bab ii pendekatan konseptual - repository.ipb.ac.id · formal maupun informal, dan berbagai...

27
BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Corporate Social Responsibility (CSR) Corporate Social Responsibility (CSR) telah ada sejak abad ke-17 dan terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Pada awal kemunculannya di tahun 1970-an, konsep CSR telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak lama. Kode Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan kematian bagi pelanggannya. Potensi dampak negatif dari kegiatan usaha telah menjadi perhatian pembuat kebijakan sejak dahulu. Tahun 1940-an istilah community development atau pengembangan masyarakat dipergunakan di Inggris, tepatnya pada tahun 1948. Pengembangan masyarakat merupakan pendekatan alternatif berbasis komunitas yang dapat melibatkan pemerintah, swasta, ataupun lembaga-lembaga non-pemerintah. Pengembangan masyarakat tidak hanya menjadi kebutuhan masyarakat, namun juga menjadi kebutuhan bagi perusahaan. Manajer perusahaan tidak hanya bertanggung jawab terhadap kepentingan perusahaan tetapi juga memiliki kepentingan pada masyarakat yang lebih luas dan lingkungan 10 . Tahun 1950-an menjadi masa konsep CSR modern. Konsep CSR dikemukakan oleh Howard R Bowen dalam Solihin (2009) melalui karyanya yang diberi judul “ Social Responsibilities of The Businessman”. Dua hal yang menjadi perhatian mengenai CSR pada era tersebut, yaitu pada saat itu dunia bisnis belum mengenal dunia korporasi sebagaiman kita saat ini dan judul buku Bowen saat itu masih menyiratkan bias gender karena para pelaku bisnis didominasi oleh kaum laki-laki (businessman). 10 [CSR Jawa Timur]. T.t. Sejarah CSR. [Internet]. [diunduh 30 Maret 2011]. Format/ Ukuran: PDF/ 278 KB. Dapat diunduh dari: http://csrjatim.org/2/data/sejarah-csr.pdf

Upload: dinhdieu

Post on 08-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

   

BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Corporate Social Responsibility (CSR)

Corporate Social Responsibility (CSR) telah ada sejak abad ke-17 dan

terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Pada awal kemunculannya di

tahun 1970-an, konsep CSR telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan

sejak lama. Kode Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282 hukum telah memuat

sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau

menyebabkan kematian bagi pelanggannya. Potensi dampak negatif dari kegiatan

usaha telah menjadi perhatian pembuat kebijakan sejak dahulu. Tahun 1940-an

istilah community development atau pengembangan masyarakat dipergunakan di

Inggris, tepatnya pada tahun 1948. Pengembangan masyarakat merupakan

pendekatan alternatif berbasis komunitas yang dapat melibatkan pemerintah,

swasta, ataupun lembaga-lembaga non-pemerintah. Pengembangan masyarakat

tidak hanya menjadi kebutuhan masyarakat, namun juga menjadi kebutuhan bagi

perusahaan. Manajer perusahaan tidak hanya bertanggung jawab terhadap

kepentingan perusahaan tetapi juga memiliki kepentingan pada masyarakat yang

lebih luas dan lingkungan10.

Tahun 1950-an menjadi masa konsep CSR modern. Konsep CSR

dikemukakan oleh Howard R Bowen dalam Solihin (2009) melalui karyanya yang

diberi judul “ Social Responsibilities of The Businessman”. Dua hal yang menjadi

perhatian mengenai CSR pada era tersebut, yaitu pada saat itu dunia bisnis belum

mengenal dunia korporasi sebagaiman kita saat ini dan judul buku Bowen saat itu

masih menyiratkan bias gender karena para pelaku bisnis didominasi oleh kaum

laki-laki (businessman).

                                                            10 [CSR Jawa Timur]. T.t. Sejarah CSR. [Internet]. [diunduh 30 Maret 2011]. Format/ Ukuran: PDF/ 278 KB. Dapat diunduh dari: http://csrjatim.org/2/data/sejarah-csr.pdf

11  

 

Tanggung jawab sosial didefinisikan oleh Bowen dalam Solihin (2009)

sebagai:

“The obligations of businessman to pursue those policies, to make those decisions, or to follow those lines of action which are desireable in terms of the objectives and values of our society”.

Tahun 1960-an, Keith Davis menegaskan adanya tanggung jawab sosial

perusahaan diluar tanggung jawab ekonomi. Tahun 1970-1980-an, para pimpinan

perusahaan terkemuka di Amerika serta para peneliti membentuk Commite for

Economic Development (CED). CED membagi tanggung jawab sosial perusahaan

ke dalam tiga lingkaran tanggung jawab, yaitu inner circle of responsibilities:

tanggung jawab untuk melaksanakan fungsi ekonomi, intermediate circle

responsibilities: tanggung jawab melaksanakan fungsi ekonomi dan secara

bersamaan juga peka terhadap nilai-nilai atau prioritas sosial, dan outer circle of

responsibilities: mencakup kewajiban perusahaan dalam meningkatkan kualitas

lingkungan sosial. Tahun 1992, diadakan Earth Summit yang dilaksanakan di Rio

de Janeiro. Earth Summit dihadiri oleh 172 negara dengan tema utama

“Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan”. Pertemuan tersebut

menghasilkan Agenda 21, Deklarasi Rio dan beberapa kesepakatan lainnya. Hasil

akhir dari pertemuan tersebut secara garis besar menekankan pentingnya eco-

efficiency dijadikan sebagai prinsip utama dalam berbisnis dan menjalankan

pemerintahan11.

Definisi CSR menurut Sukada et al. (2007) adalah “Segala upaya

manajemen yang dijalankan entitas bisnis untuk mencapai tujuan pembangunan

berkelanjutan berdasar keseimbangan pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan,

dengan meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak-dampak

positif di setiap pilar”. Definisi CSR menurut ISO 26000 adalah:

“Responsibility of an organization for the impacts of its decisions and activities on society and the enviroment throught transparent and ethical behaviour that is consistent with sustainable development and welfare of society; tasks into

                                                            11 Ibid.

12  

 

account the expectation of stakeholders; is in compliance with applicable law and consistent international norms of behaviour; and is integrated throughout the organization”.

Tingkatan tanggung jawab yang dilakukan oleh perusahaan (korporat)

menurut Carroll dan Wood (1991) dalam Zainal (2006) adalah sebagai berikut

ini:

Tabel 1 Tingkatan Tanggung Jawab Perusahaan

Tingkatan/ Level Uraian

Level Ekonomi Dimana perusahaan bertanggung jawab untuk memproduksi barang dan jasa sesuai dengan keinginan masyarakat, dan menjualnya kepada masyarakat dengan motif profit.

Level Legalitas Perusahaan mematuhi semua peraturan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah (contoh: pajak, regulasi).

Level Etika Perusahaan bertanggung jawab untuk memenuhi keinginan dan ekspektasi dari masyarakat terhadap bisnis yang dijalankannya, melebihi apa yang seharusnya dilakukan perusahaan dalam memenuhi tanggung jawab legalitasnya.

Level Keterbukaan Perusahaan melakukan tanggung jawabnya melebihi dari apa yang diinginkan masyarakat, dan menganggap perusahaan adalah bagian dari komunitas.

Dua tahapan pertama banyak terjadi pada era tahun 1970 dan 1980 dimana

perusahaan hanya mementingkan dan mengutamakan pada aspek ekonomi dan

legalitas dalam pemenuhan tanggung jawabnya. Pendekatan ini sering disebut

juga sebagai pendekatan corporate philantrophy, yaitu pelaksanaan CSR oleh

perusahaan hanya sebatas dalam bentuk derma atau charity yang diberikan oleh

perusahaan kepada komunitas lokal di sekitar perusahaan. Pada era 1990, arah

tanggung jawab perusahaan beralih ke inisiatif perusahaan itu sendiri untuk

melakukan CSR yang mengedepankan etika.

Triple Bottom Line merupakan tiga prinsip dasar yang terdapat dalam

CSR. Istilah ini dipopulerkan oleh Jhon Elkington pada tahun 1997 melalui

bukunya “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century

Business”. Triple bottom line, meliputi economic prosperity, enviromental quality,

dan social justice (Wibisono, 2007). Ketiga prinsip tersebut (3P: People, Planet,

Profit) saling bersinergi satu sama lain.

13  

 

Sumber: Wibisono (2007).

Gambar 1 Triple Bottom Line

Profit atau ekonomi menjadi salah satu aspek terpenting dan menjadi

tujuan dalam setiap kegiatan usaha karena merupakan tanggung jawab ekonomi

yang paling esensial terhadap para pemegang saham. People atau sosial

merupakan tanggung jawab sosial dari perusahaan terhadap masyarakat. Planet

atau lingkungan menjadi salah satu tanggung jawab perusahaan atas dampak

negatif dari operasi perusahaannya terhadap lingkungan.

Menurut Wibisono (2007), terdapat empat tahapan penerapan CSR,

yaitu: 1) Tahap perencanaan: tahapan awal dari penerapan CSR, langkah-langkah

yang biasa dilakukan pada tahapan ini antara lain menetapkan visi, misi, tujuan,

kebijakan CSR, merancang struktur organisasi, menyediakan SDM,

merencanakan program operasional, membuat wilayah, dan mengelola dana.

Tahapan ini terdiri atas tiga langkah utama, yaitu awareness building, CSR

assesement, dan CSR manual building; 2) Tahap implementasi: tahapan ini terdiri

atas tiga langkah, yaitu sosialisasi, implementasi, dan internalisasi. Sosialisasi

merupakan tahap memperkenalkan kepada komponen perusahaan mengenai

berbagai aspek yang terkait dengan implementasi CSR. Implementasi kegiatan

dilakukan sejalan dengan pedoman CSR yang ada. Internalisasi adalah tahap

jangka panjang yang mencakup upaya-upaya untuk memperkenalkan CSR di

dalam seluruh proses bisnis perusahaan; 3) Tahap evaluasi: tahap ini merupakan

tahap yang perlu dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu untuk mengukur

Sejauhmana efektivitas penerapan CSR; dan 4) Tahap pelaporan: tahap pelaporan

Ekonomi (Profit) Lingkungan (Planet)

Sosial (People)

14  

 

diterapkan untuk membangun sistem informasi material dan relevan mengenai

perusahaan.

Pengembangan masyarakat (community development) merupakan salah

satu upaya bagi perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial

perusahaan. Pengembangan masyarakat dalam CSR melibatkan berbagai

stakeholders dan shareholders dalam implementasinya. Menurut Princes of Wales

Foundation dalam Untung (2008) ada lima hal penting yang dapat mempengaruhi

implementasi CSR, yaitu 1) menyangkut human capital atau pemberdayaan

manusia, 2) environments (lingkungan), 3) good corporate governance, 4) social

cohesion, yaitu pelaksanaan CSR jangan sampai menimbulkan kecemburuan

sosial, 5) economic strenght atau memberdayakan lingkungan menuju

kemandirian di bidang ekonomi.

Peningkatan ekonomi masyarakat lokal adalah konsentrasi CSR pada

eksternal stakeholders. Dengan meningkatkan kemampuan ekonomi komunitas

sekitar perusahaan, maka perusahaan telah turut berpartisipasi mengurangi

kemiskinan yang merupakan tujuan pertama yang tercantum dalam MDGs.

Pemberdayaan ekonomi lokal berarti memampukan masyarakat sekitar agar dapat

mandiri secara ekonomi atau setidak-tidaknya memberikan pemacu agar terjadi

perkembangan ekonomi di daerah tersebut. Pembangunan ekonomi lokal dapat

digolongkan dalam penyediaan modal manusia (human capital) dalam bentuk

pelatihan untuk meningkatkan keterampilan, usaha (business capital) dapat dalam

bentuk pemberian mesin dan peralatan, serta pengetahuan (knowledge capital)

dalam bentuk pemberian pengetahuan (Radyati, 2008). Menurut Hubeis (2010),

pemanfaatan dana CSR dalam konteks ekonomi makro merupakan sarana cerdas

dan tangguh dalam memberdayakan perempuan menuju ketahanan ekonomi

keluarga melalui pendidikan dan model PENDANAAN PLUS (Pelatihan dan

Pendampingan Usaha). Pemberdayaan ekonomi lokal menjadi salah satu program

CSR PT Holcim Indonesia Tbk melalui pelaksanaan Baitul Maal wa Tamwil

Swadaya Pribumi.

15  

 

2.1.2 Baitul Maal wa Tamwil Sistem ekonomi dan perbankan yang dominan dikembangkan di

Indonesia adalah sistem perbankan konvensional yang menggunakan teori dari

Negara Barat. Perbankan konvesional memberikan permodalan kepada peminjam

modal dengan peraturan yang rumit dan kewajiban membayar bunga yang

ditentukan oleh pihak bank. Berbeda dengan sistem perbankan dari Negara Barat,

sistem perbankan dengan syariat Islam berprinsip pada saling mempercayai antara

pelaku ekonomi sehingga apabila mendapatkan keuntungan ataupun kerugian

akibat jalinan kerjasama akan ditanggung bersama (Koesoemowidjojo, 2000).

Baitul Maal wa Tamwil (BMT) merupakan salah satu bentuk lembaga

keuangan mikro berbasis syariat Islam. Baitul Maal wa Tamwil atau padanan kata

Balai Usaha Mandiri Terpadu adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan

dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dan kecil,

dalam rangka meningkatkan derajat dan martabat serta membela kepentingan

kaum fakir miskin. Secara konseptual BMT memiliki dua fungsi:

1) Baitut Tamwil (Bait = Rumah, at-Tamwil = Pengembangan harta)

melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi

dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil

terutama dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang

pembiayaan kegiatan ekonominya.

2) Baitul Maal (Bait = Rumah, Maal = Harta) menerima titipan dana zakat,

infaq, dan shadaqah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan

peraturan dan amanahnya12.

Lembaga keuangan mikro berbasis syari’ah, seperti bank syari’ah,

koperasi syari’ah, atau Baitul Maal wa Tamwil memiliki jenis produk yang tidak

lepas dari akad (perjanjian). Menurut Ascarya (2008), berbagai jenis akad dapat

dibagi ke dalam enam kelompok pola, yaitu:

1) Pola titipan, seperti wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah;

2) Pola pinjaman, seperti qardh dan qardhul hasan;

                                                            12 Prof. Dr. Ir. M. Amin Azis. Tata Cara Pendirian BMT. [Internet]. [diunduh 3 Januari 2012]. Format/Ukuran: PDF/ 470KB. Dapat diunduh dari: http://pkesinteraktif.pkes.org/download/bmt_pkes_secure.pdf

16  

 

3) Pola bagi hasil, seperti mudharabah dan musharakah;

4) Pola jual beli, seperti murabahah, salam, dan istishna;

5) Pola sewa, seperti ijarah dan ijarah wa iqtina; dan

6) Pola lainnya, seperti wakalah, kafalah, hiwalah, ujr, sharf, dan rahn.

Salah satu Baitul Maal wa Tamwil yang merupakan bagian dari CSR

suatu perusahaan adalah Baitul Maal wa Tamwil (BMT) Swadaya Pribumi. BMT

Swadaya Pribumi merupakan salah satu bentuk dari lembaga keuangan mikro

yang berbasis syari’ah yang dibentuk secara bersama oleh pihak Community

Relation PT Holcim Indonesia Tbk dan tokoh masyarakat di Kecamatan

Klapanunggal. BMT Swadaya Pribumi memiliki dua jenis produk, yaitu produk

pembiayaan (murabahah, mudharabah, ijarah, dan musyarakah) dan produk

simpanan (simpanan swadaya pribumi, simpanan pendidikan, simpanan Idul Fitri,

simpanan qurban, dan simpanan berjangka mudharabah). Penjelasan mengenai

BMT Swadaya Pribumi dan jenis produk yang ada di BMT Swadaya Pribumi

dijelaskan pada BAB V.

2.1.3 Tujuan ke-3 MDGs MDGs memiliki delapan tujuan yang harus dicapai pada tahun 2015,

diantara kedelapan tujuan tersebut terdapat tujuan yang berkaitan dengan

kesetaraan gender, yaitu tujuan pertama sampai dengan tujuan keenam.

Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan secara lebih spesifik diuraikan

pada tujuan ketiga MDGs: mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan

perempuan. Salah satu tujuan pembangunan manusia di Indonesia adalah

mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam meningkatkan kualitas hidup

manusia tanpa membeda-bedakan antara laki-laki maupun perempuan. Meskipun

telah banyak pembangunan yang dicapai, namun kenyataan menunjukkan bahwa

kesenjangan gender (gender gap) masih ada dalam sebagian besar bidang (UNDP

Indonesia, 2007). Perempuan dan laki-laki memang berbeda, namun tidak untuk

dibeda-bedakan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk mencapai

kesetaraan dan keadilan gender diantaranya dengan menghilangkan ketimpangan

gender dalam berbagai bidang kehidupan, seperti pendidikan, pekerjaan di sektor

17  

 

formal maupun informal, dan berbagai kegiatan atau program lainnya, termasuk

program CSR bidang pemberdayaan ekonomi lokal PT Hocim Indonesia Tbk.

Tabel 2 Indikator dari Tujuan Ketiga MDGs

Tujuan 3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

Target 4 Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005, dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari dari tahun 2015 4.1 Rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat

pendidikan dasar, lanjutan dan tinggi, yang diukur melalui angka partisipasi murni anak perempuan terhadap anak laki-laki (%) 4.2 Rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki usia 15-24

tahun, yang diukur melalui angka melek huruf perempuan/laki-laki (indeks paritas melek huruf gender) (%)

4.3 Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK ) perempuan (%) 4.4 T ingkat pengangguran terbuka (TPT) perempuan (%) 4.5 Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan (%) 4.6 T ingkat daya beli (Purchasing Power Parity, PPP) pada

kelompok perempuan (%) 4.7 Proporsi perempuan dalam lembaga-lembaga publik

(legislatif, eksekutif, dan yudikatif) (%). Sumber: UNDP Indonesia (2007).

Tabel 2 menunjukkan indikator atau pengukuran terhadap pencapaian

tujuan ketiga MDGs, yaitu mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan

perempuan. Indonesia dapat dikatakan berhasil mencapai tujuan ketiga apabila

indikator tersebut telah tercapai dengan optimal. Beberapa tantangan yang

dihadapi untuk mencapai tujuan ketiga, yaitu: 1) menjamin kesetaraan gender

dalam berbagai peraturan perundang-undangan, kebijakan, program, dan kegiatan

pembangunan, mulai dari tingkat nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota,

terutama dibidang-bidang pembangunan pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan,

ekonomi, hukum, dan politik; 2) meningkatkan kualitas hidup dan peran

perempuan melalui aksi afirmasi (affirmative action) di berbagai bidang

pembangunan; 3) meningkatkan kualitas dan kapasitas kelembagaan dan jaringan

pengarusutamaan gender; 4) meningkatkan peran lembaga masyarakat dalam

pemberdayaan perempuan; 5) merevisi peraturan perundang-undangan dan

18  

 

kebijakan yang bias gender dan/atau diskriminatif terhadap perempuan (UNDP,

2007).

2.1.4 Definisi Gender Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 Tanggal 19

Desember 2000 tentang Pedoman Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan

Nasional yang dimaksud dengan gender adalah konsep yang mengacu pada

pembedaan peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang terjadi akibat

dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Gender

menurut Hubeis (2010) adalah:

“Suatu konsep yang merujuk pada suatu sistem peranan dan hubungan antara perempuan dan laki-laki yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis, akan tetapi oleh lingkungan sosial-budaya, politik, dan ekonomi sehingga tidak bersifat kodrati atau mutlak”.

Selain itu, menurut Hubeis (2010) gender lebih mengacu pada perbedaan

peran sosial serta tanggung jawab perempuan dan laki-laki pada perilaku dan

karakteristik yang dipandang tepat untuk perempuan dan laki-laki dan pada

pandangan tentang bagaimana beragam kegiatan yang mereka lakukan seharusnya

dinilai dan dihargai. WHO (2011) memberi batasan gender sebagai13:

"Gender refers to the socially constructed roles, behaviours, activities, and attributes that a given society considers appropriate for men and women”. (Gender mengacu pada seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi perempuan dan laki-laki, yang dikonstruksi secara sosial, dalam suatu masyarakat).

Menurut Simatauw et al. (2001) gender dan jenis kelamin (sex) memiliki

konsep yang berbeda. Gender merupakan bentukan manusia yang tidak mutlak

dan dapat berubah tergantung situasi, kondisi, dan waktu, serta dipengaruhi oleh

                                                            

13[WHO] World Health Organization. 2011. What do we mean by "sex" and "gender"?. [Internet]. [dikutip 18 Mei 2011]. Dapat diunduh dari: http://www.who.int/gender/whatisgender/en/index.html

19  

 

budaya dan kehidupan sosial, seperti perempuan memasak, mengurus

rumahtangga, mengurus anak, dan kegiatan lainnya. Sedangkan jenis kelamin

(sex) merupakan sesuatu yang bersifat kodrat yang tidak dapat diubah, seperti

perempuan menstruasi, hamil, menyusui, dan ciri-ciri biologis perempuan lainnya.

Laki-laki menghamili, memiliki sperma, dan ciri-ciri biologis lainnya.

Sumber: Depkeu (T.t).

Gambar 2 Perbedaan Seks dan Gender

2.1.5 Kesetaraan dan Keadilan Gender Instruksi Presiden dalam Pedoman PUG dalam Pembangunan Nasional

mendefinisikan kesetaraan gender sebagai kesamaan kondisi bagi perempuan dan

laki-laki untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar

mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial

budaya, pertahanan dan keamanan, serta kesamaan dalam menikmati hasil

pembangunan. Keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap

perempuan dan laki-laki.

Bentuk-bentuk ketidakadilan gender antara lain (Simatauw et al. 2001):

1) Marjinalisasi (peminggiran) ekonomi

Lemahnya kesempatan perempuan meliputi akses dan kontrol perempuan

terhadap sumber-sumber ekonomi, seperti tanah, kredit, pasar.

Seks Tidak dapat dipertukarkan (kodrat)

Laki-laki Perempuan Ciri dan fungsi Ciri dan fungsi Penis Vagina Jakun Sel telur Sperma Menyusui Membuahi Melahirkan

Gender Dapat dipertukarkan dan merupakan

bentukan manusia Laki-laki Perempuan Citra/jati diri Citra/jatidiri /peran /peran Kuat Lemah Rasional Emosional Tampan Cantik Kasar Halus/lembut Maskulin Feminim Publik Domestik

20  

 

Perempuan dipinggirkan dalam berbagai kegiatan yang lebih

memerlukan laki-laki.

2) Subordinasi (penomorduaan)

Keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin lebih baik, lebih penting, atau

lebih diutamakan dibandingkan jenis kelamin yang lain. Terdapat

batasan-batasan yang berasal dari kultural, agama, atau kebijakan

terhadap perempuan dalam melakukan sesuatu. Perempuan tidak

memiliki peluang untuk mengambil keputusan bahkan yang menyangkut

dengan dirinya. Perempuan diharuskan tunduk terhadap keputusan yang

dibuat oleh laki-laki. Laki-laki sebagai pencari nafkah utama (a main

breadwinner) sedangkan perempuan sebagai pencari nafkah tambahan

(secondary breadwinner).

3) Beban kerja berlebih (over burden)

Pembagian peran dibagi menjadi produktif, reproduktif, memelihara

masyarakat, dan politik masyarakat. Perempuan biasanya memiliki tiga

peran (triple role), yaitu produktif, reproduktif, dan memelihara

masyarakat. Perempuan lebih dominan pada tiga peran tersebut

sedangkan laki-laki lebih dominan pada peran produktif dan politik

masyarakat.

4) Cap-cap negatif (stereotype)

Pelabelan negatif pada salah satu jenis kelamin, umumnya perempuan.

Perempuan digambarkan sebagai sosok yang emosional, tidak rasional,

lemah, dan lainnya. Padahal laki-laki juga dapat berperilaku seperti itu.

Pelabelan negatif dapat melahirkan ketidakadilan yang merugikan dan

berdampak buruk pada salah satu pihak.

5) Kekerasan (violence)

Kekerasan berbasis gender didefinisikan sebagai kekerasan terhadap

perempuan. Bentuknya bermacam-macam dapat berupa kekerasan fisik

maupun psikologis. Kekerasan terjadi akibat dari adanya konstruksi

sosial yang sering dibudayakan di dalam masyarakat.

21  

 

2.1.6 Peran (Pembagian Kerja) Gender Peran (pembagian kerja) gender terlihat dari perbedaan peran atau

kegiatan yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki berdasarkan nilai sosial-

budaya yang berlaku. Perempuan dan laki-laki dibeda-bedakan dalam melakukan

peran atau kegiatan karena persepsi masyarakat yang lazim terbentuk secara

umum. Peran gender berbeda antar masyarakat atau bahkan antar kelompok di

dalam masyarakat tertentu dan seringkali mengalami perubahan setiap saat. Peran

gender menampilkan kesepakatan pandangan dalam masyarakat dan budaya

tertentu perihal ketepatan dan kelaziman bertindak untuk seks tertentu atau jenis

kelamin tertentu, namun secara perseorangan ada kemungkinan bahwa seorang

perempuan dan/atau lelaki memiliki peran aktual gender yang bertentangan

dengan peran gender per jenis seks yang dipandang tepat dan lazim serta

disepakati di masyarakat bersangkutan (Hubeis, 2010).

Peran perempuan dan laki-laki diklasifikasikan dalam tiga jenis peran,

yaitu peran reproduktif, produktif, dan sosial. Menurut Simatauw et al. (2001)

peran produktif adalah kegiatan yang menghasilkan uang atau mengahasilkan

barang-barang lainnya yang tidak dikonsumsi atau digunakan sendiri, misalnya

bertani, beternak, berburu, menjadi buruh, berdagang. Peran reproduktif adalah

kegiatan-kegiatan yang sifatnya merawat dan mengurusi keperluan keluarga

seperti, merawat anak, mengambil air, memasak (Simatauw et al. 2001). Peran

sosial terdiri dari peran merawat masyarakat dan politik masyarakat. Peran

merawat masyarakat, yaitu kegiatan-kegiatan masyarakat yang sifatnya menjalin

kebersamaan, solidaritas antar masyarakat, menjaga keutuhan masyarakat, seperti

arisan, pengajian, upacara adat. Peran politik masyarakat yaitu kegiatan-kegiatan

yang bertujuan untuk mengambil keputusan yang berpengaruh pada kehidupan

masyarakat, seperti pemilihan kepala desa, rapat pembagian tanah, dan lain-lain

(Simatauw et al. 2001).

Menurut Hubeis (2010) peran reproduktif (domestik) adalah peran yang

dilakukan oleh seseorang untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan

pemeliharaan sumberdaya insani (SDI) dan tugas kerumahtanggan seperti

menyiapkan makanan, mengumpulkan air, mencari kayu bakar, berbelanja,

memelihara kesehatan dan gizi keluarga, mengasuh dan mendidik anak. Peran

22  

 

produktif menurut Hubeis (2010) menyangkut pekerjaan yang menghasilkan

barang dan jasa untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan (petani, nelayan,

konsultasi, jasa, pengusaha, dan wirausaha). Peran sosial menurut Hubeis (2010)

adalah peran masyarakat terkait kegiatan jasa dan partisipasi politik.

Tabel 3 Klasifikasi Tiga Peran Gender: Peran Reproduktif, Peran Produktif, dan Peran Sosial

Gender Reproduktif Produktif Sosial

Perempuan Peran Utama: Istri, Ibu, Ibu Rumahtangga (Keluarga)

1. Acap diansumsikan tidak memiliki peran produktif

2. Pembantu (turut) mencari nafkah keluarga

1. Manajemen, jasa penyuluhan terkait pada aspek peran reproduktif

2. Pekerja tidak dibayar (informal)

Lelaki Bapak Kepala keluarga

Peran Utama: Mencari nafkah keluarga

1. Kepemimpinan 2. Politik 3. Ketahanan/

militer 4. Pekerja dibayar/

formal Sumber: Hubeis (2010).

Pembagian peran gender mempengaruhi pembagian kerja, relasi antara

perempuan dan laki-laki, akses dalam memperoleh sumberdaya dan manfaat,

kontrol atau kuasa dalam memperoleh suamberdaya dan manfaat. Implikasi

pembagian kerja gender yang tercantum dalam Panduan Pelatihan PUG (Depkeu,

T.t) adalah sebagai berikut:

1) Perempuan menjalankan pekerjaan yang beragam dan pergantian peran

yang lebih banyak dan lebih cepat daripada laki-laki

2) Pekerjaan perempuan lebih banyak berhubungan dengan pekerjaan

rumahtangga dan pengasuhan anak (reproduktif), sementara laki-laki

bertanggung jawab untuk melakukan pekerjaan yang lebih nyata terlihat

oleh masyarakat seperti pekerjaan ekonomi maupun politik.

2.1.7 Analisis Gender dalam CSR Bidang Pemberdayaan Ekonomi Lokal Kegiatan atau program dikatakan telah responsif gender apabila

kebijakan, program, kegiatan atau kondisi yang sudah memperhitungkan

23  

 

kepentingan perempuan dan laki-laki (lihat Tabel 4). BMT Swadaya Pribumi

merupakan program CSR Holcim Indonesia Pabrik Narogong di bidang

pemberdayaan ekonomi lokal yang bergerak sebagai lembaga keuangan mikro

berbasis syari’ah dengan tujuan memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat.

Kebutuhan atau kepentingan peserta perempuan dan peserta laki-laki meliputi

kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis gender. Analisis gender menjadi suatu

alat analisis untuk mengetahui sejauhmana kesetaraan gender dipertimbangkan

dalam pelaksanaan BMT Swadaya Pribumi.

Tabel 4 Konsep dan Pengertian Istilah Gender

Konsep Pengertian

Buta gender (gender blind)

Kondisi atau keadaan seseorang yang tidak memahami tentang pengertian atau konsep gender (ada perbedaan kepentingan antara perempuan dan laki-laki).

Sadar gender (gender aware)

Mengenali perbedaan antara prioritas dan kebutuhan perempuan dan laki-laki.

Bias gender Pandangan dan sikap yang lebih mengutamakan salah satu jenis kelamin daripada jenis kelamin lain sebagai akibat pengaturan kepercayaan budaya yang lebih berpihak kepada laki-laki daripada perempuan dan sebaliknya.

Netral gender Kebijakan, program, kegiatan, atau kondisi yang tidak memihak pada salah satu jenis kelamin.

Sensitif gender Kemampuan dan kepekaan seseorang dalam melihat dan menilai hasil pembangunan dan aspek kehidupan lainnya dari perspektif gender (disesuaikan dengan kepentingan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki).

Responsif gender

Kebijakan, program, kegiatan, atau kondisi yang sudah memperhitungkan kepentingan perempuan dan laki-laki.

Peka gender Selalu mempertanyakan apakah suatu kebijakan, program, proyek, atau kegiatan organisasi adalah adil dan berdampak sama terhadap perempuan dan laki-laki dan hasilnya juga sama-sama dinikmati oleh perempuan dan laki-laki.

Perspektif gender

Menggunakan aspek gender untuk membahas atau menganalisis isu-isu dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, dan psikologi untuk memahami bagaimana aspek gender tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan, program, proyek, dan dalam kegiatan-kegiatan pembahasan tersebut dipelajari bagaimana faktor gender menumbuhkan diskriminasi dan menjadi perintang bagi kesempatan dan pengembangan diri seseorang.

Sumber: Dephut (2004).

24  

 

Definisi analisis gender dalam Pedoman Pengarusutamaan Gender

dalam Pembangunan Nasional adalah:

“Proses yang dibangun secara sistematis untuk mengidentifikasi dan memahami pembagian kerja atau peran perempuan dan laki-laki, akses dan kontrol terhadap sumber-sumberdaya pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan dan manfaat yang mereka nikmati, pola hubungan antara perempuan dan laki-laki yang timpang, yang di dalam pelaksanaannya memperhatikan faktor-faktor lainnya seperti kelas sosial, ras, dan suku bangsa”.

Analisis gender merupakan suatu alat kunci bagi gender mainstreaming14

untuk memperoleh pemahaman lebih mengenai lingkungan, dampak dan manfaat

dari suatu kegiatan, dan prakarsa pemberdayaan masyarakat bagi perempuan dan

laki-laki. Analisis gender menjadi himpunan dan analisis informasi dan data

mengenai: 1) Peran, kewajiban, dan hak-hak berbeda bagi perempuan dan laki-

laki; 2) Kebutuhan, prioritas, peluang, dan hambatan berbeda bagi perempuan dan

laki-laki; 3) Alasan mengapa terjadi perbedaan tersebut; dan 4) Peluang-peluang

serta strategi untuk meningkatkan kesetaraan gender15.

Kegiatan analisa gender tersebut meliputi:

a. Mengidentifikasi kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam

memperoleh manfaat dari kebijakan dan program pembangunan dalam

berbagai aspek kehidupan,

b. Mengidentifikasi dan memahami sebab-sebab terjadinya

ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dan menghimpun faktor-

faktor penyebabnya,

c. Menyusun langkah-langkah yang diperlukan untuk mewujudkan

kesetaraan dan keadilan gender,

d. Menetapkan indikator gender untuk mengukur capaian dari upaya-

upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.                                                             14 “Gender mainstreaming” adalah proses penilaian dampak dari setiap tindakan yang terencana terhadap perempuan dan laki-laki. 15 Sophie Dowling. 2008. Analisis Gender: Sebuah Panduan Pengantar Disiapkan untuk PT Kaltim Prima Coal (KPC) Mitra Proyek. (Alih bahasa dari bahasa Inggris oleh Aria Jalil). [Internet]. [diunduh 30 April 2011]. Format/ Ukuran: PDF/ 431 KB. Dapat diunduh dari: empoweringcommunities.anu.edu.au/.../Gender%20Analysis%20Toolkit_Bahasa%20Version.pdf

25  

 

Terdapat lima komponen kunci dalam analisis gender tersebut, yaitu:

a. Data yang dipilah-pilah berdasarkan jenis kelamin: data sosial-

ekonomi yang dipilah berdasarkan jenis kelamin dan variabel

demografis, seperti umur, kelompok sosial, dan etnis (kuantitatif

maupun kualitatif),

b. Analisis pembagian tugas: apa, dimana, kapan, dan berapa banyak

yang dikerjakan oleh laki-laki maupun perempuan untuk

menggambarkan tuntutan yang berbeda-beda terhadap waktu dan

tenaga perempuan dan laki-laki, berapa pekerjaan mereka dihargai,

pola kerja musiman dan strategi dalam memenuhi kebutuhan sehari-

hari,

c. Analisis akses dan kontrol,

d. Analisis kebutuhan strategis dan kebutuhan praktis,

e. Analisis konteks sosial: meneliti dan memahami konteks sosial

setempat (hukum, sosio-kultural, agama, institusi, kebijakan

pemerintah) yang mempengaruhi peran dan hubungan gender16.

Teknik dalam analisis gender memiliki beberapa model yang telah

dikembangkan oleh beberapa ahli (Depkeu, T.t), yaitu:

1) Model Harvard

Model Harvard dikembangkan oleh Harvard Institute for International

Development bekerjasama dengan Kantor Women in Development (WID)-USAID.

Model Harvard didasarkan pada pendekatan efisiensi WID yang merupakan

kerangka analisis gender dan perencanaan gender paling awal. Model analisis

Harvard lebih sesuai digunakan untuk perencanaan proyek, menyimpulkan data

basis atau data dasar (Dephut, 2004). Komponen dasar dalam model Harvard,

yaitu:

a. Profil kegiatan (produktif, reproduktif, dan sosial) yang didasarkan

pada pembagian kerja dan data terpilah berdasarkan jenis kelamin,

b. Profil akses dan kontrol,

c. Faktor yang mempengaruhi kegiatan akses dan kontrol,

                                                            16 Ibid. h. 7-8.

26  

 

d. Analisis siklus proyek.

2) Model Moser

Teknik analisis Moser adalah suatu teknik analisis yang membantu

perencana atau peneliti dalam menilai, mengevaluasi, merumuskan usulan dalam

tingkat kebijaksanaan program dan proyek yang lebih peka gender dengan

menggunakan pendekatan terhadap persoalan perempuan (kesetaraan, keadilan,

anti kemiskinan, efisiensi, penguatan atau pemberdayaan), identifikasi terhadap

peranan majemuk perempuan (reproduksi, produksi, sosial-kemasyarakatan), serta

identifikasi kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis (Handayani dan Sugiarti,

2008). Model Moser didasarkan pada pendapat bahwa perencanaan gender

bersifat ‘teknis dan politis’, kerangka ini mengasumsikan adanya konflik dalam

perencanaan dan proses transformasi serta mencirikan perencanaan sebagai suatu

‘debat’. Terdapat kelemahan dalam model ini yang tidak memperhitungkan

kebutuhan strategis laki-laki (Dephut, 2004). Komponen dasar model Moser

adalah:

a. Tiga peran gender,

b. Kontrol dan pengambilan keputusan,

c. Kebutuhan strategis dan praktis gender,

d. Matriks Women In Development (WID) dan Gender And

Development (GAD),

e. Pelibatan organisasi untuk pemastian pemasukan kebutuhan startegis

gender dan kebutuhan praktis gender.

Kebutuhan praktis gender merupakan kebutuhan dasar atau hidup, seperti

pangan, air, tempat tinggal, air, sandang, penghasilan, dan perawatan kesehatan

sedangkan kebutuhan strategis gender merupakan kebutuhan akan kesetaraan

dan pemberdayaan, seperti pemerataan tanggung jawab dan pengambilan

keputusan, akses pendidikan dan pelatihan yang sama17.

                                                            17 Nelien Haspels dan Busakorn Suriyasarn. 2005. Panduan Praktis bagi Organisasi: Meningkatkan Kesetaraan Gender dalam Aksi Penaggulangan Pekerja Anak serta Perdagangan Perempuan dan Anak. [Internet]. [diunduh 10 Mei 2011]. Format/ Ukuran: PDF/808 KB. Dapat diunduh dari:https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilojakarta/documents/publication/wcms_150508.pdf

27  

 

3) Model SWOT

Analisis manajemen dengan cara mengindetifikasikan secara internal

mengenai kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) serta secara eksternal

mengenai peluang (opportunity) dan ancaman (threats). Aspek internal dan

eksternal tersebut dipertimbangkan dalam rangka menyusun program aksi,

langkah-langkah atau tindakan untuk mencapai sasaran maupun tujuan kegiatan

dengan cara memaksimalkan kekuatan dan peluang, serta meminimalkan

kelemahan dan ancaman, sehingga dapat mengurangi resiko dan meningkatkan

efektivitas.

Sumber: Depkeu (T.t).

Gambar 3 Bagan Analisa SWOT

4) Model PROBA

Suatu teknik atau cara analisis gender untuk mengetahui masalah

kesenjangan gender sekaligus menyusun kebijakan program dan kegiatan yang

responsif gender serta rancangan monitoring dan evaluasi.

5) Model GAP dan POP

Suatu alat analisis gender yang dapat digunakan untuk membantu para

perencanaan dalam melakukan pengarusutamaan gender dalam perencanaan

kebijakan, program, proyek, atau kegiatan pembangunan.

Model analisis gender yang dilakukan dalam menganalisis keberhasilan

BMT Swadaya Pribumi dalam penelitian ini adalah menggunakan model Harvard

dan model Moser. Kedua model tersebut digunakan dengan pertimbangan

pengukuran keberhasilan yang digunakan dalam penelitian ini adalah keberhasilan

BMT Swadaya Pribumi dalam memenuhi kebutuhan praktis dan kebutuhan

strategis gender peserta produk pembiayaan BMT Swadaya Pribumi dengan

WEAKNESSSTRENGTH

OPPORTUNITY THREATS

28  

 

menggunakan profil kegiatan, profil akses, profil kontrol, dan manfaat yang

dirasakan dan diperoleh oleh peserta perempuan dan peserta laki-laki.

2.2 Kerangka Pemikiran

Pihak Comrel Holcim menyatakan BMT Swadaya Pribumi sebagai salah

satu program CSR PT Holcim Indonesia Tbk yang telah berhasil dan

berkelanjutan. Salah satu cara meninjau apakah suatu program telah berhasil atau

tidak adalah melalui ada atau tidaknya pemenuhan kebutuhan praktis dan

kebutuhan strategis gender (Lu’lu, 2005). BMT Swadaya Pribumi merupakan

salah satu bentuk upaya memberdayakan ekonomi lokal masyarakat sekitar

Holcim Indonesia Pabrik Narogong. Pemberdayaan ekonomi dilakukan melalui

pembiayaan berupa pinjaman (kredit) yang diberikan kepada peserta produk

pembiayaan agar dapat meningkatkan perekonomian dan mengembangkan usaha

sehingga pemenuhan kebutuhan ekonomi dapat terpenuhi. Menurut Anwar (1997)

dalam Koesoemowidjojo (2000) upaya perbaikan dan peningkatan ekonomi

sangat ditentukan oleh peranan gender.

Analisis gender yang dapat dilihat dari data terpilah gender antara

perempuan dan laki-laki, diantaranya dalam hal akses dan kontrol terhadap

sumberdaya dan manfaat dilakukan sebagai upaya meningkatkan kesetaraan

gender (ILO, 2001). Analisis gender dalam BMT Swadaya Pribumi dilihat dari

data terpilah peserta produk pembiayaan BMT Swadaya Pribumi berdasarkan

karakteristik sosial-ekonomi (tingkat pendidikan, jenis usaha, dan tingkat

pendapatan) dan karakteristik demografi (umur dan status perkawinan) peserta

perempuan dan peserta laki-laki. Karakteristik individu terpilah antara peserta

perempuan dan peserta laki-laki tersebut merupakan faktor internal yang berasal

dari diri individu masing-masing yang mempengaruhi kesetaraan gender dalam

pelaksanaan produk pembiayaan BMT Swadaya Pribumi.

Kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi dianalisis dengan

melihat dan mengukur akses atau peluang peserta produk pembiayaan terhadap

sumberdaya (pembiayaan, pelatihan, dan pendampingan) dari BMT Swadaya

Pribumi, kontrol atau kuasa peserta produk pembiayaan terhadap sumberdaya

(pembiayaan, pelatihan, dan pendampingan) dari BMT Swadaya Pribumi, dan

29  

 

manfaat yang dinikmati peserta produk pembiayaan BMT Swadaya Pribumi

(peningkatan pendapatan, peningkatan status sosial, pemenuhan kebutuhan dasar,

dan peningkatan kemampuan berwirausaha) yang dirasakan peserta produk

pembiayaan setelah memperoleh pembiayaan dari BMT Swadaya Pribumi.

Semakin tinggi tingkat akses, kontrol, dan manfaat yang dinikmati peserta produk

pembiayaan, maka kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi telah setara

gender.

Peran (pembagian kerja) di dalam rumahtangga peserta produk

pembiayaan diukur berdasarkan jumlah kegiatan (produktif, reproduktif, dan

sosial-kemasyarakatan) yang dilakukan oleh setiap pekerja keluarga (perempuan

dan laki-laki). Perempuan memiliki jumlah kegiatan yang lebih banyak daripada

laki-laki. Perempuan tidak hanya mengerjakan kegiatan reproduktif dan kegiatan

sosial-kemasyarakatan tetapi juga turut serta dalam mengerjakan kegiatan

produktif di sela waktu istirahat mereka. Perempuan umumnya membantu suami

mereka mencari nafkah dengan berdagang di sekitar rumah. Hal tersebut

dilakukan untuk memudahkan perempuan dalam mengerjakan kegiatan mengurus

rumahtangga dan mencari nafkah secara bersamaan. Peran (pembagian kerja)

tidak dihubungkan dengan keberhasilan produk pembiayaan BMT Swadaya

Pribumi dengan pertimbangan peran dalam rumahtangga merupakan variabel

diluar kegiatan pembiayaan BMT Swadaya Pribumi, namun analisis terhadap

peran (pembagian kerja) dalam rumahtangga peserta tetap dilakukan untuk

melihat isu beban kerja berlebih (over burden) yang dialami salah satu pihak,

umumnya perempuan.

Kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi mempengaruhi

keberhasilan produk pembiayaan BMT Swadaya Pribumi. Keberhasilan produk

pembiayaan BMT Swadaya Pribumi dalam penelitian ini diukur dengan

mempertimbangkan kesetaraan gender dalam pemenuhan kebutuhan praktis dan

kebutuhan strategis gender yang dirasakan oleh peserta produk pembiayaan

perempuan dan laki-laki. Ketika kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis gender

peserta perempuan dan peserta laki-laki terpenuhi, maka pelaksanaan produk

pembiayaan BMT Swadaya Pribumi telah berhasil dan dapat dikatakan

pelaksanaan produk pembiayaan BMT Swadaya Pribumi telah responsif gender.

30  

 

Keterangan

: Berhubungan

: Berhubungan tetapi tidak diuji

: Analisis gender

 

 

Gambar 4 Kerangka Pemikiran Analisis Gender terhadap Tingkat Keberhasilan Pelaksanaan BMT Swadaya Pribumi

Tingkat Kesetaraan Gender dalam BMT

Swadaya Pribumi (X2) X2.1: Tingkat Akses Peserta terhadap Sumberdaya X2.2: Tingkat Kontrol Peserta terhadap Sumberdaya X2.3: Tingkat Manfaat yang Dinikmati oleh Peserta

Peran (Pembagian Kerja) dalam Rumahtangga (X3)

 

Tingkat Keberhasilan Produk Pembiayaan BMT Swadaya

Pribumi (Y) dalam Pemenuhan Kebutuhan Praktis dan Kebutuhan

Startegis Gender

Kegiatan Produk Pembiayaan BMT Swadaya Pribumi

Responsif Gender

Karakteristik Sosial Ekonomi dan Demografi Individu

terpilah jenis kelamin (X1)

X1.1 : Umur X1.2 : Status Pernikahan X1.3 : Tingkat Pendidikan X1.4 : Jenis Usaha X1.5 : Tingkat Pendapatan

Isu beban kerja berlebih (over burden) yang ditanggung oleh

perempuan

31  

 

2.3 Hipotesis Pengarah

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas maka dirumuskan hipotesis

penelitian sebagai berikut:

1) Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara karakteristik

individu peserta terpilah berdasarkan jenis kelamin dengan tingkat

kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi.

a. Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara umur

peserta dengan tingkat kesetaraan gender dalam BMT Swadaya

Pribumi.

b. Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara status

pernikahan peserta dengan tingkat kesetaraan gender dalam BMT

Swadaya Pribumi.

c. Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara tingkat

pendidikan peserta dengan tingkat kesetaraan gender dalam BMT

Swadaya Pribumi.

d. Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara jenis usaha

yang ditekuni peserta dengan tingkat kesetaraan gender dalam

BMT Swadaya Pribumi.

e. Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara tingkat

pendapatan peserta dengan tingkat kesetaraan gender dalam BMT

Swadaya Pribumi.

2) Perempuan memiliki beban kerja berlebih (over burden) yang

ditunjukkan melalui peran (pembagian kerja) dalam rumahtangga

peserta BMT Swadaya Pribumi.

3) Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara tingkat

kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi dengan tingkat

keberhasilan BMT Swadaya Pribumi.

a. Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara tingkat

akses peserta terhadap sumberdaya dari BMT Swadaya Pribumi

dengan tingkat keberhasilan BMT Swadaya Pribumi.

32  

 

b. Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara tingkat

kontrol peserta terhadap sumberdaya dari BMT Swadaya Pribumi

dengan tingkat keberhasilan BMT Swadaya Pribumi.

c. Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara tingkat

manfaat yang dinikmati oleh peserta dengan tingkat keberhasilan

BMT Swadaya Pribumi.

2.4 Definisi Konseptual 1) Gender adalah konsep mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab

perempuan dan laki-laki yang terjadi akibat dari berubah oleh keadaan

sosial dan budaya masyarakat.

2) Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi baik perempuan dan laki-

laki untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia,

agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi,

sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam

menikmati hasil pembangunan tersebut.

3) Keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap

perempuan dan laki-laki.

4) Analisis gender adalah proses yang dibangun secara sitematis untuk

mengidentifikasi dan memahami peran (pembagian kerja) perempuan dan

laki-laki, akses dan kontrol terhadap sumber-sumberdaya pembangunan,

partisipasi dalam proses pembangunan dan manfaat yang mereka

nikmati, pola hubungan antara perempuan dan laki-laki yang timpang,

yang di dalam pelaksanaannya memperhatikan faktor-faktor lainnya,

seperti kelas sosial, ras, dan suku bangsa.

5) Peran produktif adalah kegiatan yang menghasilkan uang.

6) Peran reproduktif adalah kegiatan-kegiatan yang bersifat mengurus dan

merawat keluarga.

7) Peran sosial adalah kegiatan-kegiatan masyarakat yang sifatnya untuk

menjalin kebersamaan dan solidaritas antar masyarakat.

33  

 

8) Kebutuhan praktis gender adalah kebutuhan segera, kebutuhan material

yang diperlukan perempuan dan laki-laki yang tidak harus memerlukan

perubahan-perubahan terhadap hubungan gender yang ada. Contoh:

tempat tinggal, makanan, air, dan pekerjaan yang memadai.

9) Kebutuhan strategis gender adalah kebutuhan yang memerlukan

perubahan-perubahan jangka panjang terhadap hubungan gender agar

kebutuhan itu tercapai. Kebutuhan strategis secara langsung dapat

berkaitan dengan kebutuhan praktis. Contoh: kebutuhan praktis

perempuan untuk mendapatkan tempat tinggal atau makanan dapat

berkaitan dengan kebutuhan strategis mereka untuk mendapatkan hak

yang sama untuk memiliki tanah atau hak untuk mendapatkan

serangkaian pilihan pekerjaan dan mendapatkan sumber penghasilan.

2.5 Definisi Operasional

Tabel 5 Definisi Operasional Penelitian Analisis Gender terhadap Tingkat Keberhasilan Pelaksanaan CSR Bidang Pemberdayaan Ekonomi Lokal PT Holcim Indonesia Tbk

No. Variabel Definisi

Operasional Indikator Pengukuran

Data

1. Karakteristik Individu

a. Jenis kelamin Identitas biologis peserta.

Laki-laki = 1 Perempuan = 2

Nominal

b.

Umur 1.Umur berdasarkan median 2.Umur berdasarkan BPS

Lamanya hidup peserta produk BMT Swadaya Pribumi.

Umur (median): < 45 tahun = 1 ≥ 45 tahun = 2 Umur (BPS): 15-31 tahun = 1 32-48 tahun = 2 49-64 tahun = 3

Ordinal

c. Status pernikahan

Identitas pernikahan peserta saat diwawancarai.

Belum menikah = 1 Menikah = 2 Cerai (janda/ duda) = 3

Nominal

d. Tingkat Jenis pendidikan Tidak tamat Ordinal

34  

 

pendidikan sekolah tertinggi yang ditamatkan oleh peserta.

SD/tamat SD = 1 (rendah) Tamat SMP = 2 (sedang) Tamat SMA/PT = 3 (tinggi)

e. Jenis usaha

Usaha yang ditekuni oleh peserta saat memperoleh pembiayaan dari BMT Swadaya Pribumi.

Usaha makanan = 1 Usaha non-makanan = 2

Nominal

f. Tingkat pendapatan per bulan

Rata-rata hasil kerja berupa uang yang diterima peserta atas pekerjaan utama peserta setiap bulan.

Rp400.000 s.d Rp4.500.000 = 1 (rendah) Rp4.500.000 s.d Rp 8.600.000 = 2 (sedang) >Rp8.600.000 = 3 (tinggi)

Ordinal

2. Peran (Pembagian Kerja) dalam Rumahtangga

a. Peran produktif

Kegiatan yang menghasilkan uang yang terdiri dari satu kegiatan (mencari nafkah).

Laki-laki saja = 1 Perempuan saja = 2 Bersama = 3

Nominal

b. Peran Reproduktif

Kegiatan mengurus rumahtangga dan keluarga yang terdiri dari 12 kegiatan rumahtangga (masak, cuci pakaian, cuci piring, menyapu,mengepel, menyetrika, urus anak, mandikan anak, menyuapi anak, gendong anak, antar anak ke posyandu, dan perbaiki perkakas rumahtangga).

Laki-laki saja = 1 Perempuan saja = 2 Bersama = 3

Nominal

35  

 

c. Peran Sosial

Kegiatan kemasyarakatan yang terdiri dari 6 kegiatan (arisan, pengajian, PKK, kerjabakti,kematian, pernikahan).

Laki-laki saja = 1 Perempuan saja = 2 Bersama = 3

Nominal

3. Tingkat Kesetaraan Gender Peserta dalam BMT Swadaya Pribumi Pengkategorian: Tidak setara gender = 15-22 Setara gender = 23-30

a. Akses terhadap sumberdaya

Peluang atau kesempatan yang dimiliki peserta dalam memperoleh izin usaha, pembiayaan(kredit), pembayaran angsuran, pelatihan kewirausahaan, dan pendampingan usaha.

Skor total 6-9 = 1 (rendah) Skor total 10-12 = 2 (tinggi)

Ordinal

b. Kontrol terhadap sumberdaya

Kuasa yang dimiliki peserta atas besarnya pinjaman, pemanfaatan uang, jenis usaha, dan kendali atas usaha.

Skor total 5-8 = 1 (rendah) Skor total 9-10 = 2 (tinggi)

Ordinal

c. Manfaat yang dinikmati

Manfaat yang dinikmati oleh peserta berupa peningkatan pendapatan, status sosial, kebutuhan dasar, dan kemampuan berwirausaha.

Skor total 4-6 = 1 (rendah) Skor total 7-8 = 2 (tinggi)

Ordinal

4. Tingkat Keberhasilan BMT Swadaya Pribumi Pengkategorian: Keberhasilan rendah = 11-15 Keberhasilan tinggi = 16-19

a. Pemenuhan kebutuhan praktis

Pemenuhan kebutuhan peserta terhadap permodalan usaha, pengetahuan

Skor total 5-8 = 1 (rendah) Skor total 9-11 = 2 (tinggi)

Ordinal

36  

 

kewirausahaan, kebutuhan ekonomi, perbaikan kondisi hidup, dan perkembangan usaha.

b. Pemenuhan kebutuhan strategis

Pemenuhan kebutuhan peserta dalam memperoleh kesempatan yang setara dalam memperoleh pembiayaan, mengikuti kegiatan pelatihan kewirausahaan, dan pengambilan keputusan dalam keluarga.

Skor total 6-7 = 1 (rendah) Skor total 8-9 = 2 (tinggi)

Ordinal