bab ii pendekatan teoritis - repository.ipb.ac.id · sistem sosial dimana tiap-tiap sistem sosial...

24
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Masyarakat Petani (Peasant Society) Menurut Boeke, ciri khas suatu masyarakat dapat dikenali lewat keberkaitan unsur-unsur dasar yang terdapat dalam sebuah masyarakat tersebut yakni, bentuk- bentuk organisasi dan teknik-teknik yang mendukungnya atau disebut sebagai sistem sosial dimana tiap-tiap sistem sosial memiliki mempunyai teori ekonomi tersendiri. Begitu pun sebaliknya, teori ekonomi selalu merupakan teori mengenai sistem sosial tertentu yang keduanya dibentuk oleh sejarah masyarakatnya sendiri. (Boeke dalam Sajogyo 1982) Mengacu pendapat Shanin (1971), terdapat empat aliran/tradisi utama pemikiran (mainstream of thought) dalam memahami masyarakat tani, yakni: Pertama, tradisi Marxian yang memahami masyarakat tani dari pendekatan hubungan kekuasaan atau lewat analisis kelas. Dalam pendekatan ini, masyarakat tani dipandang sebagai unit produksi dari formasi sosial awal (pre-capitalist producers) yang tereksploitasi akibat struktur kekuasaan yang ada. Kedua, pendekatan Chayanovian yang memandang struktur masyarakat tani ditentukan oleh sistem ekonomi yang khas (specific type of economy). Ketiga, pendekatan Etnografi Barat yang memahami masyarakat tani sebagai representasi masyarakat yang mengalami cultural lag. Dan keempat, tradisi Durkheimian yang membagi masyarakat dalam dua kategori yakni masyarakat tradisonal/anorganik dan masyarakat modern/organik yang bersandar pada pembagian kerja dan hubungan antar unit. Selanjutnya Shanin (1971) mencirikan masyarakat tani sebagai sebagai berikut, yakni: (1) satuan keluarga (rumah tangga) petani adalah satuan dasar dalam masyarakat desa yang berdimensi ganda; (2) petani hidup dari usahatani dengan mengolah tanah (lahan); (3) pola kebudayan petani berciri tradisional dan khas; (4) petani menduduki posisi rendah dalam masyarakat, mereka adalah “orang kecil” terhadap masyarakat diatas desa.

Upload: vunhi

Post on 21-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

2.1. Masyarakat Petani (Peasant Society)

Menurut Boeke, ciri khas suatu masyarakat dapat dikenali lewat keberkaitan

unsur-unsur dasar yang terdapat dalam sebuah masyarakat tersebut yakni, bentuk-

bentuk organisasi dan teknik-teknik yang mendukungnya atau disebut sebagai

sistem sosial dimana tiap-tiap sistem sosial memiliki mempunyai teori ekonomi

tersendiri. Begitu pun sebaliknya, teori ekonomi selalu merupakan teori mengenai

sistem sosial tertentu yang keduanya dibentuk oleh sejarah masyarakatnya sendiri.

(Boeke dalam Sajogyo 1982)

Mengacu pendapat Shanin (1971), terdapat empat aliran/tradisi utama

pemikiran (mainstream of thought) dalam memahami masyarakat tani, yakni:

Pertama, tradisi Marxian yang memahami masyarakat tani dari pendekatan

hubungan kekuasaan atau lewat analisis kelas. Dalam pendekatan ini, masyarakat

tani dipandang sebagai unit produksi dari formasi sosial awal (pre-capitalist

producers) yang tereksploitasi akibat struktur kekuasaan yang ada. Kedua,

pendekatan Chayanovian yang memandang struktur masyarakat tani ditentukan

oleh sistem ekonomi yang khas (specific type of economy).

Ketiga, pendekatan Etnografi Barat yang memahami masyarakat tani

sebagai representasi masyarakat yang mengalami cultural lag. Dan keempat,

tradisi Durkheimian yang membagi masyarakat dalam dua kategori yakni

masyarakat tradisonal/anorganik dan masyarakat modern/organik yang bersandar

pada pembagian kerja dan hubungan antar unit. Selanjutnya Shanin (1971)

mencirikan masyarakat tani sebagai sebagai berikut, yakni: (1) satuan keluarga

(rumah tangga) petani adalah satuan dasar dalam masyarakat desa yang

berdimensi ganda; (2) petani hidup dari usahatani dengan mengolah tanah (lahan);

(3) pola kebudayan petani berciri tradisional dan khas; (4) petani menduduki

posisi rendah dalam masyarakat, mereka adalah “orang kecil” terhadap

masyarakat diatas desa.

10

Sementara Kurtz (2000) menjabarkan empat dimensi definisi petani yakni,

Pertama, konsepsi minimalis yang memandang petani sebagai “pengolah tanah”

di pedesaan. Kedua pendekatan antropologi yang menyatakan komunitas petani

yang bercirikan perilaku budaya yang berbeda dengan pola budaya “urban”.

Ketiga pendekatan ekonomi moral yang menyatakan petani tersubordinasi kuat

oleh kekuasaan dari luar. Keempat tradisi Marxian yang menganggap petani

merupakan kombinasi dari tiga dimensi, yakni pengolah tanah, komunitas

tersubordinasi dan dimensi penguasaan/pemilikan lahan yang diolah petani. Dan

kelima, konsepsi Weberian yang memandang petani sebagai kombinasi dari

keempat dimensi sebelumnya. Analisa Shanin (1984) dan Moore (1966) tentang

ciri masyarakat petani adalah contoh dari pendekatan Weberian ini. Hal yang

mesti digariskan bahwa konsep peasant juga berlaku bagi komunitas nelayan

seperti yang digunakan oleh Redfield.

Menurut Chayanov, yang terjadi pada masyarakat pedesaan bukanlah

diferensiasi sosial seperti apa yang diyakini oleh penganut Marxian ortodoks

melainkan yang terjadi adalah diferensiasi demografis (Kerblay 1971) sehingga

sekelompok keluarga-tani tidak dapat menduduki posisinya dalam satu stratum

dalam masyarakat secara mapan; atau bahkan tak cukup lama untuk dapat

mengkonsolidasikan dirinya sebagai suatu kelas dalam arti suatu rumah tangga

petani dapat menjadi kaya pada suatu waktu dan dapat menjadi miskin kemudian

atau sebaliknya. (Wiradi 1993)

2.2. Usahatani di Pedesaan

Memahami Usahatani di pedesaan dapat digolongkan dalam dua kategori

perspektif utama, yakni ekonomi neo-klasik dan ekonomi politik Marxian. Selain

dua kategori tersebut, perspektif neo-populis turut menyediakan berbagai

argumentasi yang berbeda terhadap dua perspektif sebelumnya. Menurut Ellis

(1993), perpsektif neo-klasik bersandar pada individu baik perusahaan, konsumen,

maupun rumah tangga sebagai unit ekonomi dengan memisahkan aspek sosial dan

politik dengan aktivitas ekonomi. Sementara, pada perspektif Marxian, antara

ekonomi dan sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.

11

Menurut Wiro (1999), studi mengenai ekonomi rumah tangga pada

prinsipnya berkenaan dengan pengkajian tentang struktur kompleks dan perilaku

dari suatu rumah tangga yang meliputi struktur demografi, proses pengambilan

keputusan, alokasi sumber daya, pola nafkah, dan pembagian kerja dalam rumah

tangga. Berdasarkan tradisi neo-klasik, model ekonomi rumah tangga dibagi

dalam dua tipe, yakni the unitary model of household behaviour dan collective

model of household behaviour. Kedua tipe tersebut bersandar pada teori pilihan

konsumen (the consumer choice theory). Pada teori pilihan konsumen

mengasumsikan bahwa seluruh unit rumah tangga bersifat rasional dimana

penilaian terhadap waktu, jenis barang yang diproduksi dan dikonsumsi

ditentukan oleh mekanisme pasar.

Asumsi yang terdapat pada the unitary model of household behaviour,

keputusan dalam menentukan tujuan ditentukan bersama oleh anggota keluarga

dengan kata lain seluruh anggota rumah tangga memiliki preferensi yang sama

terhadap utilitas. Selain itu, rumah tangga tidak hanya dipandang sebagai unit

satuan konsumsi melainkan juga berindak sebagai produsen. Dalam konteks ini,

karakteristik utama dari model ini adalah rumah tangga yang harmonis atau tidak

mengakomodir adanya konflik dalam rumah tangga. Tipe collective model of

household behaviour, lebih menekankan keberadaan individu dalam anggota

rumah tangga. Tipe ini sering juga disebut sebagai pruralistic decision-making

within familiy. Berbeda dengan tipe sebelumnya, tipe collective model of

household behaviour berasumsi bahwa dalam setiap anggota rumah tangga tidak

memiliki preferensi yang sama terhadap fungsi utilitas (Wiro 1999).

Sementara Ellis (2000) mengartikan rumahtangga sebagai tempat di mana

ketergantungan sosial dan ekonomi antara kelompok dan individu terjadi secara

teratur. Rumahtangga diartikan sebagai kelompok sosial yang tinggal di satu

tempat, berbagi makanan yang sama, membuat keputusan bersama mengenai

alokasi sumberdaya dan pendapatan. Sebagai suatu unit sosial ekonomi,

rumahtangga memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut: (a) alokasi sumberdaya yang

memungkinkan untuk memuaskan kebutuhan rumahtangga, (b) jaminan terhadap

berbagai tujuan rumahtangga, (c) produksi barang dan jasa, (d) membuat

keputusan atas penggunaan pendapatan dan konsumsi, (e) fungsi hubungan sosial

12

dan hubungan dengan masyarakat luar, dan (e) reproduksi sosial dan material dan

keamanan sosial terhadap anggota rumahtangga.

Sementara Chayanov, menyatakan bahwa teori ekonomi modern (kapitalis)

tidak dapat diterapkan untuk menganalisis masyarakat petani pedesaan.

Menurutnya prinsip ekonomi modern (kapitalistik) adalah sistem ekonomi yang

kompleks dimana unsur penyusunnya terdiri dari harga, modal, upah, bunga dan

sewa yang saling berhubungan secara fungsional. Apabila satu unsur hilang maka

konsepsi ekonomi modern itu dengan sendirinya runtuh. Masyarakat petani

dengan demikian harus diperlakukan sebagai suatu sistem ekonomi yang memiliki

rasional tersendiri (a specific type of economy) dimana motif utama aktivitas

ekonomi keluarga lebih kepada mengamankan kebutuhan subsistensi bukan

mengejar keuntungan dan sumber tenaga kerja berasal dari keluarga (peasant

ownerships without hired labour) (Wiradi 1993).

Mengikuti Sajogyo (2006), agenda modernisasi pertanian di Indonesia

berpangkal dari dua tipe ekonomi usahatani (satuan rumah tangga), sumberdaya

pedesaan yakni sektor pertanian pangan (padi) dan sebagian lain, khususnya di

luar Jawa pertanian komersil berorientasi ekspor. Pada tipe yang pertama dibebani

tugas untuk menyediakan kebutuhan pangan dan sebagai penopang agenda

industrialisasi nasional. Sementara pada tipe yang kedua dibebani oleh

kepentingan devisa negara bersama perluasan dan pembaharuan sub sektor

perkebunan. Dengan motif mengejar pendapatan devisa negara, pemerintah

dengan berbagai program dalam semangat ‘revolusi hijau’ melakukan intervensi

program peningkatan produktifitas pertanian secara luas seperti program Bimas,

akses terhadap kredit, introdusir teknologi dan sebagainya.

2.3. Masyarakat Perkebunan dan Kehutanan di Indonesia

Praktek-praktek pengelolaan sumberdaya agraria di negara berkembang

seperti Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang praktek-praktek

warisan kolonial oleh negara agraris Barat (Eropa) di negeri jajahan. Dalam

bentuk yang paling nyata, pengelolaan sumberdaya lahan pertanian yang mewarisi

13

relasi kolonial adalah kehadiran perusahaan perkebunan dan kehutanan, baik milik

negara maupun swasta.

Gerakan kolonialisme yang didukung oleh perkembangan kapitalisme

agraris Barat, memandang tanah jajahan menjadi sumber kekayaan bagi negara

induk. Tersedianya tanah dan tenaga kerja murah yang melimpah di negara

jajahan, memungkinkan untuk dilakukan eksploitasi produksi pertanian yang

menguntungkan bagi pasaran dunia. Sistem perkebunan dalam hubungan ini

dipandang sebagai cara yang tepat untuk diterapkan. Pelaksanaan sistem

perkebunan dimulai dengan melalui pembukaan penanaman modal dan teknologi

dari luar, dan memanfaatkan tanah dan tenaga kerja yang tersedia di daerah

jajahan. Pembukaan perkebunan, menimbulkan lingkungan baru, yaitu lingkungan

perkebunan. Lingkungan perkebunan ini biasanya dibentuk oleh kesatuan lahan

penanaman komoditi perdagangan, pusat pengolahan produksi (pabrik), dan

komunitas permukiman penduduk yang terlibat dalam kegiatan perkebunan.

Dalam perjalanannya, kehadiran komunitas perkebunan di tanah jajahan,

melahirkan lingkungan yang berbeda dengan lingkungan setempat baik dari segi

lokasi, tata ruang, ekologi, maupun organisasi sosial dan ekonomi. (Kartodirjo dan

Suryo 1991)

Secara topografis, perkebunan sering dibangun di daerah yang subur, baik

yang ada di daerah dataran rendah maupun yang ada di daerah dataran tinggi.

Tanaman yang dibudidayakan homogen (komoditi ekspor), dan berbeda dengan

aturan tanaman pertanian subsisten setempat. Demikian pula organisasi dan sistem

kerja, serta proses produksinya. Bentuk dan orientasi lingkungan perkebunan yang

lebih tertuju ke dunia luar, menjadikan lingkungan perkebunan seolah-olah

terpisah dari lingkungan agraris setempat. Lebih-lebih karena perkebunan

memiliki teknologi yang maju, maka perbedaan dengan lingkungan sekitarnya

semakin menonjol. Karena itu kehadiran sistem perkebunan di lingkungan

masyarakat agraris di tanah jajahan atau negara-negara berkembang, dianggap

telah menciptakan tipe perekonomian kantong (enclave economics) yang bersifat

dualistik (dualistic economy). Dualisme perekonomian kantong timbul sebagai

akibat dari adanya sektor-sektor perekonomian yang berbeda tingkat produktivitas

dan orientasi pemasarannya, akan tetap hidup secara berdampingan. Di satu pihak,

14

perkebunan muncul sebagai kegiatan ekonomi yang memiliki tingkat

produktivitas tinggi dan menghasilkan produksi untuk ekspor, di lain pihak, sektor

kegiatan ekonomi lainnya memiliki tingkat produktivitas rendah dan

menghasilkan produksi untuk pasaran dalam negeri. (Kartodirjo dan Suryo 1991)

Masyarakat perkebunan merupakan miniatur masyarakat kolonial pada

umumnya, serta menunjukkan karakteristik yang sama, antara lain: (1) pluralistik,

(2) tersegmentasi menurut golongan etnik, (3) rasialistik, (4) dualistik berdasarkan

sistem ekonomi Eropa dan non-Eropa, (5) dominasi sosial, ekonomi dan politik

kaum kolonial; berdasarkan itu kesemuanya juga terdapat perbedaan gaya hidup.

Apabila pada umumnya gaya hidup menunjukkan status golongan dalam

masyarakat, maka gaya hidup sendiri menjadi simbol posisi sosial golongan

tertentu, termasuk kekayaan, kekuasaan serta kewibawaan. (Kartodirjo dan Suryo,

1991)

Mengutip pendapat Beckford (1972), White (1990) mengungkapkan,

perkebunan (plantation) atau perusahaan kehutanan besar (agro-industri)

merupakan penyebab utama keterbelakangan dan kemiskinan kronis (persistent

poverty) karena dalam bentuk klasiknya ditandai oleh : 1) tingkat upah yang

sangat rendah dibanding apa yang berlaku pada sektor-sektor lain (tidak

menimbulkan consumption/demand lingkages yang berarti dengan sektor-sektor

lain); 2) adanya sistem produksi, pengolahan dan pengemasan yang terintegrasi

vertikal, sehingga hanya sedikit membutuhkan masukan dari unsur-unsur luar

(kurang memiliki production lingkages dengan ekonomi sekitarnya) dan; 3)

karena bentuk pemilikannya, menunjukkan pembocoran (leakage) dimana

keuntungan (surplus) keluar dari perekonomian lokal sehingga baik perkebunan

yang modern dan serba efisien pun tetap tidak akan mendukung pengembangan

serta akumulasi pada wilayah dimana perkebunan berada (Sajogyo dan Tambunan

1990).

Selain perkebunan, penguasaan lahan kehutanan oleh negara maupun swasta

merupakan salahsatu jejak praktek-praktek kolonial di Indonesia. Dalam lintasan

sejarah, menjelang akhir abad ke 19, sebuah konsep pengelolaan hutan yang

berkelanjutan oleh negara – dan demi keuntungan negara sendiri – mulai

15

mempengaruhi para pengelola hutan-hutan Jawa sementara konsep ini

memapankan diri di negeri-negeri lain. Dinas Kehutanan, yang berawal sebagai

perusahaan produksi, mengembangkan perannya selaku pelindung dengan

memperluas kegiatan pengawasan dan memformalkan suatu ideologi yang baru

muncul, yakni konservasi oleh negara. Undang-undang Kehutanan Tahun 1927

adalah kulminasi dari setengah abad kegiatan “coba dan ralat”. Undang-undang

itu mewakili penegakan suatu ideologi legitimasi negara untuk menguasai

seperempat luasan tanah pulau Jawa (Pellusso 2008). Lewat pengamatannya di

wilayah Cibodas pada pra-kemerdeakaan 1945, Sajogyo (1976) mengungkapkan,

pelepasan desa dari wilayah hutan yang dikuasai pemerintah khususnya di Jawa

Barat telah berlangsung baik lewat aturan tanam paksa komoditas ekspor seperti

kopi yang berakhir pada tahun 1915 maupun yang diperkuat oleh UU, patok-patok

batas dan polisi kehutanan.

Selain itu, wilayah hutan di Jawa yang terletak di daerah perbukitan dan

pegunungan juga telah banyak diserahkan pengelolaannya berikut hak-hak

istimewa kepada pihak perusahaan perkebunan teh, kopi, dan sebagainya. Kedua

kondisi tersebut turut mempengaruhui pertumbuhan desa-desa di Jawa. Adapun

hubungan yang sah antara warga desa desa dengan pihak penguasa kehutanan

tersalurkan dalam bentuk ikatan buruh tumpang sari atau buruh biasa kehutanan

dimana kondisi yang demikian ini sebagian banyak tak berbeda dengan

perkebunan besar. Sehingga tidak mengherankan, petani di lapisan bawah (petani

gurem dan buruh tani) yang paling sering memanfaatkan peluang pekerjaan di

hutan (Sajogyo 1973).

Penetrasi perusahaan kehutanan dan perkebunan negara tidak hanya berhasil

melepaskan petani (direct producer) dari lahan garapan mereka akan tetapi turut

merubah hubungan-hubungan produksi agraris dan rejim ketenagakerjaan di

pedesaan. Seperti yang diungkapkan Pelluso (2008), sarana-sarana penguasaan

atas tenaga kerja terus berproses dan bergeser sejak abad ke 17 hingga abad ke 20,

dari persewaan hak memanen hutan dan hak menggunakan tenaga kerja penduduk

hutan, lalu ke kewajiban menyetor kayu, ke pertukaran jasa kerja dengan

pembayaran sewa tanah, sampai dengan peningkatan pungutan pajak dan

pengaturan kerja upahan di hutan.

16

Menjelang pertengahan abad kedua puluh, penduduk desa tidak dapat lagi

melarikan diri dari beratnya kehidupan ke bagian-bagian yang jauh dan terpencil

di dalam hutan, terlebih karena semakin hilangnya tempat yang jauh dan terpencil

di dalam hutan. Penduduk desa mengandalkan cara sembunyi untuk memperoleh

bahan bangunan dan bahan untuk memasak makanan; ada yang menerima petak

kecil lahan peremajaan hutan untuk digarap sebagai pertanian sementara. Para

pencocok tanam pedesaan yang bekerja di hutan menyubsidi investasi kehutanan

negara dengan menghasilkan sendiri pangan mereka, entah itu dari tanah mereka

sendiri atau dari petak-petak reforestrasi (reboisasi) yang dapat mereka akses

untuk sementara waktu. (Pelluso 2008).

2.4. Kemiskinan, Marginalisasi dan Ekstraksi Surplus di Pedesaan

Studi kemiskinan merupakan salahsatu tema yang terus bergulir di ranah

akademik maupun pengambil kebijakan. Hingga saat ini, para ahli dari beragam

perspektif terus mengembangkan dan memperluas definisi kemiskinan berikut

indikator yang menyertainya. Salah definisi kemiskinan adalah kondisi kehidupan

seseorang yang didasarkan atas tingkat kecukupan subsistensi minimun seperti

kebutuhan nutrisi dan kebutuhan dasar lainnya serta penerimaan seseorang di

lingkungan sosialnya. Definisi semacam ini sering diistilahkan sebagai

kemiskinan absolut (Lok-Dessallien 2001).

Kemiskinan juga dapat dilihat dari hubungan antara tingkat kecukupan

pangan (status kelaparan) dan akses terhadap sumber pangan, sebagaimana yang

diungkapkan Sen (1982) bahwa, walaupun ketersediaan pangan melimpah,

kelaparan akan terjadi sebagai akibat dari ketidakmampuan seseorang

mendapatkan hak atas pangan (Starvation is seen as the result of his inability to

establish entitlement to enough food). Selain itu, Sen (1999) juga menunjukkan,

bahwa kemiskinan memiliki kaitan erat dengan Capability Deprivation, yaitu

tercabutnya (hilangnya) kemampuan seseorang dalam mengakses hak-hak dasar

seperti kesehatan, pendidikan, pangan, dan perumahan. Oleh karena itu, untuk

mengentaskan kemiskinan dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan/akses

kepada orang miskin terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar mereka.

17

Kemiskinan juga dapat dipandang sebagai akibat dari adanya relasi-relasi

sosial yang terdapat di suatu masyarakat. Kemiskinan yang demikian ini disebut

sebagai kemiskinan struktural. Mengikuti pendapat Soemardjan (1980),

kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita suatu golongan masyarakat

karena struktur sosial masyarakat itu mengakibatkan mereka tidak dapat ikut

menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.

Kemiskinan struktural mengacu pada ketimpangan-ketimpangan sosial yang telah

meresapi struktur dan lembaga-lembaga sosial dan menjelma didalamnya

(Winangun 2004). Dari definisi kemiskinan struktural tersebut, maka akan

mengantarkan kita pada cara memahami persoalan kemiskinan tidak cukup hanya

dilihat dari persoalan ekonomi semata. Persoalan kemiskinan memiliki

keterhubungan erat dengan berbagai proses peminggiran sosial (social exclusion)

dan marginalisasi yang dialami individu maupun kelompok.

Pada paradigma pembangunan lama, kemiskinan selalu dilihat dengan

ukuran atau variabel ekonomi yang statis semata dan terkadang tidak sesuai

dengan kondisi pedesaan Indonesia. Cara pandang demikian ini telah

menghilangkan makna kuasa dan proses/sejarah dalam memahami kemiskinan.

Mengikuti pendapat Mosse (2007), kemiskinan merupakan hasil dari sejarah dan

dinamika kontemporer kapitalisme yang meliputi proses-proses akumulasi,

perampasan, diferensiasi dan eksploitasi. Selain itu, yang juga tidak kalah

pentingya adalah perlunya pemahaman tentang mekanisme sosial, kategori dan

identitas yang melanggengkan ketidaksetaraan dan menstabilkan atau

memfasilitasi hubungan eksploitasi yang hadir secara nyata. Dengan definisi yang

demikian, maka pendekatan metodologis individualisme dan model pilihan

rasional neo-liberal harus digeser dengan lebih menekankan pentingnya proses

sosial dan hubungan kekuasaan.

Murray (2001) mengungkapkan, kebanyakan masyarakat yang tinggal di

daerah pedesaan maupun perkotaan di negara-negara miskin, terlibat dalam

perjuangan (pergolakan) yang tak henti-hentinya untuk mengamankan mata

pencaharian dalam menghadapi situasi sosial, ekonomi dan politik yang sering

kali merugikan mereka. Dua titik sentral untuk memahami perjuangan semacam

itu adalah, Pertama adalah situasi dan alasan (penyebab) kemiskinan harus

18

dipahami melalui analisis rinci dari relasi sosial dalam konteks sejarah tertentu:

antara mereka yang memiliki lahan dengan mereka yang tidak memiliki lahan,

antara rumah tangga kaya dan miskin; antara laki-laki dan perempuan; antara

rumah tangga di pedesaan dan di perkotaan dan antara lembaga pasar dan negara.

Kedua adalah cara-cara (pola/strategi) mata pencaharian yang biasanya berlaku

baik di dalam rumah tangga maupun antara rumah tangga yang sangat beragam.

Sementara menurut perspektif ketergantungan dan keterbelakangan awal,

ketimpangan pertukaran komoditi dan praktek–praktek warisan kolonial lainnya

disebut sebagai faktor kunci yang menjelaskan distribusi kemiskinan dan

keterbelakangan yang terjadi di abad ke-20 (Smith, 2005). Adapun pengaruh

penetrasi kapital ke pedesaan, Luxemberg (2003) mengungkapkan bahwa

pembangunan (penetrasi) kapitalisme ke wilayah pedesaan membutuhkan suatu

suasana lingkungan yang memperagakan bentuk-bentuk produksi non-kapitalistik

(natural economy) sebagai pasar dari surplus yang dihasilkan oleh para pemilik

modal, sumber bahan baku dan penyedia cadangan tenaga kerja dalam sistem

upah (buruh lepas).

Dalam hal ini, tema akumulasi primitif (primitive accumulation) yang

banyak terdapat pada literature Marxian hadir dalam arena debat teoritik

kontemporer (Bond 2007, Bonefeld 2001, De Angelis 2000, Perelman 2001).

Kemiskinan dan marginalisasi petani di pedesaan dipandang sebagai sebuah

akibat ekspansi kapitalisme ke pedesaan. Ekspansi ini pada prakteknya

menyebabkan perubahan relasi besar-besaran (great transformations) di pedesaan

yakni, proses pelepasan petani dari alat-alat produksi (enclosure) dan kemudian

menjadi tenaga kerja bebas (upahan). Proses akumulasi semacam ini tidaklah

berlangsung sekali jadi pada tahap awal perkembangan kapitalisme semata

sebagaimana yang diyakini oleh para penganut Marxian klasik, namun merupakan

bagian tak terpisahkan dari cara produksi kapitalis itu sendiri. Proses ekspansi

kapitalisme semacam inilah yang melahirkan proses marjinalisasi dan

terbentuknya kemiskinan pada masyarakat pedesaan (Shohibuddin dan Soetarto

2010). De Angelis (2004: 58) mengungkapkan, “… there is no enclosure of

commons without at the same time the destruction and fragmentation of

communities.”

19

Selain berlangsung “dari atas” berkat fasilitasi dan penetrasi ekonomi dari

negara (baik negara kolonial maupun pasca kolonial), ekspansi kapitalisme

sebenarnya juga bisa berlangsung “dari bawah”, yakni melalui relasi-relasi

agraris di antara anggota masyarakat sendiri menyangkut perebutan akses dan

kontrol atas tanah, modal dan tenaga kerja. Secara singkat, proses akumulasi dari

bawah di antara masyarakat sendiri ini pada dasarnya terjadi melalui apa yang

disebut sebagai “diferensiasi agraria”. White (1998: 20) mendefinisikan proses

diferensiasi agraria ini adalah, “… suatu perubahan yang kumulatif dan permanen

dalam berbagai cara di mana kelompok-kelompok yang berbeda di dalam

masyarakat desa—dan beberapa di luarnya—mendapatkan akses kepada hasil-

hasil dari jerih payah tenaga kerjanya sendiri ataupun orang lain, menurut

perbedaan penguasaan mereka atas sumber-sumber produksi, dan seringkali …

menurut ketimpangan yang kian meningkat dalam hal akses atas tanah”. Wiradi

(2010) mengutarakan, proses “diferensiasi kelas” di pedesaan Jawa yang ditandai

dengan:

1. Proses pemusatan penguasaan tanah, baik melalui sewa-menyewa, gadai-

menggadai, maupun melalui pemilikan dengan pembelian,

2. Tingkat ketunakismaan bertambah tinggi. Kesempatan para tunakisma

untuk dapat menguasai tanah melalui sewa-menyewa dan bagi hasil kian

terbatas karena ada kecenderungan para pemilik tanah lebih suka menggarap

sendiri tanahnya dari pada menggarapkan (sewa, bagi hasil) kepada orang

lain.

3. Walaupun umumnya proposisi pendapatan dari sektor nonpertanian lebih

besar daripada yang bersumber dari sektor pertanian, namun luas pemilikan

tanah berjalan sejajar dengan tingkat kecukupan. Ini berarti bahwa

jangkauan terhadap sumber-sumber di luar sektor pertanian lebih dimiliki

para pemilik tanah luas daripada pemilik tanah sempit atau lebih-lebih para

tunakisma.

4. Pada strata pemilikan tanah yang sempit dan tunakisma terdapat proporsi

keluarga miskin yang lebih besar. Dengan demikian berarti bahwa

20

pemilikan tanah tetap merupakan faktor yang turut menentukan tingkat

hidup di pedesaan.

Dengan demikian, pengkajian kemiskinan dan marginalisasi petani di

pedesaan terkait dengan proses-proses dan relasi-relasi penciptaan dan ekstraksi

atau perampasan surplus (surplus appropriation) antara pelaku ekonomi di

pedesaan, seperti produsen langsung (petani), tuan tanah, pemilik modal,

pedagang perantara, dan sebagainya. Mengikuti pendapat Deere dan de Janvry

(1979) dalam Ellis (1993), terdapat 7 (tujuh) mekanisme yang menjelaskan

bagaimana surplus (nilai lebih) yang dihasil petani ditangkap (diserap) oleh

pelaku ekonomi (individu, kelompok maupun negara). Ketujuh mekanisme

tersebut, tiga diantaranya melalui sewa (via rent), tiga selanjutnya melalui pasar

(via market) dan sisanya melalui negara (via state). Adapun ketujuh mekanisme

yang dimaksud Deere dan de Janvry (1979) adalah: (1) sewa jasa tenaga kerja

(rent in labour service), (2) sewa atas dasar kebaikan (rent in kind), (3) sewa

dalam bentuk tunai (rent in cash), (4) perampasan nilai surplus melalui upah

(appropriation of surplus value via the wage), (5) perampasan nilai surplus

melalui harga (appropriation of surplus value via the prices), (6) perampasan nilai

surplus melalui bunga tinggi (appropriation of surplus value via the usury), dan

(7) pajak yang dikenakan kepada petani (peasant taxation). (Ellis 1993)

Mengikuti White (2009), terdapat 4 proses kunci yang perlu dipahami

dalam memahami ektraksi surplus di pedesaan yakni, 1) Produksi rumah tangga

(home production); 2) produksi tenaga kerja upahan (wage labour production); 3)

sirkulasi penawaran dan permintaan (supply and demand circulation); dan 4)

reproduksi sosial dan diferensiasi agraris (reproduction and agrarian

differentiation). Lebih lanjut, menurut White (2009), petani bisa terlibat dalam

berbagai mekanisme peralihan nilai-lebih kepada pelaku-pelaku lain yang bukan

produsen seperti, sewa (sewa kontan; bagi-hasil; wajib kerja), hubungan

perupahan, mekanisme nilai-tukar dalam pembelian dan/atau penjualan komoditi,

pajak (berupa tanah, uang, natura, dan tenaga kerja), bunga pinjaman (uang, hasil,

tenaga kerja).

21

Sementara Friedland dan kawan-kawan, lewat pengatannya terhadap dalam

rantai komoditas selada dan tomat California yang bersandar pada perspektif

Labor Proccess Marxis, meletakkan sebuah kerangka analitik dalam tiga kategori

kunci yakni, moda produksi, hubungan sosial produksi, dan pembagian kerja

teknis. Pada selanjutnya, Friedland bergerak ke analisis pertanian yang lebih

konkret yang diuraikan melalui "lima fokus" untuk analisis sistem komoditi,

yakni: praktek produksi, organisasi petani, pasar tenaga kerja, ilmu pengetahuan,

serta pemasaran dan sistem distribusi.

Di samping aspek-aspek utama tersebut di atas, terdapat aspek-aspek lain,

yaitu perbankan dan perkreditan. Peraturan dan program pemerintah mengenai

perbankan dan perkreditan dilihat sebagai suatu cara yang dengan itu faktor-faktor

eksternal berusaha mempengaruhi atau mengintervensi proses-proses tersebut di

atas, untuk sesuatu tujuan tertentu. Melalui mekanisme sistem perbankan dan

perkreditan, surplus yang diciptakan oleh seseorang atau suatu kelompok, ataupun

badan usaha, dapat beralih menjadi modal bagi orang lain, kelompok lain, ataupun

badan lain, baik di dalam sektor dan lokasi yang sama maupun yang berbeda.

Dengan demikian, sistem perbankan dan perkreditan dapat dipandang sebagai

mekanisme yang mewujudkan mobilitas modal, baik secara spatial, secara

sektoral, maupun secara sosial (antara lapisan, antara kelompok etnis, antara

gender, dan sebagainya). (Wiradi et al 1991)

Secara tradisional kebutuhan akan pinjaman atau kredit dalam suatu

masyarakat berjalan sejajar dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam

konteks masyarakat pedesaan, Boeke (1983) mencatat bahwa masyarakat petani

memiliki dua kebutuhan, yakni kebutuhan ekonomis dan kebutuhan sosial. Dalam

konteks yang sama Wolf (1983) juga menyebutkan bahwa untuk dapat hidup

layak, seorang petani di negara berkembang harus memenuhi tiga macam

kebutuhan. Pertama, replacement funds, yaitu dana yang dibutuhkan petani untuk

mengganti peralatan produksi dan konsumsi.

Kedua, ceremonial funds, yaitu dana yang dibutuhkan petani untuk

membiayai kegiatan-kegiatan sosial. Terakhir, funds of rent, yaitu dana yang

dibutuhkan petani untuk membayar sewa tanah apabila tanah tidak memiliki tanah

22

sendiri. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini, tidak dapat ditanggulangi dengan

sumber-sumber yang dikuasai sendiri, umumnya dipenuhi dengan memanfaatkan

mekanisme pinjam-meminjam yang lazim berlaku. Pinjaman yang diperoleh

biasanya dibayar dalam tiga bentuk, yakni tenaga kerja, hasil produksi, atau uang.

(Gunardi et al 1994)

Gejala yang sama juga ditemukan oleh Djojohadikusumo (1989) melalui

penelitiannya tentang masalah perkreditan pada masa depresi tahun 1930-an. Pada

era kolonial tersebut, Djojohadikusumo menyebutkan empat bentuk peminjaman

yang berlaku umum pada masyarakat. Pertama, pinjaman dalam bentuk padi.

Pinjaman ini dimanfaatkan untuk benih atau dikonsumsi sendiri yang akan

dibayar lagi sesudah panen dengan padi sebanyak satu setengah hingga dua kali

padi yang dipinjam. Kedua, pinjaman uang. Pinjaman ini dikembalikan setelah

panen ditambah dengan sejumlah padi yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketiga,

pinjaman uang yang dibayar kembali dengan kerja yang dianggap sesuai dengan

jumlah pinjaman.

Keempat, pinjaman uang yang harus dibayar kembali dengan uang ditambah

bunga yang telah ditetapkan. Lebih jauh juga dikatakan bahwa jenis-jenis

pinjaman ini mempunyai akibat-akibat yang sangat penting. Apabila pinjaman itu

membengkak, orang yang berutang hanya dapat membebaskan diri dari pinjaman

pokok dan bunganya dengan cara antara lain menyewakan sebagian tanahnya –

terkadang juga seluruhnya – kepada pemberi pinjaman dalam jangka waktu

tertentu. Setelah habis masa sewa tanahnya, pinjaman dianggap lunas atau

menggadaikan tanah kepada pemberi pinjaman.

Dari berbagai uraian diatas memperlihatkan adanya hubungan yang khas di

antara tiga polar, yaitu kebutuhan hidup (sosio-ekonomi), sumberdaya yang

dikuasai (tanah, tenaga kerja, dan lain-lain.), dan pinjaman (natura ataupun uang

tunai). Kebutuhan hidup akan dipenuhi dengan memanfaatkan sumberdaya atau,

apabila dianggap tidak mencukupi, mekanisme pinjam-meminjam. Pinjam-

meminjam ini pun disandarkan pada nilai sumberdaya yang dikuasai. Dengan kata

lain, hubungan tiga polar ini sedapat mungkin akan dipertahankan pada suatu

tingkat kesetimbangan tertentu. Apabila tingkat kesetimbangan ini terganggu,

23

maka terganggu pula kesetimbangan ekonomi rumah tangga penerima pinjaman.

(Djojohadikusumo, 1989)

2.5. Etika Subsistensi dan Upaya Protes Petani

Menurut Scott (1981), kekhawatiran akan kekurangan pangan yang

menghinggapi komunitas petani di era pra-kapitalis merupakan faktor utama

tumbuhnya etika susbsitensi. Etika subsistensi petani tidak hanya memfokuskan

kepada kegiatan ekonomi semata akan tetapi secara inheren memiliki dimensi

normatif atau moral. Sebagai suatu prinsip moral yang berlaku, etika subsistensi

berakar pada kebiasaan (tradisi) ekonomi yang didalamnya terdapat mekanisme

pertukaran-pertukaran sosial diantara anggota masyarakat petani. Dalam bentuk-

bentuk kelembagaan yang terdapat di petani subsisten, seperti pola relasi patron-

klien, mekanisme distribusi dan resiprositas, etika subsistensi menyediakan

sebuah sistem penjaminan yang dinamakan asuransi sosial. Asuransi sosial

memainkan peran vital sebagai faktor integritas petani dalam menghadapi resiko

pertanian melalui sistem pertukaran sosial.

Peran moral ekonomi yang lahir dari etika subsitensi petani, menurut Scott,

telah melahirkan aktivitas protes dari petani subsisten. Terdapat dua tema sentral

gerakan protes petani, pertama, pungutan atas penghasilan petani oleh tuan tanah

(patron) dan negara tidaklah sah apabila dianggap pungutan tersebut melampaui

tingkatan subsistebsi minimal menurut ukuran kultur lokal dan kedua, sumberdaya

bersama (commons) seperti tanah harus didistribusikan secara sedemikian rupa

agar setiap petani terjamin subsistensinya. Lebih lanjut, Scott berpendapat, dua

transformasi yang terjadi di era kolonialisme secara langsung telah mengikis pola-

pola asuransi sosial petani. Menurut Wolf dalam Scott (1981), transformasi yang

tersebut adalah pengaruh kapitaslisme Atlantik Utara serta berkembangnya negara

modern dibawah payung kolonialisme. Dampak adanya transformasi tersebut

menyebabkan sumberdaya seperti tanah dan tenaga kerja menjadi sebuah

komoditas yang hanya dilihat dari sisi nilai tukar ekonomi kapitalistik atau

mekanisme pasar.

24

Scott menyoroti peran negara yang tampil memainkan peran

administratifnya dengan memungut pajak pendapatan, tunjangan sosial bagi petani

tanpa memperhatikan kondisi subsistensi petani yang semakin memprihatinkan.

Selain itu, dampak dari penetrasi pasar mendorong setiap individu untuk

melakukan rasionalisasi aktivitas ekonominya dengan memprioritaskan

keuntungan masksimum. Secara tegas, Scott berpendapat, komersialisasi sektor

agraris di era ekonomi pasar secara nyata melenyapkan bentuk-bentuk asuransi

sosial yang berlaku di komunitas petani, atau dengan kata lain paradigma pasar

telah mengikis mekanisme-mekanisme pemerataan yang berlaku di desa.

Berbeda dengan Scott, pandangan Popkin (1986) lebih optimis terhadap

prospek masa depan petani dengan adanya mekanisme pasar. Asumsi para

ekonom moral yang mengatakan hanya para petani kaya yang dapat melakukan

inovasi demi mengejar keuntungan maksimal sehingga peran negara menjadi

dominan dalam melindungi taraf susbsistensi petani dibantah oleh Popkin.

Menurutnya, stratifikasi ditataran petani lebih ditimbulkan karena perbedaan di

komunitas petani dalam mendapatkan akses di pemerintahan dibandingkan

dengan adanya penetrasi pasar.

Popkin berpendapat, kekhawatiran kaum moralis akan tuna kuasanya petani

atas akses dan kontrol akibat pasar justru memperlihatkan bahwasanya petani

lebih memiliki kesempatan untuk mengontrol sumberdaya ketika mereka

dibebaskan memasuki pasar akibat surplus yang mereka peroleh. Tindakan

rasional individu-individu dalam menentukan pilihan dalam kegiatan ekonomi

(pola produksi, konsumsi dan distribusi) menjadi prasyarat utama untuk keluar

dari kebergantungan. Memberikan peran lebih kepada mekanisme pasar dapat

membebaskan petani dari jeratan dominasi tuan tanah (patron klien). Dengan

adanya keleluasaan petani memasuki pasar secara langsung akan mempertinggi

posisi tawar petani di kalangan tuan tanah. Keberadaan pasar memberikan

alternatif nbanyak pilhan serta dapat memberikan kesempatan petani untuk

mendapatkan surplus dari produksi pertanian mereka. Relasi patron-klien yang

terbangun komunitas petani di era pra-kapitalisme sesungguhnya tidak menjamin

tingkat subsistensi petani akan tetapi justru memberikan legetimasi penguasaan

sumberdaya petani oleh patron. Selain menyediakan berbagai alternatif pilihan

25

kepada petani, peran pasar juga mendorong otonomi petani agar terbebas dari

dominasi tunggal (eksploitasi) patron.

Popkin berpendapat, sifat diadik dari relasi patron-klien tidaklah inheren

akan tetapi karena kemampuan patron dalam mengindividukan relasi yang

terbangun dengan klien sehingga secara tidak langsung menghambat kekuatan

proses tawar-menawar kolektif. Dalam hal ini, patron tidak hanya

menginvestasikan sumberdaya-sumberdaya klien dengan tujuan menjaga taraf

subsistensi akan tetapi juga menghamabat penegmbangan kreativitas petani yang

bisa merubah level keseimbangan kekuatan tawar petani. Untuk merubah pola

pertukaran antara patron dan petani dibutuhkan tindakan kolektif dari petani.

Untuk itu, peran ’orang luar’ dalam proses negosiasi atau tawar-menawar dengan

patron akan mendorong gerakan revolusi karena para petani didaerah subsisten

kurang memiliki kecenderungan untuk memperbaharui sistem kelembagaan

mereka sendiri.

2.6. Review Beberapa Studi Terkait

Studi mengenai kemiskinan dan marjinalisasi petani di Indonesia

merupakan salah satu tema yang terus bergulir terutama pada studi-studi tentang

dinamika masyarakat pedesaan berbasis agraris. Dalam lintasan sejarah,

setidaknya pasca kemerdekaan Indonesia, penelitian terhadap kondisi sosial-

ekonomi masyarakat pedesaan khususnya Jawa telah banyak dilakukan dari

berbagai disiplin ilmu dengan beragam fokus kajian seperti; distribusi pendapatan

rumah tangga petani (King dan Weldon, 1977, Mintoro 1984), upah dan tenaga

kerja di pedesaan (Husken 1979, White 1981, Soentoro 1984), penguasaan dan

kepemilikan lahan (Booth 1974, Wiradi dan Makali 1984), intesifikasi dan

mekanisasi pertanian (Siregar dan Nasution 1984), migrasi dan tekanan penduduk

(Hugo 1982), kelembagaan modal dan kredit pedesaan (Colter 1984), organisasi

dan struktur politik lokal hingga gerakan sosial pedesaan yang kesemuanya

memberikan gambaran situasi sosial-ekonomi pedesaan Indonesia.

Selain itu, beberapa hasil kajian tersebut bersandar pada konteks atau situasi

sosial, ekonomi dan politik yang melatarbelakangi lahirnya sebuah kebijakan

26

pembangunan pertanian dan pedesaan serta dampak dari pemberlakuan kebijakan

tersebut seperti; land reform (Utrecht 1969, 1973), program Bimas (Roekasah dan

Penny 1967, Partadiredja, 1969), revolusi hijau, transmigrasi, program PIR-BUN

(White 1996), Supra-Insus (Sawit dan Manwan 1991), program kredit usahatani

(KUT), inpres desa tertinggal (IDT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK)

dan yang saat ini sedang digalakkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat

Mandiri (PNPM Mandiri). Dari berbagai kajian tersebut pada akhirnya turut

melahirkan atau paling tidak mendorong debat teoritik yang lebih luas, lintas

aktor, wilayah (ruang), disiplin dan perspektif dalam memahami kondisi

kemiskinan dan marjinalisasi petani di pedesaan Inodenesia.

Diantara berbagai studi tersebut, terdapat simpul-simpul tematik yg turut

menjadi dasar pengambilan kebijakan pembangunan pertanian dan turut

mendorong perdebatan yang cukup luas dan intens. Dalam konteks ini, posisi

penilitian Geertz tahun 50an, Studi Dinamika Pedesaan/Survey Agro Ekonomika

(SDP/SAE) era 70an, penelitian kolaborasi PSP-LP IPB, ISS dan PPLH ITB akhir

tahun 80an serta riset aksi IDT yang dilakukan oleh P3R YAE era tahun 90an

merupakan salahsatu bentuk lintasan evolusi perkembangan studi kemiskinan di

pedesaan Indonesia. Hal yang perlu digaris bawahi, hasil studi SAE sebagai

lembaga penelitian yang berpusat di Bogor menurut beberapa pemerhati

kemiskinan dan pedesaan merupakan salahsatu hasil studi yang sangat

berpengaruh terhadap pemahaman kondisi pedesaan di Indonesia (de Vries 1969,

Strout 1985)

Studi Geertz di daerah pedesaan Jawa Timur pada tahun 1952-1954

menyimpulkan bahwa masyarakat pedesaan telah mengalami proses kemiskinan

berbagi (shared poverty) dan involusi. Dengan menggunakan ilustrasi kue yang

harus dipotong dan dibagi kian mengecil, Geertz berpendapat, akibat kelangkaan

sumber daya lahan dan meningkatnya jumlah penduduk (tenaga kerja), di

pedesaan Jawa telah terjadi apa yang ia sebut sebagai “kemiskinan berbagi”

(share poverty). Selanjutnya, dengan jumlah tenaga kerja di desa melimpah ruah

dan jumlah lahan yang tersedia terbatas sementara mereka (tenaga kerja di desa)

harus tertampung dalam pengerjaan sebuah lahan, kondisi inilah yang ia sebut

27

sebagai involusi.1 Akibatnya, kelembagaan yang mengatur tenaga kerja dan

sumberdaya agraria di desa semakin kompleks sehingga terjadi kemandegan

perkembangan desa.

Menurut Geertz, di pedesaan Jawa hanya terdapat rumah tangga yang

kecukupan dan kekurangan (Geertz 1984).2 Dalam hal ini, di pedesaan Jawa tidak

terjadi polarisasi (pengkutuban) antar warga desa.3 Gambaran masyarakat

pedesaan Jawa ala Gertz oleh sebagian para pemerhati masalah pedesaan

dianggap sebagai lukisan usang tentang desa atau lebih terjebak pada ingatan

romantisme tentang desa. Slogan, “mangan ora mangan asal kumpul” sering kali

dipakai sebagai untaian kalimat romantis dalam menggambarkan suasana

pedesaan kita di Indonesia. Faktanya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh

sekelompok peneliti yang tergabung SAE/SDP, PSP-LP dan Program Studi

Sosiologi Pedesaan IPB yang bermarkas di Bogor era 70-90an, akibat agenda

1 Konsep involusi dipinjam dari Goldenweiser yang menggunakan istilah tersebut guna menerangkan pola-pola kebudayaan yang sering terlihat pada masyarakat-masyarakat primitif yang, setelah mencapai apa yang tampaknya merupakan keadaan yang menentukan, bukan saja tidak mampu memantapkan ataupun mentransformasikan diri ke dalam suatu pola baru, tetapi malah, terus saja berkembang secara melingkar-lingkar ke dalam. Dalam bidang ekonomi konsep involusi ini menunjukkan suatu pola perubahan teknis di mana produksi pertanian ditingkatkan hanya dengan meningkatkan masukan tenaga kerja ke tiap bidang sawah. (Kano 1986) 2 Geertz menyatakan, “di bawah tekanan jumlah penduduk yang makin banyak dan sumber-sumber daya yang terbatas, masyarakat Jawa terbagi menjadi dua golongan, –yaitu golongan tuan tanah besar dan golongan setengah budak yang tertindas –sebagaimana halnya pada begitu banyak negara “berkembang” lainnya. Tetapi sebaliknya, masyarakat ini mempertahankan suatu tingkat homogenitas (keserbasamaan) sosial dan ekonomi yang cukup tinggi, dengan membagi kue ekonomi dalam potongan yang makin lama makin kecil, suatu proses yang pada bagian-bagian lain saya sebut “kemiskinan bersama”. Masyarakat bukannya terbagi dalam golongan kaya dan golongan miskin; yang ada –dalam bahasa kaum tani yang sedikit diperhalus –hanyalah golongan cukupan dan golongan kekurangan.Yang kita temukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur bukannya pemusatan kekayaan secara pesat serta terbentuknya kaum proletariat pedesaan yang terasing dan miskin seperti yang kita jumpai di begitu banyak daerah “terbelakang”, melainkan proses pembagi-bagian tanah dan harta penduduk secara hampir merata. Dengan demikian kaum tani boleh dikatakan dapat mempertahankan keseimbangan atau kesamaan di bidang agama, politik, sosial dan ekonomi dengan sesamanya, dan tingkat hidup mereka sama-sama merosot jauh”. (Kano, 1986) 3 Chayanov (1925) menyatakan, bahwasanya yang terjadi di pedesaan adalah diferensiasi demografis. Dengan menjaga keseimbangan antara tingkat konsumsi dan tenaga kerja yang berasal dari keluarga (consumer-labour balance), maka suatu unit rumah tangga tani suatu saat bisa jadi kaya atau jatuh miskin. Dalam kaitan ini, suatu unit rumah tangga petani belum cukup menjadi sebuah kekuatan kelas (Thorner 1966). Bandingkan dengan pandangan kaum Marxian ortodoks Rusia seperti Lenin yang berpendapat bahwa akibat masuknya kapitalisme ke pedesaan berdampak terjadinya diferensiasi kelas. (Ellis 1993)

28

modernisasi pertanian lewat revolusi hijau di pedesaan telah mengarah terjadinya

polarisasi di tingkat warga desa.4

Sebagai sebuah kritik, Sajogyo dalam Geertz (1984) menunjukkan sekitar

10 persen rumah tangga petani di desa memiliki atau menguasai kurang lebih 80

persen lahan garapan pertanian. Sisanya, sekitar 20 persen lahan di desa diolah

oleh 80 persen rumah tangga petani. Dengan kata lain, penelitian Geertz kurang

memperhatikan adanya struktur ketimpangan kepemilikan dan penguasaan lahan

yang pada akhirnya bermuara pada ketimpangan distribusi pendapatan antar

warga desa. Kritik yang sama juga dilontarkan oleh Collier (1981), yakni Geertz

mengabaikan nafkah petani di luar usahatani (off-farm). Padahal nafkah di luar

usahatani di Jawa sesungguhnya menyita banyak dari seluruh waktu kerja, dan

jika pendapatan di luar usahatani dihitung, pendapatan perkapita kemungkinan

akan kelihatan meningkat (evolution), bukannya menurun seperti yang dikatakan

Geertz. Disamping itu, Collier (1981) dan White (1983) menunjukkan bahwa

kesimpulan Geertz mengabaikan fakta adanya diferensiasi kelas agraris yang

terjadi di pedesaan sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Sajogyo

sebelumnya.

Beragam lontaran kritik yang berasal serangkaian penelitian di beberapa

desa era 70 hingga 80-an oleh sekelompok pemerhati SAE/SDP seperti Collier,

Sajogyo, White dan Wiradi juga turut mengundang respon oleh pemerhati

pedesaan lainnya, seperti Prof. Yujiro Hayami dan Dr. Masao Kikuchi asal Jepang

yang melakukan penelitian di desa-desa Indonesia dan Filiphina. Menurut Hayami

dan Kikuchi (1987), hasil penelitian Gertz pada tahun tersebut telah menunjukkan

bahwa di pedesaan Jawa terdapat kelembagaan tradisional yang mengatur

pemerataan kesejahteraan antar warga. Selain itu, menurut hasil studi Hayami dan

Kikuchi, tekanan jumlah penduduk merupakan faktor utama bagi terjadinya

perubahan hubungan-hubungan agraris di pedesaan. Dalam hal peran teknologi,

pandangannya berlawanan dengan Colletal (Collier cs), yaitu bahwa teknologi

justru dapat mengatasi proses pemiskinan dan dapat menangkal proses

4 Bandingkan dengan kesimpulan Hayami dan Kikuchi (1987) yang menyatakan bahwa yang terjadi di pedesaan lebih menunjukkan kepada gejala semakin terstrafikasinya masyarakat pedesaan.

29

kesenjangan. Karena itu, institusi tradisional yang ternyata dapat berfungsi

sebagai pranata kesejahteraan tidak harus berubah, dan sebaiknya tidak harus

diubah, melainkan di-“modernisir” (inovasi) sehingga dapat menjadi penangkal

proses diferensiasi kelas. (Wiradi 2010)

Lewat studi yang dilakukan di salah satu desa sampel SAE di Jawa Tengah,

Prof. Gillian Hart menegaskan bahwa, kedua “paradigma” (baik Hayami dan

Kikuchi maupun Collier) tersebut di atas dianggap tidak mampu menjelaskan

“timing” dan “laju” perubahan. Selain itu, perubahan hubungan agraris di

pedesaan Indonesia bukan semata-mata disebabkan oleh perubahan teknologi,

bukan oleh meningkatnya jumlah penduduk, bukan pula oleh proses

komersialisasi, melainkan – yang paling penting – oleh perubahan kondisi politik

serta keresahan atau ketegangan dan kontradiksi-kontradiksi yang dilahirkannya.

Karena itu, peran negara menurut Hart perlu dimasukkan dalam analisis. Dalam

hubungan ini, Hart mengajukan teori mengenai ELA (exclusionary labor

arrangements) dimana pengaturan tenaga kerja pertanian (buruh kontrak, buruh

harian, dan lain-lain) didasarkan pada suatu pola perekrutan yang di satu pihak

mengatur kewajiban-kewajiban, dan di lain pihak menguatkan kontrol atas buruh

tani.5 (Wiradi 2010)

Pada gilirannya, melalui kajiannya di daerah Kabupaten Subang awal

dekade 1990-an tepatnya di dua desa yang menjadi desa studinya Hayami dan

Kikuchi dan satu desa lain sebagai pembanding, Dr. Jonathan Pincus, pakar dari

FAO menawarkan dua tesis utama sebagai respon terhadap ketiga pandangan

sebelumnya (Collier dan kawan-kawan, Hayami dan Kikuchi serta Hart) yakni

Pertama, faktor-faktor spesifik lokal (sejarah terbentuknya desa; kondisi agro-

ekologis; dan perimbangan kekuatan antara kelas sosial), merupakan pemegang

peran utama dalam membentuk pola-pola perubahan sosial pada tingkat desa.

Kedua, faktor-faktor lokal tersebut mempengaruhi arah proses perubahan agraris

5 ELA (exclusionary labor arrangements) ini merupakan suatu mekanisme di mana negara dan pemilik tanah bukan saja “mengatur tenaga kerja”, namun juga “menerapkan kontrol sosial”. Di sini, persoalan mobilisasi dukungan politik dan pelaksanaan “hukum dan ketertiban” menjadi kunci untuk menjelaskan bentuk-bentuk agrarian labor arrangements. (Wiradi, 2010)

30

melalui pengaruhnya atas pembentukan dan perkembangan hubungan antar-

rumahtangga, di tingkat desa.6 (Wiradi 2010)

Hasil studi yang dilakukan Ghose dan Griffin (1980) di 12 negara termasuk

Indonesia menyebutkan, jumlah penduduk miskin di pedesaan akan terus

meningkat tajam. Hal ini disebabkan salah satunya karena kegagalan agenda

“revolusi hijau” dalam “merevolusikan” produksi pertanian di pedesaan yang

tidak didahului oleh pembenahan struktur agaria. Akibatnya, intervensi teknologi

pertanian di pedesaan hanya dinikmati oleh gologan ekonomi kuat di desa.

Dengan kata lain, penerapan agenda revolusi hijau sangat bertentangan dengan

kepentingan kelompok miskin di pedesaan. Sebagai jalan keluar dari problem

kemiskinan di pedesaan, maka perlu dilakukan land reform dalam arti luas yang

meliputi, redistribusi lahan untuk mengentaskan ketuna-kismaan petani dan

menjadikan keluarga tani berskala kecil sebagai unit pokok produksi serta

peningkatan pertanian kolektif. (Ghose dan Griffin 1980)

Berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Ghose dan Griffin akan situasi

suram kemiskinan dan marginalisasi petani di pedesaan Indonesia, menurut

laporan The World Development Report 2008: Agriculture for Development dirilis

oleh Bank Dunia menyebutkan bahwa angka kemiskinan di pedesaan Indonesia

memiliki tren yang terus menurun (World Bank 2008). Selain itu, menurut

laporan tersebut, Indonesia dan sebagian negara Asia lainnya dimasukkan dalam

kategori negara yang sedang mengalami transformasi struktural dimana kontribusi

sektor pertanian hanya sekitar 25 persen terhadap GDP dan 60 persen dari total

penduduk miskin berada di pedesaan. Dalam konteks ini, tranformasi struktural

ditandai dengan pergeseran peran pertanian kepada sektor industri dan jasa disatu

sisi dan diikuti oleh penurunan jumlah penduduk miskin di pedesaan.

Dalam laporan yang dirilis Bank Dunia tersebut juga digambarkan situasi

penurunan angka kemiskinan di pedesaan Indonesia bersandar pada tiga jalur

utama, yakni: usahatani komersil, diversifikasi nafkah rumah tangga petani dan

pengerahan tenaga kerja upahan (pertanian dan non pertanian), serta migrasi

keluar desa. Namun demikian, laporan Bank Dunia diatas turut mengundang 6 Hasil kajian Pincus di awal dekade 1990-an tersebut kemudian dijadikan disertasi dan diterbitkan sebagai buku dengan judul: Class, Power and Agrarian Change (1996).

31

respon kritis dari berbagai kalangan pemerhati diantaranya Akram-Lodhi (2009)

yang mengungkapkan, penjelasan terhadap proses transformasi struktural di

beberapa negara Asia yang tertera dalam laporan tersebut masih bersandar pada

teori modernisasi klasik ala Rostow (tahap lepas landas).

2.6. Kerangka Konseptual

Kemiskinan dipandang sebagai akibat dari adanya relasi-relasi sosial yang

terdapat di suatu masyarakat. Kemiskinan yang demikian ini disebut sebagai

kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural mengacu pada ketimpangan-

ketimpangan sosial yang telah meresapi struktur dan lembaga-lembaga sosial dan

menjelma didalamnya (Winangun 2004). Persoalan kemiskinan memiliki

keterhubungan erat dengan berbagai proses peminggiran sosial (social exclusion)

dan marginalisasi yang dialami individu maupun kelompok.

Mengikuti pendapat Deere dan de Janvry (1979) dalam Ellis (1993),

terdapat 7 (tujuh) mekanisme yang menjelaskan bagaimana surplus (nilai lebih)

yang dihasil petani ditangkap (diserap) oleh pelaku ekonomi (individu, kelompok

maupun negara). Ketujuh mekanisme tersebut, tiga diantaranya melalui sewa (via

rent), tiga selanjutnya melalui pasar (via market) dan sisanya melalui negara (via

state). Adapun ketujuh mekanisme yang dimaksud Deere dan de Janvry (1979)

adalah: (1) sewa jasa tenaga kerja (rent in labour service), (2) sewa atas barang

(rent in kind), (3) sewa dalam bentuk tunai (rent in cash), (4) perampasan nilai

surplus melalui upah (appropriation of surplus value via the wage), (5)

perampasan nilai surplus melalui harga (appropriation of surplus value via the

prices), (6) perampasan nilai surplus melalui bunga tinggi (appropriation of

surplus value via the usury), dan (7) pajak yang dikenakan kepada petani (peasant

taxation). (Ellis 1993)

Dalam hal ini, White (2009) menyebutkan, empat proses kunci yang perlu

dipahami dalam memahami ektraksi surplus di pedesaan yakni, 1) Produksi rumah

tangga (home production); 2) produksi tenaga kerja upahan (wage labour

production); 3) sirkulasi penawaran dan permintaan (supply and demand

circulation); dan 4) reproduksi sosial dan diferensiasi agraris (reproduction and

32

agrarian differentiation). Lebih lanjut, menurut White (2009), petani bisa terlibat

dalam berbagai mekanisme peralihan nilai-lebih kepada pelaku-pelaku lain yang

bukan produsen seperti, sewa (sewa kontan; bagi-hasil; wajib kerja), hubungan

perupahan, mekanisme nilai-tukar dalam pembelian dan/atau penjualan komoditi,

pajak (berupa tanah, uang, natura, dan tenaga kerja), bunga pinjaman (uang, hasil,

tenaga kerja).

Dengan demikian, memahami bagaimana penciptaan kemiskinan sebagai

hasil dari marginalisasi komunitas petani di pedesaan dapat ditelusuri dengan

mengidentifikasi struktur dan organisasi sosial yang terdapat di komunitas yang

mengatur akses dan kontrol terhadap faktor-faktor produksi serta turut

menentukan hubungan produksi, pola pertukaran dan distribusi hasil dari setiap

aktivitas produksi di tiap rumah tangga petani. Hadirnya insiatif warga dari bawah

yang mengorganisir diri dalam organisisasi tani lokal merupakan suatu yang tidak

dapat dipisahkan dalam memahami upaya pembaharuan atas hadirnya

ketimpangan struktur atas penguasaan sumber-sumber agraria lokal di pedesaan

dataran tinggi Garut, Jawa Barat