bab ii tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id › 47536 › 3 › bab 2.pdf · hypochondriac kanan dan...
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hepar
2.1.1 Anatomi Hepar
Hati adalah kelenjar tubuh terberat, dengan berat sekitar 1,4 kg (sekitar 3 lb)
pada orang dewasa rata-rata. Dari semua organ tubuh, ini adalah ukuran kedua
hanya untuk kulit. Hati lebih rendah dari diafragma dan menempati sebagian besar
hypochondriac kanan dan bagian dari daerah epigastrik rongga abdominopelvic.
(Bismuth, 2009). Hepar adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh,
organ ini dapat dipandang sebagai pabrik biokimia utama tubuh.Hati tersusun
menjadi unit-unit fungsional yang dikenal sebagai lobulus, yaitu susunan jaringan
berbentuk heksagonal mengelilingi satu vena sentral dan dibatasi oleh vaskuler
dan saluran empedu. Di setiap enam sudut luar lobulus terdapat tiga pembuluh :
cabang arteri hepatica, cabang vena porta hati, dan duktus biliaris. Darah dari
cabang cabang arteri hepatika dan vena porta mengalir dari perifer lobules ke
ruang kapiler luas yang disebut sinusoid, berjalan di antara jejeran sel hati ke vena
sentral seperti jari-jari roda sepeda (Sherwood, 2011).
Hepar menerima darah dari dua sumber yaitu arteri dan vena, pendarahan
arterial dilakukan oleh arteri hepatika yang bercabang menjadi arteri hepatika
dextra dan sinistra pada porta hepatika. Pendarahan vena dilakukan oleh vena
porta hepatis yang membawa darah dari seluruh traktus gastroinstentinal yang
berisi produk-produk digestive, kemudian darah akan masuk ke sinusoid hepar.
Darah arteri dan vena kemudian bergabung dan masuk ke dalam sinusoid,
6
kemudian masuk ke dalam vena sentral lalu ke vena hepatika dan berakhir di vena
kava inferior (Netter, 2010).
(Netter, 2010)
Gambar 2.1 Gambaran makroskopik hati manusia dari posterior
Sebagian besar hepar terletak pada regio hipokondrium dextra dan meluas
melintasi regio epigastrika sampai ke hipokondrium sinistra.Permukaan atas
hepar bersentuhan dengan bagian bawah diafragma yang memisahkan hepar dari
pleura, paru-paru, perikardium, dan jantung.Hepar difiksasi secara erat oleh
tekanan intra abdominalis.Hepar secara anatomi dapat dibagi menjadi 4 bagian,
yaitu lobus dextra yang besar dan lobus sinistra yang kecil dengan pelekatan
ligamentum falciformis, serta lobus kaudatus dan lobus kuadratus (Moore, 2010).
7
2.1.2 Fisiologi Hepar
Hepar menghasilkan empedu setiap harinya. Empedu penting dalam
proses absorpsi dari lemak pada usus halus. Setelah digunakan untuk membantu
absorpsi lemak, empedu akan di reabsorpsi di ileum dan kembali lagi ke hepar.
Empedu dapat digunakan kembali setelah mengalami konjugasi dan juga sebagian
dari empedu tadi akan diubah menjadi bilirubin (Sherwood, 2011)
Metabolisme lemak yang terjadi di heparadalah metabolisme
kolesterol,trigliserida, fosfolipid dan lipoprotein menjadi asam lemak dan
gliserol.Selain itu, hepar memiliki fungsi untuk mempertahankan kadar glukosa
darah selalu dalam kondisi normal. Hepar juga menyimpan glukosa dalam bentuk
glikogen (Chan et al, 2014)
Metabolisme protein di hepar antara lain adalah albumin dan faktor
pembekuan yang terdiri dari faktor I, II, V, VII, VIII, IX, X. Selain metabolisme
protein tadi,juga melakukan degradasi asam amino, yaitu melalui proses
deaminasi atau pembuangan gugus NH2.Hepar memiliki fungsi untuk
menskresikan dan menginaktifkan aldosteron,glukokortikoid, estrogen, testosteron
dan progesteron.Bila terdapat zat toksik, maka akan terjadi trasnformasi zat-zat
berbahaya dan akhirnya akan diekskresi lewat ginjal. Proses yang dialami adalah
proses oksidasi, reduksi, hidrolisis dan konjugasi. Pertama adalah jalur oksidasi
yang memerlukan enzim sitokrom P-450 (Moore, 2014)
Selanjutnya akan mengalami proses konjugasi glukoronide, sulfat ataupun
glutation yang semuanya merupakan zat yang hidrofilik. Zat-zat tersebut akan
mengalami transport protein lokal di membran sel hepatosit melalui plasma, yang
akhirnya akan diekskresi melalui ginjal atau melalui saluran pencernaan.Fungsi
8
hepar yang lain adalah sebagai tempat penyimpanan vitamin A,D,E,K, dan
vitamin B12. Sedangkan mineral yang disimpan di hepar antara lain tembaga dan
besi. (Sherwood, 2011)
2.1.3 Histologi Hepar
(Mescher, 2013)
Gambar 2.2 Lobulus hepatik
Sel–sel yang terdapat di hati antara lain: hepatosit, sel endotel, dan
sel makrofag yang disebut sebagai sel kuppfer, dan sel ito (sel penimbun
lemak). Sel hepatosit berderet secara radier dalam lobulus hati dan
membentuk lapisan sebesar 1-2 sel serupa dengan susunan bata. Lempeng
sel ini mengarah dari tepian lobulus ke pusatnya dan beranastomosis secara bebas
membentuk struktur seperti labirin dan busa. Celah diantara 14 lempeng-
lempeng ini mengandung kapiler yang disebut sinusoid hati (Mescher,
2013).
Sinusoid hati adalah saluran yang berliku–liku dan melebar, diameternya
tidak teratur, dilapisi sel endotel bertingkat yang tidak utuh. Sinusoid dibatasi
oleh 3 macam sel, yaitu sel endotel (mayoritas) dengan inti pipih gelap, sel
Kupffer yang fagositik dengan inti ovoid, dan sel stelat atau sel Ito atau
liposit hepatik yang berfungsi untuk menyimpan vitamin A dan memproduksi
9
matriks ekstraseluler serta kolagen. Aliran darah di sinusoid berasal dari cabang
terminal vena portal dan arteri hepatik, membawa darah kaya nutrisi dari saluran
pencernaan dan juga kaya oksigen dari jantung (Eroschenko, 2012).
Traktus portal terletak di sudut-sudut heksagonal. Pada traktus portal,
darah yang berasal dari vena portal dan arteri hepatik dialirkan ke vena sentralis.
Traktus portal terdiri dari 3 struktur utama yang disebut trias portal. Struktur yang
paling besar adalah venula portal terminal yang dibatasi oleh sel endotel pipih.
Kemudian terdapat arteriola dengan dinding yang tebal yang merupakan cabang
terminal dari arteri hepatik. Dan yang ketiga adalah duktus biliaris yang
mengalirkan empedu. Selain ketiga struktur itu, ditemukan juga limfatik
(Mescher, 2013)
Aliran darah di hati dibagi dalam unit struktural yang disebut asinus
hepatik. Asinus hepatik berbentuk seperti buah berry, terletak di traktus portal.
Asinus ini terletak di antara 2 atau lebih venula hepatic terminal, dimana
darah mengalir dari traktus portalis ke sinusoid, lalu ke venula tersebut.
Asinus ini terbagi menjadi 3 zona, dengan zona 1 terletak paling dekat
dengan traktus portal sehingga paling banyak menerima darah kaya oksigen,
sedangkan zona 3 terletak paling jauh dan hanya menerima sedikit oksigen. Zona
2 atau zona intermediet berada diantara zona 1 dan 3. Zona 3 ini paling mudah
terkena jejas iskemik (Eroshcenko, 2012)
10
(Eroschenko, 2012)
Gambar 2.3 Gambaran mikroskopik dengan perbesaran 30x hati manusia
2.2 Tuberkulosis
2.2.1 Pengertian dan Etiologi Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi menular yang di sebabkan
oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (MTB) yang dapat menyerang berbagai
organ yang dapat menyebabkan berbagai komplikasi bila tidak diobati sampai
tuntas (Kemenkes, 2016). TB merupakan penyakit yang ditularkan melalui udara
(airborne disease) yang biasanya menyerang paru dan menimbulkan gejala
berupa batuk parah, demam, dan nyeri dada (Fogel, 2015). Mycobacterium
tuberculosis (MTB) adalah bakteri berbentuk batang yang tahan asam (memiliki
banyak kandungan lipid kompleks yang siap berikatan dengan pewarnaan Ziehl-
Neelsen dan resisten terhadap penghapusan warna) (Kumar et al, 2015).
2.2.2 Faktor Resiko
Faktor resiko terjangkitnya tuberkulosis sangat bergantung pada ketahan
tubuh host, lingkungan, dan juga MTB. Terdapat beberapa grup yang mempunyai
faktor resiko lebih tinggi untuk terjangkit tuberkulosis yaitu dewasa muda
11
(kebanyakan laki-laki), orang-orang pada negara berkembang, orang yang bekerja
pada bidang kesehatan, orang yang mempunyai sistem imun yang rendah seperti
orang HIV, dan juga perokok (Fogel, 2015).
Faktor risiko penularan tuberkulosis adalah faktor lingkungan dan factor
perilaku, faktor lingkungan meliputi ventilasi, kepadatan hunian, suhu,
pencahayaan dan kelembaban. Di Indonesia masalah penyakit TB terus meningkat
karena beberapa sebab diantanya adalah kemiskinan sehingga banyak yang
memiliki tingkat pendidikan rendah dan terbentuknya lingkungan (kondisi
sanitasi, papan, sandang dan pangan) yang buruk. Selain itu kegagalan program
TB juga menjadi salah satu faktor resiko tersebarnya penyakit tersebut
(Kemenkes, 2014).
2.2.3 Penularan Tuberkulosis
Infeksi MTB ditularkan melalui inhalasi atau udara dari partikel (percik
renik dahak) yang dikeluarkan oleh orang yang terinfeksi (droplet nuclei).
Percikan dahak pada orang yang menderita TB (BTA positif maupun BTA
negative) dapat menularkan penyakitnya pada orang di sekitarnya karena
mengandung MTB. MTB kemudian akan masuk ke sistem pernafasan (paru) dan
dapat menyebar ke organ-organ lainnya sehingga terjadi infeksi pada organ diluar
paru disebut juga TB ektraparu. Saat sistem imun tubuh seseorang masih efektif
dalam menghambat pertumbuhan MTB, maka MTB tidak akan menimbulkan
infeksi, keadaan tersebut dinamakan laten TB. Pada keadaan laten TB selain tidak
menimbulkan gejala juga tidak akan menyebabkan penularan MTB (Kemenkes,
2014).
12
2.2.4 Klasifikasi Pasien Tuberkulosis
Berdasarkan pedoman TB nasional oleh Kemenkes tahun 2014 pasien TB
dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi, riwayat pengobatan
sebelumnya, status HIV, dan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat.Berdasarkan
hasil uji kepekaan obat dapat diklasifikasikan menjadi mono resisten (TB MR),
poli resisten (TB PR), multi drug resisten (MDR-TB), extensive drug resisten (TB
XDR), dan resisten rifampisin (TB RR). TB MR adalah TB dengan resisten
terhadap salah satu jenis first line drug (FLD) sedangkan TB PR resisten terhadap
lebih dari satu jenis FLD selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara
bersamaan. MDR-TB adalah TB dengan resisten terhadap isoniazid (H) dan
rifampisin (R) secara bersamaan. TB XDR adalah MDR-TB yang sekaligus juga
resisten terhadap salah satu obat anti tuberkulosis golongan fluorokuinolon dan
minimal salah satu dari second line drug (SLD) jenis suntikan (kanamisin,
kapreomisin, amikasin). Dan yang terakhir, TB RR adalah resisten terhadap
rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap obat anti tuberkulosis lain yang
terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional) (Kemenkes, 2014).
13
2.2.5 Pengobatan Tuberkulosis
(Kemenkes, 2014)
Pengobatan untuk pasien TB memiliki tujuan untuk menyembuhkan
pasien, memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup, mencegah terjadinya
kematian akibat kuman TB, mencegah terjadinya kekambuhan, menurunkan
penularan, serta mencegah terjadinya resistensi obat TB. Pengobatan TB
merupakan upaya paling efisien dalam mengurangi penularan TB. Penggunaan
obat antituberkulosis harus dilakukan secara adekuat dengan memenuhi prinsip.
Pertama, pengobatan harus diberikan dalam bentuk paduan minimal empat macam
obat untuk mencegah terjadinya resistensi. Kedua, diberikan dalam dosis yang
tepat. Ketiga, dikonsumsi secara teratur dengan diawasi langsung oleh pengawas
menelan obat (PMO). Keempat, pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang
cukup dan dapat terbagi menjadi tahap awal serta tahap lanjutan (Kemenkes,
2014).
Jenis Sifat Efek Samping
Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer, psikosis toksik, gangguan fungsi
hati, kejang
Rifampisin (R) Bakterisidal
Flu syndrome, gangguan gastrointestinal, urine
berwarna merah, gangguan fungsi hati,
trombositopeni, demam, skin rash, sesak nafas, anemia
hemolitik
Pirazinamid (Z) Bakterisidal Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati, gout
artritis
Streptomisin (S) Bakterisidal
Nyeri ditempat suntikan, gangguan keseimbangan dan
pendengaran, renjatan anafilaktik, anemia,
agranulositosis, trombositopenia
Etambutol (E) Bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis perifer
Tabel 2.1 First Line Drug
14
Tabel 2.2 Second Line Drug
Jenis Sifat Efek Samping
Golongan 1 : FLD
Pirazinamid (Z)
Etambutol (E)
Bakterisidal
Bakteriostatik
Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi
hati, gout artritis
Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis
perifer
Golongan 2 : suntikan
Kanamycin (Km)
Amikacin (Am)
Capreomycin (Cm)
Bakterisidal
Bakterisidal
Bakterisidal
Sama seperti gangguang yang ditikbulkan
streptomisin
Golongan 3 :
Fluorokuinolon
Levofloksasin (Lfx)
Moksifloksasin (Mfx)
Bakterisidal
Bakterisidal
Mual, muntah, sakit kepala, pusing, sulit tidur,
ruptur tendon
Mual, muntah, diare, sakit kepala, pusing, nyeri
sendi, ruptur tendon
Golongan 4 : SLD
oral
Para-aminosalicylic
acid (PAS)
Bakteriostatik
Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi
hati, gangguan pembekuan darah, hipotiroid
yang reversibel
Cyclosirin (Cs)
Etionamid (Eti
Bakteriostatik
Bakterisidal
Gangguan sistem syaraf pusat : sulit konsentrasi
dan lemah, depresi, bunuh diri, psikosis,
neuropati perifer, Steven Johnson Syndrome
Gangguan gastrointestinal, anoreksia, gangguan
fungsi hati, jerawatan, rambut rontok,
ginekomasti, impotensi, gangguan siklus
menstruasi, hipotiroid
(Kemenkes, 2014)
Pengobatan TB memiliki efek samping yang sering muncul, proporsi
penderita yang mengalami efek samping lebih banyak pada minggu pertama dan
kedua (Abbas, 2017). Hal ini sejalan dengan penelitian Sari dkk. (2014) bahwa
efek terbesar yang dialami penderita yakni pada bulan pertama dan kedua
pengobatan (tahap intensif). Efek ini akan menurun seiring berjalannya waktu
pengobatan. Tingginya efek samping pada minggu pertama dan kedua karena
priode tersebut merupakan priode awal mengkonsumsi obat. Pada tahap ini,
penderita sangat rentan mengalami efek samping (Abbas, 2017).
15
2.3 Second Line Drug Anti Tuberkulosis
Tabel 2.3 Pengolongan SLD
No. Penggolongan Obat Nama Obat Kode Obat
1 Grup A. Fluoroquinolones Levofloksasi
Moxifloksasin
Gatifloksasin
Lfx
Mfx
Gfx
2 Grup B. SLD injeksi Amikasin
Capreomisin
Kanamisin
(streptomisin)
Am
Cm
Km
(S)
3 Grup C. SLD inti lainya Etionamid/Protionamid
Cycloserin/Terizidone
Linezoilid
Clofazinim
Eto/Pto
Cs/Trd
Lzd
Cfz
4 Group 4 D1. Pirazinamid
Etambutol
Isoniazid dosis tinggi
D2. Bedaquilin
Delamanid
Z
E
Hh
Bdq
Dlm
Second Line Drug (SLD) anti tuberkulosis merupakan obat yang dipakai
untuk mengobati pasien TB dengan resistensi obat salah satunya MDR-TB
(WHO, 2016). Sedangkan di Indonesia mengacu kepada Kemenkes (2014) dalam
Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, paduan SLD yang diberikan
kepada pasien MDR-TB adalah paduan standar (standardized treatment) yang
terdiri dari Km – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E). Paduan
tersebut diberikan kepana pasien yang sudah terkonfirmasi secara laboratoris
MDR-TB. Pemberian paduan standar tersebut dapat berubah dan akan disesuaikan
paduan atau dosisnya bila terjadi kondisi-kondisi tertentu yaitu :
a. Terdapat bukti tambahan resistensi berdasarkan hasil uji kepekaan
konvensional baik FLD maupun SLD.
b. Terjadi efek samping berat dan penyebab obat sudah diketahui
maka obat bisa diganti bila tersedia obat pengganti atau dihentikan.
(Kemenkes, 2014)
16
c. Dosis dapat disesuaikan apabila terjadi perubahan kelompok berat
badan atau terjadi efek samping berat dan obat pengganti tidak tersedia.
Second Line Drug (SLD) mempunyai efektivitas lebih rendah
dibandingkan dengan FLD dan memiliki efek samping yang lebih banyak atau
lebih parah dari pada FLD. Efek samping yang ditimbulkan oleh SLD dapat
berupa gastrointestinal (mual, muntah, atau nyeri perut), otovestibular toxicity,
arthralgia, jaundice, nephrotoxicity, hipotiroid, dan depresi (Akshata, 2016).
Dalam penelitian lain oleh El Din (2015) disebutkan bahwa efek samping yang
ditimbulkan setelah konsumsi paduan SLD adalah gangguan gastrointestinal,
Peripheral Neuropathy (PN), hipokalemia, ototoxicity, hipotiroid, gangguan kulit,
dan depresi. Hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Rathod et al
(2015) bahwa efek samping yang ditimbulkan adalah gangguan gastrointestinal,
ototoxicity, gangguan kejiwaan, abses pada tempat injeksi, gangguan ginjal,
athralgia, Peripheral Neuropathy (PN), dan gangguan kulit. Dapat disimpulkan
dari tiga penelitian tersebut bahwasannya efek samping yang paling banyak
muncul adalah gangguan gastrointestinal yaitu mual, muntah, dan lain-lain.
Gangguan gastrointestinal tersebut biasanya muncul setelah konsumsi paduan
SLD selama satu minggu (Rathod et al, 2015).
Second Line Drug (SLD) anti tuberkulosis yang mungkin menyebabkan
adalah etionamid, PAS, levofloksasin. Pasien juga masih memakai pirazinamid
dan etambutol sebagai regimen standar TB-MDR maka penyebabnya juga dapat
disebabkan oleh pirazinamid dan etambutol. SLD anti tuberkulosis yang
dikonsumsi pasien TBMDR di Poli TB-MDR RSUD Arifin Achamad adalah
pirazinamid (91,67%), etambutol (100%), kanamisin (75%), kapreomisin (25%),
17
sikloserin (100%), etionamid (100%) dan levofloksasin (100%) (Kemenkes,
2016).
Dosis yang diberikan untuk paduan SLD berbeda-beda tergantung jenis
obat dan berat badan penderita. Dalam jurnal yang ditulis oleh Reviono et al
(2014) dikelompokkan dosis masing-masing obat SLD berdasarkan berat badan
seperti pada tabel berikut ini.
Tabel 2.4 Dosis Second Line Drug Anti Tuberkulosis
OAT Berat Badan (BB)
< 33 kg 33–50 kg 51–70 kg >70 kg
Pirazinamid (Z)- 20–30
mg/kg/hari 750–1.500 mg
1.500–1.750
mg 1.750–2.000 mg
Etambutol (E) 20–30
mg/kg/hari 800–1.200 mg
1.200–1.600
mg 1.600–2.000 mg
Levofloksasin
(Lfx)
7,5–10
mg/kg/hari 750 mg 750 mg 750–1.000 mg
Sikloserin (Cs) 15–20
mg/kg/hari 500 mg 750 mg 750–1.000 mg
Etionamid (Eto) 15–20
mg/kg/hari 500 mg 750 mg 750–1.000 mg
(Reviono et al, 2014)
2.3.1 Levofloksasin
Levofloksasin merupakan salah satu obat antibiotik dari golongan
fluoroquinolon yang mempunyai aktivitas cukup baik terhadap bakteri MTB
(Istiantoro, 2012). Menurut Trevor et al (2013) levofloksasin merupakan suatu L-
isomer ofloksasin dan mempunyai aktivitas antibakteri lebih besar dari pada
ofloksasin. Antibiotik golongan fluoroquinolon termasuk levofloksasin dikenal
relatif aman sehingga penambahan obati ini sebagai antituberkulosis lini kedua
akan sangat membantu terutama bagi yang sudah resisten terhadap obat lini
pertama. Golongan fluoroquinolon tidak dapat diberikan sebagai pengobatan
tunggal karena akan cepat timbul resistensi terhadap MTB sehingga perlu
dikombinasikan dengan OAT lainnya.
18
Levofloksasin termasuk obat golongan fluoroquinolon baru yang memiliki
daya antibakteri dengan spektrum luas, baik terhadap kuman gram negatif, gram
positif, serta kuman-kuman atipik. Levofloksasin bekerja sebagai DNA-gyrase
inhibitor sehingga mengakibatkan kerusakan rantai DNA bakteri. DNA-gyrase
(topoisomerase II) merupakan enzim yang sangat diperlukan oleh bakteri untuk
memelihara struktur superheliks DNA serta diperlukan juga untuk replikasi,
transkripsi, dan perbaikan DNA (Trevor et al, 2013).
Semua obat golongan fluoroquinolon termasuk levofloksasin di absorbsi
baik bila diberikan secara oral sehingga bioavaibilitasnya tinggi. Waktu puncak
(konsentrasi puncak) obat golongan fluoroquinolon mencapai serum adalah 1-3
jam setelah pemberian secara oral. Makanan dapat memperpanjang waktu
konsentrasi puncak dari obat golongan fluoroquinolon. Obat golongan
fluoroquinolon mempunyai kemampuan untuk berpenetrasi ke seluruh jaringan
tubuh dengan sangat baik sehingga dapat didistribusikan ke seluruh organ tubuh
dengan sangat baik termasuk paru-paru. Volume distribusi dari obat ini juga tinggi
dengan konsentrasi di urin, ginjal, prostat, feses, empedu, makrofag, dan neutrofil
lebih tinggi dari pada di serum. Levofloksasin dapat didistribusikan sampai ke
dalam air susu ibu karena bioavaibilitasnya yang tinggi. Levofloksasin di
eliminasi melalui ginjal via sekresi aktif tubular, maka dari itu penurunan dosis
diperlukan pada pasien yang menderita gagal ginjal. Waktu paruh dari
levofloksasin sekitar 3-8 jam (Brunton et al, 2018).
2.3.2 Pirazinamid
Pirazinamid (Z) merupakan analog nikotinamid yang telah dibuat
sintetiknya (Istiantoro, 2012). Obat ini stabil dan tidak larut dalam air. Obat ini
19
aktif dalam keadaan lingkungan asam. Pirazinamid akan bekerja sebagai
antibiotik hanya secara in vitro pada pH asam yaitu sekitar 5,9. Pirazinamid
bekerja dengan cara berdifusi secara pasif ke dalam sel MTB dan akan berubah
menjadi bentuk aktifnya yaitu asam pirazinoat dengan bantuan enzim
pirazinamidase. Asam pirazinoat tersebut bersifat bakterisidal yang akan
membunuh MTB dengan cara menginhibisi fungsi protein dari MTB (Brunton et
al., 2018).
Pirazinamid mudah diserap di usus sehingga bioavaibilitasnya jika
diberikan secara oral mencapai 90%. Pirazinamid dapat tersebar luas ke seluruh
tubuh dan mudah menembus jaringan tubuh manusia termasuk Central Nervous
System (CNS). Pirazinamid sebagian besar akan termetabolisme menjadi asam
pirazinoat. Asam pirazinoat yang aktif kemudian mengalami hidroksilasi menjadi
asam hidropirazinoat yang merupakan metabolit utama. Metabolit tersebut
kemudian akan diekskresikan melalui urin lebih tepatnya melalui filtrasi
glomerulus. Waktu paruh eliminasi pirazinamid adalah sekitar 10-16 jam
(Istiantoro, 2012).
2.3.3 Etambutol
Etambutol adalah antibiotik yang besifat bakteriostatik, larut air, dan stabil
panas. Hampir semua MTB sensitif terhadap etambutol akan tetapi etambutol
tidak efektif untuk kuman yang lain. Etambutol akan menekan pertumbuhan
kuman tuberkulosis meskipun yang telah resisten terhadap isoniazid dan
streptomisin. Mekanisme kerjanya yaitu dengan cara menginhibisi arabinosyl
transferase sehingga mengganggu sintesis arabinose menjadi arabinogalactan
20
(komponen pada dinding bakteri) sehingga akan mengganggu pembentukan
dinding bakteri (Brunton et al, 2018).
Etambutol baik absorbsi jika diberikan secara oral dan didistribusikan
secara merata ke seluruh tubuh termasuk CNS. Bioavaibilitasnya jika diberikan
secara oral mencapai 80%. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2-4
jam setelah pemberian. Sekitar 10%-40% obat berikatan dengan protein plasma.
Sekitar 80% obat tidak di metabolisme dan diekskresikan melalui ginjal (urin).
Karena diekskresikan melalui ginjal maka pada pasien dengan gagal ginjal harus
dilakukan penyesuaian dosis (Istiantoro, 2012).
Efek samping yang ditimbulkan oleh etambutol yaitu penurunan
ketajaman penglihatan, ruam kulit, dan demam. Efek samping lain yaitu pruritus,
nyeri sendi, gangguan saluran cerna, malaise, sakit kepala, pening, bingung,
disorientasi, dan halusinasi. Efek samping yang terpenting adalah optic neuritis
yaitu berupa penurunan tajam penglihatan, hilangnya kemampuan membedakan
warna, mengecilnya lapang pandang, dan skotoma sentral maupun lateral. Terapi
dengan etambutol juga menyebabkan peningkatan kadar asam urat darah pada
50% pasien (Trevor et al, 2013).
2.4 Apoptosis
2.4.1 Definisi Apoptosis
Apoptosis adalah mekanisme kematian sel yang terprogram yang penting
dalam berbagai proses biologi. Berbeda dengan nekrosis, yang merupakan bentuk
kematian sel sebagai akibat sel yang terluka akut, apoptosis terjadi dalam proses
yang diatur sedemikian rupa yang secara umum memberi keuntungan selama
siklus kehidupan suatu organisme, contohnya adalah pada diferensiasi jari
21
manusia selama perkembangan embrio membutuhkan sel-sel di antara jari-jari
untuk apoptosis sehingga jari-jari dapat terpisah. Apoptosis memiliki peranan
penting dalam fenomena biologis, proses apoptosis yang tidak sempurna dapat
menyebabkan timbulnya penyakit yang sangat bervariasi.Terlalu banyak apoptosis
menyebabkan sel mengalami kekacauan, sebagaimana terlalu sedikit apoptosis
juga menyebabkan proliferasi sel yang tidak terkontrol (kanker) (Elmore, 2007).
Beberapa contoh penyakit yang ditimbulkan karena apoptosis yang
tidak sempurna antara lain:
a. Penyakit autoimun disebabkan karena sel T/B yang autoreaktif terus
menerus.
b. Neurodegeneration, seperti pada penyakit Alzheimer dan Parkinson, akibat
dari
c. apoptosis prematur yang berlebihan pada neuron di otak. Neuron yang
tersisa
d. tidak mempunyai kemampuan untuk meregenerasi sel yang hilang.
e. Stroke iskemik, aliran darah ke bagian-bagian tertentu dari otak dibatasi
sehingga dapat menyebabkan kematian sel saraf melalui peningkatan
apoptosis.
f. Kanker, sel tumor kehilangan kemampuannya untuk melaksanakan
apoptosis sehingga proliferasi sel meningkat
(Won, Kim & Joe, 2003).
22
2.4.2 Fungsi apoptosis
a. Sel yang rusak atau terinfeksi
Apoptosis dapat terjadi secara langsung ketika sel yang rusak tidak
bisa diperbaiki lagi atau terinfeksi oleh virus.Keputusan untuk melakukan
apoptosis dapat berasal dari sel itu sendiri, dari jaringan di sekitarnya, atau
dari sel yang merupakan bagian sistem imun.Jika kemampuan sel untuk
ber-apoptosis rusak atau jika inisiasi apotosis dihambat, sel yang rusak
dapat terus membelah tanpa batas, berkembang menjadi kanker (Elmore,
2007)
b. Respon terhadap stress atau kerusakan DNA
Kondisi stress sebagaimana kerusakan DNA sel yang disebabkan
senyawa toksik atau pemaparan sinar ultraviolet atau radiasi ionisasi (sinar
gamma atau sinar X), dapat menginduksi sel untuk memulai proses
apoptosis. Contohnya pada kerusakan genom dalam inti sel, adanya enzim
PARP-1 memacu terjadinya apoptosis. Enzim ini memiliki peranan
penting dalam menjaga integritas genom, tetapi aktivasinya secara
berlebihan dapat menghabiskan Adenosin Trifosfat (ATP), sehingga dapat
mengubah proses kematian sel menjadi nekrosis (kematian sel yang tidak
terprogram) (Won, Kim & Joe, 2003)
c. Homeostasis
Homeostasis adalah suatu keadaan keseimbangan dalam tubuh
organisme yang dibutuhkan organisme hidup untuk menjaga keadaan
internalnya dalam batas tertentu. Homeostasis tercapai saat tingkat mitosis
(proliferasi) dalam jaringan seimbang dengan kematian sel (Elmore,2007).
23
Efek dari terganggungnya homeostasi dapat terjadi hal-hal seperti berikut
ini:
1. sel membelah lebih cepat dari sel mati.
2. sel membelah lebih lambat dari sel mati.
Mekanisme apoptosis sangat kompleks dan rumit. Secara garis
besarnya apoptosis,menurut Schultz & Harringto (2003) dibagi menjadi 4
tahap, yaitu :
1. Adanya signal kematian (penginduksi apoptosis).
2. Tahap integrasi atau pengaturan (transduksi signal, induksi gen
apoptosis yang
berhubungan, dll)
3. Tahap pelaksanaan apoptosis (degradasi DNA, pembongkaran
sel, dll)
4. Fagositosis.
2.4.3 Signal Penginduksi Apoptosis
Apoptosis tidak memerlukan suatu proses transkripsi atau translasi.
Molecular machine yang dibutuhkan untuk kematian sel dianggap mengalami
dormansi dan hanya memerlukan aktivasi yang cepat. Signal yang
menginduksi apoptosis bisa berasal dari ekstraseluler dan intraseluler. Signal
ekstraseluler contohnya hormon hormon. Hormon tiroksin menginduksi
apoptosis pada ekor tadpole. Apoptosis juga bisa dipicu oleh kurangnya
signal yang dibutuhkan sel untuk bertahan hidup seperti growth factor. Sel
24
lain, sel berhubungan dengan sel yang berdekatan juga bisa memberikan
signal untuk apoptosis.Signal intraseluler misalnya radiasi ionisasi, kerusakan
karena oksidasi radikal bebas, dan gangguan pada siklus sel (Schultz &
Harringto, 2003)
Kedua jalur penginduksi tersebut bertemu di dalam sel, berubah
menjadi famili protein pengeksekusi utama yang dikenal sebagai caspase. Sel
yang berbeda memberikan respon yang berbeda terhadap penginduksi
apoptosis. Misalnya sel splenic limfosit akan mengalami apoptosis saat
terpapar radiasi ionisasi, sedangkan sel myocyte tidak mengalami apoptosis
untuk pemaparan yang sama (Elmore, 2007).
Signal kematian dihubungkan dengan pelaksanaan apoptosis oleh
tahap integrasi atau pengaturan. Pada tahap ini terdapat molekul regulator
positif atau negatif yang dapat menghambat, memacu, mencegah apoptosis
sehingga menentukan apakah sel tetap hidup atau mengalami apoptosis
(mati). Apoptosis diperantarai oleh famili protease yang disebut caspase, yang
diaktifkan melalui proteolisis dari bentuk prekursor inaktifnya (zymogen).
Caspase merupakan endoprotease yang memiliki sisi aktif Cys (C) dan
membelah pada terminal C pada residu Asp, oleh karena itu dikenal sebagai
Caspases (Cys containing Asp specific protease) (Won, Kim & Joe, 2003).
Saat ini telah ditemukan 13 anggota famili caspases pada manusia.
Beberapa anggota famili caspase yang terlibat dalam apoptosis dibedakan
menjadi 2 golongan. Golongan yang pertama terdiri dari caspase 8, 9,10 yang
mengandung prodomain yang panjang pada terminal N, fungsinya sebagai
inisiator dalam proses kematian sel. Golongan yang kedua terdiri dari
25
caspase 3, 6, 7 yang mengandung prodomain yang pendek dan berfungsi
sebagai efektor, membelah berbagai substrat yang mati yang pada akhirnya
menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia yang tampak pada sel yang
mengalami apoptosis. Molekul efektor lain dalam apoptosis adalah Apaf-1
(apoptotic protease activating factor) bersama sitokrom c mengambil pro-
caspase 9 di ATP-dependent manner, dan menstimulasi proses perubahan
pro-caspase 9 menjadi caspase 9 (Wang, 2005).
ICE (Interleukin Converting Enzim) secara normal tidak terlibat dalam
apoptosis, tetapi aktivasi tiruannya dalam sel mamalia, dapat mendorong ke
arah tersebut. Masing-masing caspase mempunyai urutan yang sama,
dirancang untuk membelah, maka menjadi jelas caspase membelah satu sama
lain dalam suatu jalur mekanisme pengaktifan.Dua rangkaian caspase saling
melibatkan. Yang satunya menginisiasi proses aktivasi caspase lainnya.
Pertanyaannya siapa yang mengaktifkan caspase yang pertama? Tampak
meragukan, sampai peneliti menemukan bahwa caspase dapat diaktifkan jika
mereka mengumpul pada konsentrasi kritik. Ini bisa terjadi oleh ikatan
molekul signal bunuh diri di permukaan sel. Perubahan konformasi reseptor
dapat mendorong ke arah agregasi dari molekul reseptor permukaan dengan
serentak dengan agregasi caspases intraseluler reseptor agregasi (Won, Kim
& Joe, 2003).
2.4.4 Target Apoptosis
Apoptosis melibatkan:
1. memadatkan inti sel
26
2. memadatkan dan membagi-bagi sitoplasma ke dalam selaput
ikat badan apoptotis
3. rusaknya kromosom ke dalam fragmen yang berisi berbagai
nukleosom
Target protein pada umumnya harus protein lain, suatu DNA
endonuklease. Ketika protein target pecah, DNase bebas untuk berpindah
tempat ke inti dan mulai pelaksanaan. Perubahan dalam apoptosis terjadi
ketika caspase 3 membelah gelsolin, suatu protein dilibatkan dalam
pemeliharaan morfologi sel. Gelsolin yang dibelah membelah actin filamen di
dalam sel. Protein yang lain diperlukan untuk membentuk badan apopotic:
suatu kinase yang disebut p21-activated kinase 2 (PAK-2). Kinase ini
diaktifkan oleh caspase-3 dengan proteolisis terbatas (Porter & Janicke,
1999).
2.4.5 Tahap Pelaksanaan Apoptosis dan Caspase-3
Sinyal apoptosis bisa terjadi secara intraseluler dan ekstraseluler. Jalur
ekstrinsik (ekstraseluler) diinisiasi melalui stimulasi dari reseptor kematian
(death receptor) sedangkan jalur intrinsik diinisiasi melalui pelepasan faktor
signal dari mitokondria dalam sel.Peristiwa apoptosis jalur ekstrinsik
dimulai dari adanya pelepasan molekul signal yang disebut ligan oleh sel lain
tetapi bukan berasal dari sel yang akan mengalami apoptosis. Ligan tersebut
berikatan dengan death receptor yang terletak pada transmembran sel target
yang menginduksi apoptosis. Death receptor yang terletak di permukaan sel
adalah famili reseptor Tumor Necrosis Factor (TNF), yang meliputi TNF-R1,
CD 95 (Fas), dan TNF-Related Apoptosis Inducing Ligan (TRAIL)-R1 dan
27
R2. Ligan yang berikatan dengan reseptor tersebut akan mengakibatkan
caspase inisiator 8 setelah membentuk trimer dengan adaptor Fas Associeted
Death Domain (FADD). Kompleks yang terbentuk antara ligan-reseptor dan
FADD disebut Death Inducing Signaling Complex (DISC). CD 95, TRAIL-
R1 dan R2 terikat dengan FADD, sedangkan TNF-R1 terikat secara tidak
langsung melalui molekul adaptor lain, yaitu : TNF-Reseptor Associeted
Death Domain protein (TRADD) (Wang, 2015).
Stress mitokondria yang menginduksi apoptosis jalur intrinsik
disebabkan oleh senyawa kimia atau kehilangan faktor pertumbuhan,
sehingga menyebabkan gangguan pada mitokondria dan terjadi pelepasan
sitokrom c dari intermembran mitokondria. Protein capcase-9 akan
memotong anggota famili B-Cell Lymphoma (Bcl-2) yaitu BH3 Interacting
Domain (BID). Kemudian Bid yang terpotong pada bagian ujungnya akan
menginduksi insersi Bax dalam membran mitokondria dan melepaskan
molekul proapoptotik seperti sitokrom c, Samc/Diablo, Apoptosis Inducing
Factor (AIF), dan omi/Htr2. dengan adanya dATP akan terbentuk kompleks
antara sitokrom c, APAF1 dan caspase 9 yang disebut apoptosom.
Selanjutnya, capcase 9 akan mengaktifkan downstream procaspase-3 (Won,
Kim & Joe, 2003).
Protein caspase 3 yang aktif memecah berbagai macam substrat,
diantaranya enzim DNA repair seperti poly-ADP Ribose Polymerase (PARP)
dan DNA protein kinase yaitu protein struktural seluler dan nukleus,
termasuk aparatus mitotik inti, lamina nukleus, dan aktin serta endonuklease,
seperti Inhibitor Caspase-Aktivated Deoxyribonuklease (ICAD) dan
28
konstituen seluler lainnya. Selain itu, caspase-3 juga mempunyai kemampuan
untuk mengaktifkan caspese lainnya, seperti procaspase-6 dan procaspase-7
yang memberikan amplifikasi terhadap kerusakan seluler.Adanya seluler stres
meningkatkan ekspresi dari protein p53 yang mengakibatkan terjadinya GI
arrest atau apoptosis. Anggota dari Apoptosis Stimulating Protein p53
(ASPP) yaitu ASPP 1 dan ASPP 2 secara spesifik menstimulasi fungsi
transsktivasi p53 pada promotor gen proapoptotik seperti Bax dan p53
Inducible Gene 3 (PIG 3), tapi tidak pada promotor gen yang menyebabkan
cell cycle arrest, yaitu p21. (Wang, 2015)
2.4.6 Apoptosis Jalur Intrinsik
(Wang, 2015) 2.4 Tahapan apoptosis jalur intrinsik. Gambar tersebut menjelaskan mengenai mekanisme tahapan apoptosis
pada jalur intrinsik. Jalur ini biasa diaktifkan dalam respon stimulus letal yang lain seperti pengrusakan DNA,
stress oksidatif, dan hipoksia. Mitokondria mengandung faktor proapoptosis seperti sitokrom c dan Apoptosis
Inducing Factors (AIF). Sitokrom c yang keluar ke sitoplasma kemudian berikatan dengan Apaf-1 membentuk
Caspase Recruitment Domain (CARD). Beberapa CARD bergabung membentuk kompleks apoptosome
kemudian mengikat pro-caspase 9 dan mengaktivasinya menjadi caspase 9 (caspase inisiator). Caspase 9 ini
akan mengaktivasi procaspase-3 menjadi caspase 3 yang merupakan caspase efektor yang melaksanakan
apoptosis
Proapoptosis seperti sitokrom C dan AIF tersimpan aman dalam
mitokondria. Saat keduanya dilepaskan ke sitoplasma dapat mengaktifkan jalur
29
aktivasi caspase. Pelepasannya diatur oleh famili Bcl-2 yang terikat dengan
mitokondria, yaitu Bax dan Bad. Sitokrom c dalah protein heme yang berperan
sebagai pembawa elektron yang larut dalam air dalam fosforilasi oksidatif
mitokondria. Bila terjadi kumparan elektron melalui sitokrom c oxidase atau
kompleks IV, adanya perubahan kekuatan ion menyebabkan gelombang matriks.
Saat membran dalam mitokondria memiliki permukaan yang lebih luas dibanding
membran luar maka gelombang matriks menyebabkan nonspecific inner
membrane permeability transition pore terbuka sehingga sitokrom c keluar ke
sitoplasma. (Porter, 1999).
Caspase memecah protein menyebabkan inti sel pecah. Protein yang
merupakan target caspase biasanya terikat dengan protein lain, yaitu sebuah
DNA endonuklease. Saat protein pecah, DNase bebas bermigrasi ke nukleus
dan memecahnya. Perubahan membran terjadi saat caspase 3 memecah
gelsolin, suatu protein yang terlibat dalam pemeliharaan morfologi sel.
Gelsolin yang terpecah akan membelah filamen aktin di dalam sel. Caspase 3
juga mengaktivasi kinase yang disebut p21-activated kinase 2 (PAK 2)
melalui proteolisis. PAK2 termasuk protein yang dibutuhkan dalam
membentuk apoptotic body. Wang (2015) menyebutkan, Selama apoptosis
mitokondria mengalami perubahan yang disebabkan oleh :
a. Gangguan oksidasi-fosforilasi dan transport elektron karena radiasi
dan adanya second messenger tertentu seperti ceramide.
b. Perubahan dalam potensial redoks sel dan turunan Reactive Oxygen
Species (ROS).
c. Kerusakan DNA.
30
d. Kerusakan DNA memacu ekspresi protein yang dikenal sebagai
p53. protein ini menyebabkan penghambatan pembelahan sel atau
apoptosis, dimana keduanya akan mnjaga sel dari menjadi sel
tumor. Oleh karena itu gen p53 adalah gen tumor suppressor.
e. Peningkatan ion Ca2+ intraseluler melalui tranduksi signal.
Death Receptor Pathway dan Mitocondrial Pathway bertemu saat
caspase inisiator (caspase 8, 9, 10) menghasilkan aktivasi caspase efektor
(caspase 3, 6, 7).
(Wang, 2015)
Gambar 2.5 Pertemuan Death ReceptorPathway dan Mitocondrial Pathway 2.4.7 Apoptosi Jalur Ekstrinsik
Penginduksi apoptosis dikategorikan dalam 3 grup, yaitu faktor
kematian, obat anti-oksidan yang genotoksik, factor deprivation. Fas ligan,
salah satu contoh faktor kematian, berikatan dengan reseptor Fas,
menyebabkan trimerisasi. Domain kematian yang mengalami trimerisasi
dalam sitoplasma mengikat pro-caspase 8 melalui FADD/MORT1
membentuk DISC. Pro-caspase 8 mengalami autoaktivasi pada DISC menjadi
bentuk enzim yang aktif. Cohen (1997) menyebutkan bahwa Ada 2 jalur
aktivasi caspase 3 melalui caspase 8 :
31
1) Caspase 8 secara langsung mengubah pro-caspase 3 menjadi caspase
3. Caspase 3 membelah berbagai protein sel termasuk ICAD sehingga
CAD dilepaskan dari ICAD, lalu mendegradasi kromosom DNA.
2) Caspase 8 membelah Bid, molekul pro-apoptosis yang termasuk
famili Bcl-2, yang kemudian ditranslokasikan ke mitokondria untuk
melepaskan sitokrom c ke sitosol. Bcl-2.
Caspase memecah protein menyebabkan inti sel pecah. Protein yang
merupakan target caspase biasanya terikat dengan protein lain, yaitu sebuah
DNA endonuklease. Saat protein pecah, DNase bebas bermigrasi ke nukleus
dan memecahnya. Perubahan membran terjadi saat caspase 3 memecah
gelsolin, suatu protein yang terlibat dalam pemeliharaan morfologi sel.
Gelsolin yang terpecah akan membelah filamen aktin di dalam sel. Caspase 3
juga mengaktivasi kinase yang disebut p21-activated kinase 2 (PAK 2)
melalui proteolisis. PAK2 termasuk protein yang dibutuhkan dalam
membentuk apoptotic body.Selama apoptosis mitokondria mengalami
perubahan yang disebabkan oleh :
a. Gangguan oksidasi-fosforilasi dan transport elektron karena radiasi
dan adanya second messenger tertentu seperti ceramide.
b. Perubahan dalam potensial redoks sel dan turunan Reactive
Oxygen Species (ROS).
c. Kerusakan DNA.Kerusakan DNA memacu ekspresi protein yang
dikenal sebagai p53. protein ini menyebabkan penghambatan
pembelahan sel atau apoptosis, dimana keduanya akan mnjaga sel
32
dari menjadi sel tumor. Oleh karena itu gen p53 adalah gen tumor
suppressor.
d. Peningkatan ion Ca2+ intraseluler melalui tranduksi signal.
(Wang, 2015)
Gambar 2.6. Transduksi signal apoptosis. Penginduksi apoptosis dikategorikan dalam 3 grup, yaitu faktor
kematian, obat anti-oksidan yang genotoksik, factor deprivation. Fas ligan, salah satu contoh faktor
kematian, berikatan dengan reseptor Fas, menyebabkan trimerisasi. Domain kematian yang mengalami
trimerisasi dalam sitoplasma mengikat pro-caspase 8 melalui FADD/MORT1 membentuk DISC. Pro-
caspase 8 mengalami autoaktivasi pada DISC menjadi bentuk enzim yang aktif. Caspase 8 secara
langsung mengubah pro-caspase 3 menjadi caspase 3. Caspase 3 membelah berbagai protein sel termasuk
ICAD sehingga CAD dilepaskan dari ICAD, lalu mendegradasi kromosom DNA.
2.5 Drug Induced Liver Injury (DILI)
Perkembangan cedera hepar seiring dengan penggunaan obat-obatan
konvensional atau suplemen diet dan herbal, bahkan dengan adanya penyakit
hepar yang sudah ada sebelumnya, menimbulkan kecurigaan terhadap DILI.
Karena tidak ada penanda spesifik dari DILI, beberapa sistem penilaian telah
dikembangkan untuk menilai kausalitas dalam hepatotoksisitas, namun tidak
tanpa batasan. Oleh karena itu, diagnosis DILI masih bergantung pada identifikasi
hubungan temporal antara cedera obat dan heparserta pengecualian kondisi lain .
Diagnosis DILI sangat sulit dilakukan ketika beberapa agen terlibat, karena salah
33
satu dari mereka mungkin bertanggung jawab atas cedera tersebut. Memang, efek
toksik aditif atau bahkan sinergis dari kombinasi selalu perlu dipertimbangkan
(Suk & Kim, 2012)
Hati merupakan tempat metabolisme utama zat-zat asing di dalam tubuh.
Obat dikonsumsi secara oral lalu diabsorbsi, beberapa zat tersebut utamanya akan
mengalami metabolisme dan hasilnya akan di edarkan melalui aliran darah ke
bagian lainnya untuk dikeluarkan. Peningkatan aktivitas enzim merubah bentuk
obat menjadi sebuah metabolit reaktiv, melalui fase 1 yakni terlibatnya enzim
sitokrom P 450 (CYP450) dalam oksidasi, reduksi atau hidrolisis sehingga tubuh
akan berusaha mendetoksifikasi dengan menurunkan aktivitas enzim melalui
konjugasi glukuronidasi, sulfasi, asetilasi, atau glutation, yang disebut juga
sebagai fase 2, kemudian dilanjutkan pada fase 3 yaitu desposisi obat ke sirkulasi
atau ke getah empedu (Boyer et al, 2012)
Pada peningkatan metabolit reaktif dapat menyebabkan kerusakan sel.
Secara umum ada dua proses yang menyebabkan metabolit reaktiv dapat
menyebabkan kerusakan sel, yakni stress oksidativ dan ikatan kovalen. Stress
oksidatif dapat mengakibatkan kematian sel terprogram (apoptosis) dan nekrosis
akibat dari terlalu banyak oksidan dan kurangnya antioksidan. Ketidakseimbangan
ini berawal dari proses pembentukan ATP di mitokondria dengan mereduksi
oksigen menjadi air (fosfolirasi oksidatif) yang dalam prosesnya, 5% oksigen
dikonversikan menjadi anion superoksida (O2-) dan metabolitnya, yang secara
kolektif dinamakan reaktif oksigen spesies (ROS). ROS ini berbahaya bagi sel
karena dapat bereaksi dengan protein, DNA atau lemak sehingga menyebabkan
kematian sel. Proses lainnya adalah Ikatan kovalen metabolit reaktiv dengan
34
protein yang dapat mengganggu fungsi hati sehingga mengakibatkan perubahan
ditandai dengan peningkatanserum a) Alanine Aminotransferase (ALT) b)
Aspartate Aminotransferase (AST) c) Gamma-Glutamyltransferase (GGT) d)
kadar bilirubin, pada kerusakan hepatosit, sedangkan pada kegagalan hati akan
didapatkan penurunan kadar albumin, peningkatan prothombin time dan juga
peningkatan bilirubin (Laamech et al, 2016).
2.6 Oksidan dan Antioksidan
Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang tidak stabil dan sangat
reaktif karena memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan
pada orbital terluarnya. Untuk mencapai kestabilan atom atau molekul,
radikal bebas akan bereaksi dengan molekul di sekitarnya untuk memperoleh
pasangan elektron. Reaksi ini akan berlangsung terus menerus dalam tubuh
dan apabila tidak dihentikan akan menimbulkan berbagai penyakit.Dalam
kepustakaan kedokteran radikal bebas sering disamakan dengan oksidan
karena memiliki sifat yang mirip dan dapat menyebabkan kerusakan yang sama
walaupun prosesnya berbeda (Sayuti & Yenrina, 2015).
Radikal bebas yang diproduksi di dalam tubuh normal akan
dinetralisir oleh antioksidan yang ada di dalam tubuh.Bila kadar radikal
bebas terlalu tinggi maka kemampuan dari antioksidan endogen tidak
memadai untuk menetralisir radikal bebas sehingga terjadi keadaan yang
tidak seimbang antara radikal bebas dengan antioksidan.Oksidan adalah bahan
kimia elektrofil yang sangat reaktif dan dapat memindahkan elektron dari
molekul lain dan menghasilkan oksidasi pada molekul tersebut (Strayer & Rubin,
2013).
35
Oksidan yang dapat merusak sel berasal dari berbagai sumber yaitu:
Berasal dari tubuh sendiri, berupa senyawa yang sebenarnya berasal dari
proses biologi normal namun oleh suatu sebab terdapat dalam jumlah yang
berlebihan. Laamech et al (2016) menyebutkan bahwa Proses peradangan akan
menimbulkan reaksi pengerahan sel radang dari sirkulasi ke paru untuk
membunuh bakteri dengan:
a. Melalui ikatan reseptor yaitu ikatan antara reseptor yang dimiliki
sel fagosit dengan ikatan dari bakteri sehingga sel radang dapat
memfagosit bakteri yang teropsonisasi.
b. Respiratory burst bila sel fagosit terpajan. Hal tersebut merupakan
suatu fenomena yang berhubungan dengan peningkatan komsumsi
oksigen dan mengaktivasi pentose fosphate pathway untuk
membentuk koenzim yang tereduksi Nicotinamide Adenine
Dinucleotide Phosphate (NADPH) dan penglepasan oksidan.
Penggunaan oksigen meningkat pada saat respiratory burst
berhubungan dengan aktivitas NADPH yang mempengaruhi
terjadinya radikal superoksid O2.
Efek radikal bebas dalam tubuh akan dinetralisir oleh antioksidan
yang dibentuk oleh tubuh sendiri dan suplemen dari luar melalui makanan,
minuman atau obat obatan, seperti karotenoid, vitamin C, E, dan lain-
lain.Antioksidan adalah senyawa yang melindungi sel melawan radikal
bebas, seperti oksigen singlet, superoksida, radikal peroksil, radikal
hidroksil dan peroxynitrite. Antioksidan menstabilkan radikal bebas
dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan
36
menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang
dapat menimbulkan stres oksidatif (Strayer & Rubin, 2013). Ketidakseimbangan
antara antioksidan dan hasil spesies oksigen reaktif dalam stres oksidatif
menyebabkan kerusakan sel. Cadanes (2014) membagi Fungsi sistem antioksidan
tubuh dalam melindungi jaringan terhadap efek negatif radikal bebas menjadi 5
macam yaitu:
1) antioksidan primer berfungsi mencegah terbentuknya radikal bebas
baru, yaitu enzim Superoksida Dismutase (SOD), Glutation
Peroksidase (GPX), dan katalase,
2) antioksidan sekunder berfungsi menangkap radikal bebas serta
mencegah terjadinya reaksi berantai, yaitu vitamin C, vitamin E,
dan beta karoten, flavonoid,shoigerol shageol,dan gingerol.
3) antioksidan tersier berfungsi memperbaiki sel-sel dan jaringan
yang rusak karena serangan radikal bebas, yaitu jenis enzim
misalnya metionin sulfosida reduktase,
4) oxygen scavenger berfungsi mengikat oksigen sehingga tidak
mendukung reaksi oksidasi, misalnya vitamin C,
5) chelators atau sequesstrants bersifat mengikat logam
yang mampu mengkatalisis reaksi oksidasi misalnya asam sitrat
dan asam amino
Beberapa fungsi antioksidan antara lain; vitamin E dapat mengatasi singlet
oksigen, superoksida dan radikal bebas peroksil; vitamin A mampu
mengatasi singlet oksigen; beta-karoten mampu mengatasi superoksida, peroksil
dan singlet oksigen; vitamin C mengatasi radikal peroksil, superoksida
37
dismutase terhadap radikal superoksida, katalase terhadap H2O2 dan glutation
peroksidase Kemampuan beta karoten untuk menginaktifkan radikal bebas
bukan karena dapat berubah menjadi provitamin A, tetapi karena adanya
ikatan rangkap yang banyak pada struktur molekul menangkap radikal
peroksil di dalam jaringan pada tekanan parsial oksigen yang rendah (Sayuti
& Yenrina, 2015).
2.7 Zingiber officinale Roscoe var. Rubrum (Jahe merah)
2.7.1. Taksonomi
Taksonomi tanaman jahe merah menurut Theilade (2017) adalah sebagai
berikut :
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Marga : Zingiberis
Spesies : Zingiber officinale Roscoe
Varietas : Zingiber officinale Roscoe var. Rubrum
(Theilade, 2014)
Gambar 2.7 Jahe Merah
38
2.7.2. Morfologi
Berdasarkan warna dan ukuran, Zingiber officinale memiliki tiga
varietas yakni Z. officinale var. officinale (big white ginger atau giant ginger,
badak atau gajah), Z. officinale var. amarum (small white ginger, emprit), dan
Z.officinale var. rubrum (small red ginger, merah atau berem). dari ketiga
varietas tersebut peneliti menggunakan jahe merah. (Dhanik, 2017)
Jahe merah memiliki karakteristik tinggi tanaman berukuran 0.3-0.8 m,
warna batang hijau, diameter batang berukuran 13-16 mm, jumlah
batang/rumpun 3-6 batang/rumpun, bentuk batang bulat pipih, jumlah
daun/batang 20-26 daun/batang, bentuk daun lanset, ujung daun meruncing,
pangkal daun tumpul, panjang daun 24-31 cm, lebar daun 2-3 cm, panjang akar
21-38 cm, bobot akar 69-144 g, bentuk akar bulat, bentuk rimpang
melengkung/tidak teratur, warna kulit rimpang merah, permukaan rimpang
licin, warna daging rimpang abu-abu muda kekuningan, jumlah anak rimpang
30-50, dan bobot rata-rata total rimpang 224-283 g (Theilade, 2014)
2.7.3. Manfaat
Jahe sering digunakan oleh ibu _ibu rumah tangga sebagai bumbu untuk
memasak dan juga sebagai penghangat tubuh. Jahe sangat bermanfaat bagi
kesehatan tubuh, karena kandungan senyawa phenol yang terbukti memiliki
efek anti radang dan diketahui ampuh mengusir penyakit sendi juga ketegangan
yang dialami oleh otot. Jahe juga berfungsi sebagai antioksidan serta memiliki
manfaat -manfaat lainnya seperti antihipertensi, obat masuk angin dan mual,
mencegah radikal bebas, serta dapat mengobati rematik (Yani, 2010). Jahe juga
dapat bertindak sebagai renoprotektif karena kandungan antioksidannya.
(Gholampour et al, 2017)
39
2.7.4. Kandungan
Jahe memiliki beberapa kandungan bahan aktif seperti zingerone,
gingerdiol, zingibrene, gingerol, dan shogaol, bahan-bahan aktif ini diketahui
memiliki aktivitas antioksidan. Aktivitas antioksidan dalam jahe disebabkan
adanya senyawa polifenol (6-gingerol dan derivatnya). Konstituen utama dari
jahe adalah minyak volatil (zingiberene, curcumene, farnesene, zingiberol, D-
camphor), shogaol, diarilheptanoid, gingerol, paradol, zerumbone, terpenoid,
dan flavonoid jahe (Wackhaure, 2018).
Jahe merah mempunyai kandungan 6-gingerol, 8-gingerol, 10-gingerol
dan 6-shogaol yang lebih tinggi dibandingkan dengan jahe gajah yaitu sebesar
18.03, 4.09, 4.61, dan 1.36 mg/g (Fathona, 2011). Data kandungan fitokimia
rimpang jahe merah yang sudah diketahui menurut Fathona pada tabel 2.5.
Tabel 2.5. Kandungan Fitokima Rimpang Jahe Merah (mg/g)
Kandungan Jahe merah Jahe gajah
6-gingerol, 18.03 mg/g 9.56 mg/g
8-gingerol, 4.09 mg/g 1.49 mg/g
10-gingerol 4.61 mg/g 2.96 mg/g
6-shogaol 1.36 mg/g 0.92g/g (Fathona, 2014)
2.7.4.1 6- Gingerol
Gambar 2.8 struktur Kimia 6-Gingerol
(Kyoung, 2007)
6-gingerol(1-[40-hydroxy-30-methyoxyphenyl]-5-hydroxy-3-
decanone) merupakan senyawa phenol alami pada tanaman dan
merupakan komponen utama pada jahe segar atau jahe yang belum
40
diolah. 6-gingerol memiliki beragam efek farmakologis, termasuk
diantaranya ialah efek antioksidan, anti-inflamasi, dan anti kanker. 6-
gingerol juga dapat menghambat TPA (12-Otetradecanoylphorbol-13-
acetate) yang merupakan mediated tumor promotion serta dapat
menghambat TNF-α. 6-gingerol juga dapat menghambat
Cyclooxigenase-2 (COX-2) yang diinduksi oleh Ultraviolet-B dengan
cara mensupresi jumlah ROS intraseluler (Kyoung et al, 2007).
2.7.4.2. Flavonoid
Flavonoid merupakan kelompok senyawa alami dengan struktur
fenolik bervariasi dan biasa ditemukan pada tanaman. Struktur kimia
flavonoid didasarkan pada 15 kerangka rantai karbon yang terdiri dari
dua cincin benzen yang dihubungkan melalui cincin pirometer
heterosiklik (Kumar and Pandey, 2013).
Flavonoid dapat dibagi menjadi berbagai kelas seperti flavon
(misalnya flavon, apigenin, dan luteolin), flavonol (misalnya quercetin,
kaempferol, myricetin, dan fisetin), flavanon (misalnya flavanone,
hesperetin, dan naringenin), dan lainnya (Kyoung et al, 2007).
Flavonoid memilik banyak kandungan biokimia, namun
kandungan terbaik dari setiap grup flavonoid ialah sifat
antioksidannya.Aktifitas antioksidan dari flavonoid tergantung pada
susunan grup fungsional dari struktur nukelusnya. Konfigurasi, substitusi
dan jumlah total dari gugus hidroksil secara substansial mempengaruhi
beberapa mekanisme dari aktifitas antioksidan seperti radical scavenging
dan metal ion chelation ability. Cincin B dari gugus hidroksil merupakan
41
komponen yang paling signifikan dalam mekanisme scavenging dari ROS
dan RNS, karena dapat memberikan hidrogen dan elektron ke hidroksil,
peroksil, dan peroksinitrit radikal, serta menstabilkannya (Kumar and
Pandey, 2013).
Mekanisme dari antioksidan sendiri meliputi supresi dari
pembentukan ROS baik dengan penghambatan enzim atau dengan
mengeliminasi unsur-unsur yang terlibat dalam pembentukan ROS,
scavenging ROS, dan proteksi dari pertahanan antioksidan.Kerja flavonoid
meliputi mekanisme yang telah disebutkan diatas.Beberapa efek yang
terjadi kemungkinan merupakan kombinasi dari aktifitas radical
scavenging dan interaksi dengan fungsi enzim.Flavonoid menghambat
enzim yang terlibat pada pembentukan ROS, seperti mikrosomal
monooksigenase, glutation S-transfarase, mitokondrial suksinoksidase,
NADH oksidase, dan lainnya. Oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwasannya flavonoid dapatmenurunkan atau mengurangi stress oksidatif
dengan menghambat ROS. (Wackhaure, 2018)
2.8 Rattus Novergicus Strain Wistar
Tikus Putih (Rattus Novergicus) merupakan spesies mamalia yang sering
digunakan untuk kepentingan penelitian eksperimental.Tikus putih sangat mudah
beradaptasi dengan baik dan cenderung tahan terhadap berbagai macam perlakuan
saat penelitian (Sharp & Vilano, 2013).
42
Klasifikasi tikus putih sebagai hewan percobaan dalam taksonomi sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Subordo : Odontoceti
Familia : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus Novergicus
(Sharp & Vilano, 2013)
Gambar 2.9 Rattus norvegicus Galur Wistar
2.8.1 Karakteristik dan Morfologi Tikus Putih
Tikus merupakan mamalia yang mempunyai peranan penting
dalam kehidupan manusia, baik bersifat menguntungkan maupun
merugikan. Salah satu sifat menguntungkan tikus adalah sebagai hewan
coba. Jenis yang paling umum digunakan sebagai hewan coba adalah
tikus Norwegia yang telah berevolusi menjadi Rattus norvegicus yang
hidup terutama dalam liang di tanah (Balitbang Pertanian, 2016).
43
Rattus norvegicus sebagai hewan omnivora (pemakan segala) yang
biasanya mau mengkonsumsi semua makanan yang dapat dimakan
manusia. Kebutuhan pakan bagi seekor tikus setiap harinya kurang
lebih sebanyak 10% dari bobot tubuhnya, jika pakan tersebut berupa
pakan kering. Hal ini dapat pula ditingkatkan sampai 15% dari bobot
tubuhnya jika pakan yang dikonsumsi berupa pakan basah. Kebutuhan
minum seekor tikus setiap hari kira-kira 15-30 ml air. Jumlah ini dapat
berkurang jika pakan yang dikonsumsi sudah mengandung banyak air
(Demetrius, 2005)
Rattus norvegicus dapat berkembang biak secara cepat dan dalam
jumlah yang cukup besar. Hewan ini berbeda dengan mencit, karena
memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dari pada mencit. Anatomi
tikus dimana tempat esofagus-nya bermuara ke dalam lambung yang
tidak dilengkapi dengan kantong empedu. Membuat Rattus norvegicus
tidak mudah muntah. Rattus norvegicus dewasa umur 2 bulan memiliki
berat rata-rata 200-300 gram. Berat badan tersebut dapat juga mencapai
500 gram, dengan ukuran yang relatif besar, Rattus norvegicus mudah
dikendalikan atau dapat diambil darahnya dalam jumlah yang relatif
besar pula (Pritchett & Corning, 2004).
Tikus sebagai “mouse model” sangat cocok untuk penelitian
penyakit pada manusia dengan adanya kesamaan organisasi DNA dan
ekspresi gen dimana 98% gen manusia memiliki gen yang sebanding
dengan gen tikus. Tikus juga memiliki kesamaan dengan manusia
dalam sistem reproduksi, syaraf, metabolisme, penyakit (kanker,
44
diabetes) dan bahkan kecemasan. Melalui penelitian manipulasi gen
tikus dapat dipakai untuk pengembangan pengobatan penyakit manusia,
membantu memahami fisiologis manusia dan penyebab penyakit
(Balitbang Pertanian, 2016).
Hati tikus dan mencit sebagai organ metabolism utama memiliki
struktur dan fungsi yang homogen dengan hati manusia. Warna hati
coklat kemerahan yang terletak di bagian bawah diafragma. Fungsi hati
tikus dan mencit yaitu untuk mengubah zat makanan yang diserap dari
usus dan kemudian disimpan di organ tubuh lain; mengubah hasil
metabolisme untuk diekskresikan kedalam empedu dan urin
(Demetrius, 2005).
Tabel 2.6. Perbandingan hati mencit, tikus, dan manusia
Pembanding Mencit Tikus Manusia
Hepatosit Tidak terlihat
jelas Sel tunggal
Sama seperti
tikus
Triad porta
Triad yang
lebih besar
dapat terlihat
Lebih jelas
disbanding
mencit
Semua ukuran
terlihat jelas
Sinusoid Fenestrated
dan diskontinu
Sama seperti
mencit
Sama seperti
mencit dan
tikus
Kupffer 15% dari total
sel hati
Sama seperti
mencit
Sama seperti
mencit dan
tikus
Sel stellata Ada pada
sinusoid
Sama seperti
mencit
Sama seperti
mencit dan
tikus
(Treuting, et al., 2017)