bab ii studi literatur a. pengertian...
TRANSCRIPT
9
BAB II
STUDI LITERATUR
A. Pengertian Matematika
Matematika adalah salahsatu ilmu pengetahuan yang diajarkan di berbagai
lembaga pendidikan di dunia. Matematika dikenal sebagai ilmu yang mempelajari
angka-angka dan menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang sangat penting di
sepanjang jaman. Nama matematika sendiri berasal dari bahasa Yunani, yakni
mathematike yang artinya mempelajari. Kata mathematike berasal dari kata
mathema, yang artinya pengetahuan atau ilmu. Kata tersebut berhubungan dengan
mathein dan mathenein yang memiliki arti belajar atau berpikir. Berdasarkan asal
katanya matematika dapat diartikan sebagai suatu ilmu pengetahuan yang
diperoleh dari hasil berpikir manusia (Subarinah, 2006).
Lebih rinci lagi James dan James (Ruseffendi, 1990) mengemukakan
bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran
dan konsep-konsep lain yang saling berhubungan. Mereka juga mengatakan
bahwa matematika terbagi menjadi tiga bidang, yakni aljabar, analisis, dan
geometri. Pembagian bidang kajian matematika ini sukar untuk ditentukan dengan
jelas, karena cabang-cabang dari kajian matematika saling berkaitan satu sama
lain. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa matematika merupakan ilmu yang
berkaitan dengan logika berpikir dalam menyusun konsep-konsep yang berguna
bagi kehidupan. Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Johnson dan Rising
(Ruseffendi, dkk., 1992, hlm. 28) mengatakan bahwa matematika adalah:
Pola berpikir, pola mengorganisasikan pembuktian yang logik; matematika
itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan
cermat, jelas dan akurat, representasinya dengan simbol dan padat, lebih
berupa bahasa simbol mengenai ide (gagasan) daripada mengenai bunyi;
matematika adalah pengetahuan struktur yang terorganisaikan sifat-sifat
atau teori-teori itu dibuat secara deduktif berdasarkan kepada unsur-unsur
yang didefinisikan atau tidak didefinisikan, aksioma-aksioma, sifat-sifat,
atau teori-teori yang telah dibuktikan kebenarannya; matematika adalah
ilmu tentang pola, kateraturan pola atau ide; matematika itu adalah seni,
keindahannya terdapat pada keterurutan dan keharmonisannya.
Pendapat tersebut menunjukkan bahwa matematika adalah ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan simbol-simbol bersifat universal, dan harus
10
dibuktikan secara deduktif. Pendapat tersebut sejalan dengan pandangan
Ruseffendi (1990) yang menyatakan bahwa dalam matematika, suatu generalisasi,
sifat, teori, atau dalil itu belum dapat diterima sebagai generalisasi, sifat, dan
sebagainya sebelum kebenarannya dapat dibuktikan secara deduktif.
Sehubungan dengan pendapat sebelumnya, Reys, dkk. (Suwangsih dan
Tiurlina, 2006, hlm. 4) menyatakan bahwa, “Matematika adalah telaah tentang
pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa dan
suatu alat”. Pendapat ini diperkuat oleh pandangan Kline (Suwangsih dan
Tiurlina, 2006, hlm. 4) yang menyatakan bahwa “Matematika itu bukan
pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri tetapi
adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan
menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam”. Pendapat tersebut
menunjukkan bahwa ilmu matematika merupakan ilmu yang sangat berguna
dalam berbagai aktivitas manusia.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
matematika adalah ilmu pengetahuan yang didasarkan pada logika manusia
dengan menggunakan simbol-simbol yang universal dan memiliki keterurutan
yang harmonis dan banyak digunakan dalam kehidupan manusia. Sehubungan
dengan banyaknya konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari manusia,
maka ilmu matematika menjadi suatu pelajaran yang banyak dipelajari di seluruh
dunia, dan banyak diterapkan dalam ilmu lain.
B. Tujuan Pembelajaran Matematika di SD
Proses belajar tentu saja memiliki tujuan tertentu, yakni berupa perubahan
perilaku ke arah yang lebih baik sebagai hasil dari belajar. Di dalam
Permendiknas No. 20 Tahun 2006 disebutkan bahwa pembelajaran matematika
diajarkan supaya peserta didik memiliki kemampuan yang meliputi pemahaman
konsep, penalaran, pemecahan masalah, pengkomunikasian gagasan, dan sikap
menghargai dalam kehidupan (Wijaya, 2012).
Dari tujuan pembelajaran matematika yang dicanangkan oleh pemerintah
Indonesia tersebut. Terlihat bahwa tujuan dari pembelajaran matematika di
Indonesia sangat baik dan mencakup tiga aspek yang meliputi pengetahuan,
keterampilan, dan sikap. Berkaitan dengan penelitian ini, aspek berpikir
11
matematis yang menjadi tujuan pembelajaran matematika, ternyata belum banyak
dikembangkan di sekolah-sekolah di Indonesia. Hal ini terlihat dari banyaknya
sekolah yang berfokus pada aspek pemahaman saja, tanpa peduli pada aspek
lainnya, karena adanya hambatan dalam mengembangkan kemampuan berpikir
matematis (Wijaya, 2012). Bekaitan dengan hal tersebut, guru memiliki tugas
mulia untuk menjadi tonggak pendidikan yang menjamin ketercapaian pendidikan
di Indonesia dengan menyajikan pembelajaran terbaik, yakni pembelajaran yang
memuat aspek pemahaman, keterampilan berpikir, dan sikap dari peserta didik.
Sehubungan dengan hal tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian yang
mengaji salahsatu aspek berpikir matematis, yakni kemampuan berpikir kreatif
matematis. Kajian ini didasarkan pada keterkaitan kemampuan berpikir matematis
dengan problem solving skill. Hal ini sejalan dengan pendapat Stacey (Wijaya,
2012) yang menyatakan bahwa kemampuan berpikir matematis memberi
kontribusi dalam mengembangkan pemecahan masalah. Hal ini dapat dijadikan
dasar bahwa penelitian dengan menggunakan kedua keterampilan tersebut dapat
dilakukan. Penelitian-penelitian yang menggunakan kemampuan berpikir
matematis ini sangat diperlukan di dunia pendidikan Indonesia, khususnya dalam
matapelajaran matematika.
C. Karakteristik Matematika di SD
Mengajar matematika tentu tidak akan optimal jika guru tidak memahami
karakteristik pembelajaran matematika itu sendiri. Seorang guru harus memiliki
pemahaman mengenai karakteristik pembelajaran matematika di sekolah dasar
agar guru dapat mengajar matematika dengan sebaik-baiknya. Sehubungan
dengan hal ini, Suwangsih dan Tiurlina (2006) menjelaskan beberapa karakteristik
pembelajaran matematika di sekolah dasar, sebagai berikut.
1. Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral.
Pendekatan spiral dalam pembelajaran matematika adalah pendekatan
dengan mengaitkan konsep matematika yang sedang dipelajari dengan konsep
yang telah dipelajari sebelumnya. Konsep sebelumnya merupakan penyokong
untuk memahami konsep yang akan dipelajari selanjutnya. Dalam hal ini konsep
baru diajarkan kepada peserta didik dengan bermodalkan pengetahuan yang telah
dimiliki olehnya.
12
2. Pembelajaran matematika bertahap.
Pembelajaran matematika itu bertahap, dari konsep yang sederhana
menuju konsep yang lebih kompleks. Tidak mungkin mengajarkan konsep
matematika yang rumit, jika pemahaman terhadap konsep matematika yang
sederhana belum dikuasai oleh peserta didik. Oleh karena itu, penyajian konsep
matematika harus terstruktur, dimulai dengan konsep yang diajarkan dengan
benda konkret, kemudian ke dalam bentuk gambar dan akhirnya ke dalam
simbol-simbol yang abstrak. Tahapan-tahapan dalam matapelajaran matematika
ini harus selalu dilakukan, karena suatu materi yang sederhana biasanya menjadi
prasyarat bagi materi yang lebih abstrak. Selain itu, penyajian materi matematika
secara bertahap ini juga didasarkan pada perkembangan mental peserta didik.
Semakin dewasa peserta didik, maka tingkat kesukarannya pun akan meningkat.
3. Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif.
Matematika adalah ilmu deduktif, namun pembelajarannya di sekolah
dasar harus disesuaikan dengan perkembangan mental peserta didik yang masih
berada pada tahap operasional konkret. Pembelajaran dengan metode induktif ini,
diawali dengan contoh-contoh yang memberikan peserta didik pengalaman belajar
yang berasal dari kehidupan sehari-hari peserta didik. Dengan menggunakan
metode induktif, konsep matematika yang bersifat abstrak dapat disajikan secara
lebih konkret, sehingga bisa dipahami oleh peserta didik.
4. Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi.
Pembelajaran matematika seharusnya memiliki kebenaran yang konsisten.
Artinya suatu pernyataan dianggap benar jika pernyataan sebelumnya telah
diterima kebenarannya, sehingga tidak ada pertentangan dalam penentuan
kebenarannya. Konsistensi ini sangat penting, mengingat konsep dalam
matematika memiliki keterkaitan antarkonsep matematika lain ataupun konsep
pelajaran lain. Oleh karena itu, jika kebenaran dalam matematika tidak memiliki
sifat yang konsisten, maka teori-teori yang berkaitan dengan konsep tersebut akan
terganggu kebenarannya.
5. Pembelajaran matematika hendaknya bermakna.
Pembelajaran bermakna merupakan cara mengajar dimana peserta didik
terlibat aktif menemukan dalam aturan-aturan, sifat-sifat dan dalil-dalil melalui
13
contoh secara induktif dan dibuktikan secara deduktif. Pembelajaran seperti ini
merupakan pembelajaran yang berpusat pada aktivitas peserta didik, dalam hal ini
peserta didik menjadi subjek pembelajaran, dan bukan objek pembelajaran.
Berkaitan dengan karakteristik pembelajaran matematika di sekoah dasar.
Adjie & Maulana (2006) mengungkapkan bahwa matematika merupakan
matapelajaran yang memuat materi yang abstrak, namun di sisi lain peserta didik
yang dihadapi masih belum berpikir secara abstrak. Oleh karena itu, guru harus
menyajikan pembelajaran matematika dari benda-benda konkret terlebih dahulu,
baru kemudian menuju ke abstrak. Pendapat ini didukung oleh pandangan
Subarinah (2006) yang mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan karakteristik
antara peserta didik sekolah dasar dan karakteristik matematika. Tugas dari
seorang guru untuk menjembatani perbedaan karakteristik tersebut, sehingga
tercipta harmoni pembelajaran di sekolah dasar. Berdasarkan beberapa pendapat
sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan karakteristik
pembelajaran matematika dengan karakteristik yang dimiliki peserta didik sekolah
dasar. Jika perbedaan karakteristik ini tidak diatasi oleh guru, maka pembelajaran
matematika tidak dapat terlaksana secara optimal. Oleh karena itu, seorang guru
SD harus belajar memahami karakteristik dari pembelajaran matematika di SD,
supaya mampu mengajar matematika dengan baik.
D. Ruang Lingkup Pembelajaran Matematika di SD
Terdapat tiga bidang kajian dalam matapelajaran matematika di SD yaitu
bilangan, pengukuran dan geometri, dan pengolahan data. Pembagian bidang
kajian matematika di sekolah dasar ini dilakukan supaya guru dapat berfokus pada
bidang kajian yang akan dijelaskannya. Penjelasan dari ketiga bidang kajian
tersebut dijelaskan oleh Adjie dan Maulana (2006) sebagai berikut ini.
1. Bilangan, kajian bilangan di SD meliputi melakukan dan menggunakan
sifat-sifat operasi hitung bilangan dalam pemecahan masalah dan
menaksir operasi hitung.
2. Pengukuran dan Geometri, kajiannya di SD meliputi mengidentifikasi
bangun datar dan bangun ruang menurut sifat, unsur, atau
kesebangunannya, melakukan operasi hitung yang melibatkan keliling,
luas, volume, dan satuan pengukuran, menaksir ukuran (misal: panjang,
luas, volume) dari benda atau bangun geometri, menentukan dan
menggambarkan letak titik atau benda dalam sistem koordinat.
14
3. Pengolahan Data di SD, pengolahan data meliputi: mengumpulkan,
menyajikan, dan menafsirkan data (ukuran pemusatan data).
Dari ketiga bidang kajian di atas, materi pelajaran pada penelitian ini
termasuk dalam bidang kajian bilangan, subpokok perbandingan dan skala.
Adapun cakupan subpokok bahasan ini adalah menggunakan pecahan dalam
masalah perbandingan dan skala, membuat perbandingan dan skala dari situasi
sehari-hari dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan perbandingan dan
skala. Materi perbandingan dan skala yang akan diajarkan ini termasuk ke dalam
materi semester 2 di kelas V. Pemilihan materi ini didasarkan pada sifat materi
perbandingan dan skala yang dapat dihubungkan dengan berbagai konteks
kehidupan peserta didik, konsep perbandingan ini begitu dekat dengan kehidupan
peserta didik sekolah dasar yang berada dalam masa anak-anak. Guru bisa
menyajikan konsep perbandingan melalui peristiwa sehari-hari, misalnya peserta
didik diminta untuk menulis perbandingan berat badan ayah dengan berat badan
ibunya. Selain itu, peserta didik juga dapat membandingkan jumlah uang jajan
yang dimilikinya dengan peserta didik lainnya. Sementara itu, materi skala
menjadi suatu materi yang sangat bermanfaat, bukan hanya di matapelajaran
matematika. Lebih dari itu, materi tentang skala ini sangat berguna untuk
matapelajaran lain seperti IPS, yakni ketika membahas tentang peta. Dengan
keunggulan dari materi perbandingan ini, maka proses menyajikan masalah
kontekstual dalam pembelajaran PBL akan lebih lancar, karena banyaknya
masalah nyata yang bisa disajikan. Selain itu, manfaat yang diperoleh peserta
didik dengan mempelajari materi perbandingan dan skala juga merupakan bahan
pertimbangan dipilihnya materi perbandingan dan skala dalam penelitian ini.
Penelitian ini dilakukan dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir
kreatif matematis dan kemandirian belajar peserta didik kelas V sekolah dasar
pada materi perbandingan dan skala. Materi ini terdapat dalam standar kompetensi
nomor 5 dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yaitu
menggunakan pecahan dalam pemecahan masalah dengan kompetensi dasar
menggunakan pecahan dalam masalah perbandingan dan skala. Hal ini tercantum
dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar matapelajaran matematika kelas
15
V semester 2, KTSP (BSNP, 2006, hlm. 34-35), standar kompetensi dan
kompetensi dasar tersebut tertulis dalam tabel berikut ini.
Tabel 2.1
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Matapelajaran Matematika Kelas V Semester 2
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
Bilangan
5. Menggunakan pecahan dalam
pemecahan masalah
5.1 Mengubah pecahan ke bentuk persen
dan desimal serta sebaliknya.
5.2 Menjumlahkan dan mengurangkan
berbagai bentuk pecahan.
5.3 Mengalikan dan membagi berbagai
bentuk pecahan.
5.4 Menggunakan pecahan dalam
masalah perbandingan dan skala.
Geometri dan Pengukuran
1. Mengetahui sifat-sifat bangun
dan hubungan antar bangun
6.1 Mengidentifikasi sifat-sifat bangun
datar.
6.2 Mengidentifikasi sifat-sifat bangun
ruang.
6.3 Menentukan jaring-jaring berbagai
bangun ruang sederhana.
6.4 Menyelidiki sifat-sifat kesebangunan
dan simetri.
6.5 Menyelidiki masalah yang berkaitan
dengan bangun datar dan bangun
ruang sederhana.
1. Materi Perbandingan dan Skala
Perbandingan adalah pembagian antara dua satuan yang sama. Menurut
Maulana (2010, hlm. 161) menyatakan “Perbandingan adalah pasangan terurut
bilangan a dan b yang dapat dinyatakan dalam atau a : b, dan dibaca a
berbanding b, dengan b ≠ 0”. Perbandingan disebut juga rasio. Berikut ini adalah
syarat sebuah perbandingan.
a. Satuan-satuan yang diperbandingkannya sejenis.
b. Perbandingannya dibuat dalam bentuk pecahan yang paling sederhana dan
dinyatakan dengan bilangan bulat positif.
c. Perbandingan dapat disederhanakan dan bentuknya tanpa menggunakan
satuan.
Perbandingan yang dipelajari dalam materi matematika sekolah dasar
terdiri dari dua jenis. Adapun jenis-jenis perbandingan tersebut adalah.
16
a. Perbandingan Senilai
Menurut Adjie dan Maulana (2006, hlm. 243), “Perbandingan senilai
merupakan suatu bentuk perbandingan yang jika salahsatu besaran yang
diperbandingkannya naik, maka besaran yang lainnya pun ikut naik. Sebaliknya,
jika salahsatu besaran yang diperbandingkan turun, maka besaran yang lainnya
pun ikut turun”.
Diketahui a : b dan c : d merupakan perbandingan-perbandingan yang senilai, jika
dan hanya jikaad = bc. Atau dapat ditulis pula sebagai berikut.
b. Perbandingan Berbalik Nilai
“Perbandingan berbalik nilai adalah suatu bentuk perbandingan yang jika
salahsatu besaran yang diperbandingkan nilainya bertambah, maka besaran
lainnya nilainya semakin kecil” (Maulana, 2010, hlm. 169). Penggunaan
perbandingan salahsatunya yaitu untuk menentukan skala. Cara menentukan skala
yaitu dengan menyederhanakan pecahan.
Menentukan skala sama dengan membandingkan ukuran gambar dengan
ukuran sebenarnya dalam bentuk paling sederhana. Hal ini sejalan dengan
pendapat Maulana (2010, hlm. 173) yang menyatakan “Skala adalah perbandingan
antara ukuran gambar pada peta dan ukuran benda yang sesungguhnya”. Ada
beberapa macam skala dalam pengukuran. Adapun jenis-jenis skala tersebut
adalah:
a. Skala Nominal
Skala nominal merupakan skala yang paling lemah dari semua skala
pengukuran yang ada. Skala ini membedakan suatu peristiwa dengan peristiwa
yang lain berdasarkan nama. Pada skala ordinal semua data dianggap bersifat
kualitatif dan setara, contohnya peserta dibedakan menjadi laki-laki diwakili
dengan angka 1 dan perempuan diwakili dengan angka 2. Konsekuensi dari skala
nominal tidak mungkin seseorang memiliki dua kategori sekaligus.
b. Skala Ordinal
Skala ordinal pengukuran didasarkan pada jumlah relatif beberapa
karakteristik khusus yang dimiliki oleh setiap peristiwa. Oleh karena itu,
pengukuran skala ordinal memungkinkan penyusunan peringkat dari masing-
17
masing peristiwa yang terjadi. Pada skala ordinal terdapat klasifikasi data
berdasarkan tingkatan, sebagai contoh, tingkat pendidikan, kategori SD diwakili
angka 1, SMP diwakili angka 2, SMA diwakili angka 3, dan kategori Sarjana
diwakili angka 4.
c. Skala Interval
Pada skala interval, pembedaan peristiwa dapat diurutkan. Antara peringkat
satu dengan yang lain memiliki arti. Dengan kata lain, selain bisa dibuat dalam
peringkat data dapat pula dikuantitatifkan. Sebagai contoh, interval nilai pelajaran
matematika di SMP Maju adalah 0 sampai 100, bila siswa A dan B masing-
masing mendapat nilai 45 dan 90 bukan berarti tingkat kecerdasan B dua kali dari
tingkat kecerdasan A meskipun nilai B dua kali dari nilai A.
d. Skala Rasio
Skala rasio merupakan pengukuran yang paling tinggi. Skala rasio adalah
hasil pengukuran untuk nilai yang sesungguhnya, bukan kategori seperti pada
skala nominal, ordinal maupun interval. Contohnya Andi memiliki 20 ekor sapi,
maka angka 20 disana menunjukkan jumah sapi Andi yang sebenarnya.Dalam
penelitian ini skala yang digunakan adalah skala rasio. Penggunaan skala ini
seringkali digunakan untuk membuat penyekalaan pada peta atau denah.
Pembelajaran tentang skala ini dapat mendukung matapelajaran lain yang
mempelajari peta seperti ilmu pengetahuan sosial.
E. Teori Belajar Matematika
Belajar merupakan suatu cara manusia untuk memperoleh pengetahuan
dari sesuatu yang dialaminya dalam kehidupan. Manusia akan terus belajar untuk
mengoptimalkan potensi yang ada dalam dirinya. Hal ini senada dengan pendapat
dari Djamarah dan Zain (2002), mereka mengatakan bahwa belajar merupakan
proses perubahan tingkah laku yang terjadi sebagai akibat dari pengalaman dan
latihan. Perubahan tingkah laku tersebut berkaitan dengan aspek pengetahuan,
keterampilan dan sikap yang diperoleh peserta didik dari lingkungan belajarnya.
Hal ini senada dengan pandangan dari Dimyati dan Mudjiono (2006) yang
menjelaskan mengenai proses belajar yang terjadi sebagai akibat dari perolehan
pengalaman peserta didik dari lingkungan sekitarnya. Proses belajar ini dapat
terjadi dimana saja asalkan peserta didik memiliki kemauan untuk belajar.
18
Seseorang yang belajar akan terlihat dari perubahan tingkah lakunya, yakni
berubah menjadi lebih baik. Oleh karena itu, dalam pembelajaran ada langkah
evaluasi untuk mengukur sejauh mana peserta didik memahami pembelajaran.
Sehubungan dengan hal itu, Maulana (2008, hlm. 61) memberi penjelasan
bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku individu yang relatif tetap
sebagai hasil dari pengalaman, yang menuju arah lebih baik, dan dapat diukur.
Pendapat tersebut menunjukkan bahwa untuk membentuk perubahan perilaku
peserta didik ke arah yang lebih baik, guru harus menyajikan pengalaman belajar
yang bermakna. Oleh karena itu, pembelajaran yang disajikan guru di kelas
seharusnya didasarkan pada teori belajar yang sesuai dengan karakteristik peserta
didik. Berikut ini adalah teori belajar-mengajar matematika di SD yang berkaitan
dengan pembelajaran pada penelitian ini.
1. Teori Perkembangan Piaget
Jean Piaget adalah seorang tokoh pendidikan yang terlahir di Swiss. Piaget
mengemukakan teori perkembangan mental manusia. Menurutnya proses berpikir
anak-anak berbeda dengan proses berpikir orang dewasa, karena manusia
mengalami tahapan perkembangan kognitif. Oleh karena itu cara belajar anak-
anak juga berbeda dengan cara belajar orang dewasa. Adapun tahapan
perkembangan mental Piaget (Maulana, 2011a) dijelaskan sebagai berikut ini.
a. Tahap Sensorimotor
Tahap ini dialami oleh individu yang berusia 0 hingga usia 2 tahun. Pada
tahap ini individu mulai mengembangkan konsep matematika dengan berinteraksi
dengan dunia fisik. Pada tahap ini juga individu sudah mampu memainkan benda-
benda yang ada disekitarnya, dan belajar sesuatu dari perbuatan dan gerak yang
dilakukannya. Tahap ini merupakan tahap perkembangan peserta didik di dalam
keluarga, peran orang tua sangatlah penting pada tahap ini.
b. Tahap Praoperasional
Anak-anak berusia 2 tahun hingga 7 tahun termasuk dalam individu yang
berada pada tahap praoperasional. Pada tahap ini individu sudah mampu
menyatakan ide melalui bahasa sederhana. Tahapan ini ditandai dengan
pemahaman konsep sederhana yang dipahami hanya dengan satu sudut pandang
19
saja (individu akan mengira bahwa cara berpikir orang lain sama dengan cara
berpikirnya).
c. Tahap Operasi Konkret
Anak-anak yang berusia 7 hingga 12 tahun termasuk dalam tahap operasi
konkret. Pada tahap ini peserta didik dapat mengembangkan sebuah konsep
melalui benda konkret untuk mencari hubungannya terhadap ide yang abstrak.
Selain itu, anak dapat berpikir logis yakni mampu membedakan mana yang benar
dan mana yang salah.Selanjutnya tahap ini dialami oleh anak yang berusia 7 tahun
sampai sekitar 12 tahun, sesuai dengan usia sekolah dasar di Indonesia pada
umumnya. Meskipun demikian, pada tahap ini anak tidak dapat mengerti suatu
konsep tanpa benda konkret, karena anak mengalami kesulitan dalam proses
berpikir formal ke dalam ide abstrak (Maulana, 2011a). Oleh karena itu,
penggunaan pendekatan serta media yang sesuai dengan karakteristik peserta
didik akan membantu peserta didik untuk memahami konsep matematika yang
bersifat abstrak. Adapun media yang cocok digunakan adalah media yang bersifat
konkret.
d. Tahap Operasi Formal
Tahap ini dialami oleh peserta didik yang berusia di atas 12 tahun. Pada
tahap ini peserta didik sudah mampu memahami konsep matematika yang
disampaikan secara verbal, dan mampu berpikir secara abstrak. Pada tahap ini
peserta didik sudah mampu merumuskan teori dan hipotesa, serta mampu
mempertimbangkan banyak pandangan sekaligus.
Adapun kaitan antara teori Piaget dengan penelitian ini, ialah sebagai
acuan bahwa untuk mengajarkan konsep matematika dengan menggunakan PBL,
khususnya di sekolah dasar perlu memperhatikan perkembangan mental anak
yang berada pada tahap operasional konkret. Salahsatu cara yang bisa dilakukan
guru dalam mengajar dengan PBL adalah menyajikan masalah yang bersifat
konkret dan sesuai dengan kehidupan sehari-hari peserta didik. Hal ini sesuai
dengan karakteristik pendekatan PBL yang menyajikan masalah autentik dalam
pembelajarannya.
20
2. Teori Bruner
Jerome S. Bruner merupakan tokoh pendidikan yang terkenal dari
Universitas Harvard. Bruner merupakan tokoh yang mencetuskan teori tentang
perkembangan belajar. Bruner (Pitadjeng, 2006) menyatakan bahwa konsep
matematika yang diajarkan di sekolah akan lebih mudah dipahami jika materi
yang dipelajarinya memiliki pola terstruktur. Pembelajaran matematika harusnya
dimulai dengan memanipulasi pengetahuan awal yang dimiliki peserta didik,
supaya peserta didik mampu terlibat aktif dalam pembelajaran. Hal ini
menjelaskan bahwa peserta didik akan lebih mudah memahami konsep
matematika apabila diberi kesempatan dalam memanipulasi benda-benda di
sekitarnya, untuk menemukan pola keteraturan. Bruner (Karso, dkk., 2010),
memberi penjelasan tentang tahapan perkembangan mental peserta didik, sebagai
berikut ini.
a. Tahap Enaktif
Pada tahap ini, peserta didik menggunakan dan memanipulasi benda-benda
konkret atau mengalami peristiwa di lingkungan sekitar untuk memahami suatu
konsep matematika. Misalnya dalam mengenalkan konsep penjumlahan, 3 + 4.
Peserta didik menggunakan tiga pensil miliknya ditambahkan dengan empat
pensil milik temannya.
b. Tahap Ikonik
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan peserta didik mulai menggunakan
mental, dengan melihat gambaran benda yang dimanipulasi. Pada tahap ini peserta
didik sudah mampu mengenal konsep matematika dengan menggunakan gambar
dari benda-benda saja. Gambar benda yang sering ditemukan oleh peserta didik
bisa dijadikan media pembelajaran pada tahapan ini.
c. Tahap Simbolik
Pada tahap ini anak telah mampu berpikir secara abstrak, tidak
menggunakan benda konkret lagi. Pada tahap ini peserta didik sudah mampu
memanipulasi simbol dan notasi matematika dalam mempelajari konsep
matematika.
21
Sehubungan dengan penelitian ini, teori Bruner memberikan pandangan
bahwa peserta didik yang diajari matematika harus dimulai dengan memanipulasi
pengetahuan awalnya. Pada penelitian ini penggunaan media berupa gambar
benda yang sering ditemukan oleh peserta didik menjadi media dalam
pembelajaran. Penggunaan media yang dekat dengan kehidupan sehari-hari
peserta didik ini diharapkan menjadi modal bagi peserta didik dalam mencari
informasi untuk memecahkan masalah matematika yang dihadapinya.
3. Teori Ausubel
Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah David Ausubel. Teori
Ausubel dikenal juga dengan teori belajar bermakna. Ausubel mengatakan bahwa
belajar yang baik adalah belajar menemukan sendiri konsep matematika (inkuiri).
Konsep matematika tidak diajarkan secara langsung oleh guru, melainkan
ditemukan oleh peserta didik melalui aktivitas belajar (Maulana, 2011a).
Selain itu, Ausubel (Maulana, 2011a) menjelaskan perbedaan antara
belajar menghapal dengan belajar bermakna. Menurut Ausubel belajar menghafal
merupakan proses belajar yang terbatas menghapal konsep-konsep matematika
yang diperoleh. Sementara itu, belajar bermakna merupakan proses memahami
konsep yang diperoleh dari pembelajaran dan mengaitkannya dengan kehidupan
sehari-hari.
Teori ini mendukung pembelajaran dengan pendekatan PBL, karena
didalam pembelajaran dengan PBL peserta didik diarahkan untuk menemukan
sendiri konsep matematika dengan dibantu oleh guru. Pembelajaran seperti ini
dimaksudkan supaya pengetahuan yang diperoleh peserta didik merupakan
pengetahuan yang bermakna dan relevan dengan kehidupan sehari-harinya. Lebih
jauh lagi pembelajaran dengan PBL ini bertujuan untuk mengembangkan
kemandirian belajar peserta didik.
4. Teori Gagne
Robert M. Gagne adalah seorang tokoh psikologi yang mengemukakan
teori ini. Menurut Gagne (Karso, dkk., 2010) terdapat dua objek yang dapat
diperoleh peserta didik dalam pembelajaran matematika. Dua objek tersebut
adalah objeklangsung dan objek tidak langsung. Objek langsung terdiri dari: fakta,
22
keterampilan, konsep, dan aturan/prinsip. Sedangkan objek tak langsung
mencakup kemampuan menyelidiki dan memecahkan masalah, kemandirian
dalam belajar dan bekerja, bersikap positif terhadap matematika, mengetahui
bagaimana cara ia belajar dan sebagainya.Gagne (Karso, dkk., 2010)
mengelompokkan proses belajar menjadi delapan tipe belajar sebagai berikut.
a. Belajar isyarat, disebut juga sebagai belajar tanpa disengaja. Belajar isyarat
terjadi karena adanya stimulus yang baik kemudian menimbulkan realisasi
emosional. Contoh belajar isyarat adalah perasaan senang terhadap pelajaran
matematika, karena sikap guru saat mengajar dapat menimbulkan kesenangan
peserta didik dalam belajar.
b. Belajar stimulus-respon, merupakan belajar dengan niat dan respon peserta
didik yang bersifat fisik. Misalnya peserta didik menuliskan contoh bilangan
asli setelah guru memberi penjelasan tentang bilangan asli.
c. Rangkaian gerak, yaitu belajar perbuatan jasmaniah dari dua atau lebih
kegiatan stimulus-respon. Contohnya peserta didik menggambar ruas garis
dengan rangkaian gerak sebagai berikut: mengambil pensil dan penggaris,
meletakkan penggaris melewati dua titik, dan menarik ruas garis.
d. Rangkaian verbal, yaitu belajar dengan perbuatan lisan terurut dari dua
kegiatan stimulus-respon atau bahkan lebih. Contohnya, peserta didik mampu
mengemukakan pendapatnya tentang simbol, definisi, dan semacamnya.
e. Belajar membedakan, yaitu belajar memisahkan rangkaian yang berbeda.
Misalnya membedakan segitiga berdasarkan sisinya.
f. Belajar konsep, sering juga disebut dengan belajar pengelompokan yakni
dengan mengenal sifat bersama benda-benda konkret untuk dijadikan suatu
kelompok. Misalnya untuk memahami konsep lingkaran peserta didik
mengamati benda nyata seperti cincin, gelang, permukaan gelas, dan
sebagainya
g. Belajar aturan, yaitu belajar dengan tujuan peserta didik mampu memberikan
respon terhadap segala macam perbuatan
h. Pemecahan masalah, yaitu tipe belajar yang paling tinggi. Dalam belajar tipe
ini peserta didik sudah memiliki kemampuan prasyarat untuk
menyelesaikannya, namun masih bermasalah dalam penyelesaiannya. Suatu
23
masalah bagi peserta didik bukan masalah bagi gurunya. Dalam hal ini guru
harus mengetahui kemungkinan jawaban dari peserta didik.
Adapun keterkaitan teori Gagne dengan penelitian ini yaitu pembelajaran
yang dilakukan berbasis dari suatu permasalahan autentik. Hal ini sesuai dengan
salahsatu tipe belajar yang dicetuskan Gagne, yakni tipe belajar pemecahan
masalah. Sehubungan dengan itu, seorang guru harus menciptakan situasi
pembelajaran berdasarkan masalah bagi peserta didiknya. Seorang guru juga harus
mampu memprediksi kemungkinan jawaban dari peserta didiknya.
5. Teori Vygotsky
Vygotsky adalah seorang psikolog asal Rusia yang mengemukakan
pentingnya interaksi dan kerjasama dalam proses pembelajaran. Pada saat peserta
didik belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya, interaksi antara peserta didik
dengan peserta didik lain dan guru menjadi kunci dari ketercapaian pengetahuan
yang lebih tinggi. Dalam hal ini keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik
dapat dikembangkan lebih optimal. Menurut Vygotsky setiap peserta didik
memiliki potensi tersendiri yang unik dan bisa berkembang dengan bantuan dari
guru. Pada saat peserta didik kesulitan dalam mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri, guru berperan memberikan bantuan kepada peserta didik melalui
scaffolding. Kondisi ini disebut sebagai zone of proximal development (Muijs dan
Reynold, 2008).Scaffolding ini merupakan bentuk bimbingan guru terhadap
peserta didik supaya dapat membangun pengetahuannya sendiri.
Berdasarkan teori di atas, seorang guru harus mempersiapkan diri
menghadapi kesulitan peserta didik dalam belajar. Dalam hal ini guru harus
membantu peserta didiknya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menuntun peserta
didik dalam membangun pengetahuannya. Kondisi ini sangat sesuai dengan
pembelajaran berbasis masalah yang dilakukan dalam penelitian. Jika peserta
didik mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah matematis yang disajikan
guru, maka guru dapat membantu peserta didik untuk memahami konsep tersebut
melalui scaffolding.
24
6. Teori Dienes
Zoltan P. Dienes merupakan ahli matematika yang banyak meneliti tentang
pengajaran matematika terhadap anak-anak. Ia berusaha untuk mengembangkan
pengajaran matematika agar lebih menarik dipelajari. Dienes mengungkapkan
bahwa konsep matematika akan lebih mudah dipelajari dengan menyajikan dalam
bentuk yang beragam. Misalnya dalam mengajarkan konsep persegi, sebaiknya
guru menyajikan gambar persegi dengan ukuran yang beragam daripada
menyajikan gambar dan bentuk yang seragam. Dienes juga berpendapat bahwa
pembelajaran matematika yang disajikan dalam bentuk konkret yang dimanipulasi
dengan baik akan membuat pembelajaran matematika lebih mudah dipahami oleh
peserta didik (Maulana, 2011a). Menurut Dienes (Maulana, 2011a), dalam
pembelajaran matematika, terdapat enam tahap yang dilalui peserta didik dan
harus dipahami oleh guru. Adapun enam tahap tersebut adalah sebagai berikut.
a. Bermain bebas, pada tahap ini peserta didik mempelajari konsep matematika
dengan aktivitas yang tidak terstruktur. Peserta didik akan berinteraksi
dengan lingkungan sekitarnya untuk membentuk mental dan sikap sebagai
persiapan memahami konsep.
b. Permainan, pada tahap ini, peserta didik mulai mengamati pola dan sifat
kesamaan/ketidaksamaan, keteraturan/ketidakteraturan konsep yang diwakili
oleh benda-benda konkret. Semakin beragam bentuk berbeda dari suatu
konsep maka akan semakin baik pemahaman peserta didik mengenai konsep
tersebut.
c. Penelaahan sifat bersama, pada tahap ini, peserta didik mampu menemukan
kesamaan sifat, menunjukkan contoh dan bukan contoh, serta mendalami
pemahamannya akan suatu konsep.
d. Representasi, pada tahap ini peserta didik sudah mampu membuat pernyataan
dari kesamaan sifat yang ditemukan pada tahap ketiga
e. Simbolisasi, pada tahap ini, peserta didik mampu merepresentasi konsep
matematika dengan menggunakan simbol matematika atau melalui
perumusan verbal
25
f. Formalisasi, tahap formalisasi merupakan tahap belajar yang paling tinggi
dalam teori Dienes. Pada tahap ini peseta didik sudah mengenal aksioma dan
teorema, serta mampu membuktikan teorema-teorema.
Sehubungan dengan penelitian ini, teori Dienes menjadi dasar dalam
menyajikan masalah kepada peserta didik. Masalah yang disajikan dalam
pembelajaran menggunakan PBL merupakan masalah nyata yang membutuhkan
banyak informasi supaya dapat dipecahkan. Masalah seperti itu, merupakan
masalah yang berbeda dengan masalah matematika yang biasa ditemukan oleh
peserta didik. Hal ini dapat merangsang pola berpikir peserta didik, sehingga
kemampuan berpikir kreatifnya akan berkembang.
F. Pendekatan Konvensional
Pendekatan konvensional merupakan pembelajaran yang biasa digunakan
guru dalam menyajikan suatu pembelajaran. Dalam penelitian ini pendekatan
konvensional yang digunakan adalah pembelajaran ekspositori, yakni
pembelajaran yang prosesnya menekankan pada penyampaian materi secara
verbal oleh guru. Pembelajaran seperti ini merupakan pembelajaran yang biasa
digunakan oleh kebanyakan guru di Indonesia karena bersifat praktis dan mudah
disiapkan. Mengajar dengan ekspositori harus memenuhi beberapa kriteria
tertentu. Sanjaya (2006) mengemukakan tiga karakteristik pendekatan ekspositori
sebagai berikut: pertama, pembelajaran ekpositori identik dengan metode
ceramah. Kedua, peserta didik berfokus untuk menghafal pengetahuan yang
diberikan guru. Ketiga, tujuan utama dari pembelajaran ini untuk membuat peserta
didik memahami materi ajar yang diberikan oleh guru.
Tiga karakteristik pembelajaran konvensional yang diungkapkan oleh
Sanjaya di atas, menunjukkan bahwa pembelajaran dengan pembelajaran
konvensional berpusat pada guru. Artinya, pembelajaran yang dilakukan berfokus
pada ceramah yang disampaikan oleh guru. Oleh karena itu, keberhasilan
pendekatan konvensional ini sangat bergantung pada kemampuan guru
berceramah, semakin bagus kemampuan ceramah seorang guru akan semakin
efektif pula pembelajaran yang dilakukan. Adapun langkah-langkah dari
pendekatan konvensional ini dijelaskan oleh Sanjaya (2006) sebagai berikut ini.
26
1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini, guru bertugas untuk menyiapkan peserta didik supaya siap
mengikuti pembelajaran. Langkah persiapan ini merupakan langkah yang sangat
penting. Keberhasilan dari pendekatan konvensional sangat bergantung pada
langkah persiapan. Dalam langkah ini guru bertugas untuk memberikan sugesti
positif, memberitahu tujuan pembelajaran, membuka pengetahuan awal peserta
didik. Dalam penelitian ini tahap persiapan terjadi pada kegiatan awal
pembelajaran, yakni pada saat guru melakukan apersepsi dan memberitahu tujuan
pembelajaran.
2. Tahap Penyajian
Langkah penyajian merupakan langkah penyampaian materi pelajaran
sesuai dengan apa yang telah dipersiapkan. Tahap penyampaian materi ini akan
berjalan dengan baik jika guru menggunakan beberapa strategi dalam
menyampaikan materi secara verbal pada peserta didik. Sanjaya (2006)
mengungkapkan empat strategi penyajian dengan pendekatan konvensional
sebagai berikut: Pertama, gunakan bahasa yang komunikatif dan mudah
dimengerti peserta didik. Kedua, gunakan intonasi suara yang tepat supaya peserta
didik tidak merasa bosan. Ketiga, menjaga kontak mata dengan peserta didik.
Keempat gunakan humor segar untuk menghidupkan suasana. Tahap penyajian
dalam penelitian ini berlangsung pada kegiatan inti pembelajaran. Pada tahapan
ini guru menyajikan materi ajar dengan bahasa verbal yang mudah dimengerti
oleh peserta didik. Penyajian materi bisa dibantu dengan media (gambar, video,
dan lain sebagainya).
3. Tahap Menghubungkan
Tahapan ini berfungsi untuk menghubungan pengetahuan yang diperoleh
peserta didik dari pembelajaran dengan pengalaman hidupnya. Tahap
menghubungkan dilakukan supaya peserta didik mengetahui manfaat dari
pembelajaran yang telah ia lakukan. Dengan begitu peserta didik akan menyadari
bahwa ilmu yang ia pelajari akan berguna bagi hidupnya kelak. Tahapan
menghubungkan ini terjadi pada saat guru menyajikan materi ajar pada peserta
didik. Materi ajar yang dipelajari oleh peserta didik dapat dihubungkan dengan
27
kehidupan sehari-hari peserta didik ataupun dengan matapelajaran lain yang
relevan dan berguna bagi peserta didik.
4. Tahap Menyimpulkan
Menyimpulkan merupakan tahapan untuk memahami inti pembelajaran
yang telah disampaikan oleh guru. Dengan adanya tahapan ini peserta didik akan
memiliki keyakinan akan kebenaran dari suatu materi yang dipelajarinya. Sanjaya
(2006) mengungkapkan tiga cara menyimpulkan sebagai berikut: Pertama,
mengulang kembali inti materi pelajaran. Kedua, mengajukan pertanyaan yang
relevan dengan materi yang disajikan. Ketiga, memetakan keterkaitan materi
pelajaran. Tahap menyimpulkan dalam penelitian ini terjadi setelah guru
memberikan suatu konsep dengan berceramah dengan peserta didik. Pada tahapan
ini kesimpulan dibuat dengan bimbingan dari guru.
5. Tahap Penerapan
Pada tahap ini peserta didik akan menunjukkan kemampuannya dalam
memahami pemaparan gurunya. Tahap ini biasanya berupa penugasan atau tes
yang relevan dengan materi yang dipaparkan. Tahap ini berfungsi untuk
mengetahui sejauh mana pengetahuan peserta didik akan konsep yang diajarkan
gurunya. Dalam penelitian ini tahap penerapan dilakukan dengan mengerjakan
tugas yang relevan dengan materi ajar.
G. Pendekatan Problem Based Learning
1. Sejarah PBL
Problem based learning (PBL) merupakan pendekatan yang muncul
sekitar tahun 1920. LahirnyaPBLdilatarbelakangi oleh seorang guru sekolah dasar
bernama Calestine Freinet yang berasal dari Perancis. Beliau mengalami cedera
parah karena baru kembali dari medan perang. Akibat dari cederanya itu beliau
tidak bisa mengajar dengan suara yang keras, tetapi beliau masih mempunyai
tekad untuk mengajar. Pada akhirnya beliau menggunakan metode yang berbeda
dari biasanya yaitu membuat pembelajaran yang didalamnya peserta didik secara
mandiri untuk belajar dan beliau sebagai guru hanya memberikan fasilitas untuk
kelancaran proses belajar-mengajar (Azmi, 2011).
Menurut Sujana (2014),PBL pertama kali diterapkan di sekolah medis,
McMaster University di Kanada. Setelah itu, PBL mulai dikenal di berbagai
28
negara. Puncaknya pada tahun 1990 PBL mulai diterapkan di beberapa sekolah
dasar dan menengah Amerika Serikat. Kepopuleran dari PBL ini disebabkan oleh
langkah pembelajaran PBL yang berpusat pada aktivitas peserta didik dan
penyajian masalah yang membuat peserta didik belajar lebih aktif. Kelebihan yang
dimiliki PBL ini membuat banyak guru yang mulai melirik pendekatan ini sebagai
salahsatu alternatif mengajar yang efektif.
2. Pengertian PBL
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan guru dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar untuk mencapai tujuan
pembelajaran tertentu. Ketercapaian suatu tujuan pembelajaran sangat dipengaruhi
oleh kualitas dari kegiatan pembelajarannya sendiri. Oleh karena itu, tujuan
pembelajaran merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan guru. Menurut
Subarinah (2006), “Pembelajaran apapun hendaknya dikembangkan untuk
membentuk manusia yang kreatif, inovatif dan memiliki strategi dalam
memecahkan masalah”. Dalam dunia pendidikan dikenal berbagai pendekatan dan
model pembelajaran yang dapat digunakan, salahsatunya adalah pembelajaran
berbasis masalah atau yang disingkat menjadi PBM. Sementara istilah asingnya
adalah problem based learning (PBL).
Menurut Sujana, (2014) problem based learning adalah suatu
pembelajaran dengan menyuguhkan berbagai situasi bermasalah yang autentik
dan berfungsi bagi peserta didik, sehingga masalah tersebut dapat dijadikan
sebagai batu loncatan untuk melakukan penyelidikan. Sejalan dengan pendapat
sebelumnya, Sanjaya (2006) mengungkapkan bahwa PBL dapat diartikan sebagai
rangkaian aktivitas belajar yang berfokus pada penyelesaian masalah yang
dihadapi secara ilmiah.
Sehubungan dengan pendapat sebelumnya, Arends (Sujana, 2014)
mengungkapkan bahwa PBL tidak dirancang untuk membantu guru memberi
informasi secara mendetail kepada peserta didik, tetapi lebih kepada membantu
peserta didik mengembangkan keterampilan bepikir, keterampilan menyelesaikan
masalah, serta keterampilan intelektualnya. Pendapat ini diperkuat dengan
pandangan dari Mitchell (Sujana, 2014) yang mengatakan bahwa PBL dapat
membantu peserta didik dalam mengkontruksi pengetahuan dan keterampilan
29
menalar dibandingkan dengan pendekatan tradisional. Berkaitan dengan pendapat
sebelumnya Susilawati (2009) mengungkapkan bahwa PBL menuntut kreativitas
seorang guru untuk memilih situasi yang menantang peserta didik dan
memotivasinya untuk merumuskan masalah, mengajukan pertanyaan, dan
memecahkan masalah berkualifikasi tinggi yang dapat diselesaikan. Pendapat dari
Susilawati ini memberikan gambaran bahwa PBL merupakan suatu pendekatan
yang bisa digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi
seperti berpikir kreatif.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa PBL
adalah suatu pembelajaran yang menekankan pada pemberian suatu masalah nyata
dalam kehidupan sehari-hari yang harus dipecahkan oleh peserta didik melalui
proses investigasi secara mandiri untuk mengasah keterampilan berpikir kritis,
logis, dan pemecahan masalah peserta didik agar diperoleh suatu solusi dari
permasalahan tersebut sebagai pengetahuan dan konsep yang esensial dari
pelajaran. Keterampilan berpikir kritis, logis, dan pemecahan masalah dalam PBL
ini termasuk ke dalam kemampuan matematis yang ditargetkan dalam kurikulum
matematika. Dalam penelitian ini kemampuan berpikir matematis yang
dikembangkan adalah kemampuan berpikir kreatif. Selain itu dalam penelitian ini
juga dibahas mengenai kemandirian belajar sebagai salahsatu aspek pembelajaran
yang seringkali terlupakan. Dengan pembahasan mengenai kemampuan berpikir
kreatif dan kemandirian belajar ini diharapkan guru dapat membuka diri untuk
menggunakan pendekatan berbasis masalah dalam pembelajaran yang dirancang
berpusat pada peserta didik.
3. Karakteristik PBL
Setiap pendekatan pembelajaran pasti memiliki karakteristik yang
membedakannya dengan pendekatan lain. Adapun karakteristik PBL yang
dikembangkan oleh Min Liu (Lidinillah, 2008) adalah sebagai berikut.
a. Pembelajaran berpusat pada peserta didik, dalam PBL peserta didik
dipandang sebagai seorang yang sedang belajar, bukan seorang yang diajari
oleh guru. Oleh karena itu, pembelajaran dengan PBL menitikberatkan pada
proses belajar peserta didik, bukan ceramah dari guru.
30
b. Masalah bersifat autentik, yakni masalah yang berasal dari kehidupan sehari-
hari dan bersifat praktis. Hal ini dimaksudkan supaya peserta didik mudah
memahami masalah serta dapat menerapkan strategi pemecahan masalah
yang diperoleh dalam kehidupannya.
c. Proses pemecahan masalah dalam PBL memerlukan informasi yang
mendukung pemecahan masalah. Oleh karena itu, peserta didik akan
mengumpulkan informasi yang diperlukan melalui penyelidikan dan
penalaran.
d. Pembentukan kelompok kecil, hal ini dimaksudkan supaya peserta didik
dapat melakukan interaksi ilmiah, bertukar pikiran, dan membangun
pengetahuannya dengan bekerja sama. Kelompok yang dibuat harus memiliki
kemampuan yang merata.
e. Guru adalah fasilitator, artinya guru bertugas sebagai pembimbing
pembelajaran. Dalam hal ini guru tidak banyak mencampuri kegiatan peserta
didik. Guru memberi arahan pada peserta didik untuk memecahkan masalah
sesuai dengan caranya sendiri.
4. Jenis Masalah dalam Pembelajaran Matematika
Matematika merupakan ilmu yang berkembang sesuai dengan kebutuhan
manusia dalam menyelesaikan masalah hidupnya. Suatu hal bisa dikatakan
masalah jika hal tersebut tidak bisa diselesaikan secara langsung dengan prosedur
yang biasa, artinya diperlukan suatu proses tertentu untuk menyelesaikan hal
tersebut (Prihandoko, 2006). Dalam pembelajaran matematika terdapat empat
jenis masalah yang harus diketahui guru. Keempat jenis masalah tersebut
dijelaskan oleh Adjie dan Maulana (2006) sebagai berikut ini.
a. Masalah Translasi
Translasi dapat diartikan sebagai perpindahan. Masalah translasi
merupakan suatu masalah yang penyelesaiannya memerlukan adanya perpindahan
dari bentuk verbal/kalimat ke bentuk simbol matematika. Dalam memindahkan
permasalahan yang berbentuk verbal/kalimat ke bentuk matematika dibutuhkan
kemampuan menafsirkan, sehingga permasalahan tersebut dapat dengan mudah
diselesaikan berdasarkan aturan yang berlaku. Dalam masalah translasi terdapat
dua jenis masalah yaitu masalah translasi sederhana dan masalah translasi
31
kompleks. Kompleks atau tidaknya suatu masalah matematika bergantung pada
seberapa banyak informasi matematika yang termuat dalam masalah tersebut,
banyaknya konsep berbeda yang diperlukan, dan banyaknya operasi matematika
yang diperlukan (Adjie & Maulana, 2006).
b. Masalah Aplikasi
Masalah aplikasi dapat diartikan sebagai suatu penerapan konsep
matematika dalam kehidupan sehari-hari. Berkaitan dengan masalah aplikasi ini
Adjie & Maulana (2006) mengungkapkan bahwa masalah aplikasi merupakan
masalah penerapan dari konsep matematika yang dipelajari. Penyajian masalah
aplikasi dapat menjadi suatu cara untuk mengajarkan matematika yang lebih
kontekstual kepada bagi peserta didik.
c. Masalah Proses
Masalah proses diberikan pada peserta didik dengan tujuan untuk
menyusun langkah-langkah dalam merumuskan pola dan strategi dalam
menyelesaikan masalah. Masalah proses juga dapat membentuk keterampilan
menyelesaikan masalah, sehingga peserta didik akan terbiasa menyeleksi masalah
dalam berbagai situasi. Contoh masalah proses adalah masalah yang terdapat pada
materi pengolahan data, dalam mengolah data tersebut peserta didik dapat
menyajikannya melalui tabel.
d. Masalah Teka-teki
Masalah teka-teki dapat diartikan sebagai masalah unik yang
menyenangkan untuk dicari penyelesaiannya. Hal ini sesuai dengan pendapat
Adjie & Maulana (2006, hlm.9), “Masalah teka-teki dimaksudkan untuk rekreasi
dan kesenangan serta sebagai alat yang bermanfaat untuk mencapai tujuan afektif
dalam pengajaran matematika”. Dalam kegiatan pembelajaran guru dapat
memberikan masalah teka-teki kepada peserta didik untuk pengantar
pembelajaran, memusatkan perhatian, memberikan penguatan, dan mengetahui
kemampuan peserta didik.
Masalah teka-teki juga dapat diberikan saat waktu luang atau mengisi
waktu kelas yang sedang tidak ada pelajaran. Contoh masalah teka-teki adalah
terdapat bilangan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9. Masukanlah semua bilangan tersebut
ke dalam kotak-kotak 3 x 3, sehingga jumlah bilangan mendatar, menurun, dan
32
diagonal berjumlah 15. Penyelesaian dari masalah tersebut dapat menimbukan
bebagai kemungkinan jawaban yang berbeda-beda, jika soal tersebut disajikan
secara baik, maka peserta didik akan merasa senang dan tertantang untuk
menyelesaikan permasalahan yang disajikan. Hal ini merupakan cara yang bisa
ditempuh guru untuk menghilangkan rasa bosan dalam belajar. Berikut ini
beberapa kemungkinan jawaban peserta didik yang bisa muncul.
Berkaitan dengan masalah dalam PBL, Kek (Sujana, 2014) merumuskan
kriteria masalah yang baik disuguhkan dalam PBL berikut.
a. Mempunyai keaslian seperti pada dunia kerja. Masalah yang disajikan kepada
peserta didik adalah masalah nyata yang dihadapi dalam kehidupan dan
diusahakan masalah yang dekat dengan kehidupan sehari-hari peserta didik.
b. Dikonstruksi dalam pembelajaran dengan memperhatikan pengetahuan
peserta didik sebelumnya. Masalah yang diambil harus dapat dipikirkan oleh
peserta didik yakni peserta didik telah memiliki gambaran pengetahuan
sebelumnya tentang masalah yang dihadapi.
c. Membangun pemikiran yang metakognitif dan konstruktif. Masalah yang
diberikan harus dapat menyadarkan sejauh mana kognitif peserta didik, baik
dalam hal cara bekerja maupun pengaturannya.
d. Meningkatkan minat dan motivasi peserta didik. Masalah yang diambil
adalah masalah yang menarik dan menantang peserta didik untuk berpikir,
sehingga peserta didik merasa tertarik untuk belajar secara aktif.
e. Sesuai dengan sasaran rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Berdasarkan jenis masalah dan kriteria memilih masalah dalam PBL,
seorang guru yang akan menggunakan PBL sebagai pendekatan pembelajaran di
kelas harus memiliki keterampilan memilih masalah yang baik. Pemilihan
masalah yang kurang baik tentu akan jadi suatu kendala bagi pembelajaran
Peserta
didik A
Peserta
didik B
2 7 6 8 3 4
9 5 1 1 5 9
4 3 8 6 7 2
Peserta
didik C
Peserta
didik D
8 1 6 4 3 8
3 5 7 9 5 1
4 9 2 2 7 6
33
berbasis masalah, yakni tidak tercapainya tujuan pembelajaran atau berbagai
masalah lain yang tidak diharapkan. Masalah yang digunakan dalam penelitian ini
adalah masalah aplikasi, masalah proses dan masalah teka-teki.
5. Teknik Pemecahan Masalah
Salahsatu tugas guru sebagai fasilitator pembelajaran adalah memiliki
metode dan teknik pemecahan yang tepat bagi peserta didiknya. Dalam
pembelajaran matematika terdapat berbagai teknik pembelajaran yang bisa
digunakan guru dalam menyampaikan materi. Adjie dan Maulana (2006)
menjelaskan beberapa teknik pemecahan masalah sebagai berikut ini.
a. Teknik keterlibatan peserta didik
Teknik ini merupakan cara memecahkan masalah dengan melibatkan
peserta didik baik secara fisik maupun mental. Keterlibatan fisik peserta didik
dapat diartikan bahwa pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas melibatkan
sebagian besar atau keseluruhan dari panca indera yang dimiliki peserta didik.
Sementara itu, keterlibatan mental diartikan sebagai kegiatan peserta didik dalam
mengikuti jalannya pembelajaran dengan antusias dan konsentrasi penuh.
Keterlibatan peserta didik secara fisik dan mental ini akan membuat peserta didik
memiliki minat belajar yang tinggi, sehingga guru dapat mengendalikan kelas
dengan lebih optimal.
Pembelajaran dengan teknik keterlibatan peserta didik ini dapat dilakukan
pada beberapa materi matematika di sekolah dasar. Salahsatunya adalah materi
perbandingan. Adapun langkah-langkahnya adalah: a) peserta didik diberikan
LKS dengan gambar sebuah kolam ikan dengan berbagai jenis ikan, b) peserta
didik diarahkan untuk mengamati gambar tersebut dan menghitung jumlah ikan
dalam gambar kolam, c) peserta didik diarahkan untuk membandingkan jumlah
ikan tertentu dengan jumlah ikan lain yang ada dalam kolam, atau
membandingkan jumlah ikan tertentu dengan jumlah seluruh ikan di dalam kolam.
Misalnya bandingkan jumlah ikan mas dengan jumlah ikan lele yang ada di
kolam, atau bandingkan jumlah ikan lele dengan jumlah seluruh ikan yang ada di
dalam kolam. Keterlibatan peserta didik dalam menghitung jumlah ikan, tentu
akan lebih mempermudah peserta didik dalam memahami konsep penjumlahan,
karena bersifat konkret.
34
b. Teknik Analogi
Teknik ini merupakan suatu teknik yang membuat suatu cerita yang
menjadi ilustrasi suatu konsep matematika agar lebih mudah dipahami. Pada
dasarnya teknik analogi ini merupakan proses penyederhanaan konsep
matematika ke dalam ilustrasi sederhana dan mampu dipahami oleh peserta didik.
Contoh penggunaan teknik analogi adalah membuat ilustrasi dari materi pecahan
dengan menganalogikannya ke dalam potongan-potongan roti.
c. Teknik Menggunakan Model
Penggunaan model matematika sebagai dalam pembelajaran matematika
merupakan salahsatu cara untuk mengurangi abstraksi dari konsep matematika.
Teknik ini digunakan untuk mengurangi kerumitan materi matematika. Model-
model matematika yang digunakan dalam teknik ini dapat berbentuk gambar,
benda ataupun alat peraga yang mampu menjadi penghubung bagi alam konkret
peserta didi menuju konsep matematika yang abstrak. Contoh penggunaan model
matematika dalam materi perbandingan dan skala adalah penggunaan gambar
benda-benda berwarna, denah, atau sebuah peta.
d. Teknik Permainan
Permainan dapat diartikan sebagai suatu aktivitas yang menciptakan
kondisi seorang atau sekelompok peserta didik memainkan kegiatan bermain
dengan aturan tertentu, sehingga memunculkan pemenang. Pemenang dari teknik
permainan ini ditentukan oleh beberapa kriteria seperti: kecepatan, ketepatan,
kreativitas, dan lain-lain. Teknik ini memiliki sejumlah kelebihan, yakni: a)
memuat cara berpikir matematis, b) pembelajaran matematika akan lebih meluas,
c) peserta didik cenderung suka dengan permainan.
e. Teknik Simulasi
Simulasi merupakan suatu cara menghadirkan situasi nyata dengan peserta
didik sebagai pelaku utamanya. Teknik ini merupakan cara yang efektif dalam
membuat peserta didik paham tentang kegunaan dari konsep-konsep matematika
yang dipelajarinya. Namun, teknik simulasi ini merupakan teknik yang bisa
menimbulkan kegaduhan di dalam kelas. Oleh karena itu, guru harus mampu
mengatasi masalah kegaduhan ini jika ingin memakai teknik simulasi. Teknik
35
simulasi merupakan teknik pembelajaran yang cukup sulit diterapkan, maka
diperlukan perencanaan yang matang dan aturan yang jelas supaya simulasi yang
dilakukan berjalan dengan baik. Jika perlu, teknik simulasi ini bisa dilakukan di
luar kelas, supaya pembelajaran lebih hidup.
Lima teknik pemecahan masalah yang telah dijelaskan di atas merupakan
cara yang dapat dilakukan dalam pembelajaran matematika berbasis masalah.
Pemakaian teknik pemecahan masalah di atas bersifat fleksibel dan disesuaikan
dengan kebutuhan di dalam kelas. Dari kelima teknik di atas, teknik analogi dan
penggunaan model merupakan teknik yang paling sering digunakan dalam
penelitian.
6. Langkah-langkah PBL
Pembelajaran matematika dengan menggunakan PBL tentu saja memiliki
langkah-langkah pembelajaran yang berbeda dengan pembelajaran matematika
menggunakan pendekatan pembelajaran lainnya. Dalam PBL, pembelajaran
disajikan dengan menghadirkan masalah nyata yang sesuai dengan kehidupan
peserta didik untuk dicari pemecahan masalahnya. Penggunaan PBL dalam
pembelajaran di sekolah dasar tentu tidak dapat dilakukan secara tiba-tiba, tanpa
persiapan terlebih dahulu. Oleh karena itu, seorang guru yang akan mengajar
dengan PBL harus memahami langkah-langkah PBL. Yazdani (Nur, 2011)
mengemukakan lima langkah PBL, di antaranya sebagai berikut.
a. Mengorientasikan peserta didik pada masalah, pada tahap ini guru
memberikan informasi tentang tujuan pembelajaran, memotivasi peserta didik
untuk terlibat langsung dalam pemecahan masalah.
b. Mengorganisasikan peserta didik untuk belajar, pada tahap ini guru mengatur
tugas belajar peserta didik untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
c. Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok, pada langkah ini guru
memberikan bantuan kepada peserta didik dalam mengumpulkan informasi
yang sesuai untuk mencari penjelasan dan solusi dari masalah yang dihadapi.
d. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya serta memamerkannya, pada
tahap ini guru membantu peserta didik untuk menyajikan hasil diskusi dengan
temannya ke depan kelas.
36
e. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah, langkah ini
merupakan suatu refleksi terhadap pembelajaran berbasis masalah yang
dilakukan oleh peserta didik.
Langkah-langkah pembelajaran PBL tersebut di atas merupakan langkah-
langkah pembelajaran yang dikembangkan dalam pembelajaran dengan
berdasarkan masalah. Langkah-langkah ini harus dipahami oleh guru, sebelum
guru menggunakan PBL dalam proses pembelajaran.
H. Perbedaan antara Pendekatan Konvensional dengan PBL
Pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini berupa
pendekatan konvensional dan PBL. Kedua pendekatan ini memiliki beberapa
perbedaan seperti diungkapkan oleh Yazdani (Nur, 2011) sebagai berikut ini.
Tabel 2.2
Perbedaan Pendekatan Konvensional dengan PBL
Pendekatan Konvensional PBL
1. Pembelajaran berfokus pada guru.
2. Komunikasi satu arah, terbatas
komunikasi guru kepada peserta
didik saja.
3. Peserta didik dianggap sebagai
“wadah kosong” atau penerima
informasi pasif.
4. Peserta didik diarahkan untuk
memberi satu jawaban benar.
5. Bersifat individualistik dan
kompetitif.
6. Guru menyajikan Pembelajaran
berdasarkan konteks disiplin ilmu
yang ketat.
1. Pembelajaran berfokus pada aktivitas
belajar peserta didik.
2. Komunikasi bersifat multi arah (guru-
peserta dengan didik atau peserta didik
dengan peserta didik lainnya)
3. Peserta didik dianggap sebagai
pembelajar yang harus difasilitasi
dalam proses belajarnya.
4. Peserta didik dirangsang untuk
mengeksplorasi alternatif jawaban dan
membuat keputusan yang efektif.
5. Pembelajaran bersifat kolaboratif.
6. Pembelajaran didasarkan pada masalah
dunia nyata peserta didik.
37
I. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis
Berpikir merupakan suatu kemampuan alami yang dimiliki manusia untuk
menemukan jawaban dari masalah yang dihadapi atau membentuk suatu
pemahaman tertentu. Hal ini sesuai dengan pandangan Maulana (2008), yang
mengungkapkan bahwa berpikir dapat diartikan sebagai suatu aktivitas mental
yang digunakan untuk menyelesaikan suatu masalah, membuat suatu keputusan
atau mencari pemahaman mengenai suatu hal. Proses berpikir merupakan suatu
cara yang digunakan manusia untuk memperoleh makna dan pemahaman tertentu
tentang segala hal yang dialaminya dalam kehidupan. Oleh karena itu, kualitas
hidup seseorang akan semakin baik jika orang tersebut sering memakai otaknya
untuk berpikir. Salahsatu aspek berpikir adalah berpikir kreatif.
Berpikir kreatif merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang harus
dikembangkan guru dalam pembelajaran. Maulana (2011b) mengatakan bahwa
berpikir kreatif berhubungan dengan kemampuan menghasilkan atau
mengembangkan suatu hal baru, yakni sesuatu yang berbeda dan tidak biasa.
Pendapat tersebut didukung oleh pandangan Hudgins (Maulana, 2011b) yang
mengungkapkan bahwa berpikir kreatif adalah proses berpikir yang produktif atau
menghasilkan suatu gagasan serta produk baru. melengkapi pendapat tersebut,
Munandar (1999) mengungkapkan bahwa hal-hal baru yang dihasilkan melalui
berpikir kreatif tidak selalu benar-benar baru, namun bisa berupa hasil kombinasi
dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Pandangan Munandar tersebut
menjelaskan bahwa berpikir kreatif tidak selalu berupa ide baru, tetapi bisa berupa
hasil modifikasi dari ide lama yang berasal dari pengalaman hidupnya.
Munandar (1999) memberikan pendapat lain berkenaan dengan berpikir
kreatif, yakni berpikir kreatif bisa dikatakan sebagai cara berpikir divergen.
Sehubungan dengan hal ini, DePorter dan Hernacki (2010) memandang orang
yang kreatif sebagai orang yang menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh
semua orang untuk membuat suatu lompatan yang memungkinkan orang tersebut
memandang sesuatu dengan cara-cara baru yang berbeda dan berguna. Sejalan
dengan hal tersebut, Maulana (2008, hlm.12) berpendapat bahwa kreativitas yang
dimiliki seseorang merupakan kemampuan untuk mengungkapkan hubungan-
hubungan baru, melihat suatu masalah dari sudut pandang yang baru serta
38
membentuk kombinasi baru dari beberapa konsep yang sudah dikuasai
sebelumnya, serta memunculkan solusi yang tidak biasa tetapi berguna.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa berpikir
kreatif merupakan suatu kemampuan menghasilkan ide-ide baru yang bermanfaat
dengan memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang, sehingga
diperoleh jawaban yang banyak dan berguna. Berkenaan dengan kemampuan
berpikir kreatif matematis, Munandar (1999, hlm. 51)mengungkapkan ciri-ciri
orang yang berpikir kreatif sebagai berikut,
a. memilikirasa ingin tahu yang tinggi,
b. tertarik terhadap tugas-tugas yang menantang,
c. berani mengambil risiko,
d. tidak mudah putus asa
e. menghargai keindahan
f. mempunyai rasa humor
g. ingin mencari pengalaman-pengalaman baru,
h. menghargai diri sendiri dan orang lain.
Ciri-ciri orang kreatif tersebut tidak akan muncul dengan sendirinya pada
seseorang tanpa adanya perlakuan yang merangsang timbulnya proses bepikir
kreatif. Hal ini sejalan dengan pendapat Munandar (1999) bahwa setiap orang
mempunyai bakat kreatif, namun jika tidak dipupuk kreativitas itu tidak akan
berkembang dengan baik. Sehubungan dengan hal tersebut, pembelajaran
matematika yang disajikan guru di dalam kelas seharusnya mampu
mengembangkan kreativitas peserta didik. Pengembangan kreativitas peserta didik
tidak akan bisa dilakukan jika alat ukur dan indikator dari kreativitas sendiri tidak
jelas. Untuk memperjelas indikator dari berpikir kreatif matematis, Maulana
(2011) menyebutkan bahwa indikator berpikir kreatif terdiri dari: kepekaan,
kelancaran, keluwesan, keterperincian, dan keaslian. Berikut ini penjelasan secara
rinci mengenai kelima indikator berpikir kreatif matematis yang dapat
dikembangkan di sekolah.
1. Kepekaan (Sensitivity)
Kepekaan merupakan aspek pertama yang harus dimiliki peserta didik
dalam proses berpikir kreatif. Kepekaan dapat diartikan sebagai kemampuan
untuk menyadari dan mengidentifikasi adanya suatu masalah. Kepekaan ini
merupakan dasar dari pemecahan masalah dalam matematika.
39
2. Kelancaran (Fluency)
Kelancaran merupakan suatu indikator berpikir kreatif yang berupa
kemampuan menyelesaikan suatu masalah dengan banyak jawaban dengan waktu
yang lebih efisien dari orang lain. Dalam hal ini kelancaran bisa dikembangkan
dengan meminta peserta didik untuk memberikan berbagai contoh berkaitan
dengan konsep matematis yang dipelajari. Munandar (1999) menjelaskan secara
terperinci kemampuan berpikir lancar sebagai berikut ini.
Tabel 2.3
IndikatorBerpikir Lancar
Definisi Perilaku peserta didik
a. Mengajukan banyak gagasan,
jawaban atau penyelesaian
masalah.
b. Memberikan banyak saran untuk
melakukan berbagai hal.
c. Selalu memikirkan lebih dari satu
jawaban.
a. Mengajukan banyak pertanyaan.
b. Menjawab dengan sejumlah
jawaban jika ditanya.
c. Mempunyai banyak gagasan
mengenai suatu masalah.
d. Lancar dalam mengungkap
gagasan-gagasannya.
e. Bekerja lebih cepat dan
melakukan lebih banyak dari
peserta didik lain.
f. Dapat menngetahui kesalahan
atau kekurangan pada suatu objek
atau situasi.
3. Keluwesan (Flexibility)
Keluwesan merupakan kemampuan untuk menemukan jawaban dengan
berbagai alternatif yang berbeda terkait aspek matematis yang berbeda.
Keluwesan juga dicirikan dengan kemampuan untuk mengubah arah berpikir
secara spontan, mampu mencari alternatif jawaban yang beragam jika menghadapi
hambatan dalam memecahkan masalah, dan berbagai ciri lainnya. keluwesan ini
merupakan suatu kemampuan yang sangat berguna dalam menyelesaikan suatu
masalah tidak biasa. Keterampilan menyelesaikan masalah tidak biasa ini bisa
40
dilakukan dengan membiasakan peserta didik menyelesaikan soal-soal unik yang
membutuhkan pola pikir yang berbeda dari kebanyakan orang. Munandar (1999)
mengungkapkan secara terperinci mengenai kemampuan berpikir luwes dalam
tabel berikut ini.
Tabel 2.4
Indikator Berpikir Luwes
Definisi Perilaku peserta didik
a. Menghasilkan gagasan jawaban,
atau pertanyaan yang bervariasi.
b. Melihat masalah dari sudut
pandang berbeda.
c. Memiliki banyak alternatif
dalam menyelesaikan masalah.
d. Mampu mengubah arah dan
pendekatan dalam berpikir.
a. Memberikan aneka penggunaan
yang tidak biasa terhadap suatu
objek.
b. Memiliki penafsiran yang
bermacam-macam terhadap suatu
gambar, cerita, atau masalah.
c. Menerapkan suatu konsep dengan
cara berbeda.
d. Memberikan beragam pertimbangan
terhadap situasi yang diberikan
orang lain.
e. Memiliki pendapat yang seringkali
berbeda dengan mayoritas
kelompoknya.
f. Memikirkan banyak cara untuk
menyelesaikan suatu permasalahan.
g. Menggolongkan hal-hal menurut
kategori yang berbeda-beda.
h. Mampu mengubah arah berpikir
secara spontan.
4. Keterperincian (Elaboration)
Keterperincian merupakan kemampuan menjelaskan secara terperinci,
runtut, dan koheren terhadap persoalan matematis yang dihadapinya. Peserta didik
41
yang memiliki kemampuan ini akan menjawab secara terperinci dan detail
permasalahan matematika yang dihadapinya. Keterperincian ini berkaitan erat
dengan ketelitian. Munandar (1999) memberi penjelasan mengenai keterperincian
sebagai berikut ini.
Tabel 2.5
Indikator Keterperincian (Elaboration)
Definisi Perilaku peserta didik
a. Mampu mengembangkan suatu
gagasan atau produk.
b. Menambah atau merinci detail-
detail dari suatu objek, gagasan,
atau situasi sehingga menjadi
sesuatu yang lebih menarik.
a. Mencari arti terdalam terhadap
jawaban atau penyelesaian
masalah dengan menggunakan
langkah-langkah terperinci.
b. Mengembangkan atau
memperkaya gagasan yang sudah
ada.
c. Menguji detail-detail untuk
melihat arah yang akan ditempuh
dalam menyelesaikan masalah.
d. Memiliki rasa keindahan yang
kuat, sehingga tidak cepat puas
dengan penampilan yang biasa-
biasa.
e. Menambah detail terhadap
gambarnya sendiri atau gambar
orang lain.
5. Keaslian (Originality)
Keaslian merupakan kemampuan membentuk kombinasi unik yang mampu
mengungkapkan dirinya secara asli. Keterampilan ini dapat terlihat dari
kemampuan peserta didik dalam memikirkan sesuatu yang tidak terpikirkan oleh
orang lain. Aspek keaslian ini seringkali disebut-sebut sebagai ruh dari
kemampuan berpikir kreatif, karena pada dasarnya kreativitas adalah suatu
kemampuan menciptakan kombinasi unik dan berbeda, sekaligus berguna.
42
Seseorang yang memiliki kepercayaan diri tinggi untuk tampil menggunakan cara-
cara yang unik dan baru dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi, dapat
dikatakan sebagai seorang yang memiliki indikator keaslian. Sehubungan dengan
indikator keaslian ini, Munandar (1999) mengemukakan penjelasan yang rinci
mengenai indikator keaslian dalam tabel indikator keaslian berikut ini.
Tabel 2.6
Indikator Keaslian (Originality)
Definisi Perilaku peserta didik
a. Mampu menciptakan
ungkapan baru yang unik.
b. Memikirkan cara yang tidak
lazim untuk mengungkapkan
diri.
c. Mampu membuat kombinasi
yang tidak biasa.
a. Memikirkan masalah yang tidak
terpikirkan oleh orang lain.
b. Mempertanyakan cara lama untuk
menghasilkan cara baru.
c. Memilih asimetri dalam
menggambar atau membuat desain.
d. Memiliki cara bepikir lain dari
kebanyakan orang.
e. Mencari pendekatan baru
f. Mendengarkan gagasan untuk
menemukan penyelesaian baru.
g. Lebih senang mensintesis daripada
menganalisis situasi.
Indikator berpikir kreatif yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah
kepekaan, keaslian, dan keterperincian. Dipilihnya ketiga indikator tersebut
berdasar pada pendapat Sabandar (2012) yang mengatakan bahwa “Berpikir
kreatif sesungguhnya adalah suatu kemampuan berpikir yang berawal dari adanya
masalah yang ingin atau harus diselesaikan. Selanjutnya ada unsur originalitas
gagasan dalam benak seseorang terkait dengan apa yang teridentifikasi”. Dari
pendapat tersebut dijelaskan bahwa kemampuan berpikir kreatif yang utama
adalah kepekaan dan keaslian, sementara itu tiga indikator lainnya merupakan
pengembangan dari dua indikator tersebut. Indikator keterperician dibahas dalam
penelitian ini adalah untuk membiasakan peserta didik untuk menyelesaikan
43
masalah dengan langkah yang terperinci. Hal ini bertujuan untuk mendidik peserta
didik untuk bersikap teliti dan terperinci dalam menyelesaikan masalah. Ketelitian
ini merupakan modal utama bagi peserta didik dalam menyelesaikan masalah-
masalah matematika.
Kemampuan berpikir kreatif merupakan kemampuan berpikir yang bisa
dikembangkan melalui berbagai strategi beajar. Menurut Santrock (2007) ada lima
strategi yang dapat digunakan untuk mengembangkan kreativitas. Strategi tersebut
dapat dikembangkan dalam pembelajaran aktif di dalam kelas. Adapun strategi
yang dapat digunakan untuk mengembangkan kreativitas peserta didik adalah
sebagai berikut ini.
1. Brainstroming
Brainstroming adalah teknik memunculkan ide kreatif dari peserta didik.
Dengan menggunakan teknik ini guru mengajak peserta didik untuk ikut terlibat
memunculkan ide-ide kreatif yang dimilikinya, mengomentari ide peserta didik
lain, dan mengatakan secara spontan apa yang ada dalam pikirannya. Teknik
brainstorming memungkinkan peserta didik berani menyampaikan idenya tanpa
merasa takut salah.
2. Menyediakan Lingkungan Kreatif
Lingkungan kreatif di sini dapat diartikan sebagai lingkungan belajar yang
menyediakan aktivitas-aktivitas menantang bagi peserta didik. Guru sebagai
fasilitator pembelajar bertugas untuk memfasilitasi terciptanya lingkungan belajar
kreatif untuk peserta didiknya.
3. Jangan Mengontrol Terlalu Berlebihan
Kontrol yang berlebihan terhadap proses belajar yang diikuti peserta didik
akan mengancam kreativitas peserta didik. Oleh karena itu, berbagai tindakan
yang terlalu menekan peserta didik dalam belajar. Alangkah bijaknya jika guru
lebih menempatkan dirinya sebagai seorang yang menjadi jembatan bagi
pengetahuan pesrta didik daripada sebagai seorang hakim yang memutuskan benar
atau salahnya tindakan yang dilakukan peserta didik.
4. Tumbuhkan Motivasi Internal
Motivasi internal diartikan sebagai dorongan yang muncul dari dalam diri
peserta didik. Motivasi ini dapat menjadi motor penggerak kreativitas peserta
44
didik yang lebih besar daripada sekadar motivasi yang didapatkan peserta didik
secara eksternal. Motivasi internal ini dapat berupa kepuasan peserta didik yang
diperolehnya ketika ia mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi atau ketika
ia memperoleh pengetahuan baru.
5. Kenalkan Peserta Didik dengan Orang-orang Kreatif
Mengenalkan tokoh-tokoh kreatif kepada peserta didik dapat menjadi
strategi yang tepat untuk menumbuhkan dorongan bagi peserta didik untuk
menjadi orang kreatif. Pengenalan tokoh kreatif ini dapat dilakukan secara
langsung, yakni dengan mempertemukan peserta didik dengan orang kreatif yang
ada di lingkungan sekolah. Orang-oarang kreatif itu bisa seorang penulis,
budayawan, ilmuwan atau tokoh penting lainnya yang dapat ditemukan di
lingkungan sekitar sekolah atau masyarakat tempat tinggal peserta didik.
J. Kemandirian Belajar
Kemandirian merupakan salahsatu aspek penting bagi setiap individu
dalam menjalani kehidupannya. Seseorang yang memiliki kemandirian relatif
lebih mampu menghadapi segala permasalahan yang ada dalam hidupnya.
Seseorang yang memiliki kemandirian tidak bergantung pada orang lain dan akan
selalu menghadapi dan memecahkan masalah yang ada.
Antonius (Maulana, 2013) memiliki pandangan bahwa seorang yang
mandiri akan terlihat mau dan mampu dalam mewujudkan kehendak dan
keinginannya yang terlihat dari tindakan nyata sebagai upaya memenuhi
kebutuhannya. Sementara itu, Dorst (Maulana, 2013) menyatakan bahwa
kemandirian adalah kemampuan seseorang dalam menyelesaikan masalah-
masalah yang dihadapinya dengan sikap yang dewasa. Sehubungan dengan
pendapat sebelumnya, Maulana (2013, hlm. 35) mengatakan bahwa,
“Kemandirian adalah kemampuan seseorang dalam mewujudkan kehendak dan
keinginannya secara nyata dengan tidak bergantung pada orang lain”.
Memperhatikan definisi kemandirian di atas, Montalvo dan Torres
(Sugandi, 2013) mengungkapkan bahwa kemandirian belajar adalah kombinasi
antara keterampilan dan kemauan seseorang. Sehubungan dengan hal tersebut,
Hargis (Sugadi, 2013) memberi pandangan bahwa kemandirian belajar bukan
merupakan kemampuan mental atau keterampilan akademik tertentu, tetapi
45
merupakan proses pengarahan diri dalam mentrasformasi kemampuan mental ke
dalam keterampilan akademik tertentu. Melihat definisi tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa kemandirian belajar merupakan suatu hal yang penting dalam
pembelajaran.
Sumarno (Sugandi, 2013) mengatakan bahwa karateristik dari orang yang
memiliki kemandirian belajar adalah sebagai berikut: 1) merancang tujuan
belajarnya sendiri sesuai dengan apa yang ia butuhkan; 2) melaksanakan dan
memantau kemajuan belajarnya sendiri; serta 3) membandingkan hasil belajarnya
dengan standar tertentu. Sehubungan dengan ketiga karakteristik kemandirian
belajar tersebut, Maemun (2008) mengembangkan indikator kemandirian belajar
sebagai berikut ini.
1) Bebas, artinya peserta didik memiliki kebebasan dalam menentukan apa yang
ia inginkan. Indikator ini akan sulit diukur jika guru tidak mampu
menciptakan lingkungan belajar yang bebas bagi peserta didik.
2) Aktif, diartikan sebagai suatu sifat mau berusaha keras menyelesaikan tugas
yang diamanahkan padanya.
3) Inisiatif, dapat diartikan sebagai motivasi internal yang membuat peserta
didik memiliki kemauan yang tinggi untuk melakukan sesuatu.
4) Pengendalian diri, diartikan sebagai suatu sikap menunjukkan kedewasaan
dan mau berbuat sesuatu tanpa menunggu perintah.
5) Kemantapan diri, dapat diartikan sebagai kepercayaan pada kemampuan
sendiri.
K. Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian ini didasarkan pada beberapa penelitian terdahulu dalam
berbagai kajian tentang PBL, kemampuan kreatif matematis, dan kemandirian
belajar. Berikut ini adalah hasil temuan penelitian yang memiliki relevansi dengan
penelitian yang dilakukan.
Fachrurazi (2011) telah melakukan penelitian dengan judul “Penerapan
Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis
dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar”. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan
46
komunikasi matematis antara peseta didik yang belajar dengan menggunakan PBL
dengan peserta didik yang belajar dengan pembelajaran yang konvensional.
Maulana (2013) melakukan studi deskriptif terhadap guru SD di enam
Kabupaten di Jawa Barat. Dalam penelitian ini digambarkan kemandirian belajar
dari guru-guru sekolah dasar yang berasal dari enam Kabupaten di Jawa Barat.
Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa dalam dunia pendidikan yang
setiap hari bergelut dengan kegiatan belajar saja, masih ada guru yang belum
mandiri dalam belajar. Hal ini menunjukkan bahwa kemandirian belajar
merupakan suatu sikap yang tidak bisa muncul secara tiba-tiba, melainkan sikap
yang dibentuk dan dibiasakan sehingga menjadi sebuah karakter.
Hannah (2014) pernah melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh
Pendekatan Kontekstual Mind Map terhadap Peningkatan Kemampuan Berpikir
Kreatif Matematis Siswa Sekolah Dasar”. Penelitian yang dilaksanakan di
Kecamatan Leuwimunding ini menunjukkan bahwa pembelajaran dengan
pendekatan kontekstual berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kreatif
matematis peserta didik. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa pendekatan
kontekstual memiliki pengaruh yang signifikan dalam meningkatkan kemampuan
berpikir kreatif peserta didik.
Isrok’atun dan Tiurlina (2014) telah melakukan penelitian dengan judul
“Situation-Based Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Creative Problem
Solving Matematika Siswa SD”. Penelitian ini menunjukkan bahwa Situation-
Based Learning(SBL)dapat meningkatkan kemampuan creative problem solving
(CPS)lebih baik daripada pembelajaran dengan pendekatan konvensional. Hal ini
terlihat dari peningkatan kemampuan CPS matematis sebesar 0,24 pada SBL dan
peningkatan sebesar 0,12 pada pembelajaran konvensional.
Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan peneliti terdahulu, dapat
diketahui bahwa pembelajaran dengan menggunakan PBL memungkinkan
tumbuhnya kemampuan menalar dan berpikir tingkat tinggi peserta didik peserta
didik. Hal ini terlihat dari beberapa penelitian tersebut di atas yang merupakan
penelitian terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis dan kemampuan
berpikir tingkat tinggi lainnya. Dari penelitian di atas pula disinggung bahwa
kemandirian belajar bukanlah suatu hal yang tumbuh tanpa dikembangkan. Oleh
47
karena itu, dapat dianggap bahwa pembelajaran dengan pembelajaran berbasis
masalah dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis dan
kemandirian belajar peserta didik pada materi perbandingan dan skala. Hal
tersebut yang menjadi dasar dibuatnya penelitian ini.
L. Hipotesis
Rumusan hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Pembelajaran matematika dengan pendekatan konvensional dapat
meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis peserta didik pada
materi perbandingan dan skala.
2. Pembelajaran matematika dengan pendekatan PBLdapat meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif matematis peserta didik pada materi
perbandingan dan skala.
3. Pembelajaran matematika dengan pendekatan PBL lebih baik daripada
pembelajaran konvensional dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir
kreatif matematis pada materi perbandingan dan skala.
4. Pembelajaran matematika dengan pendekatan konvensionaldapat
meningkatkan kemandirian belajar peserta didik pada materi perbandingan
dan skala.
5. Pembelajaran matematika dengan pendekatan PBLdapat meningkatkan
kemandirian belajar peserta didik pada materi perbandingan dan skala.
6. Pembelajaran matematika dengan pendekatan PBLlebih baik daripada
pembelajaran konvensional dalam upaya meningkatkan kemandirian belajar
pada materi perbandingan dan skala.
7. Ada hubungan positif yang signifikan antara kemandirian belajar dengan
kemampuan berpikir kreatif matematis peserta didik.