bab ii terbuka · 2018. 2. 1. · organisasi atau memiliki keterikatan tinggi pada organisasinya...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Komitmen organisasional dan knowledge sharing behavior telah banyak
menjadi topik yang diteliti dalam bidang manajemen dikaitkan dengan berbagai
variabel berhubungan dengan pekerjaan. Berbagai penelitian mengidentifikasi
beberapa faktor yang mempengaruhi knowledge sharing behavior karyawan,
namun studi ini berfokus pada sikap karyawan yaitu kepuasan kerja dan motivasi
kerja juga diteliti dengan mediasi komitmen organisasional pada para karyawan
hotel bintang 4 (empat).
2.1. Komitmen Organisasional
2.1.1. Definisi Komitmen Organisasional
Komitmen organisasional merupakan salah satu bentuk sikap yang
mendapat perhatian dari berbagai peneliti. Testa (2001) menyatakan bahwa
komitmen organisasional dapat dilihat sebagai penilaian positif terhadap
lingkungan kerja. Secara umum komitmen organisasional merupakan suatu
keterikatan pada organisasi. Keterikatan tersebut dianggap sebagai tanggapan
emosional terutama ketika individu sangat percaya pada sasaran dan tujuan
perusahaan dan menunjukkan keinginan yang kuat untuk mempertahankan
keanggotaannya dalam organisasi. Mogotsi et al. (2011) menyatakan bahwa
secara informal komitmen organisasional dapat dikatakan sebagai ukuran dari
kepercayaan dan kesetiaan yang dirasakan oleh karyawan terhadap organisasi
pemberi kerja.
21
Dalam diri pribadi karyawan komitmen organisasional muncul secara
bertahap. Tahapan tersebut dimulai dengan adanya kebutuhan pribadi terhadap
organisasi, yang kemudian berkembang menjadi kebutuhan bersama, serta adanya
rasa memiliki diantara para karyawan di dalam organisasi. Lebih lanjut komitmen
karyawan terhadap organisasi merupakan suatu proses yang berkesinambungan
yang merupakan pengalaman individu sejak memasuki organisasi.
Komitmen organisasional dapat di kategorikan ke dalam tiga faktor yaitu
kepercayaan yang kuat dan penerimaan terhadap sasaran dan nilai-nilai organisasi
yang mengindikasikan komitmen afeksi; kemauan untuk mengerahkan usaha yang
cukup demi organisasi yang mengindikasikan komitmen normatif; dan keinginan
yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi yang
mengindikasikan komitmen kesinambungan, hal ini yang membuktikan
keterikatan karyawan pada organisasi (Mowday et al.,1982). Nilai atau komitmen
afeksi merupakan karakteristik mendasar yang melandasi komitmen
organisasional karena karyawan tidak mungkin mengerahkan usaha untuk
organisasi atau memiliki keterikatan tinggi pada organisasinya saat ini jika
mereka tidak memiliki komitmen tinggi pada organisasi.
Terminologi sikap pada dasarnya merujuk kepada komponen afektif atau
emosi (Robbins, 2001). Menurut Luthans (2006:224), komitmen organisasional
yang menggambarkan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses
berkelanjutan dimana karyawan mengarahkan perhatiannya pada organisasi demi
keberhasilan dan keberlanjutan organisasi. Berdasarkan 3 komponen sikap, hanya
komponen keperilakuan yang dapat diamati langsung. Komponen emosi dan
22
keyakinan tidak dapat dilihat orang lain, hanya dapat diduga. Sikap dalam
organisasi dianggap penting karena berpengaruh terhadap perilaku. Komitmen
organisasional sebagai bagian dari sikap mempengaruhi berbagai perilaku penting
agar organisasi berfungsi efektif. Pentingnya komitmen karyawan diperkuat
dengan serangkaian penelitian yang menunjukkan ada hubungan yang kuat antara
komitmen organisasional dengan kinerja.
Dessler (1999:58) menunjukkan bahwa pegawai yang memiliki komitmen
tinggi memiliki nilai absensi yang rendah, memiliki masa bekerja yang lebih lama,
dan cenderung untuk bekerja lebih keras serta menunjukkan prestasi yang lebih
baik dibanding karyawan dengan komitmen yang rendah. Tingginya komitmen
para pegawai tersebut tidak terlepas dari rasa percaya terhadap perlakuan
manajemen terhadap mereka, yaitu adanya pendekatan manajemen terhadap
sumber daya manusia sebagai aset berharga dan tidak semata-mata sebagai
komoditas yang dapat dieksploitasi sekehendak manajemen.
Komitmen organisasional menurut Gibson et al. (2000) dalam Rivai
(2005) dapat diartikan sebagai identifikasi, loyalitas, dan keterlibatan yang
dinyatakan oleh karyawan, organisasi atau unit organisasi. Menurut William dan
Hazer (1986), komitmen organisasional merupakan respon afektif pada organisasi
secara menyeluruh, yang kemudian menunjukkan suatu respon afektif pada aspek
khusus pekerjaan, sedangkan kepuasan kerja merupakan respon afektif individu
didalam organisasi terhadap evaluasi masa lalu dan masa sekarang, serta penilaian
yang bersifat individual bukan kelompok atau organisasi. Menurut Mowday et. al.
(1982) komitmen organisasional didefnisikan sebagai derajat seberapa jauh
23
karyawan mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi dan keterlibatannya
dalam organisasi tertentu.
Komitmen organisasi dapat dibagi menjadi 3 hal menurut sifatnya (Cheng
dan Kalleberg, 1996)
1. Kesediaan untuk melakukan kepentingan pekerjaan yang menguntungkan
organisasi.
2. Mempunyai keinginan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan
dalam organisasi.
3. Mempunyai keyakinan dan penerimaan yang kuat terhadap tujuan dan
nilai-nilai organisasi.
Dalam penelitian yang dilakukan Benkhoff (1997), komitmen organisasi
memegang peranan penting dalam peningkatan kinerja dan mengabaikan
komitmen terhadap organisasi akan menyebabkan kerugian. Mowday et al. (1982)
mengemukakan bahwa komitmen organisasional terdiri: (1) keinginan yang kuat
dan penerimaan terhadap nilai dan tujuan organisasi, (2) kemauan dasar untuk
berusaha bagi organisasi, (3) perilaku sesuai dengan nilai-nilai dan keinginan
organisasi (compliance).
Ganesan dan Weitz (1996) dalam Fuad Mas’ud (2004:221)
mengidentifikasikan komitmen organisasional sebagai:
1. Perasaan menjadi bagian dari organisasi.
2. Kebanggaan terhadap organisasi.
3. Kepedulian terhadap organisasi.
4. Hasrat yang kuat untuk bekerja pada organisasi.
24
5. Kepercayaan yang kuat terhadap nilai-nilai organisasi.
6. Kemauan yang besar untuk berusaha bagi organisasi.
2.1.2. Dimensi Komitmen Organisasional
Meyer dan Allen (1991) mengembangkan konsep model tiga komponen.
Model ini mengacu pada pola pikir yang diduga sebagai pembentuk karakter
komitmen. Pola pikir tersebut mencakup tiga tema yaitu: keterikatan afektif
kepada organisasi, akibat yang dirasa karena ditinggalkan, dan rasa kewajiban
untuk tetap tinggal. Meyer dan Allen mengungkapkan bahwa komitmen mungkin
disusun dari satu bahkan lebih pola pikir dan ketiganya kemudian digabungkan
ke dalam model. Untuk membedakan karakteristik komitmen yang
dikelompokkan oleh pola pikir tersebut, selanjutnya dinamai sebagai three-
component model of commitment sebagai affective, continuance, dan normative
(Meyer dan Herscovith, 2001). Secara umum masing-masing tiga pendekatan ini
merupakan suatu pandangan bahwa komitmen adalah keadaan psikologis yang (1)
merupakan ciri hubungan karyawan dengan organisasi dan (2) memiliki implikasi
keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan keanggotaan dalam organisasi
(Allen dan Meyer, 1990).
Dalam model komitmen yang dikembangkan ini sudah pasti terdapat sifat
hubungan yang akan berbeda. Karyawan dengan komitmen afektif yang kuat akan
tetap bertahan sesuai keinginan mereka, sementara dengan komitmen
bersinambung yang kuat akan tetap bertahan karena keperluan, dan orang-orang
dengan komitmen normatif yang kuat akan tetap bertahan karena mereka merasa
harus melakukannya (Meyer et al., 1993). Secara khusus, mereka menyarankan
25
bahwa komitmen afektif harus ada sampai batas paling rendah, komitmen
normatif harus terkait secara positif dengan pekerjaan sedangkan komitmen
bersinambung mungkin diharapkan tidak terkait, atau terkait secara negatif. Untuk
alasan ini, ditekankan bahwa tidak semua bentuk komitmen sama sehingga
organisasi yang bersangkutan harus menjaga karyawan dengan mengokohkan
komitmen serta harus berhati-hati dalam mempertimbangkan sifat dari komitmen
yang telah ditanamkan (Allen dan Meyer, 1990).
Hal ini merupakan cara lebih tepat untuk mempertimbangkan komitmen
afektif, bersinambung, dan normatif sebagai suatu bentuk komponen, bukan
sebagai jenis komitmen. Mengingat perbedaan konseptual dari ketiganya,
tampaknya mungkin bahwa keadaan psikologis yang mencerminkan tiga
komponen komitmen akan berkembang sebagai fungsi dari konsekuensi yang
berbeda, serta memiliki implikasi berbeda untuk pekerjaan yang relevan terkait
dengan keinginan berpindah organisasi (Allen dan Meyer, 1991). Selanjutnya
pengembangan model tiga komponen komitmen organisasional disajikan pada
Gambar 2.1.
26
Gambar 2.1. Three-component model of commitment Sumber: Allen dan Meyer (1991)
Pada Gambar 2.1 dijelaskan tentang identifikasi pola-pola umum yang
telah muncul dalam literatur dan menggambarkan perbedaan dalam anteseden
dari tiga komponen komitmen (Allen dan Meyer, 1991).
1. Affective Commitment
Mowday et al. (1982) mencatat bahwa anteseden komitmen afektif umumnya
dikelompokkan menjadi empat kategori: karakteristik pribadi, karakteristik
struktural, karakteristik pekerjaan terkait, dan pengalaman kerja. Karena
perbedaan antara karakteristik pekerjaan obyektif dan pengalaman kerja
subjektif tidak jelas, maka digunakan istilah yang lebih global yaitu
pengalaman kerja.
27
2. Continuance Commitment
Komitmen kontinyu mencerminkan pengakuan biaya yang terkait dengan
meninggalkan organisasi, apa pun yang meningkatkan biaya yang dirasakan
dapat dianggap sebagai pendahuluan. Konsekuensi yang paling sering
dipelajari adalah mengenai sisi pengorbanan
3. Normative Commitment
Untuk saat ini, literatur tentang perkembangan komitmen normatif lebih
ditekankan teori daripada empiris. Wiener (1982) mengemukakan bahwa
perasaan kewajiban untuk tetap tinggal dengan organisasi mungkin merupakan
hasil dari tekanan internalisasi normatif yang diberikan pada seorang individu
sebelum masuk ke dalam organisasi (yaitu keluarga atau budaya sosialisasi),
atau hal lainnya (yaitu, sosialisasi organisasi ). Komitmen normatif juga dapat
berkembang jika sebuah organisasi memberikan imbalan pada karyawan, atau
memberikan upah yang signifikan dalam kegiatan kerja (misalnya, biaya yang
terkait dengan pelatihan kerja). Dalam organisasi, hal ini dapat menciptakan
ketidakseimbangan dalam hubungan karyawan terhadap organisasi karena
menyebabkan karyawan merasa berkewajiban untuk membalas dengan
melakukan sendiri untuk organisasi sampai hutang telah dilunasi (School,
1981).
2.1.3. Pengukuran Komitmen Organisasional
Berdasarkan definisi komitmen organisasi yang disajikan dalam berbagai
penelitian, terdapat berbagai pengukuran komitmen pada organisasi. Salah satu
pengukuran komitmen organisasi yang terkenal adalah melalui Organizational
28
Commitment Questionnaire (OCQ) yang disusun oleh Porter dan Smith pada
tahun 1970. OCQ ini mengukur komitmen afektif dengan 15 pertanyaan melalui
Skala Likert yang terdiri dari 7 respon, mulai dari sangat tidak setuju sampai
sangat setuju. Allen dan Meyer memiliki pengukuran komitmen organisasional
yang terdiri dari tiga komponen dan telah beberapa kali melakukan revisi terhadap
pengukuran komitmen organisasional tersebut. Revisi terakhir dilakukan Meyer
dan Allen pada tahun 1997. Alat ini terdiri dari 18 butir, dimana setiap komponen
diwakili oleh 6 butir. Skala komitmen organisasi ini memiliki skor yang berkisar
antara nilai 1 (sangat tidak setuju) sampai dengan nilai 6 (sangat setuju).
Indikator yang digunakan pada tiap dimensi komitmen organisasional
adalah sebagai berikut:
1. Indikator Affective commitment:
a. Perasaan berkarir dalam organisasi.
b. Perasaan untuk mau memikirkan masalah dalam organisasi.
c. Perasaan memiliki organisasi
d. Perasaan emosional pada organisasi
e. Perasaan menjadi anggota keluarga dalam organisasi
f. Organisasi sangat bermakna dalam diri pribadi
2. Indikator Normative commitment
a. Perasaan wajib tetap berada pada organisasi
b. Perasaan tidak tepat bila meninggalkan organisasi
c. Perasaan bersalah apabila meninggalkan organisasi
d. Perasaan setia
29
e. Perasaan memiliki kewajiban pada orang lain dlm organisasi
f. Perasaan berhutang pada organisasi
3. Indikator Continuance commitment
a. Perasaan harus dan ingin bertahan pada organisasi
b. Perasaan sulit meninggalkan organisasi
c. Perasaan kuatir
d. Perasaan tidak memiliki pilihan lain
e. Perasaan merugi jika meninggalkan organisasi
f. Perasaan tidak tersedianya pilihan lain.
Menurut Allen dan Meyer (1991), perlu dicatat bahwa hubungan antara
komponen komitmen dan perilaku akan menjadi rumit oleh fakta bahwa ketiga
komponen dapat memberi efek independen (dan mungkin interaktif) pada perilaku
tertentu. Misalnya, hubungan antara komitmen kontinyu dan tenaga kerja.
Meskipun tingkat tinggi komitmen kontinyu individu mungkin cukup untuk tinggi
untuk sebuah organisasi, hal itu tidak selalu menjadikan individu memutuskan
untuk tetap tinggal. Meskipun kebutuhan untuk tetap adalah rendah, karyawan
mungkin tetap bertahan karena keinginan atau kewajiban. Ini akan menjadi
penting dalam penelitian masa depan untuk menguji efek gabungan dari tiga
komponen komitmen pada perilaku karyawan.
2.2. Knowledge Sharing Behaviour
Knowledge sharing behavior merupakan bagian dari konsep knowledge
management yang dipopulerkan oleh Drucker (1988) dalam bukunya The Coming
of the New Organization. Drucker membahas mengenai terjadinya pergerakan tipe
30
pekerja dan tipe pekerjaan yang akan ditemukan oleh organisasi pada masa depan.
Terminologi knowledge worker dan knowledge organization digunakan untuk
menjelaskan konsep tersebut. Untuk tetap kompetitif bahkan bertahan, organisasi
harus berubah menjadi organisasi yang memiliki pengetahuan, jelasnya lebih
lanjut. Pesaing tidak dapat mengadaptasi atau meniru berbagi pengetahuan yang
berasal dari sumber internal organisasi yaitu individu. Tiap individu yang berada
dalam organisasi memiliki pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai, yang menjadi
kekuatan internal untuk memajukan perusahaan. Pengetahuan dan pengalaman
sangat melekat pada diri individu-individu yang memiliki kompetensi dalam
melipatgandakan pemikiran berdasarkan pengalaman-pengalaman dan
pengetahuan yang dimiliki individu tersebut. Sehingga untuk mendayagunakan
nilai-nilai organisasi dan menghasilkan keunggulan kompetitif untuk memajukan
organisasi, maka pengetahuan ini perlu dikelola secara baik oleh organisasi.
Nonaka dan Takeuchi (1995) menyatakan knowledge management secara
operasional dapat dijelaskan sebagai proses dari (1) knowledge acquisition
(mengumpulkan dan mengidentifikasi informasi berguna), (2) organizing
knowledge (memungkinkan karayawan untuk memperoleh pengetahuan
organisasional), (3) knowledge leverage (eksploitasi dan secara berguna
mengaplikasikan pengetahuan), (4) knowledge sharing (menyebarkan
pengetahuan kepada keseluruhan organsasi), dan (5) organizational memory
(menyimpan pengetahuan pada repositori). Dalam knowledge management, nilai
organisasional dari pengetahuan individu akan meningkat apabila dibagikan.
Hubungan antar individu dapat dipererat karena pada proses knowledge sharing
31
ini, pengetahuan yang dimiliki satu individu dapat disebarkan kepada individu
lainnya untuk kemudian dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya bagi perusahaan.
Oleh karena itu knowledge sharing sangat penting untuk pengimplementasian
knowledge management.
2.2.1. Definisi Knowledge Sharing Behaviour
Knowledge sharing mengacu pada perilaku dimana individu secara
sukarela memberikan kepada orang lain (baik di dalam maupun diluar organisasi)
akses pada keunikan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya (Hansen dan
Avital, 2005). Mogotsi et al. (2011) menyatakan terdapat dua aspek dari definisi
tersebut yaitu (1) knowledge sharing muncul diantara para individu, oleh
karenanya berbeda dengan knowledge transfer yang muncul diantara bagian
organisasional yang lebih besar seperti departemen dan organisasi itu sendiri, (2)
knowledge sharing dilakukan secara sukarela.
Menurut Bock dan Kim (2002) knowledge sharing behavior merupakan
tingkatan sejauh mana individu melakukan knowledge sharing secara nyata.
Knowledge sharing behavior dapat dipahami sebagi suatu perilaku dimana
individu secara sukarela menyediakan bagi orang lain (baik di dalam maupun di
luar perusahaan) ketersediaan pengetahuan dan pengalamannya (Hansen dan
Avital, 2005)
Knowledge sharing behavior adalah proses di mana individu saling
bertukar pengetahuan (tacit dan explicit) mereka dan bersama-sama menciptakan
pengetahuan baru (Hooff dan Ridder, 2004). Definisi ini menyiratkan bahwa
setiap perilaku berbagi pengetahuan terdiri dari dua hal, membawa atau
32
menyumbangkan pengetahuan, dan mendapatkan atau mengumpulkan
pengetahuan. Hooff dan Ridder (2004), Bartol dan Sryvasta (2002) dalam Javadi,
et al. (2012) mendefinisikan knowledge sharing behavior sebagai kegiatan dimana
karyawan mentransfer informasi yang relevan kepada orang lain dalam organisasi.
Dyer dan Nobeoka (2000) dalam Lin (2007) mengindikasikan bahwa
knowledge sharing behavior dapat didefinisikan sebagai kegiatan bagaimana
membantu komunitas orang bekerja bersama-sama, memfasilitasi pertukaran
pengetahuan mereka, meningkatkan kemampuan belajar organisasi, dan
meningkatkan kemampuan mereka untuk mencapai tujuan individual dan
organisasi.
2.2.2. Dimensi Knowledge Sharing Behaviour
Berdasarkan Hooff dan Ridder, (2004), menamai dua perilaku utama
sebagai berikut: (1) menyumbangkan pengetahuan (knowledge donating),
berkomunikasi adalah salah satu modal intelektual pribadi seseorang kepada orang
lain; dan (2) mengumpulkan pengetahuan (knowledge collecting), konsultasi
dengan yang lain untuk mendapatkan sesuatu agar mereka mau berbagi modal
intelektual mereka (Akamavi dan Kimble, 2005; Nonaka dan Konno, 1998;
Tobing, 2007).
2.2.3. Pengukuran Knowledge Sharing Behaviour
Pengukuran dari knowledge sharing behavior pada penelitian ini
mengadopsi dari penelitian De Vries et al. (2006) yang juga dikutip oleh
penelitian Tohidania dan Mosakhani (2009) dan Ryu et al.(2003). Pengukuran
33
perilaku knowledge sharing menggunakan dua proses perilaku knowledge sharing
yang terdiri dari knowledge donating, yaitu perilaku mengkomunikasikan modal
intelektual yang dimiliki kepada orang lain, dan knowledge collecting, yaitu
perilaku individu untuk berkonsultasi dan meminta modal intelektual dari orang
lain. Oleh karena itu indikator knowledge sharing behavior dengan dua dimensi
knowledge donating dan knowledge collecting dapat dibagi menjadi 8 indikator,
yaitu:
1. Dimensi knowledge donating:
a. Berbagi pengetahuan baru
b. Berbagi informasi baru tentang pekerjaan
c. Berbagi cerita tentang kegiatan yang sedang dilakukan
d. Berbagi tentang aktifitas yang dilakukan
2. Dimensi knowledge sharing:
a. Mengumpulkan pengetahuan baru
b. Mengumpulkan informasi baru
c. Mengumpulkan ide-ide baru
d. Mengumpulkan keterampilan baru
Kebanyakan karyawan pada sektor hotel tidak berada hanya pada satu
hotel selama masa kerjanya, hal ini yang menyebabkan pengetahuan keluar dari
organisasi. Sikap karyawan hotel terhadap organisasi dan rekan sekerjanya
merupakan hal penting terjadinya knowledge sharing behavior, diikuti oleh
persepsi karyawan mengenai biaya yang ditimbulkan akibat knowledge sharing
behavior seperti waktu, usaha, dan hilangnya kekuasaan.
34
2.3. Motivasi kerja
2.3.1. Definisi Motivasi kerja
Meyer et al. (2004), menyatakan bahwa motivasi kerja adalah sekumpulan
kekuatan energi yang berasal baik dari dalam maupun luar individu, untuk
memulai perilaku yang berhubungan dengan pekerjaan, sekaligus menentukan
bentuk, arah, intensitas, dan jangka waktunya. Motivasi kerja berpengaruh
terhadap tingkat komitmen seorang termasuk faktor yang menyebabkan
menyalurkan dan mempertahankan tingkah laku manusia dalam suatu tekad
tertentu. Sebagaimana diketahui motivasi kerja adalah suatu proses dimana
kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian
kegiatan yang mengarah pada tercapainya suatu tujuan tertentu (Munandar,
2008:323).
Diantara banyaknya teori motivasi kerja, Self Determination Theory yang
disusun Ryan dan Deci (2000) adalah cara yang dapat digunakan sebagai cara
untuk mengidentifikasi jenis motivasi kerja berdasarkan orientasi sebab-akibat
dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kekuatan motivasi kerja pada suatu
perilaku tertentu. Self Determination Theory (SDT) adalah pendekatan dalam ilmu
psikologi yang menganalisis motivasi kerja dengan menitikberatkan pada
pentingnya suatu dorongan untuk mengembangkan diri dengan mengatur perilaku
individu.
Self Determination Theory memaparkan perkembangan kebutuhan dasar
psikologis individu yang sifatnya melekat (inherent) dan dibawa sejak lahir
(innate) sebagai faktor yang mampu mendorong kekuatan motivasi kerja pada
35
perilaku pencapaian suatu tujuan tertentu. Teori ini juga memaparkan kondisi-
kondisi yang dapat menopang atau mengurangi kekuatan motivasi kerja itu
sendiri. Konsep self determination theory dapat mengidentifikasi jenis-jenis
motivasi kerja yang berbeda (Ryan dan Deci, 2000).
Cognitive Evaluation Theory (Deci dan Ryan, 1985), yang merupakan sub
teori pertama, ada tiga kebutuhan dasar yang mendasari motivasi intrinsic.
Menurut (Ryan dan Deci, 2000), yang merupakan sub teori pertama dari Self-
Determination Theory, ada tiga kebutuhan dasar yang mendasari motivasi kerja
kerja, yaitu:
1. Competence : kebutuhan untuk menguasai atau memiliki kekuatan untuk
mengontrol dan menguasai tindakan yang dijalankan berdasarkan
pengalaman-pengalaman yang memungkinkan individu untuk menghadapi
lingkungannya secara efektif.
2. Relatedness : kebutuhan akan relasi interpersonal yang supportive secara
mutual. Pertalian dengan orang lain (relatedness) adalah kebutuhan seseorang
untuk merasakan perasaan tegabung, terhubung, dan kebersamaan bersama
orang lain. Kondisi seperti pertalian yang kuat, hangat, dan peduli dapat
memuaskan kategori jenis ini.
3. Autonomy : kebutuhan untuk membuat keputusan-keputusan yang independen
(bebas) tanpa terikat atau mendapat kontrol dari orang lain berkenaan dengan
area-area dalam kehidupan yang penting bagi individu tersebut.
Ryan dan Deci (2000) menyatakan bahwa individu - individu yang
termotivasi secara intrinsik cenderung memperlihatkan penguatan dalam
36
tampilannya, meliputi ketahanan, kreativitas, self-esteem, vitalitas, dan
kesejahteraan umum apabila dibandingkan dengan individu-individu yang
termotivasi oleh penghargaan eksternal. Karyawan diharapkan dapat
menumbuhkan dan mengembangkan atau memiliki motivasi yang bersifat
intrinsik.
Sub teori yang kedua dari SDT adalah Organismic Integration Theory
(Ryan dan Deci, 2000), yang membahas lebih lanjut empat gaya regulasi dari
motivasi ekstrinsik. Sub teori ini menjelaskan kontinum self determination
melalui regulation styles atau gaya regulasi motivasi berdasarkan gaya motivasi
ekstrinsik dan intrinsik yang mendasarinya. Bagian pertama menunjukkan
kontinum self-determination yang memperlihatkan tiga jenis motivasi
(amotivation, extrinsic motivation, dan intrinsic motivation) beserta enam gaya
regulasi motivasi (regulation styles), sudut pandang penyebab (perceived loci of
causality), dan proses yang menyertainya (corresponding processes/relevant
regulatory processes). Gambar 2.2 memperlihatkan bahwa perilaku bergerak dari
kontinum nonself-determined ke arah self-determined. Kontinum tingkah laku
tersebut berakar pada kontinum motivasi yang terdiri dari amotivation, extrinsic
motivation, dan intrinsic motivation. Motivasi tersebut dapat dilihat dalam bentuk
gaya regulasi motivasi (regulation styles), yang meliputi:
1. Non-regulation (berasal dari amotivation),
2. External regulation (berasal dari extrinsic motivation),
3. Introjected regulation (berasal dari extrinsic motivation),
4. Identified regulation (berasal dari extrinsic motivation),
37
5. Integrated regulation (berasal dari extrinsic motivation), dan
6. Intrinsic regulation (berasal dari intrinsic motivation).
Setiap gaya regulasi motivasi di atas memiliki karakteristik yang berbeda.
Meskipun berasal dari satu kontinum motivasi, gaya regulasi motivasi bukanlah
merupakan suatu kontinum. Perlu diingat bahwa gaya regulasi atau ‘regulation
styles’ di sini berbeda dengan strategi self-regulation of cognition. Regulation
styles di sini membahas bagaimana individu termotivasi (Pintrich dan Schunk,
2002: 262). Semakin seseorang menginternalisasikan dan mengasimilasikan nilai-
nilai ke dalam dirinya, individu akan mengalami otonomi yang makin besar dalam
tingkah lakunya (semakin self-determined).
Ryan dan Deci (2000) menyatakan bahwa motivasi intrinsik merupakan
suatu proses natural yang dapat terjadi sejak awal. Gaya regulasi motivasi
external, introjected, identified, dan integrated merupakan jenis-jenis motivasi
ekstrinsik. Self-determination theory bukanlah teori motivasi yang hirarkis.
Individu tidak perlu melewati seluruh gaya regulasi, khususnya orang dewasa.
Pengalaman masa lalu membuat mereka dapat beradaptasi dengan situasi atau
tugas baru dan dalam waktu singkat berada pada tingkat otonom. Deci
menekankan bahwa individu tidak memiliki satu gaya regulasi; individu memiliki
setiap gaya regulasi motivasi dalam derajat tertentu.
38
Gambar 2.2 Self Determination Theory
Sumber: Deci dan Ryan (2000)
Self-Determination Theory dijelaskan melalui kontinum self-
determination. Berkisar dari amotivation, yaitu kurangnya self-determination,
sampai pada motivasi intrinsik, yang ditentukan sendiri. Antara amotivation dan
motivasi intrinsik, sepanjang kontinum deskriptif tersebut, terdapat empat jenis
motivasi ekstrinsik, dengan eksternal yang paling dikontrol (tidak ditentukan
sendiri), dan introjected, identified, and integrated semakin lebih ditentukan
sendiri.
2.3.2. Pengukuran Motivasi kerja
Menurut Elliot et al. (2000) dan Sue Howard (1999) dalam Suhardjo
(2013), motivasi kerja seseorang dapat timbul dan berkembang melalui dirinya
39
sendiri (intrinsik) dan dari lingkungan (ekstrinsik). Selain itu, berdasarkan sumber
pembentuk dan orientasi individu untuk terlibat dalam sebuah perilaku Self
Determination Theory juga mengkategorikan motivasi kerja menjadi dua yaitu
motivasi kerja yang terbentuk dari diri individu itu sendiri (motivasi kerja
intrinsik) dan motivasi kerja yang terbentuk karena adanya pengaruh dari luar
(motivasi kerja ekstrinsik).
Motivasi kerja intrinsik bermakna sebagai keinginan dari diri-sendiri untuk
bertindak tanpa adanya rangsangan dari luar (Elliot et al., 2000). Perilaku yang
didasari oleh motivasi kerja secara intrinsik menggunakan naluri aktivitas diri
sendiri, yaitu aktivitas yang dilakukan secara alami dan spontan saat mereka
memiliki keinginan dan kebebasan untuk melakukan apa yang mereka inginkan
(Ryan dan Deci, 2000). Motivasi kerja intrinsik akan mendorong seseorang untuk
berusaha mencapai kepuasan serta memberi keajegan dalam belajar, kebutuhan,
harapan, minat dan sebagainya. Selain itu, motivasi kerja intrinsik memiliki
kecenderungan yang secara alami dimulai dari ketertarikan yang spontan dan
keinginan untuk mengeksplorasi lingkungan sekitar, dimana semua hal tersebut
penting untuk perkembangan kognitif dan sosial, serta menggambarkan prinsip
utama dari sebuah kesenangan hidup (Ryan dan Deci, 2000). Individu-individu
yang termotivasi kerja secara intrinsik cenderung memperlihatkan penguatan
dalam tampilannya, meliputi ketahanan, kreativitas, self-esteem, vitalitas, dan
kesejahteraan umum apabila dibandingkan dengan individu-individu yang
termotivasi kerja oleh rewards eksternal.
40
Motivasi kerja ekstrinsik dijabarkan sebagai motivasi kerja yang datang
dari luar individu yang mengarah pada suatu hasil yang terpisah (Ryan dan Deci,
2000). Elliot et. al. (2000) mencontohkan dengan pemberian nilai, hadiah dan atau
penghargaan yang digunakan untuk merangsang motivasi kerja seseorang untuk
keluar dari ketidakpuasan, termasuk di dalamnya adalah hubungan antar manusia
(dorongan keluarga), lingkungan, serta imbalan.
Menurut (Gagne dan Deci, 2005), motivasi kerja ekstrinsik dibagi menjadi
4 klasifikasi yaitu integrated regulation, identified regulation, introjected
regulation, dan external regulation.
1) Integrated Regulation disebutkan sebagai teori yang merepresentasikan
perkembangan kemajuan yang sangat penting bagi motivasi kerja ekstrinsik.
Integrated regulation terjadi pada individu yang melakukan aktivitas untuk
kepentingan lain bagi kehidupannya dan mencari kepuasan dari aktivitas
tersebut. Tipe regulasi ini terjadi ketika seorang individu bukan hanya telah
berhasil mengidentifikasi sebuah perilaku yang berarti, namun juga telah dapat
mengintegrasikan hal tersebut ke dalam dirinya.
2) Identified regulation terjadi pada individu yang melakukan suatu aktivitas
karena menganggap aktivitas tersebut berguna dan bermanfaat bagi mereka.
Regulasi yang terjadi pada tingkat ini berdasarkan dari identifikasi, dimana
individu mulai melihat suatu nilai (value) untuk dirinya sendiri dari sebuah
aktivitas yang dilakukannya.
3) Introjected regulation terjadi pada individu yang melakukan suatu aktivitas
karena adanya tekanan eksternal. Regulasi ini dapat digambarkan sebagai
41
suatu proses internalisasi faktor ekstrinsik ke dalam diri individu namun masih
sebagian, dimana perilaku tersebut masih termotivasi kerja oleh suatu hadiah
atau hukuman, namun hal itu terbentuk sendiri oleh pikiran individu tersebut.
Pada tahap ini, individu melakukan tindakan atau aktivitas karena merasa
“harus”, dan bukan karena ia ingin melakukannya, sehingga dalam
menjalankannya seringkali diikuti oleh perasaan tertekan dan khawatir.
4) External regulation terjadi apabila individu melakukan suatu aktivitas untuk
memperoleh reward yang dapat diperoleh dari aktivitas tersebut.
Amotivasi kerja terjadi pada individu yang tidak memiliki pandangan
kontingensi antara tindakan mereka dan hasil dari tindakan yang dilakukan.
Individu pada golongan ini termasuk mereka yang mengalami perasaan
ketidakmampuan dan kurangnya kontrol. Mereka tidak termotivasi kerja baik
secara intrinsik maupun ekstrinsik. Pada kondisi ini ketika individu tidak
termotivasi, mereka akan bertindak tanpa niat (intention), namun hanya mengikuti
arus. Amotivasi adalah hasil dari tidak dapat menilai suatu aktivitas (Deci dan
Ryan, 2000). Misalnya, ketika seorang atlet berada dalam keadaan mengapa
mereka tidak lagi dapat mengidentifikasi alasan untuk terus berlatih. Pada
akhirnya, mereka justru memutuskan untuk berhenti berlatih olahraga. Tidak
terpuaskannya tiga kebutuhan dasar (authonomy, competence, relatedness)
membuat seseorang mengalami amotivasi atau ketidakinginan melakukan sesuatu
(Pelletier, et al., 1995).
Penelitian ini menggunakan motivasi kerja intrinsik dan ektrinsik dari
Gagne dan Deci (2005) yang merupakan pengembangan dari Self-Determination
42
Theory Ryan dan Deci (2000). Self-Determination Theory menjelaskan berbagai
motivasi kerja yang otonom dan dikendalikan. Motivasi yang mewakili motivasi
otonom melibatkan bertindak karena adanya panggilan dan memiliki pengalaman
pilihan. Contohnya, seseorang melakukan suatu kegiatan karena hal tersebut
menarik, orang tersebut melakukan kegiatan tersebut sepenuhnya atas keinginan
sendiri. Sebaliknya, motivasi dikendalikan melibatkan bertindak dengan rasa
tekanan, rasa harus terlibat dalam tindakan. Self-Determination Theory
menyatakan bahwa motivasi intrinsik, identified regulation, dan integrated
regulation merupakan jenis motivasi yang mewakili motivasi otonom (self-
determined), sedangkan introjected, external regulation dan amotivasi mewakili
motivasi dikendalikan (nonself-determined).
2.4. Kepuasan Kerja
2.4.1. Definisi Kepuasan Kerja
Pada dasarnya, kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual.
Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan
sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Asumsi dasar dari Theory of Work
Adjustment yang diungkapkan Dawis et al. (1968) adalah setiap individu ingin
mencapai dan terus menjaga hubungan yang baik dengan lingkungannya. Setiap
individu membawa kemampuan kedalam lingkungan pekerjaan, dan lingkungan
pekerjaan menyediakan imbalan (gaji, prestige, hubungan antar pribadi) atas
kemampuan tersebut. Kemampuan yang dibawa setiap individu membawa kepada
pemenuhan persyaratan yang dimiliki oleh lingkungan kerja, dan imbalan yang
diberikan oleh lingkungan kerja membawa kepada pemenuhan kebutuhan setiap
43
individu. Kepuasan kerja menekankan pada lingkungan kerja yang spesifik
dimana karyawan melakukan pekerjaaannya
Kepuasan kerja karyawan tergantung pada perbedaan antara kebutuhan,
keinginan atau harapan yang dipersepsi diperoleh melalui pekerjaan yang
dilakukannya. Berbagai faktor dapat menjadi pendorong tinggi rendahnya
kepuasan kerja karyawan, sebab kepuasan kerja merupakan sikap seseorang atas
pekerjaannya yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sikap ini yang secara terus
menerus dipantau oleh atasan sehingga kualitas kerja karyawan dapat tetap
terjaga.
2.4.2. Dimensi Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja diukur dengan Minessota Satisfaction Questionnaire
(MSQ) yang dikembangkan oleh Weiss et al. (1967) MSQ adalah skala yang
dikenal secara luas dan dipercaya menonjolkan komponen penting yang
membentuk kepuasan kerja dan telah digunakan untuk mengukur kepuasan kerja
berdasarkan tiga dimensi oleh beberapa peneliti (Gunlu et al., 2010). Skala yang
digunakan terdiri dari skala Likert yang berisi pernyataan sangat tidak puas, tidak
puas, netral, puas, dan sangat puas.
Pada tahun 1967, Weiss et al. (Gillet and Schwab, 1975) mengembangkan
pengukuran kepuasan kerja yang diberi nama Minnesota Satisfaction
Questionnare (MSQ), tampak bahwa MSQ lebih spesifik dan detil. Dalam
pengukuran tiap aspek, Weiss et al. (1967) menggunakan 5 buah butir dengan
pilihan tanggapan sangat tidak puas sampai dengan sangat puas. Faktor dianalisis
dengan menggunakan MSQ dan menemukan dua faktor: pertama menilai
44
kepuasan dengan aspek intrinsik pekerjaan dan kedua, penilaian kepuasan yang
lain dengan menggunakan aspek ekstrinsik.
Ketiga dimensi dalam kepuasan kerja tersebut diukur dengan indikator
atau kebutuhan elemen spesifik yang sangat penting dalam menciptakan kepuasan
kerja (Gunlu et al., 2010).
1. Dimensi Intrinsik
Kepuasan intrinsik didapatkan saat seseorang dapat berhasil melaksanakan
pekerjaannya dengan baik, meliputi:
1) Activity adalah segala macam bentuk aktivitas yang dilakukan dalam
bekerja.
2) Independence adalah kemandirian yang dimiliki karyawan dalam bekerja.
3) Variety adalah variasi yang dapat dilakukan karyawan dalam melakukan
pekerjaannya.
4) Moral Values adalah nilai-nilai moral yang dimiliki karyawan dalam
melakukan pekerjaannya seperti rasa bersalah atau terpaksa.
5) Social Service mengukur kepuasan individu dengan adanya peluang
melakukan sesuatu bagi orang lain.
6) Authority adalah wewenang yang dimiliki dalam melakukan pekerjaan.
7) Ability Utilization adalah pemanfaatan kecakapan yang dimiliki oleh
karyawan.
8) Responsibility adalah tanggung jawab yang diemban dan dimiliki
9) Creativity adalah kreatifitas yang dapat dilakukan dalam melakukan
pekerjaan.
45
10) Achievement adalah prestasi yang dicapai selama bekerja.
2. Dimensi Ekstrinsik
Kepuasan ekstrinsik didapatkan dari imbalan yang didapat, tidak selalu
berbentuk uang, namun bisa dalam bentuk penghargaan dan pengembangan
meliputi :
1) Security adalah rasa aman yang dirasakan karyawan terhadap lingkungan
kerjanya.
2) Supervision-Human Relations adalah dukungan yang diberikan oleh
organisasi terhadap pekerjanya.
3) Supervision-Technical adalah bimbingan dan bantuan teknis yang
diberikan atasan kepada karyawan.
4) Company policies kebijakan organisasi yang dilakukan adil bagi
karyawan.
5) Compensation adalah segala macam bentuk kompensasi yang diberikan
kepada para karyawan.
6) Working Conditions adalah keadaan tempat kerja dimana karyawan
melakukan pekerjaannya.
7) Co-workers adalah rekan sekerja yang terlibat langsung dalam pekerjaan.
3. Dimensi General
Kepuasan general didapatkan ketika individu merasa puas dengan kondisi
pekerjaan secara keseluruhan, meliputi:
1) Social Status adalah derajat sosial dan harga diri yang dirasakan akibat
dari pekerjaan.
46
2) Advancement kepuasan individu terhadap kemajuan atau perkembangan
yang dicapai selama bekerja.
3) Recognition adalah pengakuan atas pekerjaan yang dilakukan.
4) Company practices praktik-praktik yang dilakukn oleh organisasi.
Kepuasan kerja karyawan dalam industri perhotelan akan menghasilkan
peningkatan sikap karyawan yang positif seperti; komitmen untuk memberikan
pelayanan terbaik pada tamu, kerja sama yang baik diantara para karyawan, dan
pada akhirnya komitmen pada organisasi. Pada akhirnya hal ini akan berkontribusi
pada kemampuan hotel untuk memberikan tingkat pelayanan yang tinggi sehingga
mendorong loyalitas pelanggan. Meningkatnya kepuasan kerja karyawan dapat
menggerakkan karyawan untuk lebih terlibat dan mengambil tindakan yang
menghasilkan peningkatan kepuasan tamu dan pada akhirnya meningkatkan
profitabilitas organisasi yang sangat penting demi kelangsungan organisasi dalam
lingkungan industri hotel yang terus berubah.
Penelitian ini menggunakan Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ)
yang dikembangkan oleh Weiss et al. (1967), yang menggunakan 21 aspek dari
kepuasan kerja, untuk merepresentasikan kepuasan kerja yang lebih individu.
Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ) mengukur kepuasan kerja dengan 3
konstruk yaitu kepuasan kerja umum (general), instrisik dan ekstrinsik. Kepuasan
kerja intrinsik dievaluasi melalui faktor-faktor kunci seperti kemampuan utilisasi,
aktifitas, pencapaian, otoritas, kebebasan, nilai-nilai moral, tanggung jawab,
keamanan, kreatifitas, layanan sosial, status sosial dan keberagaman. Sementara
kepuasan kerja ekstrinsik faktor-faktor kunci adalah pencapaian, kebijakan
47
perusahaan, kompensasi, pengakuan, supervisi-hubungan antar manusia, dan
supervisi-aspek teknis. Ketika faktor intrinsik dan ekstrinsik di tambahkan maka
terbentuklah kepuasan kerja umum (general) (Feinstein dan Vondrasek, 2001).
2.5. Pemetaan Posisi Penelitian
Tinjauan empiris yang telah dipaparkan sebelumnya menggambarkan
perkembangan studi empiris mengenai komitmen organisasional dan perilaku
knowledge sharing. Komitmen organisasional juga dipengaruhi oleh motivasi
kerja dan kepuasan kerja. Perilaku knowledge sharing dibentuk oleh intensi atau
niat untuk berbagi pengetahuan. Perilaku knowledge sharing ini memiliki dua
proses yaitu knowledge donating dan knowledge collecting.
Terkait dengan berbagai hasil penelitian sebelumnya mengenai knowledge
sharing behavior terdapat beberapa keterbatasan, pertama penelitian dilakukan
berdasarkan perspektif motivasi, dimana penelitian-penelitian tersebut ditarik dari
pandangan teoritis berbasis pengetahuan yang dimiliki perusahaan dan perspektif
biaya transaksional yang keduanya berpusat pada mekanisme motivasi tertentu
yang mengatur perilaku anggota organisasi (Bakan et al., 2011; Bartol dan
Srivastava, 2002; Gagne, 2009; Hislop, 2003; Javadi et al.; 2012, Lam dan Ford,
2010; Lin, 2007; Wu, 2013). Dengan demikian, penelitian ini mengembangkan
konsep tersebut dengan mengidentifikasi pengaruh motivasi kerja terhadap
knowledge sharing behavior.
Hal kedua yang terkait dengan hasil penelitian sebelumnya, dimana
penelitian tentang perilaku komitmen organisasional dan knowledge
sharingbehaior belum dapat digeneralisasikan karena dilakukan pada konteks dan
48
sampel yang terbatas. Penelitian ini dilakukan pada industri hospitaliti khususnya
hotel yang memiliki karakteristik berbeda dengan penelitian terdahulu.
Keterbatasan ketiga yang ditarik dari hasil penelitian sebelumnya adalah
bahwa penelitian mengenai knowledge sharing behavior tidak difokuskan pada
faktor-faktor kontekstual seperti pra syarat dan hasil yang diharapkan dari berbagi.
Bukti-bukti empiris tidak mempertimbangkan kontribusi knowledge sharing
behavior pada kepuasan kerja dan motivasi kerja.
Kesenjangan keempat terkait dengan Self-Determination Theory
diintegrasikan untuk mengidentifikasi mengenai motivasi kerja dimana pemilihan
teori didasarkan karena teori ini bukan teori motivasi hirarkis, dimana orang
dewasa, dalam hal ini karyawan, tidak harus melalui seluruh gaya regulasi.
Penelitian ini berfokus pada proses berbagi informasi penting dan
pemikiran diantara para individu dalam organisasi. Khususnya disajikan suatu
kerangka konsep untuk memahami proses komitmen organisasional yang
dipengaruhi motivasi kerja dan kepuasan kerja karyawan sehingga pada akhirnya
dapat meningkatkan knowledge sharing behavior. Konsep penelitian yang
disajikan merupakan hasil dari berbagai penelitian sosiologis pada organisasi yang
mendukung penelitian dalam perilaku sosial manusia, dimana berbagai penelitian
menunjukkan keterkaitan antara knowledge sharing behavior dengan situasi
organisasional lainnya. Berdasarkan berbagai tinjauan empiris tersebut maka
penelitian ini mengidentifikasi permasalahan yang terdapat pada organisasi yang
berhubungan dengan komitmen organisasional dan knowledge sharing behavior.
Hasil tinjauan empiris dipetakan pada Tabel 2.1.
49
Tabel 2.1 Pemetaan Hasil Penelitian Terdahulu Terkait dengan Variabel Penelitian
Peneliti Tahun Variabel Penelitian
IKS KSB MK KK KO Mowday, Steers, Porter 1979 √
Allen dan Meyer 1990 √
Meyer, Allen, dan Smith 1993 √
Meyer dan Allen 2001 √
Meyer dan Hercovitch 2001 √
Testa 2001 √ √
Goulet and Frank 2002 √
Meyer et al. 2002 √
Meyer et al. 2004 √
Kim et al. 2005 √ √
Chen 2006 √ √
Tsai et al. 2010 √ √
Lin dan Lin 2011 √ √
Cruz et al. 2013 √
Saeed et al. 2014 √ √
Kheirkah et al. 2014 √
Tong et al. 2015 √
Hooff dan Weenen 2004 √ √
Lin dan Lee 2004 √
Vries, Hooff, Ridder 2006 √ √
Hu et al. 2009 √
Tohidinia dan Mosakhani 2010 √
Yiu dan Law 2012 √
Ryu et al. 2003 √
Lin dan Lee 2004 √
Alajmi 2012 √
Elogie dan Asemota 2013 √
Bello dan Oyekunle 2014 √
Lin 2007 √ √
Tella et al. 2007 √ √ √
Tremblay 2009 √
Cetinkaya 2011 √ √
Gholizade et al. 2014 √ √ √
Jayaweera 2015 √
Aydogdu dan Asikgil 2011 √ √
Eslami dan Gharakhani 2012 √ √
Martins dan Proenca 2012 √
Bang et al. 2013 √ √ √
Azeem dan Akhtar 2014 √ √
50
Peneliti Tahun Variabel Penelitian
IKS KSB MK KK KO Suliman dan Al-Hosani 2014 √ √
Ahmad dan Rainyee 2014 √ √
Trivellas et al. 2015 √ √
Sihombing 2017 √ √ √ √
Sumber: Data diolah, 2017
Keterangan: IKS = Intention to Knowledg Sharing KSB = Knowledge Sharing Behavior MK = Motivasi Kerja KK = Kepuasan Kerja KO = Komitmen Organisasional
T Lanjutan Tabel 2.1