bab ii pembahasan a. daulah islamiah di irak dan suriah · bab ii pembahasan a. sejarah daulah...
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Daulah Islamiah di irak dan Suriah
1. Latar Belakang
a) Faktor Politik
Bermula dari invasi Amerika Serikat (AS) dengan sejumlah negara pendukung (Sekutu)
ke Irak di tahun 2003. Ketika itu Irak masih dibawah kendali Saddam Husain. Hingga akhirnya
pemerintahan Sadam Husain mampu digulingkan, dan AS berusaha membuat pemerintahan baru
untuk menjalankan kepemimpinan di Irak. Pemerintahan yang berbasis Syiah membuat
Masyarakat Irak yang mayoritas Sunni menolak. Hal ini membuat rakyat Irak bangkit dan
berjuang membebaskan diri dari penjajahan AS beserta pemerintahan. Hal ini memicu
munculnya perlawanan dan membentuk kerjasama antar faksi mujahid. Al-Qaeda , Taliban dan
Zarqawi yang memimpin kelompok Tauhi>d wa Jiha<d memjadi jaringan yang paling kuat dalam
melawan invasi dan bergabung mengganti nama menjadi al-Qaeda fi > biladil Rafidhain (Assad,
2014: 94).
Kekacuan yang dibuat pemerintahan Irak dalam memperbaiki kondisi politik pada saat
itu membuat mujahidin era masa kini menyimpulkan ijtihad politiknya. Sistem tata Negara yang
dianggap jauh dari tatanan islam dan masih memihak pada elit politik, memaksa para mujahid
untuk membentuk sebuah Negara yang memliki tata pemerintahan yang berdasarkan nilai-nilai
islam secara utuh. Negara yang dicita-citakan dalam islam adalah Daulah yang menegakan
agama terlebih dahulu sebelum pertimbangan lainya (DSDII, 2007: 40).
Eksperimen pembangunan ideologi politik tandingan ini mendapat tantangan berat dari
politik barat. Belum ada satu negeri muslim pun yang dikuasai dengan ideologi politik islam
bertahan lama dan mampu menyeimbangkan kondisi politik global (Said, 2014 : 360-362).

Sejalan dengan pernyataan ini Kamaruzzaman (2001: 16) mengungkapkan Islam politik selalu
menemui jalan buntu untuk memperjuangkan sebuah Negara Islam di tengah hegemoni barat.
Namun para mujahid mengaku optimis hanya dengan ideologi ini akan menciptakan negeri yang
aman, tentram dan berkekuatan ekonomi kuat (lihat lampiran gambar 1).
Momen inilah yang digunakan untuk membangkitkan kembali perlawanan terhadap barat,
dan memicu munculnya deklarasi perlawanan ISIS. Momen yang diambil adalah ketika kedua
kekuatan besar antara politik islam dan modernis sekuler hampir kehilangan nafas untuk
meneruskan perjuangan. Namun, dengan lebel ideologi islam politik, ISIS mampu
membangkitkan perlawanan politik. Gerakan ini mampu menjadi alternatif yang menawan bagi
pergerakan-pergerakan perlawanan terhadap ideologi modernis sekuler barat (Said, 2014 : 364-
369)
Jargon ISIS untuk selalu menegakan Islam dan Melindungi kaum muslimin menjadi
retorika yang menyejukan bagi masyarakat Irak dan Syuria sebagai bentuk simpati. Visi politik
ini sebenarnya sebagai sarana penyemen ideologi bagi individu dan kelompok sosial agar
bergabung memperjuangkan bersama misi mendirikan Daulah Islamiah. Proses hegemoni terjadi
karena ideologi adalah materi yang mampu menyemen hubungan antar kelas yang antagonistik
terhadap kelas yang berkuasa, tidak mengherankan jika para masyarakat yang rindu akan
ketentraman bernegara mulai membela dan turut berjuang bersama afiliasi ISIS (Kurniawan,
2012: 78).
Tribunnews menyebutkan pada artikel yang ditampilkan tanggal 16 Oktober 2015
mengungkap melalui wawancara Hilary Clinton Amerika mempunyai kepentingan yang sangat
besar di Asia Tengah terutama wilayah penghasil minyak. Dalam lanjutan wawancaranya Dia
juga mengungkapkan bahwa Al-Qaeda dan ISIS adalah buah dari ciptaan Amerika. Selain

Amerika, Negara yang bertanggung jawab terkait ISIS adalah Inggris dan Israil. Kepentingan
politik, ekonomi dan keamanan dunia tingkat tinggi menjadi factor yang paling memicu
pembentukan ISIS di Irak dan Suriah. Selain tidak menutup kemungkinan adanya fakta bahwa
ISIS memang memperjuangkan, terdapat sekenario yang dibuat amerika untuk dapat masuk
kedalam kawasan Timur Tengah (http://medan.tribunnews.com/2015/10/16/ini-bukti-amerika-
menciptakan-al-qaeda-dan-isis).
b) Faktor Ekonomi
Pasca invasi AS kondisi perekonomian Irak mulai lemah. Kondisi Negara yang
mengalami kerusakan parah sehingga mengakibatkan konsentrasi perbaikan sepihak. Masa kritis
yang komplek mulai dari masalah ekonomi lokal, imigrasi, pangan dan energi membuat kondisi
keuangan Irak minus sedangkan pemerintah sudah tidak mampu lagi memberikan kemapanan
ekonomi bagi masyarakat sipil. Akibat dari perang banyak masyarakat yang kehilangan
pekerjaan, hingga mereka tak tau apa yang harus mereka lakukan untuk memberi makan dan
memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya (Yanuana, 2014 : 20).
Siagian (2012: 12) menunjukkan dalam Tesisnya,bahwa kondisi rakyat sipil Irak mulai
membandingkan pada masa pemerintah diktator Saddam Hussein, hanya saja pada saat itu minus
angin kebebasan karena Saddam mengontrol rakyatnya secara ketat. Sekarang, tidak ada
kepastian hukum dan jaminan keamanan, pengangguran membengkak luar biasa, penyelundupan
dan kriminalitas merajalela, dan rakyat kekurangan pasokan listrik serta air bersih. Kebebasan
yang ada di manfaatkan mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari dengan cara
apapun. Mereka tak takut untuk melakukan hal-hal seperti tindakan kriminal karena kini di
negeri itu tak ada lagi hukum yang mengikat mereka seperti di rezim Saddam.

Irak yang dulu terkenal penghasilan terbesarnya dari minyak kini ekonomi menjadi
kacau akibat perang. Sekarang sumur-sumur minyak tersebut belum dapat digunakan
sebagaimana mestinya karena banyak mengalami kerusakan akibat pembombardiran yang
dilakukan kapal-kapal perang Amerika dan sekutunya. Masyarakat mulai mengeluhkan kondisi
ini, ISIS hadir menawarkan alternatif sistem ekonomi islam yang dianggap mampu mengatasi
krisis ekonomi serta mampu memakmurkan ekonomi Irak. Tawaran ini menjadikan masyarakat
Irak menjadi bergairah untuk membela dan banyak yang ikut bergabung memperjuangkan
Daulah Islamiah di irak dan Suriah. Ikhwanul (Republika edisi 25 Agustus 2014)
mengungkapkan kenyataan adanya campur tangan As tentang embargo Ekonomi untuk
menguasai minyak di Timur Tengah. Gempuran AS untuk ISIS tak pernah berhenti namun
daulah islamiah masih bergema di negeri Irak dan Suriah. Masyarakat mulai menyalahkan AS
tentang kerusuhan ini dan mempertanyakan peranya.
c) Faktor Sosial Budaya
Konflik etnis yang terjadi di Irak pada masa transisi demokrasi tahun 2003-2011 terjadi
karena tumbangnya Saddam Husein, tidak ada lagi kontrol dan peraturan hukum yang berlaku
untuk mengatur kehidupan sosial mereka. masyarakat Irak mendapatkan kebebasan yang
berlebihan dan tidak terkontrol, dengan banyaknya suku-suku yang ada di Irak didorong dengan
keinginan masing-masing kelompok untuk mendapatkan identitas politiknya supaya diakui dan
mendapatkan kekuasaan, maka masing-masing kelompok tersebut saling berkonflik dan
melakukan penyerangan satu sama lain (Sugito, 2010: 10).
Di Irak kini tindak kriminal semakin meningkat, banyak terjadi aksi-aksi perlawanan
terhadap pasukan Amerika Serikat, dan banyak pula aksi-aksi yang dilakukan oleh beberapa
kelompok sperti kelompok Syiah pimpinan Muqtada al-Sadr, Golongan Sunni yang

mendominasi politik di era Saddam merasa terancam dengan kondisi pemerinthan yang dikuasai
Syiah. Belum lagi, dengan sistem federal, penguasaan kaum Sunni di daerah Irak tengah tidak
menghasilkan minyak yang begitu berarti bila dibandingkan dengan di bagian selatan dan utara
Irak yang dikuasai kaum Syiah dan Kurdi. Sekarang kelompok Syiah hampir mendominasi
segala aspek bernegara baik eksekutif, legislative, maupun militer.
ISIS terbentuk dari rintisan Al-qaeda, yang dimana menganut nilai-nilai ajaran pemurnian
agama islam. Dari sinilah masyarakat Irak dan Suriah yang mayoritas sunni, namun
pemerintahan dipegang oleh Syiah merasa keberadaanya mulai tidak bisa disandingkan.
Masyarakat awalnya melakukan demo secara damai untuk menurunkan pemerintahan yang
berbasis Syiah. Demo itu ditanggapai dengan penghadangan yang luar biasa, pemerintah tak
segan-segan menangkap dan memenjarakan para pendemo (Haidar, 2007: 120-128). Hal ini
mengakibatkan perlawanan semakin gencar dilakukan. Dengan dukungan para kelompok jihadis
sunni, masyarakat irak semakin terbangun dan berani untuk melawan pemerintahan.
2. Tokoh Sentral Daulah Islamiah
a) Abu Mush’ab az-Zarqawi
Abu> Mush'ab Az-Zarqa>wi> (bahasa Arab: أبومصعب الزرقاوي) adalah pemimpin kelompok
militan Islam Al Qaeda di Irak pada awal kemunculanya. Dilahirkan di Zarqa, Yordania pada
tanggal 20 Oktober 1966 dengan nama Ahmad Fadil Nazal Al Khalaylah dalam sebuah
lingkungan miskin. Pernah dipenjara karena beberapa kasus kriminal ringan. Selanjutnya ia
berubah menjadi seorang islamis militan dan pernah ikut bergabung bersama mujahidin
Afganistan berperang melawan Uni Sovyet (https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Musab_al-
Zarqawi dilihat pada 26 Maret 2015 pukul 21.24 WIB).
Zarqawi (lihat gambar 2) tercatat sebagai jurnalis untuk sebuah media jihad, Al-Bosnian
Marsous yang diterbitkan di kota Peshawar. Kemudian beralih menjadi seorang mujahid di

pertempuran bergabung dengan Al-Qaeda. Perjuangan mengusir Uni Soviet di Afghanistan
bersama Al-Qaeda adalah pengalaman pertama berhadapan langsung sebagai sarana jihadnya.
Sejak itulah Ia selalu bertempur dengan semua yang dianggap sebagai musuh Islam. Pada
tanggal 29 Maret 1994, Zarqawi masuk penjara karena mencoba melawan pemerintah Yordania
yang dianggap Thoghut denganmendirikan organisasi ―jamaah at-tauhi>d” kemudian berganti
nama menjadi ―baiatul ima>m” yang bertujuan mendirikan Negara islam di bawah konsep
kepemimpinan khilafah (Assad, 2014: 90).
Ketika Amerika Serikat menyerang Afghanistan pada akhir 2001, al-Zarqawi bergabung
dengan al-Qaeda dan Taliban untuk pertama kali dan terlibat pertempuran sengit di Herat dan
Kandahar. Pada tahun 2003 Al-Zarqawi yang memimpin faksi jihad tauhi>d wa jiha>d menjadi
incaran AS yang dianggap orang paling bertanggung jawab atas pertempuran melawan invasi AS
di Irak. Karena itulah Zarqawi berambisi mendirikan Negara islam dengan menggabungkan para
mujahid. Pada April 2006, Ia mengumumkan terbentuknya Majelis Syuro Mujahidin (MSM).
Namun, tak sampai dua bulan kemudian Zarqawi tewas di Hibhib desa kecil sebelah utara Irak
karena serangan udara AS (Assad, 2014: 92-96).
b) Abu Umar al-Baghdadi
Hamid Dawud Mohamed Khalil al Zawi atau lebih dikenal dengan Abu> Abdulla>h al-
Ra>syid al-Baghda>di> (ابو عبدهللا الراشد البغدادي), dan juga memiliki nama Abu> Hamza al-Baghda>di>
serta dikenal dunia dengan sebutan Abu> Umar al-Qurasyi> al-Baghda>di> karena telah
memproklamirkan Daulah Islamiah (Islamic State in Iraq : ISI), dan Sempat menjadi perwira di
dinas keamanan irak (Assad, 2014: 97).
Setelah Zarqawi tewas, Abu Umar al-Baghdadi (lihat gambar 3) menjadi tokoh sentral
para mujahidin yang kala itu sudah terbentuk dengan nama Majelis Syuro Mujahidin. Ia menjadi
pemimpin Organisasi yang telah dibentuk sebelumnya oleh Zarqawi. Hingga, pada 13 Oktober

2006 majelis syuro mujahidin berubah menjadi ISI. Abu Umar al-Baghdadi dinobatkan sebagai
khalifah ISI karena dianggap sebagai tokoh yang berkrisma dan pantas menduduki kursi
kekhalifahan. Pada 18 April 2010, Abu Umar al-Baghdadi dilaporkam tewas akibat serangan
gabungan AS dan Pemerintah Irak di barat daya dari Tikrit (Assad, 2014: 98-100).
c) Abu Bakr al-Baghdadi
Ibra>hi>m bin Awwa>d bin Ibra>hi>m bin Ali> bin Muhammad al-Badri> al-Sa>marra>i> ( إبراهيم ابن
sebelumnya juga dikenal sebagai Dr Ibrahim dan ,(عواد ابن إبراهيم ابن علي ابن محمد البدري السامرائي
Abu Du'a alias Abu> Bakr al-Baghda>di> (أبو بكر البغدادي) (lihat gambar 4) telah mengklaim sebagai
Khalifah-kepala negara dan teokratis mutlak raja-Negara Islam yang memproklamirkan diri
terletak di Irak barat dan utara-timur Suriah. Dia adalah pemimpin ISIS
(https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Bakr_al-Baghdadi dilihat pada 26 Maret 2015 pukul 21.24
WIB).
Al-Baghdadi lahir di dekat Samarra, Irak, pada tahun 1971, ia meraih gelar master dan
PhD dalam studi Islam dari Universitas Islam Baghdad (sejak berganti nama menjadi Universitas
Irak) di pinggiran Adhamiya. dia adalah seorang ulama di Masjid Hanbal Ahmad ibn Imam di
Samarra pada sekitar waktu invasi pimpinan AS ke Irak tahun 2003 (Assad, 2014: 97).
Setelah invasi AS ke Irak pada tahun 2003, al-Baghdadi membantu mendirikan kelompok
militan, Jamaat Jaysh Ahl al-Sunnah wa-l-Jamaah (JJASJ), di mana ia menjabat sebagai kepala
kelompok komite syariah, Al -Baghdadi dan kelompoknya bergabung dengan Majelis Syuro
Mujahidin (MSM) pada tahun 2006, di mana ia menjabat sebagai anggota komite syariah MSM.
Setelah mengubah nama MSM sebagai Islamic State in Iraq (ISI) pada tahun 2006, al-Baghdadi
menjadi pengawas umum komite syariah ISI dan anggota dari kelompok dewan konsultatif
senior (Assad, 2014: 97).

Pada tanggal 29 Juni 2014, ISI mengumumkan pembentukan khilafah, al-Baghdadi
sebagai khalifah, atau lebih dikenal sebagai Khalifah Ibrahim, dan Negara Islam Irak dan Suriah
ini berganti nama menjadi Negara Islam (IS).
3. Pola Pengorganisasian
Pola pengorganisasian yang digunakan sebenarnya sangat beragam. Namun, dapat
dikelompokan menjadi dua pola. Pertama, ISIS akan memanfaatkan para tokoh masyarakat
untuk merepresentasikan kelompok ini sebagai basis jihad. ISIS akan memanfaatkan kelas sosial
atau sel-sel independen sebagai representasi gerakan ini untuk kepentingan bersama. Tokoh
intelektual ini berfungsi menghidupkan kembali semangat jihad membentuk Negara yang
berpegang pada tali Islam di beberapa daerah sebagai benih. Selanjutnya, para simpatisan yang
tertarik akan menjadi penghubung antara tokoh independen daerah dengan pimpinan pusat yagn
dalam hal ini disebut sebagai khalifah. Tokoh independen daerah dapat pula memimpin dan
mengimprovisasi peperangan untuk melawan musuh-musuh Khilafah sebagai bentuk
perlawanan.
Kedua, memanfaatkan kelompok-kelompok yang terdapat di setiap Negara untuk berbaiat
kepada ISIS. Kelompok yang bergabung harus Menyatakan sumpah setia dan menyatukan visi
dengan nilai-nilai keislaman melawan barat dan sekutunya. Dengan bibit yang sudah ada, ISIS
tinggal membangun kontak secara intensif. ISIS akan mengkoordinaskan penyerangan melalui
tokoh independen dimasing-masing daerah yang akan ditaklukan. Ideologi memainkan peran
penting dalam hal ini. Alternatif yang ditawarkan selalu menggiurkan para mujahid dan
kelompoknya untuk bergabung kedalam ISIS. (Said, 2014 :136)
4. Basis pergerakan

Daulah Islamiah Irak mendeklarasikan diri pada tanggal 15 Oktober 2006 bertepatan
dengan 22 Ramadhan 1427 H oleh koalisi Mujahidin yang dipublikasikan melalui video. Juru
bicara ISIS menyampaikan bahwa Daulah Islamiah Irak meliputi wilayah provinsi, yaitu
Baghdad, Anbar, Diyala, Kirkuk, Shalahuddin, Nainawa dan sebagian provinsi Babil dan
Wasith. Berikut adalah peta wilayah yang diklaim oleh Daulah Islamiah Irak (lihat gambar 5).
Pada tanggal 9 April 2013 bertepatan dengan 28 Jumadil Awal 1434 H Dalam deklarasi
ke dua tersebut dinyatakan adanya penghapusan nama Daulah Islamiah Irak (ISI) dan Jabhah
An-Nushrah, kemudian berkumpul dalam satu nama, yaitu Daulah Islamiah di Irak dan Syam
(ISIS). Sejak munculnya ISIS, peta pemikiran dan gerakan politik islam beransur-ansur mulai
merubah arus. Akar pergerakan yang berembrio pada Al-Qaeda yang saat itu memiliki
kepentingan membela kaum muslimin kini menjadi kekuatan besar untuk menjadikan pergerakan
ini berkembang menjadi sebuah negara islam. Pada 29 Juni 2014 bertepatan dengan 1Ramadhan
1435 H, melalui media resmi ISIS mendeklarasikan wilayah yang mampu dikuasai bertepatan
dengan pengangkatan Khalifah Abu Bakar Al-Baghdadi. Adapun wilayah kekuasaan yang
diklaim meliputi 16 wilayah yakni di irak meliputi Baghdad, Anbar, Diyala, Kirkuk, Salah al-
Din, Ninawa, dan Babil. Sedangkan untuk wilayah Suriah meliputi al-Barakah, al-Kheir, Raqqa,
al-Nadiya, Halab, Idlib, Hama, Latakia, dan Damaskus (lihat gambar 6) (Roggio, 2006: 8).
Sedangkan di Suriah, ISIS masih mempertahankan pengaruhnya di daratan meskipun
baru-baru ini telah kehilangan penguasaannya atas daerah di sekitar Kobane. Mereka berhasil
menduduki daerah di sekitar Homs dan Damaskus dan kamp pengungsi Yarmuk.
B. Konsep Daulah Islamiah
1. Definisi Daulah Islamiah
Istilah negara (الدولة - Ad-Daulah) telah ada semenjak manusia membentuk suatu
komunitas. Wujud sebuah negara merupakan suatu keharusan dalam mengatur hubungan sosial

masyarakat. Hubungan antar kelompok masyarakat memerlukan sebuah institusi, karena dalam
berinteraksi antar sesama manusia, terdapat banyak kepentingan yang kadang mengarah kepada
pertentangan dan kekacauan. Dari sini, keberadaan negara menjadi penting, karena Negara
merupakan organisasi dalam satu wilayah yang dapat memaksakan kekuasaannya secara sah
terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan
bersama. Negara juga dapat menetapkan cara-cara dan batas-batas kekuasaan dapat digunakan
dalam kehidupan bersama, baik oleh individu, golongan, kelompok organisasi, maupun oleh
Negara itu sendiri (Budiarjo, 2007: 39).
Daulah terlahir dari proses perjalanan sejarah politik umat Islam, dimana pada mulanya,
ungkapan Daulah kurang popular dalam istilah kekuasaan. Sehingga, pada dekade awal Islam,
yang terkenal adalah Istilah sulþâniyah, kemudian berkembang menjadi mamlakah, karena
keadaan negeri-negeri tersebut berada di bawah kekuasaan kesultanan. Pada masa berikutnya,
sebutan mamlakah berganti menjadi Daulah, terutama pada masa dinasti Usmaniyah dimana
bangsa Turki tidak mengenal istilah ini-dan mereka mengambil nama Daulah sejak masa
kekuasaan Abbasiyah akhir, ketika mamlakah sedang mengalami perpecahan dan perebutan
kekuasaan antara tentara dan para menteri vis a vis gabenor dan amir di negeri-negeri yang jauh
dan dekat dari ibukota Baghdad, seperti Sayf al-Daulah al-Hamdani yang berasal dari silsilah
Arab dan Adhudud al-Daulah al-Buwaihi yang lahir di Persia (Harun, 2001: 156).
Istilah Daulah berkembang sampai saat ini, sehingga secara politik diartikan sebagai
sekelompok manusia yang menduduki suatu wilayah tertentu secara berterusan dan tunduk di
bawah suatu kekuasaan politik atau pemerintahan. Dalam istilah bahasa Inggris, negara (Daulah)
diterjemahkan menjadi state, country dan nation (Shadily dan Echols, 1992: 221). Konsep
negara bangsa ini muncul di Barat ketika ruang dan cakupan agama dibatasi hanya dalam

wilayah vartikal dalam kehidupan individu yang bersifat privat dan tidak mencakupi segala
aspek kehidupan yang bersifat publik. Keadaan seperti ini berlaku terhadap berbagai Negara
modern di dunia sekarang ini (Aliya, 2004: 30-31).
Perbedaan pandangan tersebut, selain disebabkan oleh faktor sosial, juga disebabkan dari
latar belakang budaya bangsa muslim yang beragam. Selain kedua faktor itu, faktor yang bersifat
teologis, yaitu tidak ada keterangan tegas dari sumber teras Islam: al-Qur‘an dan al-Sunnah
tentang format negara dan pemerintahan perspektif Islam maka berkembang pula Daulah
Islamiah yang mengacu pada unsur Syar‘i. Memang terdapat beberapa istilah yang sering
dihubungkan dengan konsep negara, seperti khalîfah, Daulah, dan hukûmah.
Ungkapan lain yang setara adalah dâr al-islâm merupakan istilah yang bermaksud
menjelaskan negara Islam. Istilah ini sangat masyhur dalam kajian fuqahâ terdahulu yang
memiliki pengertian yang sama dengan istilah Daulah dalam kajian modern. Penyebutan Daulah
dalam istilah modern pada umumnya bermakna negara Islam. Secara bahasa, dâr berarti tempat
(al-mahall), wilayah (albalad) dan negara (al-watan). juga boleh diartikan sebagai nama dari
lapangan, bangunan dan tempat. Dari sini, kota Madinah boleh disebut dâr karena merupakan
tempat golongan orang beriman,seperti yang dimaksud oleh firman Allah SWT dalam surat al-
Hasyr: 9 (Harun, 2001: 162).
2. Metode pengangkatan khalifah Daulah Islamiah
Secara umum Daulah Islamiah masih mengikuti metode pengangkatan khalifah seperti
ijma‘ulama,berdasarkanpengangkatankhalifahUmarbinKhatabdanAbuBakrAs-Shidiq pada
masa khulafaur rasyidin. Secara literatur pengangkatan khalifah dalam Islam ada 2 cara, yaitu :
pemilihan (al-ikhtiyar) dan penunjukan (al-‗ahd) (DSDII, 2007: 45):
a. Pemilihan (ikhtiyar)

Yakni, Ahlu Halli wa „Aqdi memilih seorang imam yang pada dirinya memenuhi
persyaratan yang harus dimiliki seorang imam. Seperti Pengangkatan Utsman bin Affan juga
melalui proses ikhtiar. Amirul Mukminin Umar bin Khattab pada saat itu menunjuk 6 shahabat
yang terpercaya. Khalifah Umar yakin bahwa integritas dan kapabilitas keenam shahabat ini
tidak diragukan lagi. Sehingga umat Islam pada saat itu tidak akan ragu mewakilkan hak suara
mereka kepada keenam sahabat (DSDII, 2007: 47). Dalam kasus Daulah Islamiah di irak dan
Suriah telah dilakukan pembentukan Majelis syuro terlebih dahulu sebagai wadah para mujahid
dan ulama untuk memilih salah satu sebagai Khalifah.
“Dewan Syura Daulah Islamiah telah berkumpul dan membahas permasalahan ini,
dan setelah Daulah Islam—dengan izin Allah- memiliki elemen-elemen untuk
mendirikan khilafah, yang mana jika tidak dideklarasikan seluruh umat Islam akan
berdosa. Juga, tidak ada udzur syar‟i bagi Daulah Islamiah untuk menghindari dosa
itu atau untuk tidak mendeklarasikan khilafah. Oleh karena itu, Daulah Islamiah yang
diwakili Ahlu Halli wal Aqdi dari para pejabat dan pemimpin serta majlis Syura
mendeklarasikan pendirian Khilafah Islamiah,‖kataAl-Adnani dalam rilis audio yang
disebar di internet pada hari Ahad, 1 Ramadhan 1435 H, bertepatan dengan 29 Juni
2014.
MengenaiperanpentingpilihanAhluHalliwal‗Aqdiataspenunjukanseorangkhalifah,
Ibnu Taimiyah (Syamina XIII, 2014: 59) pernahmengatakan,―DemikianjugaUmar,ketikaAbu
Bakar menunjuknya sebagai penggantinya, maka dia tidak sah menjadi imam kecuali ketika Ahlu
Halli wal „Aqdi berbaiat padanya dan menaatinya. Jika sekiranya mereka tidak melaksanakan
wasiat penunjukan Abu Bakar terhadap Umar dan tidak berbaiat pada mereka‖. Metode
pemilihan Khilafah ini juga ditetapkan juga pada Daulah Islamiah di Irak dan Suriah, yang
menetapka Abu Bakar Al-Baghdady sebagai khalifah.
b. Penunjukan (istikhlaf)
Imam sebelumnya menunjuk seseorang yang memenuhi persyaratan seorang imam untuk
menjadi penggantinya, tetapi tetap melewati proses syura dengan Ahlu Halli wa „Aqdi, dan jika

terjadi perselisihan dalam penunjukan imam pengganti, maka perselisihan ini diserahkan dan
diselesaikan dengan syariat Allah (DSDII, 2007: 46). Metode ini sedikit berbeda karena dalam
praktiknya khalifah sebelumnya telah menunjuk sebagai bakal calon penggantinya. Daulah
Islamiah di Irak dan Suriah belum menerapkan metode dan bukan berarti tidak menggunakanya,
karenametodeinijugasyahsecarasyara‘.
Qadhi AbuYa‘la (Syamina XIII, 2014: 61) mengungkapkan Diperbolehkan menunjuk
pengganti berdasarkan kekeluargaan se-bapak seperti saudara atau anak jika memang dia
memenuhi kriteria Imamah. Ini karena Imamah tidak berlaku sah bagi orang yang ditunjuk
sebagai pengganti imamah dengan penunjukan itu sendiri, ia hanya berlaku sah baginya lantaran
baiat umat Islam padanya. Sementara tuduhan nepotisme telah dinegasikan darinya. Dari sini
dapat disimpulkan bahwa penentu sah tidaknya pengangkatan kekhilafahan seseorang terletak
pada penunjukan dan baiat Ahlu Halli wal „Aqdi yang mewakili umat Islam terhadapnya. Untuk
itu, meski sekiranya seseorang telah ditunjuk oleh khalifah sebelumnya sebagai penggantinya
namun jika pengganti yang ditunjuk tersebut tidak dibaiat oleh Ahlu Halli wal „Aqdi maka
kekhilafahannya tidak sah.
C. Karakteristik Kepemimpinan Daulah Islamiah
1. Definisi Kepemimpinan Daulah Islamiah
Kepemimpinan disini terdefinisikan dari pengertian Antonio gramcy yang Secara literal
memiliki makna hegemoni. Kata ini sering digunakan dalam dunia politik untuk menunjuk pada
pengertian dominasi. Hegemoni merupakan sesuatu yang kompleks, yang sekaligus bersifat
ekonomis dan etika-politis. Gramsci menggunakan konsep ini untuk meneliti bentuk-bentuk
politis, kultural, dan ideologis tertentu dalam suatu masyarakat yang ada (Faruk, 2010: 132).
Kepemimpinan selalu berkepentingan langsung tentang bagaimana memimpin sebuah budaya

yang membawa ide-ide untuk menyampaikan kepentingan. Secara politis, kepemimpinan
membutuhkan proses untuk menjadi pemimpin sehingga mampu membawa dan mengakarnya
nilai-nilai budaya dengan sebuah ide.
Kepemimpinan mengacu pada suatu golongan atau kelompok yang mampu
memfahamkan ide-ide yang disampaikan hingga menjadi patuh dan menerima. Kepemimpinan
bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan
dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis (Simon, 2004: 22). Kekuasaan dapat
berupa sebuah wilayah, namun, yang lebih mendasar adalah persetujuan sebuah kelompok lain
yang menerima keberadaan sebuah dominasi sebuah kepemimpinan. Kesadaran masyarakat
menjadi kunci keberhasilan sebuah hegemoni. Melalui penyampaian yang baik dan berdasar
pada nilai moral kebudayaan, tokoh kepemimpinan dapat meghasilkan kepatuhan masyarakat
atas ide yang disampaikan. Jika posisi ini ditempatkan pada Daulah Islamiah, maka kehadiran
tokoh sentral dalam menyampaikan ide akan mampu membius masyarakat irak untuk bergabung
dan mensetujui ideologi kenegaraan islam di Irak.
Gramsci mengembangkan konsep kepemimpinan untuk menggambarkan suatu kondisi
di mana supremasi kelompok sosial dicapai tidak hanya melalui dominasi atau pemerintah tetapi
juga melalui persetujuan atas dasar sukarela dari kelas yang didominasi (Litowitz, 2000: 515).
Konsep kepemimpinan lebih lanjut dapat dielaborasikan melalui penjelasannya tentang basis dari
supremasi kelas. Supremasi kelas merupakan keunggulan kelas sosial untuk mempertahankan
kekuasaan bagi pihak penguasa. Penguasa dapat diartikan sebagai pihak penguasa dalam
pemerintahan. Supremasi ini dilakukan oleh kelompok Daulah Islamiah kepada pemerintah Irak
sebagai bentuk eksistensi sebuah kepemimpinan Daulah Islamiah.

Supremasi Daulah Islamiah terwujud dalam dua bentuk, yaitu dominasi dan
kepemimpinan intelektual dan moral. Di satu pihak, Daulah Islamiah mendominasi kelompok-
kelompok lain untuk menghancurkan atau menundukkan mereka, bahkan mungkin dengan
menggunakan kekuatan senjata. Di pihak lain, Daulah Islamiah memimpin kelompok-kelompok
kerabat dan sekutu mereka. Daulah Islamiah dapat dan bahkan harus menerapkan kepemimpinan
sebelum memenangkan kekuasaan pemerintahan. Kepemimpinan tersebut merupakan salah satu
dari syarat-syarat utama untuk memenangkan kekuasaan semacam itu. Daulah Islamiah menjadi
dominan ketika mempraktikkan kekuasaan, tetapi bahkan bila telah memegang kekuasaan penuh
di tanggannya, tetapi masih harus terus memimpin juga. Bentuk dominasi kepemimpinan Daulah
Islamiah dapat terindikasi melalui bertambahnya para pembela dan penerima kehadiran Daulah
Islamiah itu sendiri. Bentuk hasutan dan promosi Daulah Islamiah ketika adanya deklarasi
berdirinya Daulah Islamiah di Irak, bahkan sampai Suriah dan tataran global.
... that the supremacy of a social group manifests itself in two ways, as
“domination” and as “intellectual and moral leadership”. A social group
dominates antagonistic groups, which it tends to “liquidate”, or to subjugate
perhaps even by armed force; it leads kindred and allied groups. A social group
can, and indeed must, already exercise “leadership” before winning governmental
power (this indeed is one of the principal conditions for the winning of such power);
it subsequently becomes dominant when it exercises power, but even if it holds it
firmly in its grasp, it must continue to “lead” as well (Gramsci, 1992: 57-58).
Dari kutipan tersebut, dapat diketahui adanya kepemimpinan dan dominasi menjadi dua
hal penting dalam teori hegemoni Gramsci. Kepemimpinan ini terjadi karena adanya kesetujuan
dari kelas bawah atau masyarakat terhadap kelas atas yang memimpin. Kesetujuan kelas bawah
ini terjadi karena berhasilnya kelas atas dalam menanamkan ideologi Daulah Islamiah. Akan
tetapi, jika penanaman ideologi itu gagal, kelas atas akan melakukan tindakan dominasi yang
bersifat represif melalui aparatus negara.

Kepemimpinan Daulah Islamiah tidak hanya menggambarkan aktifitas kelas penguasa,
tetapi dia juga menggunakannya untuk mendeskripsikan pengaruh yang diberikan oleh kekuatan-
kekuatan progresif. Hal ini dapat dilihat bahwa kepemimpinan seharusnya didefinisikan sebagai
hal yang dilakukan bukan saja oleh kelas penguasa, tetapi juga proses di mana kelompok-
kelompok sosial yang progresif, regresif, dan reformis, meraih kekuasaan untuk memimpin,
memperluas kekuasaan, dan mempertahankannya (Brown, 2009: 2). Ketika ISIS melakukan
tindakan meraih kekuasaan untuk memimpin, memperluas kekuasaan, dan mempertahankannya,
dapat dikategorikan sebuah kepemimpinan yang berusaha menghegemonikan Daulah Islamiah.
Deklarasi ISIS menjadi bentuk keinginan berkuasa, memperluas. Memerangi siapa saja yang
menjadi penghalang bagi keberlangsungannya adalah bentuk mempertahankan sebuah
kekuasaan.
Kepemimpinan Daulah Islamiah tidak pernah dapat diperoleh begitu saja, tetapi harus
diperjuangkan terus menerus. Untuk mempertahankan kepemimpinan Daulah Islamiah yang
menghegemoni akan terus berusaha untuk mempertahankan hegemoninya. Hal ini menuntut
kegigihan untuk mempertahankan dan memperkuat otoritas sosial dari semua kelas yang
berkuasa dalam kelompok masyarakat sipil dan membuat kompromi-kompromi yang diperlukan
untuk menyesuaikan sistem aliansi yang ada dengan kondisi yang senantiasa berubah serta
aktifitas kekuatan oposisi (Simon, 2004: 45-46).Kekuasaan cenderung tergantung dari hubungan
antara pihak yang memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh dengan pihak lain. Oleh
karena itu, Daulah Islamiah harus berusaha untuk menanamkan kekuasaanya dengan jalan
menghubungkanya dengan kepercayaan dan perasaan-perasaan yang kuat di dalam masyarakat.
Namun, Daulah Islamiah tak mungkin bertahan terus tanpa didukung oleh masyarakat. Penguasa
harus memiliki sifat kepemimpinan untuk mempengaruhi orang lain. Kepemimpinan dalam

bernegara selalu mempertimbangakan kebijakan yang berlandaskan adat, kaidah, ideologi dan
wewenang (Jurdi, 2010: 257).
2. Struktur Kepemimpinan Daulah Islamiah
Sementara itu struktur kepemimpinan dalam Daulah Islamiah adalah setiap aktivitas
pemerintahan yang mempunyai dalil syara‘. Adapun setiap pemerintahan yang aktivitas serta
prosedurnya tidak didukung oleh dalil syara‘ secara langsung, maka tidak dapat dianggap
sebagai struktur. al-Mawardi (2007: 206) mengungkapkan struktur pemerintahan yang terdapat
dalam pemerintahan Islam setidaknya terdapat delapan bagian, yaitu :
1) Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan
serta menerapkan hukum-hukum syara‘, Karena Daulah Islamiah telah menjadikan
pemerintahan dan kekuasaan itu milik ummat, maka pengakatan khalifah pun dilakukan
melalui musyawarah melalui Majelis Syuro Mujahidin yang telah dirintis oleh Zarqawi.
Dalam hal ini umat mewakilkan kepada seseorang untuk melaksanakan urusan tersebut
sebagai wakilnya (Zallum, 2002: 153).
2) Mu‘awinTafwidh (Wakil khalifah bidang pemerintahan) adalah seorang pembantu yang
diangkat oleh Khalifah. Maka dengan demikian, seorang Khalifah akan menyerahkan
urusan-urusan negara dengan pendapatnya serta memutuskan urusan-urusan tersebut
dengan menggunakan Ijtihadnya, berdasarkan hukum-hukum syara‘. Khalifah Daulah
Islamiah diperbolehkanuntukmengangkatmu‘awinnyauntukmembantunyadalamseluruh
tanggungjawab dan tugas yang menyangkut dengan masalah pemerintahan (Effendi, 2011:
91). Seorang Khalifah wajib mengontrol tugas-tugas serta kebijakan-kebijakan untuk
mengatur berbagai hal, yang telah dilakukan olehMu‘awin Tafwidhnya, sehingga tidak

dibiarkan begitu saja. Dan kalau ada yang benar, Khalifah harus menerimanya. Dan kalau
ada yang salah, dia pun bisa mengetahuinya.
3) Mu‘awin Tanfiz adalah juru bicara yang diangkat oleh Khalifah Daulah Islamiah untuk
membantunya dalam masalah operasional dan senantiasa menyertai Khalifah dalam
melaksanakan tugas-tugasnya (Zallum, 2002 : 167). Sebagai protokoler yang menjadi
penghubung antara Khalifah dengan rakyat, dan antara Khalifah dengan Negara-negara
lain.Mu‘awin Tanfiz bertugasmenyampaikan kebijakan-kebijakan dari Khalifah kepada
mereka, serta menyampaikan informasi-informasi yang berasal dari mereka kepada
Khalifah.Mu‘awin Tanfizmerupakan pembantuKhalifah dalammelaksanakan berbagai
hal, semua tentang Daulah Islamiah di luar pemerintahan juga tergantung pada
penyampaian seorang Mu‘awin Tanfiz. Isu –isu yang beredar harus ditanggapi dengan
baik dan mengadakan penjelasan yang baik kepada pihak luar.
4) Amir Jihad adalah orang yang diangkat oleh Khalifah untuk menjadi seorang pimpinan
yang berhubungan dengan urusan luar negeri, militer, keamanan dalam negeri dan
perindustrian (Zallum, 2002 : 171). disebut dengan sebutan Amir Jihad adalah karena
keempat hal tersebut merupakan bidang yang berhubungan secara langsung dengan jihad.
5) Wullat atau biasa disebut dengan sebutan wali adalah orang yang diangkat oleh Khalifah
untuk menjadi pejabat pemerintahan di suatu daerah tertentu serta menjadi menjadi
pimpinan di daerah tersebut layaknya seorang gubernur (Zallum, 2002 :209). Adapun
negeri yang dipimpin oleh Daulah Islamiah bisa diklasifikasikan menjadi beberapa bagian.
Masing-masing bagian itu disebut wilayah (setingkat propinsi). Setiap wilayah dibagi lagi
menjadi beberapa bagian, di mana masing-masing bagian itu disebut ‗imalah (setingkat

kabupaten). Orang yang memimpin wilayah disebut wali, sedangkan orang yang
memimpin‗imalah disebut „amil atau hakim.
6) Qadhi atau Qadha adalah lembaga yang bertugas untuk menyampaikan keputusan hukum
yang sifatnya mengikat (Zallum, 2002 : 225). Lembaga ini bertugas menyelesaikan
perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota masyarakat atau mencegah hal-hal yang
dapat merugikan hak masyarakat atau mengatasi perselisihan yang terjadi antara warga
masyarakat dengan aparat pemerintahan, baik Khalifah, pejabat pemerintahan atau pegawai
negeri yang lain. Qadhi sendiri dibagi menjadi tiga bagian, yaitu ; pertama, qadhi yaitu
qadhi yang mengurusi penyelesaian perkara sengketa di tengah masyarakat dalam hal
mu‘amalah atauuqubat (sanksi hukum). Kedua, qadhi hisbah/muhtasib yaitu qadhi yang
mengurusi penyelesaian perkara penyimpangan yang bisa membahayakan hak jama‘ah.
Ketiga, qadhi madzalim adalah qadhi yang mengurusi penyelesaian perkara perselisihan
yang terjadi antara rakyat dengan negara.
7) ihad Idari (jabatan administrasi umum) Penanganan urusan negara serta kepentingan rakyat
diatur oleh suatu departemen, jawatan atau unit-unit yang didirikan untuk menjalankan
urusan negara serta memenuhi kepentingan rakyat tersebut. Pada masing-masing
departemen tersebut akan diangkat kepala jawatan yang mengurusi jawatannya, termasuk
yang bertanggungjawab secara langsung terhadap jawatan tersebut. Seluruh pimpinan itu
bertanggungjawab kepada orang yang memimpin departemen, jawatan dan unit-unit
mereka yang lebih tinggi, dari segi kegiatan mereka serta tanggungjawab kepada wali, dari
segi keterikatan pada hokum dan sistem secara umum (Effendi, 2011: 213).
8) Majlis Ummat adalah majlis yang terdiri dari orang-orang yang mewakili aspirasi kaum
muslimin, agar menjadi pertimbangan Khalifah dan tempat Khalifah meminta masukan

dalam urusan-urusan kaum muslimin. mewakili ummat dalam muhasabah (kontrol dan
koreksi) terhadap pejabat pemerintahan (hukkam) (Zallum, 2002 : 69). Anggota Majlis
Ummat dipilih melalui pemilihan umum, bukan dengan penunjukkan atau pengangkatan,
karena status mereka adalah mewakili semua rakyat dalam menyampaikan pendapat
mereka, sedangkan seorang wakil itu hakekatnya hanya akan dipilih oleh orang yang
mewakilkan.
3. Aspek Kepemimpinan Daulah Islamiah
a) Aspek filosofis
Daulah Islamiah selalu berupaya menyebarkan ideologi, salah satunya melalui sistem
gagasan-gagasan dan filsafat. Menurut Faruk (2010: 144-146) terdapat tiga cara, pertama,
melalui bahasa elemen-elemen yang mencerminkan konsepsi mengenai dunia dan kebudayaan
dapat tersampaikan. Oleh karena itu tokoh Daulah Islamiah dapat menunjukan kompleksitas
ideologi pemakainya. Kedua, common sense yang merupakan konsepsi yang padu mengenai
dunia seperti filsafat, yang ini sebagai pegangan agar kepemimpinan Daulah Islamiah sebagai
sebuah harapan baru. Ketiga, foklor sebagai sistem kepercayaan menyeluruh opini-opini
masyarakat, dan cara melihat keadaan pemerintahan Irak dengan tindakan tertentu.
Islam sebagai pondasi awal pemicu terbentuknya orde sosial baru yang disandarkan
kepada prinsip keadilan dan persamaan dalam struktur sosial masyarakat. Pada level filosofis
yang tinggi, negara adalah aliansi dasar sebagai fakta dominasi utama di kelas-kelas sosial yang
ada atau dari faksi-faksi kelas dominan serta menjamin kekuasaan, yang saat ini ISIS menjadi
kelas dominan dengan menyatukan kekuatan demi terbentuknya negara Islam (Jurdi, 2010: 159).
Melalui para tokoh sentral, upaya pembentukan Daulah Islamiah selalu berupaya membuat
masyarakat mendukung dan menyatukan visi misi ISIS.

Menurut John L. Espotito (Masduki, 2004: 223), pemikiran Al-Qaeda sangat dipengaruhi,
baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh pemikiran Mawduddi, Hasan al-Banna, dan
Sayid Qutb, di mana Islam dipandang sebagai ideologi yang komprehensif untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan umat Muslim di dunia. Ketiga pemikir tersebut memandang Barat
sebagai musuh historis umat Muslim sebagaimana ditunjukkan melalui Perang Salib,
kolonialisme Eropa, dan Perang Dingin yang mengancam Islam secara politik, ekonomi, dan
religius-kultural. Musuh lain yang diidentifikasi dalam ideologi ini adalah pemimpin negara-
negara Islam yang berkuasa berdasarkan prinsip-prinsip sekular Barat, yang dipandang sebagai
Muslim yang telah murtad. Lebih jauh lagi, ISIS memandang lahirnya Daulah Islamiah adalah
sebuah kemajuan pasca kemunduran selama ber-abad-abad. Pondasi dasar ini akan menjadi
kekuatan untuk menghegemonikan tata pemerintah yang dianggap akan membuat tataran
masyarakat sejahtera.
b) Aspek Moral
Moral adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan
yang memiliki nilai positif (http://kbbi.web.id/moral). Manusia yang tidak memiliki moral
disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia
lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia.Moral adalah
produk dari budaya dan Agama. Setiap budaya memiliki standar moral yang berbeda-beda sesuai
dengan sistem nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama.
Nilai moral selalu berkaitan langsung dengan keyakinan seseorang dalam berpegang
teguh dengan suatu hukum. Ketika dikaitkan dengan agama islam dan kebudayaan islam semua
akan mengacu dengan hukum al-Qur‘andanSunah.Agamaislamtidakakanteraplikasidengan
sempurna jika tidak melalui pemerintahan islam. Dan seorang muslim tidak akan mungkin dapat

menjalankan keislamanya sesuai dengan yang dikehendaki Allah SWT. Jika tidak berada di
bawah bendera Islam dan lingkungan Islam (Said, 2014 : 43).
Keyakinan tegaknya Daulah Islamiah menjadi solusi supaya tegaknya keadilan dimuka
bumi. Semenjak kehancuran khilafah Islamiah pada tahun 1924 maka memperjuangkan kembali
kehadiranya menjadi kewajiban bersama yang harus diyakini. Tidak mungkin suatu prinsip
ideologi bisa tegak diatas landasanya kecuali melalui keyakinan kuat dibarengi dengan tindakan
keras (Mahmud, dkk, 2009: 64).
ISIS selalu beranggapan Bahwa rezim sekuler dan sistem kehidupan yang berlaku di
hampir semua negara yang berpenduduk mayoritas muslim sekarang ini adalah rezim kafir
(thagut). Untuk memperbaiki sistem pemerintahan dan sistem sosial yang dianggap sudah rusak,
maka umat Islam harus kembali ke asal. Dengan hal ini, maka rezim kekuasaan harus direbut,
yang dilanjutkan dengan menciptakan sistem pemerintahan kekhalifahan (Daulah Islamiah),
seperti yang dilakukan oleh generasi Salaf, dan setelah itu mendirikan negara Islam atau khilafah
Islamiah. Yang lebih penting lagi, hal tersebut harus diperjuangkan dengan Jihad. Artinya kader-
kader pilihan harus melakukan jihad di bidang sosial dan politik untuk mencapainya (Fatiah,
2008 : 32).
ISIS memiliki pemikiran bahwa Islam adalah solusi yang komprehensif dan eksklusif
untuk semua masalah politik, ekonomi, dan sosial di dunia. ISIS bertujuan untuk membentuk
Daulah Islamiah yang meliputi seluruh wilayah Irak, Suriah, Lebanon, dan seterusnya. Dengan
demikian Islam ditafsirkan sebagai ideologi dalam politik, bukan sebagai konstruksi murni dari
sebuah teologis. Oleh karena itu, perjuangan ISIS diambil dari luar ranah agama yang secara
historis telah didudukkan kedalam domain politik sekuler.

Sistem nilai ini yang kemudian menjadi Patron bagi perilaku terhadap membentuk
kepribadian, perilaku, dan sikap yang condong pada persoalan kemanusiaan, keadilan, kebaikan,
kejujuran dibawah nilai-niai Islam. Dengan kekuatan ideologi islam kepemimpinan mampu
menciptakan suatu tatanan sosial baru yang lebih maju, beradab, dan manusiawi (Jurdi, 2010:
159)
c) Aspek Intelektual
Kemampuan manusia yang selalu berkembang dan mampu beradaptasi adalah bentuk
mempertahankan keberlangsungan hidup. Kemampuan berkembang selalu bersamaan dengan
kemampuan berfikir supaya mampu bertahan dari berbagai masalah. Kemampuan dalam
memecahkan masalah merupakan bentuk kecerdasan intelektual. Masyarakat umum mengenal
intelektual sebagai istilah yang menggambarkan kecerdasan, kepintaran, ataupun untuk
memecahkan problem yang dihadapi (Azwar, 1994: 85).
Bentuk pemerintahan diberbagai negara di seluruh berbeda-beda. Sistem demokrasi salah
satu bentuk pemerintahan yang banyak digunakan diberbagai dunia. Dengan kemampuan
kecerdasan manusia dalam menjawab tantangan global tentang tata kelola suatu negara,
demokrasi menjadi salah satu opsi yang diciptakan manusia. Sistem monarki kerajaan memang
sedang merosot keberadaannya di belahan dunia. Namun tak sedikit negara yang mampu
mengangkat negaranya dengan sistem ini, atau bahkan menggabungkan antara sistem monarki
dan parlemen. Namun, sistem Daulah Islamiah yang dulu pernah hadir kini mampu bergema lagi
karena adanya pergerakan yang menggembar-gemborkan sistem pemerintahan ini. Daulah
Islamiah dianggap mampu menjadi solusi dari ketidakmapuan sistem pemerintahan lain. (DSDII,
2007: 32-35)

Kemampuan manusia dalam memecahkan masalah dianggap kurang sempurna tanpa
hadirnya petunjuk dari Tuhan YME melalui syariat Islam berdasar pada al-Qur‘andanSunah.
Segala sesuatu harus harus ditimbang dengan ukuran syar‘i yakni mempertimbangkan agama
terlebih dahulu baru yang lain (DSDII, 2007: 39-40). Kecerdasan bukan selalu tentang
keberhasilan menyelesaikan masalah, namun juga ikhlas serta tawakal dalam menerima hasil.
Lebih lanjut Ibnu Khaldun (terj. Ahmadi, 1986 :12) mengungkapkan khalifah tidak mempunyai
keistimewaankhususdibandingkaummuslimlainya,kecualistatusnyasebagaipelaksanaSyar‘i
dan penjaga agama. Pengetahuan nilai syar‘i dan melaksanakan Syariat Islam menjadi acuan
dasar pada tingkat intelektual yang harus dimiliki para mujahid yang memperjuangkan Daulah
Islamiah.
Tokoh intelektual mempunyai peran penting dalam menyampaikan hegemoni. Kehadiran
Daulah Islamiah menyerukan Pengetahuan jihad dan tauhid menjadi gebrakan utama dalam
setiap aksinya. ISIS banyak mengacu pada aturan-aturan yang telah dilakukan oleh generasi
Salaf (Syamina IV, 2014: 13) Antara lain :
a. ISIS meyakini dan mewajibkan penghancuran dan pelenyapan setiap bentuk kesyirikan
dan pengharaman sarana-sarana yang menghantarkan pada kesyirikan.
b. Syiah , kelompok syirik dan murtad. Selain itu kelompok yang diperangi juga adalah
kelompok yang menentang penerapan syariat Islam.
c. Wajib berhukum kepada syariat Allah.
d. Meyakini dan mewajibkan merendahkan diri kepada nabi Muhammamd SAW dan haram
mendahului ucapan nabi Muhammad SAW, termasuk memurtadkan dan mengkafirkan
orang yang mendapat derajat dan kedudukan dari Muhammad SAW dan juga para
sahabatnya.

e. Sekulerisme dalam berbagi bentuk seperti nasionalisme, paham kebangsaan, sosialisme,
dan komunisme merupakan kekufuran dan membatalkan keIslaman serta mengeluarkan
perilakunya dari millah.
f. Orang yang membela penguasa kafir dan murtad juga termasuk orang kafir dan murtad,
sehingga menjadi dalil bagi ISIS untukk boleh menumpahkan darahnya karena telah
murtad.
g. Jihad fi sabilillah adalah kewajiban yang membebani setiap muslim sejak runtuhnya
kekhalifahan Andalusia, dengan tujuan membebaskan negeri-negeri kaum Muslim.
h. Negeri yang menerapkan hukum dan syiar kekafiran disebut negeri kafir,
termasuk penduduknya.
i. Meyakini dan wajib untuk memerangi polisi dan tentara pemerintahan thogut dan murtad.
j. Kelompok ahlu kitab dan selain mereka wajib yang berada di wilayah ISIS wajib
membuat perjanjian dan mensepakati syarat-syarat tertentu yang pasti kapan berakhirnya
untuk keamanan.
k. Anggota jamaah jihadiah yang berada di berbagai front adalah saudara ISIS
karena berada didalam dien yang sama. Mereka tidak dihukum kafir dan fajir kecuali
bila tejatuh dalam kemaksiatan.
l. Setiap individu atau jam‘ah yang mengikatkan diri pada penguasa yang memerangi,
dianggap sebagai bentuk tidak komitmen sama sekali terhadap ISIS dan batil.
m. Memberikan penjagaan dan pelayanan yang mencukupi kepada keluarga mujahidin yang
ke medan jihad dan hartanya.
n. Meyakini wajib untuk melepaskan tawanan dan orang yang terbelenggu dari kaum
Muslimin dari tangan orang kafir dengan perang atau tebusan.

o. Wajib mengajarkan kepada ummat tentang urusan dien mereka, dan bila mereka telah
mendapatkan sebagiannya maka itu adalah keberuntungannya. Selain itu diwajibkan
untuk mempelajari ilmu duniawi dimana umat menghajatkan dan memerlukannya, dan
ilmulainnyaselamatidakkeluardarikaidahsyar‘iyanglurus.
D. Upaya Legitimasi Daulah Islamiah di Irak dan Suriah
1. Pada masa Abu Mus’ab az-Zarqawi
a) Menyatukan Visi Mujahid
Pembentukan Khilafah selalu menjadi tujuan yang memenuhi hati para mujahidin sejak
kebangkitan jihad abad ini. Ini selalu menjadi harapan para mujahidin yang pasti akan diraih.
Namun, pertanyaan yang menyibukkan para mujahidin adalah bagaimana cara mereka untuk
meraih tujuan ini. Ideologi para mujahid yang sudah dipegang teguh dan perjuangan selama
bertahun-tahun menjadi bekal meraih cita-cita membentuk sebuah khilafah. Hegemoni Daulah
Islamiah ini hakekatnya sebuah perjuangan kelas dalam bidang produksi dan distribusi ideologi
kepada kelas lain (Kurniawan, 2012: 78)
Selama jihad di Afghanistan melawan komunis, banyak para muhajirin yang menemukan
diri. Mereka berperang persis seperti perang mereka di Syam saat ini. Berbagai pihak dengan
latar belakang berbeda bersatu memerangi musuh bersama, tanpa menghiraukan semua hal yang
bisa membedakan mereka satu sama lain. Bahkan, semua hal yang bisa menghambat
pembentukan Khilafah. Salah satu jembatan yang penting ini adalah sang Mujaddid pembaharu
Abu Mus'ab Az-Zarqawi (Assad, 2014: 54).

Belajar dari berbagai pelajaran yang diperoleh dari Afghanistan dan di tempat lain, Az-
Zarqawi tahu bahwa Daulah Islamiah tidak dapat dibentuk kecuali melalui jama'ah yang
dikumpulkan oleh al-Quran dan Sunnah dengan pemahaman salaf, yang bersih dari sikap
ekstrem Murji'ah dan Khawarij. Tujuan terpenting jama'ah ini adalah untuk menghidupkan
kembali tauhid terutama dalam masalah yang banyak diabaikan dan ditinggalkan oleh gerakan-
gerakan islam yaitu masalah yang berhubungan dengan al-wala‘walbara‘,hukum,dantasyri '
(legislasi) (Haidar, 2007: 89).
Jama'ah akan menggunakan kewajiban jihad sebagai alat fundamental untuk perubahan,
danmelaksanakanperintahAllah,―danperangilahmerekahinggatidakadafitnahdan(hingga)
agamaituhanyauntukAllah‖.[QS.Al-Anfal: 39]. Az-Zarqawi menerapkan strategi dan taktik
jitu untuk mencapai tujuan Khilafah tanpa keraguan. Dengan modal memimpin pergerakan Al-
Qaeda, Az-Zarqawi mengumpulkan para mujahid yang sudah tergabung dalam pergerakan
perjuangan melawan barat di dataran Irak untuk menyatukan visi bersama dengan membentuk
Daulah Islamiah.
b) Membentuk Majelis Syura Mujahidin
Ambisi Az-Zarqawi untuk menyatukan para mujahid dalam membentuk kekhalifahan
islam dibawah kepemimpinanya mulai terdapat titik terang pada tahun 2006. Majelis Syura
Mujahidin terbentuk sebagai wadah persatuan para mujahid di Irak. Faksi jihad di irak
meleburkan diri masuk ke dalam majelis ini antara lain : Al-Qaeda Irak, Jaish ath-Thaifah al-
Manshurah, saraya anshar tauhid, saraya jihar islami, saraya al-Ghuraba, Kataib al-Ahwal dan
turut bergabung yakni Jaisy Ahlu Sunah wal Jamaah dan kataub al-Murabithin (Said, 2014 :
95).

Juru bicara Majelis Syura Mujahidin, Abu Maisarah Iraqi menyatakan tujuan
terbentuknya majelis ini menawarkan dan bertujuan langsung (DSDII, 2007: 10) sebagai berikut
:
1) Menertibkan arah pertempuran melawan agresor barat dan kelompok murtadin.
2) Menyatukan kalimat dan mujahid dalam rangka merealisasikan perintah Allah SWT
untuk bersatu dan memegang tali-Nya.
3) Memaklumatkan manhaj Islam yang jelas dan berjihad melawan orang-orang kafir
4) Berdiri satu barisan dalam jihad, menangkal agen-agen kafir yang ingin memetik hasil
jerih payah dari mujahid, yang menghalangi diberlakukanya syariat Islam.
5) Mengambil persamaan sikap dalam menghadapi berbagai isu dan peristiwa sehingga
masyarakat faham manfaat jihad dan apa yang telah diperjuangkan.
6) Majelis syura mengajak semua mujahid untuk bersatu dan merapatkan barisan.
c) Dari Majelis Syura Mujahidin menuju ISI
Tidak sampai dua bulan membentuk MSM, Pada 7 Juni 2006 Az-Zarqawi tewas di
sebuah desa di utara Irak (Hiblib) karena serangan AS (Said, 2014 : 95). Harapan para mujahid
ikut proaktif memberi perhatian terhadap realita umat islam secara global mengalami goncangan
setelah perintis MSM tewas. Namun, ada beberapa catatan penting dari perjuangan Az-Zarqawi,
diantaranya :
1) Az-Zarqawi mampu membentuk generasi dan gerakan mujahid yang kelak mencapai
wujud yang utuh dalam gerakan ISI.
2) Az-Zarqawi telah menciptakan kebimbangan disebagian kelompok lain dalam
memperjuangkan kekhilafaahan Islam. Kebimbangan ini berdasarkan pada ideologi dan
kepentingan terbentuknya MSM.

Kepergian Az-Zarqawi membuat para faksi harus mencari dan memilih amir diantara
mereka. Majelis Syura mujahid mengangkat Abu Umar al-Baghdady sebagai amir mereka.
Pengangkatan ini sekaligus sebagai amirul mukminin untuk Daulah Islamiah irak (ISI).
Proklamir berdirinya ISI pada 13 Oktober 2006 diikuti pembaiatan oleh para mujahid dan faksi
untuk membela kepentingan bersama dalam membentuk Daulah Islamiah secara bersama-sama.
2. Pada masa Abu Umar al-Baghdadi
a) Seruan jihad ISI
Ayubi (1991: 63-64) menyebutkan tentang kesatuan antara agama, dunia, dan Negara.
Realisasi sebuah masyarakat islam dibayangkan dalam penciptaan sebuah Negara islam yakni
sebuah Negara ideologis yang didasarkan kepada ajaran-ajaran islam yang lengkap. Ide-ide
membangun Negara itu harus dalam pandanganya lahir dari tradisi agama. Dalam konteks ini,
islam hadir sebagai sebuah ideologi yang membebaskan dan secara subtantif melakukan revolusi
yang signifikan dalam sejarah peradaban di irak.
Kekuatan peradaban islam dan ideologi sebagai kekuatan yang mampu menjadi pusat
peradaban di Irak. Sebagai ideologi besar, islam memberikan alternatif solusi-solusi secara
ideologis yang berpihak kepada kaum yang lemah dan tertindas di irak. Ideologi harus dinilai
dari kemanjuranya bukan dari benar atau salah sebuah gagasan. Sistem nilai dan moral yang
kemudian menjadi teladan bagi perilaku umatnya, telah membentuk kepribadian, perilaku, dan
persoalan-persoalan kemanusiaan melalui Daulah Islamiah. Dengan kekuatan itu, islam menjadi
satu kekuatan ideologi yang manjur menciptakan suatu tatanan sosial yang lebih maju, beradab,
dan manusiawi. (Kurniawan, 2012: 78).
Seruan jihad memerangi kaum kafir selalu menjadi selogan kelompok jihadis ISIS. Abu
Muhammad al-Adnani sebagai juru bicara ISIS berkata dalam situs resminya (www.aladnany.net

diakses pada tanggal 20 Agustus 2015 pukul 21.35) bahwa sesungguhnya pasukan-pasukan
thaghut dari para pemerintah negeri kaum muslimin adalah pasukan-pasukan murtad dan kafir.
Lebih lanjut lagi mengungkapkan wajib memerangi para pemerintah yang membela para kaum
salibis (kafir). Doktrin dan praktek ISIS sudah mencapai tahap wajib bagi para mujahid. Secara
kepribadian mujahid itu sudah tertanam pemaknaan jihad sebagai peperangan melawan kaum
kafir dan murtad, yang kemudian disebar luaskan melalui sebuah gagasan mendirikan negara
islam.
Isu politik keagamaan yang mempertemukan sebagian besar gerakan jihad. Gerakan jihad
mulai memandang adanya sebuah pandangan baru tentang memperjuangakan nilai islam dengan
jalan jihad melawan siapa saja yang menghalangi ditegakanya syariat islam (Said, 2014 : 47-49).
Berikut diantara beberapa ide-ide yang dikembangkan oleh ISIS:
1) Seluruh aktivitas jihad ISIS meyakini seluruh rezim yang berkuasa di negeri muslim telah
murtad karena membuat peraturan tidak berlandaskan pada Syariat Islam.
2) Menyatakan perang terhadap rezim- rezim kafir.
3) Setiap ulama yang membela rezim kafir dan encap semua gerakan jihad sebagai gerakan
khawarij dianggap ulama munafik.
4) Sistem demokrasi merupakan sistem kafir yang bertentangan syariat islam.
5) Kelompoksyiahadalahkelompoksesatatauahlubid‘ah.
6) Sekulerisme, nasionalisme, dan kebangsaan adalah produk kafir yang wajib dihindari.
7) Menolak kompromi dengan Israil dalam kasus palestina.
8) Amerika Serikat adalah musuh besar karena dianggap sebagai simbul kekuatan Nasrani
dan Yahudi.
b) Target dan Strategi ISI

Pendeklarasian, ISIS menyimpan beberapa perkara yang memainkan peran penting sesuai
situasi dan kondisi yang menyertai. Kondisi penuh kesukaran memaksa pembentukan Daulah
Islamiah ini harus menyusun target, dan strategi dalam mengupayakanya. Rintisan Daulah
Islamiah ini terjadi bukan sekejap ataupun dari warisan. Namun melalui perjuangan para jihadis
yang bangkit dari ketidak puasan dari sistem barat.
Sesunguhnya proyek Daulah Islamiah ini jauh lebih berani dalam melawan AS. ISI
mengutamakan penyerangan terhadap kaum kafir AS dan murtadin di wilayah terdekat yang
terjangkau serta menguntungkan. Target awal yang harus segera terealisasi yakni menyerang AS
(Mahmud dkk, 2014: 74), berikut strategi yang diterapkan dan direncanakan :
1) sejak awal secara politis mengasingkan Amerika dengan menekan aktor internasional
dalam meniadakan dukungan mereka terhadap Amerika dalam melakukan invasi yang
tidak diizinkan oleh PBB (Persatuan Bangsa-bangsa). Oleh karena itu, berulangkali ISI
menargetkan pasukan sekutu Amerika dan pasukan Amerika untuk membuat mereka
berfikir dua kali dalam berperang di tanah asing.
2) mencegah para mujahid Irak dan warga sipilnya untuk mendukung pasukan Amerika dan
sekutunya.
3) para mujahid menghambat proses rekonstruksi Irak dengan menargetkan kontraktor sipil,
bantuan kemanusiaan, dan orang asing lainnya yang berada di Irak yang memiliki tujuan
membantu negara yang sedang dilanda perang.
4) menetapkan populasi Syiah di Irak sebagai target untuk dihancurkan dengan
memprovokasikan perang Sunni-Syiah di Irak. Dengan berjalannya provokasi ini,
ISI berniat untuk menjebak Amerika dan sekutunya didalam konflik sektarian yang

sangat parah sampai bermotifkan agama, sehingga asing, Amerika dan sekutunya tidak
memiliki pilihan lagi selain meninggalkan Irak.
ISI dalam pergerakannya banyak menggunakan media sosial dalam menyatukan
pemikiran dan kegiatan para mujahidin di seluruh dunia. Hal ini dapat dilihat dari (Syamina XIV,
2014: 23) :
1) Memiliki divisi media untuk menyebarkan ajaran salafi Jihadi melalui CD, kaset, video,
dan sebagainya.
2) Pelatihan militer seperti bagaimana cara merakit roket dan misil yang diadakan
di berbagai situs web tentang jihad, seperti forum Al-Hesbah, Al-Ekhlaas, dan Al-Boraq.
3) Memiliki cabang media yang terpisah di tiap-tiap wilayah di Irak. Hal ini dibuktikan
dengan koordinasi para mujahidin yang hanya memakan waktu tiga jam melalui media
dapat melakukan kegiatan pengeboman sebanyak 55 bom mobil di Baghdad
untuk pembalasan terhadap kematian Abu Mus'ab Az Zarqawi.
c) Merapikan keorganisasian ISI
ISI yang memiliki tujuan menggulingkan pemerintahan Irak dan menggantinya dengan
negara Islam murni, menempatkan fokus yang lebih besar kepada masa depan perang, kelompok,
dan Irak. Pasca pembentukan majelis Syura mujahidin, dan penetapan khalifah pertama Abu
Umar mulai berusaha menyatukan unsur masyarakat lainya di Irak bersama dengan kelompok
yang beraliansi dengan mereka ditambah dengan Harokah Fursan Ul-Tauhid dan Jundu Millah
Ibrohim serta berbagai kabilah dan suku di Irak, seperti Al-Dulaim, Al-Jabbur, Al-Ubaid,
Zuubaa, Qays, Azza, Al-Tay, Al-Janabiyiin, Al-Halaliyiin, Al-Mushohada, Al-Dayniya, Bani
Zayd, Al-Mujamaa‟, Bani Shommar, Inaza, Al-Suwaidah, Al-NuÕaim, Khazraj, Bani Al-Hiim,
Al-Buhayrat, Bani Hamdan, Al-SaÕadun, Al-Ghonim, Al-SaÕadiya, Al-Ma‟awid, Al-Karabla,

Al-Salman dan Al-Qubaysat. Dengan wilayah yang meliputi Baghdad, Al-Anbar, Diyala, Kirkuk,
Sholahuddien, Ninawah, Babil dan Al-Wassat (Said Ali, 2014 :135). Sehingga pada tahun 2006
susunan pemerintahan ISI adalah sebagai berikut :
1) Amirul Mukminin : Abu Umar Al-Bagdadi,
2) Pembantu Amir Utama : Syaikh Abu Abdur Rahman Al Falahi,
3) Menteri Jihad : Abu Hamzah Al Muhajir,
4) Menteri Dewan Syariat : Syaikh Prof. Abu Ustman At Tamimi,
5) Menteri Perhubungan Umum : Prof. Abu Bakar Al juburi,
6) Menteri Keamanan Umum : Prof. Abu Abdil Jabbar Al Janabi,
7) Menteri Penerangan : Syaikh Abu Muhammad Al Masyahadani,
8) Menteri Urusan Syuhada dan Tawanan : Prof. Abu Abdil Qodir Al Isyawi,
9) Menteri Perminyakan : Ir. Abu Ahmad Al Janabi,
10) MenteriPertaniandanPerikanan:Prof.MusthafaAlA‘roji,
11) Menteri kesehatan : dr. Abu Abdillah Az Zaidi
3. Pada masa Abu Bakar al-Baghdadi
a) Pedeklarasian khilafah kepada dunia
Abu Bakar Al-Baghdadi mulai terlibat aktif dalam jihad saat Amerika menginjakkan kaki
mereka dan menjajah di Irak, yaitu dalam rangka mempertahankan dan membela tanah air,
agama, dan kehormatannya. Tidak lama setelah itu, dengan kemampuan dan keahlian yang
dimilikinya, Al-Baghdadi ditunjuk sebagai salah satu anggota Ahlul Halli wal „Aqd dari Majelis
Syura al-Mujahidin (Assad, 2014: 87). Setelah kemenangan yang besar pada mujahidin dengan
berhasil menguasai banyak pedesaan dan perkotaan, maka merekapun mengumumkan berdirinya
Daulah Islamiah yang berhukum dengan Al-Qur‘an dan Sunnah Nabi. Saat itu, Al-Bahgdadi

dilantik sebagai qadhi (hakim) bagi Daulah yang menampung, menangani, dan memutuskan
berbagai problematika dan permasalahan, selain juga disuguhkan berbagai kasus kontemporer
dan nawazil.
Sejak dideklarasikan melalui audio oleh Amir Abu Bakar Al-Baghdadi, Daulah Islamiah
Irak dan Syam (Islamic State of Iraq and Sham) langsung menarik perhatian banyak kalangan.
Jabhah An-Nushrah (JN) berafiliari di Suriah menyatakan bergabung dengan kelompok ISIS.
Deklarasi tersebut berisi pernyataan Al-Baghdadi yang menggabungkan antara Daulah Islamiah
Irak dan Jabhah An-Nushrah pada April lalu, ISIS bertujuan mengembalikan Khilafah dan tidak
sekedar mendirikan Daulah Islamiah di Suriah; ISIS juga berhasil sebagai daya tarik mujahidin
asing dari berbagai negara untuk bergabung ke Suriah yang diwadahi dalam Katibah Muhajirin;
ISIS berhasil mencatat beberapa kemenangan besarnya terutama sebagai aktor utama dalam
merebut Pangkalan Militer Minakh di Provinsi Aleppo pada Agustus lalu; dan yang terpenting
adalah ISIS telah mengambil pelajaran dari kesalahannya di Irak dan berhasil merebut hati dan
pikiran penduduk setempat (Syamina XIII, 2014: 82).
b) Upaya legitimasi kekhalifahan dengan berbaiat
Pada fase ini, Al-Baghdadi bekerja dengan keras. Dia harus berpindah pada beberapa
wilayah guna mendengarkan seluruh keluhan dan laporan, serta bermajelis dengan orang tua dan
pemuda serta tokoh dan penduduk biasa, untuk memutuskan permasalahan mereka dengan
berpedoman pada hukum Allah. Untuk itu, pada fase ini Al-Baghdadi berkeliling menemui
beberapa kabilah dan suku, jamaah-jamaah jihadiyah, serta para mujahidin, untuk menyeru
mereka agar menyatukan barisan serta meninggalkan perpecahan dan perselisihan. Ia juga
berdialog dengan mereka dengan adil dan inshaf, serta mengajak mereka untuk berbaiat kepada

pejabat Amirul Mukminin yang ketika itu dipegang oleh Abu Umar Al-Baghdadi (Kiblat, 2014:
20-25).
Dari sinilah sejumlah kalangan dari orang tua dan kaum muda pun menyambut seruannya
untuk berbaiat. Selain itu, pada fase ini juga, Al-Baghdadi ditunjuk untuk memimpin dan
mengarahkan beberapa lembaga syar‘i, serta mengoreksi sejumlah pernyataan dan kekeliruan
yang ada di dalamnya dari para komandan lapangan. Kemudian setelah musuh dari kalangan
Rafidhah dan Ahli Kitab bersatu menyerang dan memberangus Daulah Islamiah. Akibat
gempuran dan serangan massif itu, akhirnya kaum muslimin mendapat kabar akan gugurnya
Amir Daulah Islamiah, Abu Umar Al-Baghdadi dan disusul Abu Hamzah Al-Muhajir. Sejak
tanggal 16 Maret 2010, Al-Baghdadi pun diangkat sebagai Amir Baru Daulah Islamiah Irak
yang menggantikan Abu Hamzah Al-Muhajir Baghdadi (Kiblat, 2014: 32).
Menurut Abu Humam Al-Atsari, salah seorang ulama Minbar At-Tauhid wa Al-Jihad
dalam pesan audio (http://uptotal.com/download/ulama.rar.html), secara legalitas syar‘i Abu
Bakar Al-Baghdadi sah menjadi Amir Daulah Islamiah Irak atas penunjukan dan baiat dari Ahlul
Halli wal„Aqd untuk menggantikan Abu Hamzah Al-Muhajir. Jatuhnya pilihan Ahlul Halli
wal„Aqdi pada Al-Baghdadi cukup beralasan. Al-Baghdadi telah terjun langsung dalam medan
jihad sejak tercetusnya jihad saat invansi Amerika di Irak. Selain itu, Al-Baghdadi yang
merupakan doktor dalam dirasah islamiyyah (studi Islam) dipandang cukup mumpuni dalam
masalah syariat.
Apalagi sebelum dilantik sebagai amir, Al-Baghdadi menjabat diantara posisi yang
sangat penting yaitu sebagai Qadhi Daulah (setingkat Ketua Mahkamah Konstitusional) yang
menyelesaikan beraneka ragam permasalahan dengan berpedoman pada syariat Islam. Tidak
kalah pentingnya, Al-Baghdadi secara nasab merupakan keturunan Quraisy, bahkan merupakan

keturunan Rasulullah dari jalur Husein bin Ali. Tampaknya, pemilihan amir Daulah dengan
seperti ini memang sengaja dilakukan dengan tujuan persiapan peralihan dari Daulah menuju
khilafah yang salah satu syarat amirnya adalah keturunan Quraisy.
Berbicaramengenai legalitassyar‘ibaiatAbuBakarAl-Baghdadi tidak bisa dilepaskan
dari legalitas baiat Amir Daulah sebelumnya, yaitu Abu Umar Al-Baghdadi dan Abu Hamzah Al-
Muhajir. Legalitas berdirinya Daulah Islamiah Irak dan baiat amirnya telah disampaikan oleh
Dewan Syariah Daulah Islamiah Irak pada awal berdirinya,lewat kajian yang disusun di bawah
supervisi Utsman bin Abdurrahman At-Tamimi, dengan judul I‟laam Al-Anaam bi Miilaad
Daulah Al-Islam (https://archive.org/download/HomsGhozwahAtTamimi2/Homs%20-
%20ghozwah %20at%20tamimi%202.mp4/ diakses pertama pada juni 2015). Setelah
menampilkan berbagai argumentasi mengenai urgensi, faktor-faktor mendorong berdirinya
Daulah Islamiah Irak, serta tinjauan syar‘i berdirinya dan realitas sejarah berdirinya sebuah
negara, maka disimpulkan bahwa Daulah Islamiah Irakharusditegakansecarasyar‘i.
Selain itu, berdirinya Daulah Islamiah Irak juga mendapat apresiasi dan sanjungan dari
Usamah bin Laden Rahimahullah. Dalam salah satu pesannya melalui audio
(http://www.megavideo.com/?v=NRMOXC6Z) , Usamah berkata,
“...Dan dari sini maka para pionir yang berjasa dalam menyatukan dan
mempersatukan (umat) semestinya diberikan pujian yang layak. Sungguh, berlomba-
lombanya beberapa pimpinan jamaah-jamaah muqatilah (kombatan) fi sabilillah
bersama para pemuka kabilah yang melakukan ribath dan jihad untuk menyatukan
langkah di bawah kalimat tauhid kemudian mereka membaiat Syekh Yang Mulia Abu
Umar Al-Baghdadi sebagai Amir Daulah Islamiah Irak merupakan sesuatu yang
menggembirakan umat Islam.”
Apresiasi dan sanjungan yang sama juga disampaikan oleh Aiman Azh-Zhawahiri
(http://www.arrahmah.com/jihad/pesan-audio-terbaru-syaikh-aiman-az-zawahiri-tauhid-
menghadapi-thaghut-1.html) . Dalam dalam salah satu pesannya, Azh-Zhawahiri berkata, ―...

Dan pada hari ini (2007) Daulah Islamiah Irak telah didirikan di Irak. Para mujahidin merayakan
(berdirinya) di jalan-jalan Irak, masyarakat juga ikut berdemonstrasi untuk mendukungnya di
kota-kota dan desa-desa Irak, dukungannya diumumkan, dan baiat terhadapnya (Daulah Islamiah
Irak) dilakukan di masjid-masjid Baghdad.
c) Dukungan Dunia Islam
Ideologi dapat menyatukan antar kelompok apabila. Pertama, ideologi mampu
merepresentasikan pandangan dunia bersama semua kelompok sosial. Kedua, ideologi harus
ditanan dan distribusikan oleh lembaga-lembaga sosial melalui agen intelektual (Kurniawan,
2012: 78). Dukungan dari Arab Saudi, yang semuanya berupa dukungan personal-personal
dengan membawa placard yang berisi dukungan kepada Al-Baghdadi, menurut Aiman dengan
didukung oleh testimoni di lapangan adalah indikasi bahwa dukungan tersebut meliputi
dukungan finansial yang cukup besar dari warga negara Saudi kepada ISIS. Menurutnya, inilah
salah satu faktor di balik kesuksesan ISIS di Suriah (Assad, 2014: 134).
Sementara dukungan dari Somalia yang ditampilkan dalam foto-foto demonstrasi kecil
Harakah Asy-Syabab Al-Mujahidin (HSM) mendukung ISIS merupakan fenomena bahwa meski
ada indikasi Aiman Azh-Zhawahiri menginginkan untuk meninjau ulang berdirinya ISIS, namun
bukan berarti bahwa afiliasi-afiliasi Al-Qaidah, seperti HSM dan yang lainnya, tidak mengakui
bahwa ISIS dan amir Abu Bakar Al-Baghdady adalah pemimpin jihad di Bumi Syam (Assad,
2014: 138).
Diantara kelebihan ISIS dibandingkan dengan fraksi-fraksi perlawanan lain adalah
besarnya daya tarik dan dukungan internasional terhadapnya. Pendukung besar ISIS adalah
berasal dari Arab Saudi, Somalia, Libanon, Ahwaz (Iran), dan Sinai (Mesir). Selain negara-
negara tersebut bukan berarti bahwa negara-negara lain tidak ada yang mendukung ISIS. Anshar

Syariah di Libya dan Tunisia, Tahrek Taliban El-Pakistani, serta Eropa tampaknya juga banyak
yang bergabung dengan ISIS di bawah Katibah Al-Muhajirin. Saat ini setidaknya ISIS telah
menguasai, mengontrol, menyediakan kebutuhan mendasar, melaksanakan pendidikan
sederhana, dan menjalankan dakwah di beberapa wilayah, diantaranya: Jarabulus (Provinsi
Aleppo), Dana (Provinsi Idlib),Raqqah, Ghauthah, Syarqiyah, Azaz, dan tempat-tempat lainnya
(Syamina XIV, 2014: 10-12).
E. Bentuk Dominasi Kepemimpinan Daulah Islamiah
1. Bentuk Demokratis
Hegemoni cenderung bekerja dengan cara mencari dukungan yang legal dari
kelompok mayoritas yang terdominasi melalui proses-proses yang “demokratis”.
Penciptaan opini publik, merupakan bentuk-bentuk saluran untuk mensahkan proses
hegemoni melalui cara-cara tanpa kekerasan. Dalam format seperti itu, proses
penghegemonian dominan akan menampakkan wajah yang sangat adoptif terhadap segala isu-isu
yang diarahkan kepada kekuasaan, dengan maksud menunjukkan bahwa kekuasaan mereka
sangat demokratis. Kekuasaan yang dijalankan tidak berwujud tirani, akan tetapi
mengakomodir segala aparatur yang mendukung. Legitimasi diperoleh melalui penciptaan
opini, parlemen, dan legalisasi oleh kelompok inteletual dan moral. Pelaksanaannya
berpangkal pada intelektual dan moral sebagai manifestasi kelompok supremasi. Dan bagi
Gramsci, tiap orang niscaya menampilkan intelektualitasnya dalam beraktifitas. Dalam
pandangannya, tiap orang adalah intelektual organis bagi masyarakat, dan dengan
sendirinya, tidak ada intelektual yang diam menghadapi realitas yang terjadi (Patria dan
Arief, 2003: 11-12).

Bentuk kepemimpinan Daulah Islamiah pada saat ini mengutarakan bahwa dalam Islam
tidak ada aturan yang pasti tentang masalah politik atau tata negara, namun ada prinsip atau asas
yang harus ditegakkan. Memang Rasulullah S.A.W bukan diutus sebagai pemimpin politik,
tetapi sebagai Rasul. Perlu diketahui, konsep kerasulan beliau tidak sebatas menyampaikan pesan
Allah (dakwah). Yang paling berat adalah menjadi contoh dan suri-tauladan dalam melaksanakan
Islam sebagai cara hidup. Daulah Islamiah mengadopsi nash-nash dan hukum politik yang
pernah dicontohkan Rosul ketika melakukan perjanjian kesepakatan dalam piagam madinah
Hasyim (2014: 3) mengungkapkan piagam madinah mengisyaratkan pentingnya berpolitik dalam
membentuk kepercayaan masyarakat. Peristiwa itu telah membuat perancangan dan program
yang jitu dan bijaksana. Ini dapat dilihat bagaimana beliau berhijrah, membina persaudaraan,
membentuk tatanan sosial, membangun ekonomi, politik, dan sosial umat Islam di Madinah.
Piagam Madinah yang dirumuskan oleh Rasulullah adalah satu perlembagaan pertama di dunia
karena di masa dunia diperintah dengan sistem monarki tidak berperlembagaan dan tidak
mengenal kedaulatan undang-undang.
Dalam konteks paradigma simbiotik ini, Ibnu Taimiyyah sebagaimana dikutip oleh Din
Syamsuddin dalam Adhayantho (2011: 45) mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur
kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan
negara, maka agama tidak akan bisa berdiri tegak, pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi
bahwa antara politik dan agama merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling
membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal
dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum agama (syari'ah). Singkatnya,
syari'ah ini dipandang Daulah Islamiah memiliki peran sentral sebagai sumber legitimasi
terhadap realitas politik melalui pendeklarasian diri sebagai pemerintahan Islam (Fanani, 2001).

Beragam tanggapan muncul sebagai respon atas deklarasi tersebut. Banyak yang
menentang dan menganggapnya tidak sah, namun tidak sedikit yang mendukung dan bahkan
berbaiat. Dari pihak Barat, banyak juga yang meragukan dengan memandang bahwa deklarasi
tersebut cukup berani dan di luar nalar sehat, berisiko, berbau arogansi, dan bisa menjadi
bumerang, namun tidak sedikit juga yang menganggap bahwa ancaman ISIS bisa menggoyahkan
tatanan hegemoni Barat saat ini. Pengumuman kekhalifahan menjadi salah satu jalan damai
secara opsional sebagai wujud penyebaran hegemoni Daulah Islamiah
(http://warontherocks.com/2014/07/ isils-bold-caliphate-roll-out-objectives-and-risks/ diakses
pada 15Agustus 1015 pukul 17.05 WIB).
Pertama, mengangkat status Daulah Khilafah serta khalifah Abu Bakr al-Baghdadi.
Pengumuman ini menjadikan ISIS dipandang sebagai sebuah kelompok yang mampu memenuhi
aspirasi para aktivis Islam di saat kelompok-kelompok jihad lainnya. Sekarang, ISIS menjadi salah satu opsi
yang mampu bersaing meski kelompok jihadis lainnya menganggap bahwa proyek khilafah yang mereka
lakukan terlalu prematur. ISIS membedakan dirinya dari kelompok-kelompok jihad lainnya dengan
menekankan pada penghancuran perbatasan antara Irak dan. Di saat penolakan perbatasan yang
memisahkan negara-negara dan umat Muslim menjadi tema umum dalam retorika para jihadis,
ISIS bergerak melakukan tindakan nyata, sehingga memperkuat persepsi tentang otentitas
kekhalifahan dan komitmen sejati Daulah Islamiah tersebut.
Kedua, deklarasi ISIS tersebut berusaha untuk menahan perdebatan di kalangan jihadis
tentang legitimasi keagamaan atas tindakan yang mereka lakukan. Dalam perwujudan
sebelumnya, ISIS sudah menyatakan bahwa mereka adalah sebuah negara, dan dengan demikian,
lebih superior dari organisasi jihad dan ulama lainnya. ISIS mengandalkan otoritas tersebut
untuk membenarkan penolakan mereka terhadap arbitrase dengan kelompok-kelompok jihad
lainnya di Suriah. Dengan demikian, pengumuman khilafah akan memberikan Daulah Islamiah

dalam perspektif mereka yang harus ditegakan, dan berfungsi sebagai alat untuk membungkam
kritikan dan tuduhan bahwa tindakannya tidak sesuai dengan hukum syariah (Mahmud dkk,
2009: 167).
Ketiga, kelompok-kelompok jihad lainnya (misalnya, Taliban di Afghanistan dan Asy-
Syabab di Somalia) berhasil mendapatkan kontrol wilayah yang cukup besar, namun gagal untuk
maju ke arah tujuan sebuah negara yang benar-benar Islam yang tidak terkekang dengan sistem
demokrassi ala Barat. Kegagalan untuk memobilisasi umat Islam membuat keuntungan yang
mereka dapatkan dipandang berbalik. ISIS cukup percaya diri bahwa mereka tidak akan
mengalami kegagalan yang sama. Usaha dan langkah-langkah yang mereka lakukan
mencerminkan upaya untuk belajar dari pengalaman-pengalaman tersebut (Syamina IX, 2014:
13).
Keempat, dan yang paling penting, pengumuman ini merupakan bagian dari rencana untuk
memobilisasi umat Muslim. Dengan mengumumkan sebuah kekhalifahan, ISIS berharap untuk
menarik lebih banyak relawan, prajurit dan profesional yang diperlukan untuk memenuhi
tuntutan terus berjuang bersama membangun negara dan pemerintahan (Yanuana, 2014: 2).
ISIS menyediakan tempat tujuan yang jelas bagi para jihadis, yang memudahkan mereka
yang ingin bergabung saat mereka tiba di area yang berada dalam kontrolnya. ISIS
menggunakan klaim otoritas Khalifah untuk memanggil bukan hanya mendorong umat Islam
untuk bergabung. Dengan demikian, ISIS menawarkan elemen penting yang tidak ada dalam
upaya mobilisasi yang dilakukan oleh Al-Qaidah.
Meski demikian, logika yang dilakukan oleh ISIS bukannya bebas risiko. Kelompok ini
cukup yakin, bahkan jika respon dari umat Muslim tidak seantusias yang mereka harapkan,
penaklukan wilayah yang berhasil mereka lakukan telah menawarkan landasan yang kuat untuk

membentuk Negara Islam. Bahkan jika deklarasi khilafah tidak membawa hasil dalam jangka
pendek, langkah tersebut masih merupakan langkah pertama yang berguna dalam upaya ISIS
untuk meningkatkan kekuatan dan otoritas. Kepercayaan ISIS tampaknya bukan tanpa manfaat,
mengingat ukuran wilayah yang telah mereka kuasai, lokasi yang berada di jantung utama Timur
Tengah, melimpahnya sumber daya, dan keengganan Amerika Serikat untuk terjerat kembali
dalam perang darat, dan kampanye ISIS yang bertepatan dengan meningkatnya permusuhan
antara Sunni dan Syiah (Barakat, 1993: 167).
Sjadzali (1993: 126) mengungkapkan bahwa sebuah khilafah dan khalifah memang dapat
merangsang imajinasi beberapa pemuda yang antusias, namun Daulah Islamiah juga memberi
alasan bagi pihak lain untuk mempertimbangkan bahwa ISIS terlalu berlebihan dan melampaui
batas. Baghdadi tampaknya percaya bahwa dengan proyek kekhilafahan mampu mencapai
segmen Muslim yang belum berhasil jangkau sebelumnya. Tapi daya tarik kondisi ideal Islam
masa lalu harus diiringi dengan kemampuan untuk meyakinkan mayoritas umat Islam bahwa
ISIS juga mempunyai rencana pembangunan dan pemerintahan yang kuat.
2. Bentuk Paksaan
Dalam tradisi hegemoni penaklukan untuk kepentingan menghegemoni tidak dilakukan
dengan paksaan atau kekerasan—walau pun Gramsci tetap menempatkan paksaan dan kekerasan
ini sebagai hal yang sangat penting untuk menegakkan hegemoni, apabila hegemoni sedang
mengalami krisis (Kurniawan, 2012: 71). Kalau tidak dilakukan dengan cara paksaan atau
kekerasan dengan cara apa hegemoni dilakukan. penaklukan model hegemoni itu dilakukan
dengan cara persuasif (kepemimpinan intelektual, moral, dan filosofi). Berangkat dari apa yang
sudah sampaikan tersebut, maka dapatlah ditarik garis pemahaman bahwa strategi hegemoni

dilakukan oleh intelektual organik (artinya: pihak-pihak yang bertugas melakukan hegemoni)
dengan cara melakukan tindakan persuasif.
Praktik relasi kuasa akan selalu bertujuan mengambil alih kepemimpinan moral
dan intelektual dengan segala cara dan kesulitan yang mendalam. Untuk itu,
intelektualitas akan menjadi subjek penting dalam perubahan sosial. Dalam melakukan
perubahan sosial, masyarakat awam meniscayakan kebutuhannya akan sosok intelektual
yang dapat terlibat di dalam perubahan itu sendiri. Intelektual yang mau bekerja untuk
perubahan sosial inilah disebut sebagai intelektual organik (Jurdi, 2010: 54).
Keberhasilan ISIS menguasai beberapa wilayah di Irak dan Suriah, yang kemudian
diikuti dengan deklarasi khilafah menyisakan beberapa bentuk radikal dikalangan intelektual.
Tantangan ini dilakukan karena adanya krisis hegemoni, berikut adalah bentuk krisis yang
memaksa Daulah Islamiah di Irak dan Suriah yang memaksa melakukan hegemoni dengan
radikal :
Pertama, masa depan ISIS sangat bergantung pada kemampuan para pejuangnya untuk
terus melanjutkan penaklukan yang telah mereka lakukan dalam beberapa bulan belakangan ini.
Jika pemerintah Irak mampu merebut kembali wilayah yang dikuasai oleh Daulah Islamiah, atau
bahkan jika pertempuran di Irak menemui kebuntuan, legitimasi atas seluruh usaha ISIS akan
dipertanyakan. Kemajuan ISIS yang dipandang begitu mudah di Irak bisa menjadi pedang
bermata dua: mereka mungkin membiarkan ISIS menegakkan sebuah khilafah, namun mereka
juga memberikan harapan yang sangat tinggi pada aksi masa depan ISIS. Kegagalan untuk
memenuhi harapan tersebut akan menimbulkan kekecewaan dan akan membuat ISIS
ditinggalkan oleh jihadis lainnya (http://shoutussalam.com/2013/04/momen-brilian-deklarasi-
daulah-Islamiah-iraq-dan-syam/ diunduh pada 1 Oktober 2014 pukul 22.24 WIB)

Kedua, ancaman adanya resistensi yang sangat serius dalam usaha mereka untuk
mengimplementasikan visi kekhalifahannya. Pengalaman ISIS generasi pertama (ISI kemudian
menjadi ISIS dan IS) cukup bisa menjadi pelajaran. Penerapan syariat yang cukup ekstrim
membuat sebagian masyarakat muslim moderat melakukan pemberontakan melalui gerakan
Sahwa yang didukung oleh AS. Penolakan tersebut berujung pada kekalahan mereka pada tahun
2006-2009. Terkait pengalaman tersebut, ISIS memiliki tugas yang tidak mudah untuk
menegaskan otoritasnya atas orang yang sama saat ini (Sugito, 2010: 78).
ISIS memperoleh keuntungan di Irak sebagai bagian dari koalisi Sunni yang melakukan
gerakan menentang pemerintah Maliki. Kelompok-kelompok tersebut mungkin melihat
keuntungan sementara dalam bekerjasama dengan ISIS, tetapi deklarasi kekhalifahan mengirim
pesan yang jelas kepada seluruh mitra ISIS di Irak bahwa mereka adalah pihak bawahan dalam
aliansi ini. ISIS mungkin telah mencoba mengantisipasi langkah ini di awal, tetapi jika tidak,
perebutan kekuasaan bisa jadi akan memecah koalisi tersebut (Gunawan : koran tempo edisi 2
Maret 2006).
Faisal (2007: 24) menekankan, ketepatan momen menguasai wilayah saat ini telah
berubah. Sebelum deklarasi tersebut, jika wilayah yang baru saja mereka kuasai terebut kembali
oleh musuh, karena kondisi perang masih terus berlangsung ISIS mungkin bisa kembali ke
wilayah basis mereka di perbatasan Irak-Suriah tanpa harus banyak kehilangan muka diiringi
dengan peningkatan kemampuan perang yang signifikan, mengingat persenjataan dan jutaan
dolar dana yang berhasil mereka rebut. Namun sekarang, jika wilayahnya terebut, maka
Baghdadi akan berisiko dipandang sebagai orang yang menguasai kekhalifahan, memegangnya
sekejap, untuk kemudian kehilangan semuanya.

Jika ISIS bisa memastikan bahwa mitranya di lapangan mendukung deklarasi tersebut,
dan jika mereka bisa sedikit bersabar untuk melakukan deklarasi sampai yakin bahwa mereka
telah mengkonsolidasikan keuntungan yang telah mereka dapatkan, maka mereka bisa berada
dalam posisi yang siap untuk menuai keuntungan. Jika ISIS terburu-buru atau mengesampingkan
keberatan dari mitra lokal, mereka mungkin akan kehilangan keuntungan teritorial dengan cepat
dan akhirnya dikecam sebagai kelompok yang arogan dan keliru.
ISIS tampaknya berdiri di tepi jurang dengan keyakinan yang belum matang tentang
kemampuannya untuk menjaga keseimbangan. Mereka mungkin akan mampu untuk berjalan di
atas jurang tersebut. Namun, ini adalah sebuah risiko yang menakjubkan dan tidak perlu
dilakukan oleh sebuah kelompok yang sebenarnya beberapa waktu ke depan mempunyai peluang
yang sangat baik, dari hasil yang berkisar dari baik menjadi sangat baik. Hanya saja, sekarang
mereka telah mengambil risiko yang lebih tinggi untuk sebuah hasil yang benar-benar buruk bagi
prospek jangka panjang mereka.
Ketiga, mungkin tidak hanya muslim biasa yang akan menentang, kelompok militan lain
mungkin juga akan melawan mereka. Deklarasi yang dikeluarkan oleh ISIS meminta seluruh
jihadis untuk berbaiat kepada Khalifah Ibrahim, permintaan yang sama juga dilakukan oleh
Daulah Islamiah Irak (ISI) ketika mereka mendeklarasikan Daulah Islamiah di Irak pada tahun
2006. Banyak kelompok militan yang menolak permintaan mereka, yang akhirnya berujung pada
pertikaian berdarah pada tahun 2006 dan 2007. Penaklukan Mosul dan beberapa kota di Irak juga
dipicu oleh pemberontakan Sunni yang merasa termarjinalisasi oleh kekejaman rezim Syiah di
Irak (Syamina XIV, 2014: 8).
Keempat, Deklarasi ini akan semakin memperpanjang perselisihan antara ISIS dan Al-
Qaidah. Jika ISIS mampu untuk meyakinkan mayoritas kelompok salafi jihadis bahwa

penaklukan yang mereka lakukan akan membawa pada Khilafah ala Minhajin Nubuwwah, para
pejuangnya mampu untuk terus maju di Irak, dan para pemimpin kelompok mereka mampu
menahan diri dari dorongan melakukan tindakan radikal, maka ada peluang bagi ISIS untuk
memainkan peranan penting dalam kepemimpinan jihad global. Keuntungan yang didapatkan
ISIS baru-baru ini di Irak memproyeksikan kekuatan dan dinamisme mereka, sedangkan Al-
Qaidah tampak lebih hati-hati dan ragu-ragu. Meski demikian, Al-Qaidah Pusat masih lebih
unggul dibanding ISIS dalam hal dukungan tokoh-tokoh berpengaruh di kalangan komunitas
jihad (Assad, 2014: 69-73).
Deklarasi khilafah mengundang kontroversi yang cukup dahsyat. Bagi segmen jihad
global pro Al-Qaidah, deklarasi tersebut akan semakin memicu gerakan anti ISIS, terutama
dengan pernyataan bahwa kelompok jihad di seluruh dunia berkewajiban untuk berbaiat kepada
mereka. Namun di sisi lain, deklarasi tersebut akan menghasilkan antusiasme dari para pasukan
lapangan dan segmen lain dari gerakan jihad global yang memandang ISIS sebagai rising star,
yang kebanyakan berasal dari para pemuda bersemangat.
Dengan pendeklarasian khilafah saat ini, ISIS juga akan menghadapi sebuah dilema dalam
menghadapi bentuk hegemoni tanpa upaya paksaan. Namun, bentuk radikal dari sebuah
kepemimpinan dapat diminimalisir dengan pemehaman sebuah ideologi yang kuat. Diantara
kendala yang dihadapi sebelum mengambil pilihan secara radikal terbagi menjadi empat antara
lain:
1) Pengelompokan : Milisi Sunni yang membantu ISIS menguasai beberapa kota di Irak saat
ini mungkin dapat menimbulkan ancaman terhadap kontrol ISIS sebagaimana yang
mereka lakukan kepada pemerintah Irak. Kekalahan militer Irak atas ISIS disebabkan oleh
berbagai faktor, termasuk komandan yang tidak kompeten atau tidak loyal, serta

kurangnya dukungan lokal. Kekuatan aliansi antara ISIS dan komunitas lokal sangat
bervariasi. Ketegangan mulai muncul dalam aliansi ini, yang mungkin akan pecah jika
ISIS tidak melakukan upaya serius untuk memperkuat aliansi ini sebuah upaya yang
mungkin melibatkan negosiasi dan kompromi atas berbagai tujuan yang bertentangan,
serta ketegangan antara tujuan ideologis dan ketidakpuasan lokal (Syamina XIII, 2014:
33).
2) Perlucutan: ISIS saat ini menghadapi risiko yang sama dengan pemerintah Irak, yaitu para
sekutu yang jika dibiarkan keluar dari proses internal kelompok, atau mempunyai tujuan
atau preferensi politik keagamaan yang berbeda mungkin akan menolak kontrol dari ISIS.
Tampaknya ISIS menyadari akan kemungkinan ini, dengan cara menuntut para pejuang
lokal untuk berbaiat kepada ISIS, dan meletakkan senjata mereka
(http://www.bbc.com/news/world-middle-east-28123258).
3) Kontrol teritorial: Faksionalisasi juga memberikan ISIS tantangan kontrol teritorial yang
sama dengan pemerintah Irak. Hilangnya Mosul dan daerah lain di Irak utara merupakan
kemunduran politik dan militer bagi pemerintah Irak. Bahkan sebelum deklarasi khilafah, ISIS
banyak melakukan klaim kemenangan dalam hal penguasaan wilayah. Mereka tentunya berusaha untuk
mempertahankan kontrol yang telah diperoleh di Suriah. Di Irak, partisipasi perlawanan masyarakat
Sunni setempat membantu penguasaan wilayah ISIS. Karenanya, kehilangan sekutu lokal mungkin
akan mempengaruhi kemampuan kontrol ISIS atas wilayah tersebut. Terlebih lagi, banyak dari pasukan
Sunni lokal yang saat ini bekerjasama dengan ISIS adalah kelompok yang sama dengan yang dulu
pernah bersama-sama melawan pasukan Amerika, tapi kemudian melawan pendahulu ISIS, Al-Qaidah
Irak (Kiblat, 2014: 17).
4) Menjalankan negara: Jika proyek Daulah Islamiah ingin mempunyai akar yang kuat,
mereka membutuhkan administrator dan ahli di berbagai bidang, Abu Bakar Al-Baghdadi

sendiri jelas berharap mereka akan berbondong-bondong memenuhi seruannya. ISIS telah
menunjukkan beberapa kapasitas untuk melakukan hal ini di kota-kota Suriah seperti
Raqqah. Tapi, teknokrat yang kompeten tidak mudah didapat. Bagi ISIS, hal ini banyak
bergantung pada bagaimana deklarasi kekhalifahan mampu menarik individu yang
berkualitas di tempat lain, dan kesediaan kelompok tersebut untuk berkompromi dan
bermain politik dalam membangun aliansi (Said, 2014 : 61).
Mungkin beberapa personil berkualitas tertarik atas seruan ISIS, ditambah lagi dengan
kemampuan kelompok tersebut untuk membayar mereka, setidaknya untuk saat ini. Tapi orang
tersebut sering juga membawa preferensi politik dan agama mereka sendiri. Jika ISIS menolak
untuk berkompromi, maka bentuk radikalisme pemikiran yang mempunyai kompetensi yang
cukup dan persamaan ideologi dengan mereka saja. Terlebih lagi, jika ISIS mampu menarik
personil berkualitas, menggunakan mereka untuk kebutuhan administrasi saja berarti kelompok
tersebut tidak dapat secara bersamaan menggunakan keterampilan mereka dalam memimpin atau
merencanakan serangan untuk memperluas atau mempertahankan wilayah ISIS.
Kemenangan ISIS dan deklarasi khilafah yang mereka lakukan telah menimbulkan alarm
dan ironi yang menempatkan mereka pada tantangan yang sama dengan pemerintahan yang
mereka gulingkan. Peperangan dalam dekade ini telah memberi bukti bahwa proklamasi di Irak
tidak menjamin kesuksesan.
Saat ini, ISIS memiliki keuntungan momentum, uang tunai, dan musuh yang mengalami
disfungsional. Tapi ini masih awal, dan masih banyak yang harus dilihat bagaimana ISIS
menghadapi tantangan ini. Mereka harus memutuskan seberapa jauh mereka mau berkompromi
dan bernegosiasi untuk membangun aliansi yang kuat atau bentuk radikal sebagai solusi
menghegemonikan Daulah Islamiah. Mereka harus merekrut dan mengalokasikan baik sumber
daya keuangan dan personil untuk mengelola wilayah yang mereka kuasai. Kemampuan ISIS

untuk memperluas wilayah atau menimbulkan ancaman bagi negara lain sangat bergantung pada
pilihan dan kemampuan mereka untuk mengatasi tantangan ini, untuk mencapai hegemoni nyata
untuk tatanan dunia.