bab ii tinjauan pustakarepository.ub.ac.id/3745/3/bab ii.pdflimbah yang berisi zat-zat toksikan dan...
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Air Limbah
Limbah adalah zat buangan dari sisa hasil produksi maupun
aktivitas manusia. Menurut Mahida (1964) limbah secara
langsung maupun tidak langsung dapat merusak lingkungan
karena mengandung zat beracun baik sifat, jumlah maupun
konsentrasinya. Limbah dapat membahayakan lingkungan,
kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya.
Air limbah dapat berasal dari berbagai sumber dan
mengandung berbagai macam kontaminan. Sumada (2012)
berpendapat bahwa air limbah adalah air yang tidak terpakai dan
dikeluarkan dari aktivitas seperti industri, rumah tangga, hotel,
supermarket, dan lain sebagainya. Air limbah mengandung
kontaminan seperti padatan tersuspensi, padatan terlarut, logam
berat, bahan organik, bahan beracun, dan bertemperatur tinggi.
Pada umumnya, air limbah yang dihasilkan dibuang ke badan air
seperti sungai, laut dan kedalam tanah. Pembuangan air limbah
ke lingkungan dapat memicu terjadinya pencemaran pada
sungai, laut tanah, bahkan udara.
Limbah dibuang ke lingkungan dikarenakan limbah
merupakan zat sisa sudah tidak dapat dimanfaatkan kembali dan
tidak memiliki nilai ekonomi. Ginting (2007) menyatakan bahwa
limbah adalah buangan yang keberadaan pada suatu saat dan
tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungannya karena tidak
mempunyai nilai ekonomi. Limbah yang berisi zat-zat toksikan
dan berbahaya dikenal sebagai limbah B3, yang dinyatakan
sebagai bahan yang dalam jumlah relatif sedikit tetapi berpotensi
untuk merusak lingkungan hidup dan sumber daya.
Kusnoputranto (1985) menyimpulkan bahwa secara umum
limbah cair adalah air buangan yang berasal dari aktivitas rumah
6
tangga dan industri serta tempat-tempat umum lainnya dan
mengandung bahan atau zat yang dapat membahayakan
kesehatan manusia serta mengganggu kelestarian lingkungan
hidup.
1.2 Parameter Air Limbah
Unit IPAL dirancang dengan mempertimbangkan
karakteristik air limbah sebagai dasar perancangannya. Karakter
ini digambarkan oleh nilai setiap parameter yang terdapat dalam
air limbah dan merepresentasikan tingkat toksisitas limbah
tersebut. Maka secara garis besar karakteristik air limbah ini
dikelompokkan berdasarkan sifat fisik, kimia dan biologi
(Tchobanoglous, 2003). Menurut Siregar (2005) cara mengetahui
sifat fisik air limbah adalah dengan meninjau kondisi suhu, Total
Suspended Solid (TSS), warna dan juga bau dari ar limbah itu
sendiri. Untuk menentukan sifat kimianya dapat dilihat dari nilai
kandungan oksigen, Chemical Oxygen Demand (COD), derajat
keasaman (pH), Biochemical Oxygen Demand (BOD), logam
berat, fenol, nitrit, nitrat, total fosfor (TP), Methylene Blue Active
Substances (MBAS), total nitrogen (TN), dan Hydrogen Bisulfat
(H2S). Sifat kimia ini menggambarkan mutu air limbah industri.
Sedangkan untuk menentukan sifat biologi dari air limbah
sebagai tolok ukur adalah tingkat toksisitasnya. Karakteristik
biologis digambarkan dengan jumlah dan jenis mikroba dalam air
limbah serta dampaknya terhadap lingkungan, apabila air limbah
dilepas ke badan air tanpa diolah.
Beberapa parameter yang digunakan dalam pengukuran
kualitas air limbah menurut kusnoputranto (1985) antara lain :
2.2.1. Kandungan Zat Padat
Kandungan zat padat diukur dalam bentuk Total Solid
Suspended (TSS) dan Total Dissolved Solid (TDS). TSS adalah
padatan yang menyebabkan kekeruhan air yang tidak larut dan
7
tidak dapat mengendap langsung. TDS adalah padatan yang
menyebabkan kekeruhan pada air yang sifatnya terlarut dalam
air.
2.2.2. Kandungan Zat Organik
Zat organik di dalam penguraiannya memerlukan oksigen
dan bantuan mikroorganisme. Salah satu penentuan zat organik
adalah dengan mengukur BOD (Biochemical Oxygen Demand)
dari buangan tersebut. BOD adalah jumlah oksigen yang
dibutuhkan oleh bakteri untuk melakukan dekomposisi aerobik
bahan-bahan organik dalam larutan, di bawah kondisi waktu dan
suhu tertentu (biasanya lima hari pada 200C).
2.2.3. Kandungan Zat Anorganik
Beberapa komponen zat anorganik yang penting untuk
mengawasi kualitas air limbah yaitu nitrogen dalam senyawaan
nitrat, fosfor, H2O dalam zat beracun dan logam berat seperti Hg,
Cd, Pb dan lain-lain.
2.2.4. Gas
Gas nitrogen, oksigen dan karbon dioksida pada air
buangan berasal dari udara yang larut ke dalam air, sedangkan
gas H2S, NH3, dan CH4 berasal dari proses dekomposisi air
buangan. Oksigen di dalam air buangan dapat diketahui dengan
mengukur DO (Dissolved Oxygen). Jumlah oksigen yang ada di
dalam sering digunakan untuk menentukan banyaknya/besarnya
pencemaran organik dalam larutan, makin rendah DO suatu
larutan makin tinggi kandungan zat organiknya.
2.2.5. Kandungan Bakteriologi
Bakteri golongan Coli terdapat normal di dalam usus dan
tinja manusia. Sumber bakteri patogen dalam air berasal dari tinja
manusia yang sakit. Untuk menganalisis bakteri patogen yang
terdapat dalam air buangan cukup sulit sehingga parameter
mikrobiologis digunakan perkiraan terdekat jumlah golongan
coliform (Most Probably Number (MNP)) dalam sepuluh mili
8
buangan serta perkiraan terdekat jumlah golongan koliform tinja
dalam seratus mili air buangan.
2.2.6. Derajat Keasaman (pH)
Pengukuran pH berkaitan dengan proses pengolahan
biologis karena pH yang kecil akan menyulitkan, disamping akan
mengganggu kehidupan dalam air bila dibuang ke perairan
terbuka.
2.2.7. Suhu
Suhu air buangan umumnya tidak banyak berbeda
dengan suhu udara tapi lebih tinggi daripada suhu air minum.
Suhu dapat mempengaruhi kehidupan dalam air. Kecepatan
reaksi atau pengurangan, proses pengendapan zat padat serta
kenyamanan dalam badan air.
2.3 Pengolahan Air Limbah
2.3.1 Unit Proses Pengolahan Limbah
Pengolahan limbah dengan memanfaatkan teknologi
pengolahan dilakukan melalui proses fisika, kimia, dan biologis
atau gabungan ketiga proses tersebut. Berdasarkan sistem unit
operasinya, teknologi pengolahan limbah diklasifikasikan menjadi
unit operasi fisik, unit operasi kimia dan unit operasi biologi,
sedangkan bila dilihat dari tingkatan perlakuan pengolahan maka
sistem pengolahan limbah diklasifikasi menjadi pretreatment,
primary treatment system, secondary treatment system, serta
tertiary treatment system. Setiap tingkatan treatment terdiri pula
atas sub-sub treatment yang berbeda (Sugiharto, 1987). Menurut
Kurniadhie (2011), proses pengolahan limbah cair berdasarkan
tingkatan dan perlakuannya dapat digolongkan menjadi 5
golongan. Akan tetapi, dalam suatu instalasi pengolahan limbah,
tidak harus kelima tingkatan ini ada atau dipergunakan. Proses
pengolahan air limbah diacu untuk gambar 2.1 dan 2.2. Berikut
9
adalah pengertian dari masing-masing proses menurut
Kurniadhie (2011):
a. Pengolahan pendahuluan (pre treatment)
Pengolahan pendahuluan (pre treatment), dilakukan
apabila didalam limbah cair terdapat banyak padatan
terapung atau melayang misalnya berupa ranting, kertas,
dan pasir. Dapat digunakan saringan kasar, bak
penangkapan lemak, bak pengendapan pendahuluan dan
septic tank.
b. Pengolahan tahap pertama (primary treatment)
Pengolahan tahap pertama (primary treatment), untuk
memisahkan bahan-bahan padat tercampur (ukuran
cukup kecil). Netralisasi termasuk juga dalam tahap
pengolahan tahap pertama. Dapat dilakukan secara kimia
(netralisasi, koagulasi) dan fisika (sedimentasi, flotasi /
pengapungan).
c. Pengolahan Tahap kedua (secondary trearment)
Pengolahan ini biasanya melibatkan proses biologi :
Lumpur aktif, bak aerob, dan bak anaerob
d. Pengolahan tahap ketiga (tersier treatment)
Digunakan apabila ada zat yang membahayakan.
Pengolahan tahap ketiga merupakan bentuk pengolahan
khusus sesuai dengan polutan yang dihilangkan, misalnya
pengurangan besi dan mangan. Contoh lain misalnya
penggunaan karbon aktif, menghilangkan amonia.
e. Pengolahan tahap keempat
Pembunuhan kuman (desinfektan) adalah pengolahan
tahap keempat. Dilakukan apabila pengolahan limbah cair
mengandung bakteri patogen
Primary treatment dimaksudkan untuk memilah materi
padat, menghomogenkan debit, memisahkan minyak dan lemak
serta menurunkan suhu. Menurut Burton (1991), unit-unit dalam
10
pengolahan pendahuluan ini meliputi saringan (bar screen),
pencacah (communitor), bak penangkap pasir (grit chamber),
penangkap lemak dan minyak (skimmer and grease trap), dan
bak penyetaraan (equlization basin). Setelah melalui pengolahan
pendahuluan, air limbah masuk ke dalam unit pengolahan
pertama (primary treatment). Fase pengolahan ini bertujuan
mengurangi kandungan padatan tersuspensi melalui proses
pengendapan. Dalam unit ini, efisiensi penurunan konsentrasi
BOD dapat mencapai 35%, sedangkan Total Suspended Solid
(TSS) berkurang hingga 60%. Penurunan kandungan BOD dan
SS pada tahap awal ini akan membantu mengurangi beban
pengolahan tahap kedua. Selanjutnya, air limbah melalui
pengolahan kedua berupa proses biologis. Dalam proses ini,
kandungan oksigen atau DO dalam air limbah sangat diperlukan
bagi mikroorganisme aerobik dalam aktivitas mendegradasi
pencemar. Dewi (2014) mengatakan bahwa apabila hasil
keluaran dari pengolahan terdahulu masih mengandung zat
berbahaya tertentu, pengolahan tersier perlu ditambahkan.
Pengolahan tambahan bersifat khusus atau spesifik, tergantung
pada zat yang ingin dihilangkan. Unit yang biasanya digunakan
dalam tahap pengolahan tersier adalah saringan pasir, desinfeksi
dan pengolahan lanjut.
a. Ekualisasi
Bak ekualisasi termasuk dalam proses pre treatment. Unit ini
memiliki fungsi pokok yaitu untuk menyeragamkan debit,
menurunkan suhu serta COD Volatil sebelum air limbah masuk
kedalam unit selanjutnya. Menurut Adnan (2012) Bak ini
berfungsi untuk menampung air sebelum dilakukan pengolahan
lebih lanjut. Bak Ekualisasi ini dimaksudkan untuk menangkap
benda kasar yang mudah mengendap yang terkandung dalam air
baku, seperti pasir atau dapat juga disebut partikel diskret.
11
Gambar 2.1 Pengumpulan dan pengolahan air limbah (Spellman, 2009)
Secondary treatment
Primary sludge Activated sludge
Effluent
Collection
system Screening & comminution
Grit
chamber
Primary
settling Aeration Secondar
y settling Chlorine
contact
Influent
Screening Grit
Air Chlorine
Thickener Anaerobic
disgester Biosolid
dewaterin
g
Biosolid disposal
Primary treatment
12
Penggunaan unit Ekualisasi selalu ditempatkan pada
awal proses pengolahan air, sehingga dapat dicapai penurunan
kekeruhan. Ekualisasi merupakan bak pengendapan material
pasir dan lain-lain yang tidak tersaring pada screen, serta
merupakan pengolahan fisik yang kedua.
Bak Ekualisasi yang sering digunakan pada umumnya
memiliki bentuk segi empat maupun lingkaran. Di unit ini,
pengendapan terjadi secara gravitasi tanpa penambahan zat
Gambar 2.2 Complately Mixed Activate Sludge Plant for an Industrial Wastewater
(Reynold,1983)
13
kimia. Bak ini dibuat dengan tujuan untuk mengatasi adanya
permasalahan operasional, variasi debit dan masalah
penanganan kualitas limbah cair yang akan masuk ke unit-unit
pengolahan limbah selanjutnya (Saraswati, 2000). Eddy (2001)
menambahkan dalam merencanakan unit pengolahan air limbah,
dibutuhkan data mengenai debit minimal, debit rata-rata, debit
puncak.
Adnan (2012) menyatakan bahwa ekualisasi tidak
termasuk dalam suatu proses pengolahan namun merupakan
suatu cara atau teknik untuk meningkatkan efektivitas dari proses
pengolahan selanjutnya. Keluaran dari bak ekualisasi adalah
parameter operasional bagi unit pengolahan selanjutnya seperti
aliran, level atau derajat kandungan polutan, temperatur,
padatan.
Berikut adalah kegunaan dari ekualisasi, yaitu:
➢ Membagi dan meratakan volume pasokan (influen) untuk
masuk pada proses treatment.
➢ Meratakan variabel & fluktuasi dari beban organik untuk
menghindari shock loading pada sistem pengolahan
biologi
➢ Meratakan pH untuk meminimalkan kebutuhan chemical
pada proses netralisasi.
➢ Meratakan kandungan padatan (SS, koloidal dan lain
sebagainya) untuk meminimalkan kebutuhan chemical
pada proses koagulasi dan flokulasi. Sehingga dilihat dari
fungsinya tersebut, unit bak ekualisasi sebaiknya
dilengkapi dengan pengaduk, atau secara sederhana
konstruksi/ peletakan dari pipa inlet dan outlet diatur
sedemikian rupa sehingga menimbulkan efek turbulensi.
Idealnya pengeluaran (discharge) dari ekualisasi dijaga
konstan selama periode 24 jam, biasanya dengan cara
pemompaan maupun cara-cara lain yang memungkinkan.
14
b. Koagulasi-Flokulasi
Tebbutt (2012) mengartikan koagulasi adalah proses
pembentukan gumpalan partikel koloid yang dikarenakan oleh
penambahan bahan sintetik tertentu sehingga partikel-partikel
berubah menjadi partikel netral dan membentuk endapan akibat
adanya gravitasi. Secara kimiawi koagulasi dapat dilakukan
dengan menambahkan elektrolit, pencampuran koloid yang
berbeda muatan, dan penambahan koagulan. Salah satu cara
pengolahan air adalah melalui proses koagulasi-flokulasi.
Pemisahan koloid dapat dilakukan dengan menambahkan
koagulan sintetik ataupun koagulan alami yang disertai dengan
pengadukan lambat pada proses flokulasi sehingga memicu
terjadinya penggumpalan partikel-partikel koloid yang kemudian
dapat dipisahkan dengan sedimentasi. Bahan koagulan sintetik
maupun alami dapat digunakan dalam proses koagulasi-flokulasi.
Menurut Dhallawati (2000), koagulasi merupakan proses
destabilisasi koloid dengan adanya penambahan koagulan.
Mekanisme dari proses koagulasi sendiri adalah koagulan sintetik
seperti Fero sulfat (FeSO4), aluminium sulfat atau alum
(Al2(SO4)3), dan Poly Alumunium Chloride (PAC)
(Al2(OH)3Cl3)10Al3+ dari PAC dan Al2(SO4) akan bereaksi dengan
OH- membentuk Al(OH)3 yang mudah mengendap.
Teknik laboratorium jar test merupakan suatu prosedur uji
untuk menentukan dosis koagulan yang tepat. Dalam metode
pengujian ini, sampel air akan dituangkan ke dalam gelas beker,
dan ditambahkan koagulan dengan dosis yang bervariasi.
Kemudian larutan diaduk dengan cepat untuk menyimulasikan
pengadukan cepat. Selanjutnya diaduk secara lambat untuk
menyimulasikan proses flokulasi. Setelah waktu tertentu
pengadukan akan dihentikan dan flok akan mulai terbentuk.
Aspek yang paling penting untuk diperhatikan adalah waktu yang
dibutuhkan untuk pembentukan flok, ukuran flok, karakteristik
endapan, kekeruhan dan warna , serta pH akhir dari air limbah
15
dan juga endapan yang terbentuk. Prosedur penentuan dosis
koagulan ini memberikan estimasi dosis yang diperlukan untuk
proses yang akan diterapkan kendala sistem (Reynold, 1982).
Permatasari (2013) berpendapat Jar Test adalah proses
pengujian dosis koagulan untuk mendapatkan dosis yang tepat
dalam skala laboratorium. Karena lingkup kerja dari Jar Test ini
adalah skala laboratorium, sehingga perbandingan volume air
baku yang diteliti dengan volume air baku dalam proses koagulasi
adalah 1:1000. Hasil dari Jar Test yaitu mendapatkan hubungan
antara nilai kekeruhan dan dosis koagulan yang digunakan.
Namun, data hasil pengukuran metode Jar Test menunjukkan
ketidak liniearan antara dua hubungan tersebut.
c. Lumpur Aktif
Proses lumpur aktif adalah proses untuk mengolah limbah
dan air limbah industri menggunakan udara dan flok biologis yang
terdiri dari bakteri dan protozoa. Dalam instalasi pengolahan air
limbah, proses lumpur aktif adalah proses biologis yang dapat
digunakan untuk satu atau beberapa tujuan, yaitu pengoksidasi
materi biologis karbon, mengoksidasi materi nitrogen: terutama
amonium dan nitrogen di materi biologis, dan menghapus nutrisi
(nitrogen dan fosfor) (Metcalf & Eddy, 2003).
Lumpur aktif adalah suatu metode pengolahan air limbah
dengan menumbuhkan mikroba tersuspensi. Pada dasarnya
proses ini merupakan pengolahan aerobic dengan mengoksidasi
material organik menjadi CO2 dan H2O, NH4, dan sel biomassa
baru. Mekanisme dari proses ini adalah sel mikroba akan
membentuk flok yang akan mengendap di tangki clarifier.
Kemampuan bakteri dalam membentuk flok menjadi parameter
keberhasilan pengolahan limbah secara biologi, karena langkah
ini akan memudahkan pemisahan partikel dan air limbah.
Davis (1985) menyatakan parameter yang umum digunakan
dalam lumpur aktif adalah sebagai berikut :
16
- Mixed-Liquor Suspenen Solid (MLSS)
Substansi dari tangki aerasi dalam sistem lumpur aktif
disebut sebagai mixed liquor atau dapat diartikan sebagai
lumpur campuran. MLSS adalah jumlah total dari padatan
tersuspensi yang berupa material organik dan mineral, dan
termasuk di dalamnya adalah mikroorganisme. MLSS
ditentukan dengan cara menyaring lumpur campuran dengan
kertas saring (filter), kemudian filter dikeringkan dengan
temperatur 1050C, dan berat padatan dalam contoh di
timbang.
- Mixed-Liquor Volatile Suspended Solid (MLVSS)
Porsi material organik pada MLSS diwakili oleh MLVSS,
yang berisi material organik bukan mikroba, mikroba hidup
dan mati, dan hancuran sel. MLVSS diukur dengan
memanaskan terus sampel filter yang telah kering pada 600-
6500C, dan nilainya mendekati 65-75% dari MLSS.
- Food To Micro Organism Ratio (F/M ratio)
Parameter ini merupakan indikasi beban organik yang
masuk kedalam sistem lumpur aktif dan nilainya diwakili
dalam kilogram BOD per kilogram MLSS/hari (Curds 1983 ;
Nathanson,1986).
- Hidraulic Retention Time(HRT)
Waktu tinggal hidraulik adalah waktu rata-rata yang
dibutuhkan oleh larutan influen masuk dalam tangki aerasi
untuk proses lumpur aktif. Nilainya berbanding terbalik
dengan laju pengenceran (D) .
- Umur lumpur (Sludge age). Umur lumpur adalah waktu
tinggal rata-rata mikroorganisme dalam sistem. Jika HRT
memerlukan waktu dalam jam, maka waktu tinggal sel
mikroba dalam tangki aerasi dalam hari lamanya. Parameter
ini berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan mikroba.
d. Filter Karbon
17
Filter Karbon adalah metode penyaringan dengan
menghilangkan kontaminan dan kotoran menggunakan bed
karbon aktif sebagai adsorben kimia. Setiap partikel karbon
memiliki struktur luas permukaan / pori besar, yang
memungkinkan kontaminan terserap secara maksimum ke
bidang penyerapan atau jaring-jaring karbon. Dari setiap 454 g
karbon aktif memiliki luas permukaan sekitar 40 Hektar
(Cheremisinoff & Morresi, 1980).
Karbon aktif bekerja melalui proses yang disebut
adsorpsi, dimana molekul polutan dalam cairan yang akan
diperlakukan terjebak di dalam struktur pori substrat karbon.
Penyaringan karbon umumnya digunakan untuk pemurnian air
dan industri dalam pengolahan gas, misalnya penghapusan
siloxanes dan hidrogen sulfida dari biogas. Hal ini juga digunakan
dalam sejumlah aplikasi lainnya, termasuk masker respirator,
pemurnian tebu dan dalam pemulihan logam mulia, terutama
emas. Hal ini juga digunakan dalam filter rokok (U.S.
Environmental Protection Agency (EPA), 2014).
Filter karbon dari activated carbon adalah yang paling
efektif menghilangkan klorin, sedimen, senyawa organik volatil
18
(VOC), rasa serta bau dari air. Namun zat ini kurang efektif
untuk Gambar 2.3 Rancang bangun Carbon Filter
menghilangkan mineral, garam, dan senyawa anorganik
terlarut. Filter karbon dapat menghilangkan partikel dengan
ukuran berkisar 0,5 antara sampai 50 mikrometer. (Cheremisinoff
& Morresi, 1980).
2.4 Proses Softening air
Proses softening adalah suatu proses yang dilakukan
untuk menghilangkan kadar mineral dalam air regenerasi dengan
menggunakan prinsip pertukaran ion atau ion excahange oleh
media resin, (dapat dilihat pada Gambar 2.4). Di PT Behaestex
air didemineralisasi untuk menghasilkan air soft yang akan
digunakan untuk pembuatan uap dengan menggunakan mesin
boiler. Proses demineralisasi ini sendiri bertujuan agar air yang
Ca2
Mg
Air Bawah Tanah
Air Soft
Gambar 2.4 Proses softening air tanah
19
akan di proses tidak mengandung mineral sehingga tidak
meninggalkan kerak pada pipa saat di panaskan didalam mesin
boiler. Proses ini perlu dilakukan karena air tanah memiliki kadar
214,8 mg/l.
Mekanisme yang terjadi dalam proses softening seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2.4 adalah berawal dari
memompa air bawah tanah dan dikumpulkan di bak pengumpul
sebagai row water. Kemudian row water dikontakkan dengan
resin yang ada di dalam tangka softerner . Didalam tangki
softener, resin akan mengikat ion Mg2+ dan juga Ca2+ dan hasil
output dari proses softening adalah air soft atau air yang sudah
tidak mengandung kadar mineral Mg2+ dan Ca2+. Yang
dimaksudkan jenuh adalah kondisi dimana resin sudah tidak
mampu mengikat Mg2+ dan Ca2+ maka dari itu diperlukan adanya
proses backwash atau pencucian resin kembali (diacu pada
Gambar 2.5)
Na2
Na
NaCl
MgCl2 dan CaCl2
Gambar 2.5 Proses regenerasi resin tangki softening
20
. Proses backwash pada dasarnya adalah melepaskan ikatan
Mg2+ dan Ca2+ dari resin dengan menggunakan garam dapur
(NaCl). NaCl apabila dilarutkan dalam air akan terurai menjadi ion
Na+ dan Cl-. Ion Cl- yang terkandung dalam air larutan garam akan
mengikat ion Mg2+ dan Ca2+ dan ion Na akan berikatan dengan
resin untuk menggantikan ion Mg2+ dan Ca2+. Proses backwash
dilakukan dengan merendam resin yang telah jenuh dengan
menggunakan larutan garam selama ± 30 menit. Setelah itu
dilakukan pembilasan oleh air hingga tidak ada larutan garam
yang tertinggal. Pada dasarnya resin dengan volume 3 m2
mampu memproses air bawah tanah sebanyak 1.200 m3.
Regenerasi berlangsung dengan efisiensi 80% . Dari proses ini
menghasilkan air bilasan garam atau selanjutnya disebut air
regenerasi sebesar 12 m3
2.5 Pengelolaan Lingkungan
Pengelolaan lingkungan sangat perlu untuk di lakukan untuk
mempertahankan daya dukung lingkungan. Menurut Berger
(1963), pengelolaan lingkungan hidup sendiri diartikan sebagai
upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup
meliputi kebijaksanaan, penataan, pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan
pengendalian lingkungan hidup. Jadi dalam hal ini peran
pemerintah sangan penting dalam menjaga kelestarian
lingkungan itu sendiri
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Bab
1 pasal 1 dan 2 menyebutkan bahwa Lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan,
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya
21
sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum.
Pemerintah khususnya di daerah Jawa Timur juga mengatur
pengelolaan lingkungan yang tertulis pada Pergub no 72 tahun
2013 Tentang baku mutu limbah cair
Pasal 2 Dengan Peraturan Gubernur ini ditetapkan baku mutu
air limbah bagi industri dan/atau kegiatan usaha
lainnya.
Pasal 3 (1) Penetapan baku mutu air limbah bagi industri
dan/atau kegiatan usaha lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dimaksudkan untuk
mengukur batas atau kadar unsur pencemar dan/atau
jumlah unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang
atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha
dan/atau kegiatan.
(2) Penetapan baku mutu air limbah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) bertujuan mencegah
terjadinya pencemaran sumber air guna mewujudkan
mutu sumber air sesuai dengan peruntukkannya.
2.6 Baku Mutu Limbah Cair
Baku mutu limbah cair adalah ambang batas konsentrasi
zat pada masing-masing parameter yang di perbolehkan untuk
dibuang ke badan air seperti sungai, laut dan danau. Sumada
(2012) menyatakan bahwa dalam rangka mengendalikan
pencemaran air limbah oleh pelaku usaha, pemerintah pusat dan
daerah telah menetapkan berbagai peraturan yang berkaitan
dengan kualitas air limbah, debit air limbah, dan beban
22
maksimum air limbah yang diperbolehkan untuk dibuang ke
badan air. Peraturan tersebut dikenal dengan peraturan baku
mutu air limbah industri
Penetapan baku mutu air limbah didasarkan pada dua (2)
aspek yaitu :
• Berdasarkan air limbah yang dihasilkan oleh setiap industri
disebut sebagai standar air limbah (Fffluent Standard)
• Berdasarkan peruntukan dari badan air penerima disebut
sebagai standar air badan penerima (Stream Standard)
Tabel 2.1. Baku mutu air limbah bagi industri tekstil
2.7 Gambaran Umum Pengolahan Limbah PT Behaestex
Pandaan
2.7.1 Proses Produksi Sarung PT Behaestex Pandaan
Dalam proses produksi tekstil dilakukan beberapa
tahapan. Tahapan tersebut antara lain :
23
1. Winding (penggulungan)
Benang T/R terbagi dalam bentuk gulungan cone carton,
dilakukan pemeriksaan kualitas dan proses soft cone
(digulung dalam dye tube) untuk persiapan proses
pencelupan. Dye tube merupakan alat yang berbentuk
tabung yang terbuat dari bahan tahan panas yang kedua
ujungnya tidak memiliki penutup yang (hardness) agar
dalam proses pencelupan tidak menggumpal dan daya
serap benang terhadap warna bisa merata sehingga
benang siap dicelup.
2. Dyeing (pencelupan)
Setelah melalui proses winding benang yang telah
tergulung pada dye tube dimasukkan ke dalam bak
pencelupan. Dimasukkan (disemprotkan) pula zat warna
dan obat-obatan ke dalam bak pencelupan. Pemilihan
warna dilakukan sesuai order dari Departemen PPC
tentunya melalui resep dyestuff dan Quality Control. Proses
pencelupan warna berlangsung dengan suhu yang tinggi
mencapai 80ºC Pada proses celup ini steam dan air
disuplai dari Departemen Engineering dan prosesnya
menggunakan mesin Thies (A8, s/d A17), dan Fong’s (A5
s/d A7). Setelah mengalami proses pencelupan warna,
benang akan diproses dengan system hydrox dimana
gulungan benang akan ditiriskan dengan cara diputar untuk
membuang airnya. Setelah itu dilanjut diproses drying
untuk mengurangi kadar air pada benang dengan
pemanasan di mesin RF Dryer (Radio Frequency). Setelah
kering benang akan digulung kembali dirubah lagi dari
bentuk dyetube ke bentuk paper cones.
3. Prepatory (persiapan tenun)
Proses persiapan tenun dimulai dari proses warping yaitu
proses penyusunan benang sesuai dengan bentuk dan
corak sarung yang akan dibuat selanjutnya benang-
24
benang tersebut digulung menuju beam warping. Benang
yang telah digulung di beam warping disatukan dan
digulung kedalam beam tenun. Sebelum penggulungan
akan dilakukan proses pengkanjian dengan tujuan agar
benang menjadi kuat pada saat ditenun.
4. Weaving AJL (pertenunan)
Beam yang telah melewati proses pengkanjian akan
dipasang menuju mesin Air Jet Loam (AJL). Mesin AJL
adalah mesin yang digunakan untuk proses pertenunan.
Setelah beam terpasang, maka proses pertenunan dimulai.
Hasil dari weaving berupa kain yang mempunyai bermacam
–macam motif dan corak sesuai dengan order kerja dari
PPC yang tentunya mengacu pada permintaan pasar.
5. Finishing (penyelesaian)
Proses finishing terbagi menjadi beberapa proses, yaitu
proses bakar bulu , proses pencucian kain hasil tenun,
proses pengeringan, proses resin finish dan proses
callender (penghalusan). Proses bakar bulu bertujuan
untuk menghilangkan bulu pada kain yang timbul pada
proses pertenunan serta untuk mengatur kerataan dan
ketinggian bulu pada kain. Proses pencucian kain bertujuan
untuk membersihkan sisa-sisa kanji yang masih menempel
pada kain. Proses pencucian dilakukan dengan tiga bak
pencucian berkapasitas 2,4 m³ pada suhu 100ºC dengan
kecepatan 40 meter/menit.
Proses ini menghasilkan limbah cair yang kemudian diolah
pada unit pengolahan limbah cair. Selanjutnya dilakukan
proses drying (pengeringan) dengan melewatkan kain pada
conveyor untuk menghilangkan kadar air pada kain.
Kemudian diproses resin finish untuk meresapkan obat ke
dalam kain pada temperatur 160º - 170ºC agar pewarnaan
menjadi sempurna. Tahap terakhir adalah proses callender
25
(penghalusan) untuk mematikan dan menghaluskan serat
kain.
6. Quality Assurance (pengecekan kualitas akhir)
Quality Assurance adalah tahapan untuk mengecek
kualitas akhir dari sarung dengan point system yang di
sesuaikan dengan standart grading untuk menentukan
kualitas dan kuantitas produk. Proses ini meliputi
pengecekan, pemberian tanda apabila terdapat kecacatan
pada produk, pemotongan, perbaikan produk, pemberian
label serta packing.
2.7.2 Karakteristik Air Limbah
Pengujian karakteristik air limbah PT Behaestex Pandaan
dilakukan oleh laboratorium terakreditasi nasional. Dalam hal ini
pengujian dilakukan oleh Laboratorium PT Mitralabuana.
Pengambilan sampel dilakukan pada tanggal 11 Oktober 2016
pukul 11.10 WIB dengan tanggal pengujian 12-31 Oktober 2016.
Titik pengambilan sampel bertempat di bak keluaran ekualisasi
PT Behaestex yang beralamat di Jl. Gunung Gangsir Dusun
Wangi, Desa Sumberejo, Pandaan Pasuruan dengan titik
koordinat S: 07o37’53,7” E: 112o42’10,0”. Lokasi titik pengambilan
sampel ditunjukan pada Gambar 2.6.
26
Gambar 2.6 Bagan alur produksi
PPIC
Mulai
Gudang benang baku
Departemen Dyeing Winding
(Soft Winding, Dyeing, Hydrox
Drying, Rewinding, Packing)
Gudang Benang Fresh
Benang Lusi Benang Pakan
Departemen Preparatory :
Sectional Warping, Direct
Warping, Sizeing
Departemen Weaving :
(ATM, ATBM, dan AJL)
Tenun, Doffing (Pemotongan),
Inspeksi
Gudang kain grey
Departemen Finishing
Departemen QA
Pemasaran
selesai
27
Gambar 2.7 Lokasi titik pengambilan sampel uji karakteristik
influen
Baku mutu berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Timur
Nomor 72 Tahun 2013 Lampiran 1 Nomor 9 (Baku mutu Air
Limbah Bagi Industri Tekstil). Hasil pengujian terhadap influen PT
Behaestex terpapar dalam Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Hasil uji parameter influen PT Behaestex Pandaan
No. Parameter Satuan Hasil uji Baku mutu Spesifikasi metode
A PHYSICAL
-Temperature oC 33,3 - IKM/5.4.97/MB
-TSS mg/L 880 50 APHA Section 2540 D
B CHEMICAL
- pH - 7.09 6,9 APHA Section 4500 H
-COD mg/L 851,9 150 SNI 6989.73.2009
-Oil andfat mg/L 0,2 3,0 APHA Section 5520 B
-NH3-N mg/L 3,37 8,0 APHA Section 4500
-H2S mg/L 0,34 0,3 IKM/5.4.109/MB
-BOD mg/L 220,9 60 IKM/5.4.112/MB
-Phenol mg/L 0,5 0,5 IKM/5.4.107/MB
-Chromium mg/L 0,23 1,0 Spectrophotometer
Lokasi pengambilan
sampel uji
28
1.7.3 Neraca Air
PT Behaestex Pandaan menghasilkan 1.760 m3/ hari
yang berasal dari proses produksi (Preparatory, Dyeing, dan
Finishing), boiler dan kegiatan rumah tangga. Limbah yang
diproses sebesar 1.500 m3/hari dan sisanya di buang melalui
saluran pembuangan. Neraca air diacu pada gambar 2.8.
29
Sistem yang diterapkan pada proses pengolahan air limbah
PT Behaestex diacu pada gambar 2.9 secara garis besar dibagi
menjadi tiga tahapan, yaitu proses fisika-kimia, biologi dengan
rincian sebagai berikut :
• Pretreatment (Bar screen dan bak ekualisasi)
Proses ini bertujuan untuk memisahkan air limbah dari
padatan yang mungkin terikut dari proses produksi seperti
benang dan juga untuk menghomogenisasi limbah.
Sebagai inforasi bahwa dalam proses produksi tekstil, air
limbah dihasilkan oleh beberapa proses. Pada PT
Behaestex Pandaan, air limbah dihasilkan dari beberapa
proses yaitu Dyeing, Finishing dan Preparatory. Tentunya
karakteristik dari air limbah yang dihasikan pun berbeda
antara satu proses dengan yang lainnya, Maka dari itu
diperlukan proses pengumpulan dan homogenisasi agar
limbah dapat diproses lebih lanjut. Proses ini dilakukan
dalam bak ekualisasi. Selain menghomogenisasi air
limbah, dalam bak ekualisasi juga ditambah aerator yang
berfungsi untuk menurunkan suhu dan COD volatile.
• Primary treatment (tangki koagulasi dan flokuasi, primary
claryfierI)
Proses ini dilakukan dengan tujuan menurunkan Pt-CO,
TSS, BOD, dan COD. Mekanismenya adalah dengan
melakukan kontak antara air limbah dan koagulan dengan
maksud untuk mendestabilisasi partikel koloid yang
terlarut pada air limbah sehingga membentuk flok yang
kemudian akan diendapkan di bak sedimentasi atau
primary clarifier.
• Secondary treatment (aeration tank, secondary clarifier)
Proses ini bertujuan untuk menurunkan kadar COD
dengan bantuan mikroorganisme. Metode yang dipilih
oleh PT Behaestex Pandaan dalam proses biologi ini
adalah metode activated sludge. Latar belakang
30
pemilihan metode ini adalah karena metode ini dinilai
lebih efisien dalam hal detension time dan biaya
operasionalnya.
• Tertiary treatment (carbon filter)
Proses ini bertujuan untuk menurunkan TSS yang terikut
akibat proses sebelumnya dengan media adsorben
karbon aktif.
Kekurangan dari proses pengolahan air limbah di PT
Behaetex Pandaan adalah peletakan atau layouting (dapat dilihat
di Gambar 2.10) proses secara tambal sulam, artinya
pertimbangannya hanya dari segi ketersediaan lahan sehingga
proses mobilisasi dan transportasi menjadi tidak efisien dari segi
teknis maupun ekonomis. Selain itu pada proses biologi, terdapat
dua bak aerasi dengan total waktu detensi 24 jam. Hal ini
disebabkan oleh penurunan efisiensi bak biologi akibat desain
rancang bangun yang kurang efisien. Begitu pun penggunaan
pompa yang cukup banyak seperti pada Tabel 2.3 berakibat pada
tingginya kebutuhan terhadap energi listrik. Perancangan ini
bertujuan untuk mendesain unit pengolahan air limbah yang lebih
efisien dalam segi teknis maupun ekonomis sehingga dapat
menghasilkan limbah dengan kualitas yang lebih baik dengan
biaya operasional yang lebih rendah.
2.7.5 Layout PT Behaestex Pandaan
PT Behaestex Pandaan didiri di Jl. Gunung Gangsir
Dusun Wangi, Desa Sumberejo, Pandaan Pasuruan diatas lahan
seluas + 63.000 m2 dengan bentuk lahan dengan segitiga lancip
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.7. Dengan bentuk lahan
seperti ini tentunya akan sulit dalam peletakan bangunannya
sedangkan dalam suatu industri terdapat banyak aspek yang
harus di penuhi. Dari Gambar 2.7 dapat dilihat bahwa untuk unit
pengolahan air limbah sendiri, peletakannya menyebar karena
menyesuaikan ketersediaan ruang yang ada
31
Tabel 2.3 Peralatan utama dan penunjang pada IPAL PT
Behaestex Pandaan
No Nama Alat Jumlah
1. Equalisazion tank 2
2. coagulation tank 1
3. flocculation tank 1
5. Bak sedimentasi 1
6. Bak spray 1
7. Cooling tower 1
8. Lamela tank 1
10. Aeration Tank 2
11. Secondary Clarifier 1
12. Carbon filter 3
13. Beltpress 1
14. Bar screen 1
15. Aerator 8
16. Lime solution tank 1
17. FeCl3 tank 1
18. Polyelectrolite tank 1
19. Centrifugal Pump 6
20. Submersible Pump 3
21. Mixer 4
23. Urea solution tank 1
24. TSP solition tank 1
25. DO meter 1
Hal ini menyebabkan operasional unit pengolahan air limbah
menjadi kurang efisien karena headloss, pemborosan energi
akibat banyaknya pompa dan juga tenaga kerja yang dibutuhkan.
Beberapa unit yang harus dipartisi akibat kecilnya lahan bebas
yang tersedia. Sebagai contoh, pada PT Behaestex Pandaan
terdapat 2 unit bak ekualisasi dan 2 unit bak aerasi akibat
32
ketersediaan lahan yang sangat terbatas dengan letak yang
terpisah. Maka dari itu sangat dibutuhkan relokasi unit
pengolahan air limbah dengan tata letak yang lebih efisien dalam
hal teknis dan juga ekonomisnya serta memudahkan proses
mobilisasi serta pengangkutan bahan. Dengan merelokasi dan
mengatur ulang tata letak unit pengolahan air limbah, diharapkan
biaya operasional akan menjadi lebih kecil, dan proses dapat
menjadi lebih efektif dan efisien dengan hasil keluaran yang lebih
baik secara kualitas.
33
2.7.4 Bagan Alur Proses Unit Pengolahan Air Limbah PT Behaestex Pandaan
Gambar 2.9 Bagan Alur Proses Unit Pengolahan Air Limbah PT Behaestex Pandaan
34
Gambar 2.10 Layout PT Behaestex Pandaan