bab ii latar belakang penulisan kitab hay ibn yaqza

27
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 22 BAB II LATAR BELAKANG PENULISAN KITAB HAY IBN YAQZA<N A. Kontek Penulisan 1. Kondisi Politik Andalusia Sebelum penaklukan Islam menguasai Andalusia, pemerintahan yang berkuasa saat itu adalah raja Romawi sampai pada abad 5 M. Kemudian perkotaan mulai berkembang dibawah kerajaan tersebut. Kemudian orang Barbar meruntuhkan Andalusia dengan peperangan yang cukup sengit dengan negara Gotik, namun sebaliknya Gotik juga tetap berusaha untuk mempertahankan Andalusia dibawah pemerintahannya sampai pada abad ke 6 M. Dilihat dari sisi antropologis, terjadi pertukaran kebudayaan di Andalusia antara Gotik dengan Latin, dan mereka menjadikan bahasa Latin sebagai bahasa negara Andalusia. Diwaktu yang bersamaan Kristen menjadi agama resmi negara sebagai ganti setelah mereka menyembah berhala. Kondisi kerajaan dijalani dengan sistem monarki-absolut, sehingga terjadi pergolakan dimasyarakat dan bahkan kondisi kerajaan secara politik sudah tidak stabil ditambah lagi ruh kemiliteran yang berfungsi untuk menjaga keutuhan kerajaan sudah mulai hilang, sehingga kerajaan Gotik terpecah belah. 1 Dari kondisi yang kenegarannya tidak stabil secara politik tersebut, diwaktu yang bersamaan tentara Islam masuk ke tanah Andalusia untuk 1 Kamil Muhammad Muhammad Uwaidah, Ibnu Tufail; Failusu>f al-Isla>m fi> al-‘Ushu>r al-Wustha> (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah,1993), 11.

Upload: lytu

Post on 25-Apr-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

BAB II

LATAR BELAKANG PENULISAN KITAB HAY IBN YAQZA<N

A. Kontek Penulisan

1. Kondisi Politik Andalusia

Sebelum penaklukan Islam menguasai Andalusia, pemerintahan yang

berkuasa saat itu adalah raja Romawi sampai pada abad 5 M. Kemudian perkotaan

mulai berkembang dibawah kerajaan tersebut. Kemudian orang Barbar

meruntuhkan Andalusia dengan peperangan yang cukup sengit dengan negara

Gotik, namun sebaliknya Gotik juga tetap berusaha untuk mempertahankan

Andalusia dibawah pemerintahannya sampai pada abad ke 6 M.

Dilihat dari sisi antropologis, terjadi pertukaran kebudayaan di Andalusia

antara Gotik dengan Latin, dan mereka menjadikan bahasa Latin sebagai bahasa

negara Andalusia. Diwaktu yang bersamaan Kristen menjadi agama resmi negara

sebagai ganti setelah mereka menyembah berhala.

Kondisi kerajaan dijalani dengan sistem monarki-absolut, sehingga terjadi

pergolakan dimasyarakat dan bahkan kondisi kerajaan secara politik sudah tidak

stabil ditambah lagi ruh kemiliteran yang berfungsi untuk menjaga keutuhan

kerajaan sudah mulai hilang, sehingga kerajaan Gotik terpecah belah.1

Dari kondisi yang kenegarannya tidak stabil secara politik tersebut,

diwaktu yang bersamaan tentara Islam masuk ke tanah Andalusia untuk

1 Kamil Muhammad Muhammad Uwaidah, Ibnu Tufail; Failusu>f al-Isla>m fi> al-‘Ushu>r al-Wustha> (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah,1993), 11.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

menaklukan tanah tersebut. Dalam catatan yang ditulis oleh Philip K. Hitti

menyebutkan bahwa ekspansi pasukan muslim ke Semenanjung Iberia, gerbang

barat daya Eropa merupakan serangan terakhir dan paling dramatis dari seluruh

operasi militer penting yang dijalankan oleh orang-orang Arab. Serangan tersebut

menjadi sejarah yang sangat luar biasa dipuncak penyerbuan orang Arab ke

wilayah Afrika-Eropa.2

Melihat adanya konflik pada penguasa di kerajaan Andalusia Gotik Barat,

Musa Ibn Nusyair mengirim seorang budak yang dibebaskan dari Berber, Thariq

Ibn Ziyad, pada tahun 711 ke Andalusia dengan membawa pasukan 7.000. Thariq

mendarat dekat gunung batu besar yang dikemudian hari diabadikan dengan

sebutan Jabal Thariq (Gibraltar). Satu-satu persatu kekuasaan kerajaan Gotik

mulai direbut oleh Thariq dan pasukannya.3

Melihat pemerintahan Umawiyah yang berpusat di Damashqus masih

kokoh, maka kepemimpinan di Andalusia harus dibawah naungan Umawiyah

sampai datangnya Abdurrahman Ibn Mu’awiyah lari dari Syam karena tampuk

kekuasaan tersebut berpindah tangan pada keturunan Abbasiyah. Dan

Abdurrahman melanjutkan atau mendirikan kembali pemerintahan Umawiyah di

Barat.

Setelah berjalannya waktu, Andalusia mengalami krisis politik yang cukup

tajam, sehingga terpecah belah menjadi pemerintahan kecil yang dipimpin oleh

seorang penguasa tertentu atau raja kecil. Lebih jauh lagi, pemerintahan

2 Philip K. Hitti, History of The Arab, terj. R. Cecep Lukman hakim, (Jakarta: Serambi, 2002), 627.3 Ibid., 628.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

Umawiyah mulai mengalami kemerosotan. Melihat kondisi politik yang tidak

stabil, orang-orang Kristen mengambil kesempatan untuk memberlakukan sistem

pemerintahan dengan basis agama mereka.4

Di Kordova, keluarga Jahwariyah mengepalai sejenis republik yang pada

1068 diambil alih oleh Banu ‘Abbad di Seville. Sejak saat itu, dominasi di antara

negara-negara muslim terletak di Seville, yang kedudukannya selalu dihubungkan

dengan Kordova. Granada adalah pusat pemerintahan rezim Ziriyah, yang

namanya diambil dari nama pendirinya yang berkebangsaan Berber, Ibn Ziri

(1012-1019). Namun sangat disayangkan, rezim ini akhirnya dihancurkan oleh

kelompok Murabitun Maroko pada 1090. Sebagaimana rezim kerajaan kecil yang

berkembang di Spanyol, Murabitun akhirnya juga tumbang dan digantikan dengan

rezim baru yang disebut dengan penguasa Muwahidun.5

Kekuasaan Muwahidun menggantikan posisi pemerintahan Murabitun.

Dinasti Muwahidun pertama kali dipimpin oleh seorang Berber yang bernama

Muhammad Ibn Tumar (1078-1130) dari suku Masmuda. Yang mempunyai gelar

al-Mahdi. Pada tahun 1130, Ibn Tumar digantikan oleh sahabat sekaligus

jendralnya, Abd al-Mukmin Ibn Ali. Dari anak-anak Abd al-Mukmin memerintah

wilayah-wilayah sekitar Andalusia dan Maroko. Dan diantara anaknya yang

memerintah di Andalusia adalah Abu Said. Ia merekrut menteri-menteri untuk

mendampingi dirinya dengan tujuan menjalani tampuk kekuasaannya, antara lain:

Muhammad Ibn Sulaiman dan Sa’di Ibn Maimun As-Shanhaji. Selain dari itu, ia

4 Kamil Muhammad Muhammad Uwaidah, Ibnu Tufail; Failusu>f al-Isla>m fi> al-‘Ushu>r al-Wustha> (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah,1993), 12.5 Philip K. Hitti, History of The Arab, terj. R. Cecep Lukman hakim, (Jakarta: Serambi, 2002), 688.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

juga memilih penulis fikih yang bernama Abu al-Hakam Ibn Hirodus, ditambah

seorang filosof bernama Ibn Tufail.6

Ibn Tufail mulai terkenal saat umurnya menginjak lima puluh tahun.

Bukan hanya seorang pemikir atau filosof ia juga banyak menulis tentang

menejemen kantor dan diplomasi politik. Lebih khusus lagi, ketersohoran Ibn

Tufail ditambah lagi sebagai dokter di kerajaan.

Setelah Abd Said meninggal, Abu Ya’qub menggantikan ayahnya untuk

memimpin pemerintahan Muwahidun. Nama Ibn Tufail di kerajaan semakin

dekat. Abu Ya’qub dan Ibn Tufail mempunyai kecenderungan yang sama, yaitu

mengembangkan berbagai disiplin keilmuan.

2. Kondisi Masyarakat Andalusia

Ketika kita berbicara tentang Andalusia yang tergambarkan dalam benak

orang Arab yaitu semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal). Sebelum ditaklukan

bangsa Visigoths pada tahun 507 M. tanah ini ditinggali oleh bangsa Vandal

setelah kerajaan Romawi, bahkan wilayah kediaman mereka disebut sebagai

Vandalusia. Kata Andalusia itu sendiri diambil dari Wandal, sedangkan orang

Eropa menyebutnya dengan Vandal atau Vandalusia.7

Andalusia ketika masih dibawah kekuasan Romawi, daerah ini merupakan

wilayah bagian barat sampai pada abad ke-5 M. Kemudian datanglah bangsa

Ghothia Barat merebut daerah ini dan mengusir bangsa Vandalusia ke Afrika.

Mereka berasal dari India berpindah ke Eropa untuk mencari sebuah perlindungan

6 Muhammad Ridwan Dayyah, Ibn Tufail al-Andalu>si> (Siria: al-Hay’ah al-‘A<mmah, 2013), 24.7 George Zidan, Riwayah Ta>ri>kh Isla>m Fathu al-Andalus, (Da>r al-Hila>l, 1892),5.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

dan pencarian kehidupan. Selanjutnya mereka mendirikan kerajaan, namun pada

akhirnya kerajaan tersebut menjadi negara-negara kecil sebagai akibatnya terjadi

perpecahan dalam pemerintahan. Dan berakhir pada tahun 711 M./ 92 H. ditangan

Thariq Ibn Ziyad.

Faktor yang menyebabkan kerajaan ini runtuh disebabkan Ghotik Barat

bertindak sewenang-wenang bagi orang Yahudi. Kaum Yahudi kala itu dipaksa

untuk pindah ke agama Kristen. Dengan terpaksa sebagian dari mereka masuk

Kristen. Dekrit itu muncul dari kerajaan tepat pada tahun 587 M.

Ketika Witiza meninggal, perebutan kekuasaan mulai terjadi, antara anak

Witiza dan Roderick. Namun sayangnya, kekuasaan itu dimiliki oleh Roderick.

Sehingga anak dari Witiza itu bergabung dengan Yulian untuk melawan

Roderick, sayangnya usaha itu tidak berarti apa-apa pada kekuasaannya. Pada

akhirnya mereka berdua meminta bantuan Musa Ibn Nushair untuk mengalahkan

kekuasaan Roderick. Tumbanglah kekuasaannya ditangan gubernur Musa Ibn

Nushair.

Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa kekejaman yang dilakukan

oleh raja Roderick terhadap kaum Yahudi menjadikan mereka berniat untuk

meruntuhkan kekuasaan raja tiran itu, jalan satu-satunya yang bisa

mengalahkannya adalah meminta bantuan orang muslim, yang kemudian dipimpin

oleh Tariq Ibn Ziyad, untuk menjatuhkan Roderick.

Setelah terbentuknya kerajaan di Andalusia, masyarakat disana terdiri dari

empat bagian:

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

27

a. Orang-orang Arab. Mereka mempunyai perasaan yang cukup kuat

atas aristrokrasinya untuk mengalahkan eksistensi orang Spanyol dan Berber. Dan

bahasa mereka pun cukup menonjol dari pada Berber dan Spanyol.

b. Berber. Mereka adalah orang-orang yang bergabung dengan orang

Arab di dalam masyarakat badui dan Islam.

c. Spanyol. Orang-orang Spanyol bisa dikatakan sebagai penduduk

pribumi. Mereka memeluk agama Kristen-Katolik. Mereka memandang bahwa

orang Berber dan Arab hanya pendatang saja, orang Spanyol lebih berhak atas

negara mereka sendiri.

d. Orang Islam yang terlahir dari Berber dan Arab.8

Kekuatan orang Arab tidak hanya dalam segi militer untuk menaklukan

penduduk Andalusia melainkan mereka juga mampu menguasai bahasa dan

agama mereka, sehingga orang Andalusia banyak yang masuk dalam agama

Islam. Secara bersamaan mereka melupakan bahasa latin mereka dan

meninggalkan ajaran Kristen.

Penduduk Andalusia dikenal dengan kebersihannya. Mereka menjaga

kebersihan makanan, minuman dan juga pakaian. Hal yang menarik juga, mereka

tidak mengenakan pengikat kepala (Sorban) sebagaimana pada umumnya orang

Arab asli. Bahkan seorang mufti sering kali tidak menggenakan sorban.

Dari sisi semangat intelektualitas, menurut Ibn Hazm sebagaimana yang

dikutip oleh Ahmad Amin menyatakan bahwa penduduk Andalusia tidak pernah

8 Ahmad Amin, D}uha al-Isla>m, Vol: III (Beirut: Darul al-Kutub al-Ilmiah, 2007), 7-8.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

28

membatasi keilmuan kecuali ilmu kalam, alasannya agar supaya mengurangi

perdebatan dalam agama.9

3. Karya Ilmiah dan Sastra Andalusia

Salah satu sumbangan keilmuan di Andalusia mengembangkan kajian

bahasa dan sastra. Al-Qali yang hidup antara 901 hingga 989 merupakan salah

seorang profesor ternama dari Universitas Kordova. Ia dilahirkan di Armenia dan

mengenyam pendidikan di Baghdad. Ia mempunyai murid yang bernama

Muhammad Ibn al-Hasan al-Zubaydi (928-989). Karya utama Zubaydi adalah

daftar klasifikasi para ahli tata bahasa dan filologi yang bermunculan sepanjang

sejarah hingga masa ia hidup. Dalam bidang sastra, penulis yang terkenal adalah

Ibn ‘Abd Rabbihi (860-940) dari Kordova, penyair kesayangan ‘Abd al-Rahman

III. Pada puncaknya, periode raja-raja kondang, yang teramat istimewa seperti

Bani Abbadiyah, Murabitun, dan Muwahhidun, merupakan salah satu periode

yang terpenting. Benih-benih budaya yang disebar pada masa kekhalifahan

Umayah tidak menghasilkan buah yang sempurna hingga masa ketiga dinasti ini.10

Namun yang paling penting dari gerakan keilmuan di Andalusia selain

bahasa dan sastra muncul ilmu kedokteran dan astronomi untuk membantu para

khalifah, karena mereka membutuhkan keilmuan tersebut. Bahkan ada diantara

mereka masih beriman pada perbintangan. Dalam sejarah Yunani Kuno, kedua

disiplin keilmuan tersebut merupakan cabang dari filsafat itu sendiri, seperti

halnya ilmu tentang alam semesta dan ketuhanan. Untuk mempelajari ilmu

9 Ibid., 12-14.10 Philip K. Hitti, History of The Arab, terj. R. Cecep Lukman hakim (Jakarta: Serambi, 2002), 708-710.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

29

kedokteran tetap membutuhkan pada pengetahuan tentang karakteristik tumbuhan

karena tidak sedikit obat-obatan tradisional diambil dari tanaman. Saat dokter

menganalisa obat-obatan dan sebuah penyakit, maka ia juga harus mempelajari

ilmu logika untuk mendapatkan kongklusi dan hasil observasi yang benar dalam

mengobati penyakit.

Daya tarik para ilmuwan Andalusia untuk mempelajari ilmu kedokteran

telah tertanam semenjak ekspansi pertama kali Islam oleh Abdurrahman Ibn

Mu’awiyah selaku pendiri pemerintahan Ummayah di Andalusia mempunyai

perhatian cukup tinggi pada ilmu kedokteran.

Kemajuan ilmu kedokteran terjadi pada masa al-Amir Muhammad.

Bersamaan dengan itu, tidak didapatkan karya tentang ilmu kedokteran dan ilmu

hitung sampai pada akhirnya kepemimpinan diganti oleh Abdurrahman an-Nashir

karya ilmu-ilmu tersebut dibawa dari belahan timur kawasan Islam. 11

Lebih jauh, ketika seorang menyibukan diri dengan ilmu kedokteran, ia

akan dipertemukan dengan beberapa pemikir Yunani kuno, seperti Galianos, Plato

dan Aristoteles. Kalau melihat pada deretan filosof Andalusia yang pertama kali

mereka adalah dokter, seperti al-Kurmani, Abu Jakfar Ahmad ibn Khamis,

Hamdin ibn Aban.

Aktivitas berfilsafat di Andalusia mempunyai dua karakteristik:

a. Terdapat cara berpikir filosofis yang lebih condong pada tasawuf-

filosofis. Mereka mengikuti para filosof yang beraliran Neo-platonisme12. Pertama

11 As-Sayyid Abdul Aziz Salim , Qurthu>bah Ha>dirat al-khila>fah fi> an-Dalus,Vol: II, (Alexandria: an-Anshir Muassah Syibab al-Ja>mi’ah, 1997), 207.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

30

kali pemikir yang beraliran Neo-Platonik adalah Muhammad Ibn Masarrah al-

Qurthubi (883-931). Pemikirannya tertutupi dengan aktivitas kesufiannya. Dalam

catatan sejarah, bapaknya adalah Abdullah yang pandai dalam jual beli. Abdullah

mempunyai kecenderungan berpikir pada aliran Muktazilah. Ia mengajari Ibn

Masarrah filsafat dan ilmu agama. Bapaknya wafat pada tahun 912, yang mana

umur dari Ibn Masrah masih menginjak tujuh belas tahun. Tapi meski demikian,

ia telah mempunyai murid yang banyak. Perkembangan madrasah neo-platonik

berakhir pada Muhyiddin Ibn Arabi.13

b. Filosof yang mempunyai kecenderungan pada pemikiran

Aristoteles atau Peripatetik14. Filosof Peripatetik pertama kali di Andalusia adalah

Abu as-Silah Ummayah ibn Abdul Aziz ad-Dani (1067-1134). Dalam catatan

Husain Muannis menyatakan bahwa Abu as-Silah mempunyai karya Taqwi>m ad-

dhihn yang tersebar di Andalusia. Selain itu, ia juga mampu meringkas pemikiran

Aristoteles.15

c. Selain filsafat, karakteristik pemikiran filsafati di Andalusia terarah

pada tasawuf. Tokoh yang sangat terkenal dari disiplin keilmuan ini adalah

12 Neo-platonisme dapat dipandang sebagai inkarnasi lengkap dari filsafat mistik dan filsafat Plotinos memang dipupuk oleh inspirasi religious, baik yang berhubungan dengan visi penyuciannnya, metafisikanya yang teologis, maupun etikanya yang asketik. Dia meminjam secara bebas unsure-unsur dari pemikiran Yunani klasik sebelumnya seperti Parmenides, Heraklitos, dan terutama Platon serta Aristoteles, lantas menyusun suatu desain lengkap tentang teologi, fisika, metafisika, logika, etika dan mistik. Lihat, Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Yunani Klasik; Relevansi untuk Abad XXI, (Yogyakarta: Jalasutra, 2013),13 Husain Muannis , Tarikh al-Fikr al-Andalusi (:Maktabah Tsaqafah ad-Diniah,), 326-327.14 Aliran peripatetik atau disebut dengan kaum peripatetikos adalah pengikut aliran peripatos. Nama aliran ini berasal dari tempat berjalan-jalan yang digunakan oleh Aristoteles serta para penggantinya untuk mengajar. Aliran peripatetik yang melanjutkan kegiatan yang didirikan oleh Aristoteles itu, dihidupkan terutama oleh Theophrastos dari Eresos meninggal 288 SM. Lihat, Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Yunani Klasik; Relevansi untuk Abad XXI, (Yogyakarta: Jalasutra, 2013), 261.15 Husain Muannis , Tarikh al-Fikr al-Andalusi,(:Maktabah Tsaqafah ad-Diniah,), 334.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

31

Muhyiddin Ibn Arabi. Ia membawa pandangan tasawuf pada penyatuan diri

dengan Tuhan (panteisme).16

B. Penulisan Kitab

Selaku filosof yang mempunyai kemampuan sastra, Ibn Tufail memilih

metode penulisan dengan gaya penulisan sastrawi yang berbentuk cerita agar

mudah dicerna oleh banyak kalangan. Berawal dari sebuah permintaan oleh

sahabatnya yang ingin mengetahui tentang hikmah ketimuran. Selain itu, tulisan

Ibn Tufail ini erat kaitannya dengan kritik atas al-Ghazali yang telah mengkritik

filsafat. Disaat itu orang masih ragu untuk mempelajari filsafat dan usaha para

filosof yang telah didamaikan oleh mereka telah sirna. Juga buku-buku yang

berbicara tentang filsafat sekarang bisa dikonsumsi oleh banyak elemen

masyarakat. Dari pembacaan fenomena di atas, amat logis buku Ibn Tufail ini

ingin menetralisasi keadaan dan ingin mengembangkan filsafat ke tempat yang

semula, yaitu filsafat bukanlah barang haram. Dengan tulisan H}ay Ibn Yaqz}an,

Ibn Tufail ingin membumikan filsafat di Andalusia.17

Karya filsafat yang ditulis oleh Ibn Tufail dalam roman klasik H}ay Ibn

Yaqz}an bukan hal pertama yang dilakukannya. Terdapat judul yang sama dengan

roman klasik tersebut yang ditulis oleh Ibn Sina dan Suhrawardi. Diantara karya

keduanya ada sebuah perbandingan yang ditemukan oleh Ahmad Amin. Saat ia

memperbandingkan antara H}ay Ibn Yaqz}an yang ditulis oleh Ibn Sina dan Ibn

Tufail dari sisi kesusastraan maka terlihat bahwa ketinggian bahasa dan adab lebih

indah Ibn Tufail dari pada Ibn Sina. Hal itu diindikasikan karena Ibn Sina tidak

16 Ibid., 371.17 Sirojuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 208.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

32

melihat pada buku sastra arab akan tetapi hanya disandingkan pada pengetahuan

bahasa dan kamus saja. Lebih jauh, Ahmad Amin mengungkapkan bahwa

penggunaan kosakata filsafat lebih mendalam Ibn Tufail dari pada Ibn Sina.18

Abdul Halim Mahmud menyatakan setidaknya kalau Ibn Tufail seorang

sastrawan maka ia pandai dalam sajak dan sair. Hal tersebut tertuang dalam H}ay

Ibn Yaqz}an saat ia mengungkapkan beberapa pernyataan tentang masalah

ketuhanan. Selanjutnya Abdul Halim Mahmud melihat bahwa Ibn Tufail telah

menghimpun beberapa permasalahan penting filsafat. Bahkan ia menyatakan tidak

sepakat apabila pengetahuan Ibn Tufail hanya terbatas pada dunia filsafat saja

akan tetapi ada nilai sufistik yang tumbuh dalam dirinya. Hal tersebut dapat

dibuktikan terhadap gambaran Ibn Tufail dalam H}ay Ibn Yaqz}an yang mana ia

muncul di sebuah pulau yang jauh dari kehidupan, di pulau tersebut tidak ada

jejak manusia sama sekali, kemudian ia berkontemplasi dan mendapatkan

kesimpulan yang berangkat dari indrawi menuju rasional, dari parsial menuju

universal, sehingga ia sampai pada formulasi pemikiran tentang ketuhanan.

Kemudian ia juga melakukan ritual kebatinan (ar-riyad}ah ar-ruhiyah) yang

mengantarkannya pada posisi kewalian. Selanjutnya ada seorang pemeluk agama

langit yang ingin pergi ke pulau tak bertuan itu. Ia ingin melepaskan dunia untuk

memfokuskan diri beribadah pada Tuhannya. Setibanya dipulau tersebut, H}ay Ibn

Yaqz}an bertemu dengan pemeluk agama itu. Keduanya berdialog dan saling

memberikan pemahaman tentang ketuhanannya masing-masing. H}ay Ibn Yaqz}an

18 Ahmad Amin, H}ay Ibn Yaqz}an; li Ibn Sina wa Ibn Tufail wa as-Suhrawardi> (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 2008), 26.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

33

menyimak dengan baik penyampaian dari orang tersebut. Singkat cerita, H}ay Ibn

Yaqz}an akhirnya menemukan keyakinan sempurna.19

Berbeda pandangan dengan Abdul Halim Mahmud, Kamil Muhammad

Muhammad ‘Uwaidah menyatakan bahwa filsafat yang ada di Andalusia tidak

mempunyai hubungan dengan nuansa tasawuf. Ia menegaskan bahwa Ibn Bajah,

Ibn Tufail dan Ibn Rusyd telah mengkritik pemikiran tasawuf. Tiga filosof

tersebut, dalam kesimpulan Muhammad ‘Uwaidah, menggap bahwa tasawuf

hanya permainan imajinasi saja (al-‘a>lam al-khaya>li). Sebab filsafat di Andalusia

berpegangan pada akal sedangkan tasawuf pada hati semata. Kalau pun melihat

pada karya Ibn Tufail diksi kata yang dipakai mempunyai kesamaan dengan

tasawuf akan tetapi makna dan metodenya sangatlah berbeda.20

Antara H}ay Ibn Yaqz}an yang ditulis oleh Ibn Sina dan Ibn Tufail terlihat

pada sisi estetika dan psikologisnya. H}ay Ibn Yaqz}an yang digambarkan oleh Ibn

Sina hanya bersifat intelek-aktif (al-‘aql al-fa’a>l) dalam kisah tersebut. Secara

psikologis dalam simbol H}ay Ibn Yaqz}an hanya disama dengan seseorang yang

mempunyai kekuatan jiwa dan akal saja. Dalam artian semua manusia memiliki

dua hal tersebut sehingga ia berkembang menurut hukum evolusi yang ada.

Sedangkan H}ay Ibn Yaqz}an yang ditulis oleh Ibn Tufail mempunyai nuansa

dialektis yang cukup tinggi, dan dalam diri H}ay Ibn Yaqz}an mampu menangkap

informasi dan mengembangkannya sehingga terjadi dinamika dalam alam

pikirannya. Hal itu disebabkan oleh lingkungan yang mengitari H}ay Ibn Yaqz}an

saat masa perkembangannya.21

19 Abdul Halim Mahmud, Falsafah Ibn Tufail, (Kairo: Da>r al-Kutub al-Lubna>ni>, 1990), 15.20 Kamil Muhammad Muhammad Uwaidah, Ibnu Tufail; Failusu>f al-Isla>m fi> al-‘Ushu>r al-Wustha> (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiah,1993), 32.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

34

Tapi bagaimanapun Ibn Tufail tetap berhutang budi pada Ibn Sina karena

ia telah memberikan kontribusi pada plot penulisan cerita roman tersebut.

Penamaan pada dua aktor penting antara H}ay Ibn Yaqz}an dan Absal diambil dari

karya Ibn Sina dengan judul yang sama yaitu H}ay Ibn Yaqz}an Penamaan tersebut

berawal dari bangsa Yunani, kemudian diadobsi ke dalam kesusastraan mistik

Persia. Kemudian, ada sebuah cerita yang dibawa oleh Ibn Sina yang

diperkenalkan kepada dunia sastra yang diberikan oleh Nasiruddin at-Tusi (1274).

Penamaan dua kata tersebut pada dasarnya yang dimaksudkan oleh Ibn Sina

bahwa Salaman tidaklah lebih dari pada jati diri manusia pada umumnya,

sedangkan Absal merupakan sosok yang mana ia datang dari suatu kawasan

mistika. Didalam pemaknaan berbeda yang telah disampaikan oleh Nasiruddin at-

Tusi menyampaikan bahwa keduanya merupakan sosok jiwa yang berbeda:

Salaman merupakan ahli syariat (practical intellect), sedangkan Absal adalah ahli

kontemplasi (contemplative intellect). Dua nama tersebut muncul kembali pada

kisah roman yang ditulis Ibn Tufail dengan penggunaan plot cerita berbeda.22

C. Tema-tema Penting

Pembahasan yang menarik dari kajian filsafat berawal dari penciptaan

alam semesta. Perbincangan ini dimulai dari Yunani kuno sampai pada masa kini.

Begitu juga dengan Ibn Tufail saat menulis H}ay Ibn Yaqz}an, ia memulai dengan

problematika kosmologi sampai pada dimensi ketuhanan. Berikut akan diuraikan

tema-tema penting yang tertuang dalam karya tersebut:

1. Kosmologi

21 Madani Sholih, Ibn Tufail; Qad}aya wa Mawa>qif (Iraq: Da>r ar-Rasyid li an-Nasr, 1980), 141.22 Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, (London:Islamic Publition, 1962), 239

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

35

Bagi Ibn Tufail kosmos terbagi menjadi dua bagian antara mikro-kosmos

dan makro kosmos.23 Kosmos yang diatas bulan (makro-kosmos) dan dibawah

bulan (mikro-kosmos). Dua pemetakan ini dilihat dari karakter dari dua alam yang

berbeda, tapi keduanya tetap mempunyai keterkaitan. Baginya kosmos yang

dibawah bulan terdapat dua macam “ada”, yaitu ada yang hidup dengan perantara

jiwa dan mati disebabkan tidak mempunyai jiwa.24 Ibn Tufail pada dasarnya

mempunyai pandangan bahwa semua yang hidup itu mempunyai jiwa kesatuan

yang sama. Akan tetapi yang membedakannya adalah materi dan bentuk, sehingga

saat mengaktualisasikannya berbeda. Hal serupa yang dipahami oleh Aristoteles.

Baginya, sebagaimana semua makhluk fisis, terdiri dari materi dan bentuk,

demikian pun makhluk fisis yang mempunyai jiwa (psykhe) terdiri dari materi dan

bentuk. Badan adalah materi dan jiwa adalah bentuknya. Materi dan bentuk

masing-masing mempunyai peranan sebagai potensi dan aktus, kita dapat

mengatakan juga bahwa badan adalah potensi, sedangkan jiwa berfungsi sebagai

aktus. Dengan demikian kita dapat mengerti definisi tentang jiwa yang diberikan

dalam De anima yang ditulis oleh Aristoteles. Ia mendifinisikan jiwa sebagai

“aktus pertama dari suatu badan organis”. Ia mengatakan “aktus pertama”, karena

jiwa adalah aktus yang paling fundamental. Aktus ini mengakibatkan badan

menjadi badan yang hidup. Semua aktus lain merupakan “aktus yang kedua”,

23 Pembagian ini mengikuti pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa kosmos seluruhnya terdiri dari dua wilayah yang sifatnya sangat berbeda. Di satu pihak terdapat wilayah sublunar (= di bawah bulan). Yang dimaksud dengannya tidak lain daripada bumi. Dilain pihak terdapat wilayah yang meliputi bulan, dan planet-planet, dan bintang-bintang. Aristoteles membantah pendapat bahwa jagat raya tidak mempunyai batas. Menurutnya jagat raya bersifat terbatas—dengan kata Inggris, “finite”—dan jagat raya yang terbatas itu berbentu bola. Ia beranggapan juga bahwa jagat raya tidak mempunyai permulaan dalam waktu dan akibatnya kita dapat menyimpulkan bahwa jagat raya adalah kekal, sehingga tidak mungkin memusnahkannya. Lihat, Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 177. 24 Kamil Muhammad Muhammad Uwaidah, Ibnu Tufail; Failusu>f al-Isla>m fi> al-‘Ushu>r al-Wustha> (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1993), 96-98.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

36

yang berdasarkan aktus pertama tadi. Sebuah contoh kiranya dapat menjelaskan

maksudnya. Jika seekor kucing mengeong, itulah suatu aktualisasi; itu

dilaksanakan oleh suatu aktus. Kucing tidak menjadi kucing karena aktus

mengeong. Kucing adalah kucing karena jiwanya. Jiwa merupakan aktus pertama.

Jika tidak mempunyai jiwa, maka benda tersebut hanya terdiri dari materi saja.25

Hal ini terbukti pada bentuk benda-benda yang tidak bisa berkembang,

merasakan dan tidak makan, seperti batu-batuan, pasir, air, udara. Yang

membedakan dari ketiga benda padat (al-jamadad) terdapat pada kualitas dan

kuwantitasnya saja.26

Adapun kosmos yang di atas bulan mempunyai kesamaan dengan kosmos

di bawah bulan. Bagi Ibn Tufail karakter yang meliputi pada kosmos di atas bulan

terdiri dari tiga bagian, panjang, luas, dan kedalaman. Dari tiga karakter ini Ibn

Tufail tetap menyatakan bahwa kosmos di atas bulan masih berbentuk materi.

Dengan pemahaman bahwa ia akan musnah.27 Dan semuanya itu pasti mempunyai

suatu keterbatasan.28 Pemahaman yang disampaikan oleh Ibn Tufail ini, sekali

lagi, mempunyai kesamaan dengan Aristoteles. Menurut Aristoteles sesuatu

haruslah terbatas, dan batasan itulah yang merupakan formanya pada “mengada”

yang padat. Misalnya sejumlah air: sebagian dari air itu dapat dibedakan dari

bagian lainnya dengan menempatkannya ke dalam sebuah bejana, sehingga bagian

ini lantas menjadi “sesuatu”, namun selama bagian ini belum dibedakan dari

bagian air lainnya yang homogen maka ia bukan “sesuatu”. Sebuah arca adalah

25 Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 180.26 Kamil Muhammad Muhammad Uwaidah, Ibnu Tufail; Failusu>f al-Isla>m fi> al-‘Ushu>r al-Wustha> (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah,1993), 99.27 Ibid., 107.28 Ahmad Amin, H}ay Ibn Yaqz}a>n; li Ibn Sina wa Ibn Sina wa al-Suhrawardi> (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 2008), 66.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

37

“sesuatu”, dan pualam yang menjadi bahan arca, dari segi tertentu, tak berubah

dari keadaannya semula sebagai bagian dari bongkahan batu pualam atau bagian

dari barang-barang hasil pertambangan.29

Selain berbicara tentang masalah penciptaan alam semesta, Ibn Tufail juga

mempersoalkan kembali tentang masalah kedahuluan alam (qodi>m al-a>lam) atau

kebaruannya (hadith al-a>lam). Para filosof seperti al-Farabi dan Ibn Sina

keduanya bersepakat bahwa alam semesta mempunyai sifat terdahulu dalam

pemahaman al-Ghazali dalam Taha>fut al-fala>sifah.30 Dan persoalan ini diungkap

kembali oleh Ibn Tufail. Ia tidak terlalu jelas mengungkap tentang sifat

kedahuluan (qadi>m al-a>lam) alam. Tapi ia menyatakan bahwa alam semesta ketika

diciptakan oleh Niscaya-ada (Tuhan) tidak berkaitan dengan zaman, tetapi

mempunyai hubungan dengan dzat.31

2. Jiwa

Makhluk hidup dalam pandangan filosof pada abad pertengahan tidak

hanya terbentuk dari materi saja melainkan ada entitas yang

mengaktualisasikannya. Terdapat jiwa yang menjadi prinsip vital (vital principle)

yang ada dalam dirinya. Yang pertama kali muncul adalah jiwa nabati, diikuti

oleh jiwa hewani, dan diakhiri oleh jiwa manusiawi. Semua ini berlangsung secara

29 Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, terj. Sigit Jatmiko (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 223.30 Dalam pemahaman Ibn Sina alam berasal dari Wujud Niscaya-ada. Dengan dengan derma dan karunia-Nya, memancarlah intelek pertama. Ketika ia berpikir tentang dirinya sendiri, lahirlah intelek kedua. Dan ketika intelek kedua berpikir tentang dirinya sendirinya, terangkailah jiwa dan tubuh dari falak-luar. Proses emanasi ini kemudian berlanjut dengan sederetan intelek dan falak yang bersesuaian, sampai akhirnya terbitlah akal kesepuluh atau Akal aktif, yang berperan menata alam sublunar (al-alam tahta al-qamar). Setelah itu, alam anasir terbentuk. Di alam tersebut, anasir sederhana berpadu-paduan dengan “bentuk-bentuk substantif”. Lihat. Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2001), 60.31 Ahmad Amin, H}ay Ibn Yaqz}a>n; li Ibn Sina wa Ibn Sina wa al-Suhrawardi> (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 2008), 70.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

38

progresif, selaras dengan daya-tampung masing-masing jiwa. Jiwa nabati

didefinisikannya sebagai dasar pertumbuhan dan reproduksi; jiwa hewani sebagai

dasar gerak dan penangkapan terhadap rangsangan-rangsangan partikular; dan

jiwa manusiawi sebagai dasar pertimbangan dan pemahaman terhadap hal-hal

yang universal.32

Dapat disimpulkan bahwa jiwa dapat mengoprasikan segenap aktifitas

manusia. Dengan demikian jiwa adalah entitas yang penting bagi makhluk hidup

yang berada di mikro-kosmos. Ia merupakan pertama dari benda organik yang

alami. Yang menjadi persoalan bagi para filosof yaitu keberadaan jiwa dan badan

saat mati, apakah saat dibangkitkan dari kematian hanya jiwa atau jiwa dan

badan?

Para filosof dan teolog memang berbeda pendapat dalam menyikapi hal

ini. Kamil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah mengutip pendapat ‘Adduddin al-

Iji dalam bukunya al-Mawaqif menyatakan ada lima kelompok yang berbeda

pandangan dalam menyikap persoalan jiwa dan badan saat dibangkitkan dari

kematian, sebagai berikut:

a. Kebanyakan para teolog muslim berpendapat bahwa saat hari

pembalasan kelak yang bertanggung jawab dari perbuatannya di dunia adalah

badan.

b. Sebaliknya, para filosof-teolog menyakini bahwa hari pembalasan

yang bertanggung jawab atas perbuatannya di dunia adalah jiwa.

32 Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2001), 60

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

39

c. Para analis menyatakan bahwa jiwa dan badan yang harus

bertanggung jawab atas perbuatannya di dunia kelak di akhirat.

d. Sedangkan filosof naturalis menyatakan tidak ada pembalasan atas

jiwa dan badan.

e. Terdapat kelompok, tapi tidak disebutkan oleh al-Iji, tidak

berkomentar atas hari pembalasan di akhirat kelak.33

Saat Ibn Tufail membahas tentang kekalnya jiwa terlebih dahulu ia

menyinggung pengetahuan atas Tuhan. Kalau seseorang ingin mengetahui Tuhan

dengan idrawinya maka ia tidak akan pernah sampai, sebab idrawi hanya

mempunyai kemampuan pengetahuan yang dibatasi pada materi, sedangkan

Tuhan bukan entitas material. Bagaimana mungkin berangkat dari pengetahuan

bersifat materi menuju pengetahuan yang immateri? Ia menyatakan bahwa idrawi

tidak akan mampu mengenal Tuhan. Ia juga menambahkan bahwa pengetahuan

indrawi akan musnah karena masih terbentuk dari materi. Hanya dengan

musya>hadah manusia mampu mengetahui Tuhannya.34 Ia menyimpulkan indrawi

ragawi ( bodily sense) tidak dapat mengetahui Tuhan tapi dengan jiwa. Di dalam

jiwanya itu pulalah terletak esensi dirinya. Pada titik ini, menurut analisa Abduh

Syimali, Ibn Tufail menjadi yakin akan keluhuran jiwa, ketidakfanaannya, dan

bahwa kebahagiaan sejati akan tercapai tatkala diri menyelam dalam perenungan

tentang Wujud Mutlak.35

3. Intuisi

33 Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, Ibnu Tufail; Failusu>f al-Isla>m fi> al-‘Ushu>r al-Wustha> (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiah,1993, 122-123.34 34 Ahmad Amin, H}ay Ibn Yaqz}a>n; li Ibn Sina wa Ibn Sina wa al-Suhrawardi> (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 2008), 71-73.35 Abduh Shymali, Dirasa>t fi> Ta>ri>kh al-Falsafah al-Isla>miah (Beirut: Da>r as-Sha>dir, 1979), 628.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

40

Pengetahuan tentang Tuhan bisa dicapai dengan berbagai perspektif. Tapi

bagi ahli tasawuf, pengetahuan ketuhanan hanya bisa dijangkau dengan kekuatan

hati atau disebut dengan epistemologi intuitif. Seringkali seseorang yang

mempraktekan ajaran tasawuf apabila telah sampai pada derajat yang cukup tinggi

tidak mampu membahasakan secara lugas terhadap manusia pada publik

akibatnya dianggap menyimpang dari ajaran kemurnian Islam. Semisal al-Hallaj

dan Ibn Arabi, kedua tokoh ini sering menyatakan secara tegas telah menyatu

dengan diri Tuhan. Jelasnya, pemikiran ini adalah pengalaman pribadi seseorang

bukan keterpengaruhan berpikir dari budaya lain. Sekalipun terdapat budaya lain

yang mempengaruhi alam pemikirannya, Syami Ali an-Nassar menganggap hal

tersebut tidak terjadi secara langsung.36

Begitu juga dengan Ibn Tufail, ia menyebut ungkapan dari al-Hallaj yang

menyatakan bahwa tentang “diri” sebagai Tuhan. Ibn Tufail menyatakan bahwa

diksi kata yang dipakai tidak dapat disepadankan dengan bahasa manusia pada

umumnya.37 Ibn Tufail menemukan eksistensi Tuhan setelah proses ilmu

pengetahuan eksak untuk mengenal Tuhan akan tetapi tidak dapat mengantarkan

dirinya pada dzat Tuhan kemudian beralih untuk menggunakan hati agar bisa

mengenali Tuhan. Akhirnya ia merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya.

4. Ketuhanan

Konsepsi ketuhanan dalam pandangan filosof tentu sedikit ada perbedaan

dengan kaum teolog. Para teolog memahami Tuhan lewat wahyu yang telah

disampaikan oleh para nabi secara nalar menurun (al-aql at-tana>zuli>). Berbeda

36 Ali Syami an-Nassyar, Nasy’h al-Fikr al-Falsafi> fi> al-Isla>m (Kairo: Da>r as-Sala>m, 2007), 1199.37 Ahmad Amin, H}ay Ibn Yaqz}an li Ibn Si>na> wa Ibn Tufail wa as-Sahrawardi> (Kairo: Da>r al-Ma’arif, 2008), 43.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

41

halnya dengan filosof, mereka memahami Tuhan setelah menggunakan akal

dengan maksimal atau dengan sebutan akal menanjak (al-aql at-tasha>udi>).

Filosof pertama yang tercatat dan memberikan sumbangan pada Islam

adalah al-Farabi. Ia memahami Tuhan dengan cara teleologi. Yang dalam artian

alam semesta ini tidak bisa berdiri sendiri tanpa ada sebab utama untuk

terciptanya jagat raya. Dan sebab utama ini tidak bisa disebabkan oleh dzat yang

lain, karena ia tidak butuh apapun dan siapapun.38 Dari yang satu ini kemudian

muncul segala sesuatu di jagat raya.

Sebagai seorang murid, Ibn Sina banyak terpengaruh oleh al-Farabi

dengan teori emanasinya (al-Faidhiyah). Dari segi konten pemikiran, Ibn Sina

sebagai seorang filosof helenistik, sedangkan konstruksinya mengikuti sistemasi

Islam. Sedangkan teori untuk membuktikan penciptaan adanya Tuhan ia

mempunyai kesimpulan bahwa terdapat sepuluh intelek aktif (active intellect) di

jagat raya ini. Pada mayoritas filosof muslim mempercayai adanya malaikat Jibril.

Penamaan Jibril ini pun pada dasarnya disebut intelek aktif yang telah

memberikan bentuk pada materi bumi.39 Sedangkan yang menciptakan sepuluh

intelek tersebut adalah Tuhan yang satu.

Ibn Tufail juga memiliki konsepsi adanya Tuhan yang tidak jauh berbeda

dengan para filosof sebelumnya. Baginya alam semesta yang teratur ini pasti ada

yang menciptakan, yaitu Tuhan. Ia Maha Sempurna, Maha mengetahui, Maha

Pemurah, dan Maha Baik, serta memiliki sifat kesempurnaan yang jejak-jejak dan

38 Muhammad Abdul Hadi Abu Ruwaidah, Ta>ri>kh al-Falsafah fi> al-Isla>m (Kairo: Hay’ah al-A<mmah, 2010), 182.39 Abdul Kadir Riyadi, The Phenomenology of Tasawuf: On Islam as a Cosmic Religian, (Surabaya: Pustaka Idea, 2014), 79

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

42

tanda-tanda-Nya terpampang di alam yang rendah ini. Sebaliknya, Mahasuci Dia

dari segala sifat ketaksempurnaan.

Oleh karena itu, seseorang hanya bisa memilih dari berbagai sifat makhluk

yang ada di alam semesta ini. Ia akan meniru perilaku hewan, benda-benda langit

atau Tuhan. Ada tiga tugas yang mesti dijalaninya, yakni:

a. Sebagai bagian dari dunia binatang, ia harus memenuhi kebutuhan

fisiknya sebatas bisa bertahan hidup untuk lantas mewujudkan tujuannya yang

utama, yakni merenungi Tuhan.

b. Sebagai makhluk yang berwatak spiritual atau intelektual, ia harus

senantiasa merenungkan keindahan dan keteraturan alam sekitarnya.

c. Sebagai makhluk yang dekat dengan Tuhan, ia harus sepenuhnya

paham bahwa kontemplasi intelektual mengenai Tuhan tidak akan memadai untuk

menjangkaunya. Karena, dalam kontemplasi semacam ini, jiwa takkan bisa

menghilangkan kesadaran tentang identitas dirinya atau ke-aku-an.40

Dari ketiga karakter manusia di atas, ia hanya bisa melebur pada diri

Tuhan (maqa>m al-fana>’ wa al-masya>hadah) saat tidak memikirkan tentang

ciptaannya, melainkan fokus pada diri Tuhan semata. Pengalaman spiritual seperti

ini tidak bisa didapat oleh semua orang dan tidak bisa dibahasakan dengan untaian

kata yang dipakai oleh makhluk hidup. Kalau pun seseorang memaksakan diri

untuk menerjemahkan tingkat spiritual seperti ini, yang kemudian terjadi variasi

penafsiran dari seorang penutur tersebut. Atau pilihan yang paling buruk adalah

40 Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2001), 106

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

43

dianggap kesalahan fatal saat memahami teks-teks suci. Akibatnya yang terjadi

pembunuhan pada beberapa tokoh sufi yang mencoba untuk menjelaskan

pengalaman spiritualnya pada seseorang, seperti al-Hallaj dan Suhrawardi.

5. Integrasi Filsafat dan Agama

Usaha para filosof untuk menyatukan antara filsafat dan agama dimulai

semenjak al-Kindi sampai Ibn Rusyd. Bagi Ibn Rusyd antara syari’at dan filsafat

tidak ada perbedaan. Keduanya merupakan sebuah kebenaran, maka tidak

mungkin apabila dan syari’at. Terbukti dalam karya Hay ibn Yaqdhan ia

menceritakan pertemuan antara keduanya benar terjadi sebuah pertentangan.41

Dalam pembahasan ini Ibn Thufail tidak melewati isu tentang integrasi

antara filsafat Absal dan Yaqdhan. Bagaimana Absal diposisikan sebagai lakon

ahli syariat dan Yaqdhan pegiat filsafat. Keduanya berdialog tentang pengalaman

spiritualnya masing-masing.

D. Relevansi dalam Konteks Kekinian

Perkembangan filsafat di dunia Islam mengalami perubahan yang cukup

signifikan, sebab terjadi dialog pemikiran antara dunia timur dan barat di abad

modern. Filsafat barat di abad modern yang disinyalir sebagai pemberontak

terhadap gereja menjadikan corak pandang mereka terhadap agama mulai

tergerus. Pemberontakan terhadap agama itu bisa dilihat dari sudut pandang yang

variatif. Disatu sisi, kita bisa menganggap modernitas sebagai disintegrasi

intelektual. Filsafat modern lebih menampilkan dirinya sebagai anarki dan

41 Ibn Rusyd, Fashlu al-Maqa>l: Fi>ma> Baina al-Hikmah wa al-Shari’ah min al-Ittisa>l (Mesir: al-Maktabah al-Mahmudiah at-Tija>riah, 1968), 15.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

44

kekacauan daripada keutuhan dan ketertiban. Filsafat modern, dalam wawasan ini,

adalah sebuah kemerosotan intelektual. Mereka yang ingin mempertahankan

metafisika tradisional berada pada posisi ini. Di lain sisi, kita bisa menganggap

filsafat modern sebagai sebuah emansipasi, sebuah kemajuan berpikir, dari

kemandegan dan pendewaan pemikiran metafisis yang mendukung sistem

kekuasaan gerejawi tradisional. Mereka pada posisi yang kedua ini mendukung

radikalisasi lebih lanjut, pemisahan ilmu pengetahuan dari filsafat. Kita tidak bisa

memihak salah satu posisi secara ekstrem. Dalam kenyataan, hancurnya

metafisika tradisional disambut gembira oleh filsuf-filsuf, seperti Nietzsche, Kant,

Comte, dan seterusnya, dilain pihak, Hegel dan Marx ingin mengembalikan

integrasi metafisis itu dari puing-puingnya.42

Dalam karya Karen Amstrong A History of God: The 4.000-Year Quest of

Judaism, Christianity and Islam menulis pada bab khusus yang membicarakan

tentang masa depan Tuhan. Ia bertanya, “Adakah masa depan bagi Tuhan?”.

Pertanyaan ini seakan-akan mengarah pada keraguan akan keberadaan Tuhan

dimuka jagat raya ini. Terbukti dengan data yang ditulis oleh Karen Amstrong

dalam karya itu banyak ditampilkan para ilmuwan dan filosof berikut fenomena

yang berkembang di Eropa tidak berpihak pada agama. Ia menyebutkan bahwa

ribuan orang berada di ambang ajal karena kelaparan dan kekeringan. Generasi-

generasi sebelum kita telah merasakan bahwa akhir dunia sudah dekat, tetapi kita

tampaknya sedang menghadapi masa depan yang tak terbayangkan. Bagaimana

gagasan tentang Tuhan akan bertahan dalam tahun-tahun mendatang? Selama

42 F. Budi Hardiman, Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern (Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2011), 5-6.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

45

4.000 tahun gagasan itu telah mampu menjawab tuntutan zaman, tetapi pada abad

kita ini, semakin banyak orang yang merasakannya tak lagi bermanfaat bagi

mereka, dan ketika sebuah gagasan keagamaan kehilangan fungsi, ia pun akan

terlupakan. Mungkin Tuhan memang gagasan masa silam.43

Sebelum jauh menyimpulkan akan hilangnya gagasan Tuhan yang mulai

hilang dari ruang pikiran manusia modern, sehingga Tuhan tidak memiliki tempat

lagi dalam alam pikirannya maka disini harus ditegaskan bahwa sejak 650 SM

sampai berakhirnya filsafat Yunani, akal mendominasi. Selama 1500 tahun

sesudahnya, yaitu selama abad pertengahan di Barat yang didominasi oleh

Kristen, akal harus tunduk pada pada keyakinan yang telah dikonsepsikan oleh

gereja. Sejak Rene Descartes, tokoh pertama filsafat modern, akal kembali

mendominasi filsafat.

Descartes dengan konsep Cogito ergo sum (Saya berpikir, maka saya ada)

berusaha melepaskan filsafat dari dominasi agama Kristen. Ia ingin akal

mendominasi filsafat. Sejak ini filsafat didominasi oleh akal. Akal kembali

mempunyai peran yang cukup besar. Voltaire telah berhasil memisahkan akal

dengan iman. Francis Bacon amat yakin pada kekuatan Sain dan Logika. Dua alat

mencari kebenaran ini dianggap telah mampu menyelesaikan semua masalah.44

Lebih lengkap lagi dari pemikiran Modern yang mengedepankan

kemanusian dan membunuh eksistensi Tuhan dirumuskan oleh Jean Paul Sartre

dan Frideric Nietzche. Pandangan Sartre tentang ateisme merupakan akumulasi

43 Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, terj. Zainul Am, (Bandung: Mizan Pustaka, 2012), 553.44 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2013), 82-83.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

46

konsepnya tentang masalah kebebasan. Ia mencoba mendeskripsikan kebebasan

bukan hanya relasi dia pada orang lain, melainkan keberadaan Tuhan seakan

menjadi ancaman bagi manusia untuk mengeskpresikan diri mereka dalam

kehidupan. Ketika masih ada Tuhan, seakan-akan manusia masih terpantau dari

berbagai arah --Tuhan, yang digambarkan Sartre, hanya bisa mengkontrol dan

memantau manusia, ia tidak bisa dikendalikan oleh siapapun, sehingga Ia bebas

untuk melakukan apa saja, karena entitas yang menjadi subjek absolut.

Namun demikian, Sartre tetap berusaha untuk melepaskan diri dari

cengkraman tuhan dan menjadikannya objek bagi saya. Akan tetapi, Allah adalah

subjek absolut, yang tidak pernah mungkin dijadikan objek. Menerima Allah

berarti mengakui bahwa saya dan semua orang lain merupakan objek baginya.45

Saat manusia telah menjadi objek bagi Tuhannya, mereka hanya

mempunyai dua pilihan: tunduk pada Tuhan atau memberontak. Jelasnya, Sartre

akan mengambil pilihan yang kedua. Karena kalau kembali pada konsep awal

tentang kebebasan yang ditawarkan oleh Sartre, manusia seharusnya bebas secara

kodrati.

Dengan konsep-konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa Sartre betul-

betul seorang ateis atau lebih tepatnya ia tidak hanya beragama tapi juga tidak

bertuhan. Keberadaan Tuhan baginya hanya menjadi pengekang atas kehidupan

manusia. Sebab moralitas manusia adalah kebebasan itu sendiri.

45 Keets Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006),114.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

47

Ungkapan yang menarik dikutip oleh Keets Bertens saat ia membahas Jean

Paul Sartre:

“Once only I had the feeling that He existed. I had been playing with matches and had burnt a mat; I was busy covering up my crime when suddenly God saw me. I felt His gaze inside my head and on my hands; I turned round and round in the bathroom, horriblyvisible, a living target. I was saved by indigation: I grew angry at such a crude lack of tact and blasphemed, muttering like my grandfather: ‘Sacre’ nom de mom de Dieu de mom de Dieu. He never looked at me again.”

“Hanya sekali aku punya perasaan bahwa Dia ada. Aku telah bermain dengan korek api dan membakar sebuah keset; aku sibuk menghilangkan bekas-bekas kejahatanku, ketika tiba-tiba Allah melihat aku. Aku merasakan sorot mata-Nya di dalam kepalaku dan pada tanganku; aku berputar-putar di kamar mandi, kelihatan secara mengerikan, bagaikan bulan-bulanan yang hidup. Aku diselamatkan karena kegusaran. Aku naik darah karena tingkah laku yang begitu kurang ajar dan menyerah-Nya, sambil bergumam seperti kakekku: ‘Sacre’ nom de Dieu de nom de Dieu de nom de Dieu’. Tidak pernah ia menatapku lagi.”

Selain Sartre, Nietzsche bukan hanya mengumumkan ateisme, melainkan

juga meramalkan datangnya zaman ateistis. Ia dengan tegas menyatakan bahwa

Tuhan telah mati. Pada masa dimana ia hidup kreativitas dan kemerdekaan harus

terbuka seluas-luasnya. Tak ada lagi larangan atau perintah, dan manusia

seharusnya, dalam pikirannya, tidak lagi menoleh ke dunia transenden.46

Pemikiran Barat pada abad modern untuk mengkritik Kristen dan agama

pada umumnya mempunyai implikasi yang cukup tinggi pada dunia Islam. Tidak

sedikit dari kalangan pemikir Islam mencoba menerjemahkan misi ketuhanan

tidak hanya berada di alam luar sana, tapi misi tersebut harus mampu membumi

pada lingkungan manusia. Teks keagamaan yang mulai diterjemahkan secara

46 F. Budi Hardiman, Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern (Jakarta: Erlangga, 2011), 241-242.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

48

manusiawi, yang mana proyeksi tersebut merupakan bagian dari filsafat modern

yang diterjemahkan dengan manusia.

Bentuk penafsiran ulang tentang ketuhanan pada dasarnya merupakan

bentuk kritis yang disampaikan oleh banyak pemikir Islam setelah mengalami

dialektika pemikiran yang cukup panjang. Tidak sedikit kemudian jika terdapat

beberapa pemikir modern mengkritisi produk tafsir ketuhanan sarjanawan muslim

klasik. Kekritisan mereka pada dasarnya mencari ruang kosong untuk

mengekspresikan pemikirannya. Tentu dalam konteks dunia filsafat, kritik adalah

hal terpenting untuk menyempurnakan suatu keilmuan dari satu masa ke masa

berikutnya.

Ibn Tufail merupakan seorang filosof yang telah mengkritisi filosof

sebelumnya, antara lain al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali dan Ibn Bajah.

Bentuk kekritisan ini perlu dimunculkan kembali dalam konteks kekinian agar

terjadi dialektika keilmuan yang utuh. Begitu pula dengan pemikiran yang

dihasilkan oleh Ibn Tufail yang tidak bisa lepas dari kritik dan perlunya

pembenahan kembali.47

47 Musthafa Ghalib, Fi> Sabi>li Mausu’ah Falsafah (Beirut: Da>r wa Maktabah al-Hila>l, 1991), 32.