bab ii - sinta.unud.ac.id ii.pdf · teori, dan model penelitian 2.1 kajian pustaka berdasarkan...
TRANSCRIPT
1
` BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP,
TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak
ditemukan peneliti yang khusus mengkaji perlawanan orang Katobengke
khususnya di Sulawesi Tenggara. Namun, beberapa studi yang dianggap relevan
untuk dijadikan sebagai refrensi pembanding terhadap penelitian ini dipaparkan
sebagai berikut.
Maunati (2006) dalam bukunya Identitas Dayak: Komodifikasi dan
Politik Kebudayaan membahas konstruksi pemerintahan orde baru terhadap
identitas1 orang Dayak, terutama tentang pencitraan mereka yang dilabelkannya
sebagai etnik primitif. Maunati (2006: 18) melukiskan pogram relokasi yang
bertujuan untuk membuat orang-orang Dayak tinggal secara menetap di tempat-
tempat tertentu dengan cara memberikan rumah, lahan pertanian, dan
menggambarkan cara hidup orang Dayak yang tak beradab, pakaian tidak sopan,
kepercayaan animistik, tak berpendidikan dan dianggap penghambat
1 Gidden (1991:219--220), identitas diri tercipta dari kemampuan untuk mempertahankannarasi perihal diri dan dogma membangun perasaan yang konsisten perihal kesinambunganbiografis. Identitas sebagai proyek yang merupakan ciptaan kita, sesuatu yang selalu berprosesberdasarkan situasi masa lalu dan masa kini dan suatu gerak menuju masa depan yang kitainginkan. Barker mengutip Gidden (1984) menyebutkan identitas menjadi penting tidak hanyapenggambaran diri, tetapi juga ciri-ciri sosial. Identitas sosial terkait dengan hak-hak,kewajiban-kewajiban, dan sanksi-sanksi normatif yang dalam masyarakat tertentu, menjadipenentuan peran.
2
pembangunan. Stigma sosial akan dijatuhkan kepada orang Banjar yang menikahi
orang Dayak karena orang Dayak itu kotor dan terkebelakang. Pada saat yang
bersamaan elite Dayak menolak citra negatif tentang diri mereka dengan berupaya
membangun sebuah identitas Dayak yang “modern” untuk mengalahkan citra-
citra yang dominan berlaku tentang Dayak sebagai masyarakat “terkebelakang“
yang telah menyebabkan suku Dayak terkucil dari kekuasaan dan kekuatan politik
serta menegaskan marginalisasi ekonomi mereka. Dengan demikian, sebuah label
ketidakadilan yang disematkan oleh elite birokrasi terhadap orang Dayak
merupakan modal dasar elite tersebut membangun masyarakat Dayak yang
mereka sebut primitif itu untuk diberdayakan.
Tulisan Maunati (2006) memiliki banyak persamaan dengan penelitian
yang peneliti lakukan saat ini, yaitu tentang proses perlawanan terhadap hegemoni
elite tidak dapat dipisahkan dari faktor budaya, politik, ekonomi, dan etnik itu
sendiri. Relevansi yang menonjol dalam penelitian ini adalah citra negatif yang
dialamatkan kepada orang Dayak, seperti stigma sosial, terbelakang, terkucil dari
kekuasaan dan kekuatan politik. Di samping pencitraan negatif, sebagaimana
tulisan Tasrifin (2010) dan Ruslan (2005), orang Katobengke juga memiliki citra
positif yang disematkan oleh elite tradisional, seperti predikat inaa Laode dan
Maa Laode yang bermakna pengasuh bayi bangsawan. Selanjutnya organisasi
perlawanan orang Katobengke terhadap hegemoni elite belum tampak dilakukan
secara sistematis dan kemudian indikasi perlawanan mereka baru tampak pada era
reformasi ini. Sebaliknya, orang Dayak merupakan sebuah etnik besar yang
terdiri atas sejumlah subetniknya berdasarkan wilayah permukimannya dan
3
perjuangan komunitas secara organisatoris tampak ditunjukkan berbagai LSM,
cendekiawan Dayak dalam upaya mempertahankan identitas dan budaya
kedayakan. Sementara itu, pemberdayaan yang dilakukan pemerintah hanya
berorientasi pada kepentingan ekonomi kepariwisataan.
Buku Anom Kumbara (2011) berjudul Pergulatan Elite Lokal
Representasi Relasi Kuasa dan Identitas merupakan rekonstruksi hasil penelitian
Antropologi dalam penulisan disertasi yang dilakukan di Pulau Lombok, Nusa
Tenggara Barat tahun 2005--2008 yang berjudul “Konstruksi Identitas Orang
Sasak di Lombok Timur Nusa Tenggara Barat”. Kajiannya mengupas secara
holistik (1) bagaimana variasi identitas Sasak di Pulau Lombok, (2) strategi-
strategi yang dikembangkan oleh elite Sasak dalam melestarikan identitas mereka,
(3) bagaimana dinamika relasi antarelite Sasak dalam mengonstruksi identitas
Sasak baru yang bisa menyatukan varisi identitas yang ada di Pulau Lombok.
Eksplanasi penelitian Kumbara (2011) dimulai dengan teropong istilah
Sasak sebagai kolektivitas masyarakat asli Pulau Lombok yang dalam catatan
sejarah memiliki pengalaman sejarah yang sangat pahit selama berabad-abad
sampai pada era reformasi ini juga mengalami gejolak sosial atau konflik yang
berbasis suku dan agama. Adapun variasi identitas Sasak terbentuk sebagai cikal
bakalnya, mulai dari era Sasak pra-Islam, kekuasaan Majapahit, Makassar, dan
bagaimana hegemoni Bali atas Sasak, mulai proses penaklukan Karangasem Bali
terhadap Lombok yang dibuktikan beberapa daerah, seperti Pejanggik, Parwa, dan
Lengko yang harus membayar upeti. Semua itu menyebabkan Sasak terhegemoni
dan termarginalisasi selama dua abad. Secara budaya akhirnya berimplikasi pada
4
masyarakat Lombok dengan karakteristik budaya yang sangat plural dan orang
Sasak kurang memiliki struktur identitas yang jelas. Selanjutnya masuknya Islam
dan munculnya pengelompokan Islam, seperti Islam tradisional, Islam tradisional
modern, sampai pada pembaruan Islam di Lombok. Terkait dengan pembaruan
Islam dikaji bagaimana penegasan identitas Sasak dan aneka peranan yang
dimainkan organisasi Islam modern dalam dinamika politik lokal dalam bidang
pendidikan, sosial, dakwah, sampai memasuki ranah politik.
Strategi kuasa tiga kekuatan elite, yaitu elite Sasak Islam, elite Sasak adat,
dan elite Sasak modern mengenai cita-cita pembentukan identitas orang Sasak.
Strategi elite Sasak Islam dengan mengemban misi dakwah melalui pendidikan
formal, informal, seperti pondok pesantren, perayaan-perayan Islam, dan lain-lain,
maka peran figur seorang “Tuan Guru” sebagai figur karismatik dan memiliki
pengetahuan luas di bidang keagamaan sangat penting. Peranan Tuan Guru
berhasil dengan baik menjembatani jurang antara dunia empirik dan dunia
spritual, menggiring ke arah terbentuknya aksi dan kesadaran praktis di antara
mereka untuk mencapai tujuan bersama. Strategi elite Sasak adat sumber
legitimasinya menggunakan adat, politik, kebudayaaan, dan institusi, sedangkan
strategi elite Sasak modern menggunakan budaya, adat, kesenian, agama, dan
etnisitas sebagai sumber legitimasinya dalam upaya pembentukan identitas orang
Sasak.
Relevansinya dalam penelitian ini terutama pada analisis kualitatif
interpretatif serta penggunaan teori yang sama, yaitu teori hegemoni Antonio
Gramsci dan teori Diskursus Kuasa Michael Foucault. Pada konteks kajian
5
adanya relevansi terhadap penguatan identitas orang Sasak yang memiliki catatan
sama dengan orang Katobengke khususnya pengalaman sejarah yang sangat pahit
selama berabad-abad sampai pada era reformasi ini. Di samping itu, juga
mengalami gejolak sosial atau konflik yang berbasis subetnik, pembelajaran
bagaimana proses hegemoni Bali terhadap Sasak yang dikaji secara holistik, dan
kronologis pergulatan elite Sasak merupakan sebuah referensi utama. Hal itu
senada dengan pernyataan Rudyansyah (2010), yaitu bagaimana pergulatan elite
tradisional di Buton dengan menggunakan pendekatan keagamaan yang sangat
kental pada era Kesultanan Buton dan prospek elite dalam upaya memperebutkan
aset kekuasaan dan ekonomi pada era reformasi ini.
Tulisan James Scott (1993) berjudul Perlawanan Kaum Tani. Dalam
tulisan itu termuat kasus-kasus perlawanan kaum tani, yakni kasus revolusi hijau
di kawasan irigasi muda di Kedah, Malaysia. Protes dan pelanggaran
pemberontakan agraria dan tradisi kecil dan bentuk perlawanan sehari-hari buruh
tani dan perlawanan tanpa protes. Kasus revolusi hijau yang mengkaji secara
historis bagaimana ketidakadilan patron (petani kaya) terhadap klien (petani
miskin) yang menyebabkan kerugian buruh tani. Sebaliknya, tindakan buruh tani
dalam melakukan sebuah perlawanan merujuk ke dasar moral yang dilanggar oleh
petani kaya. Hal tersebut terjadi akibat longgarnya ikatan patron klien. Buruh
tani sebagai klien tidak mengenal cara lain selain melawan secara tak langsung,
mengarah kepada penekanan yang menjurus kepada tindakan boikot dan
pencurian padi yang baru dipanen, yang belum sempat diangkut ke rumah pemilik
sawah, mirip perilaku gerilya. Kasus tersebut dapat dijadikan sebagai bahan
6
komparasi dengan pembangunan pedesaan di Indonesia yaitu adanya suatu
program bantuan perbaikan desa. Di dalam program ini dijumpai kasus prilaku
pemimpin setempat (elite pertanian) yang dinilai kurang adil dalam membagi
bantuan pada rumah tangga miskin.
Tulisan Scott (1993) memiliki relevansi dengan penelitian yang peneliti
lakukan saat ini, khususnya hegemoni kultur elite ekonomi dengan mata
pencaharian yang sama sebagai petani. Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari
faktor budaya, politik, dan etnik itu sendiri. Perbedaannya adalah tindakan yang
dilakukan kaum tani adalah perlawanan dengan kekerasan yang berorientasi pada
hubungan patron klien, yang berkaitan dengan ketidakadilan penguasaan lahan
pertanian oleh kelompok kaya (patron) terhadap kelompok petani miskin (klien).
Bagi orang Katobengke hubungan patron klien dengan elite tradisional, hanya
terjadi pada masa kesultanan, sementara kini terjadi hubungan patron klien
sesama orang Katobengke, yaitu mereka menguasai sebagian besar lahan
perkebunan di Kota Bau-Bau. Sebaliknya, perlawanan yang dilakukan oleh orang
Katobengke terhadap elite berkaitan dengan pencitraan atau stigma sosial
sebagaimana hasil penelitian Tasrifin (2010) mengeni pencitraan negatif yang
dialamatkan atas diri mereka. Akan tetapi, dalam kajian ini pelabelan citra positif
yang disematkan elite tradisional terhadap orang Katobengke sebagai pengasuh
bayi bangsawan.
Sutherland (1983) dalam bukunya berjudul Terbentuknya Sebuah Elite
Birokrasi memfokuskan kajian pada elite birokrasi kerajaan pada masyarakat
Jawa. Bagian tulisannya menjelaskan arena perpolitikan Hindia Belanda
7
khususnya masyarakat Jawa pada awal abad ke- 20. Selanjutnya juga dikaji
tentang bagaimana strategi adu domba kolonial Belanda berhadapan dengan kaum
nasionalis dengan cara memperkuat pemimpin-pemimpin “tradisional” para
priyayi yang setia untuk memperlemah gerakan nasionalis. Kesewenang-
wenangan penguasaan kolonial atas hak rakyat dan adanya kerja paksa atau rodi
merupakan indikator kuat atas diskriminasi tersebut. Birokrasi di bentuk untuk
melayani kepentingan kolonial dengan tujuan pokok membantu pemerintah
kolonial melakukan ekstraksi kekayaan Indonesia. Strategi yang dipilih oleh
pemerintah kolonial adalah menerapkan sistem indirect rule melalui kerja sama
dengan penguasa-penguasa lokal, yaitu para raja atau elite lokal yang kemudian
diangkat menjadi bupati. Hal ini dilakukan agar tetap terjaga kelangsungan
kepatuhan rakyat dalam membayar pajak, upeti, dan menyedikan tenaga kerja
secara gratis dengan memanfaatkan wibawa para bupati yang sering disebutnya
sebagai eigen hoofden. Dengan demikian, tradisi penguasa patrimonial yang tidak
mengenal pemisahan antara kepentingan pribadi dan jabatan. Di samping itu,
berdasarkan tradisi para pemimpin Jawa memperoleh sumbangan pesta dan
dianggap sukarela dan kebiasaan berangsur menjadi korupsi karena
penyalahgunaan kekuasaan.
Tulisan Sutherland (1983) memiliki relevansi dengan penelitian yang
peneliti lakukan saat ini khususnya bahwa hegemoni kultur elite tidak dapat
dipisahkan dari faktor budaya, politik, ekonomi, dan etnik itu sendiri.
Persamaan dengan elite Kesultanan Buton adalah perilaku budaya elite warisan
kolonialime seperti sistem pembayaran pajak dan tenaga kerja secara gratis.
8
Lebih lanjut bahwa dalam silsilah raja-raja Buton secara geneologis berasal dari
keturunan Raja Jawa. Menurut Vonk (1937: 20) yang dikutip Zuhdi (2010: 73)
Raja Buton pertama bernama “Sibatara” yang merupakan cucu seorang Raja
Majapahit (silsilah terlampir). Relevansi penelitian ini terletak pada praktik
kepemimpinan yang dapat berpengaruh kuat khususnya segi karakater geneologis
Jawa dan warisan kolonialisme di dalam kesewenang-wenangan memperlakukan
rakyat. Perbedaannya, yaitu perlawanan yang terjadi di Jawa adalah perlawanan
antarelite kerajaan. Sutherland tidak mengkaji bagaimana perlawanan rakyat
terhadap hegemoni elite birokrasi. Kepatuhan rakyat Jawa terhadap rajanya
adalah kepatuhan secara otomatis. Artinya, rakyat menganggap perintah raja
adalah perintah dewa. Dengan kata lain ucapan raja merupakan sumber
kebenaran. Berbeda dengan Sultan Buton. Jika sultan melanggar aturan adat,
akan dihukum oleh dewan kerajaan dari kelompok siolimbona (walaka).
Peristiwa terjadi pada Sultan Buton VIII Mardan Ali (1647--1654) yang
ditenggelamkan di laut karena melanggar aturan adat yang ditetapkan “Syarana
Wolio” (perangkat kerajaan) (Dirman, 2007: 201).
Disertasi Tasrifin (2005) berjudul “Reproduksi Stereotip2 dan Resistensi
Orang Katobengke dalam Struktur Masyarakat Buton”. Tasrifin memformulasi
permasalahan penelitiannya tentang produksi dan reproduksi stereotip sebagai
2. Konsep stereotip sebagaimana dikutip dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998) stereotip adalahkonsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka subjektif dan tidak tepat. Sejalan denganitu, Sindunata (1996) mengatakan bahwa stereotip adalah penilaian tidak seimbang terhadap satukelompok masyarakat yang terjadi karena kecenderungan menggeneralisasi tanpa diferensiasi. Dyer(1977) menunjukkan perbedaan penting antara tipe dan stereotip. Tipe adalah klasifikasi yang bersifatumum dan penting terhadap orang dan peran menurut ketegori budaya setempat. Sterotip dianggapsebagai representasi gambling, tetapi sederhana yang mereduksi orang menjadi sekumpulan ciri yangberlebihan dan sering kali negatif (Barker, 2005: 274).
9
warisan budaya birokrasi Kesultanan Buton bertahan dalam ruang struktur
sosialnya dan perlawanan orang Katobengke atas reproduksi stereotip tersebut.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perlawanan terhadap elite tradisional
(kaomu dan walaka) sebagai reaksi atas bertahannya pandangan stereotip negatif
yang dialamatkan kepada orang Katobengke. Persamaan kajian dengan yang
peneliti lakukan, yaitu sama-sama membahas masalah perlawanan dalam ruang
stratifikasi elite tradisional bahwa perlawanan orang Katobengke sebagai reaksi
penolakan terhadap pandangan stereotip negatif, seperti Katobengke budak,
bodoh, kaki lebar, kuat makan. Kemudian bentuk perlawanan melalui jalur
pendidikan sebagai strategi penolakan terhadap label yang dialamatkan atas diri
mereka, baik dalam ucapan maupun tindakan, dalam kehidupan sehari-hari dari
elite tradisional.
Perbedaannya adalah Tasrifin (2010) mengkaji elite kaomu dan walaka
hanya melihat sisi negatif atau stereotip negatif, sementara fokus kajian yang
penulis lakukan tidak saja pada aspek stereotip, tetapi lebih luas dan mendalam,
yaitu pada aspek hegemoni elite berorientasi pada konteks konsensus, persuasif
yang dilapisi kekerasan. Perbedaan pada disiplin ilmu dan penggunaan teori,
bahwa disertasi Tasrifin mengkaji perlawanan orang Katobengke secara ilmu
antropologis dengan pendekatan etnografi, sementara kajian yang penulis lakukan
secara culture studies dengan teori hegemoni Gramsci, Praktik Sosial Bourdieu
dan teori Diskursus Kuasa Foucault. Karena itu, persamaan faktor penyebab
khususnya stereotip, mengakibatkan implikasi dan temuan penelitian akan
menunjukan perbedaan signifikan. Fokus kajian yang penulis lakukan, tidak saja
10
pada aspek pelabelan negatif tetapi juga aspek positif yang disematkan elite
tradisional. Dengan demikian, faktor stereotip dalam penelitian ini merupakan
salah satu aspek dari hegemoni elite. Fokus kajian Tasrifin mengarah kepada
kelompok elite kerajaan hingga kini yang memberikan label negativitas dalam
kehidupan sehari-hari, yang umumnya mengarah ke tindakan elite yang sifatnya
individual. Sementara arah kajian penelitian ini, di samping tindakan elite
tradisional secara individu dalam kehidupan sehari-hari juga menyangkut
kebijakan birokrasi yang masih di bawah kekuasaan elite tradisional. Kekuasaan
elite secara historis sudah dilapisi habitus elite tradisional sendiri bahwa orang
Katobengke sebagai kelompok termarginalkan. Kajian ini akan menggali secara
kronologis strategi hegemoni elite tradisional mulai era orde baru hingga
reformasi ini, baik secara persuasif maupun paksaan hingga kemudian pada era
reformasi ini orang Katobengke mulai melakukan perlawanan. Selanjutnya kajian
perlawanan orang Katobengke tidak terlepas dari pengaruh globalisasi yang
berimplikasi pada perubahan gaya hidup mereka, pengaruh perubahan teknologi,
serta media elektronik dan penguasaan sebagian besar areal pertanian oleh orang
Katobengke di Kota Bau-Bau.
Perlawanan orang Katobengke merupakan reaksi atas hegemoni elite yang
melakukan tindakan secara persuasif, tetapi dilapisi paksaan, diskriminasi
kekerasan simbolik dan fisik. Kajian tersebut adalah sebagai warisan kolonial
dengan memperalat elite kesultanan hingga mewarisi elite tradisional yang
menguasai panggung kepolitikan di Kota Baubau. Semua itu merupakan salah
satu fokus dan penajaman kajian penulis dalam disertasi ini.
11
2.2 Konsep
Konsep merupakan jantung permasalahan yang diteliti. Komponen yang
berkaitan dengan masalah penelitian adalah masalah perlawanan, orang
Katobengke, hegemoni, dan elite tradisional. Semua hal tersebut dijelaskan
sebagai berikut.
2.2.1 Perlawanan
Perlawanan atau resisten adalah tindakan yang ditujukan untuk melawan
atau menguasai hubungan kekuasaan yang tidak setara, sebagai hal yang berbeda
dari konsep otonomi relatif, yaitu pihak yang tak berdaya biasanya menyingkir
atau menghindar dari realitas penindasan dan konsekuensinya. Resistensi
didefinisikan sebagai sebuah budaya penentangan terhadap dominasi budaya
resmi atau budaya elite. Strategi yang dipakai bersifat defensif dan subversif.
Kadang kala resistensi (pertentangan) sehari-hari berubah menjadi perlawanan
terbuka (Burke, 2001: 130). Menurut Horsby A.S (2000:1086) dalam “Oxford,
Advanced Leaner’s Dictionary”. Resist: to Refuse, to accep something and Try to
stop it from happening: to fligt back when attacked ; to use forse to stop
something happening. Resistensi bermakna menentukan sesuatu melawan balik
dan menghentikan sesuatu. Konsep ini berkaitan dengan unsur kemerdekaan,
kebebasan di dalam sebuah kelas terhadap kelas yang lain. Menurut Scott
(2005:305), perlawanan dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu perlawanan sehari-
hari dan perlawanan sesungguhnya. Perlawanan sehari-hari (a) tidak terorganisasi,
tidak sistematis, dan individual, (b) bersifat untung-untungan, pamrih, dan tidak
12
berakibat revolusioner. Sebaliknya, perlawanan sesungguhnya (a) lebih
terorganisasi, sistematis, dan koperatif, (b) berprinsip tanpa pamrih, (c)
mempunyai akibat revolusioner, dan (d) mengandung gagasan atau tujuan yang
meniadakan dasar organisasi.
Perlawanan rakyat terhadap kekuasaan bercikal bakal dari dominasi
kekuasaan negara Eropa Barat terhadap negeri dunia ketiga ketika keadaan negara
dunia ketiga masih merupakan kumpulan kelompok warga yang heterogen,
multietnik, multirasial, multireligius, dan multilingual. Eksplanasi Yacob (1992:
38) menyatakan bahwa akibat kolonialisme yang membagi-bagi Asia dan Afrika
sesuai dengan keinginan penjajah, maka banyak terjadi perang perbatasan yang
kadang-kadang berupa perang saudara karena suatu suku terpecah oleh batas-
batas yang artifisial. Perang saudara dapat bersifat rasial, etnik, bahasa, agama,
politik, dan ekonomi karena terdesak oleh suku yang dominan. Gidens (2010:
382) menyatakan bahwa negara pertanian memiliki asal usul dari perang,
rancangan irigasi, akumulasi produksi berlebih yang cepat, dan lain-lain. Bourdieu
( Mutahir,2011: 28) menyusun sebuah gerakan untuk melawan dominasi.
Dalam kariernya ia bergerak melawan ketidakadilan, membela kaum tunawisma,
pensiunan, kaum buruh, dan aktivis anti rasial serta kaum migran. Bourdieu
mendukung intelektual Brazil, yaitu negara bekas jajahan Perancis yang menjadi
korban sasaran kekerasan kaum militan.
Perlawanan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sejauh mana
pernyataan-pernyataan perlawanan orang Katobengke terhadap dominasi budaya
elite tradisional, baik elite yang berpendidikan tinggi maupun tidak, kaya maupun
13
miskin, yang semuanya menstigma identitas mereka sebagai terbelakang.
Kemudian, dalam internal Katobengke terdapat indikasi perlawanan terhadap elite
agama Islam murni yang masuk ke lingkungan Katobengke termasuk orang
Katobengke yang menjadi elite Islam murni, yang berpendidikan, dan
pengetahuan keagamaan yang tinggi. Bentuk perlawanan dengan tokoh
masyarakat Katobengke sendiri yang mempertahankan ideologi yang bersumber
dari sejarah mitos identitas yang dijadikan sebagai kitab suci. Para tokoh adat
yang mendoktrinkan kebenaran ritual berhadapan dengan elite agama yang
memiliki pendidikan tinggi, berpengetahuan kegamaaan secara murni, yang
menyatakan menolak ritual yang bertentangan dengan nilai-nilai Islami. Dengan
demikian, penelitian ini dapat menjelaskan kronologis dan holistik, bentuk, faktor
penyebab, dan implikasinya orang Katobengke melakukan sebuah perlawanan,
baik terhadap elite tradisional maupun dari pihak sesama Katobengke sendiri.
2.2.2 Orang Katobengke
Orang Katobengke adalah salah satu subetnik Buton dengan kosentrasi
permukiman di pusat Kota Baubau. Asal usulnya menurut cerita yang tersimpan
di alam pikiran tokoh adat Buton, baik kalangan orang tua maupun pemuda yang
berpendidikan tinggi dan berpendidikan rendah, orang Katobengke berasal atau
migran dari kampung Laboora. Laboora adalah subetnik Muna atau Kabupaten
Muna yang wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten Buton dan Kota Baubau.
Sementara itu, orang Muna sendiri menyatakan bahwa orang Laboora merupakan
salah satu subetnik Muna yang tergolong strata paling bawah atau golongan
14
budak. Bagi orang Katobengke sendiri, tokoh adat berpendidikan rendah, yang
berpendidikan tinggi, Islam murni menolak pernyataan elite tradisional tersebut
dan mereka menyatakan diri berasal dari Johor Malaysia (Ruslan, 2005; Tasrifin,
2010)
Ciri identitas budaya orang Katobengke adalah keunikan ritualnya, seperti
“upacara pingitan dan upacara maiana bara” (datangnya musim barat) yang
dipimpin oleh seorang tokoh adat yang disebut “parabela”3. Beberapa identitas
budaya lainnya berubah atau musnah khususnya teknologi pembuatan gerabah.
Gagalnya pewarisan keterampilan tersebut bersamaan hilangnya identitas
fisiknya, seperti kebiasaan memanjangkan daun telinga, makan siri. Khusus
pakaian khas orang Katobengke yang disebut bidha dan kabaleko yang bermotif
dasar warna krem yang dirajut dengan potongan kain warna warni berdiameter
sekitar 20 cm ” yang kemudian sejak orde baru pada tahun 1970 pemerintah
Kabupaten Buton mengeluarkan kebijakan melarang mengenakan pakaian
tersebut.
2.2.3 Hegemoni
Kamus Sage Dictionary of Culture Studies mendefinisikan hegemoni
sebagai Control by one country, organization, etc over other countries, etc
whithin a particular group; the country’s continuing desire for political and
military (Wehmeier, 2000: 604). Titik awal konsep Gramsci (2001) tentang
hegemoni bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap
3 Disertasi Ruslan Rahman (2005) berjudul “Parabela di Buton: Suatu Analisis Antropologi Politik”. Salahsatu kajiannya tentang Parabela Katobengke membicarakan bagaimana kedudukan dan perannya sebagaipemersatu, sebagai elite, model kepemimpinannya, dan sebab-sebab turunnya parabela.
15
kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasif. Gramsci
menjelaskan bahwa hegemoni sebuah kelas politik mengandung pengertian bahwa
kelas tersebut berhasil membujuk kelas lain dalam masyarakat untuk menerima,
baik nilai moral, politik, maupun kulturalnya. Hegemoni bukanlah hubungan
dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan
dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Lebih lanjut Gramsci
menyatakan kelompok-kelompok yang kalah dan terpinggirkan dalam kekuasaan
yang dalam bahasa menjadi subjek hegemoni kelas yang berkuasa, seperti petani,
buruh, dan kelompok-kelompok yang lain yang tidak memiliki akses kepada
kekuasaan “hegemonik”.
Konsep hegemoni Gramsci menentang determinisme ekonomi dan lebih
pada saling menguntungkan antara para pemimpin dan massa untuk tidak bersifat
kediktatoran. Hegemoni yang dikembangkan Gramsci (Bocock, 2007: 17) berarti
untuk sebagian, yaitu orang-orang dari kelas-kelas yang tidak mengeksploitasi
hendaknya memberikan persetujuan masyarakat. Berdasarkan konsep hegemoni
tersebut diketahui bahwa sejauh mana elite tradisional, baik yang bependidikan
maupun elite yang tidak berpendidikan, menjalankan kekuasaan hegemoniknya
menggiring orang Katobengke untuk menerima nilai-nilai, moral, dan politik elite
tradisional, baik secara persuasif maupun kekerasan fisik. Sebaliknya, bagi orang
Katobengke bagaimana strategi-strategi digunakan dalam melakukan perlawanan,
baik dalam kapasitasnya sebagai kelas bawah (ascribed status), dalam struktur
tradisional, maupun dalam hasil perjuangan (achieved status) mencermati atau
menolak nilai-nilai, moral, dan politik elite tradisional. Hal itu dimulai pada era
16
orde baru hingga orde reformasi. Di samping itu, bagaimana bentuk-bentuk
persetujuan dan penerimaan atau perlawanan mereka terhadap praktik hegemoni
elite tradisional, baik secara persuasif maupun kekerasan fisik.
2.2.4 Elite “Tradisional”
Soekanto (1974) membatasi pengertian elite sebagai kelompok orang-orang
dalam situasi sosial tertentu memasuki posisi tertinggi, dianggap mempunyai
kekuasaan besar, dan hak-hak istimewa kadang-kadang diartikan sebagai
golongan aristokrat yang berkuasa karena faktor keturunan. Kajian tentang elite,
ada dua prespektif penting yang dapat dirujuk, yaitu prespektif pluralis dan
prespektif Marxian. Menurut Las Awell dan Dahl (1968), elite diidentifikasikan
sebagai kelompok kecil orang yang memiliki dan mendapatkan lebih dariapa yang
dimiliki dan didapatkan oleh kebanyakan orang. Mannheim (1946:215) dalam
bukunya “ Man and Society in an Age Reconstruction membedakan elite integratif
yang terdiri atas pemimpin politik dan organisasi serta elite sublimatif yang terdiri
atas pemimpin moral keagamaan, seni, dan intelektual.
Penelitian Kappi (Alfian, ed.,1988:70--89) pada masyarakat Aceh
mengklasifikasikan kedudukan kelompok elite, yaitu (1) elite pedesaan /kelurahan
adalah kelompok elite pada masa kerajaan, kelompok elite agama (karena
peranannya dalam bidang agama), dan kelompok elite karena jabatannya dalam
perangkat birokrasi kekuasaan; (2) elite bangsawan menggambarkan sekelompok
manusia yang memiliki posisi dan fungsi dalam masyarakat pada masa lampau,
status kebangsawanan diperoleh karena dibebankan (ascribed status) atau status
17
natural (alamiah); (3) elite birokrasi adalah kelompok karena jabatannya
melaksanakan tugas-tugas admistrasi pemerintahan; (4) elite agama karena
pengaruh agama tampak dan segala aktivitas sosial kemasyarakatan yang
sebenarnya menjadi lapangan adat yang bukan bagian dari ajaran agama selalu
dihubungkan dengan aktivitas keagamaan; (5) elite agama dan politik
dimaksudkan di samping karisma4 di bidang keagamaan juga sebagai politisi; (6)
elite cendekiawan, yaitu bahwa pada masa lalu peranan cendekiawan dimainkan
oleh tokoh-tokoh yang memiliki pengetahuan luas dalam bidang agama yang
disebut ulama. Mereka adalah pemikir-pemikir utama dalam masalah-masalah
agama, kebudayaan, dan tradisi; (7) elite ekonomi bahwa sektor ekonomi
tradisional masih sangat penting dalam kehidupan masyarakat mengingat sebagian
besar masyarakatnya terdiri atas petani dengan tingkat kemampuan petani masih
rendah.
Menurut OALD (2011) konsep tradisional, yaitu traditional is being part
like belief, customs or way of life of particular Group of people, that have not
changed for along time following order methods and edeas rather than modern of
different ones. Tradisional diartikan sebuah kepercayaan adat istiadat kelompok
tertentu yang tidak bisa berubah sepanjang waktu dengan mempertahankan cara-
cara lain yang berbeda dengan cara-cara modern.
4 Weber (Kartodirjo, 1984:19) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kepemimpinankarismatik adalah kepemimpinan yang terjadi karena seorang pemimpin tampak memilikikewibawaan (karisma) yang diketahui oleh kelompok pergaulannya.
18
Konsep elite tradisional mengandung pengertian sekelompok orang yang
berada pada posisi tinggi karena faktor keturunan yang mempertahankan
kepercayaan, yang terkandung di dalam adat istiadat dan berbeda dengan cara-
cara modern. Untuk membedakan elite karena faktor keturunan dan elite yang
diperoleh dengan cara-cara modern, dapat diikuti konsep Weber (1978) yang
menggunakan konsep status. Status didefinisikan oleh Weber sebagai kelompok
yang anggotanya mempunyai gaya hidup tertentu dan mempunyai tingkat
penghargaan sosial tertentu yang dikelompokkannya menjadi dua bagian.
Pertama, ascribed status menunjuk pada satu komunitas, suatu kelompok
masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style) dan perasaan identitas kelompok
yang sama dan bersifat berbeda dengan kelompok status yang lain. Kelompok
elite tradisional, kelompok agama, atau organisasi-organisasi sosial yang ada
dalam masyarakat merupakan wujud dari kelompok status tersebut. Kedua,
achieved status adalah sebuah asosiasi politik, yang anggotanya melakukan atau
mempunyai kekuatan sosial tertentu atau menunjuk pada perjuangan, baik dalam
bidang pendidikan, ekonomi, maupun politik. Kedua klasifikasi elite tersebut bisa
status kebangsawanan sebagai elite tradisional, tetapi juga memiliki atau tidak
memiliki kekayaan, pendidikan, dan pekerjaan.
Elite tradisional yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah elite
bangsawan terdiri atas kaomu dan walaka yang memiliki posisi dan fungsi dalam
masyarakat pada masa Kesultanan Buton. Status kebangsawanan diperoleh
karena dibebankan (ascribed status) atau status natural (alamiah) dan biasanya
memiliki kemampuan di bidang adat keagamaan yang dalam bahasa Wolio
19
disebut kamiya. Dalam konteks kajian hegemoni elite tradisional tidak
dipengaruhi oleh keelitan tradisional mereka ketika memasuki ruang, baik
sebagai elite agama, pendidikan, ekonomi, maupun kepolitikan. Dalam kaitan
penelitian ini, perbedaan antara elite tradisional yang tidak memiliki dan yang
memiliki kekayaan, pendidikan, dan kekusaan adalah soal strategi dan etika
tersembunyi.
Perbedaan secara ascribed status (kamiya) tampak menonjol pada
pelaksanaan adat perkawinan utamanya menyangkut jumlah mahar, yang tidak
mempertimbangkan tingkat pendidikan, ekonomi, dan politik. Sementara itu, elite
Katobengke modern berjuang untuk melawan status yang dibebankan kepada diri
mereka sebagai budak. Perjuangan (achieved status) itu dilakukan melalui peran
mitos asal usul identitas, kepahlawanan, dan kesaktian untuk menetralisasi
ketakutan mereka terhadap elite tradisional. Berdasarkan acribed status yang
dibebankan atas diri mereka, kemudian mereka berjuang menyejajarkan diri
melalui achieved status atau memasuki ruang strata modern dengan menggunakan
alat perlawanan sesuai kapasitas tingkat pendidikan, agamis, pemilik modal,
politik dan kekuasaan, baik secara kolektif terorganisasi maupun perorangan yang
tidak terorganisasi.
Konsep perlawanan orang Katobengke terhadap hegemoni elite tradisional,
yaitu sejauh mana perlawanan terhadap tindakan elite tradisional yang
menjalankan kekuasaan hegemoniknya terhadap orang Katobengke sebagai
kelompok subordinat. Keekuasaan hegemoni itu terjadi mulai era Kesultanan dan
kolonialisme, orde lama memasuki orde baru hingga orde reformasi ini.
20
Kemudian dalam perkembangannya elite tradisional menghadapi perlawanan elite
Katobengke modern yang berada dalam ruang dominasi kepolitikan elite
tradisional di Kota Baubau yang berimplikasi pula terhadap identitas mereka
sendiri.
2.3 Landasan Teori
Ada tiga teori yang digunakan sebagai landasan untuk mengkaji
perlawanan orang Katobengke terhadap hegemoni elite tradisional, yakni (1) teori
hegemoni Gramsci, (2) teori praktik sosial Bourdieu, dan (3) teori diskursus kuasa
Foucault. Ketiga teori tersebut berkorelasi satu sama lain dan substansi ketiga
teori tersebut berangkat dari persoalan ideologi dan kekuasaan. Perbedaannya,
hegemoni Gramsci menekankan pada aspek kekuasaan hegemonik, teori diskursus
Foucault menekankan pada kekuasaan menormalisasi dan pendisiplinan
sedangkan Bourdieu menekankan kekuasaan pada aspek kekerasan simbolik dan
perlawanan terhadap dominasi. Teori hegemoni digunakan untuk mengkaji
bagaimana strategi perjuangan orang Katobengke atau kontra hegemoni melawan
kekuatan hegemoni elite. Teori diskursus Foucault mengetengahkan relasi
kekuasaan yang menormalisasi dan pengetahuan. Di pihak lain teori praktik sosial
Bourdieu mencanangkan praktik perlawanan simbolik melawan kekerasan
simbolik elite tradisional. Bourdieu menggunakan konsep habitus bahwa produk
historis dibentuk melalui sosialisasi dan bentuk-bentuk tersembunyi dalam
kehidupan sehari-hari. Pemahaman tentang ideologi, baik dilakukan oleh Foucault
maupun Bourdieu, menunjukan kemiripan antara pembentukan diskursus dan
21
doxa sebagai istilah lain dari ideologi Ketiga teori besar tersebut digunakan
untuk menggali secara kronologis pernyataan-pernyataan tersembunyi orang
Katobengke, yang tidak disadari, tetapi membentuk perilakunya. Sebagaimana
pernyataan-pernyataan mereka atas kekuasaan hegemonik elite tradisional sejak
era kesultanan yang tereproduksi, tersosialisasi, dan terinternalisasi pada semua
level relasi sosial hingga kini di Kota Baubau.
Berbagai pernyataan dan tindakan orang Katobengke terhadap kebenaran
elite tradisional tentang hubungan sosial, ekonomi dalam keluarga dan
perkawinan, sekolah dan kelompok kerja, kesehatan, disiplin, dan lain lain.
Bagaimana sistem pengetahuan itu diwariskan dan terinternalisasi dalam praktik
kehidupan sehari-hari orang Katobengke. Potret aktivitas upacara lingkaran hidup
dan perkawinan yang memberikan gambaran relasi hubungan kekuasaan dan
pengetahuan. Makna atas simbol-simbol dominasi elite tradisional atau kontra
hegemoni yang dimainkan orang Katobengke terhadap hegemoni elite tradisional
di Kota Baubau. Untuk selanjutnya secara terperinci ketiga teori tersebut dapat
disajikan sebagai berikut.
2.3.1 Teori Hegemoni
Praktik hegemoni bercikal bakal dari persoalan “dunia Barat dan dunia
Timur”. “Barat” diterjemahkan oleh para ilmuwan sebagai orang Eropa Barat
berpartisipasi di “Timur”. Para ilmuwan “Barat” itu, antara lain para ahli bahasa,
penyiar agama Nasrani, ahli etnologi, dan pemerintah pegawai jajahan yang
melakukan ekspedisi di daerah jajahan. Kerja lapangan para ilmwuan tersebut
22
dilandasi gaya berpikir dan menilai bahwa masyarakat yang berada di luar Eropa
khususnya daerah jajahan di Asia dan Afrika adalah primitif, savages.
(Koentjaraningrat 1980).
Teori hegemoni Gramsci (1971) menempatkan ide-ide Marx untuk
mengembangkan kerangka berpikirnya. Marxisme-Leninisme mempunyai
kecenderungan bahwa kekuasaan terpusat dalam negara dan strategi revolusioner
merebut kekuasaan, kemudian baru pembangunan dimulai. Gramsci dalam Roger
(2004: 30) menyatakan bahwa kekuasaan harus dipahami sebagai sebuah
hubungan, yaitu hubungan sosial dalam masyarakat sipil. Di samping itu, juga
merupakan hubungan kekuasaan bisa merata ke seluruh masyarakat sipil, bukan
hanya terwujud dalam aparat negara.
Menurut Gramsci (2001: 21), hegemoni adalah suatu organisasi
konsensus. Artinya, hegemoni terjadi bila cara berpikir kelompok tertindas
menerima cara berpikir kelompok dominan, yang dilakukan melalui wacana.
Hegemoni dimaknakan juga sebagai salah satu aspek kontrol sosial yang muncul
dari konflik sosial, yang dilakukan oleh kelompok sosial yang dominan melalui
kekuatan langsung atau ancaman kekuatan (pengendalian koersif) atau dengan
secara sengaja, sukarela (pengendalian konsensual), mengasimilasikan pandangan
atau hegemoni kelompok dominan yang memungkinkan kelompok itu untuk
bersikap hegemonik terhadap kelompok subordinat. Kelompok subordinat
menerima gagasan, nilai kepemimpinan bukan secara fisik atau mental, mereka
dibujuk, diindoktrinasi secara ideologis, perintah fungsional kapitalisme untuk
melakukannya. Akan tetapi, merupakan sekumpulan gagasan konsensual atas
23
dasar konsesi yang dibuat kelompok dominan terhadap kelompok subordinat.
Gramsci lebih fokus pada penekanan konsensus daripada kekuatan dan dominasi
sebagai batu sendi tatanan sosial (Sugiono, 2006: 39). Pernyataan Gramsci
tentang konsep hegemoni bahwa suatu kelas5 penguasa menggunakan cara
kekerasan dan persuasif terhadap kelas di bawahnya.
Konsep kelas di atas mengikuti konsep Weber (1978) tentang "Class,
Status, dan Party". Konsep class, yakni adanya kelas pekerja di satu pihak dan
pemilik modal di pihak lain. Namun, bagi Weber, kelas tidak hanya dalam pasar
kerja, tetapi lebih luas daripada itu. Kelas juga berupa profesi dan pekerjaan yang
kemudian menciptakan kelompok-kelompok kepentingan ekonomi yang berbeda.
Kelas merupakan stratifikasi sosial sesuai dengan prinsip yang dianut masyarakat
yang bersangkutan dalam mengonsumsi harta benda sebagaimana yang
dicerminkan oleh gaya hidup khusus. Kelas dibedakan berdasarkan posisi dalam
tatanan ekonomi atau perbedaan posisi dalam penguasaan alat-alat produksi.
Weber (dalam Sanderson, 2011: 284) setuju dengan Marx bahwa konsep kelas
merupakan hal yang sentral dalam menganalisis stratifikasi masyarakat kapitalis
modern, kelas yang tidak punya harus bekerja pada para kapitalis untuk
mempertahankan hidup. Kapitalisme telah banyak berubah sejak zaman Marx,
yaitu berkembangnya kelas-kelas yang terletak di antara kelas borjuasi tradisional
dan kelas proletariat tradisional, suatu kelas yang sulit diidentifikasi dan
dikategorikan. Kelas-kelas saat ini tidak saja berhubungan langsung dengan
5 Istilah kelas menurut Dahrendorf ( 1986: 27) pertama kali diperkenalkan oleh penguasa Romawi dalamkonteks penggolongan pembayar pajak. Masyarakat Romawi membagi dua golongan, yaitu gologan kaya(assidui) dan miskin (proletariat). Pada abad ke-18 istilah kelas digunakan oleh ilmuwan Eropa denganmemberikan pengertian yang sama antara status dan kedudukan. Pada abad ke-19 istilah kelas mulaidigunakan konteks kesenjangan sosial yang berakar pada kondisi ekonomi.
24
pemilikan modal, tetapi juga berkaitan dalam hal dominasi dan kekuasaan. Oleh
karena itulah, seseorang mampu mengarahkan aktivitas dalam proses kerja
(Parkin, 1979).
Lebih lanjut menurut Weber (1978), ada duta tipe kelompok stratifikasi
lain, yaitu status dan party. Kelompok status, sebagai kelompok yang
anggotanya mempunyai gaya hidup tertentu dan mempunyai tingkat penghargaan
sosial tertentu. Di pihak lain party, merupakan perkumpulan sosial yang
berorientasi pada penggunaan kekuasaan sosial yang berpengaruh kepada
masyarakat. Weber juga menggunakan konsep lain untuk menganalisis
stratifikasi sosial yang sama pentingnya dengan konsep kelas, status, partai, yaitu
konsep batas sosial. Konsep batas sosial untuk menunjukkan kecenderungan kuat
kelompok sosial tertentu mencapai kriteria sebagai tanda perbedaan, sebagai alat
memisahkan diri dengan kelompok lainnya. Yang termasuk kriteria ini adalah
jenis kelamin, ras, latar belakang kultural, tingkat pendidikan, dan pekerjaan.
Anggota kelompok ini mencoba memonopoli sumber daya sehingga mendapatkan
harga diri dan ekonomi yang mapan. Konsep batas sosial Weber merupakan
tambahan terhadap analisis Marx tentang stratifikasi sosial modern dan pemilikan
modal sebagai salah satu konsep batas sosial. Anggota kelas kapitalistik
menggunakan modal besar sebagai alat untuk menciptakan dan memelihara
prestise dan hak istimewa yang tinggi.
Konteks hegemoni ideologi elite mengacu pada ideologi dominan karya
Marx dan Angels (1963) dalam “The Germany ideology”. Marx dan Angel
menyatakan bahwa argumen yang paling mendasar di sebagian besar masyarakat
25
berkelas terdapat seperangkat keyakinan yang mendarah daging dan secara luas
melayani kepentingan kelas dominan. Agama sering disebut sebagai salah satu
contoh ideologi dominan pada zaman feodal. Ada dua prinsip teori teokrasi,
yaitu, raja adalah tuan tanah seperti tuan tanah lainnya, raja mempunyai tanggung
jawab terhadap masyarakat dan tidak dapat dipersalahkan di hadapan
komunitasnya. Prinsip kedua berasal dari teori sakramental bahwa raja berada di
atas masyarakat dan bertanggung jawab kepada Tuhan, bukan kepada manusia.
Analisis Marx (1963) dikembangkan oleh Gramsci dalam teorinya tentang
“hegemoni ideologi” dalam masyarakat kapitalistik dalam kerangka pemahaman
tentang kekuasaan hegemoni. Gould menyatakan bahwa masyarakat bertipe
agraris besar kemungkinan mengembangkan stratifikasi sosial menyerupai
“sistem kasta6.” Hegemoni selalu berada dalam keadaan berubah. Hal ini berarti
perjuangan terus-menerus terhadap nilai-nilai atau ideologi-ideologi yang sudah
disepakati elite yang berkuasa, yaitu berupaya memenangkan hegemoni.
Sementara kelas yang dikuasai berusaha bertahan melalui kontra hegemoni.
Dengan menciptakan dan menyebarluaskan suatu cakrawala wacana dengan
menentukan standar apa yang benar, indah, bermoral, asli, mereka membangun
suatu iklim simbolik yang mencegah kelas-kelas bawah untuk berpendapat bahwa
jalan mereka bebas.
6 Istilah kasta berkenaan dengan bentuk kaku dari stratifikasi yang ditandai strata sosialendogenus dalam perkawinan. Hasan Sadely menyebut sistem kasta sebagai model strukturkelas tertutup ketat. Pada masyarakat berkasta yang struktur kelasnya bersifat tertutup hampirtidak ada gerak sosial yang vertikal karena kedudukan seseorang telah ditentukan sejak lahir.Di India terdapat lima kasta yang menentukan struktur masyarakat India, yakni brahmana ataurohaniwan; kesatria atau pemimpin politik, pemerintahan, dan pahlawan; waisya atau pekerjadan pedagang; Sudra, yaitu pelayan buruh dan petani; Haryana atau indvidu yang hina dannajis (Dwipayana, 2001:45--64).
26
Bagi Gramsci, dalam kenyataannya kaum proleter (tani) itu lebih
diperbudak pada tingkat gagasan daripada tingkat perilaku. Oleh karena itu tugas
sejarah “partai” tidak memimpin sebuah revolusi akan tetapi menghancurkan
udara kotor simbolik yang telah menghalangi pemikiran revolusioner.
Sebuah penafsiran untuk menjelaskan sikap menerima kelas bawah,
terutama di pedesaan seperti di India suatu sistem kasta yang ketat yang amat
dihormati diperkuat pula oleh ajaran-ajaran agama. Kasta rendahan dikatakan
menerima nasib mereka dalam hierarkis agama Hindu itu dengan pengharapan
untuk memperoleh ganjaran dalam kehidupan berikutnya. Suatu penafsiran
alternatif tentang sikap menerima seperti itu mungkin dapat dijelaskan hubungan
kekuasaan di daerah pedesaan, bukan dengan nilai kepercayaan petani. Menurut
pandangan ini, perdamaian agraris lebih banyak berupa perdamaian penindasan,
bukan merupakan perdamaian atas dasar persetujuan atau kepatuhan. Daniel Bell
(Dwipayana, 2001: 41--46) menyatakan bahwa hegemoni budaya terbentuk
apabila terma budaya kelompok dominan telah menjadi acuan nilai-nilai
kebudayaan yang mapan dalam masyarakat secara keseluruhan. Mecher
memperlihatkan bagaimana kelas penguasa di India, tuan tanah didukung kaum
rohaniwan yang berkasta tinggi merugikan kelas buruh tani yang berkasta rendah,
terutama kasta Haryan yang tergolong hina menderita kerugian utama eksploitasi
ekonomi dan identitas yang hina. Walaupun ada sistem hukum yang melawan
semua praktik ini, kasta lebih tinggi menggunakan sanksi ekonomi kepada mereka
yang melanggar aturan tradisional kasta.
27
Proses hegemoni (dan kontra hegemoni) menurut Gramsci, selalu
mengambil tempat dalam masyarakat melalui lembaga–lembaga sosial yang ada,
seperti sekolah, gereja, parpol, birokrasi dan melalui produksi-produksi simbolik,
seperti kebudayaan, nilai-nilai, sistem-sistem kepercayaan, dan sebagainya
(Hikam, 1996: 59). Teori hegemoni Gramsci menyatakan agar yang terhegemoni
patuh terhadap penghegemoni, maka yang terhegemoni hendaknya mampu
menginternalisasikan nilai-nilai penghegemoni di samping harus memberikan
persetujuan atas subordinasi mereka (Wibowo, 2007). Terkait dengan perubahan
sosial, Gramsci membenarkan gagasan Marx bahwa perubahan sosial tergantung
kaum proleter. Perbedaan pada aspek pendekatan tidak terjadi secara otomatis. Di
pihak lain perkembangan ekonomi dimantapkan secara saksama melalui
pendidikan dengan sosialisasi tandingan (Jones, 2009: 101).
Dominasi ideologis, politis, ekonomi, komunikasi dilakukan oleh
seseorang, kelompok, bahkan negara. Menurut Michael Van Langenberg,
hegemoni dimungkinkan terjadi lewat proses regimentasi yang meluas sampai ke
alam bawah sadar masyarakat (Gramsci, 1990: 11). Hegemoni dipandang
sebagai pendekatan teoretis penting (the key theoritical approach) dalam kajian
budaya (Cultural Studies). Analisisnya ditekankan pada hubungan power dan
practice, Menurut Gramsci, ideologilah yang memajukan perkembangan
kekuatan-kekuatan produktif. Sementara ideologi tampil sebagai a unifying force,
hegemoni merujuk pada kedudukan ideologis atau lebih tinggi dari yang lainnya
(Gramsci, 1990:169).
28
Melalui media massa yang semakin lama berkembang semakin cepat
menjadi salah satu kunci penting dalam kaitan penanaman ideologi gender yang
ada di masyarakat dan penyatuan pikiran (hegemoni) yang dilakukan pihak-pihak
tertentu yang bertujuan maximizing provit. Hegemonitas budaya yang dimaksud
di sini adalah bagaimana teks-teks yang muncul diolah sedemikian rupa, dari teks
yang seharusnya terkesan buruk menjadi suatu format yang umum digunakan
dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut tidak lepas dari pengaruh media yang
selalu ‘menindas’ masyarakat, baik dengan berbagai macam isu maupun
informasi-informasi yang dianggap penting oleh suatu media. Oleh karena itu,
khalayak secara tidak sadar telah ‘tertindas’ oleh kaum-kaum penguasa itu sendiri.
Fenomena dampak perubahan tersebut tercermin dalam masyarakat kita
dewasa ini yang sedang mengalami transisi simultan, yaitu budaya agraris-
tradisional menuju industri modern. Peran mitos diambil logos; etnis kedaerahan
menuju budaya nasional kebangsaaan; transisi budaya nasional kebangsaan
menuju budaya global mondial, seperti hak asasi, keadilan, kebebasan, juga
masalah lingkungan dilepaskan dalam ikatan fanatisme primordial menuju
kesadaran mondial. Implikasi globalisasi menjadi semakin kompleks karena di
sisi lain masyarakat hidup dalam standar ganda. Di satu pihak beberapa orang
mempertahankan nilai budaya lama yang dimprovisasikan untuk melayani
perkembangan baru yang kemudian disebut sebagai lahirnya budaya sandingan
(sub culture). Sebaliknya, sedang di pihak lain muncul tindakan-tindakan yang
bersifat melawan perubahan yang dirasakan sebagai penyebab nestapa dari
mereka yang merasa dipinggirkan, tergeser, dan tergusur dari tempat ke tempat,
29
dari waktu ke waktu. Mereka merasa tidak terlayani oleh masyarakatnya yang
disebut sebagai budaya tandingan (counter- culture) .
Beberapa realitas kontemporer di Indonesia yang diformulasi, baik oleh
para teoretisi maupun praktisi menyatakan bahwa hegemoni elite birokrasi
terhadap rakyat merupakan duplikasi kolonial, sebagaimana terbentuknya sebuah
elite birokrasi kerajaan di Jawa (Sutherland, 1983: 73). Thoha (2010: 2)
menyatakan bahwa birokrasi pemerintah sering kali diartikan sebagai officialdom
atau kerajaan pejabat, yaitu proses komunikasinya didasarkan pada dokumen
tertulis, itulah kerajaan birokrasi yang rajanya para pejabat. Demikian pula,
Abdullah (2010: 66) menyatakan bahwa sudah menjadi rahasia umum sejak
zaman orde baru bahwa etnis mayoritas mendapatkan privelese-privelese dalam
berbagai bentuk, sedangkan etnis yang tidak memiliki back–up mengalami
marginalisasi7. Hal itu senada dengan pernyataan Kumbara (2010: 23) bahwa
kebijakan represif pemerintahan orde baru atas nama pembangunan bangsa yang
membungkam berbagai gejolak sosial dan isu-isu sensitif yang disebut sebagai
SARA” telah menimbulkan dampak negatif bagi harmonisasi hubungan sosial
dalam masyarakat.
Penelitian I Gede Mudana (2005:426--431) terhadap pembangunan Bali
Nirwana Resort di kawasan Tanah Lot, memfokuskan bagaimana proses
berlangsungnya hegemoni pemerintah orde baru dan perlawanan masyarakat
7 Marginalisasi mengacu kepada kelompok pelacur di Rio de Jeneiro. Pada tahun 1986 para pelacur di Riode Jeneiro membentuk suatu jaringan untuk menciptkan ruang di mana mereka bisa saling mengutarakanpengalamannya. Konferensi Pelacur Nasional pertama lahir di jaringan itu dan diselenggarakan tahun1987. Jaringan itu hanya salah satu aspek kerja; organisasi pendukungnya, ISER ( Instituto de Estudos daReligiao; Institut Kajian Agama) telah membangun sejumlah proyek lain, yang bertujuan mengkaji isukhusus pelacuran guna melihat kehidupan pelacur yang hidup “di luar” masyarakat utama, di bawahnaungan “harga diri kelompok yang “termarginalkan” (Cleves Mosse, 1996: 96).
30
dalam pembangunan Bali Nirwana Resort sebagai persoalan kompleks antara
pemerintah, pengusaha, masyarakat, lingkungan, adat, dan agama di kawasan
tanah Lot. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya dominasi kekuasan negara
sangat besar, sementara pemerintah tidak mengindahkan peran masyarakatnya
yang memiliki kekuatan falsafah “trihita karana” yang mengakar dalam
ekosistem masyarakat adat dan agama di Bali sebagai komponen utama dalam
pembangunan tersebut. Dominasi kekuasaan pemerintah orde baru mengakibatkan
persoalan sosiologis, macetnya komunikasi antara pemerintah dan masyarakat
yang berimplikasi pada ketidakseimbangan pengembangan pariwisata.
Teori hegemoni digunakan untuk mengkaji proses dan bentuk perlawanan
atau kontra hegemoni orang Katobengke terhadap elite tradisional, baik
perlawanan pasif maupun perlawanan simbolik melalui mitos-mitos, ritual, dan
peran kepemimpinan tradisional orang Katobengke hingga perlawanan secara
manifes. Sejauh mana fungsi stratifikasi sosial dan kekuatan pengaruh globalisasi
atas kekuasaan hegemoni kaomu dan walaka yang tereproduksi terhadap strata
papara budak yang dilabelkan pada orang Katobengke. Bagaimana kekuatan
mitos, falsafah mampu menciptakan kepatuhan, melawan perasaan keterpinggiran
terhadap hegemoni elite, baik secara historis era Kesultanan Buton maupun
kekinian. Peristiwa–peristiwa sosial ekonomi yang terjadi dapat menyebabkan
berubah, pudarnya atau hilang, dan munculnya identitas baru orang Katobengke.
2.3.2. Teori Praktik Sosial
31
Gagasan Bourdieu yang mengeksplanasi konteks reproduksi relasi sosial
dan kekuasaan dianalogikan sebagai permainan dalam perjuangan kepentingan,
status, dan kelas. Bourdieu merumuskan praktik sosial melalui (Habitus x
Modal) + ranah yang dijelaskan sebagai berikut.
Habitus merupakan struktur mental atau kognitif (Harker dkk., 2009:13)
yang digunakan aktor sosial untuk beradaptasi dalam menghadapi kehidupan
sosial. Habitus sebagai skema-skema yang merupakan perwakilan konseptual dari
benda dalam realitas sosial. Dalam perjalanan hidupnya manusia memiliki skema
yang terinternalisasi melalui skema untuk mempersepsikan, memahami dan
menghargai realitas sosial. Berbagai skema, baik buruk, sehat, maupun sakit,
bekerja, tidak bekerja. Skema tersebut membentuk struktur kognitif yang
memberikan kerangka acuan pada tindakan individu dalam aktivitas sehari-hari.
Skema sakit merupakan kondisi fisik yang yang tidak menyenangkan, sehingga
tindakan manusia diarahkan untuk menghindarinya. Habitus dikatakan sebagai
ketidaksadaran kultural karena habitus bukanlah ide bawaan, habitus adalah
produk sejarah, sebagai hasil pemberdayaan melalui pengasuhan anak. Habitus
merupakan produk historis menciptakan tindakan individu dan kolektif sebagai
pengalaman hidup dan mempunyai fungsi tertentu dalam kehidupan sosial di
mana kebiasaan itu terjadi.
Menurut Bourdieu dalam Chaney (1996:41), habitus dapat berubah (1) ia
bersifat normatif dan memberikan panduan berupa prinsip atau strategi sehingga
aktor dapat menggunakannya sesuai dengan kehidupan sosial yang umumnya
bekerja sebagai tata krama dan gesture (sikap tubuh); (2) habitus merupakan
32
perjuangan atau strategi untuk merebut posisi atau “kelas” dalam kehidupan sosial
dan berkaitan dengan gaya hidup sebagai karakteristik kelompok dan sangat
tergantung dengan bentuk-bentuk kultural yang memberikan prinsip hidup
tersebut; (3) habitus menjadi praktik serta sikap yang masuk akal pada waktu dan
konteks tertentu; (4) habitus dibentuk melalui sosialisasi dan menanamkan
berbagai prinsip untuk mengatur kemunculan praktik sosial yang cenderung
mereproduksi dalam kondisi obyektif yang asli; (5) habitus senantiasa berubah ke
suatu arah yang mengupayakan kompromi dengan kondisi material dan berubah
mengikuti kecenderungan sosial dan gender. Habitus erat kaitannya dengan modal
karena habitus pengganda berbagai jenis modal, menciptakan modal simbolik,
seperti prestise, status, dan otoritas serta modal cultural, seperti seni, pendidikan,
dan bahasa.
Modal merupakan basis dominasi yang terdapat dalam setiap ranah, baik
bersifat material maupun modal yang berifat simbolik, seperti prestise, status, dan
otoritas (Haker dkk., 1990:16). Berbagai modal dapat dipertukarkan, yang pada
akhirnya memberikan legitimasi dan kekuasaan. Modal simbolik seperti prestise
yang memungkinkan seseorang hadir sebagai representase kelompok dan modal
ini sering melahirkan kekerasan simbolik bagi individu atau kelompok yang
lemah. Di pihak lain modal budaya lebih luas, meliputi seni, pendidikan, dan
bahasa yang menurut Bourdieu dalam Harker (1990) meliputi selera yang bernilai
budaya dan pola-pola konsumsi. Modal sosial Bourdieu (1970) sebagai sumber
daya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang dari jaringan sosial yang
terlembagakan serta berlangsung terus menerus dalam bentuk pengakuan dan
33
perkenalan secara timbal balik, yang dalam kelompoknya memberikan dukungan
pada anggotanya secara kolektif. Fukuyuma (1995) yang mengkaji bidang
ekonomi menyebutkan bahwa modal sosial berintikan kepercayaan (trust)
merupakan dimensi budaya dari kehidupan ekonomi. Ia mendefinisikan modal
sosial sebagai rangkaian nilai yang memberikan teladan untuk digunakan bersama
di antara anggotanya. Sementara modal budaya Coleman (1988) merupakan
aspek struktur hubungan antara individu yang memungkinkan mereka
menciptakan nilai-nilai baru.
Ranah diartikan sebagai sesuatu yang dinamis yang dideifnisikan sebagai
sistem relasi objektif kekuasaan yang terdapat di antara posisi yang
berkorespondesi. Otonomi ranah diciptakan untuk para intelektual melalui
konstruksi ranah ekonomi yang dipertentangkan dengan ranah-ranah yang lain.
Ranah yang dimaksudkan adalah sebuah arena pertarungan, di mana sejumlah
modal, seperti ekonomi, sosial, budaya dan simbolik digunakan dan
didistribusikan. Ranah adalah sebuah kekuatan bersifat otonom yang menyangkut
perjuangan posisi-posisi, yang ditentukan oleh pembagian modal dari aktor yang
berada di dalamnya. Ruang sosial dibentuk melalui beragam ranah di mana setiap
individu memperjuangkan posisi dirinya melalui berbagai bentuk modal. Koalisi-
koalisi diciptakan melalui kedekatan relasi dalam ruang sosial dan ranah
mengidentifikasi wilayah-wilayah perjuangan.
Menurut Ritzel (2011: 525), pandangan Bourdieu bersifat relasional,
semacam pasar kompetisi di mana berbagai jenis modal, sosial, ekonomi, budaya,
dan simbolik yang digunakan dan didistribusikan. Posisi berbagai agen, baik
34
individu maupun kolektif yang berada dalam ruang ranah, ditentukan oleh jumlah
dan bobot modal yang dimiliki. Penguasaan modal kapital dapat menentukan
posisi atau nasib individu. Ranah juga menggambarkan kekuasaan politik,
hierarkis hubungan kekuasaan, dan kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe
posisi. Sebagai benteng strategis, diperebutkan dan dipertahankan dalam ranah
atau perjuangan ranah juga mengondisikan habitus. Praktik individu dan sosial
menurut Bourdieu dalam Harker (1990: 19) merupakan hasil interaksi ranah dan
habitus yang dipahami melalui strategi perjuangan posisi-posisi dalam ranah.
Ranah dikelilingi relasi kekuasaan yang berbasis modal dan jenis modal dalam
ranah digabung dalam habitus dan menjadi basis dominasi. Modal menjadi
sebuah relasi sosial yang terdapat dalam sistem pertukaran yang
mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang istimewa untuk kemudian dicari
sebuah formasi sosial.
Pierre Bourdieu meninjau permasalahan ideologi dari sisi budaya.
Pemikiran awalnya dipengaruhi Marx dan Althuser, yaitu pemikiran tentang
bagaimana suatu pengetahuan dan unsur-unsur budaya lainnya disebarkan dan
berpengaruh dalam suatu masyarakat. Habitus adalah struktur kognitif yang
memperantarai individu dalam berurusan dengan realitas sosial. Manusia dibekali
sederetan skema yang terinternalisasi dan melalui skema itu, mereka
mempersepsikan, memahami, menghargai, dan mengevaluasi realitas sosial.
Habitus bisa berupa ketidaksadaran kultural, yakni pengaruh sejarah yang secara
tak sadar dianggap alamiah (Eagleton, 1991). Habitus mendasari ranah yang oleh
Bourdieu (dalam Ritzel, 1996) diartikan sebagai jaringan relasi antara posisi-
35
posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran dan
kehendak individual. Pengertian habitus dan ranah tampaknya sejalan dengan
pengertian ideologi sebagai sesuatu yang tak disadari.
Bourdieu dan Althuser (1994) sama-sama menekankan penting semacam
skema panduan tingkah laku (struktur atau aturan) yang terinternalisasi dalam diri
individu dan secara tak disadari mengatur tingkah laku individu. Perbedanya bagi
Bourdieu (1991), skema hanya membatasi pikiran dan pilihan tindakan, tidak
menentukan habitus menyarankan apa yang harus dipikirkan dan tidakan apa yang
harus dilakukan. Skema mengajukan penjelasan tentang doxa yang mirip dengan
pengertian ideologi. Doxa adalah sejenis tatanan sosial dalam diri individu yang
stabil dan terikat pada tradisi serta terdapat kekuasaan yang sepenuhnya
terinternalisasi dan tidak dipertanyakan. Doxa tampil lewat pengetahuan-
pengetahuan yang begitu saja diterima sesuai dengan habitus dan ranah individu
tanpa dipikirkan atau ditimbang terlebih dahulu. Dengan doxa, manusia
menerima banyak hal tanpa mengetahuinya dan itulah disebut dengan ideologi.
Dalam pandangan filsafat perubahan, pelaku tidak lagi menentukan tujuannya
secara sadar atau dibimbing oleh semacam kesadaran palsu. Para pelaku bisa saja
melakukan tindakan yang irasional pada satu waktu dan bertindak secara rasional
pada lain waktu.
Ada semacam aturan yang tidak terucapkan dalam setiap ranah. Aturan
yang bekerja sebagai modus dari apa yang disebut Bourdieu sebagai kekerasan
simbolik (Eagleton, 1991). Konsep ini memperlihatkan bentuk yang tersembunyi
dalam kegiatan sehari-hari. Kekerasan dalam bentuknya yang sangat halus, yang
36
dikenakan pada agen-agen sosial tanpa mengundang resistensi, tetapi malah
mengudang konfrontasi sebab sudah mendapat legitimasi sosial karena bentuknya
yang sangat halus. Contoh dalam dunia pendidikan ketika seorang dosen secara
halus memaksakan pengetahuan yang dimiliki untuk diterima dan dianut
mahasiswa. Begitu pula ketika negara secara halus memaksakan kepercayaan-
kepercayaan kepada rakyat lewat berbagai indoktrinasi. Selain itu, juga
pemaksaan halus oleh produsen untuk menanamkan pengetahuan tentang produk
tertentu kepada konsumen lewat iklan. Pengetahuan yang diterima begitu saja
merupakan bentuk konkret dari doxa.
Menurut Bourdieu (dalam Jenkins, 2010: 158), inti penggunaan kekerasan
simbolis adalah tindakan pedagogis. Ini adalah pemaksaan arbitraritas budaya
yang di dalamnya terdapat tiga mode. Ketiga mode yang dimaksud adalah (1)
pendidikan yang tersebar luas yang terjadi dalam interaksi dengan anggota
bangunan sosial seperti kelompok umur informal; (2) pendidikan keluarga yang
berbicara untuk dirinya sendiri; dan (3) pendidikan institusional (misalnya ritual
inisiasi di satu sisi atau sekolah di sisi lain). Kapasitas kekuatan simbolis agen
pendidikan berhasil mendoktrinasi makna merupakan fungsi dari bahan-bahannya
yang ada di dalam struktur relasi kekuasaan. Tindakan pedagogis mencerminkan
kepentingan kelompok atau kelompok dominan yang cenderung mereproduksi
distribusi modal kultural secara tidak merata antara kelompok atau kelas yang
hidup dalam satu ruang sosial sehingga memproduksi struktur sosial. .
Perlawanan terhadap kekuatan dominasi elite birokrasi tidak saja
dilakukan oleh masyarakat secara fisik dan nonfisik, tetapi juga aksi perlawanan
37
kaum intelektual atas pembelaannya terhadap kaum rakyat miskin. Mutahir
(2011: 28) dalam bukunya Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu menjelaskan
bagaimana Pierre Bourdieu melakukan sebuah gerakan intelektual untuk melawan
dominasi. Pada Maret 1996 Boudieu menandatangani petisi untuk melakukan
pembangkangan sipil melawan hukum Perancis yang memperkeras legislasi
imigrasi.
Teori praktik sosial ini digunakan untuk menyinergikan teori hegemoni
khususnya bentuk perlawanan simbolik sebagai modal seni dan ekonomi atas
kekerasan simbolik yang dipraktikkan elite tradisional yang menggunakan modal
budaya dan prestise. Peranan mitos orang Katobengke melawan pelabelan yang
disematkan elite tradisional, selanjutnya elite Katobengke modern juga
menciptakan kepatuhan terhadap warganya untuk kemudian mempertahankan
wacana identitas mereka dari pelabelan diskrimitatif tesebut. Kekerasan simbolik
elite dalam praktik kehidupan sehari-hari tampak dalam kegiatan ekonomi, social,
dan budaya. Selain itu, sejauh mana peran pemimpin Katobengke mendisiplinkan
dan menormalisasi warganya yang tidak sesuai dengan perilaku adat.
Kekuasaan elite tradisional sebagai konsekuensi produksi relasi hubungan
kekuasaan dan pengetahuan dapat tersebar pada semua level formasi sosial, baik
elite tradisional maupun orang Katobengke. Sampai sejauh mana gagasan
gagasan historikal orang Katobengke timbul sebagai akibat ketidakpuasan atau
perlakukan tidak adil atas hegemoni elite tersebut. Bagaimana mekanisme dan
strategi penerapan secara fungsional atas sistem norma, aturan adat yang
dipertahankan orang Katobengke untuk meng-counter kekuasaan elite serta
38
menormalisasikan peristiwa konflik, utamanya konflik yang sifatnya manifes,
baik dari dalam maupun dari luar. Pernyataan-pernyataan simbolik orang
Katobengke berpengaruh terhadap superioritas elite kaomu dan walaka, pada
praktik kepemimpinan dalam kehidupan sehari-hari. Simbol pemaknaan atas
pengetahuan dan kebenaran menurut konteks pemikiran mereka dan berbagai
tindakan elite masa kini, seperti elite bangsawan, elite birokrasi, elite desa, elite
agama, elite cendekiawan, elite ekonomi, dan lain-lain.
2.3.3 Teori Diskursus8 Kuasa/ Pengetahuan
Menurut Foucault (2002: 9), diskursus adalah cara menghasilkan
pengetahuan beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subyektivitas yang
terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan praktik
sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek ini. Foucault
(Gidens, 2009: 173) menggunakan istilah wacana untuk menjelaskan cara berpikir
dan bertindak yang berbasis pengetahuan. Wacana dalam hubungan dengan yang
kuasa, yang selalu berhubungan dengan “kesatuan”. Dalam hal ini kesatuan suatu
diskursus selalu mengacu pada kesatuan-kesatuan lain yang membentuk suatu
kumpulan pernyataan. Wacana menurut Foucault mengandung pengertian aturan,
praktik yang menghasilkan pernyataan bermakna pada suatu rentang historis
tertentu. Pernyataan-pernyataan dalam diskontinuitas yang membebaskannya dari
segala bentuk yang telah diterima orang begitu saja. Kumpulan pernyataan yang
8 Kata diskursus diterjemahkan dari kata discourse (Inggris) yang digunakan para linguis diIndonesia yang menunjuk pada suatu rangkaian sinambung bahasa (lisan) yang lebih besardaripada kalimat (Hoetomo, 1993: 3--4).
39
siap pakai sebagai sarana untuk memperbincangkan suatu topik tertentu. Wacana
mengisolasi, mendefinisikan, dan memproduksi objek pengetahuan.
Foucault (2002: 402) menyatakan bahwa pertanyaan melalui subjek itu
sendiri sebagai objek pengetahuan, penegasan bagaimana pengetahuan tentang
“pengetahuan psikologi” diangkat dalam wacana sejarah. Akan tetapi, bagaimana
menemukan “beragam permainan kebenaran” yang sudah ditemukan dahulu, di
mana subjek menjadi objek pengetahuan. Foucault mengarahkan analisisnya
dengan cara; yang berhubungan dengan penampakan dan penyisipan pertanyaan
cara kerja ucapan kehidupan subjek, wilayah-wilayahnya sesuai dengan bentuk
sejenis pengetahuan ilmiah dan kemudian menganalisis bentuk subjeknya.
Menurut Foucault (2012: 234), dalam menyelidiki wacana, ada tiga konsep
digunakan yang berkaitan satu dengan lainya, yaitu (1) positivitas (contoh:
diskursus sejarah, ekonomi, dan lain-lain); (2) apriori historis, dimaksudkan
bahwa domain pernyataan-pernyataan diartikulasikan berdasarkan apriori historis
(apriori harus bersentuhan dengan pernyataan-pernyataan dan tidak menghindar
dari historitas); dan (3) arsip (semua sistem yang membangun munculnya
pernyataan: peristiwa atau benda); arsip satu masyarakat tidak bisa dideskripsikan
menyeluruh apalagi arsip segala masa.
Budiardjo (2001: 84) mengutip pendapat Harold Lawelll dan Abraham
Kaplan menyatakan bahwa konsep kekuasaan yang dikemukakan para ahli cukup
beragam. Namun, inti perumusan kekuasaan dianggap sebagai “kemampuan
pelaku untuk memengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa sehingga
tingkah laku pelaku berakhir menjadi sesuai dengan keinginan pelaku yang
40
mempunyai kekuasaan”. Sumber kekuasaan dapat berupa kedudukan dan dapat
pula bersumber dari kepercayaan atau agama, misalnya alim ulama atau pendeta.
Upaya menyelenggarakan kekuasaan berbeda dan yang paling ampuh adalah
kekerasan (force) dan tidak ada alternatif lain selain korban menaatinya. Dalam
Negara yang masih banyak unsur tradisionalnya, hubungan kerabat dapat pula
merupakan sumber kekuasaan. Misalnya, seorang ibu melarang perkawinan di
luar suku, agama, atau golongannya.
Kunci pemikiran Foucault (1977) tentang kekuasaan bahwa kekuasaan
yang menormalisasi tidak hanya dijalankan di dalam penjara, tetapi juga
beroperasi melalui mekanisme sosial yang dibangun untuk menjamin kesehatan,
pengetahuan, dan kesejahteraan. Dalam masyarakat modern pembentukan
individu yang berdisiplin tidak hanya dilakukan oleh lembaga represif (penjara,
polisi), tetapi terjadi dalam interaksi masyarakat dan semua bentuk kegiatan
sosial. Berlawanan dengan pandangan Marxis, Foucault menentang paham
kekuasaan yang disatukan dari atas oleh pusat kekuasaan negara. Kekuasaan
tidak mengacu pada satu sistem umum dominasi oleh satu kelompok terhadap
yang lain, tetapi beragamnya hubungan kekuasaan dan kekuasaan merasuki
seluruh bidang kehidupan masyarakat. Hubungan kekuasaan tidak bisa
dipisahkan dalam proses ekonomi, penyebaran pengetahuan, dan hubungan
seksual. Kekuasaan merupakan akibat langsung dari pemisahan, ketidaksamaan,
dan ketidakseimbangan (diskriminasi). Kekuasaan merupakan situasi intern
adanya perbedaaan yang dibentuk dan berjalan di tempat kerja, keluarga, institusi,
dan berbagai pengelompokan. Perbedaan itu membentuk garis konfrontasi lokal
41
dari berbagai perlawanan. Bagi Foucault, kekuasaan bukanlah hubungan subjektif
searah. Kekuasaan merupakan strategi kompleks dalam suatu masyarakat dengan
perlengkapan manuver, teknik, dan mekanisme tertentu. Kekuasaan bukanlah
hak istimewa yang dipertahankan kelas dominan, malainkan akibat dari
keseluruhan posisi strategis. Dengan demikian, ia tidak bisa dilokalisasi pada
tempat tertentu menjadi milik seseorang, tetapi menyebar di mana-mana dalam
hubungan masyarakat.
Terkait dengan kontrol sosial, posmodernisme Foucault dalam bukunya
Dicipline and Punish (1977) merevolusionerkan studi tentang kejahatan dan
hukuman, terutama dalam pendapatnya bahwa kriminologi adalah diskursus/
praktik yang menciptakan kategori kriminalitas dalam “masyarakat disiplin”.
Wacana ini kemudian dipaksakan tanpa ampun ke dalam perilaku dan sebelumnya
dinilai sah secara sosial atau hanya diabaikan karena aneh. Foucault memberikan
labeling satu dasar historis dan politis yang lebih kuat kepada teori. Ia membantu
sosiolog dalam melihat perilaku menyimpang (deviant) dalam hal pengalaman
dan makna mengonstruksinya. Teori posmodernisme Foucault tentang disiplin
menekankan pada resistensi inhern yang dilakukan orang dalam melawan
pelabelan dan pembedaan yang diterima. Foucault menyatakan bahwa manusia
mengkonstruksi penyimpan seperti kejahatan dan homoseksual untuk
menormalisasi perilaku tertentu dan mendisiplinkan perilaku lain (Agger, 2009:
349--350). Bertens (1996:320) menyimpulkan teori kuasa Foucault dalam empat
prespektif penting. Pertama, kuasa bukanlah milik, melainkan fungsi. Kuasa
tidak dimiliki, tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana banyak
42
posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain dan senantiasa mengalami
pergeseran. Kedua, kuasa tidak dapat dilokalisasi, tetapi terdapat di mana-mana.
Artinya, di mana saja terdapat susunan, aturan, sistem regulasi, di mana saja ada
manusia yang mempunyai hubungan tertentu, di situ pula kuasa bekerja. Kuasa
tidak datang dari luar, tetapi menentukan susunan aturan dan hubungan itu dari
dalam. Ketiga, kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi
terutama melalui normalisasi dan regulasi. Keempat, kuasa tidak bersifat
destruktif, tetapi bersifat produktif.
Foucault menolak pandangan Marxistis bahwa kuasa tidak bersifat
subjektif dan tidak dapat dilihat sebagai proses dialektika, yaitu si A menguasai si
B dan kemudian setelah beberapa syarat terpenuhi, maka si B menguasai si A.
Sebuah prespektif penting dari teori Foucault adalah relasi antara kekuasaan dan
pengetahuan. Hubungan timbal balik tersebut dimaksudkan bahwa kekuasaan
terartikulasi ke dalam pengetahuan. Sebaliknya, pengetahuan terartikulasi ke
dalam kekuasaan. Relasi antara pengetahuan dan kekuasaan diperoleh dari
analisisnya tentang pendisiplinan, penaklukan, dan pengawasan terhadap tubuh
individu. Hubungan antara pengetahuan dan pelaksanaan kuasa tidak hanya
membongkar anggapan lama yang memandang kuasa sebagai penghambat
tampilnya pengetahuan, tetapi juga dengan sendirinya membongkar kemapanan
status pengetahuan. Foucault mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai sesuatu
yang melekat pada kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana, kehendak untuk
mengetahui terumuskan dalam pengetahuan. Bahasa menjadi alat untuk
mengartikulasikan kekuasaan pada saat kekuasan harus mengambil bentuk
43
pengetahuan karena ilmu-ilmu terumuskan dalam bentuk pernyataan-pernyataan.
Hal itu terjadi karena semua masyarakat berusaha menyalurkan wacana agar
sesuai dengan tuntutan ilmiah dan wacana-wacana tersebut dianggap mempunyai
otoritas.
Ideologi yang digunakan oleh Foucault merupakan hasil hubungan
kekuasaan di mana saja. Hubungan kuasa ini menghasilkan cerita yang oleh
Foucoult disebut discourse atau diskursus atau wacana (Eagleton, 1991).
Diskursus merupakan upaya melepaskan diri dari ketertindasan kaum elite karena
bermuatan sesuatu yang tidak menggambarkan realitas apa adanya dan itu pasti
terjadi dalam masyarakat. Sehubungan dengan itu, yang harus dilakukan adalah
menerima apa adanya berbagai diskursus dan menyadari pengaruh tiap-tiap
kesadaran manusia. Setiap diskursus adalah kebenaran masing-masing, tidak
dapat diklaim sebagai yang paling benar dan sebagai reaksi manusia terhadap
kekuasaan yang mengekangnya.
Hubungan kekuasaan dan ketertindasan melahirkan pemikiran sebagai
proses dinamika perkembangan peradaban manusia. Untuk itu, diperlukan
kesadaran the other atau kesadaran tentang hal-hal yang tersisihkan, seperti benda
peninggalan, tekonologi tradisional, identitas Katobengke, atau suku dan budaya
untuk membantu manusia memahami hidupnya. Kesadaran the other (Foucault,
1981) melahirkan kesadaran tentang keragaman manusia yang saling menghargai.
Pemikiran subjektivitas dihubungkan dengkan praktik pemilah, seperti baik buruk,
tinggi rendah, benar salah oleh pengetahuan dan kekuasaan. Jadi, pengetahuan
manusia ditentukan oleh kekuasaan kebenaran merujuk pada rezim kebenaran
44
yang sedang bertakhta. Sehat dan sakit ditentukan oleh pihak yang berkuasa,
seperti dokter atau dukun, sebagai wacana yang dipaksakan oleh penguasa.
Foucault menempatkan pengetahuan sebagai dominasi satu pihak terhadap pihak
lainnya. Hal itu terjadi karena asal usul pengetahuan dan wacana lainnya
merupakan hasil hubungan kekuasaan.
Fancois Lyotard (1984, 1992) sejalan dengan Foucault, yaitu melihat
adanya pemaksaan pengetahuan termasuk hukum dan aturan. Contoh
pengetahuan ilmiah dilegitimasikan melalui apa yang disebut narasi besar (grand
narrative), seperti keabsahan, kemajuan; emansipasi kaum proletar, seperti mitos
dan pengetahuan yang terkandung dalam kesadaran palsu. Tidak ada lagi
dominasi satu ideologi. Artinya, setiap kepercayaan dan pikiran dapat hidup
bertanding dalam dunia keragaman. Segala pengetahuan memiliki kesempatan
untuk menjadi kebenaran kecil yang berguna pada waktu tertentu dan tempat
tertentu. Untuk itu, menurut Lyotard yang kini tersisa adalah intensifikasi
dinamika usaha yang tak habis-habisnya untuk mencari kebaruan, menghindari
klaim universal, dan berangkat dari persoalan-persoalan lokal. Kegiatan yang
sebaiknya dilakukan adalah mempersiapkan diri untuk dapat menerima berbagai
disensus, bukan konsensus.
Teori diskursus Foucault digunakan untuk mengkaji praktik kekuasaan
elite tradisional dan kekuasaan antara warga Katobengke sendiri di dalam
mendisiplinkan dan menormalisasi warganya dalam kehidupan sehari-hari,
keluarga, tetangga berkaitan dengan ekonomi, politik, dan komunikasi sosial, baik
antara warga maupun terhadap pihak luar. Tujuannya agar warga Katobengke
45
memiliki kesadaran untuk saling menghargai antarsesama. Bagaimana kegiatan
ritual dan karisma kepemimpinan elite tradisional Katobengke melawan pelabelan
diskriminasi elite tradisional yang menggunakan ideologi harmoni yang
berimplikasi di dalam masyarakat Katobengke sendiri. Bagaimana elite
tradisional Katobengke menciptakan kepatuhan untuk mempertahankan nilai
identitas atas pelabelan stereotipe dan tabu adat yang direproduksi elite
tradisional.
Eksplanasi teoretis ketiga teori tersebut mengkaji secara culture studies
dan mengangkat budaya Katobengke yang terpinggirkan untuk mendudukannya
pada posisi yang wajar. Dengan demikian, kajian ini memfokuskan diri pada
sejauh mana perlawanan orang Katobengke memengaruhi kekuasaan elite
tradisional mulai orde baru hingga reformasi ini. Bagaimana strategi orang
Katobengke menciptakan posisi tawar secara persuasif atau kekerasan (Gramsci,
1971) terhadap elite sebagai pemilik ideologi kekuasaan dan pengetahuan
(Foucault, 2002) dalam arena pertarungan perebutan sumber daya oleh agen
dalam aneka strategi perlawanan simbolik orang Katobengke versus kekerasan
simbolik elite tradisional (Bourdieu, 1991).
46
2.4 Model Penelitian
Gambar 2. 1 Model Penelitian
Keterangan:
Garis yang memberikan pengaruh tidak langsungGaris panah-panah alur penelitianGaris yang memberikan pengaruh hubungan timbal balik.
GlobalisasiOrangKatobengke
Elite TradisionalButon
Budak, bodoh, miskin,kotor, pekerja kasar,naa Laode dan maa
Laode, bukan kadie ’
Hegemoni elitetradisional
terhadap orangKatobengke
Kekuasaan- hegemoni,tabu, diskursif, binci-
binciki kuli,sarapataanguna
Proses perlawananorang Katobengketerhadap hegemoni
elite tradisional
Faktor melatarbelakangiperlawanan orang
Katobengke terhadaphegemoni elite
tradisional
Temuan penelitian:Identitas Katobengke Modern
Perlawanan orangKatobengke terhadap
hegemoni elite di KotaBau- Bau
Implikasi perlawananorang Katobengketerhadap hegemoni
elite tradisional
47
Model di atas (gambar 2.1) memperlihatkan bahwa elite tradisional
kaomu dan walaka, sejak era kesultanan hingga orde baru menghegemoni orang
Katobengke sebagai kelompok papara (rakyat). Strategi hegemoni elite tersebut
menggunakan falsafah kesultananan “bincibinciki kuli” terhadap orang
Katobengke sebagai simbol wilayah pinggiran. Sementara itu, hingga era
reformasi ini label reproduksi hegemonik dan stereotipe tetap disematkan elite
tradisional atas diri orang Katobengke sebagai budak, bodoh, miskin, kotor,
pekerja kasar, dan kemudian simultan dengan strategi persuasif elite yang
memberikan label sebagai Naa Laode dan Maa Laode.
Sejak awal reformasi ini orang Katobengke mulai melakukan perlawanan
tidak setara terhadap elite tradisional melalui diskursus mitos asal usul dan sejarah
karismatik kepemimpinan, ekonomi kepemilikan lahan, politik, pertunjukan ritual,
hingga perlawanan terbuka. Sebaliknya, elite tradisional berusaha
mempertahankan dan mereproduksi kekuasaan hegemoniknya dengan
menggunakan falsafah kesultananan Bincibinciki kuli dan praktik incest taboo
adat secara terselubung. Untuk mengkaji sejauh mana strategi perlawanan orang
Katobengke dalam rentang historisnya hingga kini adalah sebagai akibat pengaruh
globalisasi yang secara tidak langsung memasuksi ruang kedua kubu kekuatan
antara kekuasaan elite dan orang Katobengke sebagai kelompok yang dikuasai.
Dengan demikian, orang Katobengke melakukan perlawanan mulai dari proses
perlawanan, faktor yang melatarbelakangi perlawanan, hingga implikasinya yang
pada ahkirnya menghasilkan temuan penelitian identitas orang Katobengke
modern.