bab ii pendekatan teoritis 2.1 tinjauan pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola...
TRANSCRIPT
9
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Perkembangan Sistem Pertanian Padi Sawah di Pedesaan Jawa
Sebelum tahun 1960an, para petani di pedesaan Jawa menerapkan sistem
pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang
tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh Suhirmanto (2003) yakni (1)
usahatani tidak menggunakan fasilitas modal dari luar keluarga, (2) pekerjaan di
sektor pertanian menjadi satu-satunya mata pencaharian, (3) cara produksi
tradisional dengan digunakannya input yang berasal dari lokal (lingkungan
sekitar), dan (4) penggunaan tenaga kerja tradisi dan menggunakan tenaga kerja
keluarga, dan sebagainya.
Sejak tahun 1960an, para petani di pedesaan Jawa menerapkan sistem
pertanian modern sebagai implementasi dari kebijakan revolusi hijau. Salah
satunya mengenai kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan
utama yang telah mengantarkan teknologi di daerah pedesaan, paket BIMAS,
INMAS, INSUS, SupraINSUS dan sebagainya. Sampai tahun 1987 sudah jelas
bahwa kebijakan tersebut dapat meningkatkan produksi padi, bahkan mencapai
swasembada beras setelah tahun 1984.
Namun, dari tulisan-tulisan dalam Bechtold (1988) menjadi representasi
bahwa modernisasi dan mekanisasi pertanian di Indonesia nyata-nyata telah
menyebabkan ketergantungan desa-desa pertanian pada pemerintah pusat. Sistem
ekonomi kapitalis yang diusung melalui program-program BIMAS/INMAS telah
merombak seluruh sendi perekonomian mulai dari struktur kelembagaan ekonomi,
sosial, budaya bahkan politik desa setempat.
Merujuk pada tulisan Sajogyo (1982), diketahui bahwa modernisasi
pertanian di pedesaan Jawa justru tidak menciptakan pembangunan bagi
masyarakat. Perkembangan ekonomi pedesaan di Jawa, wilayah utama padi sawah
yang telah memasuki “revolusi hijau”, menunjukkan beberapa hal yaitu (1)
perubahan dalam kelembagaan penguasaan tanah yang telah menyebabkan
terjadinya diferensiasi kelas petani; (2) munculnya sistem pengupahan dan
10
teknologi unggul yang bias pada pemilik tanah dan penggarap; (3) terjadinya
perluasan kepemilikan tanah yang memperkecil peluang tenaga kerja; (4)
terjadinya peningkatan penyerapan tenaga kerja; (5) terjadinya perkembangan
teknologi mekanisasi di Jawa yakni pemakaian bibit unggul (padi) dan pupuk
pabrik yang mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja di desa; (6) adanya
penyerapan tenaga kerja luar pertanian di desa (7) berkembangnya kelembagaan
perkreditan pertanian di desa, akan tetapi porsi nilai kredit pertanian menurun oleh
karena beralih ke bidang-bidang dagang, industri, dan jasa; (8) adanya perubahan
gaya hidup rumah tangga desa yang lebih konsumtif sehingga merubah pola
pengeluaran rumah tangga desa dan pemilikan modal bukan-tanah, dan (9)
meningkatnya sumber pendapatan dari usaha luar pertanian khususnya untuk
golongan miskin dan tidak memiliki tanah.
Pembangunan pertanian yang didasarkan pada kebijakan revolusi hijau
cenderung tidak menunjukkan adanya suatu keberlanjutan baik secara sosial,
ekonomi, maupun ekologi. Sehubungan dengan itu, pada pertengahan tahun 1980,
konsep keberlanjutan telah mendapat perhatian yang lebih besar sebagai kritik
atas pendekatan industrial pada proses pembangunan pertanian. Dalam
perkembangnya, sistem pertanian organik juga muncul sebagai salah satu istilah
dari pembangunan berkelanjutan tersebut (Salikin, 2003). Sistem pertanian
organik muncul sebagai kritik atas sistem pertanian modern atau revolusi hijau.
Menilik sisi historis pertanian di seluruh pelosok dunia, sebelum sistem pertanian
modern tersebut berkembang, banyak sistem pertanian tradisional yang
berlangsung dan bertahan selama berabad-abad dalam hal kemampuannya untuk
mempertahankan tingkat produksi yang stabil dan berterus-terus. Namun
demikian, sistem tersebut terpaksa mengalami perubahan yang begitu cepat
dengan berkembangnya berbagai mekanisme penerapan kebijakan revolusi hijau.
Adapun pertanian organik yang dilakukan oleh petani-petani di Indonesia
mulai berkembang di tahun 1999 dengan diinisiasi oleh berbagai bentuk
pendampingan dari lembaga-lembaga swadaya (LSM) masyarakat. Masyarakat
petani di beberapa pedesaan di Indonesia khususnya di Jawa sudah merubah
sistem pertanian mereka dari sistem pertanian modern menjadi sistem pertanian
organik (Wangsit, 2003; Kartini, 2005). Pertanian organik ini pada mulanya
11
berfokus pada perubahan sistem produksi pertanian dari sistem pertanian
konvensional (merujuk pada kebijakan revolusi hijau) atau sistem pertanian
modern (merujuk pada modernisasi pertanian). Pada tahun 2001, pemerintah
Indonesia melalui Departemen Pertanian juga telah melakukan serangkaian
tahapan sosialisasi mengenai pertanian organik kepada masyarakat1. Untuk
memajukan pertanian organik, Departemen Pertanian menempatkan perencanaan
dan implementasi pertanian organik sebagai salah satu kebijakan pemerintah
dalam program pembangunan pertanian di Indonesia. Kebijakan pemerintah
tersebut ditujukan untuk menumbuhkan, memfasilitasi, mengarahkan dan
mengatur perkembangan pertanian organik melalui adanya sinergi aktivitas dan
pelaku usaha yang dapat mempercepat pencapaian tujuan dari slogan “Go
Organic 2010” yaitu menjadikan “Indonesia sebagai salah satu produsen pangan
organik utama dunia”. Pertanian organik dirancang pengembangannya dalam
enam tahapan mulai dari tahun 2001 hingga tahun 2010
Di tingkat kabupaten, sebagai contoh program pengembangan pertanian
organik di Kabupaten Bogor merupakan bagian dari program Ketahanan Pangan
yang dirumuskan dalam rencana strategis Dinas Pertanian Kabupaten Bogor tahun
2004-2005. Program pengembangan pertanian organik yang diimplementasikan di
Kabupaten Bogor ditujukan pada kelompok tani di desa-desa yang menjadi sentra
agribisnis (Lampiran 2). Program pengembangan pertanian organik ini dimulai
pada tahun 2006, meskipun secara umum pertanian organik di Kabupaten Bogor
sudah berkembang sekitar tahun 2000. Sehubungan dengan itu, program ini belum
secara spesifik diuraikan dalam rencana strategis Dinas Pertanian Kabupaten
Bogor sebagai bagian dari rumusan program ketahanan pangan.
2.1.2 Sistem Pertanian Organik
Salikin (2003) mengemukakan bahwa sistem pertanian organik merupakan
salah satu model dari sistem pertanian berkelanjutan. Sistem pertanian organik
pun paling tidak memiliki tujuh keunggulan dan keutamaan sebagai berikut :
1. Orisinal. Sistem pertanian organik lebih mengandalkan keaslian atau
orisinalitas sistem budi daya tanaman ataupun hewan dengan menghindari 1 Dede Sulaeman. Perkembangan Pertanian Organik di Indonesia.
http://agribisnis.deptan.go.id/index.php?files=Berita_Detail&id=344
12
rekayasa genetika maupun introduksi teknologi yang tidak selaras dengan
alam. Intervensi manusia terhadap tanaman atau hewan tetap mengikuti
kaidah-kaidah alamiah yang selaras, serasi dan seimbang. Namun
demikian, pertanian organik tidak berarti anti teknologi baru, sejauh hal itu
memenuhi azas selaras, serasi, dan seimbang dengan alam.
2. Rasional. Sistem pertanian organik berbasis pada rasionalitas bahwa
hukum keseimbangan lamiah adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna.
Manusia sebagai bagian dari sistem jagad raya bukan ditakdirkan menjadi
penguasa alam raya, tetapi bertanggung jawab untuk menjaga dan
melestarikannya.
3. Global. Saat ini, sistem pertanian organik menjadi isu global dan mendapat
respon serius di kalangan masyarakat pertanian, terutama di negara-negara
maju di mana masyarakat sudah sangat sadar bahwa pertanian ramah
lingkungan menjadi faktor penentu kesehatan manusia dan kesinambungan
lingkungan.
4. Aman. Sistem pertanian organik menempatkan keamanan produk
pertanian, baik bagi kesehatan manusia ataupun bagi lingkungan, sebagai
pertimbangan utama. Pertimbangan berikutnya adalah kuantitas dan
kualitas komoditas pertanian, termasuk kecukupan kadar gizi dan volume
yang mampu memenuhi kebutuhan hidup manusia.
5. Netral. Sistem pertanian organik tidak menciptakan ketergantungan atau
bersifat netral sehingga tidak memihak pada salah satu bagian ataupun
pelaku dalam sistem agroekosistem. Hubungan saling ketergantungan atau
simbiosis yang terbina antarpelaku sistem lebih bersifat mutualisme atau
saling menguntungkan.
6. Internal. Sistem pertanian orgnik selalu berupaya mendayagunakan potensi
sumber daya alam internal secara intensif. Artinya, introduksi input-input
pertanian dari luar ekosistem (external inputs) pertanian sedapat mungkin
dihindari untuk mengurangi terjadinya disharmoni siklus agroekosistem
yang sudah berlangsung lama dan terkendali oleh kaidah hukum alam.
7. Kontinuitas. Sistem pertanian organik tidak berorientasi jangka pendek,
tetapi lebih pada pertimbangan jangka panjang untuk menjamin
13
keberlanjutan kehidupan, baik untuk generasi sekarang maupun generasi
yang akan datang.
Sistem pertanian organik sebenarnya warisan para leluhur yang sebagian
besar adalah petani, namun banyak petani sekarang justru berpaling pada
pertanian yang rakus akan bahan-bahan kimia. Senada dengan Rienjtes (1992)
yang mengemukakan bahwa sistem pertanian organik adalah meliputi cara
produksi, aturan dan nilai yang melandasi, hubungan-hubungan sosial yang
terbentuk dengan diterapkannya sistem pertanian organik ini sebagai upaya
pengelolaan sumber daya lahan pertanian yang menjamin keberlanjutan
lingkungan. Adapun menurut IFOAM (2008) pertanian organik memiliki prinsip-
prinsip yang merupakan akar perkembangannya. Prinsip-prinsip tersebut
menyajikan kontribusi pertanian organik pada dunia dan visi untuk perbaikan
pertanian dalam konteks global. Pertanian merupakan aktivitas dasar bagi manusia
karena manusia memerlukan pangan untuk bertahan hidup dan menjaga kesehatan
setiap hari. Sejarah, budaya dan nilai-nilai komunitas seluruhnya melekat dalam
pertanian. Prinsip-prinsip yang diterapkan pada pertanian mencakup secara luas
termasuk cara-cara manusia mengolah tanah, air, tanaman, dan hewan untuk
diproduksi, disajikan dan didistribusikan sebagai bahan makanan dan lainnya.
Prinsip-prinsip ini juga memberi perhatian pada cara-cara manusia berinteraksi
dengan lingkungan hidup sekitar, hubungan antar manusia dan membentuk
generasi berikutnya. Pertanian organik didasarkan pada : (1) The principle of
health, (2) The principle of ecology, (3) The principle of fairness, dan (4) The
principle of care. Prinsip-prinsip ini diterapkan secara keseluruhan, sebagai
komposisi yang menjadi etika prinsip untuk menginspirasi aksi.
The principle of health
Pertanian organik berperan disamping aktivitas penanaman, proses
produksi, distribusi dan konsumsi juga termasuk untuk menjamin keberlanjutan
dan menjamin kesehatan ekosistem serta organisme dari yang terkecil hingga
tanah. Pertanian organik ditekankan untuk memproduksi pangan berkualitas dan
bernutrisi tinggi yang berkontribusi untuk menjaga kesehatan dan kelangsungan
14
hidup. Sehubungan dengan itu, maka perlu dihindari penggunaan pupuk,
pestisida, obat-obatan dan zat-zat berbahaya yang berdampak pada kesehatan.
The principle of ecology
Pertanian organik didasarkan pada sistem dan siklus ekologi, bekerja sama
dengan kondisi tersebut, dan membantu kondisi tersebut agar berkelanjutan.
Budidaya organik, peternakan, dan sistem panen harus merujuk pada suatu sistem
dan siklus ekologi yang bersifat alami. Pengelolaan pertanian organik harus
diadaptasikan pada kondisi lokal, ekologi, budaya, dan skala. Input sebaiknya
dikurangi dengan daur ulang, dan pengelolaan material dan energi yang efisien
yang ditujukan untuk memperbaik kapasitas lingkungan dan melestarikan sumber
daya. Mereka yang memproduksi, memproses, memperdagangkan, atau
mengkonsumsi produk organik harus menjaga keamanan dan manfaat lingkungan
bersama termasuk lingkungan hidup, iklim, habitat, keanekaragaman, udara, dan
air.
The principles of fairness
Pertanian organik harus dapat membangun hubungan yang meyakinkan
adanya keadilan yang ditujukan pada lingkungan hidup bersama dan kesempatan
hidup. Keadilan dikarakteristikan dengan adanya kesetaraan, saling menghargai,
keadilan, dan kesediaan untuk berbagi sumber daya dunia, diantara manusia dan
dalam hubungan antar manusia dengan makhluk lainnya. Prinsip tersebut
menekankan siapapun yang terlibat dalam pertanian organik harus mengarahkan
hubungan antar manusia dalam sikap yang saling menjaga keadilan pada setiap
tingkatan dan kelompok baik petani, pekerja, pengolah, pedagang, distributor,
bahkan konsumen. Pertanian organik harus menyajikan keterlibatan setiap orang
dengan kualitas kehidupan yang lebih baik, dan berkontribusi pada ketahanan
pangan, dan mengurangi kemiskinan. Aktivitas produksi dan konsumsi harus
dikelola dengan merujuk pada keadilan sosial dan ekologi serta dapat menjamin
kelangsungan generasi dimasa depan. Keadilan juga mencakup sistem produksi,
sistem distribusi dan perdagangan yang terbuka,adil, dan dapat memperhitungkan
biaya lingkungan juga biaya sosial.
15
The principles of care
Prinsip ini menekankan bahwa pencegahan dan tanggung jawab adalah
kunci perhatian dalam pengelolaan, pengembangan dan pilihan teknologi dalam
pertanian organik. Ilmu sangat penting untuk memastikan bahwa pertanian
organic benar-benar menyehatkan, aman, dan menjamin kelangsungan ekologi.
Meskipun demikian, pengetahuan ilmiah sendiri tidak cukup. Pengalaman praktik,
akumulasi kebijakan, tradisional dan pengetahuan lokal menyajikan solusi yang
utama yang teruji dari waktu ke waktu. Pertanian organik harus dapat mencegah
resiko yang signifikan dengan mengadopsi teknologi yang tepat dan menolak hal-
hal tidak terprediksi, seperi rekayasa genetik. Pengambilan keputusan harus
merefleksikan nilai dan kebutuhan semua pihak yang terkena dampak, melalui
proses yang transparan dan partisipatif.
Pertanian organik, jika dibanding dengan pertanian modern yang bertumpu
pada pupuk, benih unggul, teknologi dan pestisida, memiliki beberapa manfaat
berikut2. Pertama, manfaat ekologis. Pertanian organik menjamin kegemburan dan
kesuburan tanah dan terhindarnya polusi. Jadi, pertanian organik ramah dan
bersahabat dengan alam sehingga menjamin keseimbangan ekosistem.
Kedua, manfaat ekonomis. Pertanian organik tidak memerlukan pupuk,
pestisida, benih unggul dan teknologi mahal. Petani tidak perlu membelanjakan
semua input tersebut. Sementara hasil produksinya, meski awalnya kurang
memuaskan, dalam jangka panjang lebih menguntungkan. Pertanian organik juga
menjamin keberlanjutan, karena petani bisa membuat benih sendiri.
Ketiga, manfaat sosial budaya. Pertanian organik menjadi faktor
pengintegrasi dan pusat kreasi petani. Jika revolusi hijau memisahkan mereka,
pertanian organik justru menyatukan. Petani bisa berkumpul untuk belajar, tukar
pengalaman dan melakukan uji coba secara bersama-sama. Di sini juga tumbuh
kembali rasa saling untuk percaya dan membutuhkan. Mereka sadar, bahwa
permasalahan petani itu berat, tidak mungkin diselesaikan seorang diri, melainkan
dalam kebersamaan.
Keempat, manfaat politis. Pertanian organik dikembangkan atas inisiatif
dan kreativitas rakyat, bukan karena program atau komando pihak lain. Dengan 2 Roman N. Landong. 2004. Pertanian Organis, Inovasi untuk Kemandirian Petani. Wacana Organis, Edisi No.5/Th2(Desember 2003 – Februari 2004).
16
demikian daulat petani dapat dioptimalkan. Mereka tidak lagi bergantung pada
perusahaan atau tengkulak. Kondisi itu tentu bisa memperkuat daya tawar politik
mereka sehingga tidak lagi menjadi obyek eksploitasi pihak lain, baik pemerintah,
partai politik atau pun perusahaan. Dengan kata lain, pertanian organik membuat
rakyat mandiri, otonom, dan maju.
Kelima, berperspektif gender. Pertanian organik mengembangkan peran
perempuan sebagai pembuat benih utama. Perempuan menemukan ruang bagi
artikulasi kepentingan dan kemampuan dirinya sebagai kekuatan produktif serta
menghidupkan. Keterampilan perempuan dalam membuat benih, merawat
tanaman dan menyimpan hasil bisa dipulihkan.
Dari uraian yang dikemukakan seputar sistem pertanian organik, maka
dapat diidentifikasi berbagai perbedaan antara sistem pertanian non-organik
dengan sistem pertanian organik sebagaimana disajikan dalam Tabel 1.
2.1.4 Aktivitas dalam Sistem Pertanian Padi Sawah
Uphoff (1986) menguraikan bahwa pembangunan pada dasarnya
meibatkan perbaikan-perbaikan atau peningkatan pada 3 kategori yaitu teknologi,
sumberdaya, dan kelembagaan. Pembangunan kelembagaan tampaknya sulit
dalam program pembangunan pertanian, padahal sangat penting khususnya terkait
dengan teknologi dan sumber daya alam. Pembangunan kelembagaan dalam
pertanian pada hakekatnya ditujukan untuk penguatan kelembagaan nasional.
Pembahasan dititikberatkan pada pembangunan kapasitas kelembagaan
untuk mendukung pembangunan pertanian di tingkat lokal. Proses tersebut dapat
disimpulkan secara analisis sebagai berikut :
1. Pertanian perlu merubah sumber daya alam, termasuk tanaman dan hewan
menjadi produk yang bermanfaat melalui pemanfaatan sumber daya
manusia sehingga menjadi lebih produktif dengan adanya penggunaan
modal berupa sarana infrastruktur, peralatan, kredit dan sebagainya.
2. Pembangunan kelembagaan lokal untuk bidang pertanian lebih kompleks
dibandingkan pengelolaan sumber daya alam, pengelolaan infrastruktur
pedesaan, atau pelayanan kesehatan, karena dalam kelembagaan lokal
17
terdapat dua hal berbeda yang harus terlibat yaitu adanya kelembagaan
pendukung, dan unit-unit produksi.
Tabel 1. Perbedaan Sistem Pertanian Non-Organik dengan Organik
Faktor Pembeda Sistem Pertanian Non-Organik Sistem Pertanian Organik Harga Standar harga pasar Harga premium Biaya produksi Biaya produksi lebih rendah Biaya produksi lebih tinggi Kemudahan dilakukan Lebih sederhana Lebih membutuhkan ekstra
perhatian Tingkat resiko Resiko rendah karena sudah
terbiasa Resiko kegagalan tinggi (pada tahap awal)
Pendapatan di tingkat petani
Harga di tingkat petani sangat rendah
Pendapatan di tingkat petani lebih tinggi karena dihargai lebih mahal
Prospek jangka panjang Dalam jangka panjang menyebabkan ketidakberlanjutan secara ekologi dan ekonomi
Lebih prospektif secara ekonomi dan ekologi untuk jangka panjang
Nilai-nilai sosial Degradasi nilai-nilai sosial Memperkuat nilai-nilai sosial Pengetahuan lokal Menghilangkan pengetahuan
lokal Mengembangkan kembali praktek dan pengetahuan lokal
Aspek sosial Monopoli kapitalis Meningkatkan kedaulatan petani/kemandirian/ pengambilan keputusan/partisipasi/ pemberdayaan/aksi sosial
Lapangan kerja Mekanisasi menyebabkan marginalisasi tenaga kerja perempuan dan laki-laki
Membuka lapangan kerja baru bagi perempuan
Sikap terhadap alam Merusak keseimbangan ekosistem Melestarikan alam Ketergantungan Ketergantungan terhadap input
luar Melepas ketergantungan
Produk Produk mengandung bahan karsinogenik
Produk lebih sehat
Sumber input Input luar Lokalism Dampak terhadap tanah Merusak tanah Perbaikan tanah Dampak lingkungan Menyebabkan polusi Meredam polusi Kualitas produk Produk mengandung bahan
karsinogenik Kualitas produk
Penggunaan energi Eksploitasi energi Pemanfaatan energi Dampak terhadap tenaga kerja
Marginalisasi tenaga kerja Kesempatan kerja
Penggunaan input Input luar Orisinil Dasar pemikiran Irasional Rasional – seimbang Cakupan Global dan dimonopoli oleh
TNCs Global – direspon seluruh dunia
Keamanan Tidak aman bagi manusia dan lingkungan
Aman – sehat bagi manusia dan lingkungan
Penggunaan sumber daya Eksternal Internal – sumberdaya potensi lokal
Prinsip pengelolaan Eksplotasi Kontinuitas – untuk regenerasi Sumber : Disarikan dari berbagai sumber
18
3. Aktivitas-aktivitas pertanian menjadi 3 set yaitu (1) perolehan atau
penyediaan input, (2) merubah input menjadi produk melalui penggunaan
tenaga kerja dan pengelolaan dari para ahli, dan (3) menempatkan output
pada pencapaian keuntungan terbaik.
4. Dalam aktivitas-aktivitas tersebut, dibutuhkan dukungan untuk bidang
pertanian dalam bentuk kebijakan-kebijakan dan investasi-investasi yang
menunjang dari lembaga-lembaga di tingkat nasional dan tingkat regional,
seperti lembaga penelitian, lembaga penyuluhan, dan sarana infrastuktur.
5. Kompleksitas dari pertanian muncul dari adanya keberagaman unit-unit
dan kelembagaan-kelembagaan yang terlibat dan dari kesulitan-kesulitan
dalam meraih keragaan terbaik dalam bentukan kelembagaan tersebut.
Lembaga-lembaga pendukung sebagaimana diuraikan berikut
merepresentasikan jejaring yang krusial dalam mencapai efektivitas dan perluasan
pembangunan pertanian. Aktivitas-aktivitas difokuskan pada berbagai tingkatan
mulai dari level individu sampai pada arena internasional. Adapun tabel analisis
aktivitas-aktivitas pertanian mengidentifikasikan secara spesifik input, produksi,
dan aktivitas output. Analisis aktivitas pertanian menurut Uphoff (1986) adalah
mencakup sebagai berikut :
I. Aktivitas input (secara umum dimediasi oleh kelembagaan-kelembagaan lokal).
A. Input material, meliputi : benih dan pembenihan (pemilihan, pertukaran,
penyajian), nutrisi (pupuk kimia biasanya disalurkan melalui kelembagaan
lokal, termasuk sumber daya lain dari berbagai nutrisi), bahan-bahan
kimia, pembajakan, peralatan, pakan, dan obat-obatan penumbuh.
B. Input modal, meliputi : kredit jangka pendek (produksi untuk tanaman
musim), kredit jangka menengah (untuk perlengkapan atau pilihan lain),
Kredit jangka panjang (lebih sering untuk pemilihan lahan).
C. Input secara umum (biasanya dikelola oleh kelembagaan nasional),
meliputi : akses tanah (sistem peladangan berpindah, rental atau
pengelolaan pembagian tanaman), teknologi (informasi tentang tanaman
baru, praktik, atau teknik, dikembangkan secara umum melalui penelitian
dan pengembangan melalui sistem penyuluhan, dapat menggunakan sistem
19
dari komunikasi atau pendidikan), dan kebijakan (hubungan harga,
subsidi-subsidi, dan lainnya).
D. Input tidak langsung meliputi : pengelolaan sumber daya alam (proteksi
dan persediaan dari tanah, air, hutan, dan sumber daya alam lainnya),
infrastruktur pedesaan (jalan, persediaan air, perumahan, dan lainnya), dan
pembangunan sumber daya manusia (pendidikan, melek aksara, kesehatan,
lainnya).
II. Aktivitas produksi (biasanya dilakukan oleh individu atau kelompok
perusahaan; dengan melibatkan pertukaran dari tenaga kerja atau input seperti
kekuatan traktor tapi kadang-kadang benar-benar menjadi wadah bagi sumber
daya dengan produser-produser yang mau mengambil resiko)
A. Tenaga Kerja (aktivitas kerja), meliputi : (1) untuk tanaman tahunan
(persiapan lahan, penanaman, termasuk perawatan yang memungkinkan),
(2) untuk tanaman musiman, kecuali : berkurangnya frekuensi persiapan
lahan dan penanaman, benih yang memungkinkan dan atau pemotongan
cabang, penipisan dan perkawinan, pemupukan, proteksi tanaman,
pengendalian hama dan penyakit, manajemen air (yang memungkinkan
untuk irigasi), pemanenan, pemilihan benih, (3) untuk ternak yaitu pakan,
termasuk rumput yang berkualitas seperti jerami, kandang, pengendalian
penyakit, pemberian susu, pemotongan hewan, pembiakan, perbanyakan.
B. Manajemen (aktivitas pengambilan keputusan), meliputi : dapat
memahami dan menentukan input, memobilisasi, koordinasi, supervisi,
input tenaga kerja, menentukan macam-macam dan durasi dari produksi,
meyakinkan keseimbangan antara input dan output.
III. Aktivitas output, meliputi : penyimpanan (setelah panen dan atau setelah
prosesing atau pengolahan), pengolahan (secara manual dan atau memakai
mesin), transportasi (untuk prosesing, penyimpanan dan penjualan),
pemasaran (seluruhnya dijual dan atau eceran).
Kegiatan produksi dapat dilakukan baik oleh individu, rumah tangga,
kelompok atau perusahaan, pada umumnya rumah tangga menjadi pusat aktivitas
produksi. Penyediaan input dan penanganan output, adalah sebaliknya, berada
dalam rentang dari tingkat kelompok atau tingkat perusahaan kemudian di tingkat
20
komunitas, beranjak ke tingkat lokalitas dan seringkali juga berada di tingkat
regional.
Aktivitas pertanian sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Uphoff
(1986) secara garis besar merupakan aktivitas pada sistem pertanian non-organik
maupun sistem pertanian organik. Hanya terdapat beberapa perbedaan dalam
implementasinya sebagaimana tabel berikut :
Tabel 2. Aktivitas Pertanian pada Sistem Pertanian Non-Organik dan Organik
Aktivitas Pertanian Sistem Pertanian Non Organik
Sistem Pertanian Organik
Prinsip Peningkatan produksi dan
keuntungan melalui intensifikasi lahan
Keseimbangan ekologis dan kedaulatan petani
I. Aktivitas Input A. Input Material Input dari Luar Komunitas Lokal B. Input Modal Lembaga permodalan (penyedia
kredit) Tengkulak/Pengijon
Milik sendiri dan atau milik komunitas
C. Input Secara Umum 1. Akses tanah Lahan bukan milik sendiri Lahan milik sendiri 2. Informasi Kebijakan pemerintah Pengetahuan lokal
3. Kebijakan Harga ditentukan oleh pasar Harga ditentukan dengan mekanisme fair trade
D. Input Tidak Langsung 1. Pengelolaan sumber
daya alam Komunitas petani setempat dan pihak terkait
Komunitas petani setempat dan pihak terkait
A. Tenaga Kerja Petani penggarap dan tenaga kerja upahan
Lebih intensif oleh petani penggarap
B. Manajemen Penyuluh dan opinion leader Petani penggarap A. Penyimpanan Lembaga pemerintah seperti Bulog Lumbung milik komunitas B. Pengolahan Mesin Manual C. Transportasi Transportasi modern yang disediakan
oleh petani pemodal besar Menggunakan sarana transportasi modern
D. Pemasaran Dijual seluruhnya dan eceran ke pasar
Dijual seluruhnya dan eceran
Sumber : Disarikan dari berbagai sumber
2.1.5 Kelembagaan Pertanian Padi Sawah
Definisi Kelembagaan
Merujuk pada Uphoff (1986), kelembagaan adalah seperangkat norma dan
perilaku yang bertahan dari waktu ke waktu dengan melayani tujuan yang bernilai
secara kolektif. Kelembagaan tersebut didasarkan pada sektor-sektor tingkat
lokalitas terbagi menjadi tiga bidang yaitu (1) sektor publik (public sector), sektor
21
partisipatori (participatory sector), dan sektor swasta (private sector).
Kelembagaan sektor publik di tingkat lokal mencakup administrasi dan
pemerintah lokal dengan birokrasi dan organisasi politik sebagai bentuk organisasi
yang mutakhir. Kelembagaan sektor partisipatori tumbuh dan dibangkitkan oleh
masyarakat secara sukarela. Sementara itu, kelembagaan sektor swasta,
berorientasi pada upaya mencari keuntungan, yakni dalam bidang jasa,
perdagangan, dan industri.
Koentjaraningrat dalam Soekanto (1982) menggunakan istilah pranata
sosial untuk menyatakan kelembagaan sebagai rules of the games. Pranata
merupakan suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada
aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam
kehidupan masyarakat. Adapun Schmid dalam Tonny (2004) mengemukakan
bahwa kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat,
yang telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan
bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak
lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab yang harus
mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu dan atau
kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam
tertentu.
Norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia oleh Soekanto (1982) lebih diistilahkan sebagai
lembaga kemasyarakatan (social institution). Suatu lembaga kemasyarakatan yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok dari manusia, pada
dasarnya mempunyai beberapa fungsi, yaitu antara lain :
1. Memberikan pedoman pada anggota-anggota masyarakat, bagaimana
mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi
masalah-masalah dalam masyarakat yang terutama menyangkut
kebutuhan-kebutuhan yang bersangkutan.
2. Menjaga keutuhan dari masyarakat yang bersangkutan.
3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem
pengendalian-sosial (social control) yaitu artinya sistem pengawasan
daripada masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.
22
Scott (2008) menguraikan bahwa kelembagaan adalah gabungan dari
elemen regulatif, normatif, dan pengetahuan budaya bersamaan dengan gabungan
aktivitas dan sumber daya, menyajikan stabilitas dan makna untuk kehidupan
sosial. Adanya sistem regulatif, normatif, dan pengetahuan budaya merupakan
bahan dasar utama dalam suatu kelembagaan. Ketiga elemen membentuk suatu
kontinum yang bergerak dari kebingungan menuju ketidakbingungan, dari tekanan
legal menuju penerimaan apa adanya.
Sebagai suatu konsepsi yang terintegrasi, merujuk D’Andrade dalam Scott
(2008) lebih lanjut mengemukakan bahwa perwujudan kelembagaan adalah untuk
menjadi suatu sistem yang lebih menentukan (overdetermined systems).
Overdetermined yang dimaksud adalah merujuk pada sanksi sosial ditambah
dengan tekanan untuk menciptakan konformitas, ditambah dengan adanya
penghargaan langsung secara intrinsik, ditambah dengan nilai, dimana
keseluruhannya beraksi atau bergerak bersama untuk memberikan sistem makna
sehingga menjadi kekuatan yang mengarahkan. Tabel 3. menguraikan tiga elemen
(tiga pilar) yang teridentifikasi sebagai penunjang kelembagaan.
Tabel 3. Three Pillars of Institution
Regulative Normative Cultural-Cognitif Basis of compliance
Expedience Social obligation Taken for-grantness Shared understanding
Basis of order Regulative rules Binding expectations
Constitutive schema
Mechanism Coersive Normative Mimetic Logic Instrumentality Appropriateness Orthodoxy Indicators Rules
Laws Sanctions
Certification Accreditation
Common belief Shared logic of action Isomorphism
Affect Fear Guilt/Innocence Shame/Honor Certainty/Confusion Basis of legitimacy
Legally sanctioned Morally governed Comprehensible Recognizable Culturally supported
Sumber : Scott, 2008
Scott (2008) lebih lanjut menjelaskan bahwa kelembagaan yang dibentuk
atas pilar regulatif mengatur perilaku anggotanya dengan menitikberatkan adanya
kepatuhan terhadap proses-proses regulatif yang eksplisit yakni seting peraturan
23
(rule-setting), pemantauan (monitoring), dan aktivitas pemberian sanksi
(sanctioning activities). Baik individu maupun organisasi-organisasi
mengkonstruksi sistem peraturan atau menyesuaikan diri terhadap peraturan
tersebut untuk memenuhi kepentingan mereka seperti melakukan hal-hal yang
bersifat instrumental dan menunjukkan kepatuhan. Adanya paksaan menjadi
mekanisme kontrol yang tampak dalam proses tersebut.
Pemaksaan, sanksi, dan kepatuhan adalah pusat bahan dasar dari pilar
regulatif ini, namun ketiganya seringkali muncul dengan adanya peraturan-
peraturan, baik dalam bentuk tata kelakuan informal maupun dalam bentuk hukum
dan peraturan formal. Terkait dengan keterlibatan kepemimpinan dalam
penerapan regulasi ini, bila kekuatan untuk memaksa dilegitimasi atau diperkuat
dengan pemberian kewenangan secara normatif maka akan mendukung dan
semakin memaksakan penggunaan kekuasaan yang dimiliki. Oleh karena itu, pilar
regulatif dan normatif dapat saling menguatkan. Kelembagaan-kelembagaan yang
didukung oleh satu pilar, seiring berjalannya waktu dan perubahan lingkungan,
dapat bertahan dengan adanya pilar-pilar yang lain. Sistem yang stabil dari suatu
peraturan, baik informal maupun formal, dilatarbelakangi oleh adanya
pengawasan dan kekuatan untuk memberikan sanksi yang diiringi dengan rasa
bersalah atau tidak bersalah. Pilar ini pun menuntut adanya bentuk pengawasan
yang relevan dengan kesepakatan, baik secara eksplisit dan implisit serta adanya
rancangan insentif atau tunjangan yang tepat.
Pilar normatif juga menjadi salah satu bahan dasar kelembagaan yang
dititikberatkan pada adanya rumusan atau resep, evaluasi, dan kewajiban sosial
dalam kehidupan sosial. Sistem normatif melibatkan nilai dan norma. Nilai adalah
konsepsi dari pilihan bersama dengan konstruksi yang standar dimana keberadaan
berbagai struktur dan perilaku dapat digabungkan dan dinilai. Sedangkan norma
menspesifikasi bagaimana sesuatu harus dijalankan. Nilai dan norma menyatakan
suatu makna yang sah untuk mencapai tujuan yang bernilai. Sistem normatif
mendefinisikan tujuan dan juga merancang langkah-langkah yang tepat untuk
mencapai tujuan tersebut. Sebagian nilai dan norma dapat diterapkan kepada
seluruh anggota dari suatu kolektivitas, namun sebagian nilai dan norma yang lain
hanya dapat diterapkan pada aktor tertentu atau posisi aktor tertentu. Hal ini
24
terkait dengan peranan yang dimiliki aktor tersebut dimana peran dapat
didefinisikan sebagai konsepsi dari tujuan dan aktivitas yang tepat dan sebagai
individu atau posisi sosial yang spesifik. Keyakinan ini merupakan harapan
normatif yakni bagaimana aktor yang spesifik tersebut harus berperilaku, baik
dalam konstruksi formal maupun informal. Sebagaimana halnya dalam perilaku
berorganisasi yang dispesifikasi dengan adanya standard operating procedures
sebagai literatur yang bersifat birokratis dan organisasional.
Meskipun pengertian peraturan sudah meluas, tetapi juga termasuk
pengetahuan budaya sebagai elemen normatif seperti kebiasaan, prosedur,
konvensi, peran, keyakinan, paradigma, kode-kode, budaya-budaya, dan
pengetahuan-pengetahuan, semuanya berfokus pada kewajiban sosial. Norma
dapat membangkitkan kekuatan perasaan, namun berbeda dengan yang menyertai
pelanggaran peraturan dan regulasi. Penyesuaian diri lebih pada evaluasi dan
penghargaan dari diri sendiri. Menurut Parsons, keberadaan nilai dan norma
menjadi dasar utama untuk membentuk pengaturan sosial yang stabil.
Kelembagaan juga dapat didasarkan pada pilar cultural-cognitif atau
pengetahuan budaya yang menitikberatkan untuk berbagi konsepsi yang
mengkonstitusi keaslian dari realitas sosial dan kerangkanya, melalui
pembentukan makna. Dalam paradigma kognitif, apa yang tercipta adalah juga
untuk tercipta dalam representasi internal individu terhadap lingkungannya.
Simbol-simbol, kata-kata, tanda-tanda, dan gerakan-gerakan tubuh membentuk
makna-makan yng diatributkan untuk berbagai objek dan aktivitas.
Weber menyatakan bahwa untuk memahami atau untuk menjelaskan
berbagai aksi (action), tidak hanya menganalisis kondisi objektif, tetapi juga
interpretasi subjektif dari pada aktor terhadap aksi (action) tersebut. Label
cultural-cognitif mengakui adanya proses interpretasi “internal” yang dibentuk
oleh kerangka budaya “eksternal”. Adanya skema yang terorganisasi dan
kebiasaan- kebiasaan merupakan hal yang melekat dalam bentuk budaya itu
sendiri. Adapun peran-peran sosial diberikan dari interpretasi yang berbeda-beda
secara budaya dibandingkan secara normatif. Peran-peran tersebut muncul sebagai
pemahaman bersama yang membangun aksi-aksi tertentu dengan aktor-aktor
tertentu pula. Peran-peran yang berbeda dapat dan akan berkembang pada konteks
25
yang terlokalisasi sebagai pola yang berulang. Selain itu, peningkatan dari sistem
keyakinan dan kerangka budaya yang semakin meluas diadopsi oleh para aktor
baik secara individu maupun organisasi-organisasi. Adapun dimensi afektif dari
pilar cultural-cognitif ini mengekspresikan perasaan dari perasaan yang positif
untuk merasa yakin dan percaya di satu sisi, sementara merasa tidak yakin dan
disorientasi pada sisi yang lain. Konsepsi cultural-cognitif dalam kelembagaan ini
menekankan adanya peranan sentral yang dimainkan oleh konstruksi mediasi
sosial dan kerangka pemaknaan bersama.
Soekanto (1982) lebih lanjut menguraikan bahwa lembaga kemasyarakatan
merupakan himpunan daripada norma dari segala tingkatan yang berkisar pada
suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Agar hubungan antar
manusia di dalam sesuatu masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan, maka
dirumuskanlah norma-norma di masyarakat. Untuk membedakan kekuatan
mengikat daripada norma-norma tersebut, maka secara sosiologis terdapat empat
pengertian, yaitu :
a. cara (usage), menunjuk pada suatu bentuk perbuatan. Norma ini
mempunyai kekuatan yang sangat lemah bila dibandingkan dengan
kebiasaan (folkways); cara (usage) lebih menonjol di dalam hubungan
antar individu dalam masyarakat. Suatu penyimpangan terhadap norma
tersebut, tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat, akan tetapi hanya
sekedar celaan dari individu dihubunginya.
b. kebiasaan (folkways), mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar
daripada cara. Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang
dalam bentuk yang sama, merupakan perikelakuan yang diakui dan
diterima oleh masyarakat. Apabila seseorang tidak melakukan perbuatan
tersebut, maka dianggap sebagai suatu penyimpangan.
c. tata-kelakuan (mores), yakni kebiasaan yang diterima sebagai norma-
norma pengatur. Tata-kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari
kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar
maupun tidak sadar, oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Tata-
kelakuan tersebut, di satu pihak memaksakan suatu perbuatan dan di lain
pihak melarangnya, sehingga secara langsung merupakan suatu alat agar
26
supaya anggota-anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan-
perbuatannya dengan tata-kelakuan tersebut.
d. adat-istiadat (custom), merupakan tata-kelakuan yang kuat integrasinya
dengan pola-pola perikelakuan masyarakat dan memiliki kekuatan
mengikat yang semakin kuat. Anggota-anggota masyarakat yang
melanggar adat-isitiadat, akan mendapat sanksi yng keras dan kadang-
kadang secara tidak langsung diperlakukan.
Norma-norma tersebut di atas, setelah mengalami suatu proses, pada
akhirnya menjadi bagian tertentu dari lembaga kemasyarakatan. Proses tersebut
dinamakan prosess pelembagaan (institutionalization), yaitu suatu proses yang
dilewati oleh suatu norma kemasyarakatan yang baru untuk menjadi bagian dari
salah satu lembaga kemasyarakatan dimana norma kemasyarakatan tersebut
dikenal, diakui, dihargai, dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Scott (2008), terdapat tiga alternatif mekanisme yang menggarisbawahi
proses dari pelembagaan sistem sosial yakni pelembagaan berbasis pada
pengembalian yang semakin meningkat (institutionalization based on increasing
return), pelembagaan berbasis pada peningkatan komitmen (institutionalization
based on increasing commitments), dan pelembagaan berbasis pada peningkatan
objektifikasi ((institutionalization based on increasing objectification).
Pusat argumentasi dari pengembalian yang semakin meningkat untuk
pelembagaan adalah menggarisbawahi peran insentif sebagai pendorong
munculnya motivasi dalam kehidupan sosial. Biaya yang dikeluarkan dan manfaat
yang diperoleh (cost and benefit) menjadi hal penting sebagai bentuk positive
feedback dalam pelembagaan yang dibangun. Adapun pelembagaan yang
ditopang oleh pilar normatif berfokus pada mekanisme dari berbagai komitmen.
Dalam prosesnya, melibatkan faktor penting yaitu adanya norma dan nilai (norms
and values), terkait dengan struktur dan prosedur yang terbentuk (structures and
procedures), melibatkan para individu (individuals), dan terdapat aktor-aktor yang
berperan secara kolektif (collective actors). Penghargaan terhadap kesepakatan-
kesepakatan yang dibangun (honoring the contract) menjadi utama dalam
menjalankan proses tersebut. terdapat makna yang signifikan yakni bahwa untuk
melembaga adalah menyatukan nilai dengan penerapan teknis dalam melakukan
27
sesuatu (Selznick dalam Scott, 2008). Istilah komitmen itu sendiri dibangun atas
dasar berbalikan (resiprositas) dan kepercayaan (trust) antara pihak-pihak yang
terlibat.
Mekanisme pelembagaan yang ketiga adalah pelembagaan berbasis pada
peran objektifikasi dari keyakinan-keyakinan yang terbagi diantara individu
terkait. Keyakinan-keyakinan objektif seringkali malekat pada rutinitas, bentuk-
bentuk dan dokumen-dokumen. Selain itu, proses ini pun menekankan bahwa ide-
ide-keyakinan-keyakinan, skema-skema dan asumsi-asumsi memainkan peran
yang sangat kuat dalam proses pelembagaan.
Sehubungan dengan itu, lembaga kemasyarakatan dapat dibedakan sebagai
(1) peraturan (regulative social institution) dan yang sungguh-sungguh berlaku
(operative social institution). Lembaga kemasyarakatan dianggap sebagai
peraturan apabila norma-norma tersebut membatasi serta mengatur perikelakuan
orang-orang. Adapun lembaga kekeluargaan dianggap sebagai yang sungguh-
sungguh berlaku, apabila norma-normanya sepenuhnya membantu pelaksanaan
pola-pola kemasyarakatan. Perikelakuan perseorangan merupakan hal yang
sekunder bagi lembaga kemasyarakatan yang dianggap sebagai peraturan.
Proses – pelembagaan sebenarnya tidak berhenti demikian saja, akan tetapi
dapat berlangsung lebih jauh lagi hingga suatu norma kemasyarakatan tidak hanya
menjai institutionalized dalam masyarakat, akan tetapi menjadi internalized.
Maksudnya adalah suatu taraf perkembangan di mana para anggota masyarakat
dengan sendirinya ingin berperikelakuan sejalan dengan perikelakuan yang
memang sebenarnya memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan perkataan lain,
norma-norma tadi telah mendarahdaging (internalized).
Kelembagaan-kelembagaan pertanian sebagai lembaga kemasyarakatan
yang ditujukan untuk memenuhui kebutuhan akan mata pencaharian dapat
diidentifikasi dari tulisan Kano (1980), Ropke (1986), Hayami dan Kikuchi
(1987), Suhirmanto (2003), dan Radandima (2003) yakni kelembagaan hubungan-
hubungan kerja pertanian yang meliputi bentuk hubungan kerja (sistem gotong
royong, sistem upah harian dan sistem upah borongan), dan biaya upah
(mencangkul, sewa ternak, bajak dan sewa traktor); kelembagaan penguasaan
lahan yang meliputi struktur kepemilikan tanah, cara pengusahaan tanah, pola
28
penyakapan, tingkat keeratan hubungan pemiliki-penyakap, serta arah dan cara
peralihan hak milik atas tanah; kelembagaan panen, kelembagaan sewa lahan,
kelembagaan sewa lahan, kelembagaan bagi hasil, kelembagaan bagi hasil bibit,
kelembagaan pinjaman modal, kelembagaan tebasan, kelembagaan diversifikasi,
kelembagaan sistem pengairan. Kelembagaan-kelembagaan tersebut muncul dan
berubah seiring dengan perkembangan sistem pertanian dari tradisional menjadi
sistem pertanian modern atau konvensional. Selain itu, dinamika kelembagaan
tersebut juga terbentuk dengan masuknya teknologi seperti halnya teknologi
irigasi. Namun, faktor lain yang utama mempengaruhi dinamika kelembagaan
pertanian tersebut adalah kebijakan revolusi hijau sebagai implementasi dari
modernisasi pertanian. Sehubungan dengan itu, seiring dengan adanya perubahan
sistem pertanian maka berubah pula kelembagaan pertanian pada masyarakat
setempat. Demikian pula halnya dengan terjadinya perubahan dari sistem
pertanian modern atau konvensional menjadi sistem pertanian organik.
Beberapa Hasil Penelitian Kelembagaan Pertanian Padi Sawah
Merujuk pada Suhirmanto (2003) dan Radandima (2003), diketahui bahwa
introduksi pertanian modern telah menyebabkan terjadinya perubahan pada
kelembagaan-kelembagaan pertanian. Hasil penelitian Suhirmanto (2003)
menunjukkan bahwa, berubahnya sistem pertanian dari sistem pertanian
tradisional menjadi sistem pertanian modern berdampak pada melemahnya
kelembagaan tradisi baik pada bidang kegiatan produksi maupun non-produksi.
Selain itu, juga menyebabkan tidak berfungsinya kelembagaan formal seperti
kelompok tani dan koperasi unit desa. Akan tetapi, di sisi lain perubahan tersebut
juga membentuk kelembagaan-kelembagaan baru yaitu : (1) sewa lahan, (2) bagi
hasil, (3) bagi hasil bibit, (4) pinjaman modal, (5) tebasan, (6) diversifikasi
pertanian, (8) sistem tenaga upah. Adapun dari hasil penelitian Radandima (2003),
diketahi bahwa pertanian modern melalui adanya pembangunan irigasi
menyebabkan terjadinya perubahan pada kelembagaan penguasaan lahan dan
kelembagaan hubungan kerja pertanian.
Hayami dan Kikuchi (1987) menguraikan analisis kelembagaan yang secara
khusus diartikan sebagai hubungan kontrak antara petani dan buruh tani yang
29
dikembangkan dalam satuan usahatani keluarga (rumahtangga) petani. Hubungan
“bapak-anak buah” antara petani dan buruh tani itu digambarkan sebagai
kompleks beragam kaitan pasaran dengan saling mengenal pribadi dimana syarat
ekonomi dan efisiensi dapat terjamin.
Kano (1980) menguraikan sejarah perekonomian masyarakat pedesaan di
Jawa dengan menyajikan tinjauan kritis Collier terhadap konsep Geertz mengenai
involusi pertanian. Collier dalam Kano (1980) menyampaikan pandangan bahwa
introduksi pertanian modern melalui penerapan dan perluasan program Bimas,
khususnya dengan penggunaan jenis-jenis bibit unggul, telah meningkatkan
pemakaian tenaga kerja dan produktivitas sawah.
Ropke (1986) menguraikan inovasi pertanian melalui kebijakan revolusi
hijau telah menyebabkan perubahan pada hak-hak panen dalam budidaya padi.
Berkembangnya teknologi pupuk dan benih telah menyebakan perubahan pada
institusi panen yaitu dari hak panen dengan sistem terbuka menjadi lebih eksklusif
dengan sistem kontraktual. Hak panen yang lebih terbatas diberikan kepada
pekerja yang menandatangani kontrak, untuk melakukan kegiatan “tanpa bayaran”
seperti memindahkan tanaman padi yang masih muda, membersihkan gulma, dan
lain-lain.
Berbagai bentuk perubahan kelembagaan sebagai dampak munculnya
introduksi pertanian modern pada padi sawah sebagaimana yang diuraikan oleh
para ahli di atas dapat dilihat dalam Tabel 4.
2.1.6 Pertanian Berkelanjutan
Pembangunan pedesaan berkelanjutan menjadi salah satu fokus
pembangunan yang berkelanjutan. Pedesaan memiliki karakteristik sumberdaya
alam yang berbeda dengan wilayah lainnya. Sumberdaya alam tersebut baik
dataran tinggi maupun dataran rendah memiliki daya dukung yang berbeda-beda.
Selain memperhatikan hubungan manusia dengan manusia, pembangunan
pedesaaan juga memperhatikan hubungan manusia dengan sumberdaya alam.
Hubungan-hubungan tersebut membentuk suatu entitas sosial baik berupa
kelembagaan maupun kelompok.
30
Tabel 4. Perubahan Bentuk-Bentuk Kelembagaan Pertanian Padi Sawah sebagai Dampak Introduksi Pertanian Modern
Hasil Penelitian Kelembagaan Pertanian
Kano (1980) Munculnya kelembagaan-kelembagaan dalam proses intensifikasi pertanian sebagai dampak adanya kebijakan perluasan dan penerapan program BIMAS telah meningkatkan pemakaian tenaga kerja dan produktivitas sawah
Ropke (1986) Adanya perubahan kelembagaan panen dalam budidaya padi yaitu perubahan hak panen dengan sistem terbuka menjadi hak eksklusif atau sistem kontraktual
Hayami dan Kikuchi (1987)
Munculnya kelembagaan hubungan-hubungan kerja dalam kaitannya dengan penggunaan teknologi, penggunaan bibit/benih dan pupuk, pemanfaatan irigasi, tingkat pendapatan, jumlah tenaga kerja, luas kepemilikian lahan, dan peningkatan produktivitas lahan
Suhirmanto (2003) Munculnya kelembagaan penguasaan lahan, meliputi : struktur kepemilikan tanah, cara pengusahaan tanah, pola penyakapan, tingkat keeratan hubungan pemilik-penyakap, serta arah dan cara peralihan hak milik atas tanah.
Munculnya kelembagaan hubungan kerja pertanian yaitu, - Bentuk hubungan kerja, meliputi sistem gotong royong,
sistem upah harian upah harian dan sistem upah borongan, - Sistem pengupahan dan pembiayaan, meliputi upah
mencangkul, sewa ternak bajak dan sewa traktor
Radandima (2003) Munculnya kelembagaan sewa lahan, kelembagaan bagi hasil, kelembagaan bagi hasil bibit, kelembagaan pinjaman modal, dan kelembagaan tebasan
Munculnya kelembagaan penguasaan lahan, meliputi : struktur kepemilikan tanah, cara penguasaan tanah, pola penyakapan, tingkat keeratan hubungan pemilik penyakap, arah dan cara peralihan hak atas tanah
Sumber : Disarikan dari berbagai sumber
Merujuk pada Lele (1991), dari arti katanya, pembangunan berkelanjutan
merupakan suatu frase yang terdiri dari konsep keberlanjutan (sustainability) dan
pembangunan (development). Keberlanjutan itu sendiri dapat dikonotasikan baik
secara harfiah, secara ekologis, maupun secara sosial. Adapun konsep
pembangunan dapat dikonotasikan dari segi proses maupun dari segi tujuannya.
Keberlanjutan secara sosial dapat diartikan sebagai keberlanjutan basis sosial dari
kehidupan manusia, dan ini terkait dengan konsep pembangunan yang lebih
ditekankan pada aspek tujuannya yakni untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam
kehidupan manusia tersebut. Sehubungan dengan hal ini, maka dapat
31
diinterpretasikan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah mengutamakan dan
memberikan arti penting pada tercapainya tujuan yang tradisional dan
keberlanjutan secara ekologis dan sosial. Menurut Rientjes (1999), pertanian
berkelanjutan mencakup hal-hal sebagai berikut :
(1) Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas sumber daya alam
dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan – dari manusia,
tanaman, dan hewan sampai organism tanah – ditingkatkan. Tekanannya adalah
pada penggunaan sumber daya yang bisa diperbaharui.
(2) Berlanjut secara ekonomis, yang berarti bahwa petani bisa cukup
menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan dan/atau pendapatan sendiri, serta
mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan
biaya yang dikeluarkan. Keberlanjutan ekonomis ini bisa diukur bukan hanya
dalam hal produk usaha tani yang langsung namun juga dalam hal fungsi seperti
melestarikan sumber daya alam dan meminimalkan risiko;
(3) Adil, yang berarti bahwa sumber daya dan kekuasaan didistribusikan
sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat terpenuhi
dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan
teknis serta peluang pemasaran terjamin. Semua orang memiliki kesempatan
untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan, baik di lapangan maupun di
dalam masyarakat. Kerusuhan sosial bisa mengancam sistem sosial secara
keseluruhan, termasuk sistem pertaniannya.
(4) Manusiawi, yang berarti bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman,
hewan, dan manusia dihargai). Martabat dasar semua makhuk hidup dihormati,
dan hubungan serta institusi menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar,
seperti kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama dan rasa sayang. Integritas
budaya dan spiritualitas masyarakat dijaga dan dipelihara.
(5) Luwes, yang berarti bahwa masyarakat pedesaan mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usaha tani yang berlangsung terus
misalnya dengan perubahan kondisi usaha tani yang berlangsung terus, misalnya
pertambahan jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar, dan lain-lain. Hal ini
meliputi bukan hanya pengembangan teknologi yang baru dan sesuai, namun juga
inovasi dalam arti sosial dan budaya.
32
Adapun pembangunan berkelanjutan dari perspektif sosiologi lebih
difokuskan pada dimensi manusia dalam pembangunan., sehingga jika kita
memilih untuk mengkonseptualisasikan pembangunan berkelanjutan dari dimensi
manusia, maka akan dititikberatkan pada keberlanjutan sistem sosial masyarakat.
(Gale and Corday, 1994). Para sosiolog akan menempatkan keberlanjutan sistem
sosial, partisipasi dan pemberdayaan sebagai poin penting dalam mengklarifikasi
pembangunan yang berkelanjutan tersebut. (Gale and Corday, 1994, and Lele,
1991). Sehubungan dengan itu, keberlanjutan sistem sosial diinterprestasikan
sebagai keberlanjutan kelembagaan.
John Howell dalam Nasdian (2007) mengatakan bahwa istilah
keberlanjutan kelembagaan memiliki tiga pengertian. Definisi pertama adalah
membangun kelembagaan pada sektor publik yang memiliki kemampuan untuk
menampilkan fungsi-fungsi utama tanpa dukungan dari keuangan luar dan
pendampingan teknis. Pengertian kedua dari keberlanjutan kelembagaan adalah
bekerja untuk membangun keseimbangan yang sesuai dan peranan sosial bagi
sektor masyarakat, sektor swasta, dan sektor sukarelawan pada negara
berkembang dimana terjadi kekurangan keseimbangan sebagai faktor yang
melemahkan keragaan ekonomi. Ketiga, istilah keberlanjutan kelembagaan juga
dapat menjadi acuan untuk membangun kapasitas kelembagaan untuk merespon
masalah-masalah dalam kebijakan publik, dengan menyediakan masukan-
masukan yang dibutuhkan dan bagaimana hal itu dapat ditampilkan.
Tertulis pada awal tahun 1980, Gordon K. Douglas dalam Eicher (1998)
mendefinisikan tiga alternatif pendekatan konseptual mengenai definisi
keberlanjutan pertanian yakni :
1. keberlanjutan pertanian terkait dengan istilah teknik dan ekonomis, dengan
melihat kapasitas untuk menyediakan permintaan yang semakin beragam
dan meningkat terhadap komoditi pertanian. Dalam arus utama para
ekonom sumberdaya dan pertanian, adanya kepastian harga dari komoditi
pertanian yang senantiasa berulang-ulang dalam jangka waktu lama
merepresentasikan suatu bukti bahwa perubahan produksi pertanian telah
mengikuti pola yang berkelanjutan.
33
2. keberlanjutan pertanian sebagai pertanyaan ekologis merujuk pada suatu
sistem pertanian dimana mengurangi polusi dan fakor-faktor yang merusak
keseimbangan ekologi dari sistem yang tidak berkelanjutan. Kondisi
tersebut seharusnya digantikan dengan sesuatu yang menghargai
kealamian fungsi-fungsi penguatan biofisik dalam jangka waktu lama.
3. keberlanjutan pertanian di bawah istilah pertanian alternatif, menempatkan
keberlanjutan tersebut pada titik berat yang paling utama terkait dengan
keberlanjutan tidak hanya sebagai sumber daya fisik tapi sejumlah set
nilai-nilai komunitas (National Research Council dalam Eicher, 1998).
Masyarakat dan komunitas pedesaan memiliki ilmu-ilmu konvensional
yang mendasari sistem pertanian dan sistem pengelolaan lingkungan
mereka. Sehubungan dengan itu, hal ini menjadi perhatian utama dalam
upaya penguatan atau merevitalisasi dari budaya dan komunitas pedesaan
itu sendiri, dipandu oleh nilai-nilai gotong-royong dan kemandirian diri
dan atau adanya pendekatan secara keseluruhan dan terintegrasi dari
dimensi fisik dan kultural dari produksi dan konsumsi.
2.1.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberlanjutan Kelembagaan
Menurut Cernea (1993), dalam perspektif sosiologi, terdapat dua elemen
yang dapat menjadi alat untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan yakni
adanya pengorganisasian sosial (social organization) dan teknik sosial (social
techniques). Pertama, pengorganisasian sosial sebagai konsep yang membantu
menjelaskan mengenai aksi sosial, hubungan antar manusia, bentuk kompleks dari
organisasi sosial, perencanaan kelembagaan, dan aspek budaya, motivasi,
stimulus, dan nilai yang meregulasi perilaku dalam berhadapan dengan sumber
daya alam. Pengorganisasian sosial merupakan bangunan sosial yang mencakup
para pelaku sosial itu sendiri; kontrak sosial yang mengatur hubungan antara
masyarakat lokal dengan para stakeholder; hak-hak pengelolaan sumber daya
alam yang merujuk pada sistem budaya setempat, meliputi hak kepemilikan,
penguasaan, atau penentuan orang yang memiliki peran sebagai “public building”;
sistem otoritas dan mekanisme penguatan kepatuhan; ketiadaan batas-batas antara
selang pengorganisasian produksi dari sistem berbasis keluarga menjadi
34
perusahaan besar; pertukaran jaringan tenaga kerja; termasuk nilai dan sistem
kepercayaan setempat.
Kedua, adanya teknik sosial yang tepat untuk mempercepat koordinasi
aksi sosial, mencegah keburukan perilaku, membantu perkembangan asosiasi,
keahlian dalam perencanaan sosial, dan pembangunan modal sosial. Teknik sosial
sebagai alat untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan ini berada pada
selang dari membangun kesadaran publik hingga berinvestasi dalam membangun
modal sosial, dari konsultasi-konsultasi sederhana hingga membangun
pengelolaan partisipatif, dari sistem insentif hingga kontrol kelembagaan, dari
tradisi hingga merubah praktik lama dan memperkenalkan inovasi baru, dari
pemberdayaan hingga membentuk kohesi sosial, dari perilaku individu yang
bermotif ekonomi hingga membangun kekuatan solidaritas, kepercayaan,
pengorganisasian diri dan penerimaan nilai-nilai kelompok. Alat tersebut juga
dapat dikombinasikan untuk merubah pola-pola sosial alat dan mempromosikan
budaya dari proteksi sumber daya alam. Community-centered approach menjadi
salah satu strategi. Strategi yang bersifat sosial dan teknis serta rumusan tujuan
harus diarahkan untuk membangun dan memperkuat pengaturan kelembagaan.
Suatu teknik sosial tidak bisa diterapkan secara universal karena keragaan struktur
kelembagaan untuk pengelolaan lingkungan pada level lokal membutuhkan lebih
dari sekedar mengembalikan tradisi dan kelembagaan lama. Lebih lanjut,
keberlanjutan kelembagaan itu sendiri ditentukan oleh adanya partisipasi
masyarakat, tata kelola yang baik dalam sistem pemerintahan, kinerja masyarakat,
kompleksitas masyarakat, dan kemerosotan yang terjadi dalam berbagai aspek
kehidupan pada masyarakat tersebut.
Adapun merujuk pada Tonny (2004), tingkat keberlanjutan kelembagaan
komunitas lokal dapat dianalisis dari faktor-faktor internal dan eksternal sebagai
faktor-faktor penentu yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan komunitas
lokal. Komunitas lokal tersebut juga mencakup komunitas petani padi sawah.
Faktor-faktor eksternal yang dimaksud adalah meliputi (1) intervensi pemerintah
yang berdampak positif, (2) intervensi pemerintah yang berdampak negatif, (3)
Ketersediaan sarana dan prasarana umum, dan (4) jejaring kerjasama antar
kelembagaan. Sedangkan faktor-faktor internal mencakup (1) kepemimpinan, (2)
35
pendidikan anggota, (3) aturan tertulis, (4) aturan tidak tertulis, (5) ukuran
kelembagaan, (6) usia kelembagaan, (7) kecukupan anggaran, dan (8) proses
pendirian kelembagaan. Namun, secara spesifik dari hasil penelitian mengenai
keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal di Daerah Aliran Sungai (DAS)
Citanduy diketahui bahwa adanya program-program pengembangan jejaring
kerjasama, intervensi positif pemerintah, kecukupan anggaran, dan aturan-aturan
tertulis dapat meningkatkan keberlanjutan kelembagaan grassroots di DAS
Citanduy tersebut.
2.1.3 Dari Revolusi Hijau ke Pertanian Organik : Pergeseran Paradigma Pembangunan
Revolusi hijau merupakan kebijakan pembangunan yang dapat
dianalogikan dengan pembahasan Korten (1984) tentang ”pembangunan yang
mementingkan produksi”. Menurutnya, pendekatan pembangunan seperti itu
terutama berkiblat pada kebutuhan sistem komando yang menitikberatkan pada
kekuasaan formal, kurang memihak pada kelembagaan non-formal sehingga
lambat menyesuaikan diri dengan jaringan yang dibentuk di sekitar masyarakat
setempat. Pembangunan yang mementingkan produksi tersebut didasarkan pada
prinsip-prinsip sentralisasi, mobilisasi, penaklukan, eksploitasi, hubungan
fungsional, nasional, ekonomi konvensional, unsustainability.
Program pembangunan dengan pendekatan seperti production centered
development sulit untuk melembaga dalam kehidupan masyarakat dengan ikatan
tradisi yang masih kuat karena pendekatan tersebut mementingkan produksi dan
berdasarkan pandangan materialistis yang sempit terhadap tujuan-tujuan
masyarakat. Menurut Korten (1984), jalan keluarnya adalah melaksanakan
program pembangunan dengan pendekatan ”pembangunan memihak rakyat”
people centered development, yang memperhatikan inisiatif yang kreatif dari
masyarakat sebagai sumber pembangunan yang utama. Lebih lanjut,
pembangunan yang memihak rakyat ini didasarkan atas prinsip-prinsip
desentralisasi, partisipasi, pemberdayaan, pelestarian, jejaring sosial, teritorial,
keswadayaan lokal, dan sustinability.
Dalam konteks pergeseran paradigma pembangunan ini, maka perubahan
sistem pertanian dari non-organik yang didasarkan atas kebijakan revolusi hijau
36
menuju sistem pertanian organik tampak pada Gambar 2. Lebih lanjut, Korten and
Carner (1984) menjelaskan beberapa pengertian dari prinsip-prinsip tersebut.
Sentralistik merujuk pada pemusatan kebijakan pembangunan yang didominasi
oleh pemerintah pusat. Melalui desentralisasi, kebijakan pembangunan diarahkan
untuk lebih diinisiasi di tingkat lokal. Dengan kebijakan yang berada di tangan
pemerintah pusat ini, mengarahkan seluruh masyarakat untuk menerapkan
kebijakan tersebut. Proses mobilisasi ini bertolak belakang dengan partisipasi.
Menurut Arnstein (1969), partisipasi adalah suatu proses bertingkat dari
pendistibusian kekuasaan pada komunitas sehingga mereka memperoleh kontrol
lebih besar pada hidup mereka sendiri. Menurut Arnstein (1969), terdapat 8
tingkatan yang menunjukkan tipe partisipasi dan non-partisipasi komunitas
(citizen) dalam menentukan “produk akhir” (Gambar 3).
Gambar 2. Perubahan Sistem Pertanian dari Non-Organik menuju Sistem Pertanian Organik dalam Konteks Pergeseran Paradigma Pembangunan
Sistem Pertanian Non-Organik
Sistem Pertanian Organik
Input luar Orisinil
Irasional – tidak seimbang
Rasional – seimbang
Persoalan lingkungan di tingkat dunia
Global – direspon seluruh dunia
Tidak aman bagi manusia dan lingkungan
Aman – sehat bagi manusia dan lingkungan
Menciptakan ketergantungan
Netral – tidak menciptakan ketergantungan
Eksternal – sumber daya luar
Internal – sumberdaya potensi lokal
37
Manipulasi dan terapi disebut juga level non-participation, dimana adanya
partisipasi lebih dikarenakan adanya tekanan pemegang kekuasaan. Inisiatif
pembangunan pun tidak bertujuan untuk memberdayakan komunitas tetapi
membuat pemegang kekuasaan untuk “menyembuhkan” atau “mendidik”
komunitas. Pada level partisipasi informing tokenism menunjukkan bahwa
komunitas bisa mendapatkan informasi, sementara pada level partisipasi
consultation tokenism menunjukkan bahwa adanya konsultasi menunjukkan
bahwa komunitas dapat menyuarakan pendapat, akan tetapi pada kedua level
tersebut tidak ada jaminan kalau pendapat komunitas akan diakomodasi.
Placation sebagai level tertinggi tokenism, komunitas bisa memberikan saran
kepada pemegang kekuasaan, tetapi kewenangan menentukan tetap ada pada
pemegang kekuasaan. Patnership, membuat komunitas dapat bernegoisasi dan
terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendelegasian kewenangan dan kontrol,
komunitas memegang mayoritas pengambilan keputusan dan kekuasaan
pengelolaan.
Paradigma pembangunan yang mementingkan produksi memiliki prinsip
penaklukan dimana kekuasaan, pengambilan keputusan, akses dan kontrol
sumberdaya berada di tangan pemerintah pusat. Sementara paradigma
pembangunan yang memihak rakyat, membantu masyarakat untuk berdaya dalam
Gambar 3. Tingkatan Tipe Partisipasi dan Non-Partisipasi Komunitas
38
mengelola sumberdaya mereka. Menurut Jim Ife (1995), pemberdayaan artinya
memberikan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan kepada
warga untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam menentukan masa
depannya sendiri dan berpartisipasi dalam dan memenuhi kehidupan
komunitasnya.
Demi kepentingan peningkatan produksi, eksploitasi terhadap sumberdaya
alam dan lingkungan tidak mempertimbangkan keberlanjutan dan kapasitas daya
dukung alam sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan dan semakin
cepatnya pengurangan sumberdaya alam (Korten and Carmer, 1984). Padahal
menurut IFOAM (2008), sumberdaya alam pun terbatas sehingga diperlukan
prinsip-prinsip pengelolaan yang adil untuk menjamin kelestarian sumberdaya
alam sekaligus menjamin kelangsungan hidup manusia. Di samping itu,
pembangunan yang mementingkan produksi diimplementasikan melalui
hubungan-hubungan fungsional seperti melalui birokrasi lembaga-lembaga
pemerintah terkait merujuk pada tugas pokok dan fungsi lembaga-lembaga
tersebut. Berbeda halnya dengan pembangunan yang memihak rakyat yang lebih
mengutamakan terbangunnya jejaring sosial. Hubungan-hubungan yang terbentuk
di antara pihak-pihak terkait baik dari elemen pemerintah, swasta, lembaga
swadaya masyarakat, maupun masyarakat itu sendiri merupakan mekanisme dan
manifestasi dalam mencapai tujuan pembangunan (Korten, 1984).
Pada pembangunan yang mementingkan produksi, peningkatan produksi
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dalam skala nasional. Implikasinya adalah
proses produksi yang bersifat massal melalui industrialisasi dan penyeragaman
produk. Keragaan produksi diindikasikan dengan peningkatan pendapatan secara
nasional dengan mengesampingkan indikator sistem produksi yang menjamin
kesehatan manusia dan kelangsungan lingkungan. Padahal merujuk pembangunan
yang memihak rakyat, basis teritori menjadi penting. Menurut Korten (1984),
paradigma tersebut tidak mengesampingkan produktivitas karena menjadi faktor
kelangsungan hidup manusia. Namun, keragaan produksi tersebut didasarkan atas
kebutuhan setiap masyarakat yang relatif berbeda-beda menurut ketersediaan
sumberdaya lokal yang dimilikinya. Keswadayaan lokal menjadi sistem ekonomi
yang dapat mendorong terakumulasinya aset komunitas. Aset bersama tersebut
39
digunakan untuk menjamin kelangsungan sistem produksi yang dapat memenuhi
kebutuhan komunitas dengan mempertimbangkan indikator kesehatan dan
keberlanjutan sistem ekologi setempat. Keberlanjutan tersebut merupakan salah
satu prinsip penting dalam pembangunan yang memihak rakyat.
2.2 Kerangka Pemikiran
Pembangunan pertanian industrial merupakan sebuah implementasi dari
adanya modernisasi pertanian. Banyak ahli mengemukakan bahwa pertanian
modern melalui kebijakan revolusi hijau tersebut menyebabkan berbagai dampak
negatif termasuk terjadinya perubahan dalam bentuk-bentuk kelembagaan
pertanian khususnya pada budidaya padi sawah. Oleh karena itu, untuk mengatasi
dampak negatif yang muncul tersebut berkembanglah isu pertanian berkelanjutan
yang salah satu bentuknya adalah sistem pertanian organik.
Dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat sehubungan dengan
sistem pertanian organik, diperlukan suatu mekanisme pengaturan yakni dengan
adanya peran dan fungsi kelembagaan pertanian. Kelembagaan pertanian organik
yang dimaksud menyangkut seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat,
yang telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan
bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak
lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab yang harus
mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu dan atau
kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya
tertentu. Kelembagaan tersebut ditopang oleh gabungan dari elemen regulative,
normative, dan cultural-cognitive bersamaan dengan gabungan aktivitas dan
sumber daya hingga menyajikan stabilitas dan makna untuk kehidupan sosial.
Pilar regulatif mengatur perilaku anggotanya dengan menitikberatkan adanya
kepatuhan terhadap proses-proses regulatif yang eksplisit yakni seting peraturan
(rule-setting), pemantauan (monitoring), dan aktivitas pemberian sanksi
(sanctioning activities). Pilar normatif menitikberatkan pada adanya rumusan
atau resep, evaluasi, dan kewajiban sosial dalam kehidupan sosial. Adapun pilar
cultural-cognitif menitikberatkan adanya proses berbagi konsepsi yang
40
mengkonstitusi keaslian dari realitas sosial dan kerangkanya, melalui
pembentukan makna.
Keberlanjutan kelembagaan yang dimaksud diindikasikan dengan adanya
ketahanan sistem sosial masyarakat setempat. Terdapat dua elemen yang menjadi
alat untuk mencapai kondisi tersebut yaitu adanya pengorganisasian sosial dan
teknik sosial. Pengorganisasian sosial menempatkan masing-masing pelaku
menurut statusnya untuk memainkan peranan sosial dengan mekanisme penguatan
kepatuhan yang dibangun oleh seluruh anggota. Adapun teknik sosial merupakan
teknik untuk mempercepat proses pengorganisasian sosial yang berada pada
selang dari membangun kesadaran publik hingga berinvestasi dalam membangun
modal sosial, dari konsultasi-konsultasi sederhana hingga membangun
pengelolaan partisipatif, dari sistem insentif hingga kontrol kelembagaan, dari
tradisi hingga merubah praktik lama dan memperkenalkan inovasi baru, dari
pemberdayaan hingga membentuk kohesi sosial, dari perilaku individu yang
bermotif ekonomi hingga membangun kekuatan solidaritas, kepercayaan,
pengorganisasian diri dan penerimaan nilai-nilai kelompok. Bekerjanya elemen
pengorganisasian sosial dan teknik sosial dalam membangun keberlanjutan
kelembagaan dalam sistem pertanian padi sehat dipengaruhi oleh faktor internal
maupun eksternal.
Faktor-faktor eksternal yang dimaksud adalah meliputi (1) tata kelola yang
baik dalam sistem pemerintah, (2) jejaring kerjasama antar kelembagaan, dan (3)
ketersediaan sarana dan prasarana umum. Adanya tata kelola yang baik dalam
sistem pemerintah menjadi kekuatan-kekuatan yang secara bijaksana dan arif
mampu mendukung dan memfasilitasi berjalannya mekanisme kelembagaan-
kelembagaan yang terbentuk dalam masyarakat. Di samping itu, keberlanjutan
kelembagaan juga memerlukan jejaring kerjasama antar kelembagaan yang
sinergis untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan bersama. Faktor lain yang
mempengaruhi adalah ketersediaan sarana dan prasarana umum yang mendukung
dan memberi kemudahan antar pelaku untuk berinteraksi dan menjalankan
aktivitas dengan lebih dinamis.
Adapun faktor-faktor internal mencakup (1) kepemimpinan, (2 aturan
tertulis, (3) aturan tidak tertulis, (4) proses pendirian kelembagaan, dan (5)
41
partisipasi komunitas. Peran dan fungsi kepemimpinan menjadi faktor penting
dalam pengorganisasian sosial dan meningkatkan efektivitas teknik sosial yang
dijalankan. Aturan tertulis dan aturan tidak tertulis menjadi faktor yang
mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan oleh karena menjadi dasar kepatuhan
anggota yang mengandung sanksi sosial sekaligus menjadi kontrol sosial dan
pengatur diantara para pelaku. Terkait dengan proses pendirian kelembagaan,
pada umumnya kelembagaan-kelembagaan dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
para pelaku yang terlibat sehingga muncul mekanisme atau tata kelakuan yang
berpola sebagai akibat bekerjanya tata aturan atau norma yang telah dibangun
bersama. Selain itu, semua bentuk kelembagaan melibatkan partisipasi komunitas
sebagai aktor kunci dalam menjalankan mekanisme kelembagaan.
Modernisasi Pertanian
Dampak : 1. Perubahan kelembagaan untuk pengaturan input 2. Perubahan kelembagaan penguasaan lahan 3. Perubahan kelembagaan panen 4. Perubahan kelembagaan hubungan kerja
Sistem Pertanian Organik
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Kelembagaan Berkelanjutan dalam Pertanian Organik
- Pilar Regulative - Pilar Normative - Pilar cultural-
cognitive
Bentuk Kelembagaan Pertanian Organik Aktivitas dan Pelaku
Keberlanjutan Kelembagaan Faktor internal : 1. Kepemimpinan 2. Aturan tertulis 3. Aturan tidak
tertulis 4. Proses pendirian
kelembagaan 5. Partisipasi
komunitas
Faktor eksternal : 1. Tata kelola yang
baik dalam sistem pemerintahan
2. Jejaring kerjasama antar kelembagaan
3. Ketersediaan sarana dan prasarana umum
Pertanian Berkelanjutan