bab ii latar belakang penulisan kitab hay ibn yaqza
TRANSCRIPT
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
22
BAB II
LATAR BELAKANG PENULISAN KITAB HAY IBN YAQZA<N
A. Kontek Penulisan
1. Kondisi Politik Andalusia
Sebelum penaklukan Islam menguasai Andalusia, pemerintahan yang
berkuasa saat itu adalah raja Romawi sampai pada abad 5 M. Kemudian perkotaan
mulai berkembang dibawah kerajaan tersebut. Kemudian orang Barbar
meruntuhkan Andalusia dengan peperangan yang cukup sengit dengan negara
Gotik, namun sebaliknya Gotik juga tetap berusaha untuk mempertahankan
Andalusia dibawah pemerintahannya sampai pada abad ke 6 M.
Dilihat dari sisi antropologis, terjadi pertukaran kebudayaan di Andalusia
antara Gotik dengan Latin, dan mereka menjadikan bahasa Latin sebagai bahasa
negara Andalusia. Diwaktu yang bersamaan Kristen menjadi agama resmi negara
sebagai ganti setelah mereka menyembah berhala.
Kondisi kerajaan dijalani dengan sistem monarki-absolut, sehingga terjadi
pergolakan dimasyarakat dan bahkan kondisi kerajaan secara politik sudah tidak
stabil ditambah lagi ruh kemiliteran yang berfungsi untuk menjaga keutuhan
kerajaan sudah mulai hilang, sehingga kerajaan Gotik terpecah belah.1
Dari kondisi yang kenegarannya tidak stabil secara politik tersebut,
diwaktu yang bersamaan tentara Islam masuk ke tanah Andalusia untuk
1 Kamil Muhammad Muhammad Uwaidah, Ibnu Tufail; Failusu>f al-Isla>m fi> al-‘Ushu>r al-Wustha> (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah,1993), 11.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
23
menaklukan tanah tersebut. Dalam catatan yang ditulis oleh Philip K. Hitti
menyebutkan bahwa ekspansi pasukan muslim ke Semenanjung Iberia, gerbang
barat daya Eropa merupakan serangan terakhir dan paling dramatis dari seluruh
operasi militer penting yang dijalankan oleh orang-orang Arab. Serangan tersebut
menjadi sejarah yang sangat luar biasa dipuncak penyerbuan orang Arab ke
wilayah Afrika-Eropa.2
Melihat adanya konflik pada penguasa di kerajaan Andalusia Gotik Barat,
Musa Ibn Nusyair mengirim seorang budak yang dibebaskan dari Berber, Thariq
Ibn Ziyad, pada tahun 711 ke Andalusia dengan membawa pasukan 7.000. Thariq
mendarat dekat gunung batu besar yang dikemudian hari diabadikan dengan
sebutan Jabal Thariq (Gibraltar). Satu-satu persatu kekuasaan kerajaan Gotik
mulai direbut oleh Thariq dan pasukannya.3
Melihat pemerintahan Umawiyah yang berpusat di Damashqus masih
kokoh, maka kepemimpinan di Andalusia harus dibawah naungan Umawiyah
sampai datangnya Abdurrahman Ibn Mu’awiyah lari dari Syam karena tampuk
kekuasaan tersebut berpindah tangan pada keturunan Abbasiyah. Dan
Abdurrahman melanjutkan atau mendirikan kembali pemerintahan Umawiyah di
Barat.
Setelah berjalannya waktu, Andalusia mengalami krisis politik yang cukup
tajam, sehingga terpecah belah menjadi pemerintahan kecil yang dipimpin oleh
seorang penguasa tertentu atau raja kecil. Lebih jauh lagi, pemerintahan
2 Philip K. Hitti, History of The Arab, terj. R. Cecep Lukman hakim, (Jakarta: Serambi, 2002), 627.3 Ibid., 628.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
24
Umawiyah mulai mengalami kemerosotan. Melihat kondisi politik yang tidak
stabil, orang-orang Kristen mengambil kesempatan untuk memberlakukan sistem
pemerintahan dengan basis agama mereka.4
Di Kordova, keluarga Jahwariyah mengepalai sejenis republik yang pada
1068 diambil alih oleh Banu ‘Abbad di Seville. Sejak saat itu, dominasi di antara
negara-negara muslim terletak di Seville, yang kedudukannya selalu dihubungkan
dengan Kordova. Granada adalah pusat pemerintahan rezim Ziriyah, yang
namanya diambil dari nama pendirinya yang berkebangsaan Berber, Ibn Ziri
(1012-1019). Namun sangat disayangkan, rezim ini akhirnya dihancurkan oleh
kelompok Murabitun Maroko pada 1090. Sebagaimana rezim kerajaan kecil yang
berkembang di Spanyol, Murabitun akhirnya juga tumbang dan digantikan dengan
rezim baru yang disebut dengan penguasa Muwahidun.5
Kekuasaan Muwahidun menggantikan posisi pemerintahan Murabitun.
Dinasti Muwahidun pertama kali dipimpin oleh seorang Berber yang bernama
Muhammad Ibn Tumar (1078-1130) dari suku Masmuda. Yang mempunyai gelar
al-Mahdi. Pada tahun 1130, Ibn Tumar digantikan oleh sahabat sekaligus
jendralnya, Abd al-Mukmin Ibn Ali. Dari anak-anak Abd al-Mukmin memerintah
wilayah-wilayah sekitar Andalusia dan Maroko. Dan diantara anaknya yang
memerintah di Andalusia adalah Abu Said. Ia merekrut menteri-menteri untuk
mendampingi dirinya dengan tujuan menjalani tampuk kekuasaannya, antara lain:
Muhammad Ibn Sulaiman dan Sa’di Ibn Maimun As-Shanhaji. Selain dari itu, ia
4 Kamil Muhammad Muhammad Uwaidah, Ibnu Tufail; Failusu>f al-Isla>m fi> al-‘Ushu>r al-Wustha> (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah,1993), 12.5 Philip K. Hitti, History of The Arab, terj. R. Cecep Lukman hakim, (Jakarta: Serambi, 2002), 688.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
25
juga memilih penulis fikih yang bernama Abu al-Hakam Ibn Hirodus, ditambah
seorang filosof bernama Ibn Tufail.6
Ibn Tufail mulai terkenal saat umurnya menginjak lima puluh tahun.
Bukan hanya seorang pemikir atau filosof ia juga banyak menulis tentang
menejemen kantor dan diplomasi politik. Lebih khusus lagi, ketersohoran Ibn
Tufail ditambah lagi sebagai dokter di kerajaan.
Setelah Abd Said meninggal, Abu Ya’qub menggantikan ayahnya untuk
memimpin pemerintahan Muwahidun. Nama Ibn Tufail di kerajaan semakin
dekat. Abu Ya’qub dan Ibn Tufail mempunyai kecenderungan yang sama, yaitu
mengembangkan berbagai disiplin keilmuan.
2. Kondisi Masyarakat Andalusia
Ketika kita berbicara tentang Andalusia yang tergambarkan dalam benak
orang Arab yaitu semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal). Sebelum ditaklukan
bangsa Visigoths pada tahun 507 M. tanah ini ditinggali oleh bangsa Vandal
setelah kerajaan Romawi, bahkan wilayah kediaman mereka disebut sebagai
Vandalusia. Kata Andalusia itu sendiri diambil dari Wandal, sedangkan orang
Eropa menyebutnya dengan Vandal atau Vandalusia.7
Andalusia ketika masih dibawah kekuasan Romawi, daerah ini merupakan
wilayah bagian barat sampai pada abad ke-5 M. Kemudian datanglah bangsa
Ghothia Barat merebut daerah ini dan mengusir bangsa Vandalusia ke Afrika.
Mereka berasal dari India berpindah ke Eropa untuk mencari sebuah perlindungan
6 Muhammad Ridwan Dayyah, Ibn Tufail al-Andalu>si> (Siria: al-Hay’ah al-‘A<mmah, 2013), 24.7 George Zidan, Riwayah Ta>ri>kh Isla>m Fathu al-Andalus, (Da>r al-Hila>l, 1892),5.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
26
dan pencarian kehidupan. Selanjutnya mereka mendirikan kerajaan, namun pada
akhirnya kerajaan tersebut menjadi negara-negara kecil sebagai akibatnya terjadi
perpecahan dalam pemerintahan. Dan berakhir pada tahun 711 M./ 92 H. ditangan
Thariq Ibn Ziyad.
Faktor yang menyebabkan kerajaan ini runtuh disebabkan Ghotik Barat
bertindak sewenang-wenang bagi orang Yahudi. Kaum Yahudi kala itu dipaksa
untuk pindah ke agama Kristen. Dengan terpaksa sebagian dari mereka masuk
Kristen. Dekrit itu muncul dari kerajaan tepat pada tahun 587 M.
Ketika Witiza meninggal, perebutan kekuasaan mulai terjadi, antara anak
Witiza dan Roderick. Namun sayangnya, kekuasaan itu dimiliki oleh Roderick.
Sehingga anak dari Witiza itu bergabung dengan Yulian untuk melawan
Roderick, sayangnya usaha itu tidak berarti apa-apa pada kekuasaannya. Pada
akhirnya mereka berdua meminta bantuan Musa Ibn Nushair untuk mengalahkan
kekuasaan Roderick. Tumbanglah kekuasaannya ditangan gubernur Musa Ibn
Nushair.
Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa kekejaman yang dilakukan
oleh raja Roderick terhadap kaum Yahudi menjadikan mereka berniat untuk
meruntuhkan kekuasaan raja tiran itu, jalan satu-satunya yang bisa
mengalahkannya adalah meminta bantuan orang muslim, yang kemudian dipimpin
oleh Tariq Ibn Ziyad, untuk menjatuhkan Roderick.
Setelah terbentuknya kerajaan di Andalusia, masyarakat disana terdiri dari
empat bagian:
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
27
a. Orang-orang Arab. Mereka mempunyai perasaan yang cukup kuat
atas aristrokrasinya untuk mengalahkan eksistensi orang Spanyol dan Berber. Dan
bahasa mereka pun cukup menonjol dari pada Berber dan Spanyol.
b. Berber. Mereka adalah orang-orang yang bergabung dengan orang
Arab di dalam masyarakat badui dan Islam.
c. Spanyol. Orang-orang Spanyol bisa dikatakan sebagai penduduk
pribumi. Mereka memeluk agama Kristen-Katolik. Mereka memandang bahwa
orang Berber dan Arab hanya pendatang saja, orang Spanyol lebih berhak atas
negara mereka sendiri.
d. Orang Islam yang terlahir dari Berber dan Arab.8
Kekuatan orang Arab tidak hanya dalam segi militer untuk menaklukan
penduduk Andalusia melainkan mereka juga mampu menguasai bahasa dan
agama mereka, sehingga orang Andalusia banyak yang masuk dalam agama
Islam. Secara bersamaan mereka melupakan bahasa latin mereka dan
meninggalkan ajaran Kristen.
Penduduk Andalusia dikenal dengan kebersihannya. Mereka menjaga
kebersihan makanan, minuman dan juga pakaian. Hal yang menarik juga, mereka
tidak mengenakan pengikat kepala (Sorban) sebagaimana pada umumnya orang
Arab asli. Bahkan seorang mufti sering kali tidak menggenakan sorban.
Dari sisi semangat intelektualitas, menurut Ibn Hazm sebagaimana yang
dikutip oleh Ahmad Amin menyatakan bahwa penduduk Andalusia tidak pernah
8 Ahmad Amin, D}uha al-Isla>m, Vol: III (Beirut: Darul al-Kutub al-Ilmiah, 2007), 7-8.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
28
membatasi keilmuan kecuali ilmu kalam, alasannya agar supaya mengurangi
perdebatan dalam agama.9
3. Karya Ilmiah dan Sastra Andalusia
Salah satu sumbangan keilmuan di Andalusia mengembangkan kajian
bahasa dan sastra. Al-Qali yang hidup antara 901 hingga 989 merupakan salah
seorang profesor ternama dari Universitas Kordova. Ia dilahirkan di Armenia dan
mengenyam pendidikan di Baghdad. Ia mempunyai murid yang bernama
Muhammad Ibn al-Hasan al-Zubaydi (928-989). Karya utama Zubaydi adalah
daftar klasifikasi para ahli tata bahasa dan filologi yang bermunculan sepanjang
sejarah hingga masa ia hidup. Dalam bidang sastra, penulis yang terkenal adalah
Ibn ‘Abd Rabbihi (860-940) dari Kordova, penyair kesayangan ‘Abd al-Rahman
III. Pada puncaknya, periode raja-raja kondang, yang teramat istimewa seperti
Bani Abbadiyah, Murabitun, dan Muwahhidun, merupakan salah satu periode
yang terpenting. Benih-benih budaya yang disebar pada masa kekhalifahan
Umayah tidak menghasilkan buah yang sempurna hingga masa ketiga dinasti ini.10
Namun yang paling penting dari gerakan keilmuan di Andalusia selain
bahasa dan sastra muncul ilmu kedokteran dan astronomi untuk membantu para
khalifah, karena mereka membutuhkan keilmuan tersebut. Bahkan ada diantara
mereka masih beriman pada perbintangan. Dalam sejarah Yunani Kuno, kedua
disiplin keilmuan tersebut merupakan cabang dari filsafat itu sendiri, seperti
halnya ilmu tentang alam semesta dan ketuhanan. Untuk mempelajari ilmu
9 Ibid., 12-14.10 Philip K. Hitti, History of The Arab, terj. R. Cecep Lukman hakim (Jakarta: Serambi, 2002), 708-710.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
29
kedokteran tetap membutuhkan pada pengetahuan tentang karakteristik tumbuhan
karena tidak sedikit obat-obatan tradisional diambil dari tanaman. Saat dokter
menganalisa obat-obatan dan sebuah penyakit, maka ia juga harus mempelajari
ilmu logika untuk mendapatkan kongklusi dan hasil observasi yang benar dalam
mengobati penyakit.
Daya tarik para ilmuwan Andalusia untuk mempelajari ilmu kedokteran
telah tertanam semenjak ekspansi pertama kali Islam oleh Abdurrahman Ibn
Mu’awiyah selaku pendiri pemerintahan Ummayah di Andalusia mempunyai
perhatian cukup tinggi pada ilmu kedokteran.
Kemajuan ilmu kedokteran terjadi pada masa al-Amir Muhammad.
Bersamaan dengan itu, tidak didapatkan karya tentang ilmu kedokteran dan ilmu
hitung sampai pada akhirnya kepemimpinan diganti oleh Abdurrahman an-Nashir
karya ilmu-ilmu tersebut dibawa dari belahan timur kawasan Islam. 11
Lebih jauh, ketika seorang menyibukan diri dengan ilmu kedokteran, ia
akan dipertemukan dengan beberapa pemikir Yunani kuno, seperti Galianos, Plato
dan Aristoteles. Kalau melihat pada deretan filosof Andalusia yang pertama kali
mereka adalah dokter, seperti al-Kurmani, Abu Jakfar Ahmad ibn Khamis,
Hamdin ibn Aban.
Aktivitas berfilsafat di Andalusia mempunyai dua karakteristik:
a. Terdapat cara berpikir filosofis yang lebih condong pada tasawuf-
filosofis. Mereka mengikuti para filosof yang beraliran Neo-platonisme12. Pertama
11 As-Sayyid Abdul Aziz Salim , Qurthu>bah Ha>dirat al-khila>fah fi> an-Dalus,Vol: II, (Alexandria: an-Anshir Muassah Syibab al-Ja>mi’ah, 1997), 207.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
30
kali pemikir yang beraliran Neo-Platonik adalah Muhammad Ibn Masarrah al-
Qurthubi (883-931). Pemikirannya tertutupi dengan aktivitas kesufiannya. Dalam
catatan sejarah, bapaknya adalah Abdullah yang pandai dalam jual beli. Abdullah
mempunyai kecenderungan berpikir pada aliran Muktazilah. Ia mengajari Ibn
Masarrah filsafat dan ilmu agama. Bapaknya wafat pada tahun 912, yang mana
umur dari Ibn Masrah masih menginjak tujuh belas tahun. Tapi meski demikian,
ia telah mempunyai murid yang banyak. Perkembangan madrasah neo-platonik
berakhir pada Muhyiddin Ibn Arabi.13
b. Filosof yang mempunyai kecenderungan pada pemikiran
Aristoteles atau Peripatetik14. Filosof Peripatetik pertama kali di Andalusia adalah
Abu as-Silah Ummayah ibn Abdul Aziz ad-Dani (1067-1134). Dalam catatan
Husain Muannis menyatakan bahwa Abu as-Silah mempunyai karya Taqwi>m ad-
dhihn yang tersebar di Andalusia. Selain itu, ia juga mampu meringkas pemikiran
Aristoteles.15
c. Selain filsafat, karakteristik pemikiran filsafati di Andalusia terarah
pada tasawuf. Tokoh yang sangat terkenal dari disiplin keilmuan ini adalah
12 Neo-platonisme dapat dipandang sebagai inkarnasi lengkap dari filsafat mistik dan filsafat Plotinos memang dipupuk oleh inspirasi religious, baik yang berhubungan dengan visi penyuciannnya, metafisikanya yang teologis, maupun etikanya yang asketik. Dia meminjam secara bebas unsure-unsur dari pemikiran Yunani klasik sebelumnya seperti Parmenides, Heraklitos, dan terutama Platon serta Aristoteles, lantas menyusun suatu desain lengkap tentang teologi, fisika, metafisika, logika, etika dan mistik. Lihat, Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Yunani Klasik; Relevansi untuk Abad XXI, (Yogyakarta: Jalasutra, 2013),13 Husain Muannis , Tarikh al-Fikr al-Andalusi (:Maktabah Tsaqafah ad-Diniah,), 326-327.14 Aliran peripatetik atau disebut dengan kaum peripatetikos adalah pengikut aliran peripatos. Nama aliran ini berasal dari tempat berjalan-jalan yang digunakan oleh Aristoteles serta para penggantinya untuk mengajar. Aliran peripatetik yang melanjutkan kegiatan yang didirikan oleh Aristoteles itu, dihidupkan terutama oleh Theophrastos dari Eresos meninggal 288 SM. Lihat, Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Yunani Klasik; Relevansi untuk Abad XXI, (Yogyakarta: Jalasutra, 2013), 261.15 Husain Muannis , Tarikh al-Fikr al-Andalusi,(:Maktabah Tsaqafah ad-Diniah,), 334.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
31
Muhyiddin Ibn Arabi. Ia membawa pandangan tasawuf pada penyatuan diri
dengan Tuhan (panteisme).16
B. Penulisan Kitab
Selaku filosof yang mempunyai kemampuan sastra, Ibn Tufail memilih
metode penulisan dengan gaya penulisan sastrawi yang berbentuk cerita agar
mudah dicerna oleh banyak kalangan. Berawal dari sebuah permintaan oleh
sahabatnya yang ingin mengetahui tentang hikmah ketimuran. Selain itu, tulisan
Ibn Tufail ini erat kaitannya dengan kritik atas al-Ghazali yang telah mengkritik
filsafat. Disaat itu orang masih ragu untuk mempelajari filsafat dan usaha para
filosof yang telah didamaikan oleh mereka telah sirna. Juga buku-buku yang
berbicara tentang filsafat sekarang bisa dikonsumsi oleh banyak elemen
masyarakat. Dari pembacaan fenomena di atas, amat logis buku Ibn Tufail ini
ingin menetralisasi keadaan dan ingin mengembangkan filsafat ke tempat yang
semula, yaitu filsafat bukanlah barang haram. Dengan tulisan H}ay Ibn Yaqz}an,
Ibn Tufail ingin membumikan filsafat di Andalusia.17
Karya filsafat yang ditulis oleh Ibn Tufail dalam roman klasik H}ay Ibn
Yaqz}an bukan hal pertama yang dilakukannya. Terdapat judul yang sama dengan
roman klasik tersebut yang ditulis oleh Ibn Sina dan Suhrawardi. Diantara karya
keduanya ada sebuah perbandingan yang ditemukan oleh Ahmad Amin. Saat ia
memperbandingkan antara H}ay Ibn Yaqz}an yang ditulis oleh Ibn Sina dan Ibn
Tufail dari sisi kesusastraan maka terlihat bahwa ketinggian bahasa dan adab lebih
indah Ibn Tufail dari pada Ibn Sina. Hal itu diindikasikan karena Ibn Sina tidak
16 Ibid., 371.17 Sirojuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 208.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
32
melihat pada buku sastra arab akan tetapi hanya disandingkan pada pengetahuan
bahasa dan kamus saja. Lebih jauh, Ahmad Amin mengungkapkan bahwa
penggunaan kosakata filsafat lebih mendalam Ibn Tufail dari pada Ibn Sina.18
Abdul Halim Mahmud menyatakan setidaknya kalau Ibn Tufail seorang
sastrawan maka ia pandai dalam sajak dan sair. Hal tersebut tertuang dalam H}ay
Ibn Yaqz}an saat ia mengungkapkan beberapa pernyataan tentang masalah
ketuhanan. Selanjutnya Abdul Halim Mahmud melihat bahwa Ibn Tufail telah
menghimpun beberapa permasalahan penting filsafat. Bahkan ia menyatakan tidak
sepakat apabila pengetahuan Ibn Tufail hanya terbatas pada dunia filsafat saja
akan tetapi ada nilai sufistik yang tumbuh dalam dirinya. Hal tersebut dapat
dibuktikan terhadap gambaran Ibn Tufail dalam H}ay Ibn Yaqz}an yang mana ia
muncul di sebuah pulau yang jauh dari kehidupan, di pulau tersebut tidak ada
jejak manusia sama sekali, kemudian ia berkontemplasi dan mendapatkan
kesimpulan yang berangkat dari indrawi menuju rasional, dari parsial menuju
universal, sehingga ia sampai pada formulasi pemikiran tentang ketuhanan.
Kemudian ia juga melakukan ritual kebatinan (ar-riyad}ah ar-ruhiyah) yang
mengantarkannya pada posisi kewalian. Selanjutnya ada seorang pemeluk agama
langit yang ingin pergi ke pulau tak bertuan itu. Ia ingin melepaskan dunia untuk
memfokuskan diri beribadah pada Tuhannya. Setibanya dipulau tersebut, H}ay Ibn
Yaqz}an bertemu dengan pemeluk agama itu. Keduanya berdialog dan saling
memberikan pemahaman tentang ketuhanannya masing-masing. H}ay Ibn Yaqz}an
18 Ahmad Amin, H}ay Ibn Yaqz}an; li Ibn Sina wa Ibn Tufail wa as-Suhrawardi> (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 2008), 26.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
33
menyimak dengan baik penyampaian dari orang tersebut. Singkat cerita, H}ay Ibn
Yaqz}an akhirnya menemukan keyakinan sempurna.19
Berbeda pandangan dengan Abdul Halim Mahmud, Kamil Muhammad
Muhammad ‘Uwaidah menyatakan bahwa filsafat yang ada di Andalusia tidak
mempunyai hubungan dengan nuansa tasawuf. Ia menegaskan bahwa Ibn Bajah,
Ibn Tufail dan Ibn Rusyd telah mengkritik pemikiran tasawuf. Tiga filosof
tersebut, dalam kesimpulan Muhammad ‘Uwaidah, menggap bahwa tasawuf
hanya permainan imajinasi saja (al-‘a>lam al-khaya>li). Sebab filsafat di Andalusia
berpegangan pada akal sedangkan tasawuf pada hati semata. Kalau pun melihat
pada karya Ibn Tufail diksi kata yang dipakai mempunyai kesamaan dengan
tasawuf akan tetapi makna dan metodenya sangatlah berbeda.20
Antara H}ay Ibn Yaqz}an yang ditulis oleh Ibn Sina dan Ibn Tufail terlihat
pada sisi estetika dan psikologisnya. H}ay Ibn Yaqz}an yang digambarkan oleh Ibn
Sina hanya bersifat intelek-aktif (al-‘aql al-fa’a>l) dalam kisah tersebut. Secara
psikologis dalam simbol H}ay Ibn Yaqz}an hanya disama dengan seseorang yang
mempunyai kekuatan jiwa dan akal saja. Dalam artian semua manusia memiliki
dua hal tersebut sehingga ia berkembang menurut hukum evolusi yang ada.
Sedangkan H}ay Ibn Yaqz}an yang ditulis oleh Ibn Tufail mempunyai nuansa
dialektis yang cukup tinggi, dan dalam diri H}ay Ibn Yaqz}an mampu menangkap
informasi dan mengembangkannya sehingga terjadi dinamika dalam alam
pikirannya. Hal itu disebabkan oleh lingkungan yang mengitari H}ay Ibn Yaqz}an
saat masa perkembangannya.21
19 Abdul Halim Mahmud, Falsafah Ibn Tufail, (Kairo: Da>r al-Kutub al-Lubna>ni>, 1990), 15.20 Kamil Muhammad Muhammad Uwaidah, Ibnu Tufail; Failusu>f al-Isla>m fi> al-‘Ushu>r al-Wustha> (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiah,1993), 32.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
34
Tapi bagaimanapun Ibn Tufail tetap berhutang budi pada Ibn Sina karena
ia telah memberikan kontribusi pada plot penulisan cerita roman tersebut.
Penamaan pada dua aktor penting antara H}ay Ibn Yaqz}an dan Absal diambil dari
karya Ibn Sina dengan judul yang sama yaitu H}ay Ibn Yaqz}an Penamaan tersebut
berawal dari bangsa Yunani, kemudian diadobsi ke dalam kesusastraan mistik
Persia. Kemudian, ada sebuah cerita yang dibawa oleh Ibn Sina yang
diperkenalkan kepada dunia sastra yang diberikan oleh Nasiruddin at-Tusi (1274).
Penamaan dua kata tersebut pada dasarnya yang dimaksudkan oleh Ibn Sina
bahwa Salaman tidaklah lebih dari pada jati diri manusia pada umumnya,
sedangkan Absal merupakan sosok yang mana ia datang dari suatu kawasan
mistika. Didalam pemaknaan berbeda yang telah disampaikan oleh Nasiruddin at-
Tusi menyampaikan bahwa keduanya merupakan sosok jiwa yang berbeda:
Salaman merupakan ahli syariat (practical intellect), sedangkan Absal adalah ahli
kontemplasi (contemplative intellect). Dua nama tersebut muncul kembali pada
kisah roman yang ditulis Ibn Tufail dengan penggunaan plot cerita berbeda.22
C. Tema-tema Penting
Pembahasan yang menarik dari kajian filsafat berawal dari penciptaan
alam semesta. Perbincangan ini dimulai dari Yunani kuno sampai pada masa kini.
Begitu juga dengan Ibn Tufail saat menulis H}ay Ibn Yaqz}an, ia memulai dengan
problematika kosmologi sampai pada dimensi ketuhanan. Berikut akan diuraikan
tema-tema penting yang tertuang dalam karya tersebut:
1. Kosmologi
21 Madani Sholih, Ibn Tufail; Qad}aya wa Mawa>qif (Iraq: Da>r ar-Rasyid li an-Nasr, 1980), 141.22 Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, (London:Islamic Publition, 1962), 239
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
35
Bagi Ibn Tufail kosmos terbagi menjadi dua bagian antara mikro-kosmos
dan makro kosmos.23 Kosmos yang diatas bulan (makro-kosmos) dan dibawah
bulan (mikro-kosmos). Dua pemetakan ini dilihat dari karakter dari dua alam yang
berbeda, tapi keduanya tetap mempunyai keterkaitan. Baginya kosmos yang
dibawah bulan terdapat dua macam “ada”, yaitu ada yang hidup dengan perantara
jiwa dan mati disebabkan tidak mempunyai jiwa.24 Ibn Tufail pada dasarnya
mempunyai pandangan bahwa semua yang hidup itu mempunyai jiwa kesatuan
yang sama. Akan tetapi yang membedakannya adalah materi dan bentuk, sehingga
saat mengaktualisasikannya berbeda. Hal serupa yang dipahami oleh Aristoteles.
Baginya, sebagaimana semua makhluk fisis, terdiri dari materi dan bentuk,
demikian pun makhluk fisis yang mempunyai jiwa (psykhe) terdiri dari materi dan
bentuk. Badan adalah materi dan jiwa adalah bentuknya. Materi dan bentuk
masing-masing mempunyai peranan sebagai potensi dan aktus, kita dapat
mengatakan juga bahwa badan adalah potensi, sedangkan jiwa berfungsi sebagai
aktus. Dengan demikian kita dapat mengerti definisi tentang jiwa yang diberikan
dalam De anima yang ditulis oleh Aristoteles. Ia mendifinisikan jiwa sebagai
“aktus pertama dari suatu badan organis”. Ia mengatakan “aktus pertama”, karena
jiwa adalah aktus yang paling fundamental. Aktus ini mengakibatkan badan
menjadi badan yang hidup. Semua aktus lain merupakan “aktus yang kedua”,
23 Pembagian ini mengikuti pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa kosmos seluruhnya terdiri dari dua wilayah yang sifatnya sangat berbeda. Di satu pihak terdapat wilayah sublunar (= di bawah bulan). Yang dimaksud dengannya tidak lain daripada bumi. Dilain pihak terdapat wilayah yang meliputi bulan, dan planet-planet, dan bintang-bintang. Aristoteles membantah pendapat bahwa jagat raya tidak mempunyai batas. Menurutnya jagat raya bersifat terbatas—dengan kata Inggris, “finite”—dan jagat raya yang terbatas itu berbentu bola. Ia beranggapan juga bahwa jagat raya tidak mempunyai permulaan dalam waktu dan akibatnya kita dapat menyimpulkan bahwa jagat raya adalah kekal, sehingga tidak mungkin memusnahkannya. Lihat, Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 177. 24 Kamil Muhammad Muhammad Uwaidah, Ibnu Tufail; Failusu>f al-Isla>m fi> al-‘Ushu>r al-Wustha> (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1993), 96-98.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
36
yang berdasarkan aktus pertama tadi. Sebuah contoh kiranya dapat menjelaskan
maksudnya. Jika seekor kucing mengeong, itulah suatu aktualisasi; itu
dilaksanakan oleh suatu aktus. Kucing tidak menjadi kucing karena aktus
mengeong. Kucing adalah kucing karena jiwanya. Jiwa merupakan aktus pertama.
Jika tidak mempunyai jiwa, maka benda tersebut hanya terdiri dari materi saja.25
Hal ini terbukti pada bentuk benda-benda yang tidak bisa berkembang,
merasakan dan tidak makan, seperti batu-batuan, pasir, air, udara. Yang
membedakan dari ketiga benda padat (al-jamadad) terdapat pada kualitas dan
kuwantitasnya saja.26
Adapun kosmos yang di atas bulan mempunyai kesamaan dengan kosmos
di bawah bulan. Bagi Ibn Tufail karakter yang meliputi pada kosmos di atas bulan
terdiri dari tiga bagian, panjang, luas, dan kedalaman. Dari tiga karakter ini Ibn
Tufail tetap menyatakan bahwa kosmos di atas bulan masih berbentuk materi.
Dengan pemahaman bahwa ia akan musnah.27 Dan semuanya itu pasti mempunyai
suatu keterbatasan.28 Pemahaman yang disampaikan oleh Ibn Tufail ini, sekali
lagi, mempunyai kesamaan dengan Aristoteles. Menurut Aristoteles sesuatu
haruslah terbatas, dan batasan itulah yang merupakan formanya pada “mengada”
yang padat. Misalnya sejumlah air: sebagian dari air itu dapat dibedakan dari
bagian lainnya dengan menempatkannya ke dalam sebuah bejana, sehingga bagian
ini lantas menjadi “sesuatu”, namun selama bagian ini belum dibedakan dari
bagian air lainnya yang homogen maka ia bukan “sesuatu”. Sebuah arca adalah
25 Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 180.26 Kamil Muhammad Muhammad Uwaidah, Ibnu Tufail; Failusu>f al-Isla>m fi> al-‘Ushu>r al-Wustha> (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah,1993), 99.27 Ibid., 107.28 Ahmad Amin, H}ay Ibn Yaqz}a>n; li Ibn Sina wa Ibn Sina wa al-Suhrawardi> (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 2008), 66.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
37
“sesuatu”, dan pualam yang menjadi bahan arca, dari segi tertentu, tak berubah
dari keadaannya semula sebagai bagian dari bongkahan batu pualam atau bagian
dari barang-barang hasil pertambangan.29
Selain berbicara tentang masalah penciptaan alam semesta, Ibn Tufail juga
mempersoalkan kembali tentang masalah kedahuluan alam (qodi>m al-a>lam) atau
kebaruannya (hadith al-a>lam). Para filosof seperti al-Farabi dan Ibn Sina
keduanya bersepakat bahwa alam semesta mempunyai sifat terdahulu dalam
pemahaman al-Ghazali dalam Taha>fut al-fala>sifah.30 Dan persoalan ini diungkap
kembali oleh Ibn Tufail. Ia tidak terlalu jelas mengungkap tentang sifat
kedahuluan (qadi>m al-a>lam) alam. Tapi ia menyatakan bahwa alam semesta ketika
diciptakan oleh Niscaya-ada (Tuhan) tidak berkaitan dengan zaman, tetapi
mempunyai hubungan dengan dzat.31
2. Jiwa
Makhluk hidup dalam pandangan filosof pada abad pertengahan tidak
hanya terbentuk dari materi saja melainkan ada entitas yang
mengaktualisasikannya. Terdapat jiwa yang menjadi prinsip vital (vital principle)
yang ada dalam dirinya. Yang pertama kali muncul adalah jiwa nabati, diikuti
oleh jiwa hewani, dan diakhiri oleh jiwa manusiawi. Semua ini berlangsung secara
29 Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, terj. Sigit Jatmiko (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 223.30 Dalam pemahaman Ibn Sina alam berasal dari Wujud Niscaya-ada. Dengan dengan derma dan karunia-Nya, memancarlah intelek pertama. Ketika ia berpikir tentang dirinya sendiri, lahirlah intelek kedua. Dan ketika intelek kedua berpikir tentang dirinya sendirinya, terangkailah jiwa dan tubuh dari falak-luar. Proses emanasi ini kemudian berlanjut dengan sederetan intelek dan falak yang bersesuaian, sampai akhirnya terbitlah akal kesepuluh atau Akal aktif, yang berperan menata alam sublunar (al-alam tahta al-qamar). Setelah itu, alam anasir terbentuk. Di alam tersebut, anasir sederhana berpadu-paduan dengan “bentuk-bentuk substantif”. Lihat. Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2001), 60.31 Ahmad Amin, H}ay Ibn Yaqz}a>n; li Ibn Sina wa Ibn Sina wa al-Suhrawardi> (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 2008), 70.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
38
progresif, selaras dengan daya-tampung masing-masing jiwa. Jiwa nabati
didefinisikannya sebagai dasar pertumbuhan dan reproduksi; jiwa hewani sebagai
dasar gerak dan penangkapan terhadap rangsangan-rangsangan partikular; dan
jiwa manusiawi sebagai dasar pertimbangan dan pemahaman terhadap hal-hal
yang universal.32
Dapat disimpulkan bahwa jiwa dapat mengoprasikan segenap aktifitas
manusia. Dengan demikian jiwa adalah entitas yang penting bagi makhluk hidup
yang berada di mikro-kosmos. Ia merupakan pertama dari benda organik yang
alami. Yang menjadi persoalan bagi para filosof yaitu keberadaan jiwa dan badan
saat mati, apakah saat dibangkitkan dari kematian hanya jiwa atau jiwa dan
badan?
Para filosof dan teolog memang berbeda pendapat dalam menyikapi hal
ini. Kamil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah mengutip pendapat ‘Adduddin al-
Iji dalam bukunya al-Mawaqif menyatakan ada lima kelompok yang berbeda
pandangan dalam menyikap persoalan jiwa dan badan saat dibangkitkan dari
kematian, sebagai berikut:
a. Kebanyakan para teolog muslim berpendapat bahwa saat hari
pembalasan kelak yang bertanggung jawab dari perbuatannya di dunia adalah
badan.
b. Sebaliknya, para filosof-teolog menyakini bahwa hari pembalasan
yang bertanggung jawab atas perbuatannya di dunia adalah jiwa.
32 Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2001), 60
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
39
c. Para analis menyatakan bahwa jiwa dan badan yang harus
bertanggung jawab atas perbuatannya di dunia kelak di akhirat.
d. Sedangkan filosof naturalis menyatakan tidak ada pembalasan atas
jiwa dan badan.
e. Terdapat kelompok, tapi tidak disebutkan oleh al-Iji, tidak
berkomentar atas hari pembalasan di akhirat kelak.33
Saat Ibn Tufail membahas tentang kekalnya jiwa terlebih dahulu ia
menyinggung pengetahuan atas Tuhan. Kalau seseorang ingin mengetahui Tuhan
dengan idrawinya maka ia tidak akan pernah sampai, sebab idrawi hanya
mempunyai kemampuan pengetahuan yang dibatasi pada materi, sedangkan
Tuhan bukan entitas material. Bagaimana mungkin berangkat dari pengetahuan
bersifat materi menuju pengetahuan yang immateri? Ia menyatakan bahwa idrawi
tidak akan mampu mengenal Tuhan. Ia juga menambahkan bahwa pengetahuan
indrawi akan musnah karena masih terbentuk dari materi. Hanya dengan
musya>hadah manusia mampu mengetahui Tuhannya.34 Ia menyimpulkan indrawi
ragawi ( bodily sense) tidak dapat mengetahui Tuhan tapi dengan jiwa. Di dalam
jiwanya itu pulalah terletak esensi dirinya. Pada titik ini, menurut analisa Abduh
Syimali, Ibn Tufail menjadi yakin akan keluhuran jiwa, ketidakfanaannya, dan
bahwa kebahagiaan sejati akan tercapai tatkala diri menyelam dalam perenungan
tentang Wujud Mutlak.35
3. Intuisi
33 Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, Ibnu Tufail; Failusu>f al-Isla>m fi> al-‘Ushu>r al-Wustha> (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiah,1993, 122-123.34 34 Ahmad Amin, H}ay Ibn Yaqz}a>n; li Ibn Sina wa Ibn Sina wa al-Suhrawardi> (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 2008), 71-73.35 Abduh Shymali, Dirasa>t fi> Ta>ri>kh al-Falsafah al-Isla>miah (Beirut: Da>r as-Sha>dir, 1979), 628.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
40
Pengetahuan tentang Tuhan bisa dicapai dengan berbagai perspektif. Tapi
bagi ahli tasawuf, pengetahuan ketuhanan hanya bisa dijangkau dengan kekuatan
hati atau disebut dengan epistemologi intuitif. Seringkali seseorang yang
mempraktekan ajaran tasawuf apabila telah sampai pada derajat yang cukup tinggi
tidak mampu membahasakan secara lugas terhadap manusia pada publik
akibatnya dianggap menyimpang dari ajaran kemurnian Islam. Semisal al-Hallaj
dan Ibn Arabi, kedua tokoh ini sering menyatakan secara tegas telah menyatu
dengan diri Tuhan. Jelasnya, pemikiran ini adalah pengalaman pribadi seseorang
bukan keterpengaruhan berpikir dari budaya lain. Sekalipun terdapat budaya lain
yang mempengaruhi alam pemikirannya, Syami Ali an-Nassar menganggap hal
tersebut tidak terjadi secara langsung.36
Begitu juga dengan Ibn Tufail, ia menyebut ungkapan dari al-Hallaj yang
menyatakan bahwa tentang “diri” sebagai Tuhan. Ibn Tufail menyatakan bahwa
diksi kata yang dipakai tidak dapat disepadankan dengan bahasa manusia pada
umumnya.37 Ibn Tufail menemukan eksistensi Tuhan setelah proses ilmu
pengetahuan eksak untuk mengenal Tuhan akan tetapi tidak dapat mengantarkan
dirinya pada dzat Tuhan kemudian beralih untuk menggunakan hati agar bisa
mengenali Tuhan. Akhirnya ia merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya.
4. Ketuhanan
Konsepsi ketuhanan dalam pandangan filosof tentu sedikit ada perbedaan
dengan kaum teolog. Para teolog memahami Tuhan lewat wahyu yang telah
disampaikan oleh para nabi secara nalar menurun (al-aql at-tana>zuli>). Berbeda
36 Ali Syami an-Nassyar, Nasy’h al-Fikr al-Falsafi> fi> al-Isla>m (Kairo: Da>r as-Sala>m, 2007), 1199.37 Ahmad Amin, H}ay Ibn Yaqz}an li Ibn Si>na> wa Ibn Tufail wa as-Sahrawardi> (Kairo: Da>r al-Ma’arif, 2008), 43.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
41
halnya dengan filosof, mereka memahami Tuhan setelah menggunakan akal
dengan maksimal atau dengan sebutan akal menanjak (al-aql at-tasha>udi>).
Filosof pertama yang tercatat dan memberikan sumbangan pada Islam
adalah al-Farabi. Ia memahami Tuhan dengan cara teleologi. Yang dalam artian
alam semesta ini tidak bisa berdiri sendiri tanpa ada sebab utama untuk
terciptanya jagat raya. Dan sebab utama ini tidak bisa disebabkan oleh dzat yang
lain, karena ia tidak butuh apapun dan siapapun.38 Dari yang satu ini kemudian
muncul segala sesuatu di jagat raya.
Sebagai seorang murid, Ibn Sina banyak terpengaruh oleh al-Farabi
dengan teori emanasinya (al-Faidhiyah). Dari segi konten pemikiran, Ibn Sina
sebagai seorang filosof helenistik, sedangkan konstruksinya mengikuti sistemasi
Islam. Sedangkan teori untuk membuktikan penciptaan adanya Tuhan ia
mempunyai kesimpulan bahwa terdapat sepuluh intelek aktif (active intellect) di
jagat raya ini. Pada mayoritas filosof muslim mempercayai adanya malaikat Jibril.
Penamaan Jibril ini pun pada dasarnya disebut intelek aktif yang telah
memberikan bentuk pada materi bumi.39 Sedangkan yang menciptakan sepuluh
intelek tersebut adalah Tuhan yang satu.
Ibn Tufail juga memiliki konsepsi adanya Tuhan yang tidak jauh berbeda
dengan para filosof sebelumnya. Baginya alam semesta yang teratur ini pasti ada
yang menciptakan, yaitu Tuhan. Ia Maha Sempurna, Maha mengetahui, Maha
Pemurah, dan Maha Baik, serta memiliki sifat kesempurnaan yang jejak-jejak dan
38 Muhammad Abdul Hadi Abu Ruwaidah, Ta>ri>kh al-Falsafah fi> al-Isla>m (Kairo: Hay’ah al-A<mmah, 2010), 182.39 Abdul Kadir Riyadi, The Phenomenology of Tasawuf: On Islam as a Cosmic Religian, (Surabaya: Pustaka Idea, 2014), 79
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
42
tanda-tanda-Nya terpampang di alam yang rendah ini. Sebaliknya, Mahasuci Dia
dari segala sifat ketaksempurnaan.
Oleh karena itu, seseorang hanya bisa memilih dari berbagai sifat makhluk
yang ada di alam semesta ini. Ia akan meniru perilaku hewan, benda-benda langit
atau Tuhan. Ada tiga tugas yang mesti dijalaninya, yakni:
a. Sebagai bagian dari dunia binatang, ia harus memenuhi kebutuhan
fisiknya sebatas bisa bertahan hidup untuk lantas mewujudkan tujuannya yang
utama, yakni merenungi Tuhan.
b. Sebagai makhluk yang berwatak spiritual atau intelektual, ia harus
senantiasa merenungkan keindahan dan keteraturan alam sekitarnya.
c. Sebagai makhluk yang dekat dengan Tuhan, ia harus sepenuhnya
paham bahwa kontemplasi intelektual mengenai Tuhan tidak akan memadai untuk
menjangkaunya. Karena, dalam kontemplasi semacam ini, jiwa takkan bisa
menghilangkan kesadaran tentang identitas dirinya atau ke-aku-an.40
Dari ketiga karakter manusia di atas, ia hanya bisa melebur pada diri
Tuhan (maqa>m al-fana>’ wa al-masya>hadah) saat tidak memikirkan tentang
ciptaannya, melainkan fokus pada diri Tuhan semata. Pengalaman spiritual seperti
ini tidak bisa didapat oleh semua orang dan tidak bisa dibahasakan dengan untaian
kata yang dipakai oleh makhluk hidup. Kalau pun seseorang memaksakan diri
untuk menerjemahkan tingkat spiritual seperti ini, yang kemudian terjadi variasi
penafsiran dari seorang penutur tersebut. Atau pilihan yang paling buruk adalah
40 Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2001), 106
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
43
dianggap kesalahan fatal saat memahami teks-teks suci. Akibatnya yang terjadi
pembunuhan pada beberapa tokoh sufi yang mencoba untuk menjelaskan
pengalaman spiritualnya pada seseorang, seperti al-Hallaj dan Suhrawardi.
5. Integrasi Filsafat dan Agama
Usaha para filosof untuk menyatukan antara filsafat dan agama dimulai
semenjak al-Kindi sampai Ibn Rusyd. Bagi Ibn Rusyd antara syari’at dan filsafat
tidak ada perbedaan. Keduanya merupakan sebuah kebenaran, maka tidak
mungkin apabila dan syari’at. Terbukti dalam karya Hay ibn Yaqdhan ia
menceritakan pertemuan antara keduanya benar terjadi sebuah pertentangan.41
Dalam pembahasan ini Ibn Thufail tidak melewati isu tentang integrasi
antara filsafat Absal dan Yaqdhan. Bagaimana Absal diposisikan sebagai lakon
ahli syariat dan Yaqdhan pegiat filsafat. Keduanya berdialog tentang pengalaman
spiritualnya masing-masing.
D. Relevansi dalam Konteks Kekinian
Perkembangan filsafat di dunia Islam mengalami perubahan yang cukup
signifikan, sebab terjadi dialog pemikiran antara dunia timur dan barat di abad
modern. Filsafat barat di abad modern yang disinyalir sebagai pemberontak
terhadap gereja menjadikan corak pandang mereka terhadap agama mulai
tergerus. Pemberontakan terhadap agama itu bisa dilihat dari sudut pandang yang
variatif. Disatu sisi, kita bisa menganggap modernitas sebagai disintegrasi
intelektual. Filsafat modern lebih menampilkan dirinya sebagai anarki dan
41 Ibn Rusyd, Fashlu al-Maqa>l: Fi>ma> Baina al-Hikmah wa al-Shari’ah min al-Ittisa>l (Mesir: al-Maktabah al-Mahmudiah at-Tija>riah, 1968), 15.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
44
kekacauan daripada keutuhan dan ketertiban. Filsafat modern, dalam wawasan ini,
adalah sebuah kemerosotan intelektual. Mereka yang ingin mempertahankan
metafisika tradisional berada pada posisi ini. Di lain sisi, kita bisa menganggap
filsafat modern sebagai sebuah emansipasi, sebuah kemajuan berpikir, dari
kemandegan dan pendewaan pemikiran metafisis yang mendukung sistem
kekuasaan gerejawi tradisional. Mereka pada posisi yang kedua ini mendukung
radikalisasi lebih lanjut, pemisahan ilmu pengetahuan dari filsafat. Kita tidak bisa
memihak salah satu posisi secara ekstrem. Dalam kenyataan, hancurnya
metafisika tradisional disambut gembira oleh filsuf-filsuf, seperti Nietzsche, Kant,
Comte, dan seterusnya, dilain pihak, Hegel dan Marx ingin mengembalikan
integrasi metafisis itu dari puing-puingnya.42
Dalam karya Karen Amstrong A History of God: The 4.000-Year Quest of
Judaism, Christianity and Islam menulis pada bab khusus yang membicarakan
tentang masa depan Tuhan. Ia bertanya, “Adakah masa depan bagi Tuhan?”.
Pertanyaan ini seakan-akan mengarah pada keraguan akan keberadaan Tuhan
dimuka jagat raya ini. Terbukti dengan data yang ditulis oleh Karen Amstrong
dalam karya itu banyak ditampilkan para ilmuwan dan filosof berikut fenomena
yang berkembang di Eropa tidak berpihak pada agama. Ia menyebutkan bahwa
ribuan orang berada di ambang ajal karena kelaparan dan kekeringan. Generasi-
generasi sebelum kita telah merasakan bahwa akhir dunia sudah dekat, tetapi kita
tampaknya sedang menghadapi masa depan yang tak terbayangkan. Bagaimana
gagasan tentang Tuhan akan bertahan dalam tahun-tahun mendatang? Selama
42 F. Budi Hardiman, Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern (Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2011), 5-6.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
45
4.000 tahun gagasan itu telah mampu menjawab tuntutan zaman, tetapi pada abad
kita ini, semakin banyak orang yang merasakannya tak lagi bermanfaat bagi
mereka, dan ketika sebuah gagasan keagamaan kehilangan fungsi, ia pun akan
terlupakan. Mungkin Tuhan memang gagasan masa silam.43
Sebelum jauh menyimpulkan akan hilangnya gagasan Tuhan yang mulai
hilang dari ruang pikiran manusia modern, sehingga Tuhan tidak memiliki tempat
lagi dalam alam pikirannya maka disini harus ditegaskan bahwa sejak 650 SM
sampai berakhirnya filsafat Yunani, akal mendominasi. Selama 1500 tahun
sesudahnya, yaitu selama abad pertengahan di Barat yang didominasi oleh
Kristen, akal harus tunduk pada pada keyakinan yang telah dikonsepsikan oleh
gereja. Sejak Rene Descartes, tokoh pertama filsafat modern, akal kembali
mendominasi filsafat.
Descartes dengan konsep Cogito ergo sum (Saya berpikir, maka saya ada)
berusaha melepaskan filsafat dari dominasi agama Kristen. Ia ingin akal
mendominasi filsafat. Sejak ini filsafat didominasi oleh akal. Akal kembali
mempunyai peran yang cukup besar. Voltaire telah berhasil memisahkan akal
dengan iman. Francis Bacon amat yakin pada kekuatan Sain dan Logika. Dua alat
mencari kebenaran ini dianggap telah mampu menyelesaikan semua masalah.44
Lebih lengkap lagi dari pemikiran Modern yang mengedepankan
kemanusian dan membunuh eksistensi Tuhan dirumuskan oleh Jean Paul Sartre
dan Frideric Nietzche. Pandangan Sartre tentang ateisme merupakan akumulasi
43 Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, terj. Zainul Am, (Bandung: Mizan Pustaka, 2012), 553.44 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2013), 82-83.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
46
konsepnya tentang masalah kebebasan. Ia mencoba mendeskripsikan kebebasan
bukan hanya relasi dia pada orang lain, melainkan keberadaan Tuhan seakan
menjadi ancaman bagi manusia untuk mengeskpresikan diri mereka dalam
kehidupan. Ketika masih ada Tuhan, seakan-akan manusia masih terpantau dari
berbagai arah --Tuhan, yang digambarkan Sartre, hanya bisa mengkontrol dan
memantau manusia, ia tidak bisa dikendalikan oleh siapapun, sehingga Ia bebas
untuk melakukan apa saja, karena entitas yang menjadi subjek absolut.
Namun demikian, Sartre tetap berusaha untuk melepaskan diri dari
cengkraman tuhan dan menjadikannya objek bagi saya. Akan tetapi, Allah adalah
subjek absolut, yang tidak pernah mungkin dijadikan objek. Menerima Allah
berarti mengakui bahwa saya dan semua orang lain merupakan objek baginya.45
Saat manusia telah menjadi objek bagi Tuhannya, mereka hanya
mempunyai dua pilihan: tunduk pada Tuhan atau memberontak. Jelasnya, Sartre
akan mengambil pilihan yang kedua. Karena kalau kembali pada konsep awal
tentang kebebasan yang ditawarkan oleh Sartre, manusia seharusnya bebas secara
kodrati.
Dengan konsep-konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa Sartre betul-
betul seorang ateis atau lebih tepatnya ia tidak hanya beragama tapi juga tidak
bertuhan. Keberadaan Tuhan baginya hanya menjadi pengekang atas kehidupan
manusia. Sebab moralitas manusia adalah kebebasan itu sendiri.
45 Keets Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006),114.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
47
Ungkapan yang menarik dikutip oleh Keets Bertens saat ia membahas Jean
Paul Sartre:
“Once only I had the feeling that He existed. I had been playing with matches and had burnt a mat; I was busy covering up my crime when suddenly God saw me. I felt His gaze inside my head and on my hands; I turned round and round in the bathroom, horriblyvisible, a living target. I was saved by indigation: I grew angry at such a crude lack of tact and blasphemed, muttering like my grandfather: ‘Sacre’ nom de mom de Dieu de mom de Dieu. He never looked at me again.”
“Hanya sekali aku punya perasaan bahwa Dia ada. Aku telah bermain dengan korek api dan membakar sebuah keset; aku sibuk menghilangkan bekas-bekas kejahatanku, ketika tiba-tiba Allah melihat aku. Aku merasakan sorot mata-Nya di dalam kepalaku dan pada tanganku; aku berputar-putar di kamar mandi, kelihatan secara mengerikan, bagaikan bulan-bulanan yang hidup. Aku diselamatkan karena kegusaran. Aku naik darah karena tingkah laku yang begitu kurang ajar dan menyerah-Nya, sambil bergumam seperti kakekku: ‘Sacre’ nom de Dieu de nom de Dieu de nom de Dieu’. Tidak pernah ia menatapku lagi.”
Selain Sartre, Nietzsche bukan hanya mengumumkan ateisme, melainkan
juga meramalkan datangnya zaman ateistis. Ia dengan tegas menyatakan bahwa
Tuhan telah mati. Pada masa dimana ia hidup kreativitas dan kemerdekaan harus
terbuka seluas-luasnya. Tak ada lagi larangan atau perintah, dan manusia
seharusnya, dalam pikirannya, tidak lagi menoleh ke dunia transenden.46
Pemikiran Barat pada abad modern untuk mengkritik Kristen dan agama
pada umumnya mempunyai implikasi yang cukup tinggi pada dunia Islam. Tidak
sedikit dari kalangan pemikir Islam mencoba menerjemahkan misi ketuhanan
tidak hanya berada di alam luar sana, tapi misi tersebut harus mampu membumi
pada lingkungan manusia. Teks keagamaan yang mulai diterjemahkan secara
46 F. Budi Hardiman, Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern (Jakarta: Erlangga, 2011), 241-242.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
48
manusiawi, yang mana proyeksi tersebut merupakan bagian dari filsafat modern
yang diterjemahkan dengan manusia.
Bentuk penafsiran ulang tentang ketuhanan pada dasarnya merupakan
bentuk kritis yang disampaikan oleh banyak pemikir Islam setelah mengalami
dialektika pemikiran yang cukup panjang. Tidak sedikit kemudian jika terdapat
beberapa pemikir modern mengkritisi produk tafsir ketuhanan sarjanawan muslim
klasik. Kekritisan mereka pada dasarnya mencari ruang kosong untuk
mengekspresikan pemikirannya. Tentu dalam konteks dunia filsafat, kritik adalah
hal terpenting untuk menyempurnakan suatu keilmuan dari satu masa ke masa
berikutnya.
Ibn Tufail merupakan seorang filosof yang telah mengkritisi filosof
sebelumnya, antara lain al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali dan Ibn Bajah.
Bentuk kekritisan ini perlu dimunculkan kembali dalam konteks kekinian agar
terjadi dialektika keilmuan yang utuh. Begitu pula dengan pemikiran yang
dihasilkan oleh Ibn Tufail yang tidak bisa lepas dari kritik dan perlunya
pembenahan kembali.47
47 Musthafa Ghalib, Fi> Sabi>li Mausu’ah Falsafah (Beirut: Da>r wa Maktabah al-Hila>l, 1991), 32.