menambah jumlah wajib pajak dengan mendaftarkan para
masyarakat yang memiliki objek pajak namun belum terdaftar sebagai wajib pajak
II-8
dan belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dengan menggunakan
strategi ekstensifikasi yang tarif pajaknya disesuaikan dengan peraturan yang
berlaku.
2.2.2 Intensifikasi Pajak
Siregar (2004:362), menyatakan bahwa:
“Intensifikasi pemungutan adalah meningkatakan penerimaan dengan cara mengintensifikasi kegiatan pemungutan terhadap jenis pajak yang telah ada. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan mengadakan pendataan objek dan subjek pajak sehingga potensi yang ada dapat direalisasikan secara optimal”.
Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ.9/2001,
disebutkan bahwa:
“Intensifikasi pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan pajak terhadap objek serta subjek pajak yang telah tercatat atau terdaftar dalam administrasi DJP, dan dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak”.
Intensifikasi pajak yang merupakan salah satu upaya pemerintah dalam
meningkatkan penerimaan pajak dilakukan untuk menggali potensi pajak dari
objek pajak serta subjek pajak yang sudah terdaftar secara lebih optimal demi
meningkatkan penerimaan pajak.
Menurut Kustiawan (2010: 40) Upaya intensifikasi akan mencakup aspek
kelembagaan, aspek ketatalaksanaan, dan aspek personalianya yang
pelaksanaannya melalui kegiatan sebagai berikut:
1. Menyesuaikan/memperbaiki aspek kelembagaan/ organisasi pengelola
pendapatan asli daerah (dinas pendapatan daerah),berikut
perangakatnya sesuai dengan kebutuhan yang terus berkembang, yaitu
dengan cara menerapkan secara optimal sistem dan prosedur
administrasi pajak daerah, retribusi daerah dan penerimaan pendapatan
lain-lain yang diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999.
2. Memberikan dampak ke arah peningkatan pendaptan asli daerah,
karena sistem ini dapat mendorong tercapinya:
II-9
a. Peningkatan jumlah wajib pajak dan wajib retribusi daerah.
b. Peningkatan cara-cara penetapan pajak dan retribusi.
c. Peningkatan pemungutan pajak dan retribsui dalam jumlah yang
benar dan tepat pada waktunya.
d. Peningkatkan sistem pembukuan, sehingga memudahkan dalam hal
pencairan data tunggakan pajak maupun retribusi yang ada pada
akhirnya dapat mempermudah penagihannya
3. Memperbaiki/menyesuaikan aspek keterlaksanaan, naik administrasi
maupun operasional meliputi:
a. Penyesuaian/penyempurnaan administrasi pungutan.
b. Penyusaian tarif.
c. Penyesuaian sistem pelaksanaan pungutan
4. Peningkatan pengawasan dan pengendalian yang meliputi:
a. Pengawasan dan pengendalian yuridis
b. Pengawasan dan pengendalian teknis
c. Pengawasan dan pengendalian penatausahaan
5. Peningkatan sumber daya manusia mutu pengelola PAD dengan cara
meningkatkan mutu sumber daya manusia/aparatur pengelola
pendapatan daerah dapat dilakukan dengan mengikutsertakan
aparatnya dalam Kursus Keuangan Daerah (KKD), juga program-
program pendidikan dan latihan yang berkaitan dengan pengelolaaan
keuangan daerah.
6. Meningkatkan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat untuk
menumbuhkan kesadaran masyarakat membayar pajak dan retribusi.
Dalam jangka pendek kegiatan yang paling mudah dan dapat
dilakukan adalah melakukan intensifikasi terhadap objek atau sumber
pendapatan daerah yang sudah ada, seperti melakukan intensifikasi
terhadap pajak daerah dan retribusi daerah. Dengan melakukan
efektivitas dan efesiensi sumber atau objek pandapatan daerah, maka
akan meningktakan produktivitas PAD tanpa harus melakukan
perluasan sumber atau objek pendapatan daerah yang baru yang
memerlukan studi, proses dan waktu yang panjang.
II-10
Menurut Sidik dalam Soesastro (2005:596), secara umum, upaya yang
perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan
daerah melalui optimalisasi intensifikasi pemungutan pajak daerah dan retribusi
daerah, antara lain dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Memperluas basis penerimaan
Tindakan yang dilakukan untuk memperluas basis penerimaan yang
dapat dipungut oleh daerah, yang dalam perhitungan ekonomi
dianggap potensial, antara lain yaitu mengidentifikasi pembayar pajak
baru/potensial dan jumlah pembayar pajak, memperbaiki basis data
objek, memperbaiki penilaian, menghitung kapasitas penerimaan dari
setiap jenis pungutan.
2. Memperkuat proses pemungutan
Upaya yang dilakukan dalam memperkuat proses pemungutan, yaitu
antara lain mempercepat penyusunan Perda, mengubah tarif,
khususnya tarif retribusi dan peningkatan SDM.
3. Meningkatkan pengawasan
Hal ini dapat ditingkatkan yaitu antara lain dengan melakukan
pemeriksaan secara dadakan dan berkala, memperbaiki proses
pengawasan, menerapkan sanksi terhadap penunggak pajak dan sanksi
terhadap pihak fiskus, serta meningkatkan pembayaran pajak dan
pelayanan yang diberikan oleh daerah.
4. Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan
Tindakan yang dilakukan oleh daerah yaitu antara lain memperbaiki
prosedur administrasi pajak melalui penyederhanaan admnistrasi
pajak, meningkatkan efisiensi pemungutan dari setiap jenis
pemungutan.
5. Meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih
baik. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan
instansi terkait di daerah.
II-11
Intensifikasi pajak merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan
pendapatan pajak daerah dengan memfokuskan pada kegiatan optimalisasi
penggalian pendapatan atau penerimaan pajak terhadap objek serta subjek pajak
yang telah tercatat dan terdaftar sebagai Wajib Pajak. Hal ini sesuai dengan
strategi intensifikasi yang dilakukan oleh Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung
guna mengoptimalisasi pajak daerah, antara lain:
1. Penyederhanaan proses administrasi pemungutan dan penyempurnaan
sistem pelayanan pajak daerah,
2. Optimalisasi pelaksanaan landasan hukum yang berkaitan dengan pajak
daerah,
3. Sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai ketentuan pajak
daerah,
4. Peningkatan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pemungutan
penerimaan pajak daerah,
5. Peningkatan koordinasi dan kerja sama antar unit satuan kerja terkait agar
penerimaan yang bersumber dari pajak daerah dapat tercapai secara
optimal,
6. Pengembangan sistem informasi online pajak daerah.
2.3 Pajak Daerah
2.3.1 Pengertian Pajak Daerah
Pengertian pajak daerah menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam pasal 1
angka 10 Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dan tidak akan mendapatkan imbalan secara langsung serta digunakan untuk
keperluan Daerah untuk kemakmuran rakyat.
II-12
2.3.2 Dasar Hukum Pajak Daerah
Dasar hukum pemungutan pajak daerah adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2000 tentang
perubahan atas undang-undang nomor 18 tahun 1997 tentan pajak
daerah dan retribusi daerah
2. Peraturan pemerintah nomor 65 tahun 2001 tentang pajak daerah
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum
Dan Tata Cara Perpajakan
4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2009 tentang
pajak daerah dan retribusi daerah
2.3.3 Jenis Pajak Daerah
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 28 tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis pajak daerah dibagi menjadi
dua, yaitu:
1. Jenis Pajak Provinsi
a. Pajak kendaraan bermotor,
b. Bea balik nama kendaraan bermotor,
c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor,
d. Pajak air permukaan,
e. Pajak rokok.
2. Jenis pajak kabupaten/kota
a. Pajak hotel,
b. Pajak restoran,
c. Pajak hiburan,
d. Pajak reklame,
e. Pajak penerangan jalan,
f. Pajak mineral bukan logam dan batuan,
g. Pajak parkir,
h. Pajak air tanah,
i. Pajak sarang burung walet,
j. Pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan,
II-13
k. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi penerimaan pajak daerah,
salah satunya adalah jumlah penduduk. Jumlah penduduk adalah sejumlah
orang yang sah yang mendiami suatu daerah atau Negara serta mentaati
ketentuan-ketentuan dari daerah atau Negara tersebut (Simanjuntak (2001)
dalam Makdalena dkk.).
2.4 Pajak Hiburan
2.4.1 Pengertian Pajak Hiburan
Pajak Hiburan merupakan salah satu bagian dari Pajak Daerah. Dalam
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah disebutkan bahwa Pajak Hiburan adalah pajak atas segala
penyelenggaraan hiburan, dimana hiburan adalah semua jenis hiburan baik
tontonan, pertunjukan, permainan, ataupun keramaian yang dinikmati dengan
adanya pungutan biaya.
2.4.2 Objek Pajak dan Subjek Pajak
Menurut Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 8 Tahun 2010, pasal 3
tentang Pajak Hiburan, Objek Pajak adalah jasa penyelenggaraan hiburan dengan
dipungut bayaran. Yang di maksud dengan penyelenggaraan hiburan adalah:
1. Tontonan film;
2. Pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
3. Kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya;
4. Pameran;
5. Diskotik, karaoke, klab malam, pub dan sejenisnya;
6. Sirkus, akrobat, dan sulap;
7. Permainan bilyar, golf, dan boling;
8. Pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan;
9. Panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness centre);
dan
10. Pertandingan olah raga.
Kemudian yang tidak termasuk sebagai Objek pajak adalah:
II-14
1. Penyelenggaraan hiburan kesenian rakyat/tradisional Indonesia, music dan
tari tradisional Indonesia; dan
2. Penyelenggaraan hiburan dalam pernikahan, khitanan, upacara keagamaan
dan di lingkungan pendidikan.
Yang menjadi Subjek pajak dalam Pajak Hiburan adalah orang pribadi
atau badan yang menikmati hiburan yaitu para konsumen orang pribadi ataupun
badan penikmat hiburan yang beperan sebagai penanggung atau harus membayar
biaya hiburan yang telah dinikmati. Dan wajib pajak adalah orang pribadi atau
badan yang menyelenggarakan hiburan yaitu para penyelenggara hiburan yang
berwenang sebagai pemungut. Jadi subjek pajak dan wajb panjang merupakan dua
hal yang berbeda.
2.4.3 Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak
Menurut Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pajak Hiburan dalam pasal 6, Dasar pengenaan Pajak adalah jumlah uang yang
diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburan. Jumlah uang
yang seharusnya itu termasuk juga potongan harga dan tiket cuma-cuma yang
diberikan kepada penerima jasa hiburan.
Tarif untuk pajak hiburan ditentukan dari jenis hiburan dan harganya,
yaitu:
1. Tontonan film:
a. HTM dengan harga diatas Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah)
dikenakan pajak sebesar 15% (lima belas persen);
b. HTM mulai harga Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sampai
dengan Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) dikenakan pajak
sebesar 10% (sepuluh persen); dan
c. HTM di bawah Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) dikenakan
pajak sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen);
2. Pagelaran kesenian, musik, tari modern dan/atau busana dikenakan
pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari HTM;
II-15
3. Binaraga dan sejenisnya dikenakan pajak sebesar 25% (dua puluh
lima persen) dari HTM;
4. Pameran dikenakan pajak sebesar 15% (lima belas persen) dari
HTM;
5. Diskotik, karaoke, klab malam, pub, dan sejenisnya dikenakan
pajak sebesar 35% (tigapuluh lima persen) dari jumlah
pembayaran;
6. Sirkus, akrobat, dan sulap dikenakan pajak sebesar 10% (sepuluh
persen) dari HTM;
7. Permainan bilyar dan boling dikenakan pajak sebesar 15% (lima
belas persen);
8. Pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan
dewasa dikenakan pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari
HTM;
9. Panti pijat, refleksi dan mandi uap/spa dan pusat kebugaran (fitness
centre) dikenakan pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen);
10. Pertandingan olah raga dikenakan pajak sebesar 15% (lima belas
persen) dari HTM;
11. Khusus untuk kontes kecantikan dikenakan pajak sebesar 35%
(tigapuluh lima persen) dari jumlah pembayaran/HTM;
12. Khusus untuk golf dikenakan pajak sebesar 30% (tigapuluh persen)
dari jumlah pembayaran; dan
13. Khusus untuk ketangkasan anak dikenakan pajak sebesar 10%
(sepuluh persen) dari jumlah pembayaran;
Besaran pokok pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
pajak dengan dasar pengenaan pajak.
2.4.4 Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Menurut Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pajak Hiburan dalam pasal 12, Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya
yaitu selama 1 (satu) bulan atau jangka waktu lain yang ditetapkan melalui
Peraturan Walikota. Dalam pasal 13 disebutkan bahwa pajak yang terutang adalah
II-16
pajak yang terjadi pada saat pembayaran atas hiburan atau pelayanan di tempat
penyelenggaraan hiburan.
2.4.5 Wilayah dan Tata Cara Pemungutan
Dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pajak Hiburan dalam pasal 20, Pajak yang terutang dipungut di daerah dan
pemungutan pajak tidak dapat diborongkan. Selanjutnya dalam pasal 21 sampai
pasal 28 membahas mengenai tata cara pemungutan Pajak Hiburan di Kota
Bandung, yaitu:
Tata cara pemungutan Pajak Hiburan:
1. Wajib Pajak memenuhi kewajiban pajak sendiri dalam menghitung,
memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang
terutang menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD).
2. Selanjutnya diterbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD), Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB), dan/atau Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT) untuk
Wajib Pajak oleh Walikota.
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah terutangnya pajak atau
berakhirnya masa pajak, Walikota dapat menerbitkan:
1. SKPDKB dalam hal:
a. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak
yang terutang tidak atau kurang dibayar. Jumlah kekurangan pajak
yang terutang dalam SKPDKB yang dimaksud dikenakan sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2% per bulan paling lama 24 bulan
dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak
sampai diterbitkannya SKPDKB;
b. Apabila SPTPD tidak disampaikan kepada Walikota dalam jangka
waktu tertentu setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada
waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran. Jumlah
kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB yang dimaksud
dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% per bulan
II-17
paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya masa pajak sampai diterbitkannya SKPDKB;
c. Apabila kewajiban mengisi SPTPD tidak terpenuhi, sehingga tidak
dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.
2. SKPDKBT apabila ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum
terungkap yang menyebabkan perubahan jumlah pajak yang terutang.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana
dimaksud dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan 100% dari
jumlah kekurangan pajak tersebut. Namun kenaikan tidak boleh dikenakan
apabila Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan
pemeriksaan;
3. SKPDN apabila jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah
kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Jumlah
pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dikenakan
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25% dari pokok pajak
ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% setiap bulan
dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka
waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak
Walikota dapat menerbitkan STPD apabila :
1. Pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
2. Dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai
akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
3. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD yang dimaksud
ditambah sanksi administrasi berupa bunga 2% setiap bulan untuk paling lama 15
bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak sampai
dengan diterbitkannya surat tagihan pajak.
STPD mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan SKPD. Tata cara
penerbitan STPD ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
II-18
2.5 Perumusan Model Penelitian
2.5.1 Penelitian Terdahulu
Tabel II.1 Tabel Penelitian Terdahulu
Nama
Penulis/Tahun
Judul
Penelitian Hasil Penelitian Perbedaan
Lusy Noor Arsy/ 2013
Pengaruh Penerimaan Pajak Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Bandung (Studi Kasus Pada Dinas Pendapatan Kota Bandung)
Penerimaan Pajak Hiburan mempunyai pengaruh atau kontribusi penerimaan Pajak Hiburan sebesar 6,747 atau 45,52% yang berarti bahwa penerimaan pajak hiburan berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan asli daerah Kota Bandung
Fokus penelitiannya berbeda, penelitian terdahulu fokus terhadap pengaruh penerimaan pajak secara keseluruhan terhadap PAD, sedangkan penelitian yang akan saya teliti berfokus pada pengaruh kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi pajak hiburan terhadap penerimaan pajak daerah
Tommy Supriyatna/ 2016
Pengaruh Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak Restoran Terhadap Penerimaan Pajak Daerah Kota Bandung
Secara parsial, Ekstensifikasi pajak restoran berpengaruh signifikan negatif terhadap penerimaan pajak daerah sebesar 54,8%. Intensifikasi pajak restoran berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak daerah, sebesar 86,5%. Secara simultan, ekstensifikasi dan intensifikasi pajak restoran berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak
Variabel X1 dan X2 pada penelitian terdahulu adalah kegiatan esktensifikasi dan intensifikasi pajak restoran, sedangkan pada penelitian yang akan saya teliti X1 dan X2 nya adalah kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi pajak hiburan, kemudian dalam penelitian sebelumnya data yang digunakan adalah data sekunder dan dalam dalam penelitian saya menggunakan data primer berupa
II-19
daerah sebesar 97,7% kuesioner.
2.5.2 Kerangka Pemikiran Konseptual
Pajak adalah iuran wajib masyarakat terhadap Negara yang
pembayarannya dapat dipaksakan tanpa mendapatkan imbalan secara langsung
yang digunakan untuk membiayai keperluan Negara untuk menyelengarakan
pemerintahan demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Pajak hiburan merupakan salah satu kontributor pendapatan pajak daerah
yang system pemungutannya adalah system self assessment dimana pemerintah
(fiskus) tidak tahu apa-apa/tidak tahu mengenai kegiatan usaha Wajib Pajak, tidak
tahu jumlah penghasilan Wajib pajak, tidak tahu mengenai jumlah pajak yang
terutang atas nama Wajib Pajak, pemerintah (fiskus) baru mengetahui jika Wajib
Pajak melaporkannya ke Pemerintah (fiskus). Pembayaran pajak hiburan dengan
system self assessment yaitu Wajib Pajak memenuhi kewajiban pajak sendiri
dalam menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak
yang terutang menggunakan SPTPD berdasarkan tarif yang telah ditentukan oleh
pemerintah dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2010.
Pajak bukanlah iuran sukarela, namun iuran wajib dan bersifat memaksa
yang harus di bayar oleh Wajib Pajak kepada negara, tapi pada kenyataannya
masih banyak Wajib Pajak yang lalai dalam menunaikan kewajibannya kepada
Negara. Masyarakat akan mencari-cari cara untuk membayar pajak seminim
mungkin atau bahkan tidak membayar pajak. Dalam literatur perpajakan dikenal
dua cara untuk meminimalkan pembayaran pajak (Mardiasmo, 2010:9):
1. Wajib Pajak selalu berusaha untuk membayar pajak yang terutang sekecil
mungkin, sepanjang hal itu dimungkinkan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan (tax avoidance)
2. Wajib Pajak cenderung untuk menyelundupkan pajak yaitu usaha
penghindaran pajak yang cenderung secara ilegal, sepanjang Wajib Pajak
tersebut mempunyai alasan yang meyakinkan bahwa akibat dari perbuatan
II-20
itu kemungkinan besar mereka tidak akan dihukum serta yakin pula bahwa
rekan-rekannya melakukan hal yang sama (tax evasion)
Kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak cukup
disayangkan, pasalnya hasil pendapatan pajak ditujukan untuk kegiatan
pemerintah demi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia walaupun memang
imbalannya tidak dapat dirasakan secara langsung. Maka untuk meningkatkan
penerimaan pajak, ada dua upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan
penerimaan pajak yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi pajak.
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE-06/PJ.9/2001
tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak dan Intensifikasi Pajak yaitu
dalam rangka meningkatkan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan mengoptimalkan
penerimaan pajak, dipandang perlu untuk menegaskan hal-hal yang berkaitan
dengan pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi Pajak.
Ekstensifikasi Wajib Pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan
penambahan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan objek pajak dalam
administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ekstensifikasi dilakukan untuk
menambah jumlah Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan usaha yang
memiliki objek pajak namun belum terdaftar sebagai Wajib Pajak demi
meningkatkan penerimaan pajak.
Intensifikasi pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan
pajak terhadap objek serta subjek pajak yang telah tercatat atau terdaftar dalam
administrasi DJP, dan dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak.
Intensifikasi dilakukan demi meningkatkan jumlah penerimaan pajak dengan
mengoptimalkan penerimaan pajak dari subjek pajak potensial yang sudah ada.
Ekstenfisikasi dan intensifikasi pajak merupakan salah satu upaya
pemerintah dalam meningkatkan penerimaan pajak daerah. Dimana ekstensifikasi
berfokus pada meningkatkan jumlah wajib pajak demi meningkatkan penerimaan
pajak, sedangkan ekstensifikasi berfokus dalam mengoptimalkan penerimaan
pajak dari pada subjek pajak potensial yang sudah ada.
II-21
Dari uraian diatas maka penulis membuat suatu skema kerangka pemikiran
yang terdapat pada Gambar II.1 dibawah ini:
Gambar II.1 Skema Kerangka Pemikiran
Ekstensifikasi Pajak Intensifikasi Pajak
Pajak Hiburan
Pajak Daerah
II-22
Dari uraian diatas maka penulis membuat kerangka berfikir yang terdapat
pada Gambar II-2 dibawah ini:
Gambar II.2 Kerangka Berfikir
Ekstensifikasi (X1)
Penambahan Jumlah Wajib
Pajak terdaftar
Perluasan Objek Pajak
Tarif
Surat Edaran Direktur Jendral Pajak
Nomor SE-06/PJ.9/2001
Intensifikasi (X2)
Optimalisasi penggalian penerimaan pajak
terhadap objek pajak dan subjek pajak
Pengawasan atas subjek dan objek pajak
yang ada
Landasan Hukum
Surat Edaran Direktur Jendral Pajak
Nomor SE-06/PJ.9/2001
Penerimaan Pajak Daerah (Y)
Realisasi Penerimaan Pajak daerah tahun
2011-2015
II-23
2.5.3 Hipotesis Penelitian
Menurut Sugiono (2015:64) Hipotesis merupakan jawaban sementara
terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah
dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Hipotesis dalam penelitian ini
adalah:
H0: Ekstensifikasi Pajak Hiburan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
Penerimaan Pajak Daerah Kota Bandung
H1: Ekstensifikasi Pajak Hiburan berpengaruh secara signifikan terhadap
Penerimaan Pajak Daerah Kota Bandung
H0: Intensifikasi Pajak Hiburan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
Penerimaan Pajak Daerah Kota Bandung
H1: Intensifikasi Pajak Hiburan berpengaruh secara signifikan terhadap
Penerimaan Pajak Daerah Kota Bandung
H0: Ekstensifikasi dan Intensifikasi Hiburan Pajak tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap Penerimaan Pajak Daerah Kota Bandung
H1: Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak Hiburan berpengaruh secara signifikan
terhadap Penerimaan Pajak Daerah Kota Bandung