bab ii tinjauan pustakarepository.poltekkes-tjk.ac.id/493/4/bab ii.pdf · 8 bab ii tinjauan pustaka...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Nyamuk Culex sp
1. Klasifikasi Nyamuk Culex sp
Culex sp adalah genus dari nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit
yang penting seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese enchepalitis,
St Louisencephalitis. Dalam morfologinya nyamuk memiliki tiga bagian tubuh
umum: kepala, dada, dan perut.
Menurut Damayanti (2018) klasifikasi dari nyamuk Culex adalah :
Phylum : Arthropoda
Classis : Insecta
Subclassis : Pterygota
Ordo : Diptera
Subordo : Nematocera
Familia : Culicidae
Subfamilia : Culianeae
Genus : Culex
Spesies : Culex quinquefasciatus
2. Morfologi Nyamuk Culex sp
Nyamuk Culex sp mempunyai ukuran kecil sekitar 4-13 mm dan tubuhnya
rapuh. Pada kepala terdapat probosis yang halus dan panjangnya melebihi panjang
kepala. Probosis pada nyamuk betina digunakan sebagai alat untuk menghisap
9
darah, sedangkan pada nyamuk jantan digunakan untuk menghisap zat-zat seperti
cairan tumbuh-tumbuhan, buah-buahan dan juga keringat. Terdapat palpus yang
mempunyai 5 ruas dan sepasang antena dengan jumlah ruas 15 yang terletak di
kanan dan kiri probosis. Pada nyamuk jantan terdapat rambut yang lebat
(plumose) pada antenanya, sedangkan pada nyamuk betina jarang terdapat rambut
(pilose) (Sutanto, 20011 dalam Rahmi, 2018).
Sebagian besar thoraks yang terlihat (mesonotum) dilingkupi bulu-bulu
halus. Bagian belakang dari mesonotum ada skutelum yang terdiri dari tiga
lengkungan (trilobus). Sayap nyamuk berbentuk panjang akan tetapi ramping,
pada permukaannya mempunyai vena yang dilengkapi aisik-sisik sayap (wing
scales) yang letaknya menyesuaikan vena (Sitohang, 2013 dalam Rahmi, 2018).
Terdapat barisan rambut atau yang biasa disebut fringe terletak pada pinggir
sayap. Abdomen memiliki 10 ruas dan bentuknya menyerupai tabung dimana dua
ruas terakhir mengalami perubahan fungsi sebagai alat kelamin. Kaki nyamuk
berjumlah 3 pasang, letaknya menempel pada toraks, setiap kaki terdiriatas 5 ruas
tarsus 1 ruas femur dan 1 ruas tibia (Hoedojo, 2008 dalam Rahmi, 2018).
Ciri Secara Umum :
a. Telur : lonjong seperti peluru
b. Larvasifon : panjang dan bulunya lebih dari satu pasang
c. Fase dewasa :abdomen bagian ujung tumpul, warna cokelat muda
tanpa tanda khas
d. Sayap : sisik sempit panjang dengan ujung runcing
e. Peran medis :sebagai vektor filariasis dan penyakit Japanese B.
encephalitis
10
f. Perilaku : menghisap darah pada malam hari
g. Habitat : air jernih dan air keruh
Gambar 2.1 Nyamuk Culex dewasa (Sumber: Rahmi, 2018)
Keterangan :
1 : Kaki belakang 6 : Torak
2 : Kepala 7 : Kaki tengah
3 : Palp besar 8 : Abdomen
4 : Palp kecil 9 : Sayap
5 : Belalai 10 :Antena
Nyamuk mempunyai beberapa ciri yaitu tubuhnya dibedakan atas
kaput, toraks, abdomen dan mempunyai 3 pasang kaki dan sepasang antena. Satu
pasang sayap dan halter menempatkan nyamuk dalam ordo Diptera. Sisik pada
sayap dan adanya alat mulut yang panjang seperti jarum menempatkan nyamuk
ke dalam familia Culicidae (Astuti, 2011).
Genus Culex dicirikan dengan bentuk abdomen nyamuk betina yang
tumpul pada bagian ujungnya. Kepala Culex umumnya bulat atau sferik dan
memiliki sepasang mata,sepasang antena, sepasang palpi yang terdiri atas
5segmen dan 1 probosis antena yang terdiri atas 15 segmen. Berbeda dengan 6
11
Aedes,pada genus Culex tidak terdapat rambut pada spiracular maupun pada post
spiracular (Astuti, 2011).
Panjang palpus maxillaries nyamuk jantan sama dengan proboscis. Bagian
toraks nyamuk terdiri atas 3 bagian yaitu protoraks, mesotoraks dan metatoraks.
Bagian metatoraks mengecil dan terdapat sepasang sayap yang mengalami
modifikasi menjadi halter. Abdomen terdiri atas segmen tanpa bintik putih di
tiap segmen (Astuti, 2011).
Ciri lain dari nyamuk Culex adalah posisi yang sejajar dengan bidang
permukaan yang dihinggapi saat istirahat atau saat menusuk dengan kaki
belakang yang sedikit terangkat. Genus Culex tumpul dan badannya yang
penuh dengan sisik-sisik. Selain itu, struktur yang membedakan genus ini
dengan genus yang lain adalah struktur yang disebut pulvilus yang berdekatan
dengan kuku diujung kaki nyamuk.
Nyamuk Culex quinquefasciatus berwarna coklat, berukuran sedang,
dengan bintik bintik putih di bagian dorsal abdomen. Sedangkan kaki dan
probocis berwarna hitam polos tanpa bintik-bintik putih. Spesies ini sulit
dibedakan dengan nyamuk genus Culex lainnya (Astuti, 2011).
3. Siklus Hidup Nyamuk Culex sp
Nyamuk Culex sp memiliki siklus hidup sempurna mulai dari telur, larva,
pupa, dan imago (dewasa) antara lain sebagai berikut :
a. Telur
Seekor nyamuk betina dapat menempatkan 100-400 butir telur pada
tempat peindukan. Sekali bertelur menghasilkan 100 telur dan biasanya dapat
12
bertahan selama 6 bulan. Telur akan menjadi jentik setelah sekitar 2 hari. Masing-
masing spesies nyamuk memiliki perilaku dan kebiasaan yang berbeda satu sama
lain. Di atas permukaan air, nyamuk Culex sp menempatkan telurnya secara
menggerombol dan berkelompok untuk membentuk rakit. Oleh karena itu mereka
dapat mengapung di atas permukaan air (Borror, 1992 dalam Rahmi, 2018).
Gambar 2.2 Telur Nyamuk Culex sp A. Ovariumparous (a) trakeolar
menggulung, B. Ovarium nuliparous (b) trakeolar terurai (perbesaran 40x10)
(Sumber: Rahmi, 2018)
b. Larva
Telur akan mengalami penetasan dalam jangka waktu 2-3 hari sesudah
terjadi kontak dengan air. Faktor temperatur, tempat perkembang biakan, dan
keberadaan hewan pemangsa mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
larva. Lama waktu yang diperlukan pada keadaan optimum untuk tumbuh dan
berkembang mulai dari penetasan sampai menjadi dewasa kurang lebih 7-14 hari
13
(Sogijanto, 2006 dalam Rahmi, 2018).
Salah satu ciri dari larva nyamuk Culex adalah memiliki siphon. Siphon
dengan beberapa kumpulan rambut membentuk sudut dengan permukaan air.
Nyamuk Culex mempunyai 4 tingkatan atau instar sesuai dengan pertumbuhan
larva tersebut, yaitu :
1) Larva instar I, berukuran paling kecil yaitu 1 – 2 mm atau 1 – 2 hari setelah
menetas. Duri-duri (spinae) pada dada belum jelas dan corong pernafasan
pada siphon belum jelas.
2) Larva instar II, berukuran 2,5 – 3,5 mm atau 2 – 3 hari setelah telur menetas.
Duri-duri belum jelas, corong kepala mulai menghitam.
3) Larva instar III, berukuran 4 – 5 mm atau 3 – 4 hari setelah telur menetas.
Duri-duri dada mulai jelas dan corong pernafasan berwarna coklat kehitaman.
4) Larva IV, berukuran paling besar yaitu 5 –6 mm atau 4 – 6 hari setelah telur
menetas, dengan warna kepala (Astuti, 2011).
Gambar 2.3 Larva Nyamuk Culex sp (Sumber: Astuti, 2011)
c. Pupa
Stadium paling akhirdari metamorphosis nyamuk yang bertempat di dalam
air adalah pupa. Tubuh pupa berbentuk bengkok dan kepalanya besar. Sebagian
kecil tubuh pupa kotak dengan permukaan air, berbentuk terompet panjang dan
14
ramping, setelah 1-2 hari akan menjadi nyamuk Culex (Astuti, 2011)
Pada stadium ini tidak membutuhkan nutrisi dan berlangsung proses
pembentukan sayap sampai mampu terbang. Stadium kepompong terjadi dalam
jangka waktu mulai satu sampai dua hari. Pada saat pupa menjalani fase ini pupa
tidak melakukan aktifitas konsumsi sama sekali dan kemudian akan keluar dari
larva dan menjadi nyamuk yang sudah bisa terbang dan meninggalkan air.
Nyamuk memerlukan waktu 2-5 hari untuk menjalani fase ini sampai menjadi
nyamuk dewasa (Rahmi, 2018).
Gambar 2.4 Pupa Nyamuk Culex sp (Sumber: Astuti, 2011)
Keterangan :
1. Antena
2. Kaki
3. Tabung Pernafasan
d. Dewasa
Ciri-ciri nyamuk Culex dewasa adalah berwarna hitam belang-belang
putih, kepala berwarna hitam dengan putih pada ujungnya. Pada bagian thorakter
dapat 2 garis putih berbentuk kurva (Astuti, 2011).
1
3
4
15
Nyamuk jantan dan betina akan melakukan perkawinan setelah keluardari pupa.
Seekor nyamuk betina akan melakukan aktivitas menghisap darah dalam waktu
24-36 jam setelah dibuahi oleh nyamuk jantan. Untuk proses pematangan telur
sumber protein yang paling penting adalah darah. Perkembangan nyamuk mulai
dari telur sampai dewasa membutuhkan waktu sekitar 10 sampai 12 hari
(Wibowo, 2010 dalam Rahmi, 2018).
4. Bionomik Nyamuk Culex sp
Bionomik nyamuk mencangkup pengertian tentang perkembangbiakan,
perilaku, umur, populasi, penyebaran, fluktuasi kepadatan musiman, serta faktor-
faktor lingkungan yang mempengaruhinya, berupa lingkungan fisik (kelembaban,
musim, matahari, arus air), lingkungan kimiawi (kadar garam, pH) dan
lingkungan biologik (tumbuhan, ganggang, vegetasi, di sekitar perindukan).
Distribusi dan kepadatan serangga sangat ditentukan oleh faktor alami setempat,
seperti cuaca, kondisi fisik dan kimiawi medium.
Kondisi lingkungan (pada skala laboratorium) yang mendukung
pertumbuhan telur sampai dewasa adalah suhu 270C serta kelembaban udara 80
%. Mardihusodo dalam Republika (2003) dalam Novianto (2007), menyatakan
bahwa suhu tinggi akan meningkatkan aktivitas nyamuk dan perkembangannya
dapat menjadi lebih cepat, yaitu dari waktu normal 10 hari untuk perkembangan
dari telur sampai dewasa, menjadi 7 hari pada udara yang panas.
Tempat perindukan Culex sp di air keruh dan kotor dekat rumah, dan
nyamuk dewasa menghisap darah di malam hari. Resting place atau tempat
istirahat nyamuk Culex sp di dalam rumah pada siang hari, yaitu di tempat gelap
16
dan lembab, di gantungan baju, dan di balik perabotan rumah tangga yang
berwarna gelap.
Jenis kelamin nyamuk Culex sp dapat ditentukan dengan mudah oleh
bentuk sungut (antenna). Antena nyamuk jantan berambut sangat lebat (plumosa),
sedangkan pada nyamuk betina berambut jarang berupa rambut-rambut yang
pendek (Novianto, 2007).
Umur Culex di alam bebas kurang lebih 10 hari. Dalam waktu 10 hari
cukup untuk berkembangbiaknya bibit penyakit di dalam tubuh nyamuk tersebut.
Nyamuk yang dipelihara di laboratorium dengan suhu tertentu (28oC) dan
kelembaban tertentu (80 %) dapat bertahan hidup sampai 2 bulan. Tambahan
makanan berupa madu yang terkenal sebagai pakan alami, baik untuk
memperpanjang umur nyamuk melebihi nyamuk yang tanpa tambahan madu, atau
hanya menghisap darah dan cairan tumbuhan saja (Novianto, 2007).
Berikut merupakan tempat perindukan beberapa spesies dari Culex :
Tabel 2.1 Tempat perindukan larva dan tempat istirahat Culex sp.
Sumber : Susanto, et al. 2013 dalam Ningrum, 2018
No. Vektor Tempat Perindukan Perilaku Nyamuk Dewasa
1. Culex
quinquefasciatus
Kecomberan dengan
air keruh dan kotor
dekat rumah.
Antropofilik, zoofilik
menggigit pada malam hari.
Tit: di luar dan dalam rumah
(benda yang tergantung dan
berwarna gelap).
2. Culex
annulirostris
Sawah,daerah pantai
dan rawa yang berair
payau.
Menggigit pada malam hari.
Tit : di luar rumah atau dalam
rumah
3. Culex
bitaeniorrhynchus
Tempat yang ada
lumutnya, air payau
dan/atau air tawar.
Antropofilik, zoofilik
menggigit pada malam hari.
Tit : di luar dan bisa juga luar
rumah
Keterangan : Tit= Tempat Istirahat Tetap
17
5. Penyakit yang Ditimbulkan oleh Nyamuk Culex sp
Penyakit yang ditiularkan oleh nyamuk Culex sp ni banyak ditemukan di
wilayah tropika seluruh dunia, termasuk Negara Indonesia.
Nyamuk genus Culex merupakan nyamuk yang banyak terdapat di sekitar
kita. Beberapa spesies nyamuk ini sudah dibuktikan sebagai vektor penyakit. Di
Indonesia, ada 23 spesies nyamuk sebagai vektor penyakit filariasis, dari genus
Anopheles, Aedes, Culex, Armigeres dan Mansonia diantaranya adalah Culex
quinquefasciatus dan Culex bitaeniorrhynchus. Biasanya, nyamuk genus Culex ini
menyukai tempat-tempat kotor, seperti limbah domestik.
Nyamuk culex merupakan nyamuk pembawa vektor penyakit filaria.
Selain itu penyakit yang ditimbulkan antara lain Japanese Enchepalitis (JE), ST.
Loius Enchepalitis dan West Nile Virus (WNV).
6. Cara Penularan Penyakit Filariasis
Penderita awalnya digigit nyamuk yang didalam tubuhnya sudah
"terkontaminasi" larva stadium III. Nyamuk sendiri mendapat microfilaria karena
menghisap darah penderita atau dari hewan yang mengandung microfilaria dan
pada saat itu microfilaria ikut terhisap dan masuk kedalam lambung nyamuk.
Dalam tubuh nyamuk mikofilaria tidak berkembang biak tetapi hanya berubah
bentuk dari larva instar 1 menjadi larva instar 3 dalam beberpa hari, karenanya
diperlukan gigitan berulang kali untuk bias terjadi infeksi. Didalam tubuh manusia
larva instar 3 menuju limfe dan selanjutnya tumbuh menjadi cacing dewasa jantan
atau betina serta berkembang biak (Meiliadi, 2018).
18
7. Pengendalian Nyamuk Culex sp
Pengendalian bertujuan untuk mengurangi jumlah Culex sp. dan mencegah
penyakit yang berbahaya untuk manusia. Menurut Entjang (2003) dalam Ningrum
(2018), garis besar pengendalian ini dibagi menjadi 4 cara yaitu : 1) Mekanis, 2)
Zat Kimia, 3) Biologis, dan 4) Perlindungan perorangan.
a. Mekanik
Upaya pengendalian ini adalah memasang hambatan mekanis,
menghilangkan atau memindahkan tempat berkembang biaknya, menangkapnya,
dan membunuhnya. Beberapa kegiatan pengendalian secara mekanis antara lain
yaitu perbaikan sanitasi lingkungan, penggunaan perangkap, dan penataan
lingkungan.
b. Zat Kimia
Pemanfaatan bahan kimia sebagai pestisida untuk kebutuhan pertanian,
rumah tangga dan beberapa program pada kesehatan masyarakat sudah beberapa
puluhan tahun dipergunakan. Pemakaian yang berlebihan, cara pakai yang tidak
benar dan kualitas dari pestisida, banyak menimbulkan masalah lingkungan yang
membahayakan kesehatan manusia.
Pengendalian secara kimia berdasarkan sasaran yang akan dibunuhnya
dibagi antara lain :
1) Ovisida, yaitu insektisida untuk membunuh stadium telur
2) Larvasida, yaitu insektisida untuk membunuh stadium larva
3) Adultisida, yaitu insektisida untuk membunuh stadium dewasa
4) Akarisida/mitisida, yaitu insektisida untuk membunuh tungaue.
5) Pedikulisida/lousisida, yaitu insektisida untuk membunuh kutu.
19
c. Biologis
Pengendalian terhadap jenis anthropoda menggunakan makhluk yang
hidup, misalnya dengan memelihara ikan Gambusia affinis yang berfungsi untuk
memangsa larva yang terdapat di dalam air yang sulit dikeringkan, misalnya
seperti rawa.
d. Perlindungan Perorangan
Perlindungan diri adalah upaya seseorang untuk menghindari gigitan dari
serangga sebagai upaya untuk pencegahan dan penularan suatu penyakit atau agar
darahnya tidak dihisap anthropoda dan mencegah akibat lainnya, seperti memakai
baju yang dapat menutupi seluruh tubuh, tidur dengan menggunakan kelambu,
menggunakan zat untuk mengusir serangga.
B. Daun Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius)
1. Klasifikasi Daun Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius)
Menurut Sudarminto (2015) klasifikasi daun pandan wangi adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas : Arecidae
Ordo : Pandanales
Famili : Pandanaceae
20
Genus : Pandanus
Spesies : Pandanus amaryllifolius Roxb
Gambar 2.5 Daun Pandan Wangi (Sumber: Solehah, 2017)
2. Morfologi Daun Pandan Wangi
Pandan wangi adalah jenis tanaman monokotil dari famili Pandanaceae.
Daunnya merupakan komponen penting dalam tradisi masakan Indonesia dan
negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Di beberapa daerah, tanaman ini dikenal dengan berbagai nama antara
lain: Pandan Rampe, Pandan Wangi (Jawa); Seuke Bangu, Pandan Jau, Pandan
Bebau, Pandan Rempai (Sumatera); Pondang, Pondan, Ponda, Pondago
(Sulawesi); Kelamoni, Haomoni, Kekermoni, Ormon Foni, Pondak, Pondaki,
Pudaka (Maluku); Pandan Arrum (Bali), Bonak (Nusa Tenggara). Pandanus
umumnya merupakan pohon atau semak yang tegak, tinggi 3–7 meter, bercabang,
kadang-kadang batang berduri, dengan akar tunjang sekitar pangkal batang. Daun
umumnya besar, panjang 1–3 m, lebar 8–12cm ; ujung daun segitiga lancip-
lancip; tepi daun dan ibu tulang daun bagian bawah berduri, tekstur daun berlilin,
berwarna hijau muda–hijau tua. Buah letaknya terminal atau lateral, soliter atau
berbentuk bulir atau malai yang besar (Rahayu SE dan S Handayani, 2008).
21
3. Penyebaran Daun Pandan Wangi
Tanaman pandan wangi dapat dengan mudah dijumpai di daerah tropis dan
banyak ditanam di halaman, di kebun, di pekarangan rumah maupun tumbuh
secara liar di tepi-tepi selokan yang teduh. Selain itu, tumbuhan ini dapat tumbuh
liar ditepi sungai, rawa, dan tempat-tempat lain yang tanahnya agak lembab dan
dapat tumbuh subur dari daerah pantai sampai di daerah dengan ketinggian 500
meter dpl (di bawah permukaan laut).
4. Kandungan Daun Pandan Wangi
Daun pandan wangi mengandung senyawa antara lain saponin, tanin,
flavonoid dan alkaloid (Kristinawati, 2012).
a. Saponin merupakan senyawa bioaktif yang bersifat toksik yang termasuk
dalam racun kontak (Contact poisons) karena dapat masuk melalui dinding
tubuh larva dan racun perut (stomach poisons) yang masuk melalui mulut
larva karena larva biasanya mengambil makanan dari tempat hidupnya.
b. Tanin dapat mengganggu serangga dalam mencerna makanan (stomach
poisons) karena tanin akan mengikat protein dalam sistem pencernaan yang
diperlukan serangga untuk pertumbuhan, sehingga proses penyerapan protein
menjadi terganggu.
c. Flavonoid masuk ke dalam tubuh melalui kutikula yang melapisi tubuh larva
(Contact poisons) sehingga dapat merusak membran sel.
d. Alkaloid dapat menyebabkan gangguan sistem percernaan pada larva karena
senyawa alkaloid bertindak sebagai racun perut (Stomach poisons) yang
masuk melalui mulut larva.
22
C. Metode Esktrak
1. Pengertian Ekstrak
Ekstrak merupakan sediaan sari pekat tumbuh-tumbuhan atau hewan yang
diperoleh dengan cara melepaskan zat aktif dari masing-masing bahan obat,
menggunakan menstrum yang cocok, uapkan semua atau hampir semua dari
pelarutnya dan sisa endapan atau serbuk diatur untuk ditetapkan standarnya.
Sedangkan ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari
campurannya dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi
dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam
pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut
dipisahkan dari sampel dengan penyaringan. Ekstrak awal sulit dipisahkan melalui
teknik pemisahan tunggal untuk mengisolasi senyawa tunggal. Oleh karena itu,
ekstrak awal perlu dipisahkan ke dalam fraksi yang memiliki polaritas dan ukuran
molekul yang sama.
2. Macam-macam Metode Ekstrak
Jenis atau macam – macam ekstraksi (sesuai E-Book Natural Products
Isolation dalam Kurniasari, 2018) ada beberapa, yaitu sebagai berikut :
a. Maserasi
Maserasi berasal dari bahasa latin Macerace berarti mengairi dan
melunakkan. Keunggulan metode maserasi ini adalah maserasi merupakan cara
ekstraksi yang paling sederhana dan paling banyak digunakan, peralatannya
mudah ditemukan dan pengerjaannya sederhana. Cara ini sesuai, baik untuk skala
kecil maupun skala industri.
23
Dasar dari maserasi adalah melarutnya bahan kandungan simplisia dari sel
yang rusak, yang terbentuk pada saat penghalusan, ekstraksi (difusi) bahan
kandungan dari sel yang masih utuh. Setelah selesai waktu maserasi artinya
keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan masuk
ke dalam cairan, telah tercapai maka proses difusi segera berakhir. Selama
maserasi atau proses perendaman dilakukan pengocokan berulang-ulang.
Upaya ini menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi yang lebih
cepat di dalam cairan. Sedangkan keadaan diam selama maserasi menyebabkan
turunnya perpindahan bahan aktif. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak
memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan
simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil yang
diperoleh.
Tahapan pembuatan ekstrak dengan metode maserasi yaitu pada tahap
awal dilakukan proses pengeringan. Pengeringan ini dilakukan tidak boleh di
bawah sinar matahari langsung selama ± 5 hari. Jika pengeringan dilakukan di
bawah sinar matahari akan menyebabkan kandungan kimia pada daun menjadi
terurai. Tahap pengeringan ini bertujuan untuk mencegah kerja enzim dari
tumbuhan tersebut. Pada tahap penghalusan dilakukan bisa menggunakan alat
penghalus sampai bahan berbentuk seperti serbuk/bubuk yang kemudian
ditimbang berat keringnya.
Tahap selanjutnya, dilakukan perendaman menggunakan pelarut etanol
96% selama 3 x 24 jam yang bersifat polar untuk maserasi yang dimaksudkan
agar zat-zat kimia yang ada di dalam daun yang bersifat polar akan tertarik
sempurna oleh pelarut yang bersifat polar berdasarkan prinsip “like dissolve like”.
24
Hasil maserasi kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring agar ampas
sisa maserasi tidak dapat lolos melalui kertas saring dan tidak bercampur dengan
ekstrak.
Lama maserasi memengaruhi kualitas ekstrak yang akan diteliti. Lama
maserasi pada umumnya adalah 4-10 hari. Maserasi akan lebih efektif jika
dilakukan proses pengadukan secara berkala karena keadaan diam selama
maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Melalui usaha ini
diperoleh suatu keseimbangan konsentrasi bahan ekstraktif yang lebih cepat
masuk ke dalam cairan pengekstrak.
b. Perkolasi
Metode perkolasi memberikan beberapa keunggulan dibandingkan metode
maserasi, antara lain adanya aliran cairan penyari menyebabkan adanya
pergantian larutan dan ruang di antara butir-butir serbuk simplisia membentuk
saluran kapiler tempat mengalir cairan penyari. Kedua hal ini meningkatkan
derajat perbedaan konsentrasi yang memungkinkan proses penyarian lebih
sempurna.
Serbuk simplisia yang akan diperkolasi tidak langsung dimasukkan ke
dalam bejana perkolator, tetapi dibasahi dan dimaserasi terlebih dahulu dengan
cairan penyari. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan sebesar-
besarnya kepada cairan penyari memasuki seluruh pori-pori dalam simplisia
sehingga mempermudah penyarian selanjutnya. Untuk menentukan akhir
perkolasi, dapat dilakukan pemeriksaan zat aktif secara kualitatif pada perkolat
terakhir. Untuk obat yang belum diketahui zat aktifnya, dapat dilakukan
25
penentuan dengan cara organoleptis seperti rasa, bau, warna dan bentuknya.
Dalam proses perkolasi biasa, perkolat yang dihasilkan tidak dalam kadar
yang maksimal. Selama cairan penyari melakukan penyarian serbuk simplisia ,
maka terjadi aliran melalui lapisan serbuk dari atas sampai ke bawah disertai
pelarutan zat aktifnya. Proses penyaringan tersebut aakan menghasilkan perkolat
yang pekat pada tetesan pertama dan terakhir akan diperoleh perkolat yang encer.
Untuk memperbaiki cara perkolasi tersebut dialkukan cara perkolasi bertingkat.
Serbuk simplisia yang hampir tersari sempurna sebelum dibuang, disari dengan
cairan penyari yang baru. Hal ini diharapkan agar serbuk simplisia tersebut dapat
tersari sempurna. Sebaliknya serbuk simplisia yang baru disari dengan perkolat
yang hampir jenuh, dengan demikian akan diperoleh perkolat akhir yang jernih.
Perkolat dipisahkan dan dipekatkan.
c. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilarutkan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan
jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Biomasa
ditempatkan dalam wadah soklet yang dibuat dengan kertas saring, melalui alat ini
pelarut akan terus direfluks. Alat soklet akan mengosongkan isinya ke dalam labu
dasar bulat setelah pelarut mencapai kadar tertentu. Setelah pelarut segar melewati
alat ini melalui pendingin refluks, ekstraksi berlangsung sangat efisien dan
senyawa dari bioasa secara efektif ditarik ke dalam pelarut karena konsentrasi
awalnya rendah dalam pelarut.
Prinsipnya adalah penyarian yang dilakukan berulang - ulang sehingga
26
penyarian lebih sempurna dan pelarut yang digunakan relatif sedikit. Bila
penyarian telah selesai maka pelarutnya dapat diuapkan kembali dan sisanya
berupa ekstrak yang mengandung komponen kimia tertentu. Penyarian dihentikan
bila pelarut yang turun melewati pipa kapiler tidak berwarna dan dapat diperiksa
dengan pereaksi yang cocok.
d. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu
pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.
Dilakukan dengan menggunakan alat destilasi, dengan merendam
simplisia dengan pelarut / solven dan memanaskannya hingga suhu tertentu.
Pelarut yang menguap sebagian akan mengembung kembali kemudian masuk ke
dalam campuran simplisia kembali, dan sebagian ada yang menguap.
D. Lethal Concentration (LC50)
Lethal Concentration 50 atau biasa disingkat LC50 adalah suatu
perhitungan untuk menentukan keaktifan dari suatu ekstrak atau senyawa. Makna
LC 50 adalah pada konsentrasi berapa ekstrak dapat mematikan 50 % dari
organisme uji (Fahmi, 2016).
Untuk mengetahui nilai LC-50 digunakan uji static. Ada dua tahapan,
yaitu:
1. Uji pendahuluan yaitu untuk menentukan batas kritis konsentrasi yaitu
27
konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian terbesar mendekati 50% dan
kematian terkecil mendekati 50%.
2. Uji lanjutan yaitu setelah diketahui batas kritis, selanjutnya ditentukan
konsentrasi akut berdasarkan seri logaritma konsentrasi yang dimodifikasi
oleh Rochini dkk (1982) dalam Fahmi (2016).
Tabel 2.2
Kriteria tingkatan nilai toksisitas akut LC50-48 jam pada
lingkungan perairan
Sumber : Wagner dkk (1993) dalam Fahmi (2016)
Tingkat Racun Nilai (LC50) (ppm)
Racun Tinggi < 1
Racun Sedang >1 dan <100
Racun Rendah >100
1. Perhitungan LC 50 dari BSLT
Lethal Concentration 50 atau biasa disingkat LC50 adalah suatu
perhitungan untuk menentukan keaktifan dari suatu ekstrak atau senyawa. Makna
LC50 adalah pada konsentrasi berapa ekstrak dapat mematikan 50 % dari
organisme uji, misalnya larva Artemia salina (brine shrimp) (Fadhillah, 2016).
Berikut langkah-langkah perhitungan LC50 Uji BSLT (Brine Shrimp Lethality
Test) ekstrak Bakteri asal Spons:
1. Buatlah tabel seperti berikut, kemudian masukkan nilai konsentrasi yang
dilakukan, Log10 konsentrasi dan Jumlah larva yang digunakan.
28
Tabel 2.3
Uji BSLT
Sumber : Fadhillah (2016)
2. Jika sudah melakukan BSLT, tuliskan jumlah larva yang mati pada setiap
kolom Jumlah larva mati sesuai dengan konsentrasinya.
3. Hitung % mortalitasnya dengan cara = ((Jumlah yang mati / Jumlah total
Larva) × 100 %)
4. Perhatikan jumlah larva yang mati pada konsentrasi 0 atau kontrol. Jika
terdapat yang mati maka hitung mortalitas terkoreksi, sesuai ulangan.
% Mortalitas terkoreksi =100 x
5. Setelah % mortalitas terkoreksi didapatkan untuk setiap ulangan maka rata-
ratakan dengan membagi total mortalitas terkoreksi dengan jumlah ulangan
yang dilakukan. Masukkan hasil rata-rata tersebut ke kolom rata-rata %
mortalitas terkoreksi.
29
Tabel 2.4
Nilai Probit
Sumber : Fadhillah (2016)
6. Cari nilai probit (probability unit) untuk mortalitas terkoreksi yang
didapatkan dan masukkan ke kolom probit. Mencari nilai probit tinggal
mencocokkan dengan tabel probit di bawah ini, misalnya mortalitas
terkoreksi 5,26 jika dicari nilai probitnya menjadi 5 = 3,36.
Tabel 2.5
Persentase Nilai Porbit
Sumber : Fadhillah (2016)
30
E. Penelitian Relevan
1. Tjahjani dkk (2017), Efek Larvasida Ekstrak Etanol Daun Pandan Wangi
(Pandanus amaryllifolius Roxb) terhadap Larva Nyamuk Culex sp. Menggunakan
metode rancangan acak lengkap. Berdasarkan hasil penelitian ini pada konsentrasi
4%, 2%, 1%, dan 0,5% didapatkan rata-rata 96,67%, 79,17%, 50%, dan 17,5%
larva yang mati.
2. Ningrum dkk (2018), Efektivitas Ekstrak Daun Pandan Wangi (Pandanus
amaryllifolius) Sebagai Larvasida terhadap Larva Culex sp. Menggunakan metode
one group post test design. Berdasarkan hasil penelitian ini pada konsentrasi 0%,
1%, 2%, 3%, 4% didapatkan rata-rata 0%, 17,5%, 50%, 77,5%, 97,5%
31
F. Kerangka Teori
Gambar 2.6 Kerangka Teori
(Modifikasi penelitian oleh Ningrum, 2018)
Daun Pandan Wangi
(Pandanus Amaryllifolius)
Ekstrak
Konsentrasi
2%, 4%, 6%, 8%
Lama Waktu Kontak
2 jam, 6 jam, 12 jam, 24
jam, 48 jam
Kematian larva nyamuk
Culex sp
1. Suhu
2. pH
Mengandung:
1. Alkaloid
2. Saponin
3. Tanin
4. Flavonoid
32
G. Kerangka Konsep
Gambar 2.7 Kerangka Konsep
1. Konsentrasi Ekstrak
2. Lama Waktu Kontak
Kematian larva
Culex sp
1. Suhu
2. pH
33
H. Hipotesis
a. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun pandan wangi (Pandanus
Amaryllifolius) maka semakin tinggi angka kematian larva Culex sp.
b. Semakin lama waktu kontak ekstrak daun pandan wangi (Pandanus
Amaryllifolius) maka semakin tinggi angka kematian larva Culex sp.