bab ii pendekatan teoritis - repository.ipb.ac.id · sumberdaya didasarkan pada inventarisasi...
TRANSCRIPT
15�
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Politik Konservasi dan Paradigma Pengelolaan Sumberdaya Alam
Secara umum konsep konservasi memiliki makna yang dinamis seiring
dialektika pengetahuan para perumus konsepsi konservasi dan kontes yang
melatarbelakangi dialektika pengetahuan tentang konservasi. Konsep-konsep
konservasi kini mengalami perluasan definisi. Menurut MacKinnon dalam
Alikodra (2010), konsep konservasi yang modern adalah suatu pemeliharaan
sekaligus juga pemanfaatan keanekaragaman hayati secara bijaksana. Konsep ini
berdasarkan adanya dua kebutuhan; pertama, kebutuhan untuk merencanakan
sumberdaya didasarkan pada inventarisasi secara akurat. Kedua, kebutuhan untuk
melakukan tindakan perlindungan agar sumberdaya tidak habis. Paradigma ini
menggeser paradigma lama yang selama ini ada yakni memahami konservasi
sebagai pelestarian demi pelestarian itu sendiri dalam artian tertutup bagi upaya
pemanfaatan dan anti pembangunan.
Paradigma yang baru memberikan saran bahwa jika suatu kawasan
konservasi dilindungi, dirancang, dan dikelola secara tepat, akan dapat memberi
keuntungan yang lestari bagi masyarakat. Dengan demikian pelestarian itu sendiri
akan penting artinya dalam pembangunan sosial dan ekonomi di pedesaan dan
turut mengembangkan peningkatan kesejahteraan ekonomi pusat-pusat perkotaan,
serta meningkatkan kualitas hidup penghuninya. Penetapan dan pengelolaan
kawasan dilindungi merupakan suatu cara penting untuk dapat menjamin agar
sumberdaya alam dapat dilestarikan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan umat
manusia sekarang dan di masa mendatang. Hal ini perlu dilakukan mengingat
pertumbuhan dan kegiatan manusia yang semakin merusak sumberdaya alam dan
lingkungannya (Alikodra 2010). Ini merupakan salah satu pandangan konservasi
‘klasik’ yang masih melihat manusia sebagai ancaman daripada potensi solusi
bagi pengelolaan kawasan hutan.
16��
Menurut Ehrlich dan Wilson dalam Alikodra (2010), manusia seharusnya
mengkhawatirkan fenomena berkurangnya keanekaragaman hayati karena tiga
alasan: Pertama, manusia sebagai homo sapiens yang merupakan species dominan
di bumi ini, sehingga sudah seharusnya memiliki tanggung jawab moral untuk
melindungi semuanya yang telah turut menemani tinggal di alam semesta. Kedua,
manusia menerima keuntungan ekonomi secara langsung dalam bentuk makanan,
obat-obatan, dan produk industri, dan berpotensi untuk menerima lebih lagi.
Ketiga, adanya jasa-jasa lingkungan yang diberikan oleh ekosistem secara alami,
seperti pemeliharaan komposisi gas-gas di atmosfer, proses fotosintesa yang
membuat bumi mengalami kecukupan oksigen.
Effendi (2001) mengamati terdapatnya miskonsepsi dalam pemahaman
terhadap kawasan konservasi. Ia mengatakan bahwa miskonsepsi itu
dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa kawasan konservasi merupakan
sumberdaya alam yang "hilang" dalam mendukung kepentingan pembangunan
ekonomi. Kesalahpahaman itu diperkuat ketika pemerintah menunjuk suatu areal
sebagai kawasan konservasi dan kemudian membatasi kegiatan manusia dalam
kawasan tersebut, sehingga masyarakat berpendapat bahwa kawasan konservasi
tersebut hanya sedikit saja memberi manfaat uang yang mengalir pada masyarakat
lokal atau negara. Penilaian ekonomi sumberdaya (resources valuation) dapat
digunakan sebagai peralatan kebijakan untuk membantu para perencana
pemerintahan untuk memperkuat pengelolaan kawasan konservasi dengan
mempertimbangkan nilai ekonomi dari berbagai alternatif pilihan penggunaan
lahan, termasuk kawasan konservasi.
Konservasi sumberdaya alam di kawasan TNUK bertujuan untuk
pelestarian species Badak Jawa atau popular dikenal dengan sebutan Rhino, alasan
perlindungan ini kemudian diperluas menjadi perlindungan terhadap
keanekaragaman hayati di kawasan itu sendiri. Sebagai daerah kawasan hutan
alami dengan kekayaan hutan yang melimpah bagi masyarakat yang tinggal di
sekitarnya, kawasan TNUK adalah common property yang akan mudah disalah
gunakan pemanfaatannya oleh individu atau kelompok pengguna yang bertindak
atas kepentingannya sendiri. Menurut model padang rumput milik Hardin,
pemecahan permasalahan common property untuk mencegah tragedy of common
17�
adalah pemerintah mengeluarkan kebijakan sentralisasi atau privatisasi
sumberdaya alam tersebut (Hardin 1968). Selain kedua pendekatan tersebut,
Ostrom (1990) dalam Van Vugt (2002) mengemukakan pendekatan ketiga berupa
rancangan kerjasama kelembagaan yang kuat yang diorganisir dan diatur oleh
pengguna sumberdaya itu sendiri. Ostrom mengupayakan agar kelompok-
kelompok utama yang berada dalam situasi yang saling bergantung satu sama lain
ini mampu mengorganisir dan mengatur dirinya sendiri untuk memperoleh
keuntungan yang terus menerus sementara menghadapi kendala adanya kelompok
pendompleng (free rider), tak mematuhi peraturan (shirk), atau oportunis.
Pengelolaan sumberdaya dengan sistem sentralisasi merupakan salah satu
cara untuk mengatasi dilema sumberdaya. Tujuannya adalah mengatur akses
individu terhadap sumberdaya. Strategi yang dilakukan adalah dengan
meningkatkan kontrol dari pusat dan meningkatkan kontrol individu. Meskipun
demikian, sistem sentralisasi tidak selalu dianut individu pengguna karena mereka
tidak sertamerta memberikan kebebasan yang selama ini dimilikinya dalam
mengakses sumberdaya kepada pemerintah. Ini disebabkan dua hal, pertama;
individu tidak percaya sistem yang diberlakukan mampu menghentikan mereka
yang bisa menggunakan sumberdaya secara berlebihan. Kedua, individu
mengkhawatirkan adanya praktik korupsi dan eksploitasi oleh pemerintah itu
sendiri. Pada suatu masyarakat yang sebenarnya memiliki alternatif pilihan untuk
menciptakan suatu sistem pengaturan akses sumberdaya, sistem sentralisasi
menjadi sistem yang sangat tidak populer (Van Vugt 2002). Menurut Ostrom
dalam Van Vugt (2002), sistem sentralisasi tidak cukup efisien dalam mengatasi
permasalahan sumberdaya. Penyebabnya, pertama, diperlukan suatu sistem
pengawasan yang ketat untuk bisa mengontrol pasokan sumberdaya yang ada.
Kedua, pemerintah kemungkinan tidak cukup memahami pengetahuan/kearifan
lokal untuk memonitor kondisi sumberdaya dan merencanakan aturan yang
optimal dalam penggunaan dan distribusi sumberdaya (Van Vugt 2002).
Kenyataannya memang, hampir semua pengelolaan Taman Nasional di
Indonesia mengalami permasalahan baik soal pendanaan maupun dalam
menghadapi ilegal logging dan perambahan wilayah. Menurut Riyanto (2005),
beberapa kendala dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia adalah: 1)
18��
Kurangnya sumberdaya manusia yang profesional di bidang konservasi
sumberdaya alam; 2) Kondisi lapangan yang berat sehingga terjadi kesulitan
membangun infrastruktur untuk mendukung pengelolaan dan pemanfaatan
kawasan suaka alam dan pelestarian alam; 3) Pendanaan dalam bidang
pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam masih minim,
sehingga perlu adanya dukungan dana untuk mendukung program tersebut. 4)
Peran serta masyarakat di dalam bidang konservasi sumberdaya alam hayati masih
rendah.
Menurut Sumardja (2004), kebanyakan kawasan konservasi di Indonesia
memang sangat minim sumberdaya, beberapa di antaranya bahkan tidak
menerima anggaran reguler sama sekali, dan hanya bergantung pada pendanaan
dari lembaga donor suplementer, yang memberikan dana untuk proyek yang
terbatas durasinya. Pemerintah Indonesia selama ini berupaya mencari alternatif
pencarian dana melalui program mekanisme peningkatan pendapatan konservasi
yang disebut Integrated Conservation and Development Project (ICDP) yang
didukung oleh Bank Dunia. Begitupula proyek penangkaran Badak untuk tujuan
eko-wisata yang diresmikan tahun lalu oleh Menteri Kehutanan, Gubernur Banten
hasil kolaborasi Yayasan Badak Indonesia (YABI), Internasional Rhino
Foundation (IRF) dan BTNUK yang disebutkan membutuhkan dana 6 milyar,
adalah salah satu upaya untuk mendatangkan dana bagi pengelolaan konservasi di
TNUK. Disatu sisi hal ini membantu bagi pengurusan kawasan konservasi, namun
jika hal itu menjadi ketergantungan dan pelaksanaannya tidak memahami
prasyarat konservasi secara utuh, justru akan menjadi masalah baru bagi multi
pihak yang berkepentingan dengan TNUK. Di dalam konteks kasus TNUK -dan
mungkin pada umumnya di kawasan Taman Nasional lainnya- yang menjadi
korban penderita adalah masyarakat yang hidup di pinggiran/di sekitar kawasan
konservasi, yang dipaksa dengan beragam cara untuk menyesuaikan diri dengan
tujuan dan target proyek, yang biasanya tanpa mengindahkan hak dan kepentingan
dasar subsistensi mereka. Demikianlah yang terjadi di wilayah kawasan kampung
Legon Pakis.
Proses marjinalisasi masyarakat di pinggiran kawasan hutan bukan hanya
terkait dengan persoalan rejim dan relasi kuasa yang timpang antara aparatus
19�
konservasi negara (TNUK) dengan msayarakat petani pedesaan tetapi juga terkait
dengan domain paradigmatik atau bangun susun pengetahuan yang mengendap
dalam sistem ‘ideologis’ yang dianut oleh penguasa dalam mengurus penataan
ruang di kawasan konservasi.
Setidaknya, ada tiga komponen dalam penguasaan akses hutan produksi,
yang dapat berlaku juga pada jenis hutan yang lainnya, yaitu penguasaan tanah;
penguasaan/pengendalian species, dan penguasaan tenaga kerja hutan. Ketiga
komponen ini masing-masing dapat dipikirkan sebagai jenis sumberdaya
kekuasaan (Weber, 1978) atau sebagai perwujudan kekuasaan Negara atau
perusahaan (korporasi). Dengan dalih kekuasaan dan pengendalian berdasarkan
azaz konservasi Taman Nasional dengan species utama Badak Jawa Bercula Satu
inilah, politik kawasan konservasi dilaksanakan dengan sistematis dan
menyingkirkan masyarakat dari pinggiran/dalam kawasan hutan.
Secara teoritis persoalan politik penataan dan penguasaan ruang kawasan
konservasi tidak bisa dilepaskan dari paradigma pengelolaan hutan yang dipakai
oleh otoritas pengelola Taman Nasional, sebab pandangan pengelola terhadap
hutan dan kenyataan yang hidup di dalamnya berpengaruh terhadap sistem
pengelolaan hutan yang dipakai. Setidaknya terdapat tiga kelompok pandangan
dominan dalam pengelolaan hutan; Pertama, Pandangan Berbasis Ekologis.
Kelompok ini menempatkan hutan sebagai sebuah kawasan ekosistem yang
berfungsi sebagai kawasan kehidupan tidak hanya untuk makhluk hidup yang
tinggal di dalamnya, namun secara global berfungsi juga sebagai paru-paru dunia.
Maka, keberadaan hutan dan fungsi utamanya itu harus dijaga dan dilestarikan
secara berkelanjutan, (sustainability). Kedua, pandangan Eko-Politik. Pandangan
ini melihat bahwa hutan sebagai sumberdaya alam yang memiliki nilai dan
manfaat ekonomis. Pandangan ini memberi arahan bahwa pengelolaan hutan
sebagai sumberdaya ekonomis dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
pembangunan. Hutan dipandang sebagai sumber bahan baku produksi untuk
menghasilkan barang dan jasa yang diharapkan dapat memberikan keuntungan.
Dengan demikian, segala hal yang dianggap menghambat pencapaian tujuan
tersebut mesti dihilangkan. Ketiga, pandangan Sosial-Budaya. Padangan ini lebih
menitik beratkan pada fungsi dan potensi hutan sebagai bagian dari kehidupan
20��
keseharian masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Kehidupan hutan dipandang
sebagai suatu kegiatan kehidupan dengan nilai-nilai dan ritual kemasyarakatan
termasuk di dalamnya pengelolaan dan pemanfaatan hutan menuju
keberlanjutannya untuk sebesar-besarnya demi eksistensi kehidupan masyarakat
manusia di dalamnya, dan di sekitarnya.22
Dilihat dari tiga model pandangan di atas, kasus pengelolaan TNUK lebih
terlihat dominannya padangan yang kedua; nalar eko-politik. Digtum
pembangunanisme yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi mempengaruhi
cara melihat dan memperlakukan Sumberdaya Alam, dalam hal ini kuasa atas
TNUK, yang lebih berorientasi ekonomistik. Sehingga segala peluang yang dapat
menunjang pemanfaatan dalam meraih keuntungan ekonomi sebesar-besarnya
akan terus dilakukan, baik melalui regulasi, kebijakan dan usaha-usaha ekonomis
lainnya dengan ragam pihak (pengusaha, swasta dan juga pemodal asing) yang
segaris dengan ‘ideologi’ pembangunanisme yang dianut. Sebaliknya, segala hal
yang diangap menghambat dan menghalangi pencapaian keuntungan ‘ekonomis’
ini akan dengan sengaja (baik halus maupun kasar) akan dihilang-paksakan.
Dalam sudut pandang yang serupa, model konservasi sumberdaya alam
secara teoritis jika dilihat dari aliran pemikiran (school of thought) terdapat tiga
aliran besar yang berpengaruh yaitu; konservasionis, eko-populis dan
developmentalis (Witter dan Bitmer, 2005). Aliran pemikiran pertama
(konservasionis) bergumentasi bahwa diperlukan kawasan yang dilindungi secara
hukum dan tidak diganggu oleh kegiatan manusia guna mewujudkan
keseimbangan ekologi. Pada dasarnya pemikiran ini mengangap bahwa penduduk
setempat merupakan ancaman bagi upaya konservasi sumberdaya alam. Aliran ini
berkeyakinan bahwa ilmu-ilmu alam tidak lagi perlu diperdebatkan. Aliran
pemikiran kedua, (eko-populis) berargumen bahwa masyarakat adat dan lokal
adalah penanggung resiko terbesar yang perlu dilindungi. Mereka juga
mempunyai kemampuan untuk melakukan konservasi sumberdaya alam lebih baik
daripada pemerintah. Aliran ini menolak kehadiran swasta dan para pelaku
konservasi yang menafikan masyarakat adat dan lokal. Pandangan mereka
didasarkan pada ketidaksetujuan terhadap pandangan ortodoks mengenai ilmu-
������������������������������������������������������������22 Karyono, Pemberdayaan.....Op.Cit, hlm. Vii.
21�
ilmu sosial dan ilmu alam, tetapi lebih mendukung penghargaan terhadap
pengetahuan lokal. Sementara aliran ketiga (developmentalis) mempunyai
anggapan bahwa kerusakan sumberdaya alam ditimbulkan oleh kemiskinan,
sehingga penanganan dan kebijakanya lebih berwatak ‘pembangunanisme’.
Mereka beranggapan bahwa kaum eko-populis terlalu romantis dan memperalat
masyarakat lokal, sedang kaum konservasionis dianggap tidak memperhatikan
persoalan kemiskinan masyarakat di sekitar hutan konservasi23.
Bentuk-bentuk teror, pembatasan akses melalui regulasi, peningkatan
kontrol oleh Polhut (yang dipersenjatai dengan senjata api), dan pemaksaan dan
preasure lain dalam usaha untuk ‘mengkosongkan’ wilayah TNUK baik dengan
merelokasi warga sekitar hutan maupun mendesak dan mempersempit gerak
kehidupan pemukim di sekitar TNUK semakin hari semakin intensif dilakukan
merupakan bukti bagaimana pandangan konservanisonis masih dominan di anut
pengelola TNUK. Pada titik inilah tarik ulur ketegangan antara ruang ekonomi
dan ruang ekologi dalam mekanisme saling meniadakan (zero sum game) satu
sama lain terjadi. Program yang menekankan peningkatan ekonomi akan merusak
fungsi ekologis dan sosial dari SDA, sebaliknya, program yang mengutamakan
perlindungan SDA secara berlebihan dan abai atas fungsi ekologis dan sosialnya
berakibat pada terkurangnya manfaat ekonomi.24
Atas nama komuditas ekonomi dengan payung ‘konservasi’ berwatak
pembangunanime, kesejahteraan warga pemukiman di kawasan TNUK diabaikan,
bahkan jika perlu ‘dianggap tidak ada’. Nampaknya nalar developmentalisme juga
masih menjadi cara pandang dominan dalam mempersepsi kawasan konservasi
dan masyarakat di sekitar Taman Nasional. Hal ini sekaligus menunjukkan
bagaimana minimnya pengembangan corak pandang eko-populis dalam
pengelolaan lahan konservasi. Padahal sudut pandang inilah yang memberi
peluang besar bagi penghormatan yang utuh atas ekosistem hutan beserta mahluk
hidup yang ada di sekitarnya. Dalam kerangka pemetaan paradigma pengelolaan
sumberdaya alam semacam inilah yang akan dipakai untuk melihat kontestasi
kepentingan dan aktor yang bertarung dalam konteks penataan dan penggunaan
kawasan konservasi TNUK hendak ditelisik lebih jauh dalam penelitian ini. ������������������������������������������������������������23 Kartodiharjo dan Jhamtani, Politik Op.Cit.24 Kartodiharjo dan Jhamtani, Politik....,Ibid., hlm 46-47.
22
2.2 Politik Tata Ruang dan Sumberdaya Alam
Secara normatif sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 24
Tahun 1992 (R.I 1992) tentang penataan ruang disebutkan bahwa ruang adalah
wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu
kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan
kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan tata ruang adalah
wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak.
Selanjutnya penataan ruang adalah proses perencanaan ruang, pemanfaatan ruang
dan pengendalian pemanfaatan ruang. Secara umum, perencanaan ruang adalah
suatu penyusunan rencana tata ruang untuk meningkatkan kualitas lingkungan
hidup, manusia, dan kualitas pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang tersebut
dilakukan melalui proses-proses dan prosedur penyusunan serta penetapan
rencana tata ruang berdasarlan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta
mengikat semua pihak.
Dalam perkembangannya, beragam konsep-konsep tentang ruang
mengarah kepada corak pendekatan ekonomi dan juga konsep ruang sosial yang
merupakan perubahan pandang terhadap ruang dan kemudian banyak dijadikan
dasar konsep pengembangan wilayah. Konsep ruang untuk pengembangan
wilayah lebih mengarah kepada ruang sebagai komponen untuk kebutuhan
pembangunan, misalnya pemusatan konsep keterkaitan kegiatan ekonomi dan
organisasi keruangan dalam satu system menurut simpul dan jaringan. Konsep
tentang ruang yang diartikan secara absolut yang memandang ruang seperti
adanya atau menurut objek yang ada didalamnya. Ruang tidak berubah
eksistensinya walaupun sesuatu diletakkan di dalanya sehingga ruang tetap adalah
secara absolut. Konsep ruang lainnya adalah dalam kaitannya antara benda dan
energi dalam dimensi waktu. Konsep relatif inilah yang kemudian dikembangkan
kedalam konsep ruang praktis. 25.
Ruang adalah wadah yang meliputi ruangan daratan, ruang lautan dan
ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan mahluk lain yang
25 Lihat, Iswara Gautama, Tata Ruang dan Ekosistem, http://fahutanunhas.blogspot.com/2008/11/tata-ruang-dan-ekosistem.html (diunduh tanggal 27 maret 2011)
23�
hidup dan melakukan kegiatan dan melakukan serta memelihara kelangsungan
hidupnya. Masalah ruang banyak dibicarakan dalam kaitannya dengan
pembangunan menurut Ikbal yang dikutip oleh Sugandhy (1992) penekanan pada
ruang ini terjadi karena wilayah lebih diartikan sebagai space dari pada region.
Perhatian pada ruang sebagai unsur penting alam pembangunan semakin
meningkat sejalan dengan meningkatnya perhatian pada konsep pembangungan
berkelanjutan (sustainable development). Salah satu pendekatan yang berperan
besar dalam penggunaan sumberdaya alam adalah tata ruang, yang pada dasarnya
merupakan suatu alokasi sumberdaya alam ruang bagi berbagai keperluan
pembangunan agar memberi manfaat yang optimal bagi suatu wilayah (Coutrier,
1992).
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1992
tentang Penataan Ruang, pasal 14 (2), yang dimaksud dengan pola pemanfaatan
ruangan adalah bentuk hubungan antar berbagai aspek sumberdaya manusia,
sumberdaya alam, sumberdaya buatan, sosial budaya, ekonomi, teknologi,
pertahanan, keamanan, fungsi lindung, budidaya, dan estetika lingkungan, dimensi
ruang dan waktu yang dalam kesatuan secara utuh menyeluruh serta berkualitas
membentuk tata ruang. Menurut Sugandhy (1995), ruang merupakan suatu wujud
fisik wilayah dalam dimensi geografis yang dipergunakan sebagai wadah bagi
setiap usaha pemenuhan kehidupan manusia baik pemanfaatannya secara
horizontal maupun vertikal.
Dalam perpektif yang lebih kritis, politik ruang atas kawasan sumberdaya
alam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkembangan kapitalisme. Menurut
Sangaji (2011) hubungan politik ruang dengan kapitalisme bisa dirujukkan pada
pemikiran Marx. Dalam pemikiran Marx, hubungan ruang dengan kapitalisme di
dalam karya-karyanya di bawah logika sifat ekspansi sistem ini. Dalam sebuah
kasus di Grundrisse, dikatakan bahwa ketika kapital berusaha menyingkirkan
semua hambatan spasial di seluruh permukaan planet agar supaya pasarnya
melimpah ruah, maka dalam waktu yang sama kapital berusaha untuk
melenyapkan ruang dengan waktu (to annihilate space by time), yaitu dengan
mengurangi jumlah waktu yang diperlukan untuk pergerakan atau sirkulasi
24��
[modal, tenaga kerja, barang dan jasa] dari satu tempat ke tempat lain26. Apa yang
Marx tekankan, pelenyapan hambatan spasial (spatial barrier) merupakan kunci
dari akumulasi kapital. Adalah Henri Lefebvre yang mengembangkan lebih jauh
diskusi soal ruang dan kapitalisme, melalui teorinya tentang produksi ruang
(production of space).
Buat Lefebvre, sebagaimana dikutip Sangaji (2011) produksi dan
reproduksi ruang ekonomi secara terus-menerus dalam skala global, merupakan
kunci dari keberhasilan kapitalisme untuk memperpanjang nafasnya. Salah satu
tema utama Lefebvre tentang produksi ruang adalah ruang sosial (social space),
yakni manusia mengorganisir ruang dalam hubungan antar sesama. Baginya,
ruang merupakan hasil dari hubungan social.27 dan diskusi tentang ruang sosial,
bagi Lafebvre, harus didudukkan ke dalam konteks corak produksi, konsep
penting dalam materialisme sejarah (historical materialism) guna mengerti gerak
perubahan masyarakat.28
Menurut Sangaji (2011) di dalam masyarakat dengan corak produksi
kapitalis, produksi ruang berorientasi kepada kepentingan kapital; komoditi harus
bisa diproduksi dan disirkulasi secara mudah. Menurutnya, setiap masyarakat —
atau setiap corak-produksi — menghasilkan ruang untuk kebutuhannya sendiri.
Dengan kata lain, perbedaan corak produksi menciptakan ruang berlainan.
Produksi ruang di bawah feodalisme berbeda dengan produksi ruang masyarakat
kapitalis. Lefebvre menunjuk masyarakat abad pertengahan yang bercirikan corak
produksi feudal menghasilkan bentuk material ruang seperti manor, monastery,
dan katedral. Sebaliknya, dalam masyarakat kapitalis, wujud ruang bisa dilihat
dari jejaring perbankan, pusat-pusat kegiatan bisnis dan kegiatan produktif. Jadi,
perubahan dari satu corak produksi ke corak produksi lainnya akan diikuti dengan
perubahan representasi material semacam itu.
Dengan demikian, sebagai sistem global, menurut Lefebvre, kapitalisme
membentuk ruang abstrak (abstract space).29 Maksudnya, ruangnya dunia bisnis,
������������������������������������������������������������26 Karl Marx (1973) Grundrisse , New York , London : Penguin Books. 27 Lihat Henri Lefebvre (1991) The Production of Space, Oxford : Blackwell Publishing. 28 Marx, Op.Cit29 Lihat Henri Lefebvre (2009) Space, State, World, Minneapolis, London : University of Minnesota Press . Diskusinya tentang space merupakan sumbangan besar Lefebvre bagi critical human geography, dengan merevolusionerkan disiplin ilmu ini, dengan menganggap space sebagai
25�
baik berskala nasional mapun internasional dan ruang tentang kekuasaan uang dan
politik negara [kapitalis]. Lanjutnya, ruang abstrak bersandar pada gurita
perbankan raksasa, perbisnisan, dan pusat-pusat produksi kapitalis yang utama.
Juga intervensi spasial seperti jaringan jalan, lapangan terbang, dan jaringan
informasi, guna melipat-gandakan produksi dan sirkulasi kapital secara cepat.
Ruang abstrak merupakan basis dari akumulasi kapital. Lantas, Lefebvre
mendaftar kontradiksi-kontradiksi di dalam ruang kapitalis. Kontradiksi paling
utama adalah penghancuran ruang oleh rejim hak milik (private property) atas
semua bentuk rejim kepemilikan lainnya; komunal, feudal dan sebagainya. Juga,
menciptakan hirarki di dalam masyarakat berbasis eksploitasi kelas. Bentuk
lainnya adalah kontradiksi berbasis pusat dan pinggiran30.
Dengan dasar dan pandangan di atas, maka, dalam kontestasi politik
penataan dan penguasaan ruang, maka penting menekankan bahwa tindakan
negara dalam alokasi hutan untuk HPH, penetapan kawasan konservasi (taman
nasional) penetapan kawasan perkebunan dan areal pertambangan yang
melahirkan monopoli alat produksi adalah pelajaran konkrit dari produksi ruang
kapitalis, seperti diteorikan Lefebvre. Namun, disayangkan menurut Sangaji
(2011) bahwa diskusi soal produksi ruang ini sangat reduksionis, dan terisolasi
dari debat corak produksi kapitalis. Kondisi material ruang yang ditandai
distribusi alat produksi (dalam kasus ini tanah) yang menumpuk di tangan
segelintir kelas kapitalis hilang dari percakapan.
Pembahasannya dipangkas menjadi teknokratis, misalnya, semata
berwujud Rencana Tata Ruang (RTR) Ambil contoh paling konkrit, peta. Sebagai
�������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������alat produksi (means of production), sebagaimana dipahami dalam tradisi Marxist. Menurutnya, ruang sebagai alat produksi merupakan jaringan pertukaran dan arus pergerakan bahan baku dan energi. Dalam pengertian ini, sebagai alat produksi, tidak bisa dipisahkan dari kekuatan produksi (force of production), tehnik, dan pengetahuan; tidak boleh dilepaskan dari pembagian kerja sosial (social labour) secara internasional, dari alam, dan dari negara dan soal-soal superstruktur lainnya.30 Mengikuti pemikiran Lefebvre ini, menurut Sangaji (2011) maka alternatif terhadap ruang kapitalis adalah ruang sosialis (socialist space). Ruang sosialis bersandar pada sosialisasi alat-alat produksi, bukan di bawah penguasaan kelas kapitalis. Dan karena kegiatan produksi dalam masyarakat sosialis, seperti diteorikan Marx, adalah produksi untuk kebutuhan sosial (social needs), maka bagi Lefebvre, aspek-aspek mendasar kebutuhan sosial seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi, merupakan isu pokok yang harus dijawab dalam ruang sosialis. Tergolong dalam kebutuhan sosial ini juga pengorganisiran ulang ruang perkotaan untuk kebutuhan semua, bukan untuk segelintir. Dan jalan untuk membangun alternatif ruang sosialis adalah politik (politic of socialist space).
26��
gambaran tentang ruang yang diorganisir untuk tujuan kapital, maka pemerintah
membuat aneka peta tematik; katakanlah, peta tata guna hutan, peta
pertambangan, dan peta-peta lain. Karena peta-peta itu sering saling bertubrukan
satu dengan lain, maka dibuatkan peta “paduserasi,” mungkin dipinjam dari
kosakata “harmoni,” kerap diilusikan sebagai kultur bangsa. Di lapangan, peta-
peta yang diukir para ahli kartografi itu selalu menjadi malapetaka. Peta menjadi
alat untuk menggusur petani, bahkan dengan kekerasan mematikan. Serangan
terhadap para petani biasa dimulai dari kegiatan survei lapangan, bunyi buldozer
menggusur tanaman pertanian rakyat, hingga letupan senjata api.
Para petani melawan, karena aneka peta itu bukan saja memasukkan lahan
pertanian tetapi juga kampung yang mereka tinggali di bawah kepemilikan baru.
Peta, oleh karena itu, bukan sekedar media untuk melukiskan informasi bumi,
tetapi menjadi alat klaim kepemilikan hak milik secara eksklusif. Peta telah
menjadi alat penghancuran sistem kepemilikan non-kapitalis. Peta adalah
instrumen untuk transformasi ekonomi politik dengan segala resiko turunan yang
buruk 31. Dalam batasan konsep ruang seperti ini, politik tata ruang di kawasan
konservasi TNUK hendak ditinjau dalan penelitian ini.
2.3 Hak dan Akses atas Sumberdaya Alam
Pembatasan akses masyarakat di sekitar kawasan hutan dan Taman
Nasional merupakan salah satu penyebab dari proses mejauhkan masyarakat dari
ruang hidupnya yang mendorong terjadinya proses pemiskinan. Dalam pengertian
Ribot dan Peluso (2003: 1) akses diartikan sebagai kemampuan untuk
memperoleh manfaat dari sesuatu (the ability to derive benefit from things).
������������������������������������������������������������31 Diskusi yang baik soal peranan peta dan pemetaan dalam ekspansi kapitalisme secara historis diungkapkan oleh Pickles. Dia melihat peta sebagai alat untuk melindungi hak milik pribadi menyusul perkembangan kapitalisme dalam menggantikan corak produksi feudal di Eropa. Katanya, dalam proses pembuatan peta para surveyor profesional, manager perkebunan swasta, dan birokrat pemerintah memainkan peran penting dalam proses transisi itu. Di Belanda, produksi dan penggunaan peta-peta cetak pada abad 16 dan 17 secara langsung berhubungan dengan ekspansi dagang dan imperial negeri itu pada masa kejayaannya. Lihat John Pickles (2004) AHistory of Space: Cartographic reason, mapping and the geo-coded world, New York : Routledge. Lebih jauh lihat, Anto Sangaji, Kapitalisme dan Produksi Ruang,http://indoprogress.com/2011/02/28/kapitalisme-dan-produksi-ruang/ diunduh tanggal 25 Maret 2011.
27�
Definisi ini lebih luas dari pengertian klasik tentang properti, yang didefinisikan
sebagai: hak untuk memperoleh dari sesuatu (“the right to benefit from things”).
Akses dalam pengertian ini mengandung makna “sekumpulan kekuasaan” (“a
bundle of powers”) berbeda dengan properti yang memandang akses sebagai
“sekumpulan hak” (”bundle of rights”). Perbedaan ini lebih nampak jika dilihat
pada fokus telaahnya, jika pada studi properti yang ditelaah adalah relasi properti
utamanya yang berkenaan dengan klaim atas hak, maka dalam studi tentang akses
ditelaah relasi kekuasaan untuk memperoleh manfaat dan sumberdaya termasuk di
dalamnya adalah properti tetapi tidak terbatas pada relasi propertinya saja.
Sedangkan kekuasan, dalam pengertian Ribot dan Peluso (2003),
diartikan sebagai sesuatu yang terdiri atas elemen-elemen material, budaya dan
ekonomi-politik yang terhimpun sedemikian rupa membentuk ‘bundel kekuasaan”
(bundle of powers) dan “jaringan kepentingan” (“web of powers”) yang kemudian
menjadi penentu akses ke sumberdaya. Implikasi dari definisi ini adalah bahwa
kekuasaan yang inheren terkandung di dalam dan dipertukarkan melalui berbagai
mekanisme, proses dan relasi sosial akan mempengaruhi kemampuan seseorang
atau institusi untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya. Mengingat elemen-
elemen material, budaya, ekonomi dan politik tidak statis, maka kekuasaan dan
akses yang terbentuk ke sumberdaya juga berubah-rubah menurut ruang dan
waktu. Dengan kata lain individu dan institusi mempunyai posisi yang berbeda-
beda dalam relasinya dengan sumberdaya pada ruang dan waktu yang berbeda32.
Dengan pengertian semacam ini, maka konsep akses pada akhirnya ingin
melihat dan menyelidiki ‘siapa yang secara aktual memperoleh keuntungan dari
sesuatu tersebut dan melalui proses seperti apa mereka mendapatkan keuntungan
tersebut’. Akses dengan demikian menyimpan makna empiris yang fokus pada
issue ‘siapa yang mendapatkan (atau tidak mendapatkan) pemanfaatan tersebut?
Dan dengan cara apa? Maka dapat dikatakan bahwa perbedaan orang atau institusi
pemegang kekuasaan akan menggambarkan perbedaan pula pada saat ‘bundel
kekuasaan’ tersebut ditempatkan dan dikuasakan ke dalam jaringan kekuasaan
yang dibentuknya. Orang atau institusi memiliki perbedaan posisi dalam relasinya
terhdap sumberdaya alam di dalam beragam momen kesejarahan dan sekala
������������������������������������������������������������32 Nancy L. Peluso, Jesse C Ribot, (2003) “A Theory of Access”. Rural Sociology. June 3, 2003.
28��
geografis tertentu. Titik penting dari analisa akses adalah untuk memahami
mengapa sebagian orang atau institusi memperoleh keuntungan dari sebuah
sumberdaya alam atau mengapa mereka memperoleh atau tidak memperoleh
haknya terhadap sumberdaya tersebut.
Merujuk pada Ribot dan Peluso (2003) dapat dijelaskan bahwa terdapat
perbedaan signifikan antara analisa akses dan analisa property. Jika property lebih
pada pemahaman pada persoalan ‘klaim’ terhadap hak, maka studi akses lebih
pada bagaimana memahami beragam cara orang-orang memperoleh keuntungan
dari sumberdaya alam tersebut yang tak dibatasi pada relasi terhadap property.
Dengan demikian untuk memahami keduanya mesti dibandingkan terlebih dahulu
antara akses dengan property sekaligus keduanya mesti diletakan sesuai dengan
tempatnya. Pertama baik akses maupun properti memandang penting relasi
diantara orang terhadap ‘keuntungan dan nilai’ baik itu derma, akumulasinya,
transfer, dan distribusinya. Keuntungan amatlah penting karena orang, institusi,
atau masyarakat hidup untuk hal tersebut, karena keuntungan tersebut terkadang
mereka bertikai atau bekerja sama untuk hal itu. Untuk memahami perbedaannya
maka kita harus membedakan antara kemampuan dan hak.
Kemampuan berhubungan erat dengan kekuasaan, yang didefinisikan
dalam dua cara: pertama kemampuan merujuk pada kapasitas aktor untuk
mempengaruhi praktik-praktik dan gagasan orang lain (Webber 1978 dan Lukes
1986). Kedua kekuasaan sebagai sesuatu yang inheren yang muncul dari orang-
orang yang baik sengaja atau tidak timbul dari efek sebuah hubungan-hubungan
sosial. Dapat dikatakan bahwa akses merupakan semua makna-makna
kemungkinan, dimana orang mampu memperoleh keuntungan dari ‘sesuatu’.
Sementara property lebih pada pengertian klaim dan hak yang terkait pada
hukum, kebiasaan, atau konvensi yang bisa saja tak setara. Beberapa tindakan bisa
saja dianggap ilegal menurut hukum negara, atau mendapat sangsi menurut
kebiasaan atau konvensi. Akses berbeda karena ia mungkin saja tanpa sengaja
memiliki akibat terhadap hak kepemilikan atau bisa saja akses tertentu tak
mendapat sangsi secara sosial didalam wilayah hukum, kebiasaan, atau konvensi
tertentu. Dilihat dari struktur dan rasionalisasinya, relasi sebuah mekanisme akses
harus dipahami dengan melihat bahwa kemampuan memperoleh keuntungan itu
29�
dimediasikan oleh beragam hambatan yang ada, oleh kerangka politik ekonomi
dan kultural tertentu disaat akses terhadap sumberdaya tersebut diusahakan.
Menurut Blaikie (1985) tentang kualifikasi sebuah akses, maka kapital dan
identitas sosial sangat berpengaruh pada siapa yang diprioritaskan terhadap akses
sumberdaya alam. Atas dasar pandangan ini, dapat dinyatakan bahwa ada nuansa
bagaimana teknologi, kapital, pasar, pengetahuan, otoritas, identitas sosial, dan
relasinya dapat membentuk dan mempengaruhi sebuah akses.
Dengan batasan pengertian di atas, nampak bahwa pengabaian hak dan
akses ruang hidup masyarakat di sekitar kawasan TNUK lambat laun telah
mendorong penurunan kontrol sekaligus kemampuan warga sekitar hutan untuk
mendapatkan manfaat dari sumberdaya agraria yang ada di dalam dan sekitar
TNUK. Proses ini terus berlanjut dan telah terjadi dalam jangka waktu yang cukup
lama sehingga ikut mendorong proses penciptakan kemiskinan yang berlarut, baik
dalam makna struktural maupun kultural. Kebijakan politik konservasi yang
berwatak konservasionis-developmentalistik tersebut ikut menghambat warga
sekitar hutan mendapatkan akses atas sumberdaya melimpah di sekitarnya. Di sisi
lain, kekayaan pengetahuan dan keariafan lokal33 yang telah hidup dan diyakini
lama oleh masyarakat semakin terkikis dan akhirnya luntur akibat penggerusan
paksa aturan normatif negara yang mengadopsi sistem pengelolaan hutan dari
Barat.
Ketika konflik agraria di Taman Nasional meledak, kondisi keterbatasan
(hak dan akses) masyarakat semakin berkurang, dan mendorong proses
pemiskinan yang semakin masif. Pada konteks semacam inilah proses pemiskinan
dapat terjadi berulang dan terwariskan. Secara relasional kemiskinan semacam ini
mesti dipandang sebagai hasil dari beroperasinya berbagai relasi kuasa yang
timpang ini, ketimbang sebagai produk dari proses-proses yang abnormal dan
patologis. Suatu “kepekaan ekonomi politik (a sense of political economy)
menjadi esensial” di sini untuk dapat “menyibakkan hubungan-hubungan historis
������������������������������������������������������������33 Pengertian ‘kearifan lokal’ disini “mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang bertumbuh kembang dalam sebuah masyarakat, dikenal, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di anatar warga masyarakat”. Lihat Alpha Amirrachman, “Revitalisasi Kearifan Lokal Untuk Perdamaian” dalam Alpha Amirrachman (ed.) Revitalisasi Kearifan Lokal; studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso, (ICIP, Jakarta: 2007), hlm. 11.
30��
yang menciptakan ketimpangan distribusi kekuasaan, kemakmuran dan kesempatan
di tengah-tengah masyarakat” (Du Toit dalam Mosse 2007). Tanpa membongkar
struktur ketimpangan-ketimpangan politik, ekonomi sosial, budaya yang
menyelimutinya, sulit menangkap akar persoalan kemiskinan yang terjadi.
Sebab, pada umumnya, menurut Shohibuddin dan Soetarto (2009)
kemiskinan oleh para perencana pembangunan dan pengambil kebijakan lebih
sering dilihat sebagai sebuah “kondisi”, ketimbang sebuah “konsekuensi”.
Sebagai kondisi, maka parameter yang digunakan untuk melihat kemiskinan
adalah ukuran-ukuran yang statis, seperti kondisi tempat tinggal, jenis dan jumlah
asupan gizi, tingkat pendapatan, tingkat kepemilikan aset, dan sebagainya.
Kemiskinan merupakan “atribut negatif” dari ukuran-ukuran ini dalam suatu
gradasi. Apa yang tidak tertangkap dari konstruksi semacam itu adalah bahwa
kondisi kemiskinan, baik pada tingkat rumah tangga ataupun komunitas, memiliki
sejarah dan dinamika yang berbeda-beda. Status dan kondisi kemiskinan boleh
saja serupa pada, misalnya, berbagai komunitas adat terpencil. Akan tetapi, tanpa
memahami berbagai proses yang membentuk kemiskinan dan ketimpangan, dan
mekanisme-mekanisme sosial yang membuatnya terus bertahan dan berlanjut
(bahkan dicipta kembali), maka penetapan level-level kesejahteraan maupun
introduksi program-program pengentasan kemiskinan konvensional, tidak bakal
dapat menjawab problem kemiskinan pada akar permasalahannya. (Mosse 2007).
2.4 Gerakan dan Perlawanan Petani
Sebelum mendefinisikan perlawanan dan gerakan, ada baiknya untuk
mengupas sedikit tentang siapa yang di sebut dengan petani. Dan sebenarnya,
perdebatan tentang petani sudah berlangsung lama baik dalam lingkup
internasional maupun dalam negeri sendiri.34 Tentu saja terdapat ragam definisi
������������������������������������������������������������34 Dalam kajian di luar negeri, perdebatan mengenai definisi tentang petani sudah berlangsung lama (dekade pertengahan tahun 20-an). Ini dapat dilihat bagaimana pro dan kontranya para ilmuwan mengenai teori Chayanov yang terkenal dengan “The Theory of Peasant Economy”. Dalam kajian dalam negeri dapat dilihat semenjak awal berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan kajianilmiah tentang pemberontakan petani ini menjadi perbincangan pda tahun 1980-an, misalnya karya Sartono Kartodirjo tentang Pemberontakan Petani Banten tahun 1888. Dan memuncak perdebatan tentangnya pada saat kaum tani memiliki organisasi besar nasional, yaitu Barisan tani Indonesia (BTI) yang kemudian ‘berafiliasi’ pada Partai Komunis Indonesia, mesipun pada mulanya adalah organisasi yang terpisah dari PKI.
31�
tentang kelompok yang disebut petani itu, sejak Wolf, Scott, Popkins, Shanin,
Peige, Ellis, Wood dan seterusnya. Namun setidaknya jika hendak disajikan
sebagian untuk menjadi rujukan dalam makalah ini, khususnya dalam rangka
mencari letak relevansinya petani di Indonesia, penulis mengambil definisi dari
dua tokoh; Amri Marzali (Antropolog) dan Sajogyo (Sosiolog), meskipun
keduanya juga tidak imun dari rujukan tokoh-tokoh di atas.
Dalam pandangan Marzali35, terdapat tiga pendekatan untuk
mendefinisikan petani yang coba dirangkumnya dari beberapa literatur, yakni:
pertama, petani adalah mereka -penduduk- yang mendiami pedesaan secara
umum, tidak peduli apapun pekerjaan mereka. Ilmuwan yang menganut
pendekatan ini adalah Gillian Hart (1986), Robert Hefner (1990) dan Paul
Alexander dan kawan-kawan (1991). Kedua, petani adalah penduduk pedesaan
yang hanya bekerja di sektor pertanian sehingga penduduk desa yang tidak
bekerja di sektor pertanian tidak dapat dikatakan sebagai petani36, dan ketiga,
petani adalah mereka yang memiliki lahan pertanian, yang menggarap sendiri
lahan tersebut dalam rangka menghasilkan produk dan produk itu digunakan
untuk memenuhi keperluan hidupnya, bukan untuk di jual. Ilmuwan yang
menganut pendekatan ini adalah Eric Wolf 37 dan Frank Ellis.
Ringkasnya, dari ketiga pendekatan di atas, Marzani mencoba
merumuskan petani dalam proses perkembangan tingkat sosio-kultural masyarakat
manusia dan sistem ekonominya. Menurut proses perkembangannya, petani
terdiri dari tiga, yaitu: pertama, secara umum masyarakat petani berada di antara
masyarakat primitif dan masyarakat modern, kedua, masyarakat petani adalah
masyarakat yang hidup menetap dalam komunitas-komunitas pedesaan, dan
ketiga, dari sudut perkembangan mode of production, termasuk mata pencaharian
hidup dan tekno-logi peralatan, masyarakat petani berada pada tahap transisi
antara petani primitif dan petani farmer.
������������������������������������������������������������35. Amri Marzali dalam tulisan yang berjudul “Konsep Peisan dan Kajian Masyarakat Pedesaan di Indonesia” diterbitkan oleh Journal Antropologi No. 54. 36. Pendekatan kedua ini banyak dianut oleh para peneliti di Indonesia dan Malaysia, seperti: James C. Scott (1976) dan Wan Hashim (1984). .37 Seorang ilmuwan yang berdisiplin ilmu antropologi. Bukunya yang terkenal berjudul “Petani: Suatu Tinjauan Antropologi” yang diterbitkan oleh CV. Rajawali, Jakarta.
32��
Selain itu, berangkat dari dua sudut pandang yang berbeda berdasarkan
sistem ekonominya. Marzali membagi dua pandangan ilmuwan yang berbeda satu
sama lain acuannya. Pertama, berangkat dari pendapat Firth, Marzali mengatakan
bahwa petani mengacu pada suatu sistem ekonomi yang khas yang memfokuskan
pada sistem ekonomi petani, yaitu sistem ekonomi dengan teknologi dan
keterampilan sederhana, sistem pembagian kerja yang sederhana, hubungan
dengan pasar yang sangat terbatas, alat produksi dikuasai dan diorganisasikan
secara non-kapitalsitik, skala produksi kecil, hubungan produksi lebih bersifat
personal dan keagamaan lebih diutamakan dari pada aspek materi, dan
seterusnya.38 Untuk para aktor-aktornya, petani yang dimaksudkan oleh Firth
adalah seluruh masyarakat pedesaan di negara-negara sedang berkembang beserta
sistem eknominya.39
Kedua, berangkat dari pendapat Wolf dan Ellis, Marzali mengatakan
bahwa petani setidaknya mengacu pada jenis mata pencaharian hidup yang khas.
Wolf 40 berpendapat bahwa yang disebut petani adalah mereka yang masuk pada
golongan petani pemilik-penggarap. Pendapat ini kemudian disempurnakan oleh
Ellis yang berpendapat bahwa petani adalah rumah tangga petani yang hidup dari
tanah milik sendiri dan dikerjakan sendiri, terkait kepada pasar secara partial, dan
pasar tersebut tidak sempurna.
Sementara itu, Sajogyo berdasarkan studi empirik yang ia lakukan (Survei
Agro Ekonomi/SAE), definisi petani cenderung kepada pendapat yang dikemukan
oleh ilmuwan Antropologi, Ekonomi Moral (Scott), Marx dan Weber dengan
beberapa unsur-unsurnya. Unsur-unsur tersebut, yaitu: pertama, petani adalah
komunitas yang mempunyai pola budaya spesifik (antropologi), kedua, petani
merujuk ke sifat ketergantungan sosial tinggi yang mencirikan komunitas petani,
ketiga, petani cenderung dekat dengan garis subsistensi (dahulukan selamat),
keamanan (security) dan kesejahteraan (welfare), keempat, petani adalah mereka–
petani–yang menguasai dan memiliki tanah.41 Dari SAE yang dilakukan oleh
������������������������������������������������������������38. Firth dalam Amri Marzali dalam tulisan yang berjudul “Konsep Peisan dan Kajian Masyarakat Pedesaan di Indonesia” diterbitkan oleh Journal Antropologi No. 54. 39 Ibid.40 Ibid.41 MT Felix Sitorus et. al.(Penyunting), Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi,(Yayasan Akatiga: Bandung, Cetakan Pertama, 2002). hlm. 36.
33�
Sajogyo dan beberapa pengertian petani di atas, Sajogyo membagi tiga lapisan
sosial masyarakat petani di pedesaan Jawa, yaitu: petani kaya/pengusaha petani
(kepemilkan lahan seluas 0,5-1 Ha dan di atas 1 Ha), petan gurem (kepemilikan
lahan di bawah 0,5 Ha) dan buruh tani (tidak memiliki lahan sama sekali).
Sedangkan dalam kajian Studi Dinamika Pedesaan (SDP), petani didefinisikan
pada dua fokus, pertama, petani adalah pengusaha-pengolah tanah, dan kedua,
petani adalah mereka-petani-yang menguasai/memiliki tanah.
Dari segi aktifitas, petani adalah orang yang terlibat langsung dalam proses
cocok tanam dan membuat keputusan otonom tentang proses cocok tanam. Dalam
formasi sosial dewasa ini yakni negara, pasar, dan masyarakat sipil, kelompok
terakhirlah yang paling tidak memiliki kekuasaan. Diantara jumlah penduduk
Indonesia yang paling banyak mengisi formasi sosial terutama kelompok
masyarakat sipil dan yang paling tidak memiliki kekuasaan adalah kaum petani.
Sedangkan gerakan radikalisasi petani merupakan gambaran gerakan
tindakan yang dilakukan oleh dan dengan cara-cara khas kaum petani. Tindakan
perlawanan dan kekerasan dapat dilakukan karena beberapa asumsi antara lain,
perasaan kecewa yang terakumulasi karena system yang dianggap tidak
memberikan nilai keadilan. Dari ketidakadilan tersebut memunculkan
kesenjangan sosial dan terakumulasi menjadi sebuah momen anarkis para pelaku
kerusuhan, pendudukan, dan penguasaan. Model gerakan radikalisasi yang
ditampilkan petani adalah model gerakan Perlawanan Nekad (meminjam istilah
Anton Lucas), walaupun perlawanan mereka tergolong pasif namun seringkali
juga menampilkan dengan model gerakan fisik dengan melakukan upaya-upaya
menentang, pendudukan perusahaan, pengumpulan massa dengan jumlah ribuan
orang.
Sejak peralihan zaman dari orde lama menuju orde baru dan reformasi,
kaum petani merupakan sebuah kekuatan besar yang ngambang sehingga sangat
sarat potensi sebagai komoditi politik. Pangan sebagai produksi petani merupakan
komoditi politik dari rejim ke rejim pemerintahan di Indonesia. Dengan adanya
kebijakan pemerintah yang jarang memihak petani, maka kondisi ini akan
menciptakan potensi-potensi radikalisasi petani yang memungkinkan mengarah
pada terjadinya revolusi oleh kaum petani. Dan kondisi-kondisi tersebut sangat
34��
dipengaruhi oleh kesenjangan dan ketidakadilan kebijakan yang dilakukan oleh
rejim penguasa yang ada. Banyak kasus-kasus yang tidak pula terselesaikan
menyangkut eksisistensi diri sebuah komunitas, tentu saja dalam hal ini sangat
merugikan petani. Dan fenomena-fenomena demikian menyulut, terkumpul dalam
diri dan menjadi pilar-pilar perlawanan menjadi potensi radikalisasi petani menuju
lahirnya revolusi kaum petani.
Kehadiran petani sebagai suatu komunitas mempunyai ciri-ciri dinamika
yang tidak dapat disamakan dengan komunitas lainnya dalam masyarakat. Jika
ditelusuri lebih jauh lagi, dinamika petani sangat terkait dengan sistem ekonomi,
sosial, budaya dan politik yang mereka anut dan sudah mejadi kepercayaan yang
melekat. Sistem ekonomi petani secara khusus didefinisikan oleh Wolf dan Ellis
yang mengatakan bahwa petani (peasant) memiliki arti yang khas yaitu petani
subsis-tensi yang hidup dari usaha pengelolahan tanah milik sendiri.42 Petani
dengan sosial-kutural, menurut Marzali, terdiri dari: (1) secara umum masyarakat
peasant berada di antara masyarakat primitif dan masyarakat modern; (2) peasant
adalah masyarakat yang hidup menetap dalam kominitas-komunitas pedesaan; dan
(3) peasant berada pada tahapan transisi antara petani primitif dan farmer.43
Sementara itu, dari dimensi politik penjelasan Kuntowijoyo dapat menjadi
acuan yang baik. Kuntowijoyo mengatakan bahwa terdapat dua tesis untuk
memahami keterlibatan politik dari petani, pertama, tesis yang menekankan
adanya polarisasi masyarakat pedesaan yang susunan kelasnya terdiri atas tuan
tanah dan petani penggarap, yang keduanya berada dalam kedudukan
kesenjangan, dan kedua, tesis yang menekankan ketegangan kultural, yaitu antara
mereka yang kuat agama (santri) dan yang tidak taat beragama (abangan).44
Pendapat Kuntowijoyo di atas, diperkuat dengan penelitian sejarah yang
dilakukan oleh Kartodirdjo mengenai pemberontakan petani Banten. Menurutnya,
pemberontakan petani Banten tidak hanya berkisar pada persoalan konflik
ekonomi dari stratifikasi sosial tertentu, akan tetapi lebih dari itu, pemberontakan
yang terjadi tidak lain merupakan suatu konflik sosial–budaya yang kemudian
������������������������������������������������������������42. Wolf dan Ellis dalam Marzali, A., Konsep Peisan dan Kajian Masyarakat Pedesaan di Indonesia, Journal Antropologi No. 54, 1993. 43. Marzali, Ibid, 1993. 44. Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani, Bentang,Yogyakarta, 2002.
35�
berimbas kepada konflik politik/kekuasaan, yang akhirnya melahirkan sebuah
pertarungan sosial antara stratifikasi sosial yang ada di masyarakat Banten saat
itu.45
Untuk itu, fenomena konflik atau pemberontakan di atas, dari sudut
pandang agraria, menurut Sitorus (2002) tidak dapat dipisahkan dengan struktur
agraria, yang mana antara subyek atau pelaku (baca: petani) tidak dapat
dipisahkan dengan obyek atau sumber-sumber agrariaya. Subyek agraria dapat
dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) komunitas (sebagai satu kesatuan dari unit-
unit rumah tangga); (2) pemerintah (sebagai representasi negara); dan (3) swasta
(private sector). Ketiga kategori sosial tersebut adalah pemanfaat sumber-sumber
agraria, yang memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria tersebut melalui
institusi penguasaan/pemilikan (tenure institutions). Hubungan pemanfaatan
tersebut menunjuk pada dimensi teknis, atau lebih spesifik dimensi kerja, dalam
hubungan-hubungan agraria. Sekaligus dimensi kerja itu menunjuk pada
artikulasi kepentingan-kepentingan sosial eko-nomi masing-masing subyeknya
berkenaan dengan penguasaan/pemilikan dan pemanfaatan sumber agraria
tersebut.46
Dalam ranah teoritik khazanah perlawanan petani dalam ruang lingkup
gerakan sosial pedesaan dapat dikategorikan secara garis besar menjadi dua;
Pertama gerakan sosial pedesaan lama yang berbasis teori klasik petani. Kedua,
dapat dikategorikan sebagai kelompok teori Gerakan Sosial Pedesaan Baru
(GSPB) dengan ciri-ciri tertentu. Untuk kategori gerakan social pedesaan lama
sebagiman dirumuskan oleh beberapa teoritikus klasik (Shohibuddin, 2009) di
antaranya; (1) Scott (1976/1979) menjelaskan ciri-ciri khusus Ekonomi Moral
yaitu: Tatanan sosial yang didasari oleh tertib moral subsistensi yang memberikan
jaminan keamanan subsistensi minimum. Dan Risk aversion sebagai karakter
pokok masyarakat tradisional. Sehingga ciri Pemberontakan Petaninya adalah: a)
Tatanan kolonialisme melahirkan: eksploitasi, diferensiasi sosial, dislokasi
agraraia dan kemerosotan moral. b) Pemberontakan petani: respon niscaya untuk
������������������������������������������������������������45 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten: Kondisi, Jalan Peristiwa, dan Kelanjutannya. Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia, Pustaka Jaya, Jakarta, 1984. 46. MT Felix Sitorus et. al.(Peny.), Op.Cit, hlm. 36.
36��
mengembalikan tatanan moral yang diporak-porandakan oleh penetrasi
kapitalisme. (2) Popkin (1979) petani Rasional: a) Masyarakat tradisional yang
ditandai solidaritas moral adalah ilusi.
Masyarakat pra-kapitalis tak kurang eksploitatif ketimbang kolonialisme.
b) Para petani memiliki rasionalistas untuk memberikan tanggapan yang berbeda-
beda atas kapitalisme yang menyediakan berbagai kesempatan yang berbeda-beda.
Perlawanan petani bukan bersifat restorative, tetapi: a) Petani melakukan
perlawanan dalam upaya mencari jalan untuk mejinakan kapitalisme, lalu bekerja
di dalam kapitalisme yang telah dijinakkan itu. b) Dalam upaya ini, para
pemimpin gerakan dan elit sosial bertindak sebagai entrepreneur politik. (3) Paige
(1975) Kepentingan kelas: a) Petani berada pada situasi nyata di dalam suatu
proses produksi, misalnya organisasi dan struktur kerja, ekologi produksi dan
lainnya. b) Inilah yang mendasari kepentingan kelas yang berbeda-beda yang
tidak ada kaitannya dengan rasionalitas atau moralitas tindakan mereka. Ciri
Ekonomi Moral masih melekat yang menimbulkan: a) Pemberontakan agraria dan
bentuk-bentuk ekspresi perlawanan petani akan terjadi manakala: (i) suatu kelas
penguasa tanah berkuasa melulu atas dasar penguasaan tanahnya, (ii) para petani
dihambat kemungkinan mobilitas vertikal, (iii) kondisi kerja dan karakter
pedesaan petani memungkinkan pembentukan solidaritas. b) Perlawanan petani
itu, tergantung pada tipe struktur kelas agraria yang melingkupi, bisa mengambil
bentuk rebellion, labour reform movement, dan commodity reform movement.
Sedangkan kategori kedua, yang dapat dikategorikan sebagai kelompok
teori Gerakan Sosial Pedesaan Baru umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut;
(1) Webster (2004): a) Aksi kolektif pedesaan tidak lagi dapat disempitkan
sekedar sebagai perjuangan-perjuangan petani. b) Garis batas spasial dari petani
yang pernah ada telah diporak-porandakan oleh migrasi musiman; mobilitas
petani generasi muda; diversifikasi dan komodifikasi produksi agraria; munculnya
pola-pola konsumsi baru dengan berbagai implikasi budaya, sosial dan ekonomi
yang menyertainya; dan tentunya, akses kepada bentuk-bentuk baru transmisi
budaya dengan telivisi, radio, dan kadangkala juga, yang lebih mutakhir adalah
internet. (2) Petras (1997): Suatu generasi baru pimpinan petani yang terdidik
muncul dan berkembang lebih setahun belakangan ini dengan kemampuan
37�
organisasi yang handal. Pemahaman yang canggih perihal politik internasional
dan nasional serta komitmen untuk menciptakan sejumlah kader yang tangguh
secara politik.”
(3) Fauzi (2005) ciri-ciri gerakan sosial pedesaan baru: a) Basis sosial
gerakan adalah campuran antara unsur desa-kota, baik dalam arti fisik maupun
dalam berbagai urat nadi, organ dan kegiatan gerakan; b) Kepemimpinan diisi
oleh orang-orang dengan kemampuan intelektual yang mencengangkan, yang
mampu menganalisa kombinasi hubungan yang relatif kompleks dari gejala lokal
ke global, mikro ke makro, dan sebaliknya; c) Taktik-taktik utamanya sangat
beragam dan mengisi banyak arena pertarungan; d) Posisi strategisnya umumnya
“otonom” dari partai politik dan negara, tetapi memiliki kombinasi hubungan
yang khas dengan ragam kekuatan gerakan sosial di sektor lain; e) Ideologinya
tidak hanya menjawab diskriminasi kelas sosial, tetapi juga untuk menghadapi
perkara identitas (ras/etnis/kebudayaan), ekologi dan jender; f) Daya jelajahnya
kosmopolitan, yang utamanya ditandai oleh pembangunan solidaritas dan aksi
global.
Dilihat dari konteks yang melahirkan dan menghadirkan perlawanan
petani dari dua tradisi teori gerakan sosial pedesaan di atas menurut Fauzi (2008)
dapat dibedakan menjadi dua kategori, pertama; bagi kelompok peneliti gerakan
agraria seperti Peige (1975), Scott (1976), Popkins (1979) mencari konteksnya
pada makro struktural yang mendorong pembentukan gerakan petani. Dengan
caranya sendiri-sendiri mereka menekankan ekspansi kapitalisme barat yang
imperalistik (imperialistic western capitalism) dan merosotnya hubungan patron-
client sebagai promotor pokok gerakan tani. Golongan kedua, merujuk pada
Moore (1966) dan dikembangkan lebih jauh oleh Wood (2003), menjelaskan
bahwa konteks tersebut mesti dilihat dengan cara membedah lebih dulu
bagaimana “proses modernisasi itu sendiri”, derajat dan bentuk yang khas dari
komersialisasi dapat mempertinggi atau membuka kemungkinan terjadinya
pemberontakan petani melawan kelas-kelas di atasnya. Dengan kata lain
perbedaan dua golongan ini terletak pada perbedaan analisis tentang konteks
38��
kemasyarakatan itu dan cara bagaimana perubahan kemasyarakatan itu
dihadirkan.47
2.5 Aksi Kolektif
Menurut Tilly (1978) “ragam-ragam tindakan kolektif” didefiniskan
sebagai “sarana alternatif” untuk bertindak bersama-sama atas kepentingan
bersama”. Ragam-ragam perlawanan kolektif berakar dalam –memang merupakan
produk dari– keadaan sejarah dan lingkungan tertentu. Bentuk perlawanan
tergantung pada sifat-hakekat dan genaralitas keluhan dan jenis “senjata” (sosial,
politis atau teknologi secara luas) yang dipunyai oleh pembangkang (Scott, 1985).
Misalnya, banyak tindak kekerasan rakyat timbul sebagai tanggapan terhadap
kekerasan yang dilakukan oleh kelas penguasa/negara. Tetapi ekspresi perlawanan
diredam oleh kekuatan otoritas yang ditentangnya maupun oleh ragam
pengendalian yang digunakan otoritas itu. Seperti pernah dikemukakan Scott
(1976), ”resiko pemberontakan sebanding dengan kuasa koersif negara dan
kemauan negara menggunakan kuasa demikian”.
Dalam The Oxford Dictionary of Sociology, aksi kolektif (collective
action) didefinisikan sebagai: “sebuah tindakan yang dilakukan oleh sekolompok
orang tertentu, baik secara langsung atau atas nama pribadi melalui suatu
organisasi. Yang masing-masing anggotanya memiliki kesamaan kepentingan
untuk berbagi dan mengejar tujuan atau cita-cita bersama. (Marshall, 1998).
Dalam tindakan bersama mensyaratkan satu prinsip berupa kesadaran bersama
untuk saling bekerja sama dalam mencapai satu tujuan tertentu yang telah melalui
kesepakatan bersama. Definisi semacam in merupakan pengertian yang diperluas
meliputi baik “kelompok utama” (primary groups) yang para anggotanya telah
mengenal satu dengan lainnya, serta “kelompok sekunder” (secondary groups)
yang memiliki ukuran yanglebih besar dan memiliki susunan struktur yang lebih
formal.
������������������������������������������������������������47 Noer Fauzi “Dari Okupasi tanah Menuju Pembaruan Agraria: Konteks dan Konsekuensi dari Serikat Petani Pasundan (SPP) di garut Jawa Barat” dalam, S.M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (ed) Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, (Gramedia: Jakarta, 2008), hlm. 439.
39�
Tindakan kolektif yang memiliki sifat dinamis dan mengalami perubahan
seiring konteks lokalnya, biasanya juga mencakup upaya bersama dari masyarakat
untuk menyusun aturan-aturan dan struktur pengambilan keputusan menurut
kepentingan lokalnya sendiri. Misalnya dalam konteks pengelolaan sumberdaya
alam, yang termasuk disusun dan disepakati bersama dalam tindakan kolektif ini
adalah soal aturan dan tata tertib tentang bagaimana larangan dan pembolehan
(mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang), dalam pemanfaatan,
penggunaan dan pengeloaan sumberdaya alam, serta perangkat proses untuk
memonitor, pemberian sangsi, dan cara-cara penyelesaian sengketa (Ostrom
1992).
Di dalam kelompok primary groups dan tindakan setiap individu berada
sangat dekat dan selalu dalam pengawasan atau observasi orang lain serta
mekanisme keadaban di masyarakat seperti solidaritas, resiprositas, dan bentuk-
bentuk tekanan sosial yang mendasrkan pada norma-norma umum dan nilai-nilai
yang berlaku dan disepakati bersama. Sedangkan di dalam kelompok secondary
groups, sebuah keputusan bersama tidak bisa lagi diambil dan diputuskan hanya
oleh kesepakatan kelompok, tetapi menuntut sebuah perwakilan yang nantinya
merepresentasikan dan bertindak atas nama kelompok. Dengan penjelasan seperti
ini, penting untuk dicatat bahwa sebuah aksi kolektif tidak selalu membutuhkan
sebuah organisasi, walaupun organisasi dapat membuat sebuah aksi kolektif dapat
bekerja lebih efektif atau efisien untuk pelaksanaan beberapa tugas tertentu
(Meinzen-Dick, Raju, dan Gulati 2000).