bab ii telaah literatur dan pengembangan …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1858/8/bab ii.pdfmetode...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. Landasan Teori
1.1.1. Teori Keagenan (Agency Theory)
Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak di mana satu atau lebih
orang yang biasanya sebagai pemilik (principal) memerintah orang lain
(agent) untuk melakukan suatu jasa atas nama principal serta memberi
wewenang kepada agent untuk membuat keputusan yang terbaik bagi
principal (Jensen dan Meckling, 1976). Menurut teori keagenan, hubungan
yang harmonis antara pemilik dan manajer sebagai agent pada hakekatnya
sukar tercipta karena adanya kepentingan yang saling bertentangan. Konflik
kepentingan dapat terjadi karena terdapat kemungkinan manajer tidak selalu
berbuat demi kepentingan pemilik.
Dibandingkan dengan pemilik perusahaan, manajer mengetahui lebih
banyak informasi mendalam mengenai perusahaan dan prospek - prospek apa
saja yang dimiliki perusahaan di masa mendatang. Untuk itu, manajer
berkewajiban memberikan laporan mengenai kondisi perusahaan kepada
pemilik dalam bentuk laporan keuangan. Laporan keuangan juga menjadi
sangat penting bagi pihak luar manajemen, misalnya investor, karena pihak ini
berada dalam kondisi ketidakpastian informasi yang paling besar mengenai
kondisi perusahaan (asimetri informasi).
12
Asimetri informasi dalam perusahaan menimbulkan kemungkinan
munculnya tindakan oportunistik oleh manajer yang ingin memaksimalkan
kepentingan pribadinya dan bukan memaksimalkan nilai perusahaan.
Perbedaan informasi yang dimiliki atau asimetri informasi antara manajer dan
pemilik perusahaan dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk
melakukan manajemen laba dengan maksud menyesatkan pemilik perusahaan
mengenai kinerja ekonomi perusahaan.
1.1.2. Teori Akuntansi Positif
Teori akuntansi positif dikemukakan oleh Watts dan Zimmerman,
(1986) dengan mengusulkan tiga hipotesis yang melatarbelakangi mengapa
manajer melakukan menajemen laba, yaitu (1) hipotesis rencana bonus (bonus
plan hypothesis); (2) hipotesis perjanjian hutang (debt covenant hypothesis);
dan (3) hipotesis biaya politik (political cost hypothesis).
Hipotesis rencana bonus membahas tentang peran akuntansi dalam
menentukan rencana kompensasi manajemen. Selain gaji, manajer sering
diberikan kompensasi berdasarkan kinerja manajemen. Dalam hipotesis
rencana bonus, ditegaskan bahwa manajer perusahaan lebih cenderung untuk
memilih prosedur – prosedur akuntansi yang menggeser laba yang dilaporkan
dari periode masa depan ke periode sekarang. Secara empiris hipotesis ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Healy (1985), Guidry et al.
13
(1999), dan Holthausen et al. (1995) yang menyatakan bahwa manajemen
melakukan manajemen laba untuk kepentingan bonusnya.
Hipotesis perjanjian hutang mempostulatkan adanya dorongan
manajemen laba yang disebabkan oleh perjanjian hutang. Kreditur – kreditur
perusahaan mengadakan pembatasan pembayaran deviden, pembelian kembali
saham, dan pengeluaran hutang tambahan untuk menjamin pembayaran
kembali pokok dan bunga hutang (Watts dan Zimmerman, 1986). Pembatasan
ini sering digambarkan dalam nilai akuntansi dan rasio – rasio, seperti tingkat
modal kerja, interest coverage, dan net worth.
Oleh karena itu, hipotesis perjanjian hutang menyatakan bahwa pihak
internal perusahaan dengan tingkat rasio hutang terhadap modal yang tinggi
cenderung melakukan pemilihan metode – metode dan kebijakan akuntansi
yang meningkatkan laba yang dilaporkan untuk menghindari kelalaian teknik
perjanjian hutang. Sejumlah penelitian telah menguji apakah perusahaan yang
telah melakukan perjanjian hutang mendorong untuk mengelola labanya.
DeFond dan Jiambalvo (1994) meneliti perusahaan yang melakukan
peningkatan pendapatan akrual (income-increasing accrual) sebelum tahun
pelanggaran perjanjian hutang. DeFond dan Jiambalvo (1994)
menginterpretasikan ini sebagai bukti bahwa perusahaan mencoba menunda
pelanggaran hutang selama mungkin. Sweeney (1994) menemukan bahwa
biaya – biaya kelalaian yang ditimbulkan oleh perjanjian – perjanjian dan
14
fleksibilitas akuntansi yang tersedia untuk manajer adalah determinan –
determinan dari respon akuntansi oleh manajer yang penting.
Hipotesis terakhir dari teori akuntansi positif adalah hipotesis biaya
politik yang menguji peran pemilihan akuntansi dalam proses politik. Proses
politik membebankan biaya pada perusahaan atau industri yang meyakini
mendatangkan keuntungan bagi publik dan mendatangkan kelebihan laba.
Penentuan bahwa laba berlebihan adalah mungkin akibat tekanan terhadap
perusahaan untuk menurunkan harga dan menghadapi regulasi yang ketat.
Oleh sebab itu, pihak internal perusahaan terdorong untuk memilih metode –
metode akuntansi yang berhubungan dengan akun diskresioner untuk
mengurangi laba yang dilaporkan dan lebih rendah resiko politiknya. Jones
(1991), menemukan bahwa perusahaan menunda income-increasing accrual
untuk tujuan keringanan impor, dengan tujuan mengelola kerugian provisi
hutang.
1.1.3. Teori Sinyal (Signalling Theory)
Teori Sinyal pertama kali dikembangkan oleh Ross (1977) dengan
mengungkapkan bahwa laporan keuangan yang baik merupakan sinyal atau
tanda bahwa perusahaan juga telah beroperasi dengan baik. Teori sinyal
menjelaskan bagaimana seharusnya sinyal keberhasilan atau kegagalan
manajer disampaikan kepada principal. Sesuai dengan teori sinyal, asimetri
informasi yang terjadi di pasar dapat dikurangi dengan memberikan sinyal
15
kepada para pelaku pasar modal. Bewley dan Magness (2008) menyatakan
bahwa premis dasar dari teori sinyal adalah bahwa perusahaan yang baik ingin
memberikan sinyal yang bernilai kepada para stakeholder.
Pelaporan keuangan dapat dianggap sebagai sinyal yang menunjukkan
kinerja agent (Scott, 2014). Asimetri informasi dalam pasar modal
menyebabkan perusahaan dapat menggunakan pelaporan keuangan untuk
memberikan sinyal kepada investor bahwa mereka memiliki informasi yang
favourable. Menyediakan informasi tambahan mengenai kegiatan perusahaan
sekaligus sebagai sarana untuk memberikan sinyal kepada stakeholder
mengenai hal – hal lain, misalnya memberikan sinyal tentang kepedulian
perusahaan terhadap wilayah sekitarnya, atau tanda bahwa perusahaan tidak
hanya menyediakan informasi berdasarkan ketentuan peraturan tetapi
menyediakan informasi yang lebih bagi para stakeholders. Tanda – tanda
(sinyal) ini diharapkan dapat diterima secara positif oleh pasar sehingga
mampu mempengaruhi kinerja pasar perusahaan yang tercermin dalam harga
pasar saham.
Pengungkapan kegiatan CSR adalah sinyal yang baik bagi investor
dan stakeholder lainnya bahwa perusahaan aktif melakukan kegiatan yang
tidak hanya berorientasi pada bisnis dan nilai pasar perusahaan berada dalam
posisi yang baik. Kinerja sosial perusahaan yang baik membantu perusahaan
untuk memperoleh reputasi dari pasar modal dan pasar utang. Pengungkapan
CSR yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan memiliki komitmen yang
16
tidak hanya fokus pada pencapaian keuangan saja tetapi juga peduli terhadap
dampak yang ditimbulkan bagi karyawan, sosial dan lingkungan (Hong dan
Andersen, 2011).
Fama dan Jensen (1983) berargumen bahwa komisaris independen
dibayar untuk melakukan tugas pemantauan, bukan untuk berkolusi dengan
CEO demi mendapatkan atau mengambil alih kekayaan shareholder. Dewan
komisaris yang memiliki anggota independen dipercaya dapat melayani
shareholder dengan lebih baik karena kualitas pemantauan yang lebih tinggi
(Wu dan Li, 2015). Dengan demikian, informasi mengenai keberadaan
komisaris independen dalam suatu perusahaan diharapkan dapat menjadi
sinyal bahwa perusahaan menjunjung tinggi kesejahteraan shareholder.
1.1.4. Teori Stakeholder
Teori stakeholder pertama kali digagas oleh R. Edward Freeman pada
tahun 1984 dan menyatakan bahwa teori stakeholder adalah teori mengenai
organisasional manajemen dan etika bisnis yang membahas moral dan nilai
dalam mengatur organisasi. Dinyatakan dalam teori stakeholder bahwa
perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri
namun juga harus mampu memberikan manfaat bagi para stakeholder-nya.
Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh
dukungan yang diberikan oleh stakeholder perusahaan tersebut. Asumsi teori
stakeholder dibangun atas dasar pernyataan bahwa perusahaan berkembang
17
menjadi sangat besar dan menyebabkan masyarakat menjadi sangat terkait
dan memerhatikan perusahaan, sehingga perusahaan perlu menunjukkan
akuntabilitas maupun responsibilitas secara lebih luas dan tidak terbatas hanya
kepada pemegang saham.
Adanya teori stakeholder ini memberikan landasan bahwa suatu
perusahaan harus mampu memberikan manfaat bagi stakeholder-nya. Manfaat
tersebut dapat diberikan dengan cara menerapkan program corporate social
responsibility (CSR). Adanya program tersebut pada perusahaan diharapkan
akan meningkatkan kesejahteraan bagi karyawan, pelanggan, dan masyarakat
lokal. Sehingga diharapkan terjalin hubungan yang baik antara perusahaan
dengan lingkungan sekitar.
1.1.5. Corporate Social Responsibility
The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD)
mendefinisikan CSR sebagai komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi
bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerjasama dengan para
karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka, komunitas setempat
maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas kehidupan dengan
cara bermanfaat, baik dari segi bisnis maupun untuk pembangunan. The
Organization Business for Social Responsibility mendeskripsikan CSR
sebagai menjalankan bisnis dengan cara yang memenuhi atau melampaui
etika, hukum, komersial, dan harapan publik bahwa masyarakat memiliki
18
bisnis. Kedua definisi tersebut merupakan difinisi secara luas karena
mencakup pengambilan keputusan bisnis yang terkait dengan nilai etika,
persyaratan hukum, serta penghargaan terhadap perseorangan, masyarakat,
dan lingkungan.
Kotler dan Lee (2006) mendefinisikan CSR sebagai komitmen
perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui praktik
bisnis diskresioner dan kontribusi sumber daya perusahaan. Elemen kunci dari
definisi ini adalah kata diskresioner yang bukan mengacu pada aktivitas bisnis
yang dilakukan karena adanya peraturan hukum tertentu atau karena
diharapkan dilakukan karena mengandung moral dan alasan etika. Aktivitas
CSR yang dimaksud adalah aktivitas yang dipilih dan diterapkan karena
perusahaan berkomitmen secara sukarela untuk melakukannya. Sementara itu,
istilah kesejahteraan masyarakat yang dimaksud adalah baik kondisi makhluk
hidup maupun masalah lingkungan.
Prior et al. (2008) menyatakan bahwa CSR adalah serangkaian
kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan hubungan dengan para
pemangku kepentingan perusahaan dan aktivitas lingkungan. CSR dijalankan
secara terintegrasi dengan bisnis perusahaan, memperhatikan kepentingan
stakeholders dengan harapan memberikan manfaat atau kesejahteraaan bagi
masyarakat (Wiryawan dan Budiantara, 2011).
Penelitian Caroll (1979) merupakan penelitian awal terkait CSR yang
dalam penelitiannya tersebut, disebutkan bahwa tanggung jawab sosial dalam
19
bisnis melibatkan harapan masyarakat terhadap organisasi dalam bidang
ekonomi, hukum, etika, dan aspek discretionary (filantropi) pada waktu yang
bersamaan. Kemudian dalam penelitian selanjutnya, Caroll (1991) menyajikan
Piramida CSR yang berisikan dimensi filantropi, etika, hukum, dan ekonomi
(Gambar 2.1.). Dimensi ekonomi ditempatkan pada dasar piramida karena
sebagai pendukung bagi dimensi yang lain, dan dengan demikian
menegaskan bahwa tanpa dimensi ekonomi, ketiga dimensi lain menjadi tidak
kuat.
Gambar 2.1. Piramida Corporate Social Responsibility
Tanggung Jawab Filantropi
Menjadi perusahaan yang baik. Menyumbangkan sumber daya ke komunitas.
Meningkatkan kualitas hidup.
Tanggung Jawab Etika
Beretika. Kewajiban untuk melakukan hal yang benar dan adil. Menghindari aktivitas yang
merugikan.
Tanggung Jawab Hukum
Hukum merupakan susunan sistem masyarakat atas apa yang benar dan salah. Mematuhi hukum. Bermain sesuai aturan permainan.
Tanggung Jawab Etika
Menjadi untung.
Dasar bagi tanggung jawab yang lain.
20
Schwartz dan Caroll (2003), mengubah Piramida CSR menggunakan
diagram Venn untuk menjelaskan model utama CSR menjadi tiga area
tanggung jawab: ekonomi, hukum, etika. Secara umum, kategori domain ini
didefinisikan dengan cara yang konsisten dengan model sebelumnya, kecuali
tanggung jawab filantropi yang dimasukkan ke dalam area etika dan/atau
ekonomi karena sering tumpang tindih dengan kedua area tersebut. Model
terbaru ini (Gambar 2.2.) menegaskan bahwa semua area penting dan tidak
ada yang lebih kuat bagi satu sama lain.
Gambar 2.2. Model Three-Domain Corporate Social Responsibility
21
Menurut Nugraeni (2011), konsep CSR melibatkan tanggung jawab
kemitraan antara pemerintah, lembaga sumber daya masyarakat, serta
komunitas setempat (lokal). Kemitraan ini tidaklah bersifat pasif dan statis
dan merupakan tanggung jawab secara sosial di antara para stakeholder.
Konsep pertanggungjawaban sosial dapat dilihat dari dua pendekatan yaitu
ekonomi dan sosio-ekonomi. Dalam pendekatan ekonomi, Ferreira et al.
(2010) mengungkapkan pertanggungjawaban sosial merupakan kegiatan yang
dilakukan perusahaan untuk memenuhi kepentingan pemegang saham atau
pemilik, memaksimalkan laba dan memnuhi kewajiban hukum sehingga
dalam pendekatan ekonomi jelas bahwa tujuan CSR semata – mata demi
kepentingan ekonomi. Kepentingan ekonomi yang dapat menghasilkan laba
yang lebih besar bagi perusahaan dan menghindari sanksi hukum. Perusahaan
termotivasi untuk meningkatkan pengungkapan CSR dengan tujuan untuk
meningkatkan laba yang dilaporkan. Prior et al. (2008) menemukan bahwa
perusahaan melakukan pengungkapan CSR yang tinggi justru untuk menutupi
tindakan manajemen laba yang dilakukan dan untuk membentuk suatu citra
positif dimata pemegang saham.
Konsep pertanggungjawaban sosial dalam pendekatan sosio-ekonomi
lebih diperluas, konsep ini memasukkan peningkatan kesejahteraan sosial
sebagai salah satu tujuan yang relevan bagi sebuah perusahaan. Pendekatan
sosio-ekonomi berpijak pada pemikiran bahwa keputusan bisnis dan hasilnya,
termasuk dampak positif dan negatifnya yang tidak hanya dirasakan oleh
22
perusahaan dan stakeholder tetapi juga masyarakat secara lebih luas,
perusahaan yang memiliki sudut pandang pada teori sosio-politis akan bersdia
untuk mengeluarkan sumberdaya yang cukup besar untuk memenuhi
ekspektasi etis dari pemegang saham (Ferreira et al., 2010).
Menurut Kotler dan Lee (2006), terdapat enam jenis aktivitas program
CSR yang umum dilakukan oleh perusahaan, yaitu sebagai berikut:
1. Melakukan aktivitas kegiatan sosial (cause promotions).
Pada aktivitas CSR ini perusahaan menyediakan dana atau sumber daya
lainnya yang dimiliki perusahaan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat terhadap suatu kegiatan sosial atau untuk mendukung
pengumpulan dana, partisipasi dari masyarakat atau perekrutan tenaga
sukarela untuk suatu kegiatan tertentu. Fokus utama dari kategori
aktivitas CSR ini adalah komunikasi persuasif, dengan tujuan
menciptakan kesadaran masyarakat terhadap suatu masalah sosial.
2. Pemasaran terkait kegiatan sosial (cause related marketing).
Pada aktivitas CSR ini perusahaan memiliki komitmen untuk
menyumbangkan persentase tertentu dari penghasilannnya untuk suatu
kegiatan sosial berdasarkan besarnya penjualan produk. Kegiatan ini
biasanya didasarkan kepada penjualan produk tertentu, untuk jangka
waktu tertentu serta untuk aktivitas derma tertentu.
23
3. Kegiatan filantropis perusahaan (corporate philanthropy).
Pada aktivitas CSR ini perusahaan memberikan sumbangan langsung
dalam bentuk derma untuk kalangan masyarakat tertentu. Sumbangan
tersebut biasanya berbentuk pemberian uang secara tunai, bingkisan atau
paket bantuan atau pelayanan secara gratis. Kegiatan filantropi biasanya
berkaitan dengan berbagai kegiatan sosial yang menjadi prioritas
perhatian perusahaan.
4. Pekerja sosial kemasyarakatan secara sukarela (community
volunteering).
Pada aktivitas CSR ini perusahaan mendukung dan mendorong para
karyawan, rekan pedagang eceran atau para pemegang franchise agar
menyisihkan waktu mereka secara sukarela guna membantu organisasi-
organisasi masyarakat lokal maupun masyarakat yang menjadi sasaran
program.
5. Pemasaran aktivitas sosial perusahaan (corporate societal
marketing).
Pada aktivitas CSR ini perusahaan mengembangkan dan melaksanakan
kampanye untuk mengubah perilaku masyarakat dengan tujuan
meningkatkan kesehatan dan keselamatan publik, menjaga kelestarian
lingkungan hidup serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Corporate social marketing ini dilakukan perusahaan dengan tujuan
untuk mengubah perilaku masyarakat (behavioral changes) dalam suatu
24
isu tertentu. Fokus dari aktivitas kategori ini adalah untuk mendorong
perubahan perilaku yang berkaitan dengan isu – isu kesehatan,
perlindungan terhadap kecelakaan, lingkungan, dan keterlibatan
masyarakat.
6. Praktik bisnis yang mempunyai tanggung jawab sosial (socially
responsible business practice).
Pada aktivitas CSR ini perusahaan melaksanakan aktivitas bisnis
melampaui aktivitas bisnis yang diwajibkan oleh hukum serta
melaksanakan investasi yang mendukung kegiatan sosial dengan tujuan
meningkatkan kesejahteraan komunitas dan memelihara lingkungan
hidup. Komunitas dalam hal ini mencakup karyawan perusahaan,
pemasok, distributor, organisasi-organisasi nirlaba yang menjadi mitra
perusahaan serta masyarakat secara umum. Sedangkan kesejahteraan
dalam hal ini mencakup didalamnya aspek-aspek kesehatan,
keselamatan, pemenuhan kebutuhan psikologis dan emosional.
1.1.6. Komisaris Independen
Komisaris (dalam jumlah jamak disebut dewan komisaris) adalah
sekelompok orang yang dipilih atau ditunjuk untuk mengawasi kegiatan suatu
perusahaan atau organisasi. Jaggi (2009) menyatakan bahwa dewan komisaris
merupakan inti dari good corporate governace. Dewan komisaris bertugas
untuk memonitor dewan direksi terkait dengan pelaksanaan utama dewan
25
direksi dalam menjalankan kegiatan perusahaan. Dewan komisaris bertindak
untuk menyelaraskan pendapat agar tidak terjadi perselisihan antar manajer
dan tentunya mengontrol pelaporan keuangan untuk memastikan tidak ada
monopoli kepentingan sehingga tidak menimbulkan manajemen laba.
Dewan komisaris akan terdiri dari komisaris (insider commissioner)
dan komisaris independen. Komisaris merupakan seseorang yang juga
merupakan pegawai, petugas, pemegang saham utama, atau yang
berhubungan dengan organisasi (perusahaan) tersebut. Komisaris mewakili
kepentingan dari para pemegang saham dan terkadang memiliki pengetahuan
yang dalam atas kinerja, keuangan, dan penguasaan pangsa pasar dari
organisasi tersebut.
Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak
terafiliasi dengan direksi, anggota dewan komisaris lainnya, dan pemegang
saham pengendali ((Johnson et al., 1996). Mereka harus bebas dari hubungan
bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya
untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan
perusahaan. Istilah dan keberadaan komisaris independen muncul setelah
terbitnya surat edaran Bapepam Nomor: SE03/PM/2000 dan Peraturan
Pencatatan Efek Nomor 339/BEJ/07-2001 tanggal 21 Juli 2001. Menurut
ketentuan tersebut, perusahaan publik yang tercatat di Bursa wajib memiliki
beberapa anggota dewan komisaris yang memenuhi kualifikasi sebagai
komisaris independen.
26
Komisaris independen diangkat berdasarkan keputusan Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS). Komisaris independen diangkat karena
pengalamannya dianggap berguna bagi organisasi tersebut. Mereka bisa
mengawasi insider komisaris dan mengawasi bagaimana organisasi tersebut
dijalankan. Komisaris luar biasanya berguna dalam melerai sengketa antara
insider komisaris, atau antara pemegang saham dan dewan komisaris.
Komisaris luar dianggap berguna karena mereka bisa bersikap objektif dan
memiliki risiko kecil dalam conflict of interest.
Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa outside director (dewan
komisaris independen) dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan
yang terjadi diantara para manajer internal dan pemilik perusahaan serta dapat
mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada
manajemen. Dewan komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk
melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta perusahaan yang memiliki good
corporate governace.
Hasil penelitan Dechow et al. (1996) dan Midiastuty dan Machfoedz
(2003), memberikan simpulan bahwa perusahaan yang memiliki proporsi
anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dapat
mempengaruhi tindakan manajemen laba. Anggota dewan komisaris dari luar
dapat meningkatkan tindakan pengawasan, hal ini juga akan berhubungan
dengan semakin rendahnya penggunaan discretionary accruals.
27
1.1.7. Manajemen Laba
Healy dan Wahlen (1999) menjelaskan bahwa manajemen laba dapat
terjadi ketika manajer menggunakan judgment dalam pelaporan keuangan dan
penyusunan transaksi untuk mengubah laporan keuangan dengan maksud
menyesatkan beberapa stakeholder mengenai informasi kinerja ekonomi
perusahaan atau mempengaruhi hasil kontrak yang bergantung pada angka
akuntansi yang dilaporkan. Schipper (1989) menyebutkan dalam
penelitiannya bahwa manajemen laba adalah suatu intervensi dengan tujuan
tertentu dalam proses pelaporan keuangan eksternal, untuk memperoleh
beberapa keuntungan privat. Sementara itu, Scott (2014) mendefinisikan
manajemen laba sebagai tindakan yang dilakukan melalui pilihan kebijakan
akuntansi untuk memperoleh tujuan tertentu, misalnya untuk memenuhi
kepentingan sendiri atau meningkatkan nilai pasar perusahaan mereka.
Gunny (2010), mengklasifikasikan manajemen laba ke dalam tiga
kategori, yaitu fraudulent accounting, accruals-based management (AEM),
dan real earnings management (REM). Fraudulent accounting melibatkan
pemilihan akuntansi yang melanggar GAAP. AEM berarti memanipulasi laba
melalui penggunaan prinsip akuntansi yang disajikan dalam GAAP. REM
berarti meningkatkan laba dengan mengubah beberapa aktivitas bisnis (Ewert
dan Wagenhofer, 2005; Roychowdhury, 2006). Fraudulent accounting dan
AEM bukan dilakukan dengan merubah aktivitas ekonomi perusahaan tetapi
28
melalui pemilihan metode akuntansi yang digunakan untuk mendasari
aktivitas tersebut.
1.1.8. Real Earnings Management
Peneliti pertama yang memperkenalkan konsep real earnings
management (REM) dalam pengertian manajemen laba adalah Shipper (1989)
yang menyebutkan bahwa manajemen laba dicapai dengan pemilihan waktu
untuk berinvestasi atau keputusan melakukan pembiayaan untuk mengubah
laba yang harus dilaporkan. Janin (2000) kemudian menyatakan bahwa REM
melibatkan aktivitas bisnis nyata yang akan berdampak langsung terhadap
aliran kas operasi perusahaan. Xu et al. (2007) mendeskripsikan REM sebagai
upaya manajemen untuk mengubah jumlah laba yang dilaporkan melalui
penyesuaian skala dan pemilihan waktu aktivitas bisnis. Sementara Cohen dan
Zarowin (2010) dan Roychowdhury (2006) menyebutkan bahwa REM adalah
tindakan – tindakan manajemen yang menyimpang dari praktik bisnis normal
yang dilakukan dengan tujuan utama untuk mencapai target laba.
REM melibatkan berbagai bentuk aktivitas dengan dasar keputusan
manajer atau aktivitas riil seperti penjualan, produksi, biaya diskresioner
termasuk biaya research and development (R&D) dan biaya penjualan,
umum, dan administrasi (SGA), biaya iklan dan perawatan, serta penjualan
aset. Bentuk – bentuk REM bukanlah pemilihan dan estimasi akuntansi yang
simpel melainkan keputusan strategik manajemen yang mneyimpang dari
29
praktik bisnis normal dan memiliki dampak langsung pada arus kas. Bentuk –
bentuk REM berdasarkan aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan yang
telah digunakan dalam beberapa penelitian sebelumnya disajikan pada
Gambar 2.3. Adapun bentuk umum yang dilakukan manajer untuk
memanipulasi laba melalui aktivitas riil antara lain adalah sebagai berikut.
1. Manipulasi penjualan.
Manipulasi penjualan merupakan usaha untuk meningkatkan penjualan
secara temporer dalam periode tertentu dengan menawarkan diskon
harga secara berlebihan atau memberikan persyaratan kredit yang lebih
lunak, Strategi ini dapat meningkatkan volume penjualan dan laba
periode sekarang, dengan mengasumsikan margin labanya tetap positif.
2. Produksi yang berlebihan (overproduction).
Untuk meningkatkan laba, manajer dapat membuat kebijakan untuk
memproduksi produk dalam jumlah yang besar. Hal ini dilakukan agar
produksi perusahaan mampu mencapai skala ekonomis tertentu karena
biaya tetap (fix cost) perusahaan tersebar ke dalam unit produk yang
lebih banyak. Hal ini menyebabkan HPP per unit produk menjadi lebih
rendah sehingga laba yang dilaporkan diharapkan menjadi lebih tinggi.
3. Penurunan Discretionary Expenses.
Perusahaan dapat menurunkan discretionary expenses seperti biaya
research and development (R&D), iklan, penjualan, serta administrasi
dan umum terutama pada periode dimana beban-beban tersebut tidak
30
REAL EARNINGS MANAGEMENT
Aktivitas Operasi
Manipulasi
penjualan.
Overproduction.
Persediaan.
Discretionary
expenses: biaya
R&D dan SGA.
Penelitian Empiris
Arturo et al. (2017),
Sellami dan Adjaoud
(2011), Roychowdhury
(2006), Jackson dan
Wilcox (2000),
Thomas dan Zhang
(2002).
Aktivitas Investasi
Penjualan aset tidak
lancar
Biaya R&D
Penelitian Empiris
Herrman et al. (2003),
Poitra et al. (2002),
Black et al. (1998),
Banged an Debonlt
(1998), Bushee (1998),
Perry dan Grinaker
(1994).
Aktivitas Pendanaan
Opsi saham.
Pembelian kembali
saham.
Hedging dan
pertukaran debt-
equity.
Sekuritisasi.
Penelitian Empiris
Kolsi dan Matoussi
(2011), Dechow et al.
(2010), Dechow dan
Shakespeare (2006),
Nui dan Richardson
(2006), Ben et al.
(2003), Barton (2001).
terlalu mempengaruhi pendapatan dan laba secara langsung. Strategi ini
dapat meningkatkan laba dan arus kas periode saat ini namun dengan
risiko menurunkan arus kas di periode selanjutnya.
Gambar 2.3. Bentuk Real Earnings Management dalam Penelitian Terdahulu
31
1.2. Penelitian Terdahulu dan Pembentukan Hipotesis
1.2.1. Manajemen Laba dan Corporate Social Responsibility
Perbedaan antara cakupan informasi yang diterima atau adanya
asimetri informasi antara manajemen dan pemilik perusahaan dapat
memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan tindakan
manajemen laba dengan tujuan untuk menyesatkan pengambilan keputusan
pemilik perusahaan dan penilaian mengenai kinerja perusahaan. Asimetri
informasi dalam perusahaan menimbulkan munculnya tindakan oportunistik
oleh manajer yang memiliki tujuan berbeda dengan pemilik. Dalam konteks
ini manajemen laba merupakan salah satu tipe biaya keagenan karena manajer
memikirkan kepentingan mereka sendiri dengan menerbitkan laporan
keuangan yang tidak mencerminkan gambaran ekonomi yang akurat.
Konsekuensi adanya laporan keuangan yang tidak sebenarnya adalah
shareholder tidak dapat membuat keputusan investasi yang tepat. Selain itu,
manajemen laba juga berdampak pada stakeholder lain. Tindakan manajer
melakukan manajemen laba dapat menyesatkan stakeholder mengenai nilai
sesungguhnya dari asset perusahaan, transaksi atau posisi keuangan yang
berdampak serius bagi kreditor, karyawn, dan masyarakat secara keseluruhan
(Zahra et al., 2005). Dapat disimpulkan bahwa manajemen laba merupakan
tindakan yang melanggar etika dan moral dalam pelaporan hasil kinerja
manajer.
32
Posisi manajemen laba sebagai suatu tindakan yang melanggar etika
terhadap pelaporan kinerja manajer berkebalikan dengan pelaporan kegiatan
CSR yang menunjukkan bahwa perusahaan tersebut beretika dan memiliki
komitmen untuk tidak hanya memberikan laporan keuangan yang baik namun
juga memberikan transparansi yang tinggi dan kepedulian terhadap
lingkungan. Alasan tersebut menyebabkan terbentuknya hubungan negatif
antara pengungkapan CSR yang dilakukan perusahaan dengan manajemen
laba. Perusahaan yang memiliki pengungkapan tanggung jawab sosial yang
tinggi akan membuat pelaporan keuangan menjadi transparan sehingga dapat
mengurangi tindakan oportunistik manajer melalui manajemen laba.
Menurut Kim et al. (2012), adanya kegiatan tanggung jawab sosial
pada laporan tahunan akan membuat informasi keuangan lebih terpercaya bagi
pihak – pihak yang menggunakan laporan keuangan. Perusahaan yang lebih
banyak mengungkapkan informasi mengenai aktivitas perusahaannya akan
lebih membatasi untuk melakukan praktik manajemen laba. Sebaliknya,
perusahaan yang kurang terbuka dalam pengungkapan informasi kegiatan
perusahaan cenderung melakukan berbagai bentuk manajemen laba baik
untuk keuntungan pribadi maupun keuntungan perusahaan (Patten dan
Trompeter, 2003).
Shleifer (2004) menemukan bahwa manipulasi laba, yang merupakan
tindakan melanggar etika cenderung tidak akan terjadi pada perusahaan yang
memiliki komitmen tinggi untuk tanggungjawab sosial. Karena pengungkapan
33
CSR mencerminkan transparansi dan menurunkan oportunistik manajemen
laba. Chih et al. (2008) mengemukakan bahwa transparansi yang lebih baik
dalam pengungkapan akuntansi dapat menurunkan incentive manajer dalam
melakukan manajemen laba, hal tersebut disebabkan karena perusahaan tidak
hanya berfokus pada laba yang dilaporkan tetapi juga berfokus pada hubungan
masa depan dengan lingkungan dan stakeholder.
Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu Terkait CSR dan Manajemen Laba
Peneliti
dan Tahun Variabel Subjek Hasil
Bozzolan,
Fabrizi,
Mallin, dan
Michelon
(2015)
CSR, REM,
dan AEM
Perusahaan di
berbagai
negara yang
terdaftar pada
EIRIS
database.
Perusahaan dengan
orientasi CSR yang tinggi
akan kurang cenderung
melakukan REM
dibandingkan dengan
AEM.
Calegari,
Chotigeat,
dan Harjoto
(2010)
CSR,
Earnings
Reporting, dan
Nilai
Perusahaan
Perusahaan
yang terdaftar
pada S&P500,
Russell 2000,
dan Domini
Social Index.
Semakin tinggi tingkat
aktivitas CSR perusahaan,
semakin tinggi akrual non-
diskresioner dan semakin
rendah akrual diskresioner
yang mana meningkatkan
kualitas pelaporan
keuangan.
Chih, Shen,
Kang
(2008)
CSR dan
Manajemen
Laba
Perusahaan
dari 46 negara
yang terdaftar
pada FTSE All-
World
Developed
Index dan
FTSE4Good
Global Index.
CSR dapat mengurangi
earnings smoothing dan
penghindaran pelaporan
penurunan dan kerugian
laba tetapi CSR
berhubungan positif
dengan earnings
aggressiveness.
34
Hong dan
Andersen
(2011)
CSR, Kualitas
Laba, dan
REM
Perusahaan non
keuangan di
Amerika yang
terdaftar pada
Compustat
North America
Tape.
Perusahaan yang semakin
bertanggung jawab secara
sosial akan memiliki
kualitas akrual tinggi dan
aktivitas manajemen laba
sedikit sehingga
berdampak pada kualitas
laporan keuangan.
Kim, Park,
Wier
(2012)
CSR dan
Manajemen
Laba
Perusahaan
yang terdaftar
pada data
KLD.
Perusahaan yang
bertanggung jawab secara
sosial kurang cenderung
untuk memanipulasi laba
baik melalui akrual
diskresioner maupun
aktivitas operasi riil.
Litt,
Sharma,
dan Sharma
(2014)
Environmental
Initiative dan
Manajemen
Laba
Perusahaan non
keuangan yang
terdaftar pada
data KLD.
Perusahaan yang
melakukan praktik
tanggung jawab
lingkungan terbukti
melaporkan kinerja
keuangan yang lebih baik
tanpa melakukan
manajemen laba.
Prior,
Surroca,
Tribo
(2008)
CSR dan
Manajemen
Laba
Perusahaan
industri yang
terdaftar pada
SiRi database.
Terdapat hubungan yang
positif antara CSR dan
manajemen laba.
Scholtens
dan Kang
(2013)
CSR,
Manajemen
Laba, dan
Investor
Protection
Perusahaan di
10 negara yang
terdaftar pada
Asian
Sustainability
Rating.
Perusahaan Asia dengan
aktivitas CSR yang baik
akan dianggapa memiliki
perlindungan terhadap
investor yang tinggi dan
kurang cenderung
melakukan manajemen
laba.
Penelitian lebih lanjut mengenai hubungan CSR dan manajemen laba
menghasilkan beberapa kesimpulan bahwa praktik CSR berpotensi
35
dihubungkan dengan keinginan manajer untuk mendapatkan keinginan pribadi
(McWilliams et al., 2006). Perusahaan mungkin saja melakukan kegiatan
CSR atas saran manajer untuk menutupi perilaku yang tidak baik
(Hemingway dan Maclagan, 2004). Jika manajer melakukan CSR atas dasar
imbalan oportunistik, maka mereka cenderung menyesatkan para pemangku
kepentingan mengenai nilai kinerja perusahaan dan keuangan. Jika imbalan
atau insentif ini berlaku, maka akan terjadi hubungan positif antara CSR dan
manajemen laba.
Penelitian kali ini mencoba menginvestigasi kemungkinan CSR untuk
menghalangi manajemen laba yang dilakukan manajer dengan melihat
aktivitas riil perusahaan. Dengan kata lain, peneliti ingin menjawab
pertanyaan apakah perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial terbukti
kurang terlibat melakukan manajemen laba. Meskipun demikian, beberapa
penelitian sebelumnya juga membuktikan bahwa semakin banyak aktivitas
tanggung jawab sosial yang dilakukan perusahaan, semakin tinggi juga
keterlibatan terhadap aktivitas manajemen laba. Pada kenyataannya, mungkin
saja perusahaan memanipulasi laba dengan menggunakan tindakan yang
dinilai bertanggung jawab secara sosial (Hong dan Andersen, 2011).
Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang diajukan adalah:
H1: Pengungkapan corporate social responsibility memiliki pengaruh
terhadap manajemen laba
36
1.2.2. Manajemen Laba, Corporate Social Responsibility, dan Komisaris
Independen
Komisaris independen dapat bertindak sebagai penengah dalam
perselisihan yang terjadi diantara para manajer internal dan mengawasi
kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada manajemen.
Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan
monitoring agar tercipta perusahaan yang good corporate governance.
Komisaris independen akan menjalankan proses monitoring yang lebih efektif
terkait manajemen laba. Hal tersebut menunjukkan bahwa dewan komisaris
yang independen memiliki kecenderungan untuk menghalangi manajer
melakukan manajemen laba, sehingga kualitas laba yang dilaporkan menjadi
leih tinggi.
Jo dan Harjoto (2011) menemukan bahwa persentase komisaris
independen memiliki tingkat signifikansi dan hubungan positif terkait dengan
keputusan perusahaan mengenai kegiatan CSR. Fama dan Jensen (1983)
menyatakan bahwa dewan komisaris yang independen dapat secara efektif
mengontrol mekanisme yang dilakukan oleh top manajer dalam perbedaan
kepentingan dengan melakukan penunjukkan, pemecatan, dan denda yang
tepat atas perilaku pencitraan melalui kegiatan CSR oleh top manajer.
Berdasarkan pemaparan di atas, hipotesis yang diajukan adalah sebagai
berikut:
37
H2: Komisaris independen memoderasi hubungan antara corporate social
responsibility dan manajemen laba
1.3. Model Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk menguji secara empiris pengaruh
manajemen laba terhadap CSR yang dimoderasi oleh dewan komisaris independen.
Berdasarkan tujuan tersebut, model penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:
Gambar 2.4. Model Penelitian
Corporate Social
Responsibility
Manajemen
Laba
Komisaris
Independen
H1
H2