bab ii teori dan perumusan hipotesis a. tinjauan...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini diantaranya ialah
penelitian yang dilakukan oleh Annisa dan Kurniasih (2012) yang meneliti
tentang pengaruh corporate governance terhadap tax avoidence, menggunakan
alat analisis berupa analisis regresi berganda. Penelitiannya menunjukkan hasil
bahwa komite kualitas audit dan audit yang signifikan mempengaruhi aktivitas
penghindaran pajak. Aktivitas penghindaran pajak tidak terpengaruh secara
signifikan oleh kepemilikan institusional dan dewan komisaris.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Kurniasih dan Sari (2013) yang
meneliti tentang pengaruh return on assets, leverage, corporate governance,
ukuran perusahaan dan kompensasi rugi fiskal pada tax avoidance, menggunakan
alat analisis berupa analisis regresi linier berganda. penelitiannya memperoleh
hasil bahwa return on assets (ROA), leverage, corporate governance, ukuran
perusahaan dan kompensasi rugi fiskal berpengaruh signifikan secara simultan
terhadap tax avoidance. return on assets (ROA), ukuran perusahaan dan
kompensasi rugi fiskal berpengaruh signifikan secara parsial terhadap tax
avoidance sedangkan leverage dan corporate governance tidak berpengaruh
signifikan secara parsial terhadap tax avoidance.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Sari (2014) yang meneliti tentang
pengaruh corporate governance, ukuran perusahaan, kompensasi rugi fiskal dan
struktur kepemilikan terhadap tax avoidance, menggunakan alat analisis berupa
7
analisis regresi panel. Hasil penelitian menunjukan komisaris independen
memiliki pengaruh signifikan negatif terhadap tax avoidance, komite audit tidak
berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance, dan ukuran perusahaan memiliki
pengaruh signifikan negatif terhadap tax avoidance, kompensasi rugi fiskal tidak
memiliki pengaruh signifikan terhadap tax avoidance, struktur kepemilikan tidak
berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance.
Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Darmawan dan
Sukartha (2014) yang meneliti tentang pengaruh penerapan corporate
governance, leverage, return on assets, dan ukuran perusahaan pada penghindaran
pajak, menggunakan alat analisis berupa analisis regresi linier berganda.
Penelitiannya menunjukkan hasil bahwa terdapat pengaruh antara corporate
governance, ROA, dan ukuran perusahaan dengan penghindaran pajak. Variabel
leverage dalam penelitian ini tidak menunjukkan pengaruh pada penghindaran
pajak.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Rinaldi dan Cheisviyanny (2015) yang
meneliti tentang pengaruh profitabilitas, ukuran perusahaan dan kompensasi rugi
fiskal terhadap tax avoidance, menggunakan alat analisis berupa analisis regresi
berganda. Penelitiannya menunjukkan hasil bahwa profitabilitas memiliki
pengaruh positif yang signifikan terhadap penghindaran pajak, sedangkan ukuran
perusahaan memiliki pengaruh negatif yang signifikan pada penghindaran pajak,
dan kompensasi fiskal hilang tidak berpengaruh signifikan terhadap penghindaran
pajak.
8
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah periode
penelitian, penelitain ini menggunakan periode 2013 sampai 2015. Selain itu
objek yang digunakan dalam penelitian ini juga berbeda karena dalam melakukan
sampling disyaratkan bahwa hanya perusahaan yang terdaftar di CGPI yang
menjadi objek penelitian ini. Kemudian variabel independen yang digunakan
dalam penelitian ini lebih lengkap karena mengombinasikan variabel-variabel
pada penelitian terdahulu.
B. Teori dan Kajian Pustaka
1. Agency Theory
Menurut Ulum (2008:86-87) setiap masyarakat ekonomi dan juga
masyarakat politik dapat dipisahkan dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang
memiliki sumber daya (disebut principal) dan kelompok yang bertugas mengelola
sumber daya bagi kepentingan pihak principal (disebut agent). Teori ini
memandang bahwa terdapat potensi konflik diantara kedua kelompok tersebut,
pihak principal berkepentingan agar agent betul-betul mengelola sumberdaya
dengan baik sehingga tercapai tujuan yang ditetapkan pihak principal. Akan tetapi
principal tidak selalu mudah mengakses dan mengetahui apa yang dilakukan oleh
pihak agent. Sebagai akibatnya dapat terjadi pengambilan keputusan yang tidak
optimal.
Agency theory timbul karena adanya pihak principal yang memercayakan
sumber daya yang dimilikinya untuk dikelola oleh pihak agent dimana akan
terdapat perbedaan kepentingan antara keduanya, pihak principal menginginkan
agar agent dapat mengambil keputusan terbaik untuk perusahaannya, tetapi pihak
9
agent yang merupakan pihak yang sangat mengetahui keadaan internal suatu
perusahaan cenderung memilih keputusan yang tidak berisiko agar kinerjanya
tetap dinilai baik oleh pricipal dan tidak menyebabkan pengalihan wewenang. Hal
tersebut biasa kita kenal sebagai asimetris informasi dimana hal tersebut bisa
diminimalisir dengan menyampaikan laporan keuangan kepada stakeholder,
karena laporan keuangan merupakan sarana komunikasi informasi keuangan
kepada pihak-pihak di luar perusahaan.
2. Tax Avoidance
Tax avoidance atau penghindaran pajak merupakan salah satu upaya yang
dilakukan untuk meminimumkan atau bahkan menghilangkan beban pajak yang
masih berada dalam bingkai undang-undang atau peraturan perpajakan. Menurut
Suandy (2008:7) meminimalisasi beban pajak dapat dilakukan dengan berbagai
cara, mulai dari yang masih berada dalam bingkai peraturan perpajakan sampai
dengan yang melanggar peraturan perpajakan. Upaya meminimalkan sering
disebut dengan perencanaan pajak (tax planning). Umumnya perencanaan pajak
merujuk pada proses merekayasa usaha dan transaksi wajib pajak (WP) supaya
utang pajak berada dalam jumlah minimal tetapi masih dalam bingkai peraturan
perpajakan.
Penghematan pajak secara legal dapat dilakukan dengan strategi manajemen
pajak, dalam manajemen pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara baik yang
masih dalam bingkai peraturan perpajakan, maupun yang melanggar peraturan
perpajakan, kedua cara tersebut biasa kita kenal sebagai tax avoidance dan tax
evasion. Tax avoidance bukan pelanggaran undang-undang perpajakan karena
10
usaha yang dilakukan oleh wajib pajak untuk memilimalkan beban pajaknya
dilakukan dengan tidak melanggar undang-undang perpajakan, Adapun cara
tersebut menurut Merks (2007:66-69) adalah: a) memindahkan subjek pajak
dan/atau objek pajak ke negara-negara yang memberikan perlakuan pajak khusus
atau keringanan pajak (tax haven country) atas suatu jenis penghasilan
(substantive tax planning), b) usaha penghindaran pajak dengan mempertahankan
substansi ekonomi dari transaksi melalui pemilihan formal yang memberikan
beban pajak yang paling rendah (formal tax planning), c) ketentuan anti
avoidance atas transaksi transfer pricing, thin capitalization, treaty shopping, dan
controlled foreign corporation (specific anti avoidance rule); serta transaksi yang
tidak mempunyai substansi bisnis (general anti avoidance rule).
Suandy (2008:7-8) menjelaskan bahwa penghindaran pajak dapat terjadi di
dalam bunyi ketentuan atau tertulis di undang-undang dan berada dalam jiwa dari
undang-undang atau dapat juga terjadi dalam bunyi ketentuan undang-undang
tetapi berlawanan dengan jiwa undang-undang. Komite urusan fiskal
menyebutkan ada tiga karakter penghindaran pajak sebagai berikut: a) adanya
unsur artifisial dimana berbagai pengaturan seolah-olah terdapat di dalamnya
padahal tidak, dan ini dilakukan karena ketiadaan faktor pajak, b) skema semacam
ini sering memanfaatkan loopholes dari undang-undang atau menerapkan
ketentuan-ketentuan legal untuk berbagai tujuan, padahal bukan itu yang
sebetulnya dimaksudkan oleh pembuat undang-undang, c) kerahasiaan juga
sebagai bentuk dari skema ini dimana umumnya para konsultan menunjukkan alat
11
atau cara untuk melakukan penghindaran pajak dengan syarat wajib pajak
menjaga serahasia mungkin.
3. Leverage
Menurut Adelina (2012) leverage (struktur utang) merupakan rasio yang
menunjukkan besarnya utang yang dimiliki oleh perusahaan untuk membiayai
aktivitas operasinya. Leverage menggambarkan besarnya proporsi total utang
perusahaan terhadap total aset perusahaan yang memiliki tujuan untuk mengetahui
keputusan pendanaan yang diambil oleh perusahaan tersebut.
Menurut Brigham dan Houston (2010:140) leverage akan memberikan tiga
dampak penting yaitu: a) menghimpun dana melalui utang, pemegang saham
dapat mengendalikan perusahaan dengan jumlah investasi ekuitas yang terbatas,
b) kreditor melihat ekuitas atau dana yang diberikan oleh pemilik sebagai batas
pengaman. Jadi, makin tinggi proporsi total modal yang diberikan oleh pemegang
saham, makin kecil risiko yang dihadapi oleh kreditor, c) jika hasil yang diperoleh
dari aset perusahaan lebih tinggi dari tingkat bunga yang dibayarkan, maka
penggunaan utang akan “mengungkit” (leverage) atau memperbesar
pengembalian atas ekuitas atau ROE.
Menurut Brigham dan Houston (2010:141) terdapat dua alasan di balik
dampak leverage yaitu: a) karena bunga dapat menjadi pengurang pajak,
penggunaan utang akan mengurangi kewajiban pajak dan menyisakan laba operasi
yang lebih besar bagi investor perusahaan, b) jika laba operasi sebagai presentase
terhadap aset melebihi tingkat bunga atas utang seperti yang umumnya
diharapkan, maka perusahaan dapat menggunakan utang untuk membeli aset,
12
membayar bunga atas utang, dan masih mendapat sisanya sebagai “bonus” bagi
pemegang saham.
Penambahan jumlah utang akan mengakibatkan munculnya beban bunga
yang harus dibayar oleh perusahaan. Komponen beban bunga akan mengurangi
laba sebelum kena pajak perusahaan, sehingga beban pajak yang harus dibayar
perusahaan akan menjadi berkurang.
4. Ukuran Perusahaan
Secara umum ukuran perusahaan (organization size) dapat diartikan sebagai
suatu perbandingan besar atau kecilnya suatu objek. Kurniasih dan Sari (2013)
menyatakan bahwa ukuran perusahaan merupakan suatu pengklasifikasian sebuah
perusahaan berdasarkan jumlah aset yang dimilikinya. Aset dinilai memiliki
tingkat kestabilan yang cukup berkesinambungan. Ukuran perusahan merupakan
skala besar kecilnya suatu perusahaan yang bisa diukur dengan berbagai cara
seperti total pendapatan, total aset, dan total ekuitas.
Menurut Sari (2014) ukuran perusahaan umumnya dibagi dalam 3 kategori,
yaitu large firm, medium firm, dan small firm. Tahap kedewasaan perusahaan
ditentukan berdasarkan total aktiva, semakin besar total aktiva menunjukkan
bahwa perusahaan memiliki prospek baik dalam jangka waktu yang relatif
panjang.
Peraturan menteri perdagangan republik indonesia No. 46/M-DAG/PER/
9/2009 tentang penerbitan surat izin usaha perdagangan pasal 3, mengelompokkan
ukuran perusahaan atas: a) perusahaan kecil yaitu perusahaan yang memiliki aset
lebih dari Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak
13
Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha; b) perusahaan menengah yaitu perusahaan yang memiliki aset lebih
dari Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.
10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha; c) perusahaan besar yaitu perusahaan yang memiliki aset lebih dari
Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha.
Menurut Kurniasih dan Sari (2013) pada umumnya, perusahan dengan skala
besar lebih cenderung memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya daripada
menggunakan sumberdaya dari utang. Perusahaan besar secara logika akan
menjadi sorotan pemerintah karena merupakan perusahan yang dikenal publik,
sehingga perusahaan besar cenderung bersifat patuh dalam melaksanakan
kewajiban perpajakannya, sebaliknya bagi perusahaan kecil yang jarang menjadi
perhatian pemerintah cenderung bersifat tidak patuh dalam melaksanakan
kewajiban perpajakannya, oleh karena itu semakin besar ukuran perusahaan maka
ia akan mempertimbangkan risiko yang timbul apabila ia melakukan tax
avoidance, dan sebaliknya perusahaan kecil.
5. Return On Asstes
Penelitian yang dilakukan oleh Darmawan dan Sukartha (2014)
memaparkan bahwa return on assets (ROA) merupakan salah satu pendekatan
yang dapat mencerminkan profitabilitas suatu perusahaan. Pendekatan ROA
menunjukkan besarnya laba yang diperoleh perusahaan dengan menggunakan
14
total aset yang dimilikinya. ROA juga memperhitungkan kemampuan perusahaan
dalam menghasilkan laba yang terlepas dari pendanaan.
Menurut Rinaldi dan Cheisviyanny (2015) ROA menunjukkan efektifitas
perusahaan dalam mengelola aktiva baik modal sendiri maupun dari modal
pinjaman, investor akan melihat seberapa efektif perusahaan dalam mengelola
aset. ROA juga mampu mengukur kemampuan perusahaan manghasilkan
keuntungan pada masa lampau untuk kemudian diproyeksikan di masa yang akan
datang. Semakin tinggi ROA, semakin tinggi keuntungan perusahaan sehingga
semakin baik pengelolaan aset perusahaan.
Semakin tinggi rasio ROA maka semakin baik kinerja suatu perusahaan
dalam memperoleh laba bersih dengan menggunakan aset yang dimilikinya.
Menurut Derazhid dan Zhang (2003) tingkat profitabilitas perusahaan pada
umumnya berpengaruh negatif terhadap tarif pajak efektif, hal tersebut terjadi
karena semakin efisien sebuah perusahaan maka perusahaan tersebut akan
membayar pajak yang lebih sedikit sehingga tarif pajak efektif perusahan tersebut
menjadi rendah.
6. Kompensasi Rugi Fiskal
Kompensasi kerugian merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh
perusahaan untuk membawa kerugian yang dialami dalam suatu tahun pajak ke
tahun pajak berikutnya (mengkompensasi). Kompensasi kerugian dalam pajak
penghasilan diatur pada pasal 6 ayat (2) undang-undang No.36 tahun 2008 tentang
pajak penghasilan, diatur sebagai berikut : a) Kompensasi kerugian fiskal timbul
apabila untuk tahun pajak sebelumnya terdapat kerugian fiskal (SPT tahunan
15
dilaporkan nihil/lebih bayar tetapi ada kerugian), b) Kerugian fiskal timbul
apabila penghasilan bruto yang dikurangi oleh pengurangan yang diperbolehkan
mengalami kerugian, c) Kerugian fiskal tersebut dikompensasikan dengan
penghasilan neto fiskal atau laba neto fiskal dimulai tahun pajak berikutnya
sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut berturut-turut sampai dengan 5 (lima)
tahun, d) Ketentuan jangka waktu pengakuan kompensasi kerugian fiskal berlaku
untuk tahun pajak mulai tahun 2009, untuk tahun pajak sebelumnya berlaku
ketentuan undang-undang No.17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan.
Menurut Kurniasih dan Sari (2013) terdapat beberapa poin penting yang
perlu diperhatikan dalam hal kompensasi kerugian ini adalah sebagai berikut : a)
Istilah kerugian merujuk kepada kerugian fiskal bukan kerugian komersial.
Kerugian atau keuntungan fiskal adalah selisih antara penghasilan dan biaya-biaya
yang telah memperhitungkan ketentuan pajak penghasilan, b) Kompensasi
kerugian hanya diperkenankan selama lima tahun ke depan secara berturut-turut.
Apabila pada akhir tahun kelima ternyata masih ada kerugian yang tersisa maka
sisa kerugian tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan, c) Kompensasi kerugian
hanya diperuntukan bagi wajib pajak badan dan orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha yang penghasilannya tidak dikenakan PPh final dan perhitungan
pajak penghasilannya tidak menggunakan norma penghitungan, d) Kerugian
usaha di luar negeri tidak bisa dikompensasikan dengan penghasilan dari dalam
negeri.
7. Good Corporate Governance
16
Menurut forum for corporate governance in Indonesia
(http://www.fcgi.or.id/) pengertian good corporate governance adalah
seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham,
pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para
pemegang kepentingan intern dan esktern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak
dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan
mengendalikan perusahaan. Annisa dan Kurniasih (2012) memaparkan bahwa
corporate governance adalah tata kelola perusahaan yang menjelaskan hubungan
antara pemilik dan manajer perusahaan dalam menentukan arah kinerja
perusahaan.
Menurut Darmawan dan Sukartha (2014) penerapan corporate governance
bertujuan untuk meminimumkan konflik keagenan. Konflik keagenan muncul
apabila tujuan yang ingin dicapai oleh manajer perusahaan tidak sejalan dengan
kepentingan pemegang saham. Pemegang saham mengharapkan pendapatan
(dividen) yang maksimal atas dana yang mereka investasikan. Pihak manajemen
lebih mementingkan aktivitas operasional perusahaan dengan tidak membagikan
dividen dan mengalokasikannya sebagai laba ditahan. Keselarasan hubungan
pemegang saham dan manajer perusahaan akan mempengaruhi kebijakan
perpajakan yang akan digunakan.
Menurut Darmawan dan Sukartha (2014) penerapan corporate governance
dalam menentukan kebijakan perpajakan yang akan digunakan oleh perusahaan
berkaitan dengan pembayaran pajak penghasilan perusahaan. Pembayaran pajak
penghasilan didasarkan pada besarnya laba yang diperoleh perusahaan.
17
Perusahaan tentunya selalu menginginkan laba yang besar, namun laba besar akan
dikenakan beban pajak yang besar. Beban pajak yang besar menyebabkan
perusahaan akan berusaha untuk melakukan penghindaran pajak dengan risiko
yang kecil.
Menurut KNKG (2006: 5-7) asas- asas corporate governance meliputi : a)
Transparansi dimana untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis,
perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara
yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus
mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan
oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk
pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku
kepentingan lainnya, b) Akuntabilitas dimana perusahaan harus dapat
mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu
perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan
perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan
pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan
untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan, c) Responsibilitas dimana
perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan
tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara
kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai
good corporate citizen, d) Independensi dimana untuk melancarkan pelaksanaan
asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing
18
organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh
pihak lain.
8. Peringkat CGPI oleh IICG
Menurut Hasan (2014), corporate governance perception index (CGPI)
adalah program riset dan pemeringkatan penerapan GCG pada perusahaan-
perusahaan di Indonesia melalui perancangan riset yang mendorong perusahaan
meningkatkan kualitas penerapan konsep corporate governance (CG) melalui
perbaikan yang berkesinambungan (continuous improvement) dengan
melaksanakan evaluasi dan benchmarking. Program CGPI merupakan program
yang bersifat sukarela (voluntary), selektif dan elektif. Keikutsertaan perusahaan
merupakan sebuah pilihan (elektif) secara sukarela (voluntary) tanpa didasari oleh
dorongan memenuhi aturan (mandatory) dan mempertimbangkan kesiapan
internal perusahaan (selektif) dalam memutuskan berpartisipasi mengikuti CGPI
berdasarkan tema penilaian.
Hasil pemeringkatan program CGPI menggunakan norma penilaian
berdasarkan rentang skor yang dicapai oleh peserta CGPI dengan kategorisasi atas
tingkat kualitas implementasi GCG yang menggunakan istilah “terpercaya”.
Perusahaan yang mendapatkan nilai antara 55,00 s/d 69,99 mendapatkan predikat
sebagai perusahaan “cukup terpercaya”. Perusahaan yang mendapatkan nilai
antara 70,00 s/d 84,99% mendapatkan predikat sebagai perusahaan “terpercaya”.
Perusahaan yang mendapatkan nilai antara 85,00 s/d 100% mendapatkan predikat
sebagai perusahaan “sangat terpercaya”.
19
Corporate governance perception index memiliki 4 tahapan penilaian yang
meliputi: (1) self assessment dimana self assesment adalah penilaian mandiri oleh
seluruh organ, anggota, dan pemangku kepentingan dari perusahaan mengenai
kualitas pelaksanaan GCG di perusahaan. Pada tahapan ini perusahaan mengisi
kuesioner dengan mengajak responden memberikan persepsinya secara jujur dan
objektif guna memberikan umpan balik dan evaluasi kepada perusahaan. Daftar
responden terdiri dari 2 kalangan responden yakni responden internal dan
responden eksternal. Responden internal terdiri dari jajaran manajemen (presiden
komisaris, presiden direktur/direktur utama), dewan pengawas syariah, anggota
komite dibawah dewan komisaris dan komite eksekutif, pegawai manajerial dan
pegawai non manajerial termasuk corporate secretary, audit internal dan wakil
dari serikat pekerja. Responden eksternal terdiri dari investor institusi dan investor
minoritas, lembaga pembiayaan, asuransi, asosiasi industry, regulator, mitra kerja,
lembaga pemeringkat dan berbagai instansi lainnya, (2) kelengkapan dokumen
dimana kelengkapan dokumen adalah pemenuhan persyaratan penilaian dengan
menyerahkan berbagai dokumen yang telah dimiliki perusahaan dalam
pelaksanaan GCG dan dokumen lainnya terkait dengan tema penilaian. Bagi
perusahaan yang telah menyerahkan dokumen yang dipersyaratkan pada
penyelenggaraan pada CGPI sebelumnya, maka pada CGPI yang terbaru cukup
hanya memberikan pernyataan konfirmasi bahwa dokumen sebelumnya masih
berlaku. Jika terjadi perubahan, dokumen yang direvisi hari dilampirkan.
Dokumen tersebut akan dikaji dan dianalisa untuk kemudian dikelompokkan
menjadi tujuh bagian yang mewakili governance structure, governance system,
20
governance process, governance mechanism, governance output, governance
outcome, dan governance impact, (3) penyusunan makalah yang merupakan salah
satu pemenuhan persyaratan penilain yang menjelaskan serangkaian proses dan
program implementasi GCG di perusahaan dan upaya manajemen terkait dengan
tema penilaian. Uraian makalah menggambarkan arah dan fokus penilaian yang
sesuai dengan pedoman sistematika penulisan yang telah ditetapkan, dan tahapan
ke (4) Observasi dimana merupakan tahapan akhir penilaian sebagai salah satu
bagian penting dari proses riset dan pemeringkatan CGPI berupa peninjauan
langsung oleh tim penilaian CGPI untuk memastikan bahwa proses pelaksanaan
serangkaian program pelaksanaan GCG dan upaya manajemen terkait dengan
tema penilaian. Pelaksanaan observasi dilaksanakan dalam bentuk presentasi dan
diskusi tanya jawab dengan dewan komisaris dan direksi serta pihak lain yang
terkait dengan perusahaan.
Kerangka Konseptual
Menurut Sari (2014) kerangka konseptual dimaksudkan sebagai konsep
untuk menjelaskan, mengungkapkan dan menentukan persepsi keterkaitan antara
variabel yang diteliti berdasarkan rumusan masalah, keterkaitan maupun
hubungan antar variabel yang diteliti diuraikan dengan berpijak pada kajian teori.
Kerangka konseptual dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:
21
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.1 : Kerangka Konseptual
C. Perumusan Hipotesis
Beberapa penelitian mengenai tax avoidance sudah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya, sehingga pengembangan hipotesis dalam penelitian ini diambil
berdasarkan teori yang dikembangkan pada penelitian sebelumnya.
Hubungan leverage dengan tax avoidance
Menurut Darmawan dan Sukarta (2014) leverage merupakan tingkat utang
yang digunakan perusahaan dalam melakukan pembiayaan. Apabila perusahaan
menggunakan utang pada komposisi pembiayaan, maka akan ada beban bunga
yang harus dibayar. Teori trade off menyatakan bahwa penggunaan utang oleh
perusahaan dapat digunakan untuk penghematan pajak dengan memperoleh
insentif berupa beban bunga yang akan menjadi pengurang penghasilan kena
pajak . Uraian tersebut merumuskan hipotesis sebagai berikut:
Leverage (X1)
Ukuran Perusahaan (X2)
Penghindaran Pajak / Tax Avoidance (Y)
Return On Assets (X3)
Kompensasi Rugi Fiskal (X4)
Good Corporate Governance (X5)
22
H1: Leverage perusahaan memiliki pengaruh positif terhadap tax avoidance
Hubungan ukuran perusahaan dengan tax avoidance
Menurut Rinaldi dan Cheisviyanny (2015) tax avoidance merupakan suatu
strategi pajak yang agresif yang dilakukan oleh perusahaan dalam meminimalkan
beban pajak, sehingga kegiatan ini memunculkan risiko bagi perusahaan antara
lain denda dan buruknya reputasi perusahaan di mata publik. Semakin besar
ukuran perusahaan, maka perusahaan akan lebih mempertimbangkan risiko dalam
hal mengelola beban pajaknya.
Menurut Kurniasih dan Sari (2013) perusahaan besar akan menjadi sorotan
pemerintah, sehingga akan menimbulkan kecenderungan bagi para manajer
perusahaan untuk berlaku agresif atau patuh.
Perusahaan besar biasanya dapat memaksimalkan kemampuan sumber daya
yang dimilikinya, perusahaan besar dapat melakukan perencanaan pajak karena
adanya tenaga ahli dalam bidang tersebut. tetapi di sisi lain, perusahaan besar
tidak bisa leluasa memanfaatkan kesempatan tersebut karena dibatasi oleh
tingginya sorotan pemerintah maupun publik akan reputasi perusahaan besar
sehingga mereka merasa diawasi. Uraian tersebut merumuskan hipotesis sebagai
berikut:
H2: Ukuran perusahaan memiliki pengaruh negatif terhadap tax avoidance
Hubungan return on assets (ROA) dengan tax avoidance
Menurut Derazhid dan Zhang (2003) tingkat profitabilitas (ROA)
perusahaan berpengaruh negatif dengan tarif pajak efektif karena semakin efisien
23
perusahaan, maka perusahaan akan membayar pajak yang lebih sedikit sehingga
tarif pajak efektif perusahaan tersebut menjadi lebih rendah. Menurut Utami
(2013) semakin besar CETR mengindikasikan semakin rendah tingkat
penghindaran pajak.
Menurut Darmadi (2013) perusahaan dengan tingkat efisiensi yang tinggi
dan memiliki pendapatan tinggi cenderung menghadapi beban pajak yang rendah,
karena perusahaan dengan pendapatan yang tinggi berhasil memanfaatkan
keuntungan dari adanya insentif pajak dan pengurang pajak yang lain.
Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi nilai ROA maka semakin tinggi
laba yang diterima, perusahaan dengan laba yang tinggi dapat memposisikan
dirinya untuk melakukan manajemen pajak untuk mengurangi beban pajak yang
dimilikinya. Uraian tersebut merumuskan hipotesis sebagai berikut:
H3: Return on assets memiliki pengaruh positif terhadap tax avoidance
Hubungan kompensasi rugi fiskal dengan tax avoidance
Kurniasih dan Sari (2013) memaparkan bahwa kompensasi rugi fiskal
berpengaruh negatif terhadap tax avoidance, karena kerugian tersebut dapat
mengurangi beban pajak pada tahun berikutnya. Akibatnya, selama lima tahun
tersebut perusahaan akan terhindar dari beban pajak karena laba kena pajak akan
digunakan untuk mengurangi jumlah kompensasi kerugian perusahaan, sehingga
pajak yang harus dibayarkan dapat diminimalkan karena angka laba terutang
menjadi kecil dan perusahaan tidak perlu lagi melakukan tindakan tax avoidance.
Menurut Sari (2014) perusahaan yang telah merugi dalam satu periode
akuntansi diberikan keringanan untuk membayar pajaknya. Kerugian tersebut
24
dapat dikompensasikan selama lima tahun ke depan dan laba perusahaan akan
digunakan untuk mengurangi jumlah kompensasi kerugian tersebut. Akibatnya,
selama lima tahun tersebut, perusahaan akan terhindar dari beban pajak, karena
laba kena pajak akan digunakan untuk mengurangi jumlah kompensasi kerugian
perusahaan. Kedua uraian tersebut merumuskan hipotesis sebagai berikut :
H4: Kompensasi rugi fiskal memiliki pengaruh negatif terhadap tax avoidance
Hubungan good corporate governance dengan tax avoidance
Darmawan dan Sukartha (2014) menjelaskan bahwa penerapan corporate
governance dalam menentukan kebijakan perpajakan yang akan digunakan oleh
perusahaan berkaitan dengan pembayaran pajak penghasilan perusahaan. Dewan
komisaris dalam menjalankan pengawasan dapat mempengaruhi manajemen
untuk menyusun laporan keuangan yang berkualitas.
Menurut Andriyani (2008) komisaris independen dapat melaksanakan
fungsi monitoring untuk mendukung pengelolaan perusahaan yang baik dan
menjadikan laporan keuangan lebih obyektif. Komite audit bertugas melakukan
kontrol dalam proses penyusunan laporan keuangan perusahaan untuk
menghindari kecurangan pihak manajemen. Berjalannya fungsi komite audit
secara efektif memungkinkan pengendalian pada perusahaan dan laporan
keuangan yang lebih baik serta mendukung good corporate governance. Uraian
tersebut merumuskan hipotesis sebagai berikut :
H5: Good corporate governance memiliki pengaruh negatif terhadap tax
avoidance