bab ii pengembangan potensi panca indera …repository.uinbanten.ac.id/4558/3/bab ii.pdf2. protein...
TRANSCRIPT
30
BAB II
PENGEMBANGAN POTENSI PANCA INDERA
(PENDENGARAN DAN PENGLIHATAN) DAN AKAL
DALAM PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF AL-
QURʻAN SURAT AN-NAḤL AYAT 78 KAJIAN TAFSIR
AL MISHBAH DAN IBNU KATSIR
A. Pengembangan
Pengertian Pengembangan
Kata pengembangan berarti „‟proses, cara, perbuatan
mengembangkan‟‟.1Pengembangan adalah suatu usaha untuk
meningkatkan kemampuan teknis, teoritis, konseptual, dan moral
sesuai dengan kebutuhan melalui pendidikan dan latihan.
Pengembangan adalah suatu proses mendesain pembelajaran
secara logis, dan sistematis dalam rangka untuk menetapkan
segala sesuatu yang akan dilaksanakan dalam proses kegiatan
belajar dengan memperhatikan potensi dan kompetensi peserta
didik.2
Pada hakikatnya pengembangan adalah upaya pendidikan
baik formal, non formal maupun informal yang dilaksanakan
1 A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam,
(Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2015), h. 4. 2 Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005), h. 24.
31
secara sadar, terencana, terarah, teratur, dan bertanggung jawab
dalam rangka, memperkenalkan, menumbuhkan, membimbing,
mengembangkan suatu dasar kepribadian yang seimbang, utuh,
selaras, pengetahuan, keterampilan sesuai dengan bakat,
keinginan serta kemampuan-kemampuan sebagai bekal atas
prakarsa sendiri untuk menambah, meningkatkan,
mengembangkan diri ke arah terapainya martabat, mutu dan
kemampuan manusiawi yang optimal dan pribadi mandiri. Dari
pengertian ini maka dapat diartikan bahwa pengembangan
merupakan suatu proses untuk menjadikan potensi yang ada
menjadi sesuatu yang lebih baik dan lebih besar memberikan
manfaat baik bagi dirinya sendiri maupun untuk yang lain.
Dalam proses pengembangan maka akan timbul yang
disebut dengan perkembangan. Jika pengembangan merupakan
upaya untuk mengembangkan sesuatu, maka perkembangan
merupakan proses dari pengembangan itu sendiri, aitu
serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari
proses kematangan dan pengalaman.3Secara sederhana menurut
3 Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Penerjemah,
Istiwidayanti,(Jakarta: Erlangga,t.th.t), h. 2.
32
Seifert & Hoffnung sebagaimana dikutip Desmita,
mendefinisikan perkembangan sebagai’’long-term changes in a
person’s growt, feelings, patterns, of thinking, social
relationships, and motor skills’’. Sementara itu menurut Chaplin
sebagaimana dikutip Desmita, perkembangan meliputi empat hal
yaitu:
a. Perubahan yang berkesinambungan dan progresif dalam
organisme, dari lahir sampai mati.
b. Pertumbuhan
c. Perubahan dalam bentuk dan dalam integrasi dari bagian-
bagian jasmaniah ke dalam bagian-bagian fungsional.
d. Kedewasaan atau kemunculan pola-pola asasi dari
tingkah laku yang tidak dipelajari.4
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
perkembangan tidak terbatas pada pertumbuhan yang semakin
lama semakin membesar, akan tetapi perkembangan juga
mengandung arti serangkaian perubahan yang berproses secara
terus menerus baik pada sapek jasmani maupun rohani yang
4 Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2010), h. 9.
33
dimiliki setiap individu menuju ke tahap pematangan melalui
pendidikan dan pembelajaran. Perkembangan yang berlangsung
secara baik dan terarah akan menghasilkan bentuk-bentuk dan
ciri-ciri kemampuan baru yang berlangsungdari tahap aktifitas
yang sederhana ke tahapaktifitas yang lebih tinggi.
Perkembangan bergerak secara berangsur-angsur tetapi pasti
melalui suatu bentuk atau suatu tahap kebentuk atau tahap
berikutnya yang semakin lama semakin maju.
B. Potensi
1. Pengertian Potensi
Potensi adalah kemampuan yang mungkin untuk
dikembangkan berupa kekuatan, kesanggupan atau daya.5
Kesanggupan atau daya ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu,
kualitas memiliki daya, kemampuan untuk menjalankan daya
dan untuk bertindak, dan kesanggupan kemampuan untuk
menjadi sesuatu yang mempunyai jenis tertentu. Potensi juga
dapat diartikan sebagai jalan yang memungkinkan untuk
5 M. Taufik, Kreativitas Jalan Baru Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Kurnia Kalam Semesta, 2012), h. 58.
34
sesuatu bisa terjadi. Potensi dalam hubungannya dengan aksi
dapat dipahami sebagai sesuatu yang menyebabkan terjadinya
suatu tindakan dan dapat menyebabkan terjadinya suatu
perubahan. Sehubungan dengan esensinya, potensi dapat
dideskripsikan melalui hubungannya dengan aksi sebagai
kemungkinan nyata atau kemampuan untuk melakukan
tindakan.6 Berdasarkan aksi atau tindakannya potensi dapat
dogolongkan menjadi dua bagian yaitu:
a. Potensi Pasif
Potensi pasif merupakan kemampuan untuk
menerima sebuah aksi namun tidak disertai dengan reaksi
apapun sehingga dapat dikatakan pula sebagai potensi murni.
b. Potensi Aktif
Potensi aktif merupakan potensi atau kemampuan
bawaan untuk menjalankan sesuatu yang spesifik menurut
hakekatnya. Potensi ini merupakan potensi yang mampu
menghasilkan reaksi setelah ada dorongan dalam dirinya.
6 Najjar, An Encyclopedic Dictionary of Educational Term English-
Arabic: The Largest Bilingual Enciclopedic Work in the Field of Education
and Educational Psycology, (Beirut-Lebanon: Librairi du Liban Publisher,
2003), h. 806.
35
Reaksi dalam hal ini setidak-tidaknya dapat berupa kegiatan
atau tindakan atau aktivitas yang turun dari satu daya dan
seringkali merupakan suatu produk. Potensi aktif ini telah
termuat di dalam dirinya suatu aksi tertentu. Hal ini
dikarenakan berdasarkan prinsip ksusalitas, tak seorangpun
dapat menghasilkan sesuatu yang belum dia miliki secara
tertentu.7
Berdasarkan proses kejadian manusia, dan unsur
pembentuknya potensi manusia dibagi menjadi dua yaitu
potensi jasmani dan potensi rohani. Kedua potensi tersebut
dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal bilamana
kebutuhan keduanya dapat terpenuhi dengan cukup. Dengan
demikian bila kebutuhan dasar kedua potensi tersebut
terpenuhi, maka manusia dapat menggunakan kedua
potensinya tersebut sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia
yaitu sebagai khalifah di bumi.
7 Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2000), h. 872.
36
a. Potensi Jasmani
Potensi jasmani berkaitan erat dengan anggota tubuh
manusia yang memerlukan pemenuhan kebutuhan berupa
makanan, minuman, olah raga dan lain sebagainya secara
seimbang dalam arti tidak berlebihan dan tidak juga
kekurangan.sebagaimana diajarkan dalam al-Qurʻan sebagai
berikut:
كل مسجد وكلوايبن ءادم خذوا زينتكم عند ل يب ۥإنو اوٱشربوا ول تسرفو
ٱلمسرفي
Artinya:‟‟Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di
setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah dan jangan
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang berlebih-lebihan. (Q.S. Al-Aʻraf [7 ]: 31)
Dalam mengkonsumsi baik makanan maupun minuman,
syariat Islam mengajarkan keseimbangan dalam hal
komposisi kandungannya. Komposisi kandungan yang
terdapat baik pada makanan maupun minuman tersebut yang
lebih dikenal dengan konsep empat sehat lima sempurna dan
enam paripurna. Unsur-unsur kandungan dalam makanan
37
empat sehat lima sempurna dan enam paripurna tersebut
diantaranya adalah:
1. Kabohidrat
2. Protein dan vitamin (terutama dari sayur-sayuran).
3. Lauk pauk protein tinggi.
4. Buah-buahan.
5. Susu dan madu sebagai penyempurna.
6. Halal dan tayyib (baik), yakni baik bagi kesehatan
manusia.
Oleh karenanya Islam tidak membenarkan
mengkonsumsi baik makanan maupun minuman secara
berlebihan walaupun makanan dan minuman itu halal, hal ini
dikarenakan bilamana mengkonsumsi makanan maupun
minuman secara berlebihan akan mengakibatkan tubuh
menjadi tidak sehat karena beban tubuh menjadi lebih berat
dan sekaligus mengakibatkan terkikisnya iman dari hati
karena tidak mengindahkan perintah Allah SWT. Makanan
dan minuman yang seimbang, halal dan tayyib juga akan
berpengaruh pada kerja otak yang pada akhirnya akan
38
berpengaruh pada kinerja akal manusia dalam berpikir.
Potensi jasmani yang teramat penting bagi manusia adalah
pendengaran dan penglihatan. Pendengaran merupakan alat
untuk menerima segala informasi dari luar dirinya berupa
suara.
Penyebutan pendengaran yang lebih dulu dalam
berbagai ayat al-Qurʻan sebagaimana terdapat juga di dalam
surat An-Naḥl ayat 78, menunjukkan bahwa alat
pendengaran mempunyai fungsi yang teramat penting bagi
manusia untuk dapat mendapatkan ilmu pengetahuan. Begitu
juga dengan penglihatan, yang merupakan alat untuk
memperoleh informasi dari luar dirinya yang kemudian
seluruh informasi tersebut baik yang melalui pendengaran
maupun penglihatan yang kemudian diolah oleh otak
manusia yang pada akhirnya akan didapatlah ilmu
pengetahuan. Banyak ayat Al-Qurʻan yang menyeru manusia
untuk melihat dan merenungkan apa yang dilihatnya,
sehingga dapat mencapai hakekatnya.8
8 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2012), h. 13.
39
b. Potensi Rohani
Potensi rohani merupakan konsekuensi logis dari
ditiupkannya ruh pada saat penciptaan manusia pada saat
manusia masih berada di alam rahim. Potensi rohani manusia
berkaitan dengan peribadatan atau penghambaan manusia
kepada penciptanya yaitu Allah SWT. Potensi ini dapat
berupa peribadatan dengan menjalankan perintah Allah SWT
dan menjauhi larangannya. Untuk dapat menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, manusia (umat
Islam) diwajibkan untuk menuntut ilmu, karena hanya
dengan ilmu itulah segala potensi manusia itu dapat
berfungsi secara optimal.9 Hal ini sesuai dengan firman Allah
SWT sebagai berikut;
لس فٱفسحو إذا قيل لكم ت فسحو اٱلذين ءامن و أي هاي ا ي فسح ٱللو ا ف ٱلمج
ا ٱلعلم ا منكم وٱلذين أوت و ي رفع ٱللو ٱلذين ءامن و فٱنشزوا وإذا قيل ٱنشزوا لكم
ت وٱللو با ت عملون خبي درج
Artinya:‟‟ Hai orang-orang yang beriman apabila dikatakan
kepadamu:‟‟Berlapang-lapanglah dalam majlis, maka
lapangkanlah maka niscaya Allah akan memberikan
9 Ramayulis, Psikologi Agama, h. 155.
40
kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan:‟‟Berdirilah
kamu‟‟, maka berdirilah, maka niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.‟‟. (Q.S. Al-
Mujadalah[58]:11)
Dan di dalam surat Ali ʻImran ayat 18 juga disebutkan
sebagai berikut:
شهد اللو أنو ل إلو إل ىو والملئكة وأولو العلم قائما بالقسط ل إلو إل ىو العزيز الكيم
Artinya:‟‟Allah menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan
melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan
keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan melainkan
Dia (yang berhak disembah), Yang maha Perkasa dan Maha
Bijaksana. (Q.S. Ali ʻImran [3]: 18)
Sebuah Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Nabi
Muhammad Saw bersabda:
ومن سلك طريقا ي لتمس فيو علما سهل الله لو بو طريقا إل النة، وما اجتمع
ن هم إل ن زلت عليهم ق وم ف ب يت من ب يوت الله ي ت لون كتاب الله وي تدارسونو ب ي
هم الملئكة ، وذكرىم الله فيمن عنده هم الرحة ، وحفت السكينة، وغشيت
Artinya:‟‟ “Barangsiapa yang menempuh suatu perjalanan
dalam rangka untuk menuntut ilmu maka Allah akan
mudahkan baginya jalan ke surga. Tidaklah berkumpul suatu
kaum disalah satu masjid diantara masjid-masjid Allah,
mereka membaca Kitabullah serta saling mempelajarinya
41
kecuali akan turun kepada mereka ketenangan dan rahmat
serta diliputi oleh para malaikat. Allah menyebut-nyebut
mereka dihadapan para malaikat.” (H.R. Muslim)
2. Potensi Perspektif Al-Qurʻan dan Ḥadiṡ
Dalam Al-Qurʻan terdapat tiga konsep untuk
menunjukkan adanya potensi manusia. Ketiga konsep itu
adalah;
Pertama, konsep manusia sebagai insan. Insan dalam
al-Qurʻan menurut Jayadi, sebagaimana dikutip Ali
Syamsuddin, merupakan dua kata kunci untuk memahami
manusia secara komprehensif. Kata Insan menunjukkan kata
tunggal, sama dengan kata ins, sedangkan untuk
menunjukkan jamak digunakankata al-nas, unas, insiyya,
anasi. Penggunaan kata insan yang berasal dari kata anasa
dan nasiya dalam kaitannya dengan potensi yang dimiliki
manusia mengandung beberapa pengertian sebagai berikut:
1. Melihat (terdapat dalam surat Thaha [20]: 10)
2. Mengetahui (terdapat dalam surat an-Nisa [4]: 6)
3. Meminta izin (terdapat dalam surat an-Nur [24]: 6)
42
4. Dapat menerima pelajaran (terdapat dalam surat al-
;Alaq[96]: 5)
5. Mempunyai musuh yang nyata (terdapat dalam surat
Yusuf [12]: 5)
6. Dapat menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk
menghindari kerugian (terdapat dalam surat al-Asyr
[193]: 1-3)
7. Mendapatkan apa yang dikerjakannya (terdapat dalam
surat an-Najm [53]: 39)
8. Mempunyai keterikatan dengan moral dan etika (terdapat
dalam surat al-Ankabut [29]: 8)
Kata insan dalam Al-Qurʻan diawali dari surat al-ʻAlaq
sebanyak tiga kali, dan secara kuantitatif di dalam Al-Qurʻan
kata insan muncul sebanyak 65 kali.10
Kata insan jika dilihat
dari akar katanya dapat berarti , senang, jinak, dan harmonis.
Atau dapat berarti, lupa, dan ada pula yang berpendapat kata
insan berarti pergerakan atau dinamis. Dari beberapa arti kata
insan tersebut dapat memberikan arti dan gambaran tentang
10
Muhammad Fu‟ad al-Baqi, Al-Mu;jam al-Mufahras li Alfaz al-
Quran al-Karim, (Kairo: Dar al-Hadis, 2001), h. 119.
43
karakteristik dasar manusia yaitu, lalai, tidak stabil, dan dapat
brubah dan diubah.11
Dengan menggunakan kata al-nas,
(bentuk jamak dari al-Insan) menunjukkan adanya kelompok
manusia yang memiliki kemampuan dalam mengembangkan
berbagai kegiatan dalam menjalani kehidupannya. Jika kita
telaah ayat-ayat di atas maka dapat disimpulkan bahwa kata
al-Insan dengan berbagai kata yang serumpun menunjukkan
bahwa makhluk manusia adalah makhluk yang berbudaya.
Keseluruhan aktifitas manusia pada dasarnya adalah
kemampuan manusia dalam mengejawantahkan akalnya
dalam berbagai keadaan kehidupan yang nyata yang dilalui
dengan proses belajar. Kata al-Insan menitik beratkan pada
pengertian bahwa manusia dilihat dari aspek psikis, yaitu
berupa pikiran, perasaan, penglihatan dan pandangan yang
kesemuanya itu bersumber dari daya hidup manusia yaitu al-
Ruh. Oleh karenanya Ruh yang merupakan sumber daya
hidup manusia mempunyai unsur kemampuan dasar (potensi),
11
Taufik, op.cit., p.60.
44
fungsi, sifat, prinsip kerja, dinamis, mekanis yang sangat unik
untuk dapat mewujudkan manusia seutuhnya.
Kedua, konsep manusia sebagai basyar. Konsep basyar
dalam al-Qurʻan menunjukkan manusia dari segi fisik, dan
dalam kehidupan sehari-hari senantiasa berkaitan dengan hal-
hal yang bersifat lahiriah dan didorong oleh berbagai
kebutuhan manusia yang berkaitan dengan fisik. Sebagai
contoh kebutuhan akan makan, minum, seksual,dan lain
sebagainya yang kesemuanya akan mengalami kehancuran
sebagai akhir dari seluruh aktifitasnya. Namun demikian dari
basyar inilah manusia mampu mewujudkan hasil dari olah
pikiran, perasaan, dan kehendaknya yang berupa hasil karya,
karsa, rasa dan cipta manusia yang lebih dikenal dengan hasil
budaya manusia atau yang lebih lazim disebut dengan
kebudayaan.
Ketiga, konsep manusia sebagai al-nafs. Al-Nafs
menurut Jayadi sebagaimana dikutip Ali Syamsuddin bahwa
45
ia diciptakan Allah SWT sebagai totalitas pribadi manusia
secara utuh.12
Potensi atau dengan kata lain kemampuan dasar atau
disebut juga dengan pembawaan, baik di dalam al-Qurʻan
maupun di dalam Ḥadiṡ disebut dengan fitrah. Fitrah secara
bahasa berasal dari kata fatara yang berarti menjadikan.13
Fitrah juga mengandung makna kecenderungan alamiah yaitu
kecenderungan untuk menganut agama yang lurus,
kecenderungan untuk mengenal Tuhan, berpihak pada
kebenaran, berbuat kebajikan, dan menghindari sikap yang
menyimpang.
Fitrah atau kecenderungan alamiah ini perlu ditumbuh
kembangkan dengan melalui berbagai proses, diantaranya
yaitu melalui proses pendidikan, pengarahan, dan
pembelajaran.14
Namun demikian kecenderungan alamiah
yang ada pada manusia ini juga dapat dipengaruhi oleh
12
Ali Syamsuddin, Mengukir Sifat Kepribadian Muslim,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h. 34. 13
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan
Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara,
1996), h. 88. 14
Muhammad Utsman Najati, Psikologi Dalam Perspektif Hadis,
(Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2004), h. 265.
46
berbagai faktor dari luar dirinya. Diantara faktor yang dapat
mempengaruhi fitrah atau kecenderungan alamiah ini adalah
sebagai berikut:
1. Lingkungan
Lingkungan yang buruk akan dapat mempengaruhi
kecenderungan alamiahnya mengalami penyimpangan,
atau bahkan berakibat pada terbentuknya cara pandang
dan perilaku yang kurang baik. Hal ini akan
mengakibatkan tergerusnya nilai-nilai fitrah pada anak
yang jika dibiarkan terus menerus akan semakin sulit
untuk dikembalikan pada keadaan semula.
2. Kondisi Sosial Keluarga
Kondisi sosial keluarga akan sangat berpengaruh pada
berkembang atau tidaknya fitrah anak, sehingga peran
orang tua khususnya sangat berperan penting bagi
perkembangan potensi atau fitrah anak
Kata fitrah terdapat dalam al-Qurʻan diantaranya terdapat
pada surat Ar-Rum ayat 30 sebagai berikut:
47
ين حنيفا فأقم وجهك ل ها لد ل ت بديل للق فطرت اللو الت فطر الناس علي
ين القيم ولكن أكث ر الناس ل ي علمون اللو لك الد ذ
Artinya:‟‟Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama Allah: (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Itulah agama yang
lurus. Namun kebanyakan manusia tidak mengetahui.‟‟(Q.S.
Ar-Rum [30]: 30)
Di samping itu terdapat beberapa Ḥadiṣ Nabi Muhammad
Saw diantaranya yang sudah sangat terkenal adalah:
ث نا ممد بن حرب، عن الزب يدي، عن الزىري، أخب رن ث نا حاجب بن الوليد، حد حد
سعيد بن المسيب، عن أب ىري رة، أنو كان ي قول: قال رسول اللو" ما من مولود إل
سانو، كما ت نتج البهيمة بيمة ي ولد على الفطرة، فأب واه ي هودانو، وي نصرانو، ويج
:جعاء، ىل تسون فيها من جدعاء؟ ث ي قول أبو ىري رة: واق رءوا إن شئتم
Artinya: Hâjib bin al-Walid menceritakan kepada kami
(dengan mengatakan) Muhammad bin Harb menceritakan
kepada kami (yang berasal) dari al-Zubaidi (yang diterima)
darfi al-Zuhri (yang mengatakan) Sa'id bin al-Musayyab
memberitahukan kepadaku (yang diterima) dari Abu Hurairah
bahwa ia berkata, Rasulullah saw bersabda: "Setiap anak lahir
(dalam keadaan) fitrah, kedua orang tuanya (memiliki andil
dalam) menjadikan anak beragama Yahudi, Nasrani, atau
bahkan beragama Majusi, sebagaimana binatang ternak memperanakkan seekor binatang (yang sempurna anggota
tubuhnya). Apakah anda mengetahui di antara binatang itu
ada yang cacat/putus (telinganya atau anggota tubuhnya yang
lain). (H.R. Muslim).
48
Sedangkan potensi atau fitrah yang ada pada diri
manusia diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Fitrah Tauhid (beragama Islam)
Fitrah tauhid telah tertanam dalam diri manusia semenjak
manusia berada di alam arwah, yaitu semenjak ruh
manusia belum ditupkan ke dalam jasmaninya. Fitrah
tauhid ini juga sering disebut dengan religious instink
yaitu dorongan alamiah manusia untuk beragama. Naluri
alamiah manusia ini mempunyai dasar baik pada aspek
biologis maupun psikologis. Pada sapek biologis,tinjauan
genetis dan neuropsikologis otak manusia mendukung
berkembangnya agama dan munculnya berbagai
pengalaman beragama.
Hal ini dapat dilihat antara lain pada belahan otak
manusia. Belahan otak kiri berkaitan dengan kemampuan
manusia berpikir secara rasional dan analitis, sedangkan
otak kanan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat intuitif,
49
emosional, bahkan cenderung irasional.15
Hal ini telah
dijelaskan Allah SWT dalam firmannya:
بن ءادم من ظهورىم ذري ت هم وأشهدىم على أنفسهم وإذ أخذ ربك من
فلي ا ي وم ا ب لى شهدنا أن ت قولو ألست بربكم قالو ذا غ مة إنا كنا عن ى ٱلقي
Artinya:‟‟Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman):‟‟Bukankah Aku ini Tuhanmu?‟‟ Mereka
menjawab‟‟Betul (Engkau Tuhan Kami), kami menjadi
saksi‟‟. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan:‟‟Sesungguhnya
kami(bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)‟‟. (Q.S. Al-Aʻraf [7]: 172)
Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam diri manusia
sudah ada fitrah untuk bertauhid. Fitrah tauhid yang ada
dalam diri manusia itu ialah fitrah untuk memeluk agama
Islam. Hal ini didasarkan sebuah Hadis sebagai berikut:
هم عن دينهم إن خلقت عبادي حن فاء كلهم هم الشياطي فاجتالت وإن هم أت ت
Artinya:“Sesungguhnya Aku ciptakan hamba-hamba-Ku
semuanya dalam keadaan lurus bertauhid (Islam),
kemudian setan mendatangi (menggoda)nya, lalu
memalingkan mereka dari agamanya (supaya tersesat).”
(HR. Muslim no. 2875)
15
M.A. Subandi, Psikologi Agama dan Kesehatan Mental,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 28.
50
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa jika anak yang
terlahir ke dunia menjadi beragama lain maka orang
tuanyalah yang memiliki andil atau yang menyebabkan
anak tersebut tidak beragama Islam. Sebagaimana Ḥadiṣ
berikut:
سانو ما من مولود إل يولد على الفطرة، فأب واه ي هودانو، وي نصرانو، ويج
Artinya:‟‟ Setiap anak lahir (dalam keadaan) fitrah, kedua
orang tuanya (memiliki andil dalam) menjadikan anak
beragama Yahudi, Nasrani, atau bahkan beragama
Majusi.
1. Fitrah Suci
Manusia yang belum atau tidak berdosa dikatakan
suci. Manusia baru akan berdosa manakala ia sudah
baligh dan melanggar hukum-hukum yang telah
ditetapkan Allah SWT. Karena menurut ajaran Islam
manusia sebelum baligh tidak dibebani untuk
melaksanakan hukum Allah. Dengan demikian manusia
yang belum baligh walaupun ia melanggar hukum Allah
tidaklah dianggap berdosa. Jadi ia masih suci, sehingga
51
menurut Islam manusia adalah berfitrah suci. Hal ini
sebagaimana firman Allah SWT sebagai berikut:
ران على ق لوبم ما كانوا يكسبون بل كل
Artinya:‟‟Sekali-kali (tidak demikian), sebenarnya apa
yang mereka usahakan itu menutupi hati mereka‟‟.(Q.S.
Al-Mutaffifin [83]: 14)
2. Fitrah Berakhlak
Nabi Muhammad Saw diutus kepada umatnya
bertujuan untuk menyempurnakan akhlak manusia. Hal
ini sebagaimana sabdanya:
ابعثت لتم صالح الخلق إن
Artinya:‟‟Sesungguhnya aku diutus (oleh Allah swt.)
untuk menyempurnakan akhlak yang baik. (H.R.
Bukhari, Hakim, dan Baihaqi).
Dari Ḥadiṡ di atas memberikan pengertian bahwa pada
mulanya manusia sudah mempunyai fitrah berakhlak,
sedangkan Nabi Muhammad Saw diutus untuk
menyempurnakannya.
52
3. Fitrah Kebenaran
Di dalam Al-Qurʻan Allah menyatakan bahwa
manusia memiliki kemampuan untuk mengetahui
kebenaran, sebagaimana firman-Nya:
فأما الذين آمنوا إن اللو ل يستحيي أن يضرب مثل ما ب عوضة فما ف وق ها
م قولون ماذا أراد اللو بذا وأما الذين كفروا ف ي ف ي علمون أنو الق من رب
وما يضل بو إل الفاسق يضل بو كثيا وي هدي بو كثيا مثل
Artinya: „‟Sesungguhnya Allah tiada segan membuat
perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari
itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka
yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka,
tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud
Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?". Dengan
perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah,
dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang
diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah
kecuali orang-orang yang fasik‟‟. (Q.S. Al-Baqarah [2]:
26)
Karena manusia memiliki fitrah kebenaran, maka Allah
SWT memerintahkan kepada manusia untuk
menyelesaikan persoalan yang timbul diantara mereka
dengan kebenaran. Hal ini sebagaimana firman-Nya:
53
يا داوود إنا جعلناك خليفة ف الرض فاحكم ب ي الناس بالق ول ت تبع الذين يضلون عن سبيل اللو لم عذاب إن الوى ف يضلك عن سبيل اللو
شديد با نسوا ي وم الس
Artinya:‟‟Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan
kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah
keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil
(kebenaran) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu,
karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah
akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan‟‟.
4. Fitrah Kasih Sayang
Allah SWT memberitahukan pada manusia bahwa
manusia itu memiliki fitrah untuk berkasih sayang. Hal
ini sebagaimana firman-Nya:
نكم مودة ها وجعل ب ي ومن آياتو أن خلق لكم من أن فسكم أزواجا لتسكنوا إلي
لك ليات لقوم ي ت فكرون ورحة إن ف ذ
Artinya:‟‟Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir‟‟. (Q.S. Ar-
Rum [30]: 21)
54
Karena manusia memiliki fitrah kasih sayang, maka
Allah SWT memerintahkan kepada manusia, supaya
saling berpesan dengan kasih sayang. Hal ini
sebagaimana firman Allah SWT sebagai berikut:
ث كان من الذين آمنوا وت واصوا بالصب وت واصوا بالمرحة
Artinya:‟‟Dan dia (tidak pula) termasuk orang-orang
yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan
saling berpesan untuk berkasih sayang‟‟. (Q.S. Al-Balad
[90]: 17)
Berdasarkan ayat-ayat tersebut di atas maka manusia
sudah diberi fitrah kasih sayang oleh Allah SWT. Dan
manusia memang ingin mengasihi dan dikasihi.16
5. Fitrah Kemerdekaan
Fitrah kemerdekaan mendorong manusia untuk
berkehendak bebas atau merdeka, tidak ingin dibelenggu
ataupun terbelenggu, tidak ingin diperbudak oleh
siapapun kecuali oleh keinginannya sendiri dan
kecintaannya kepada kebaikan.
16
Muhaimin, op.cit., p.286.
55
6. Fitrah Keadilan
Fitrah keadilan memberikan arti bahwa manusia ingin
memperlakukan dirinya maupun orang lain dengan adil
dan tidak ingin diperlakukan oleh orang lain secara tidak
adil.
7. Fitrah Persamaan dan Persatuan
Secara fitrah sesungguhnya manusia pada hakikatnya
adalah sama, segala perbedaan warna kulit, suku, agama
dan lain sebagainya merupakan ketentuan Allah SWT
sebagai hal yang tidak bisa ditolak, sehingga pada
dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk hidup
bersama dan menjalin persatuan demi kelangsungan
kehidupannya.
8. Fitrah Individu
Fitrah ini mendorong manusia untuk hidup mandiri dan
bertanggungjawab atas segala yang dilakukannya,
mempertahankan harga diri dan kehormatannya serta
menjaga keselamatan diri dan hartanya.
56
9. Fitrah Sosial
Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki
kecenderungan untuk hidup berkelompok, bekerjasama,
bergotong royong, saling membantu demi kelangsungan
kehidupannya.
10. Fitrah Seksual
Untuk dapat mengembangkan keturunannya, manusia
dikaruniai fitrah seksual, hal ini untuk menjaga agar
keberlangsungan hidup manusia agar senantiasa terjaga
guna melanjutkan keturunan dan mewariskan tugas-tugas
kepada generasi berikutnya.
11. Fitrah Ekonomi
Manusia senantiasa terdorong untuk melakukan aktifitas
ekonomi guna untuk keberlangsungan hidupnya.
12. Fitrah Politik
Fitrah ini mendorong manusia untuk menyusun suatu
kekuasaan dan institusi yang mampu melindungi
kepentingan bersama.
57
13. Fitrah Seni
Fitrah seni mendorong manusia untuk bisa menikmati
keindahan, baik sebagai penikmat maupun pelaku seni.17
C. Panca Indera
1. Pengertian Panca Indera
Kata panca indera terdiri dari dua suku kata yaitu
panca dan indera. Panca berasal dari bahasa sanskerta yang
berarti lima, dan indera berasal dari kata indria yaitu sebuah
tatap muka, kontak antara jiwa dalam bentuk spiritual
kesadaran diri dengan materi lingkungan. Panca indera terdiri
dari lima anggota tubuh manusia yaitu:
a. Telinga (pendengaran),
b. Mata (penglihatan),
c. Hidung (penciuman),
d. Lidah (pengecap),
e. Kulit (perasa).
Dari kelima indera tersebut, telinga dan mata
merupakan indera yang akan kami bahas dalam penelitian ini,
17
Muhaimin, op.cit., p.19.
58
karena kedua indera tersebut merupakan bagian utama dari
surat An-Naḥl ayat 78 yang menjadi fokus pada penelitian ini.
2. Telinga
Telinga merupakan bagian dari panca indera. Telinga terletak
di sisi kepala kanan dan kiri. Telinga terdiri dari tiga bagian
utama, yaitu:
a. Telinga bagian luar (auris externa).
Telinga bagian luar atau auris externa terdiri dari daun
telinga (auricula), liang telinga (meatus acusticus
externus), dan dibatasi oleh gendang telinga atau
membrana tympani.
b. Telinga bagian tengah (auris media).
Telinga bagian tengah atau auris media, terdapat disebelah
membrana tymponi dengan ukuran antara 3-6 mm.
Dindingnya dibatasi oleh gendang telinga atau membrana
tympani beserta tulang di sebelah atas dan bawahnya.
c. Telinga bagian dalam (auris interna).
Telinga bagian dalam dibatasi pada sekelilingnya oleh
tulang tengkorak. Di dalamnya terdapat sistem
59
keseimbangan (vestibular) yang terdiri dari tiga saluran
setengah lingkaran (canalis semicircularis) bersama
bagian bernama sacculus dan utriculus. Selain itu terdapat
pula organ pendengaran yang terdiri dari cochlea yang
menyerupai rumah siput dengan permukaan dalam yang
berbentuk spiral.18
d. Fungsi Telinga (Pendengaran)
Fungsi utama dari telinga adalah sebagai alat
pendengaran. Alat pendengaran ini dapat langsung
berfungsi ketika sesaat bayi baru dilahirkan. Indera
pendengaran sangat berperan dalam proses belajar.
Seorang anak yang dilahirkan dalam keadaan buta tetapi
dia bisa mendengar, dia bisa belajar bahasa sebagaimana
orang yang normal. Akan tetapi orang yang tuli walaupun
dia bisa melihat maka dia akan kesulitan untuk dapat
berkomunikasi dengan lingkungan sosial di sekitarnya.
Hal ini merupakan hikmah mengapa Al-Qurʻan selalu
18
Daniel S Wibowo, Anatomi Tubuh Manusia, (Jakarta: Grasindo,
2008), h. 179.
60
menempatkan kata pendengaran terlebih dahulu sebelum
kata penglihatan dibeberapa ayat dalam Al-Qurʻan.
3. Mata (Penglihatan)
Mata merupakan indera yang sangat penting bagi manusia.
Mata terdiri dari beberapa bagian yaitu:
a. Kornea mata.
Kornea mata adalah jaringan berbentuk kubah transparan
yang membentuk bagian depan mata. Kornea berfungsi
sebagai jendela dan sebagai jalan masuk cahaya ke mata.
Kornea mata juga memulai mengatur proses sinar cahaya
agar bisa melihat obyek secara jelas. Kornea juga
berfungsi memberikan 65-75 persen kekuatan focus mata.
b. Bilik mata depan.
Bilik mata depan adalah sebuah kantung mirip jelly yang
berada di belakang kornea mata dan di depan lensa, dan
kantung ini dikenal dengan istilah anterior chamber dan
berisi cairan aqueous humor yang berfungsi membantu
mambawa nutrisi ke jaringan mata dan sebagai
penyeimbang tekanan di dalam mata.
61
c. Sklera
Sklera yaitu selaput putih keras dengan jaringan fibrosa
yang menutupi seluruh bola mata yang berfungsi untuk
menggerakkan mata yang menempel pada sklera.
d. Iris dan Pupil
Iris dan pupil mata merupakan bagian dari anatomi mata
yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Iris
berfungsi sebagai pengatur cahaya yang masuk ke mata
dan menyesuaikan dengan bukaan pupil. Selain itu iris
juga berfungsi sebagai penentu warna mata. Sedangkan
pupil mata berfungsi saat gelap dan terang. Saat gelap
pupil mata akan melebar dan saat terang akan menyempit.
e. Lensa
Lensa mata adalah jaringan transparan berbentuk
biconvex dengan diameter sekitar 10 mm.
f. Fungsi Mata
Fungsi utama dari mata adalah sebagai alat atau sarana
untuk melihat berbagai wujud benda yang ada di
sekitarnya. Tidak seperti pendengaran yang bisa langsung
62
berfungsi sesaat setelah bayi dilahirkan, penglihatan akan
berfungsi sempurna manakala bayi tersebut sudah
berumur kurang lebih enam bulan.
D. Akal
1. Pengertian Akal
Secara umum kata akal berasal dari kata bahasa Arab
al-‘aql, yang dalam bentuk kata kerjanya berarti faham dan
mengerti.19
Dalam kamus Arab al-Shihah, kata a’qala berarti
mengikat atau menahan. Tali pengikat atau serban yang biasa
dipakai oleh orang-orang Arab disebut ‘iqal. Menahan orang
di dalam penjara disebut iʻtaqala dan tempat untuk menahan
disebut muʻtaqal.20
Diantara makna lain dari al- ʻaql adalah
al-hijr atau al-nuha yang berarti kecerdasan. Sedangkan kata
kerja (fiʻil) ‘aqala bermakna mengikat/menawan. Oleh sebab
itu seseorang yang menggunakan akalnya desebut dengan
19
Nasution, op.cit., p.5. 20
Nadim Mari‟asyili dan Usamah Marasyili, al-Shihah ti al-Lughah
wa al-Ulum, (Beirut: Dar al-Hadharah al-Arabiah, 1975), h. 762.
63
‘aqil yaitu orang yang dapat mengikat dan menawan hawa
nafsunya.21
Berdasarkan tempat atau pusat akal dibagi menjadi dua
yaitu akal yang berpusat di kepala yang disebut dengan alʻaql
dan akal yang berpusat di hati (qalb) yang disebut dengan
fuad, dan ini pendapat yang sahih.22
Masing-masing akal
tersebut memiliki fungsi yang berbeda. Namun demikian
bukan berarti perbedaaan itu memisahkan fungsi dan peran
masing-masing, akan tetapi justru peran keduanya saling
berkaitan sehingga peran keduanya tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lainnya. Akal yang berada atau berpusat di
kepala atau yang disebut dengan otak (al-dimagh) atau
tepatnya di ubun-ubun yaitu diantara dua cuping dahi sebagai
pusat aktifitas berfikir23
berfungsi untuk berfikir dan
memahami obyek-obyek yang riil maupun yang abstrak.
Akal ini juga digunakan untuk memahami hal-hal yang
kongkret, seperti tentang sejarah manusia, ilmu pengetahuan
21
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami Studi tentang Elemen
Psikologi dari Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 115. 22
ar-Rifa‟i, op.cit., p.746. 23
Najati, Psikologi Dalam Al-Quran, h. 357.
64
dan teknologi, hukum-hukum alam (sunatullah) dan lain
sebagainya24
, dan akal ini memiliki kemampuan untuk
memperoleh pengetahuan melalui daya nalar.25
Sedangkan
akal yang berada di kalbu (qalb) yang dalam pengertian ini
disebut dengan al-fuad (berdasarkan penjelasan tafsir Ibnu
Katsir) berfungsi sebagai alat untuk memahami, merasakan,
mengetahui baik dan buruk, benar dan salah, dan lain
sebagainya.
Sedangkan dalam perannya untuk memperoleh
pengetahuan yaitu melalui daya cita rasa (al-zawqiyah).
Pengetahuan yang dapat dirasakan qalbu adalah realitas
abstrak seperti rasa kasih sayang, rasa sedih, rasa gembira,
rasa benci, ide-ide dan lain sebagainya. Bilamana
pengetahuan ini dapat berkembang secara wajar maka orang
akan mudah merasa empati dengan lingkungan sosial
sekitarnya. Kalbu merupakan komponen sentral manusia.
Disamping sebagai sumber pengetahuan yang abstrak, kalbu
24
Baharuddin, op.cit., p.122. 25
Fuad Anshori, Potensi-Potensi Manusia, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2017), h. 119.
65
juga merupakan pusat kesadaran moral. Kalbu yang memiliki
potensi sebagai sumber kebaikan juga berpotensi sebagai
sumber kejahatan. Hal ini manakala kalbu mendapatkan
pengaruh buruk dari luar dirinya, sehingga kalbu menjadi
tidak berfungsi sebagaimana yang seharusnya. Bilamana
kalbu ini dalam keadaan baik maka akan timbul perilaku yang
baik pula. Akan tetapi bilamana kalbu ini rusak atau sakit
maka akan timbul perilaku yang tidak baik pula pada diri
manusia.
Baik akal maupun kalbu keduanya mempunyai satu
makna yang sama yaitu suatu substansi lembut, tidak kasad
mata (laṭifah), yang bersifat rabbani dan rohani yang
merupakan esensi manusia dan media baginya untuk
mengenal dan mengetahui. Namun kata hati kadangkala
dimaksudkan untuk menyebut daging berbentuk kerucut yang
terletak disisi kiri dada manusia (baca: jantung), begitu pula
kata akal terkadang dimaksudkan untuk menyebut
pengetahuan mengenai hakikat segala hal. Namun jika yang
66
dimaksud dengan akal adalah media untuk mencerap
pengetahuan, maka itu adalah hati.26
Akal merupakan potensi fundamental manusia sebagai
alat untuk berpikir. Namun demikian meskipun potensi
terkuat manusia adalah akal, kehidupan manusia tidaklah
selalu berjalan mulus, karena bagaimanapun hebatnya akal
manusia tetaplah memiliki keterbatasan.27
Keterbatasan akal
manusia inilah yang memerlukan bimbingan yang berupa
wahyu.
2. Peranan akal
Menurut Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip oleh
Quraish Shihab menyatakan bahwa metode Al-Qurʻan dalam
penyampaian ajaran-ajarannya berbeda dengan kitab-kitab
wahyu sebelumnya. Hal ini terlihat dari banyak ayat yang
memaparkan masalah dan membuktikannya dengan
argumentasi-argumentasi, bahkan Al-Qurʻan menguraikan
pandangan-pandangan penentangnya seraya membuktikan
26
Faqih Syarif, Kecerdasan dan Keajaiban Hati, (Yogyakarta:
Deepublish, 2018), h. 52. 27
Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak, (Bandung:
Pustaka Setia, 2012), h. 225.
67
kekeliruan mereka. Selain itu ada masalah-masalah yang
berkaitan dengan keagamaan yang tidak bisa diyakini
melainkan dengan cara membuktikan dengan akal atau
logika, namun demikian ada ajaran-ajaran agama yang tidak
bisa dipahami dengan akal atau logika namun sebenarnya
tidak bertentangan dengan akal.28
Dengan kondisi ini maka Muhammad Abduh
menggunakan akal sebagai sarana untuk memahami ayat-ayat
Al-Qurʻan secara luas terutama yang menyangkut dengan
masalah aqidah atau syariah. Akal juga mampu membentuk
gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang makin lama
semakin tajam, untuk memilih alternatif tindakan yang
menguntungkan bagi kelangsungan hidup manusia.29
Secara
khusus Al-Qurʻan telah menyatakan bagaimana peran akal
bagi manusia yaitu untuk memikirkan berbagai ciptaan Allah
SWT yang dengan berpikir (tafakur) tentang ciptaan Allah
28
M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran, (Tangerang: Lentera
Hati, 2006), h. 23. 29
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2009), h. 78.
68
tersebut akan menambah keimanan dan ketakwaannya kepada
Allah SWT. Diantaranya adalah firman Allah SWT:
الذين يذكرون اللو قياما وق عودا وعلى جنوبم وي ت فكرون ف خلق السماوات والرض
ذا باطل سبحانك فقنا عذاب النار رب نا ما خلقت ى
Artinya:‟‟(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata)):‟‟Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka. (Q.S. Ali ʻImran [3]: 191).
Selain untuk berpikir untuk memikirkan ciptaan Allah, akal
juga berperan untuk selalu mengingat, memikirkan dan atau
merenungkan ciptaannya. Hal ini sebagaimana firman Allah
SWT sebagai berikut:
قول لكم عندي خزائن اللو ول أعلم الغيب ول أقول لكم إن ملك إن أتبع قل ل أ
إل ما يوحى إل قل ىل يستوي العمى والبصي أفل ت ت فكرون
Artinya:‟‟Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu,
bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak pula aku
mengetahui yang ghaib dan tidak pula aku mengatakan
kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti
kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.
Katakanlah:‟‟Apakah sama orang yang buta dengan yang
69
melihat?‟‟ Maka apakah kamu tidak memikirkannya?‟ (Q.S.
Al-Anʻam [6 ]: 50)
Untuk mendapatkan gambaran dari peran akal yang
termaktub dalam al-Qurʻan, berikut ini penulis ketengahkan
beberapa contoh dalam ayat al-Qurʻan yang berkaitan dengan
akal dan peranannya. Hal ini penting mengingat bahwa
pembahasan dari tema ini adalah mengenai pengembangan
potensi panca indera dan akal yang berkaitan dengan
pendidikan Islam, yang mana pendidikan Islam sendiri
bersumber dari al-Qurʻan dan as-Sunnah. Diantara ayat-ayat
tersebut adalah sebagaimana yang termaktub dalam beberapa
surat dalam al-Qurʻan berikut ini:
لكم قياما وارزقىهم فيها فهاء أمىالكم التي جعل الل ول تؤتىا الس
واكسىهم وقىلىا لهم قى معروفا
Artinya:‟‟Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang
yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok
kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil
harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
(Q.S. an-Nisa [4]: 5).
70
Ayat ini menunjukkan bahwa akal manusia selalu mengalami
perkembangan hingga waktu atau umur tertentu hingga
akalnya sempurna.
والذين آمنوا أشد ومن الناس من ي تخذ من دون اللو أندادا يبون هم كحب اللو يعا وأن اللو حبا للو ولو ي رى الذين ظلموا إذ ي رون العذاب أن القوة للو ج
شديد العذاب Artinya:‟‟Dan diantara manusia ada orang-orang yang
menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada
Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat dzalim
itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari
kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan
bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka
menyesal). (Q.S. al-Baqarah [2]: 165).
Aat ini menunjukkan peran akal untuk mengetahu tentang
kekuasaan Allah agar manusia terhindar dari berbuat dzalim.
ج أشهر معلومات فمن ف رض فيهن الج فل رفث ول فسوق ول جدال ف الج ال
ر الزاد الت قوى وات قون يا أول الل باب وما ت فعلوا من خي ي علمو اللو وت زودوا فإن خي
Artinya:‟‟Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi,
barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan
mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan
berbantah-bantahan didalam masa mengerjakan haji. Dan apa
yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah
mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik
bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-
orangyang berakal. (Q.S. al-Baqarah [2]: 197).
71
Ayat ini menunjukkan bahwa tujuan Allah menciptakan akal
adalah untuk mencari bekal dan bertakwa kepada Allah SWT.
وما يذكر إل ومن ي ؤت الكمة ف قد أوت خي را كثيا ي ؤت الكمة من يشاء
أولو اللباب
Artinya:‟‟Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman
yang dalam tentang al-Quran dan as-Sunnah) kepada siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang dianugerahi
hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang
banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat
mengambil pelajaran (dari firman Allah). (Q.S. al-Baqarah
[2]: 269).
Ayat ini menunjukkan fungsi akal adalah untuk dapat
mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah SWT.
إن ف خلق السماوات والرض واختلف الليل والن هار ليات لول اللباب
Artinya:‟‟Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,
dan silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang berakal. (Q.S. Ali ʻImran [3]: 190).
Ayat inipun begitu juga bahwa akal diperuntukkan untuk
berpikir yaitu memikirkan ayat-ayat Allah baik ayat-ayat
Qauliyah maupun ayat-aat kauniyah yang kesemuanya
bermuara pada pengetahuan akan kebesaran dan kekuasaan
Allah SWT.
72
ت به ت ىن أم ٱلكتب وأخر متش ىو ٱلذى أنزل عليك ٱلكتب منو ءايت مكم
بو منو ٱبتغافأما ٱلذين ف ق لوب نة وٱبتغا ء م زي ف يتبعون ما تش وما ۦتأويلو ء ٱلفت
وما كل من عند رب نا ۦوٱلرسخون ف ٱلعلم ي قولون ءامنا بو إل ٱللو ۥي علم تأويلو
ٱللبب الو يذكر إل أو
Artinya:‟‟Dialah yang menurunkan Al Kitab (al-Qurʻan)
kepada kamu. Diantara isinya ada ayat-ayat yang muhkamat,
dan itulah pokok-pokok isi al-Qurʻan dan yang lain (ayat-
ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti
sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-ari takwilnya, padahal
tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:‟‟Kami beriman
kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi
Tuhan kami‟‟. Dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Q.S. Ali
ʻImran [3]: 7).
Begitu pula dengan ayat ini yang menunjukkan bahwa ungsi
akal adalah untuk dapat mengambil pelajaran dari ayat-ayat
Allah terutama dari kitab suci Al-Qurʻan.
وما كان لن فس أن ت ؤمن إل بإذن اللو ويعل الرجس على الذين ل ي عقلون
Artinya:‟‟Dan tidak seorangpun akan beriman kecuali dengan
izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-
orang yang tidak mempergunakan akalnya. (Q.S. Yunus [10]:
100).
73
Ayat ini menunjukkan betapa akal manusia dapat menjadi
sarana untuk menumbuhkan dan memelihara keimanan dan
orang ang menggunakan akalnya tetapi tidak digunakan untuk
mengenal Allah, memahami keagungan dan keperkasaanna,
maka bukanlah orang yang berakal walaupun dari sisi
duniawinya mungkin orang ang memiliki kecerdasan
intelektual yang tinggi. Dari beberapa contoh aat-ayat al-
Qurʻan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
penggunaan akal yang telah dikaruniakan kepada manusia
tidak lain adalah untuk dapat mengenal Allah, mengagungkan
dan memuliakan-Nya.
Secara umum peran akal dapat dibagi menjadi beberapa peran
diantaranya adalah:
a. Akal Sebagai Tolok Ukur
Dalam perannya sebagai tolok ukur akal berperan sebagai
pengidentifikasi mana yang salah dan mana yang benar.
Bahkan akal menjadi satu-satunya tolok ukur penilaian
bagi sebagian proposisi agama.
74
b. Mengafirmasi Kebenaran Agama
Salah satu peran akal adalah membuktikan kebenaran
nilai-nilai agama terkait prinsip-prinsipnya. Akal
mengakui keniscayaan diutusnya para nabi oleh Allah
SWT, dan dapat membedakan mana nabi yang sebenarnya
dan mana yang nabi palsu. Jadi pembuktian keniscayaan,
kebenaran, dan kesucian agama merupakan tugas akal.
Dalam skala ini agama sama sekali tidak bertentangan
dengan akal.
c. Membuktikan Prinsip-Prinsip Keimanan
Dalam rangka membuktikan prinsip-prinsip keimanan,
akal memikul tanggung jawab untuk melaksanakannya.
Kalangan pemikir atau cendekiawan menolak sikap taklid
dalam membangun pilar-pilar keimanan. Mengajarkan
keimanan yang tidak didukung oleh aktifitas akal atau
tidak membangun prinsip-prinsip agama dengan
argumentasi rasional adalah gejala yang tak bisa ditolerir
oleh akal insani. Dengan demikian dalam prinsip-prinsip
keimanan, agama tidak akan bertentangan dengan akal.
75
d. Melindungi Agama dari Penyimpangan
Setiap agama samawi pada awalnya suci dan murni.
Namun demikian dalam proses perjalanannya sangat
mungkin mengalami penyimpangan dan penyalahgunaan
oleh berbagai kepentingan dan ulah manusia. Disinilah
peran akal akan tampak jelas sebagai alat untuk
memisahkan wahyu Allah SWT dari produk tahrif dan
penyimpangan manusia.
e. Akal Sebagai Kunci Pemahaman Syariat
Akal merupakan kunci dalam memahami proposisi
agama, terutama dalam ruang lingkup hukum fiqih dan
syariat yang bersifat partikular. Artinya akal hanya dapat
menuntun manusia sampai ke gerbang syariat, namun
tidak mampu dengan sendirinya memanfaatkan hasanah
di dalam syariat tersebut. Sebagai contoh, hikmah jumlah
rakaat dan waktu-waktu khusus ibadah menjadi tema-
tema yang tak mampu dicerna oleh akal lazimnya
manusia. Namun demikian dalam konteks ini akal tidak
bertentangan dengan prinsip rasionalitas.
76
f. Alat Untuk Memperoleh Ilmu Pengetahuan
Secara luas akal merupakan satu-satunya alat untuk
memperoleh ilmu pengetahuan tanpa menafikan peran
panca indera yaitu pendengaran dan penglihatan. Tanpa
peran akal siapapun tidak akan mampu memahami
hukum-hukum fisika dan hukum-hukum syariat. Karena
itu sekalipun ada kalangan yang memperhitungkan akal
sebagai sumber pengetahuan agama, mereka ini juga
menyadari sepenuhnya bahwa akal merupakan syarat
mutlak dalam upaya menyerap hikmah dan ajaran dari Al-
Qurʻan dan Sunnah.30
Akal yang berfungsi dengan
sempurna ialah akal yang mampu menghantarkan
pemiliknya kepada ridho Allah SWT kemudian ridha
Rasul-Nya.31
3. Akal Perspektif Barat dan Islam
Dalam pandangan kaum filosof barat, akal memiliki peran
sentral dalam diri manusia, bahkan cenderung menjadikan
30
Hasan Yusufian dan Ahmad Husain Syarifi, Akal dan Wahyu,
(Jakarta: Sadra Press, 2011), h. 259. 31
Hasan bin Ali al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim,
Penerjemah Muzaidi Hasbullah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h. 159
77
akal sebagai bagian tertinggi dari manusia, sehingga
menafikan peran Tuhan sebagai pencipta akal. Hal ini dapat
kita lihat dari pernyataan beberapa filsuf barat, diantaranya:
a. Rene Descartes
Rene Descartes terkenal dengan konsep filsafatnya yang
berkaitan dengan akal atau rasio. Ia meyakini bahwa
sumber pengetahuan yang benar adalah rasio, bukan
mitos, prasangka, omongan orang, bahkan wahyu
sebagaimana diyakini pada abad pertengahan. Ia sangat
yakin pada kemampuan rasio untuk mencapai kebenaran,
lantaran di luar rasio mengandung kelemahan atau
kesangsian. Rasio yang dimaksud Descartes adalah
kesadaran. Dan salah satu ujarannya yang sangat terkenal
adalah:‟‟Aku berpikir, maka aku ada‟‟.
b. John Locke
Teori yang sangat terkenal dari John Locke adalah teori
tabularasa. Teori ini mengatakan bahwa pengetahuan
hanya dapat diperoleh melalui pengalaman. Hal ini
berbeda dari pendahulunya yaitu Rene Descartes. John
78
Locke juga berpandangan bahwa sebelum manusia
mengalami sesuatu maka ia seperti kertas putih kosong
atau disebut dengan tabularasa. Ini berarti bahwa bayi
yang baru lahir seperti kertas putih kosong, dan juga
dalam dunia pendidikan bahwa peserta didik tidak
memiliki pengetahuan segala sesuatu sebelum diberikan
pelajaran oleh gurunya.32
c. Aristoteles
Pandangan Aristoteles tentang akal antara lain:
1. Aristoteles menganggap jiwa lebih luas cakupannya
daripada akal, karena meliputi potensi berpikir dan
potensi-potensi lainna atau dengan kata lain akal
adalah satu bagian kualitas lain dari jiwa.
2. Pembagian Aristoteles pada dua jenis akal (aitu akal
sebagai potensi berpikir dan sebagai pembimbing
dalam melakukan perbuatan),dalam jiwa adalah
pembagian yang bersifat analogis, bukan hakiki.
32
Masykur Arif Rahman, Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat,
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2013), h. 270.
79
3. Sesungguhna akal menerima perpisahan (dari
jiwa)seperti berpisahnya dari sesuatu yang kekal dari
sesuatu yang binasa. Artinya akal menerima
perpisahan dari jiwa dan badan. Akal juga tidak
berubah dan binasa karena menerima hal-hal ang bisa
ditangkap oleh rasio karena bentukna bukan materi
dan ia juga tidak akan bercampur dengan sesuatu ang
laindimanapun berada.33
Dalam pandangan Islam akal memiliki peranan yang
sangat penting bagi kehidupan manusia. Namun demikian Islam
tidak menempatkan akal sebagai bagian yang tertinggi dalam diri
manusia. Bagaimanapun hebatnya akal manusia tetaplah
memiliki kelemahan. Akal lebih bisa berperan dalam hal yang
berkaitan dengan hal-hal sesuatu yang nyata dan empiris, akan
tetapi akal tidak akan mampu berpikir secara logis perihal yang
berkaitan dengan yang bersifat gaib, seperti surga dan neraka,
hari akhirat dan lain sebagainya. Untuk menutupi kekurangan
daripada akal, maka Allah SWT menciptakan hati atau kalbu, dan
33
Muhammad „Abdullah as-Syarqawi, Sufisme & Akal, (Bandung:
Pustaka Hidayah 2003), h. 110.
80
menurunkan wahyu, sehingga akal akan mampu memahami hal-
hal yang tidak bisa dicerna dengan akal semata.
Para teolog Islam mengartikan akal sebagai daya untuk
memperoleh pengetahuan. Menurut Abu Huzail akal adalah
“daya untuk memperoleh pengetahuan, dan yang membuat
seseorang dapat membedakan antara dirinya dan benda lain. Akal
juga mampu membuat abstraksi benda-benda yang ditangkap
panca indera”. Pengertian yang jelas tentang akal, terdapat dalam
pendapat-pendapat para filosof muslim. Pemikiran mereka juga
banyak dipengaruhi oleh pemikiran para filosof Yunani. Akal
dalam pendapat mereka merupakan salah satu daya dari jiwa
yang terdapat dalam diri manusia. Akal secara bahasa dari
mashdar Ya’qilu, ‘Aqala, ‘Aqlaa, jika dia menahan dan
memegang erat apa yang dia ketahui. Berikut beberapa pendapat
para ulama Muslim tentang akal:
a. Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Kata akal, menahan, mengekang, menjaga dan semacamnya
adalah lawan dari kata melepas, membiarkan, menelantarkan,
dan semacamnya. Keduanya nampak pada jisim yang
81
nampak untuk akal adalah menahan dan memegang erat
ilmu, yang mengharuskan untuk mengikutinya. Karena inilah
maka lafadz akal dimuthlakkan pada berakal dengan ilmu.”
b. Menurut Syaikh Al Albani:
“Akal menurut asal bahasa adalah At Tarbiyyah yaitu sesuatu
yang mengekang dari mengikatnya agar tidak lari kekanan
dan kekiri. Dan tidak mungkin bagi orang yang berakal
tersebut tidak lari ke kanan dan kiri kecuali jika dia
mengikuti kitab dan sunnah dan mengikat dirinya dengan
pemahaman salaf.”
c. Menurut Al Imam Abul Qosim Al Ashbahany:
“Akal ada dua macam yaitu : Thabi’i dan diusahakan.
Thabi’i adalah akal yang datang bersamaan dengan adanya
kelahiran, seperti kemampuan untuk menyusu, makan,
tertawa, gembira, dan menangis bila tidak senang. Kemudian
seorang anak akan mendapat tambahan akal di fase
kehidupannya hingga usia 40 tahun. Saat itulah sempurna
akalnya, kemudian sesudah itu berkurang akalnya sampai ada
yang menjadi pikun. Tambahan ini adalah akal yang
82
diusahakan. Adapun ilmu maka setiap hari akan bertambah
melalui proses belajar, batas akhir menuntut ilmu adalah
batas akhir umur manusia, maka seorang manusia akan selalu
butuh kepada tambahan ilmu selama masih bernyawa, dan
kadang dia tidak butuh tambahan akal jika sudah sampai
puncaknya.
d. Menurut Ibnu Sina
Menurut Ibnu Sina akal terdiri dari empat elemen, yaitu:
Akal aktif, yaitu potensi otak dan segala sesuatu yang
dimungkinkan oleh kehadiran pencipta otak. Otak ini
berpikir mengenai hal-hal yang bersifat esensial. Akal aktif
ini berpikir keras untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
esensial dan berujung pada kesimpulan bahwa otak
mempunyai kemampuan untuk berhubungan dengan Tuhan.
Atau dengan kata lain akal aktif merupakan tempat untuk
berpikir tentang ke-Tuhanan.
Akal aktual, adalah otak yang memegang pusat kendali atas
perasaan atau emosi, pendengaran, penglihatan, bahasa, dan
berbagai fungsi luhur lainnya. Aktifitas akal ini diantaranya
83
adalah merasa, mendengar, melihat, berpikir, mengingat, dan
lain-lainnya yang tak dapat dilihat secara empiris namun
dapat dibuktikan secara rasional.
Akal potensial, yaitu otak sebagai pusat kendali seluruh
gerak organ tubuh, termasuk seluruh kendali perilaku baik
dan buruk.
Akal Empirik, yaitu otak yang terindrai. Otak inilah yang
secara empiris terlihat dan dapat diraba.34
E. Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam
Secara etimologi istilah pendidikan dalam konteks Islam
mengacu pada tiga term al-tarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim.
Dari ketiga istilah tersebut yang paling populer digunakan
adalah istilah al-tarbiyah. Al-tarbiyah menurut al-Raghib al-
Asfahaniy, berasal dari kata rabba yang berarti insya’ halan
fahalan ila hadd al-taman yang memiliki arti menumbuhkan
sesuatu secara bertahap hingga sampai pada batas
34
Helmawati, Pendidik Sebagai Model, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2016), h. 108.
84
kesempurnaan.35
Sedangkan secara terminologi, pendidikan
Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta
didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam
sekitarnya.
Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan
pengajaran sebagai suatu aktifitas asasi dan profesi diantara
sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat.36
Pendidikan
Islam juga mengandung pengertian sebuah usaha menjadikan
peserta didik menjadi hamba Allah yang saleh, menjadikan
muslim dan mukmin yang hanya mengharapkan wajah Allah,
berpikir sampai ketingkat makrifat Allah, memegang teguh
sunnah, tidak memperturutkan hawa nafsu, tidak mau
bertaklid, mempunyai pribadi yang seimbang, berpegang
teguh dengan nama Allah, sehat jasmani, berakhlak, berjiwa
seni dan berjiwa sosial.37
35
Al-Raghib al-Asfahaniy, Mu’jam Mufradat Fi Alfadz Quran,
(Beirut: Dar al-Fikr, t..t,), h. 189. 36
Omar Muhammad al-Thoumy Al-Syaibany, Falsafat Pendidikan
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 399. 37
Ali Khalil Abu Al-Ainani, Falsafat al-Tarbiyah al-Islamiyah,
(Kairo: Dar al-Fikr al-„Arabiy, 1980), h. 399.
85
Sedangkan menurut A. Daeng Marimba, pendidikan
Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan
hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama
menurut ukuran Islam.38
Dari pengertian ini maka pendidikan
merupakan sebuah usaha yang dilakukan secara bertahap,
terencana dan bersifat gradual, sehingga dalam prosesnya,
pendidikan dilaksanakan secara bertahap pula, yaitu dengan
memulai dari hal-hal yang konkrit ke hal-hal yang bersifat
abstrak, dari hal-hal yang mudah ke hal-hal yang sulit, dari
hal-hal yang kecil ke hal-hal yang besar. Hal ini sesuai
dengan tuntunan al-Quran dan isyarat-isyaratnya yang harus
diterapkan dalam pendidikan Islam. Sebagai contoh al-Quran
membicarakan tentang hujan, angin, petir, tumbuh-
tumbuhan, dan lain sebagainya yang bersifat konkrit yang
dapat dilihat dan dirasakan oleh manusia baru setelah itu
38
A. Daeng Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1985), h. 4.
86
berpindah kepada hal-hal yang abstrak yaitu tentang adanya
Allah SWT yang menciptakan semuanya itu.39
Terlepas pandangan dari para pakar tentang pendidikan
Islam, penulis berpandangan bahwa pendidikan Islam
merupakan suatu usaha tertentu di ruang lingkupnya masing-
masing yang memiliki karakter masing masing dan memiliki
metode dan tujuan masing masing. Untuk memahami ini
penulis membagi pendidikan menjadi berbagai kelompok
yaitu:
a. Pendidikan Islam di Lingkungan Keluarga
Pendidikan Islam dilingkungan keluarga merupakan
pendidikan terpenting dalam perjalanan hidup manusia. Hal
ini mengingat bahwa pendidikan di lingkungan keluarga
nyaris hampir dua puluh empat jam sehari semalam. Dari
mulai bayi yang dilahirkan hingga menjadi dewasa. Peran
orang tua pada pendidikan ini sangatlah dominan, hal ini
karena orang tua merupakan satu-satunya guru yang harus
39
Abd. Al-Rahman al-Nahiawly, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa
Asalibuha fi al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama’, (Beirut: Dar al-Fikr,
1996), h. 23.
87
memiliki keilmuan dan keteladanan yang tinggi. Dengan
demikian pendidikan Islam anak sangat tergantung
bagaimana kemampuan orang tua memberikan pendidikan
ke-Islamannya pada anak dan sejauh mana orang tua bisa
menjadi tauladan bagi anak.
b. Pendidikan Islam di Lingkungan Sekolah Madrasah
Pendidikan di lingkungan sekolah madrasah merupakan
kelanjutan dan pengembangan dari pendidikan di lingkungan
keluarga. Hal ini mengingat bahwa tidak semua orang tua
memiliki pengetahuan keagamaan yang memadai untuk
dapat memberikan pendidikan ke-Islaman pada anak.
Pendidikan Islam di lingkungan sekolah madrasah memiliki
karakter keagamaan yang cukup kuat. Hal ini dapat dipahami
karena pendidikan di sekolah madrasah lebih banyak mata
pelajaran agama dibandingkan dengan mata pelajaran umum
sebagaimana di sekolah umum, dengan demikian pendidikan
Islam di sekolah madrasah cukup memberikan kontribusi
bagi perkembangan akhlak peserta didiknya.
88
c. Pendidikan Islam di Sekolah Umum
Pendidikan Islam di sekolah umum lebih dikenal dengan
mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Hal ini dikarenakan
pendidikan agama di sekolah umum juga terdapat pendidikan
agama selain agama Islam. Jika dilihat dari kuantitas mata
pelajarannya, mata pelajaran pendidikan agama Islam di
sekolah umum lebih sedikit jika dibandingkan dengan
pendidikan Islam di sekolah madrasah. Hal inilah yang
menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh pelaku pendidikan
Islam utamanya para pendidik yang terlibat dalam proses
pembelajaran di sekolah umum. Disatu sisi jumlah mata
pelajaran agama Islamnya sedikit, disisi lain pendidik
dituntut untuk menghasilkan peserta didik yang sebagaimana
terdapat dalam undang-undang sistem pendidikan nasional
bab III pasal 3 yaitu‟‟Pendidikan nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
89
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab‟‟.40
d. Pendidikan Islam di Lingkungan Masyarakat
Pendidikan Islam di lingkungan masyarakat pada
umumnya diprakarsai oleh masyarakat itu sendiri atau
dengan kata lain sebagai swadaya masyarakat. Pendidikan
dilingkungan masyarakat walaupun tidak teroganisir dengan
baik namun keberadaannya sangat diperlukan, baik pada
tingkat anak-anak maupun pada tingkat dewasa. Hal ini
dikarenakan pendidikan Islam dilingkungan masyarakat
merupakan penjaga sekaligus implementasi dari apa yang
telah didapatkan dari lingkungan keluarga maupun dari
lingkungan sekolah, sehingga keberadaannya sangat
diperlukan, walaupun pada realitanya semakin hari
pendidikan dilingkungan masyarakat cenderung semakin
menurun sebagai akibat dari berbagai faktor yang
menghinggapi kehidupan masyarakat modern.
40
Fitri Raharjo, Himpunan Lengkap Sistem Pendidikan Nasional,
(Yoyakarta: Saufa, 2014), h. 9.
90
Sebagai contoh adalah adanya majlis taklim, pengajian-
pengajian dan lain sebagainya. Namun kebanyakan dari
adanya kegiatan tersebut hanya didominasi oleh para orang
tua dan jarang sekali menyentuh anak usia sekolah, dan pada
akhirnya masjid-masjid hanya terisi oleh kebanyakan dari
para orang tua.
2. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam secara garis besar adalah
sebagaimana tujuan penciptaan manusia itu sendiri yaitu
untuk beribadah kepada Allah SWT sebagaimana firmannya:
نس إل لي عبدون وما خلقت ال ن وال
Artinya:‟‟Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan
untuk beribadah kepada-Ku‟‟. (Q.S. Al-Dzariyat [51]: 56)
Secara umum tujuan pendidikan Islam menurut al-Abrasyi
sebagaimana dikutip ramayulis, memiliki lima tujuan yaitu:
Pertama, untuk pembentukan akhlak mulia.
Kedua, persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat.
91
Ketiga, persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan
segi manfaat dengan istilah lain tujuan vokasional dan
profesional.
Keempat, menumbuhkan semangat ilmiah pada pelajar dan
memuaskan keingintahuan dan memungkinkan ia mengkaji
ilmu demi ilmu itu sendiri.
Kelima, menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknikal,
dan pertukangan supaya dapat menguasai profesi tertentu
disamping memelihara segi kerohanian dan keagamaan.41
F. Tafsir
1. Pengertian Tafsir
Secara etimologi (bahasa) kata tafsir berasal dari kata
bahasa Arab yaitu fassara - yufassiru – tafsiran yang
mengandung arti keterangan atau uraian.42
Sedangkan kata
tafsir secara terminologi (istilah), sebagaimana didefinisikan
oleh Abu Hayyan yang dikutip oleh Manna al-Qattan ialah
ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz
41
Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, op.cit., p.184. 42
Rosihan Anwar, Ulum al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia,
2013), h. 209.
92
al-Qur‟an, tentang petunjuk-petunjuk, hukum-hukumnya,
baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan
makna-makna yang dimungkinkan baginya tersusun serta
hal-hal yang melengkapinya.43
Sedangkan menurut Kilbiy, sebagaimana dikutip
Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A. Fudlali, tafsir adalah
mensyarahkan al-Qur‟an, menerangkan maknanya, dan
menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya, atau
dengan isyarat, ataupun dengan tujuannya.44
Menurut Ali Hasan al-„Arid, tafsir adalah ilmu yang
membahas tentang cara mengucapkan lafadz al-Qur‟an,
makna-makna yang ditunjukkan dan hukum-hukumnya baik
ketika berdiri sendiri ataupun tersusun serta makna-makna
yang dimungkinkan ketika dalam keadaan tersusun.45
43 Manna al-Qattan, Pembahasan Ilmu al-Qur’an 2, Terj.
Halimudin, (Jakarta: Rineka cipta, 1995), h. 164.
44
Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir,
(Bandung: Angkasa, 2005), h. 87. 45
Ali Hasan al-„Arid, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad
Akrom, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), h. 3.
93
2. Metode Tafsir
Kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos
yang berarti cara atau jalan.46
Dalam bahasa Inggris, kata ini
ditulis method, dan bahasa Arab menerjemahkannya dengan
manhaj dan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut
mengandung arti: cara yang teratur dan terpikir baik-baik
untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan
sebagainya) cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang
ditentukan.47
Definisi ini menggambarkan bahwa metode
tafsir al-Qur‟an tersebut berisi seperangkat tatanan dan aturan
yang harus diindahkan ketika menafsirkan al-Qur‟an.
Adapun metodologi tafsir adalah analisis ilmiah tentang
metode-metode menafsirkan al-Qur‟an.48
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa metode
tafsir adalah cara yang ditempuh penafsir dalam menafsirkan al-
Qur‟an berdasarkan aturan dan tatanan yang konsisten dari awal
46
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001), h. 54. 47
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer
Dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007), h. 39. 48
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an, op. cit., h. 57
94
hingga akhir. Dalam perkembangan metodologi selanjutnya,
ulama-ulama mengklasifikasikan metode-metode penafsiran al-
Qur‟an menjadi empat:
a. Metode Tafsir Tahlili
Metode tafsir Tahlili juga disebut metode analisis yaitu
metode penafsiran yang berusaha menerangkan arti ayat-ayat
al-Qur‟an dengan berbagai seginya, berdasarkan urutan ayat
dan surat dalam al-Qur‟an muṣḥaf Utsmani dengan
menonjolkan pengertian dan kandungan lafadz-lafadznya,
hubungan ayat dengan ayatnya, sebab-sebab nuzulnya, hadits-
hadits Nabi Saw yang ada kaitannya dengan ayat-ayat yang
ditafsirkan itu, serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama
lainnya.49
Dalam melakukan penafsiran, mufassir (penafsir)
memberikan perhatian sepenuhnya kepada semua aspek yang
terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya dengan tujuan
menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat.50
49
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an,
(Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 94. 50
Azyumardi Azra, et.al., Sejarah & Ulum al-Qur’an, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2013), h. 173.
95
Sehingga terlihat seperti pembahasan yang parsial, dari tiap-
tiap ayat yang ditafsirkan oleh para mufassir.51
b. Metode Tafsir Ijmali
Metode Ijmali adalah menafsirkan al-Qur‟an dengan cara
menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an dengan singkat dan global,
yaitu penjelasannya tanpa menggunakan uraian atau
penjelasan yang panjang lebar, dan kadang menjelaskan kosa
katanya saja.52
Menurut Asy-Syibarsyi, sebagaimana yang telah dikutip
oleh Badri Khaeruman, mendefinisikan bahwa metode tafsir
ijmali adalah sebagai cara menafsirkan al-Qur‟an dengan
mengetengahkan beberapa persoalan, maksud dan tujuan
yang menjadi kandungan ayat-ayat al-Qur‟an.53
Dengan
metode ini mufassir tetap menempuh jalan sebagaimana
metode Taḥlili, yaitu terikat kepada susunan-susunan yang
ada di dalam muṣḥaf Ustmani. Hanya saja dalam metode ini
51
Muḥammad Baqir aṣ-Ṣadr, Madrasah al-Qur’aniyyah, terj.
Hidayaturakhman, (Jakarta: Risalah Masa, 1992), h. 18. 52 Mundzir Hitami, Pengantar Studi al-Qur’an Teori dan
pendekatan, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2012), h. 46. 53 Badri Khaeruman, op. cit., h. 98.
96
mufassir mengambil beberapa maksud dan tujuan dari ayat-
ayat yang ada secara global.54
c. Metode Tafsir Muqaran
Metode Tafsir Muqaran adalah mengemukakan
penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an yang yang membahas suatu
masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat
atau antar ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi
atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan
menonojolkan segi perbedaan tertentu dari obyek yang
dibandingkan.55
d. Metode Tafsir Maudlu’i
Metode Tafsir Maudlu’i ialah metode yang membahas
ayat-ayat al- Qur‟an sesuai dengan tema atau judul yang telah
ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian
dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang
terkait dengannya, seperti asbab al-nuzūl, kosakata, dan
sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta
54 Ibid., h. 99. 55 Hamdani, Pengantar Studi al-Qur’an, (Semarang: Karya Abadi
Jaya, 2015), h. 137.
97
didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang
berasal dari al-Qur‟an, hadis, maupun pemikiran rasional.56
Jadi, dalam metode ini, tafsir al-Qur‟an tidak dilakukan ayat
demi ayat, melainkan mengkaji al-Qur‟an dengan mengambil
sebuah tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal,
sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-Qur‟an.57
Prinsip utama dari metode tematik adalah mengangkat
isu-isu doktrinal kehidupan, isu sosial ataupun tentang
kosmos untuk dikaji dengan teori al-Qur‟an, sebagai upaya
menemukan jawaban dari al-Qur‟an terkait tema tersebut.58
Dari pengertian di atas, akan timbul dua pemahaman
terkait metode maudlu’i yaitu, Pertama, penafsiran
menyangkut satu surat dalam al-Qur‟an dengan menjelaskan
tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema
ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan
juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut
56 Al-Ḥayy Al-Farmawy, Metode Tafsir Maudlu’i: Suatu Pengantar,
terj. Sufyan A. Jamrah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), h. 52. 57 Muḥammad Baqir aṣ-Ṣadr, op. cit., h. 14. 58 Ibid., h. 17.
98
dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan.59
Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat
al-Qur‟an yang dibahas satu masalah tertentu dari berbagai
ayat atau surat al-Qur‟an dan sedapat mungkin diurut sesuai
dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian
menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-
Qur‟an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.60
Dari uraian mengenai tafsir dan metodenya di atas, maka
dalam penulisan penelitian ini penulis menggunakan metode
maudlu’i, hal ini dikarenakan bahwa dalam penelitian ini penulis
membahas sebuah tema yaitu yang berkaitan dengan potensi
manusia yang berupa pendengaran, penglihatan dan akal yang
terkandung di dalam surat an-Nahl ayat 78, yang mana dengan
metode maudlu‟i tersebut maka akan didapatkan pembahasan
yang komprehensif, menyeluruh, dan hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan.
59 Tim Sembilan, Tafsir Maudlu’i al-Muntaha, (Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2004), Jilid I, h. 20. 60 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, op. cit., h. 74.