bab ii pendekatan teoritis tentang agama ......berharga dalam kehidupan sosial, agama melayani...

27
BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ADAT E. Agama dan Masyarakat 1. Konsep Sakral dan Profan Sebagai Acuan Dasar Agama Sesuatu yang sakral dan profan tidaklah dapat di pisahkan dari agama karena agama selalu ditandai oleh sikap sakral. Ada berbagai pendapat mengenai definisi Agama. Di antaranya menurut Hendropuspito: Agama merupakan suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didayagunakan untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas lainnya. 16 Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan, bahwa agama adalah sebuah sistem buatan manusia dengan menggunakan kekuatan non empiris yang dipercayai dan didayagunakan untuk memperoleh keselamatan bagi masyarakat di dalamnya. Atau dengan kata lain dapat disimpulkan, bahwa pengertian agama menurut Hendropuspito bersifat sosial. Hal ini berkaitan dengan penjelasan agama menurut Durkheim. Bagi Durkheim Agama pada dasarnya merupakan sesuatu yang kolektif dan bahwa dasar dari agama adalah tentang yang Sakral. Dia mengembangkan suatu definisi mengenai religi, bahwa “religi merupakan sekumpulan keyakinan dan praktek yang berkaitan dengan sesuatu yang sakral, yakni sesuatu yang disisihkan dan terlarang, keyakinan-keyakinan dan upacara 16 D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Gunung Mulia, 1986), 34

Upload: others

Post on 30-Jan-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB II

    PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN

    ADAT

    E. Agama dan Masyarakat

    1. Konsep Sakral dan Profan Sebagai Acuan Dasar Agama

    Sesuatu yang sakral dan profan tidaklah dapat di pisahkan dari agama

    karena agama selalu ditandai oleh sikap sakral. Ada berbagai pendapat mengenai

    definisi Agama. Di antaranya menurut Hendropuspito:

    “Agama merupakan suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh

    penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non

    empiris yang dipercayainya dan didayagunakan untuk mencapai

    keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas lainnya”.16

    Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan, bahwa agama adalah sebuah

    sistem buatan manusia dengan menggunakan kekuatan non empiris yang

    dipercayai dan didayagunakan untuk memperoleh keselamatan bagi masyarakat

    di dalamnya. Atau dengan kata lain dapat disimpulkan, bahwa pengertian agama

    menurut Hendropuspito bersifat sosial. Hal ini berkaitan dengan penjelasan

    agama menurut Durkheim. Bagi Durkheim Agama pada dasarnya merupakan

    sesuatu yang kolektif dan bahwa dasar dari agama adalah tentang yang Sakral.

    Dia mengembangkan suatu definisi mengenai religi, bahwa “religi merupakan

    sekumpulan keyakinan dan praktek yang berkaitan dengan sesuatu yang sakral,

    yakni sesuatu yang disisihkan dan terlarang, keyakinan-keyakinan dan upacara

    16

    D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Gunung Mulia, 1986), 34

  • yang berorientasi kepada suatu komunitas moral tunggal di mana masyarakat

    memberikan kesetiaan dan tunduk kepadanya”.17

    Bagi Durkheim agama terdiri

    dari dua hal yakni sakral dan profan. Dalam agama, sakral dan profan merupkan

    dua entitas yang selalu dipisahkan karena kedua hal ini selalu bertolak-belakang.

    Durkheim dalam tulisannya menegaskan bahwa agama umat manusia

    entah sederhana atau kompleks sekalipun, memperlihatkan karakteristiknya yang

    umum, baik secara riil maupun ideal, yakni suatu pembedaan (distinksi) antara

    hal-hal yang sakral dengan profan. Keduanya merupakan suatu prinsip kejiwaan

    yang ada dalam dinamika hidup agama umat manusia. Distinksi antara dunia

    sakral dan profan tidak dapat dilepaspisahkan dalam masyarakat beragama.

    Sakral (sacred) merupakan hal-hal yang terlarang dan ditujukan kepada sesuatu

    yang tunggal, di mana masyarakat memberikan kesetiaan untuk tunduk

    kepadanya.18

    Berkaitan erat dengan yang sakral atau suci adalah yang tidak suci;

    mencakup apa saja yang dalam keadaan tertentu dianggap mencemarkan yang

    suci itu. Untuk menghindari timbulnya pencemaran inilah hal-hal yang sakral

    dipagari dengan larangan-larangan atau tabu-tabu.19

    Sebagaimana yang

    dikatakan oleh Durkheim:

    17

    Emile Durkheim, Sejarah Agama: The Elementry Form of Religious Life, (Terj: Inyiak Ridwan Muzir) (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), 8

    18 Emile Durkheim, The Elementry Form of Religious Life. (Terj. Joseph Word Swain), (London:

    George Allen & Uwin Ltd., 1976), 8 19

    Elizabeth K. Notingham, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), 10

  • “Sacred things are those which the interdictions protect and isolate;

    profane things, those to which these interdictions are appalied and

    which must remain at distance from the first”.20

    Dengan demikian, dunia “yang sakral” merupakan bagian terpisah dari

    dunia “yang profane”. Yang Profan tidak dapat memasuki dunia Yang Sakral.

    Karena, apabila Yang Profan dapat memasuki dunia Yang Sakral, maka Yang

    Sakral tersebut akan kehilangan arti kesakralannya. Dan Sesuatu itu menjadi

    sakral bila disakralkan oleh masyarakat tertentu. Bellah dalam

    “Introduction”nya yang ditulisnya dalam buku Durkheim On Morality and

    Society, antara lain juga mengemukakan, bahwa yang sakral adalah

    masyarakat itu sendiri.21

    Dari definisinya tentang agama ia antara lain dengan

    jelas menunjukan bahwa perhatian agama adalah tentang hal-hal yang sakral.

    Berikut ini:

    “Religious beliefs are the representations which express the nature of sacred

    things and the relations which they sustain either with each other or with

    profane things.”22

    Asal-usul ide tentang “Yang Sakral” melahirkan sejumlah

    kepercayaan dalam agama. Durkheim menjelaskan bahwa agama secara

    sosial, mencari asal-usul agama dalam tingkat kehidupan sosial (bukan

    pada tingkat pribadi). Di mana agama menjadi sumber inspirasi bagi

    para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup serta mentaati aturan

    yang berlaku dalam hidup bersama. Karena agama juga menjawab

    problem dan kebutuhan individu maupun kebutuhan pribadi. Ide

    20

    Emile Durkheim, The Elementary Forms…,52 21

    Robert N. Bellah (Ed.), Emile Durkheim, On Morality and Society, (Chichago and London: The Universitas of Chichago Press, 1973), x

    22 Ibid

  • keagamaan lahir dari lingkungan sosial. Dengan demikian agama

    adalah ekspresi dari masyarakat, suatu sistem ide dengan mana

    individu-individu menjadi bagian dari masyarakat. Kekuatan

    keagamaan merupakan kekuatan manusia, kekuatan moral. Karena

    setiap masyarakat adalah sui generis, maka agama adalah juga sui

    generis.23

    Hal yang sakral dan profan memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri yang

    sakral dan profan bagi Durkheim adalah sebagai berikut:

    “All known religious beliefs, whether simple of complex, present one

    common characteristic: they presuppose a classification of all the

    things, real and ideal of which men think, into two classes or

    opposed groups, generally designated by two distinct terms which

    are translated weel enough by the world profane and sacred.This

    division of the world into two domains, the one containing all that is

    sacred the other all that is profane, is the distinctive trait of religious

    thought; the beliefs, myths, dogmas and legends are either

    representations or system of representation which express the nature

    of sacred things, the virtues powers which are attributed to them, or

    their relations with each other and with profane things”. 24

    Uraian di atas pada intinya memberi penjelasan bahwa hal-hal sakral

    muncul terutama berkaitan dengan apa yang menjadi konsentrasi sebuah

    masyarakat, sedangkan yang profan adalah apa yang menjadi urusan pribadi

    dari individu.

    23

    Emile Durkheim, The Elementary Forms…, 205, 209, 255, 256, 229 24

    Ibid., 52

  • 2. Fungsi Agama dalam Masyarakat

    Agama memiliki beberapa fungsi bagi manusia, di antaranya fungsi

    pertama adalah mengatur kehidupan kolektif. Di sini agama memberi prinsip-

    prinsip abadi untuk mengatur kehidupan bersama. Prinsip itu diperlukan

    sebagai arah bersama, terutama karena dunia ini terus berubah. Fungsi yang

    kedua ialah agama melengkapi pengetahuan manusia dalam usaha menemukan

    realitas tertinggi. Manusia memiliki akal budi yang digunakan untuk

    memahami agama yang dipandang sebagai buah pewahyuan Sang Realitas

    Tertinggi itu sendiri. Jawaban manusia dengan imannya tergantung juga pada

    pemahamannya. Dengan demikian, bagi manusia agama akan terus berkembang

    menjadi dinamis. Dan fungsi yang ketiga, tidak terlepas dari fungsi kedua yakni

    membantu manusia untuk menemukan egonya sendiri, menemukan jati dirinya

    sebagai makhluk yang berhadapan dengan penciptanya yang pada akhirnya

    mendukung pemahamannya akan jati dirinya dan diharapkan dapat lebih

    memperjelas arah hidupnya sebagai pribadi tercipta.25

    Selain ketiga fungsi diatas, bagi Durkheim Agama berfungsi sebagai

    pembangkit perasaan sosial memberikan simbol dan ritual-ritual yang

    memungkinkan masyarakat mengekspresikan perasaan mereka yang selalu

    terikat dengan komunitasnya. Karena itu agama merupakan sesuatu yang

    bersifat sosial dalam setiap kebudayaan, agama adalah bagian yang paling

    25

    AL Andang, Agama, Yang Berpijak dan Berpihak, Frans Magnis Suseno dalam “Kata Pengantar” (Yogyakarta: Kanisius, 1988), 92.

  • berharga dalam kehidupan sosial, agama melayani masyarakat, dengan

    menyediakan ide, ritual dan kesadaran akan perasaan tertentu yang akan

    menuntun seseorang dalam hidup bermasyarakat, untuk kemudian memperkuat

    eksistensi masyarakat itu sendiri.na itu

    3. Masyarakat Sebagai Sebuah Komunitas

    Durkheim melihat masyarakat sebagai wadah yang paling sempurna

    bagi kehidupan bersama antar manusia, sesuatu yang berada diatas segala-

    galanya. Ia bersifat menentukan dalam perkembangannya. Hal-hal yang

    paling dalam pada jiwa manusia pun berada di luar diri manusia sebagai

    individu, misalnya kepercayaan keagamaan, kategori alam pikir, kehendak

    bahkan hasrat untuk bunuh diri. Hal-hal tersebut bersifat sosial dan terletak

    dalam masyarakat.26

    Yang dimaksud oleh Durkheim disini adalah masyarakat

    ada dalam diri individu. Masyarakat bukan melulu jumlah individu-individu

    namun tidak lepas dari individu itu sendiri. Disini Durkheim menolak suatu

    realisme yang mengakui mayarakat sebagai suatu realitas yang berada “di

    atas” individu yang membentuknya. Masyarakat tidaklah transenden dan juga

    tidak metafisik, melainkan (nature) – alamiah. Sifat alamiahnya terdiri atas

    fakta bahwa ia merupakan pembentuk atau pengelola kebudayaan.

    Dari persekutuan individu-individu timbullah ide-ide, cita-cita, bahasa,

    kebiasaan, adat-istiadat, simbol-simbol dan norma-norma moral yang

    26

    Bnd. Djuretna A. Imam Muhni, Moral & Religi: Menurut Emile Durkheim & Henri Bergson (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 28.

  • keseluruhannya merupakan kesatuan.27

    Durkheim mengajukan suatu kategori

    fakta dengan sifat-sifat khas yang jelas yaitu cara bertindak berfikir dan

    merasa semuanya berada diluar individu dan memiliki kekuatan menguasai,

    dengan demikian dapat mengatur individu. Maksudnya di sini adalah setiap

    individu membentuk suatu jenis gejala baru dengan istilah sosial, sumbernya

    adalah kehidupan bersama.

    Masyarakat yang hidup bersama untuk jangka waktu cukup lama ini

    menghasilkan kebudayaan. Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup

    pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan

    sebagainya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.28

    Bergson

    berpendapat bahwa manusia ini ingin hidup bersama bukan karena persamaan,

    melainkan perbedaan yang terdapat dalam sifat, kedudukan dan sebagainya.

    Berdasarkan adat, sifat meniru perasaan solidaritas dalam golongan keluarga,

    suku bangsa, negara dan seterusnya akan menjadi kuat dan luas. Ikatan solider

    ini berlainan sifatnya ke dalam dan ke luar. Yang ke dalam merupakan ikatan

    diantara anggota-anggotanya sedangkan ikatan ke luar, artinya ikatan terhadap

    lain golongan.29

    Masyarakat juga merupakan suatu kesatuan yang selalu berubah,

    karena proses masyarakat yang menyebabkan berubahan itu. Dalam zaman

    biasa, masyarakat mengenal kehidupan teratur dan aman, disebabkan oleh

    27

    Ibid., 38 28

    Soerjono, Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali, 1982), 166 29

    Hassan Shadily, Sosiologi: Untuk Masyarakat Indonesia, ( Jakarta: Bina Aksara, 1983), 57

  • pengorbanan sebagian kemerdekaan dari anggota-anggotanya, baik dengan

    paksa maupun sukarela. Pengorbanan yang dimaksudkan disini adalah

    menahan nafsu makan atau kehendak sewenang-wenang, untuk

    mengutamakan kepentingan dan keamanan bersama. Dengan paksa berarti

    tunduk kepada hukum-hukum yang telah ditetapkan (negara, perkumpulan

    dan sebagainya), dengan sukarela berarti menurut adat dan berdasarkan

    keinsyafan akan persaudaraan dalam kehidupan berasama itu.30

    Masyarakat yang dimaksudkan oleh Durkheim dalam menganalisis

    tindakan-tindakan kemanusiaan adalah masyarakat sebagai komunitas.

    Meskipun dalam bahasa Prancis digunakan kata societe dan dalam bahasa

    Inggris society, masyarakat bagi Durkheim berakar pada kata Latin

    communitas, bukan societas.31

    Perkataan society dalam arti umum

    diterjemahkan dalam bahasa Indeonesia dengan masyarakat, yaitu suatu badan

    atau kumpulan manusia yang hidup bersama sebagai suatu anggota

    masyarakat. Society dalam arti masyarakat umum lain pula artinya dari pada

    community. Community menunjukan arti masyarakat yang terbatas.32

    Umpamanya masyarakat Melonguane. Jadi masyarakat yang dimaksud

    penulis disini sama dengan yang dimaksud oleh Durkheim yakni masyarakat

    sebagai Community.

    30

    Ibid., 50 31

    Bnd. Djuretna A. Imam Muhni, Moral & Religi: Menurut Emile Durkheim & Henri Bergson (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 30

    32 Hassan Shadily, Sosiologi: Untuk Masyarakat Indonesia..., 60

  • Istilah Community (komunitas) dapat diterjemahkan sebagai

    “masyarakat setempat”, istilah ini menunjuk pada warga-warga sebuah desa,

    kota, suku atau suatu bangsa. Apabila anggota-anggota suatu kelompok baik

    dalam jumlah besar maupun kecil, hidup bersama sedemikian rupa sehingga

    mereka merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi kepentingan-

    kepentingan hidup yang utama, maka kelompok tadi disebut masyarakat

    setempat. Masyarakat setempat dapat menunjuk pada bagian masyarakat yang

    bertempat tinggal di suatu wilayah (dalam arti geografis) dengan batas-batas

    tertentu dimana faktor utama yang menjadi dasarnya adalah interaksi yang

    lebih besar diantara anggota-anggotanya, dibandingkan dengan interaksi

    mereka dengan penduduk diluar batas wilayahnya.33

    Maka dapat disimpulkan secara singkat bahwa masyarakat setempat

    adalah suatu wilayah kehidupan sosial yang ditandai oleh suatu derajat

    memiliki hubungan sosial tertentu. Didalamnya terdapat kelompok-kelmpok

    dan golongan-golongan lainnya yang dinamakan keluarga, kelas, mungkin

    juga sedikit kasta dimana terdapat aksi-reaksi dan kesadaran akan adanya

    anggota-anggota lain yang menyebabkan orang-orang itu berhati-hati terhadap

    kepentingan-kepentingan sesamanya didalam kelompok masing-masing dan

    terhadap masyarakat luas. Baik untuk kepentingan sendiri, kepentingan

    golongan dan sebagainya orang pada umumnya hidup menurut yang

    33

    Bnd. Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, Bryan S. Turner, Kamus Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 98-99.

  • diharapkan oleh golongan itu yakni mengikuti atau menaati adat, kebiasaan

    dan undang-undang resmi yang berlaku.

    Masyarakat seluruhnya itu memang merupakan wadah dimana

    kebudayaan seluruhnya tercipta dan tumbuh, dan sekaligus membatasi

    kebebasan pribadi para anggotanya.34

    Dengan kata lain masyarakat

    merupakan suatu sistem sosial yang menjadi wadah dari pola-pola interaksi

    sosial atau hubungan interpersonal maupun hubungan antar kelompok sosial.35

    Masyarakat manusia berbeda dengan masyarakat hewan. Yang membedakan

    hal tersebut adalah manusia mengenal perubahan. Manusia mengenal masa

    depan, mengenal kemungkinan-kemungkinan akan berhasil atau gagal,

    manusia juga dikaruniai insting dan intelegensi. Disamping intelegensi

    manusia dikaruniai apa yang disebut intuisi.36

    Manusia merupakan “homo

    religious” (manusia beragama), karena itulah religi memiliki pengaruh besar

    dalam sebuah masyarakat.

    F. Sistem Adat dalam Masyarakat

    Adalah suatu hakekat manusia untuk sedapat mungkin mengetahui

    bagaimana timbulnya gejala-gejala dalam kehidupan masyarakat. Keinginan tadi

    antara lain juga berwujud sebagai suatu hasrat untuk mengetahui tentang kaidah-

    kaidah yang secara sadar maupun tidak sadar menjadi pengatur bagi perikelakuan

    sehari-hari dari manusia. Sejak lahir manusia telah dianugerahi suatu naluri untuk

    34

    Hassan Shadily, Sosiologi: Untuk Masyarakat Indonesia…, 61-62 35

    Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 91 36

    Djuretna A. Imam Muhni, Moral & Religi…, (Yogyakarta: Kanisius: 1994), 16

  • hidup bersama dengan orang-orang lain. Akibat adanya naluri tersebut dan atas

    dasar fikiran, kehendak dan perasaan timbulah hasrat untuk bergaul yang

    kemudian dinamakan dengan interaksi sosial yang dinamis. Interaksi tadi mula-

    mula berpangkal tolak pada cara yang merupakan suatu bentuk perbuatan.

    Apabila bentuk perbuatan tersebut dirasakan sebagai sesuatu yang baik, maka

    perbuatan tersebut mungkin menjadi kebiasaan atau perbuatan diulang-ulang

    dalam bentuk yang sama. Dengan demikian kebiasaan-kebiasaan itu menjadi tata

    kelakuan. Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat hidup dari kelompok manusia.

    Tata kelakuan yang kekal serta kuat integritasnya dengan pola-pola perikelakuan

    masyarakat, dapat meningkat kekuatan mengikatnya sehingga menjadi adat

    istiadat. Adat istiadat merupakan kaedah-kaedah yang tidak hanya dikenal, diakui

    dan dihargai akan tetapi juga ditaati.

    Adat-istiadat mempunyai pengaruh yang kuat dalam masyarakat.

    Kekuatan mengikatnya tergantung pada masyarakat atau bahagian masyarakat

    yang mendukung adat istiadat tersebut yang terutama berpangkal tolak pada

    perasaan keadilannya.37

    1. Adat dan Kebiasaan

    Adat merupakan pencerminan dari kepribadian suatu bangsa. Setiap

    bangsa memiliki adat kebiasaan yang berbeda-beda. Perbedaan ini merupakan

    unsur terpenting yang memberikan identitas terhadap bangsa yang

    bersangkutan. Dalam Negara Republik Indonesia juga terdapat berbagai adat

    37

    Soekanto & Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Hukum Adat (Bandung: Alumni, 1981), 14

  • yang dimiliki oleh daerah-daerah, suku-suku bangsa, meskipun berbeda

    namun dasar dan sifatnya adalah satu, yaitu ke-Indonesiaannya. Oleh karena

    itu adat bangsa Indonesia dikatakan “Bhineka” (berbeda-beda di daerah suku

    bangsanya), “Tunggal Ika” (tetapi tetap satu juga yaitu sifat keindonesiaanya).

    Istilah adat ini berasal dari bahasa Arab „adah’ yang artinya kebiasaan,

    yaitu sesuatu yang sering berulang. Tapi kebiasaan dalam arti adat adalah

    kebiasaan normatif yang telah berwujud aturan tingkah laku yang berlaku

    didalam masyarakat dan dipertahankan oleh masyarakat. Oleh karena adat

    adalah kebiasaan yang normatif dan dipertahankan oleh masyarakat, maka

    walaupun ia tidak berulang tapi harus dilaksanakan, apabila tidak

    dilaksanakan maka masyarakat akan mengadakan reaksi. Selanjutnya

    perbedaan adat dan kebiasan dapat dilihat dari pemakaiannya, adat dipakai

    secara turun-temurun sedangkan kebiasaan mudah berubah dan tidak turun-

    temurun.38

    Pada umumnya adat dibagi atas 4 bagian, yaitu:

    1. Adat yang sebenar adat. Ini adalah merupakan undang-undang alam. Dimana

    dan kapanpun dia tetap akan sama, antara lain adat air membasahi, adat api

    membakar dan sebagainya.

    2. Adat istiadat. Ini adalah peraturan pedoman hidup di seluruh daerah ini yang

    diperturunaikkan selama ini, waris yang dijawek pusako nan ditolong, artinya

    38

    Hilman Hadikusumah, Pokok-Pokok Pengertian Hukum Adat (Bandung: Alumni, 1980), 16

  • diterima oleh generasi yang sekarang dari generasi yang dahulu supaya dapat

    kokoh berdirinya.

    3. Adat nan teradat. Ini adalah kebiasaan setempat. Dapat ditambah ataupun

    dikurang menurut tempat dan waktu.

    4. Adat yang diadatkan. Ini adalah adat adat yang dapat dipakai setempat seperti

    dalam satu daerah adat menyebut dalam perkawinan mempelai harus memakai

    pakaian kebesaran, kalau tidak helat tidak akan terjadi; tapi pada waktu

    sekarang karena sukar mencari pakaian kebesaran itu maka pakaian bisa saja

    dipakai oleh mempelai tadi.

    Frank L. Cooley dalam penelitiannya di Maluku memahami adat

    dalam beberapa hal. Pertama, adat sebagai keniasaan-kebiasaan dalam

    kehidupan; dan kedua, kebiasaan dalam hidup berkenan dengan tetap

    dilakukannya hal-hal tertentu yang dianggap wajib bagi seluruh masyarakat

    dan harus dilakukan menurut aturan yang telah ditetapkan.39

    2. Hukum Adat

    Menurut beberapa sarjana misalnya Bushar Muhammad (1961) dan

    vsn Dijk (1960), istilah hukum adat merupakan terjemahan dari istilah dalam

    bahasa asing yaitu “adatrecht”. Istilah ini diperkenalkan oleh van

    Vollenhoven dan murid-muridnya.

    39

    Bnd. 39

    Ermila Jamal, Pemahaman Masyarakat Pelauw Tentang Agama Dan Adat (Suatu Kajian Sosio – Religi Terhadap Masyarakat Pelauw di Pulau Haruku – Maluku Tengah), (Salatiga:

    Universitas Kristen Satya Wacana, 2007), 36

  • Istilah hukum adat bukan rangkaian istilah hukum dan istilah adat

    melainkan sebagai terjemahan dari istilah buatan orang Belanda yang disebut

    adatrech. Untuk pertama kalinya istilah ini dipakai oleh Snouck Hurgronye

    dadalam buku karangan yang berjudul Orang-orang Aceh dengan maksud

    untuk menyatakan adanya adat-adat yang mempunyai akibat hukum. Istilah

    ini kemudian diambil Van Volenhoven menjadi istilah teknis ilmu

    pengetahuan hukum didalam bukunya berjudul Hukum adat Hindia Belanda.40

    Berikut ini ada beberapa pengertian para`sarjana hukum mengenai

    hukum adat yang di kutib oleh Surojo Wignjodipuro sebagai berikut:41

    a. Prof. Dr. Supomo

    Dalam karangannya mengenai “Beberapa catatan mengenai

    kedudukan hukum adat”, memberi pengertian-pengertian-hukum-adat sebagai

    hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislative (unstautory law)

    meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh

    peraturan-peraturan yang berwajib, tapi tetap ditaati dan didukung oleh rakyat.

    b. Dr. Sukanto

    Dalam bukunya “meninjau hukum adat Indonesia” mengartikan

    hukum adat sebagai kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan,

    tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, mempunyai akibat

    hukum.

    40

    Ibid., 20 41

    Bnd. Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: Gunung Agung: 1983), 14-15

  • c. Mr. J. H. P. Bellefroid

    Dalam bukunya “Inleiding tot de recchtswetenschap in Nederland”

    member pengertian hukum adat sebagai peraturan hidup yang meskipun tidak

    diundangkan oleh penguasa tapi tetap dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan

    keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.

    d. Prof. M.M. Djojodigueno S.H

    Dalam bukunya “Asas-asas hukum adat” menurutnya “hukum adat

    adalah hukum yang tidak bersumber pada peraturan-peraturan”.

    Dari keempat pendapat para ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa

    hukum adat merupakan hukum yang tidak tertulis namun wajib dijalankan

    oleh masyarakat. ada pendapat lain pula mengenai hal tersebut. Menurut

    Abdulrahman dalam jurnal “Jurnal Pluralisme Hukum” bahwa Hukum adat

    merupakan bagian dari adat yang merupakan perasaan langsung dari perasaan

    keadilan dan kepatutan dari rakyat mengenai hubungan kemasyarakatan.42

    3. Sejarah Hukum Adat

    Hukum Adat yang kita kenal sekarang telah ada sejak dulu bahkan

    sejak manusia ada di bumi dan hidup sebagai makhluk sosial. Hukum ini juga

    dinamakan dengan hukum kebiasaan. Soleman menyatakan timbulnya hukum

    kebiasaan karena manusia pada hakekatnya merupakan makhluk sosial.

    Menurut Hilman Hadikusuma proses perkembangan hukum adat

    dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor iklim dan keadaan lingkungan

    42

    H. Abdulrahman., Hukum Adat dalam Perkembangan Hukum Pluralisme Indonesia (Jurnal Pluralisme Hukum, 2007)

  • serta sifat watak sesuatu bangsa, begitu pula ia dipengaruhi oleh kepercayaan

    magi dan animism peninggalan zaman leluhur, masuknya pengaruh agama

    dan oleh adanya kekuasaan pemerintah atasan atau dikarenakan pergaulan

    dengan orang-orang asing.43

    Di Indonesia, faktor magi dan animisme memiliki pengaruh yang

    begitu besar, sehingga tidak dapat atau belum dapat hilang didesak oleh

    agama yang kemudian datang. Hal ini terlihat dalam wujud pelaksanaan-

    pelaksanaan upacara adat yang bersumber pada kepercayaan kepada

    kekuasaan-kekuasaan serta kekuatan-kekuatan gaib, yang dapat dimohon

    bantuannya. Animisme percaya bahwa segala sesuatu di alam ini bernyawa.

    Dan animism ini bercabang dua, yaitu: fetisisme yakni yang memuja jiwa-

    jiwa yang ada pada segala sesuatu dalam alam semesta serta memiliki

    kemampuan yang jauh lebih besar dari kemampuan manusia. Kedua yakni

    Spiritisme yang memuja roh-roh leluhur dan roh-roh lainnya, yang baik

    maupun yang jelek sifatnya; percaya bahwa roh-roh dimaksud hidup dalam

    dunia ini juga.

    Faktor kedua adalah faktor agama (Hindu, Islam dan Kristen). Faktor

    agama Hindu kurang lebih apa abad ke-8 dibawah oleh orang-orang India

    masuk ke Indonesia dengan membawa agamanya yang berlainan dengan

    kepercayaan Bangsa Indonesia. Pengaruh agama Hindu terbesarnya terdapat

    di Bali, tapi pengaruh dalam hukum adatnya sedikit sekali. Berikutnya adalah

    faktor agama Islam. Agama ini di bawah masuk di Indonesia oleh pedagang-

    43

    Ibid., Hilman Hadikusuma, 15

  • pedagang dari Malaka dan Iran pada akhir abad ke-14 dan permulaan abad ke-

    15. Agama ini tersebar pesat sekali di Indonesia. penyebarannya berlangsung

    secara damai dengan jalan perkawinan oleh karena itu dapat meresap pada

    bangsa Indonesia. pengaruh terbesar nyata sekali terlihat dalam hukum

    perkawinan yaitu dalam cara melangsungkan dan memutuskan perkawinan

    dan lembaga wakaf. Faktor ketiga yakni Agama Kristen. Agama ini dibawa

    oleh pedagang-pedagang bangsa Barat masuk Indonesia. kemudian meluas

    melalui Zending dan missie ke seluruh kepulauan yang ada di Indonesia.

    Pengaruh terbesarnya juga terlihat dalam perkawinan dan resepsinya.44

    Namun perkawinan menurut agama ini selalu diikuti dengan perkawinan

    menurut adat. Hal ini masih dilakukan dibeberapa tempat termasuk di

    Melonguane

    Faktor kekuasaan yang lebih tinggi dari pada persekutuan hukum adat

    yaitu kekuasaan-kekuasaan yang meliputi daerah-daerah yang lebih luas dari

    pada wilayah satu persekutuan hukum, seperti kekuasaan raja-raja.

    4. Sifat Hukum Adat

    Pada hakekatnya hukum adat bersifat tidak tertulis artinya tidak akan

    dijumpai bahan-bahan hukum yang bersifat tertulis. Sehubungan dengan itu

    maka hukum adat mempunyai sifat yang mudah untuk menyesuaikan diri,

    sehingga hukum adat itu akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut

    dilakukan tidak dengan cara menghapuskan dan mengganti aturan-aturan yang

    44

    Ibid., Surojo Wignjodipuro, 33-34

  • ada dengan yang lain secara spontan, akan tetapi perubahan itu akan terjadi

    karena pengaruh dari situasi-situasi tertentu dalam proses kehidupan

    masyarakat. Setiap masyarakat secara pasti akan mengalami perubahan.

    Demikian juga dengan hukum yang berlaku dalam masyarakat.perubahan itu

    terjadi karena terjadi perubahan dalam cara berfikir masyarakat yang

    disebabkan karena antara lain situasi-situasi tertentu dalam proses kehidupan

    masyarakat itu.45

    G. Pengaruh Agama Kristen Terhadap Hukum Adat

    Agama memiliki pengaruh yang besar dalam sebuah masyarakat. Setiap

    agama memiliki peraturan yang harus dipatuhi oeh setiap anggotanya tak terkecuali

    dengan agama Kristen. Menurut J Prins Agama Kristen dalam hukum mempunyai

    pengaruh yang mengakibatkan pengidividuan, pembedaan dan sekularisasi.46

    Sosiologi Hukum menyatakan bahwa agama dapat mempunyai pengaruh

    besar dalam menentukan isi hukum dalam suatu masyarakat. Dalam hukum adat hal

    tersebut juga menjadi kenyataan. Apabila orang berbicara mengenai pengaruh agama

    dalam hukum adat, pada umumnya yang diutarakan adalah unsur atau pengaruh

    agama yang kini dianut oleh masyarakat. Agama yang datang dari luar seperti Hindu,

    Islam dan Kristen. Perlu disadari pula bahwa sebelum agama-agama ini masuk, adat

    sudah mengandung corak keagamaan asli (bahkan mungkin sesudah) menganut

    agama yang baru.

    45

    Soleman Biasane Taneko, Dasar-dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1981), 24-25

    46 J. Prins, Pengaruh Kristen Terhadap Hukum Adat, Jakarta: BHRATARA, 1973. 32

  • Berkaitan dengan pengaruh agama terhadap hukum adat, terdapat

    teori receptio in complex. Teori ini dikemukakan oleh Mr. W.C. van den Berg,

    Guru Besar di Delf dan Penasihat bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam pada

    Pemerintah kolonial Belanda. Dikenal dengan teori “receptio in complexu”. Menurut

    Teori ini jika seseorang memeluk suatu agama maka ia akan menerima seluruh

    hukum agama itu. Jika diluaskan maka dapat dikatakan, jika suatu masyarakat

    menerima suatu agama baru maka masyarakat yang bersangkutan akan menerima

    hukum agama baru itu seluruhnya. Atas dasar pandangan tersebut maka orang

    menganggap bahwa hukum adat identik dengan hukum agama yang dipeluk

    masyarakat bersangkutan.47

    Menurut teori ini juga adat-istiadat dan hukum (termasuk hukum adat) suatu

    masyarakat adalah resepsi seluruhnya dari agama yang dianut oleh masyarakat yang

    bersangkutan. Latar belakang dari teori ini adalah bahwa apabila suatu masyarakat

    telah memeluk suatu agama, maka harus mengikuti hukum-hukum atau ajaran-ajaran

    agama dengan setia.48

    Kesalahan identifikasi ini dimana bagian terbesar hukum adat diidentifikasi

    sebagai hukum agama oleh pembuat ordonansi, kemudian ditentang oleh Sbouck

    Hurgronje dan van Vollenhoven karena tidak sesuai dengan kenyataan yang berlaku

    ketika itu. Pada kenyataannya memang tidak semua ajaran agama diterima dan

    47

    AGAMA DAN ADAT: Suatu Pemikiran tentang Kehidupan Beragama Sekaligus Beradat (Jakarta: Proyek Penerangan, Bimbingan dan Da’wah/Khotbah Agama Protestan Dep. Agama. RI, 1976), 23-24

    48 Soleman Biasane Taneko, Dasar-dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat…, 27

  • menjadi hukum adat, sebagaimana dilihat dalam hubungan manusia dengan Tuhan

    maupun dalam hubungan manusia dengan manusia. Sesungguhnya menyamakan

    hukum agama adat dan hukum keagamaan memang tidak sesuai kenyataan dan akan

    menyulitkan peradilan, tetapi tidak berarti bahwa hukum adat tidak mengandung

    unsur-unsur agama. Oleh karenanya hingga saat ini hukum adat selalu masih

    diartikan dengan hukum yang mengandung unsur-unsur agama, disamping unsur-

    unsur adatnya.49

    Apakah yang menjadi latar belakang dari perundang-undangan dimasa Hindia

    Belanda dahulu memakai istilah peraturan keagamaan (godsdienstige weten), adalah

    dikarenakan pemerintah Belanda ketika membuat Undang-undang ketatanegaraan

    tersebut pada tahun 1947 dipengaruhi oleh teori Van Den Berg dan Salmon Keyzer

    yang disebut reception in complex atau penerimaan secara bulat. Menurut teori ini

    maka adat-istiadat dan hukum sesuatu golongan masyarakat adalah resepsi

    seluruhnya dari agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Jadi hukum adat

    sesuatu golongan masyarakat adalah hasil penerimaan bulat dari hukum agama yang

    dianut oleh golongan masyarakat itu.50

    49

    Ibid, 22 50

    Hilman Hadikusumah, Pokok-pokok Pengertian Hukum Adat (Bandung: ALUMNI, 1980), 21.

  • H. Hari Minggu dan Hari Sabat

    Bangsa Yahudi sejak purbakala merayakan Sabat untuk memperingati hari

    Allah berhenti setelah menggenapi karya penciptaan alam semesta. Mereka

    merayakan hari sabat pada hari shabbat kodesh dalam kalender Masehi hari itu

    disebut hari Sabtu sedangkan Umat Kristen sejak abad pertama merayakan Sabat

    pada hari Minggu (hari pertama) sesuai kalender Masehi. Sejarah gereja mencatat

    bahwa Yesus Kristus bangkit dari kematian pada hari Minggu menurut kalender

    Masehi. Hari kebangkitan itu disebut Hari Tuhan, hari Yesus Kristus berhenti

    setelah menggenapi karya penyelamatan manusia. Karena itu Umat Kristen mula-

    mula merayakan Hari Tuhan pada hari Minggu dan disebut sebagai hari sabat. 51

    Minggu dalam kamus besar bahasa Indonesia merupakan hari pertama

    dalam jangka waktu satu Minggu.52

    Minggu memiliki sejarahnya sehingga

    menjadi hari yang dikuduskan. Kalender modern pertama seperti yang kita miliki

    sekarang mulai berlaku pada tahun 45 SM oleh Julius Caesar. Nama-nama hari

    seperti yang ada sekarang juga digunakan sejak itu. Karena bangsa Babel

    menyembah planet-planet, banyak orang mulai menyebut hari-hari dalam pekan

    dengan nama-nama planet.53

    Namun orang-orang Ibrani dan para penulis Alkitab

    tidak pernah melakukan demikian. Itulah sebabnya mengapa, meskipun nama-

    nama hari seperti yang ada sekarang – misalnya Minggu, Senin dan seterusnya –

    51

    Diakses dari: http/Sabat&Adat/hari_sabat_vs_hari_tuhan.htm, Senin, 19 Maret, 2012, 18.30 WIB

    52Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai

    Pustaka,2002) 53

    A. Jan Marcussen, Undang-undang Hari Minggu Nasional: Kekuatan-kekuatan dunia bersatu di tengah krisis yang hebat, (Yayasan Komunikasi Kristen Indonesia, 1999), 88

  • sudah ada ketika zaman Kristus, para penulis-penulis Alkitab tidak pernah

    merujuk kepada hari-hari dengan nama ini, oleh karena pernah nama-nama itu di

    yakini berasal dari kekafiran.

    Agama tua dari zaman Babel dan Persia yang menyebutkan nama-nama

    hari dalam pekan sesuai nama-nama planet adalah agama Mithra. Yang ilahnya

    dipopulerkan oleh Zoroazter di Persia sekitar tahun 630. Oleh sebab Mithra

    dianggap sebagai ilah yang besar, para serdadu Romawi menjadi penyembah-

    penyembahnya. Dalam perjalanan mereka membawa gagasan penamaan hari-hari

    dalam pekan menurut nama-nama planet diantara suku-suku Teutonik, yang

    sekarang dikenal sebagai wilayah Jerman. Bangsa Teuton ini menggantikan

    beberapa ilah mereka dengan planet-planet untuk nama-nama hari (ini terjadi

    sebelum zaman Kristus). Nama-nama ini diberlakukan dan digunakan sampai

    sekarang. Berikut ini merupakan daftar ilah-ilah Teutonik dan hari-hari dalam

    pekan, yakni:54

    Matahari -- Hari Minggu Sunday

    Bulan – Hari Senin Monday

    Tiu – Hari Selasa Tuestdey

    Woden – Hari Rabu Wednesday

    Thor – Hari Kamis Thursday

    54

    Ibid.,

  • Figg – Hari Jumat Friday

    Seturn – Hari Sabtu Saturday

    Dengan melihat penjelasan di atas, dapatlah dikatakan bahwa bagi

    agama Mithra, nama “Minggu” di gunakan sebagai hari pertama yang berasal

    dari nama dewa Matahari. Dewa ini dianggap sebagai dewa tertinggi dan

    dikuduskan karena itulah Minggu menjadi hari yang kudus bagi mereka.

    Berbeda dengan agama Mithra, Agama Kristen Menguduskan Hari Minggu

    untuk memperingati kebangkitan Yesus. Dengan demikian Minggu dikatakan

    sebagai hari pertama sabat. Sabat itu sendiri terdapat juga dalam Perjanjian

    lama, bagi bangsa Israel disucikan karena untuk memperingati hari

    peristirahatan Allah dari proses penciptaan-Nya. dan Allah pun menghendaki

    agar manusia melakukan hal yang sama terhadap Sabat-Nya.

    Salah satu ayat Alkitab dalam Perjanjian Lama yang berbicara tentang

    Sabat dalam adalah Salah satu dari sepuluh hukum taurat khususnya hukum

    ke empat berbicara mengenai sabat adalah sebagai berikut:

    “Ingatlah akan hari Sabat supaya menyucikannya. Enam hari

    lamanya hendaklah engkau bekerja dan melaksanakan semua

    tugasmu, tetapi hari yang ke tuju ialah sabat Tuhan Allahmu; pada

    hari itu jangan kamu melakukan pekerjaan apapun juga, baik kamu

    atau anakmua laki-laki, atau pelayanmu perempuan, atau binatang-

    binatangmu, ataupun orang asingmu yang ada didalam pintu-pintu

    gerbangmu. Karena dalam enam hari Tuhan teah menjadikan langit

    dan bumi, dan beristirahat pada hari ke tujuh.Sebab itu Tuhan

    memberkati hari sabat itu dan menyucikannya.” (Kel. 20:8-11).

  • Ternyata pada perintah yang ke empat dari hukum Taurat itu terdapat

    adanya beberapa kewajiban hukum bagi manusia untuk dilaksanakan, yaitu:55

    1). Adanya kewajiban untuk selalu ingat akan hari Sabat Tuhan, dan

    menyucikannya untuk memperingati Tuhan Allah sebagai pencipta, yang

    telah menciptkan langit dan bumi dalam enam hari dari minggu pertama

    kejadian yang lalu.

    2). Adanya kewajiban untuk bekerja selama enam hari pada setiap

    minggu, karena Tuhan Allah sendiri telah bekerja menciptakan langit dan

    bumi selama itu.

    3). Adanya kewajiban untuk berhenti dan beristirahat pada hari yang ke

    tujuh, karena itulah sabat Tuhan Allah kita. Sabat=Istirahat, berhenti atau

    libur.

    4). Adanya kewajiban untuk selalu mengkhususkan dan menyucikan hari

    Sabat Tuhan, karena Tuhan sendiri memberkati dan menyucikannya.

    Sabat (שבת shabbāṯ, "istirahat" atau "berhenti bekerja" dalam bahasa

    Ibrani, atau Shabbos dalam ucapan Ashkenazi), adalah hari istirahat

    setiap Sabtu dalam Yudaisme. Hari Sabat dirayakan dari saat sebelum

    matahari terbenam pada hari Jumat hingga tibanya malam pada hari Sabtu.

    Perayaan ini dilakukan oleh banyak orang Yahudi dengan berbagai tingkat

    keterlibatan dalam Yudaisme. Dari kata Sabat ini diperoleh

    55

    John Terinathe, Hari Sabat Dan Persiapan Memasuki Kerajaan Daud (Jakarta: Nubuatan Berbicara, 1997), 23.

    http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Ibranihttp://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Ibranihttp://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Ibranihttp://id.wikipedia.org/wiki/Ashkenazihttp://id.wikipedia.org/wiki/Sabtuhttp://id.wikipedia.org/wiki/Yudaismehttp://id.wikipedia.org/wiki/Jumathttp://id.wikipedia.org/wiki/Sabtuhttp://id.wikipedia.org/wiki/Yahudihttp://id.wikipedia.org/wiki/Yudaisme

  • istilah Sabbath dalam bahasa Inggris, Sabt dalam bahasa Arab (بت س ,(ال

    dan Sabtu dalam bahasa Indonesia. Dari kata ini pula muncul konsep

    sabatikal, yaitu berhenti bekerja pada Sabat. Orang Yahudi menganggap

    peringatan Sabat, sebagai hari ke-7 setiap minggu, tidak terputus sejak

    ditetapkan saat Allah menciptakan alam semesta, dimana manusia diciptakan

    pada hari ke-6.56

    Berdasarkan etimologi, kata benda sabat dari akar kata Ibrani

    syin-bet-tau berasal dari kata kerja dengan akar kata yang sama yang

    mengandung arti berhenti dari sesuatu.57

    Dari berbagai penjelasan diatas maka

    dapat disimpulkan bahwa sabat merupakan hari beristirahat atau berhenti dari

    pekerjaan.

    Perayaan hari Sabat adalah peringatan hari ke tujuh, hari Tuhan selesai

    mencipta alam semesta. Mengingat dan menguduskan hari Sabat adalah

    perintah keempat dari Sepuluh Perintah Allah. Alkitab Perjanjian Lama

    mencatat tiga jenis hukum yang berlaku bagi bangsa Yahudi, yaitu hukum

    Taurat atau Sepuluh Perintah Allah, hukum tata ibadah dan hukum

    masyarakat. Sepuluh Perintah Allah dianggap sebagai hukum yang paling suci

    karena ditulis sendiri oleh tangan Allah pada dua loh batu, sedangkan hukum

    tata ibadah dan hukum masyarakat diberikan melalui nabi Musa.58

    56

    Di akses dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Sabat,, Selasa, 6 Maret 2012, 07.43 WIB 57

    Di akses dari: http://www.sarapanpagi.org/sabat-vt311.html., Selasa, 7 Februari 2012, 15.03 WIB

    58 Diakses dari: http://bengcumenggugat.wordpress.com/2011/02/02/hari-sabat-bukan-

    hari-sabtu/. Pada hari Kamis, 29 Maret 2012, 11.34 WIB

    http://en.wikipedia.org/wiki/Sabbathhttp://id.wikipedia.org/wiki/Inggrishttp://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Arabhttp://id.wikipedia.org/wiki/Sabtuhttp://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesiahttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sabatikal&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Allahhttp://id.wikipedia.org/wiki/Manusiahttp://id.wikipedia.org/wiki/Sabathttp://www.sarapanpagi.org/sabat-vt311.htmlhttp://bengcumenggugat.wordpress.com/2011/02/02/hari-sabat-bukan-hari-sabtu/http://bengcumenggugat.wordpress.com/2011/02/02/hari-sabat-bukan-hari-sabtu/

  • Perayaan Sabat adalah perayaan agama yang paling suci bagi bangsa

    Israel yang dimulai saat matahari tenggelam pada hari Jumat hingga Sabtu

    malam ketika 3 bintang muncul di langit. Bangsa Israel merayakan hari Sabat

    sebagai peringatan atas tiga hal yaitu:59

    1. Selesainya penciptaan alam semesta oleh Allah pada hari ketujuh.

    2. Hari pembebasan dari perbudakan bangsa Mesir.

    3. Kerinduan akan kedatangan Mesias.

    Sabat dalam perjanjian lama berbeda dengan sabat dalam Perjanjian

    Baru. Jika sabat dalam perjanjian lama dirayakan pada hari ketujuh atau sesuai

    kalender Masehi pada hari Sabtu. Maka sabat dalam perjanjian baru justru

    dirayakan pada hari Minggu. Karena itu umat Kristen sejak jaman para Rasul

    hingga sekarang merayakan Sabat pada hari Minggu dan menyebutnya sebagai

    Hari Tuhan. Perayaan sabat adalah untuk memperingati:60

    1. Selesainya penciptaan alam semesta oleh Allah pada hari ketujuh.

    2. Selesainya pekerjaan penebusan oleh Kristus, kebangkitan Kristus dari

    kematian pada hari ketiga.

    3. Kerinduan akan kedatangan Kristus yang kedua kali.

    Dari penjelasan di atas mengenai sabat dalam perjanjian lama dan perjanjian

    baru, maka terdapat berbedaan. Sabat dalam Perjanjian Lama yakni hari ketujuh atau

    59

    Ibid 60

    Ibid

  • dalam kalender Masehi disebut Sabtu sedangkan sabat Perjanjian Baru yaitu hari

    pertama sabat (Minggu) ketika Yesus bangkit dari antara orang mati pada hari

    Minggu pagi kurang lebih pada tahun 33 Masehi. Jadi hari Minggu tidak sama

    dengan Hari sabat.