bab ii-teori herpes
TRANSCRIPT
BAB II
HERPES ZOSTER
I. DEFINISI
Herpes zoster yang disebut juga dampa atau cacar ular adalah penyakit yang
disebabkan oleh infeksi virus yang sama dengan varisela, yaitu virus varisela zoster (VZV)
yang menyerang kulit dan mukosa. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela zoster
dari infeksi endogen yang telah menetap dalam bentuk laten setelah infeksi primer oleh
virus tersebut. Herpes zoster ditandai dengan adanya nyeri hebat unilateral serta timbulnya
lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang dipersarafi serabut saraf spinal maupun
ganglion serabut saraf sensorik dan nervus kranialis.1,2
II. EPIDEMIOLOGI
Insiden herpes zoster tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada perbedaan angka
kesakitan antara pria dan wanita. Angka kesakitan meningkat dengan peningkatan usia.
Diperkirakan terdapat antara 2-5 per 1000 orang per tahun. Lebih dari 2/3 kasus berusia di
atas 50 tahun dan kurang dari 10% kasus berusia di bawah 20 tahun. Herpes zoster lebih
sering mengenai orang dengan penurunan imunitas seluler seperti pada usia lanjut,
pasien dengan keganasan, pasien yang mendapat kemoterapi atau terapi steroid jangka
panjang, dan orang dengan HIV.
III. ETIOLOGI
Virus Varicella zoster merupakan virus penyebab varisela dan herpes zoster. Varicella
zoster merupakan virus golongan herpesvirus.. Virus varisela zoster (VZV) tergolong virus
berinti DNA, virus ini berukuran 140- 200 nm, yang termasuk subfamili alfa herpes
viridae. Berdasarkan sifat biologisnya seperti siklus replikasi, penjamu, sifat sitotoksik dan
sel tempat hidup laten diklasifikasikan kedalam 3 subfamili yaitu alfa, beta dan gamma.
VZV dalam subfamily alfa mempunyai sifat khas menyebabkan infeksi primer pada sel
epitel yang menimbulkan lesi vaskuler. Selanjutnya setelah infeksi primer, infeksi oleh
virus herpes alfa biasanya menetap dalam bentuk laten didalam neuron dari ganglion.
Virus yang laten ini pada saatnya akan menimbulkan kekambuhan secara periodik. Secara
in vitro virus herpes alfa mempunyai jajaran penjamu yang relatif luas dengan siklus
pertumbuhan yang pendek serta mempunyai enzim yang penting untuk replikasi meliputi
virus spesifik DNA polimerase dan virus spesifik deoxypiridine (thymidine) kinase yang
2
disintesis di dalam sel yang terinfeksi.Penyebaran virus ini dapat terjadi melalui
pernapasan.
IV. PATOGENESIS
Infeksi primer dari VZV ini pertama kali terjadi di daerah nasofaring. Disini virus
mengadakan replikasi dan dilepas ke darah sehingga terjadi viremia permulaan yang
sifatnya terbatas dan asimptomatik. Keadaan ini diikuti masuknya virus ke dalam Reticulo
Endothelial System (RES) yang kemudian mengadakan replikasi kedua yang sifat viremia
nya lebih luas dan simptomatik dengan penyebaran virus ke kulit dan mukosa. Sebagian
virus juga menjalar melalui serat-serat sensoris ke satu atau lebih ganglion sensoris dan
berdiam diri atau laten didalam neuron. Virus berdiam diri di ganglion posterior saraf tepid
an ganglion kranialisSelama antibodi yang beredar didalam darah masih tinggi, reaktivasi
dari virus yang laten ini dapat dinetralisir, tetapi pada saat tertentu dimana antibodi
tersebut turun dibawah titik kritis maka terjadilah reaktivasi dari virus sehingga terjadi
herpes zoster.
V. GEJALA KLINIS
Sebelum timbul gejala kulit terdapat gejala prodromal baik sistemik ( demam,pusing,
malaise) maupun local (nyeri otot –tulang, gatal, pegal dan sebagainya). Setelah itu timbul
eritema yang dalam waktu singkat menjadi vesikel yang berkelompok dengan dasar kulit
yang eritematosa dan edema. Vesikel dapat berisi cairan jernih yang bisa berubah menjadi
abu-abu dan kemudian membentuk krusta, bisa juga mengandung darah (herpes zoster
hemoragik) dan kemudian jika terjadi infeksi sekunder, dapat terbentuk ulkus dan sikatriks
akibat penyembuhan luka.
Pola distribusi unilateral dan dermatomal, dan penampakan ruam herpes zoster sangat
jelas sehingga diagnosis biasanya mudah. Sangat penting untuk mengenali gejala sedini
mungkin. Ruam herpes zoster bersifat khas yaitu ruam vesikular yang nyeri, sepanjang
satu dermatom, berlangsung selama 3-5 hari sebelum lesi menjadi pustul dan keropeng.
Ruam dan nyeri paling sering timbul di dada (torakal) dan di wajah. Masa tunas antara 7 –
12 hari, dengan masa aktif berupa lesi yang tetap timbul berlangsung kira-kira satu
minggu, kemudian masa resolusi antara 1 – 2 minggu, sehingga biasanya akan sembuh
dalam 2-3 minggu. Disamping gejala kulit dapat juga dijumpai pembesaran kelenjar getah
bening regional.Pada susunan saraf tepi jarang timbul kelainan motorik tetapi pada
susunan saraf pusat kelainan ini lebih sering karena struktur ganglion kranialis
3
memungkinkan hal tersebut. Hiperestesi pada daerah yang terkena memberikan gejala
khas Bila menyerang cabang oftalmikus N. V disebut herpes zoster oftalmikus. Sindrom
Ramsay Hunt diakibatkan oleh gangguan nervus fasialis dan optikus, sehingga
memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit yang sesuai dengan
tingkat persarafan, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus dan nausea, juga
terdapat gangguan pengecapan. Bila menyerang wajah, daerah yang dipersarafi N. V
cabang atas disebut herpes zoster frontalis. Herpes zoster abortif, artinya penyakit ini
berlangsung dalam waktu yang singkat dan kelainan kulitnya hanya berupa beberapa
vesikel dan eritem. Bila menyerang saraf interkostal disebut herpes zoster torakalis. Bila
menyerang daerah lumbal disebut herpes zoster abdominalis. Herpes zoster
hemorargik adalah Herpes Zoster dengan kelainan kulit berupa vesikel yang berisi darah .
Herpes zoster generalisata adalah herpes zoster dengan kelainan kulit yang timbul
unilateral dan ditambah kelainan kulit yang menyebar secara generalisata dengan vesikel
soliter dan ada umbilikasi.
Gambar: Herpes zoster pada dermatom torakal ramus dekstra
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Secara laboratorium, pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck membantu menegakkan
diagnosis dengan menemukan sel datia berinti banyak. Demikian pulapemeriksaan cairan
vesikula atau material biopsi dengan mikroskop electron serta tes serologik. Pada
pemeriksaan histopatologi ditemukan sebukan sel limfosit yang mencolok, nekrosis sel
dan serabut saraf, proliferasi endotel pembuluh darah kecil, hemoragi fokal dan inflamasi
bungkus ganglion. Partikel virus dapat dilihat dengan mikroskop elektron dan antigen
virus herpes zoster dapat dilihat secara imunofluoresensi. Apabila gejala klinis sangat jelas
tidaklah sulit untuk menegakkan diagnosis. Akan tetapi pada keadaan yang meragukan
diperlukan pemeriksaan penunjang antara lain:
4
1. Isolasi virus dengan kultur jaringan dan identifikasi morfologi dengan
mikroskop electron
2. Pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen
3. Tes serologi dengan mengukur imunoglobulin spesifik.
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis untuk herpes zoster dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan berupa neuralgia
beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan timbulnya kelainan kulit. Adakalanya
sebelum timbul kelainan kulit didahului gejala prodromal seperti demam, pusing dan
malaise.
Pemeriksaan fisis didapatkan Kelainan kulit tersebut mula-mula berupa eritema
kemudian berkembang menjadi papula dan vesikula yang dengan cepat membesar dan
menyatu sehingga terbentuk bula. Isi vesikel mula-mula jernih, setelah beberapa hari
menjadi keruh dan dapat pula bercampur darah. Jika absorbsi terjadi, vesikel dan bula
dapat menjadi krusta. Namun bila erupsi sudah terlihat, diagnosis mudah
ditegakkan. Karakteristik dari erupsi kulit pada herpes zoster terdiri atas
vesikel-vesikel berkelompok, dengan dasar eritematosa, unilateral, dan
mengenai satu dermatom
Pada pemeriksaan penunjang dengan tes Tzanck dapat membantu menegakkan
diagnosis dengan menemukan sel datia berinti banyak.
VIII. DIAGNOSIS BANDING
1. Herpes simpleks
Herpes simpleks ditandai dengan erupsi berupa vesikel yang bergerombol, di
atas dasar kulit yang kemerahan. Sebelum timbul vesikel, biasanya didahului
oleh rasa gatal atau seperti terbakar yang terlokalisasi, dan kemerahan pada
daerah kulit. Herpes simpleks terdiri atas 2, yaitu tipe 1 dan 2. Lesi yang
disebabkan herpes simpleks tipe 1 biasanya ditemukan pada bibir, rongga
mulut, tenggorokan, dan jari tangan. Lokalisasi penyakit yang disebabkan oleh
herpes simpleks tipe 2 umumnya adalah di bawah pusat, terutama di sekitar alat
genitalia eksterna.
5
Gambar .Herpes simpleks non genital labialis rekuren
Gambar. Herpes Simpleks Genital
2. Varisela
Gejala klinis berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah
menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini seperti tetesan embun (tear drops). Vesikel
akan berubah menjadi pustul dan kemudian menjadi krusta. Lesi menyebar secara
sentrifugal dari badan ke muka dan ekstremitas.
Gambar. .Varisela di dada dan punggung
6
3. Impetigo vesiko-bulosa
Terdapat lesi berupa vesikel dan bula yang mudah pecah dan menjadi krusta.
Tempat predileksi di ketiak, dada, punggung dan sering bersamaan dengan
miliaria. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada anak-anak.
Gambar.Impetigo bulosa
IX. PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan herpes zoster bertujuan untuk:
1. Mengatasi infeksi virus akut
2. Mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster
3. Mencegah timbulnya neuralgia pasca herpetik.
Pengobatan Umum
Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat menularkan
kepada orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan orang dengan
defisiensi imun. Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan
pakai baju yang longgar. Untuk mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan badan.
Pengobatan Khusus
a. Sistemik
1. Obat Antivirus
Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya
valasiklovir dan famsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai inhibitor DNA polimerase
pada virus. Asiklovir dapat diberikan peroral ataupun intravena. Asiklovir
Sebaiknya pada 3 hari pertama sejak lesi muncul. Dosis asiklovir peroral yang
dianjurkan adalah 5×800 mg/hari selama 7 hari, sedangkan melalui intravena
biasanya hanya digunakan pada pasien yang imunokompromise atau penderita
yang tidak bisa minum obat. Obat lain yang dapat digunakan sebagai terapi herpes
zoster adalah valasiklovir. Valasiklovir diberikan 3×1000 mg/hari selama 7 hari,
karena konsentrasi dalam plasma tinggi. Selain itu famsiklovir juga dapat dipakai.
7
Famsiklovir juga bekerja sebagai inhibitor DNA polimerase. Famsiklovir diberikan
3×200 mg/hari selama 7 hari.
2. Analgetik
Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan oleh virus
herpes zoster. Obat yang biasa digunakan adalah asam mefenamat. Dosis asam
mefenamat adalah 1500 mg/hari diberikan sebanyak 3 kali, atau dapat juga dipakai
seperlunya ketika nyeri muncul.
3. Kortikosteroid
Indikasi pemberian kortikostreroid ialah untuk Sindrom Ramsay Hunt. Pemberian
harus sedini mungkin untuk mencegah terjadinya paralisis. Yang biasa diberikan
ialah prednison dengan dosis 3×20 mg/hari, setelah seminggu dosis diturunkan
secara bertahap. Dengan dosis prednison setinggi itu imunitas akan tertekan
sehingga lebih baik digabung dengan obat antivirus.
b. Pengobatan topikal
Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium vesikel
diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel agar
tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka. Kalau terjadi
ulserasi dapat diberikan salap antibiotik.
X. PENCEGAHAN
Selain dengan meningkatkan daya tahan tubuh, maka untuk mencegah herpes
zoster salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan pemberian vaksinasi
cacar air. Pada anak sehat usia 1 - 12 tahun diberikan satu kali. Bila diberikan pada
usia > 12 tahun maka diperlukan 2 kali pemberian dengan jarak minimal 4 minggu.
Sedangkan untuk vaksinasi zoster dianjurkan diberikan pada usia 60 tahun keatas.
XI. KOMPLIKASI
1. Neuralgia paska herpetik
Neuralgia paska herpetik (PHN) adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas
penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan sampai
beberapa tahun. Keadaan ini cenderung timbul pada umur diatas 40 tahun,
persentasenya 10-15 % dengan gradasi nyeri yang bervariasi. Semakin tua umur
8
penderita maka semakin tinggi persentasenya. Pada HZO, kejadian PHN lebih
sering daripada manifestasi zoster yang lain.
2. Infeksi sekunder
Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi.
Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi H.I.V., keganasan, atau
berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel sering manjadi ulkus dengan
jaringan nekrotik.
3. Kelainan pada mata
Keterlibatan mata dapat mengancam penglihatan jika tidak terdeteksi dan diterapi
dengan tepat. Adanya edem orbita adalah emergensi ophtalmologi dan pasien harus
dirujuk ke spesialis mata. Iritis, iridocyclitis, glaucoma, dan ulkus kornea dapat
terjadi pada kasus ini. Keterlibatan hanya di daerah dibawah fisura palpebra
inferior tanpa disertai keterlibatan dari kelopak atas dan nasal menunjukkan tidak
adanya komplikasi pada mata karena daerah kelopak bawah diinervasi oleh nervus
maksillaris superior.
4. Paralisis motorik
Paralisis motorik dapat terjadi pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat perjalanan
virus secara kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf yang berdekatan.
Paralisis ini biasanya muncul dalam 2 minggu sejak munculnya lesi. Berbagai
paralisis dapat terjadi seperti: di wajah, diafragma, batang tubuh, ekstremitas,
vesika urinaria dan anus..
5. Infeksi juga dapat menjalar ke alat dalam (organ visceral) :paru, hepar, otak
XII. PROGNOSIS
Terhadap penyakitnya pada dewasa dan anak-anak umumnya baik, tetapi usia tua
risiko terjadinya komplikasi semakin tinggi, dan secara kosmetika dapat
menimbulkan makula hiperpigmentasi atau sikatrik. Dengan memperhatikan
higiene & perawatan yang teliti akan memberikan prognosis yang baik & jaringan
parut yang timbul akan menjadi sedikit.
9
DAFTAR PUSTAKA
1. Melton CD. Herpes Zoster. eMedicine World Medical Library:
http://www.emedicine.com/EMERG/topic823.htm [diakses pada tanggal 24 September
2000].
2. Stawiski MA. Infeksi Kulit. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
EGC,1995; 1291.
3. Siregar RS. Penyakit Virus. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi Ke-2. Jakarta:
ECG, 2005 ; 84-7.
4. Hartadi, Sumaryo S. Infeksi Virus. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates, 2000; 92-4.
5. Achdannasich. Herpes Zoster Bilateral Asimetris-Pada Anak. Perkembangan Penyakit
Kulit dan Kelamin Indonesia Menjelang Abad 21. Perdoski. Surabaya: Airlangga University
Press,1999 ; 212-4.
6. Indrarini, Soepardiman L. Penatalaksaan Infeksi Virus Varisela-Zoster pada Bayi dan
Anak.Media Dermato-Venereologica Indonesiana. Volume 27. Jakarta: Perdoski, 2000; 65s-
71s.
7. Niode NJ, Suling PL. Insiden Herpes Zoster Pada Anak di Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUP Manado. Perkembangan Penyakit Kulit dan Kelamin di Indonesia Menjelang Abad 21.
Perdoski. Surabaya: Airlangga University Press, 1999 ; 215.
8. Stankus SJ, Dlugopolski M, Packer D. Management of Herpes Zoster and Post Herpetic
Neuralgia. eMedicine World Medical Library:
http://www.emedicine.com/info_herpes_zoster.htm [diakses pada tanggal 17 Juni 2010].
9. Handoko RP. Penyakit Virus. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke-4. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005; 110-2.
10. Naros WE. Tinjauan Retrospektif Penyakit Herpes Zoster Pada Penderita Yang Dirawat
Di Bagian Kulit Dan Kelamin RSUP DR. M. Djamil Padang Periode 1993-1997. Skripsi.
Padang:1999; 5-9.
11. Martodihardjo S. Penanganan Herpes Zoster dan Herpes Progenitalis. Ilmu Penyakit kulit
dan Kelamin. Surabaya: Airlangga University Press, 2001.
12. Andrews. Viral Diseases. Diseases of the Skin. Clinical Dermatology. 9th Edition.
Philadelphia: WB Saunders Company, 2000; 486-491.
13. Wilmana PF. Antivirus dan Interferon. Farmakologi dan Terapi. Edisi Ke-4. Jakarta:
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995; 617.
10
14. Daili ES, Menaldi SL, Wisnu IM. Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia. Jakarta:
Medical Multimedia, 2005; 68-9.
15. Moon JE. Herpes Zoster. eMedicine World Medical Library:
http://www.emedicine.com/med/topic1007.htm [diakses pada tanggal 17 Juni 2010].
16. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Penyakit Virus. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi Ke-3. Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius. 2000, 128-9.
11