bab ii tinjauan pustakarepo.bunghatta.ac.id/207/4/26 nila elvina jasra... · 2020. 7. 2. ·...
TRANSCRIPT
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum
Siklus hidrologi adalah rangkaian peristiwa yang terjadi pada air dari saat dia jatuh
ke bumi (hujan) hingga dia menguap ke udara kemudian jatuh kembali ke bumi yang
merupakan konsep dasar keseimbangan air secara global dan menunjukkan semua
hal yang berhubungan dengan air. Prosesnya sendiri berlangsung mulai dari tahap
awal terjadinya proses penguapan (evaporasi) secara vertikal dan di udara mengalami
pengembunan (evapotranspirasi), lalu terjadi hujan akibat berat air atau salju yang
ada di gumpalan awan. Lalu air hujan jatuh keatas permukaan tanah yang mengalir
melalui akar tanaman dan ada yang langsung masuk ke pori-pori tanah. Dan didalam
tanah terbuntuklah jaringan air tanah (run off), yang juga mengalami transpirasi
dengan butir tanah. Sehingga dengan air yang berlebih tanah menjadi jenuh air
sehingga terbentuklah genangan air (Arsyad, 1985).
Bendung adalah suatu bangunan air dengan kelengkapannya yang dibangun
melintang sungai atau sudetan yang sengaja dibuat untuk meninggikan taraf muka air
atau untuk mendapatkan tinggi terjun sehingga air dapat disadap dan dialirkan secara
gravitasi ke tempat yang membutuhkannya (Erman Mawardi, 2002).
Berdasarkan Kriteria Perencanaan bagian 02, umum bendung, secara umum
bangunan bendung adalah bagian dari bangunan utama yang diperlukan untuk
memungkinkan dibelokannya air sungai ke jaringan irigasi, dengan jalan menaikkan
muka air di sungai, sehingga air dapat disadap dan dialirkan secara gravitasi ke
tempat yang membutuhkannya. Bendung sebagai pengatur tinggi muka air sebagai
dapat dibedakan menjadi bendung tetap dan bendung gerak.
a. Bendung Tetap
Bendung tetap adalah Bendung yang terdiri dari ambang tetap atau permanen,
sehingga muka air banjir tidak dapat diatur elevasinya. Bendung ini biasanya
digunakan di sungai-sungai pada bagian hulu dan tengah.
5
Gambar 2.1 : Bendung Tetap
b. Bendung Gerak
Bendung gerak adalah Bendung yang terdiri dari ambang yang dapat
bergerak (pintu sorong, radial dan tipe lainnya), sehingga dapat mengatur
elevasi muka air banjir. Bendung ini biasa digunakan di sungai-sungai pada
bagian hilir di daerah yang datar.
Gambar 2.2 : Bendung Gerak
6
Pengaruhnya dari adanya pembangunan Bendung pada sungai adalah terjadinya
pengendapan sedimen pada hulu Bendung dan degradasi pada hilir bendung oleh
karena itu perlunya perencanaan yang matang dalam setiap pembangunannya
2.2 Pemilihan Lokasi Bendung
Pemilihan lokasi Bendung yang dimaksud yaitu untuk Bendung tetap permanen bagi
kepentingan irigasi. Dalam pemilihan dilakukan pada lokasi yang paling
menguntungkan dari beberapa segi, misalnya dilihat dari segi perencanaan,
pengamanan Bendung, pelaksanaan, pengoperasian, dampak pembangunan dan
sebagainya.
Lokasi bendung yang dipilih didasarkan pada kondisi marfologi dan topografi sungai
dengan perencanaan seluruh area dapat dialiri dengan gaya gravitasi, penempatan
pintu intake diusahakan dapat menjamin air yang masuk lancar, Bendung berada
pada sungai yang lurus, saluran primer tidak melewati trase yang sulit serta tidak
menimbalkan genangan yang luas dibagian hulu Bendung.
Tersedianya lokasi yang bisa dipilih baik itu dihulu maupun dihilir sungai untuk
penempatan konstruksi bendung akan memberikan alternatif-alternatif, gambaran,
keadaan serta konsekuensi yang saling berhubungan, yang berpengaruh terhadap segi
teknis maupun besarnya pembiayaan pelaksanaan.
Pemilihan lokasi Bendung dipilih atas beberapa pertimbangan, yaitu :
1. Keadaan topografi dari daerah irigasi
Dalam hal ini semua rencana daerah irigasi dapat terairi, sehingga harus dilihat
elevasi sawah yang tertinggi akan diairi. Jika elevasi sawah tertinggi sudah
diketahui, maka elevasi mercu Bendung dapat di tetapkan.
2. Kondisi topografi dari lokasi bendung
Dapat mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu :
a. Ketinggian Bendung tidak terlalu tinggi, bila Bendung dibangun di palung
sungai, maka sebaiknya tinggi bendung dari dasar sungai tidak lebih dari 7
(tujuh) meter, sehingga tidak menyulitkan pelaksanaannya.
b. Trace saluran induk terletak di tempat yang baik, misalnya penggaliannya
tidak terlalu dalam dan tanggul tidak terlalu tinggi untuk menyulitkan
pelaksanaan.
7
c. Penempatan lokasi intake yang tepat dilihat dari segi hidrolik dan angkutan
sedimen sehingga aliran air ke intake tidak mengalami gangguan dan
angkutan sedimen yang masuk ke intake juga dapat dihindari.
3. Kondisi hidraulik dan morfologi sungai di lokasi Bendung termasuk angkutan
sedimennya yang meliputi :
a. Pola aliran sungai : kecepatan dan arahnya pada waktu debit banjir, sedang dan
kecil.
b. Kedalaman dan lebar muka air pada waktu debit banjir, sedang dan kecil.
c. Tinggi muka air pada debit banjir rencana.
d. Potensi dan distribusi angkutan sedimen.
4. Kondisi tanah pondasi
Bendung harus ditempatkan di lokasi tanah yang pondasinya cukup baik sehingga
bangunan akan stabil. Faktor lain yang harus dipertimbangkan adalah potensi
gempa, potensi gerusan karena arus dan sebagainya. Secara teknik bendung dapat
ditempatkan di lokasi sungai dengan tanah pondasi yang kurang baik, tetapi
bangunan akan membutuhkan biaya yang tinggi, peralatan yang lengkap dan
pelaksanaan yang tidak mudah.
5. Biaya Pelaksanaan
Pembangunan Bendung juga menjadi salah satu faktor penentu pemilihan lokasi
pembangunan bendung. Dari beberapa alternatif lokasi ditinjau pula dari segi
biaya yang paling murah dari pelaksanaan yang tidak terlalu sulit.
6. Faktor-faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam memilih lokasi adalah
penggunaan lahan di sekitar bendung, kemungkinan pengembangan daerah di
sekitar bendung, perubahan morfologi sungai, daerah genangan yang tidak terlalu
luas dan ketinggian tanggul banjir.
2.3 Analisa Curah Hujan
2.3.1 Analisa Curah Hujan Rata-rata
1.Hujan Rencana
Hujan Rencana (XT) adalah hujan dengan periode ulang tertentu (T) yang akan
terjadi disuatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Periode ulang hujan (PUH) 5 tahun X5
misalnya sebesar 100 mm, artinya adalah untuk setiap tahun kemungkinan terjadi
curah hujan sama atau lebih besar dari 100 mm di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS)
8
adalah sebear 100 : 5 = 20%. Dengan demikian maka untuk setiap tahun curah hujan
maksimum dengan besaran berapapun kemungkinan bisa terjadi (siswoko,2010).
2.Penetapan Luas DAS
Daerah aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik
dibatasi oleh punggung-punggung gunung di hulu bendung yang akan membentuk
suatu luasan yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian
mengalirkannya kelaut melalui sungai utama (Asdak,C. 2002). Adapun lus DAS
Batan Kapar adalah 51,5 km2.
3.Data Hujan yang digunakan
Dalam analisis hujan rencana,data yang digunakan adalah data hujan harian
maksimum tahunan,yaitu data terbesar yang terjadi selama satu tahun, yang terukur
selama beberapa tahun. Untuk Daerah Irigasi Batang Kapar ini digunakan data hujan
dari stasiun Kampung Empat, Stasiun Suka Menanti, Stasiun Muaro Tantang. Untuk
mendapatkan hujan maksimum harian rata-rata DAS (Suripin,2004) yaitu dengan
cara Tentukan hujan maksimum harian pada tahun tertentu di salah satu stasiun
hujan.Cari Besarnya curah hujan DAS dengan metode Polygon Thiessen misalnya
koefisien Thiessen 0,45, 0,30 dan 0,25.Kegiatan ini diulang untuk stasiun yang lain.
Sehingga akan diperoleh tiga buah hujan maksimum harian rata-rata (sesuai jumlah
stasiun hujan). Dari ketiga harga tersebut dipilih yang terbesar sebagai hujan
maksimum harin rata-rata pada tahun tersebut.
4.Analisa Frequensi Hujan
Analisa frequensi hujan merupakan analisa statistic penafsiran (statistical inference)
hujan, biasanya dalam perhitungan hidrologi dipakai untuk menentukan terjadinya
periode ulang tahun (PUH) pada periode tahun tertentu. Untuk memperoleh hujan
rencana ini biasanya digunakan distribusi Probabilitas Normal, Gumbel, Log Normal
dan Log Pearson Tipe III.
Untuk memilih distribusi yang sesuai dengan data yang ada, dan untuk mendapatkan
hasil perhitungan yang meyakinkan atau tidak ada yang memenuhi persyaratan
menggunakan suatu distibusi Probabilitas maka biasanya di uji dengan menggunakan
metode Chikuadrat dan metode Smirnov Kolmogorof.(Hadisusanto,N.2011).
9
Uji Chikuadrat dimaksudkan untuk menentukan apakah peramaan distribusi yang
telah dipilih dapat mewakili distribusi statistic sampel data yang dianalisis.
Pengambilan keputusan yaitu parameter X2.
Uji kecocokan Smirnov-kolmograf sering disebut juga uji kecocokan non parametik,
karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu.Dalam uji
Smirnov dipilih dibandingkan dengan nilai penyimpangan kritik (△maks). Kemudian
nilai tersebut dibandingkan dengan nilai penyimpangan kritik (△kririk). Jika nilai
△maks lebih kecil dari nilai △kritik maka jenis distibusi tersebut bisa diterima atau
mewakili distribusi frekuensi data yang tersedia.
2.3.1.1 Metode Aljabar (Arithmetic Mean Method)
Merupakan metode yang paling sederhana dalam pergitungan hujan kawasan.Metode
ini berdsarkan asumsi bahwa semua penakar hujan mempunyai pengaruh yang setara.
Metode rata-rata dihitung dengan menjumlahkan curah hujan dari semua tempat
pengukuran selama satu periode tertentu dan membaginya dengan banyaknya tempat
pengukuran. Jika dirumuskan dalam suatu persamaan adalah sebagai berikut :
R =
..........................................(2.1)
Gambar 2.3 Metode Aljabar (Arithmetic Mean Method)
10
2.3.1.2 Metode Poligon Thiessen
Metode ini dikenal juga sebagai metode rata-rata timbang ( Weighted mean). Cara ini
memberikan proporsi luasan daerah pengaruh pos penakar hujan untuk
mengakomodasi ketidaksamaan jarak. Daerah pengaruh di bentuk dengan
menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua
pos penakar terdekat. Diasumsikan bahwa variasi hujan antara pos yang satu dengan
lainnya adalah linier dan bahwa sembarang pos dianggap dapat mewakili kawasan
terdekat.
Hasil dari perhitungan metode Polygon Thiessen lebih akurat dibandingkan dengan
metode rata-rata aljabar. Cara ini cocok untuk daerah datar dengan luas 500-5.000
km2, dan jumlah pos penakar hujan terbatas dibandingkan luasnya.
Perhitungan hujan rata-rata metode Polygon Thiessen dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
1) Lokasi pos penakar hujan diplot pada peta Catchman Area. Antar pos penakar
dibuat garis lurus penghubung.
2) Tarik garis tegak lurus di tengah-tengah tiap garis penghubung sedekimian rupa,
sehingga membentuk Polygon Thiessen. Semua titik dalam satu polygon akan
mempunyai jarak terdekat dengan pos penakar yang ada di dalamnya
dibandingkan dengan jarak terhadap pos lainnya. Selanjutnya, curah hujan pada
pos tersebut dianggap representasi hujan pada kawasan dalam polygon yang
bersangkutan.
3) Luas areal pada tiap-tiap polygon dapat diukur dengan plamimeter dan luas total
DAS dapat diketahui dengna menjumlahkan semua luasan polygon.
4) Hujan rata-rata DAS dapat dihitung dengan persamaan berikut:
R =
…………………..(2.2)
11
Gambar 2.4 : Metode Polygon Thiessen
(Sumber : hidrologi untuk pengairan dan system drainase perkotaan berkelanjutan)
2.3.1.3 Metode Poligon Isohyet
Metode ini merupakan metode yang paling akurat untuk menentukan hujan rata-rata,
namun diperlukan keahlian dan pengalaman. Cara ini memperhitungkan secara
actual pengaruh tiap-tiap pos penakar hujan. Isohyet adalah kontur yang
menghubungkan titik-titik dengan kedalaman hujan yang sama. Dua garis isohyet
tidak pernah saling berpotongan.
Metode isohyet terdiri dari beberapa langkah sebagai berikut :
Plot data kedalaman air hujan untuk tiap pos penakar hujan pada peta
Gambar kontur kedalaman air hujan dengan menghubungkan titik-titik yang
mempunyai kedalaman air yang sama.interval isohyet yang umum dipakai adalah
10 mm.
Hitung luas area antara dua garis isohyet dengan menggunakan
planimeter.Kalikan masing-masing luas areal dengan rata-rata hujan antara dua
isohyet yang berdekatan.
Metode isohyet cocok untuk daerah berbukit dan tidak teratur dengan luas lebih dari
5000 km2.
12
Gambar 2.5: Metode Poligon Isohyet
(Sumber : hidrologi untuk pengairan)
Setiap metode yang akan kita gunakan dalam mengukur hujan perlu diperhatikan dan
mempertimbangkan tiga faktor sebagai berikut :
1. Jaring-jaring stasiun pengukur hujan
Jumlah stasiun pengukur hujan
Metode Isohyet, Thiessen atau
Rata-Rata Aljabar dapat
dipakai
Jumlah stasiun pengukur hujan
terbatas
Metode Rata-Rata Aljabar atau
Thiessen
Stasiun pengukur hujan
tunggal Metode hujan titik
(Sumber : Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan, Dr. Ir. Suripin, M.Eng)
2. Luas daerah aliran sungai
(Sumber : Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan, Dr. Ir. Suripin, M.Eng)
3. Topografi daerah aliran sungai
Pegunungan Metode rata-rata aljabar
Dataran Metode thiesen
Berbukit dan tidak beraturan Metode isohyet (Sumber : Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan, Dr. Ir. Suripin, M.Eng)
DAS besar ( > 5000 Km2 ) Metode Isohyet
DAS sedang (500 - 5000 Km2 ) Metode Thiessen
DAS kecil ( < 500 Km2 ) Metode rata-rata aljabar
13
2.3.2 Analisa Curah Hujan Rencana
Curah hujan rencana merupakan curah hujan terbesar tahunan dengan suatu
kemungkinan periode ulang tertentu. Analisa curah hujan rencana bertujuan untuk
menentukan periode ulang pada peristiwa hidrologis masa yang akan datang. Analisa
hujan rencana dapat di perhitungkan untuk periode ulang 5 tahun,10 tahun, 25 tahun,
50 tahun, 100 tahun.
Dalam perhitungan analisa curah hujan rencana dengan periode ulang tertentu ada
beberapa metode yang digunakan, adapun metode yang digunakan antara lain :
a. Metode Distribusi Normal.
b. Metode Distribusi Gumbel Tipe I.
c. Metode Distribusi Log Normal.
d. Metode Distribusi Log Pearson Tipe III.
2.3.2.1 Metode Distribusi Normal
Distribusi normal atau kurva normal disebut juga distribusi Gauss. Rumus
yang dipakai pada distribusi normal, yaitu :
XT = X+ KT . SD .............................................................(2.3)
Dimana :
XT = Nilai curah hujan rencana dengan periode ulang T-tahun (mm).
X = Nilai curah hujan maksimum rata-rata (mm).
KT = Faktor frekuensi, nilainya tergantung dari T.
SD = Standar deviasi.
Standar deviasi dihitung menggunakan rumus :
Standar Deviasi (SD) =
…………………………………….(2.4)
Dimana :
Xi = Curah hujan ke-i (mm).
n = Banyak data tahun pengamatan.
SD = Standar deviasi.
Prosedur Perhitungan :
1. Hitung nilai curah hujan maksimum rata-rata.
2. Hitung nilai standar deviasi.
14
3. Tentukan nilai KT (tabel 2.1).
4. Hitung nilai curah hujan kala ulang T-tahun.
Tabel 2.1 : Nilai Variabel Reduksi Gauss
No Periode
Peluang
(T) Peluang KT
1 1,001 0,999 -3,05 2 1,005 0,995 -2,58 3 1,010 0,990 -2,33 4 1,050 0,950 -1,64 5 1,110 0,900 -1,28 6 1,250 0,800 -0,84 7 1,330 0,750 -0,67 8 1,430 0,700 -0,52 9 1,670 0,600 -0,25
10 2,000 0,500 0 11 2,500 0,400 0,25 12 3,330 0,300 0,52 13 4,000 0,250 0,67 14 5,000 0,200 0,84 15 10,000 0,100 1,28 16 20,000 0,050 1,64 17 50,000 0,020 2,05 18 100,000 0,010 2,33 19 200,000 0,005 2,58 20 500,000 0,002 2,88 21 1000,000 0,001 3,09
(Sumber : Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan, Dr. Ir. Suripin, M.Eng)
2.3.2.2 Metode Distribusi Gumbel
Metode distribusi Gumbel ini disebut juga dengan metode distribusi ekstrim. Pada
umumnya digunakan untuk analisa data maksimum. Adapun persamaan yang
digunakan, yaitu :
XT = X+ S.K .................................................................(2.5)
K adalah faktor frekuensi yang merupakan fungsi dari periode ulang T-tahun. Dapat
dihitung, yaitu :
……….. …………………………………..(2.6 )
15
Dimana :
Yt = Reduced Variated.
Yn = Reduced Mean.
Sn = Reduced Standar Deviation.
Prosedur perhitungan :
1. Hitung curah hujan maksimum rata-rata.
2. Hitung nilai standar deviasi.
3. Tentukan nilai Yt pada (tabel 2.2) dan Yn (tabel 2.3).
4. Hitung nilai K.
5. Hitung curah hujan kala ulang T-tahun.
Tabel 2.2 : Nilai Reduced Variated Yt
Return Periode
(Tahun) Reduced Variated (Yt)
1 2
2 0.36651
5 19.940
10 225.037
20 297.019
50 390.194
100 460.015
200 529.561
500 621.361
1000 690.726
2000 760.065
5000 851.709
10000 921.029
20.000 990.346
50.000 1.081.977
100.000 1.151.292 (Sumber data : I Made Kamiana, 2011)
Tabel 2.3 : Reduced Mean (Yn) dan Reduced Standar Deviation (Sn)
n yn sn N Yn Sn n Yn Sn
1 2 3 4 5 6 7 8 9
8 0.4843 0.9043 39 0.543 11.388 70 0.5548 11.854
9 0.4902 0.9288 40 0.5436 11.413 71 0.5550 11.863
10 0.4952 0.9496 41 0.5362 11.436 72 0.5552 11.881
11 0.4996 0.9676 42 0.5371 11.458 73 0.5555 11.881
12 0.5035 0.9833 43 0.538 11.480 74 0.5557 11.890
13 0.5070 0.9971 44 0.5388 11.490 75 0.5559 11.898
14 0.5100 10.096 45 0.5396 11.518 76 0.5561 11.906
16
n yn sn N Yn Sn n Yn Sn
15 0.5128 10.206 46 0.5402 11.538 77 0.5563 11.915
16 0.5157 10.316 47 0.5410 11.557 78 0.5565 11.923
17 0.5181 10.411 48 0.5418 11.574 79 0.5567 11.930
18 0.5202 10.493 49 0.5428 11.590 80 0.5569 11.938
19 0.5220 10.565 50 0.5430 11.607 81 0.5570 11.945
20 0.5236 10.628 51 0.5436 11.623 82 0.5572 11.953
21 0.5252 10.696 52 0.5442 11.638 83 0.5574 11.959
22 0.5268 10.754 53 0.5448 11.653 84 0.5576 11.967
23 0.5283 10.811 54 0.5453 11.667 85 0.5578 11.973
24 0.5296 10.864 55 0.5458 11.681 86 0.5580 11.980
25 0.5309 10.915 56 0.5463 11.696 87 0.5581 11.987
26 0.5320 10.961 57 0.5468 11.708 88 0.5583 11.994
27 0.5332 11.004 58 0.5413 11.721 89 0.5585 12.001
28 0.5353 11.047 59 0.5477 11.734 90 0.5586 12.007
29 0.5353 11.086 60 0.5481 11.747 91 0.5587 12.013
30 0.5380 11.124 61 0.5524 11.759 92 0.5589 12.020
31 0.5362 11.159 62 0.5527 11.770 93 0.5591 12.026
32 0.5380 11.193 63 0.5530 11.782 94 0.5592 12.032
33 0.5388 11.226 64 0.5533 11.793 95 0.5593 12.038
34 0.5396 11.255 65 0.5535 11.803 96 0.5595 12.044
35 0.5403 11.285 66 0.5538 11.814 97 0.5596 12.049
36 0.5410 11.313 67 0.5540 11.824 98 0.5598 12.055
37 0.5418 0.5418 68 0.5543 18.340 99 0.5599 12.060
38 0.5424 11.363 69 0.5545 18.440 100 0.5600 12.065
(Sumber data : Hidrologi Teknik, Ir. CD. Soemarto, B.I.E, Dipl.HE. 1987)
1.3.2.3 Metode Distribusi Log Normal
Metode Log normal adalah apabila nilai-nilai dari variable random yangmengikuti
distribusi normal, tetapi nilai logaritma memenuhi distribusi lognormal. Untuk
perhitungan dalam metode distribusi normal digunakan denganrumus sebagai berikut
Log XT = log X + (KT × S Log X) ....................................... (2.7)
Dimana :
Log XT = Nilai logaritma hujan rencana periode ulang T-tahun.
log X = Nilai rata-rata Log X (mm).
S Log X =Standar deviasi dari Log X (mm).
S Log X = Standar deviasi dari log X
KT = factor frekuensi, nilainya tergantung dari T (variable reduksi gauss).contohnya
T 2 tahun,KT=0,T 5 Tahun,KT=0,84 dan seterusnya.
17
Prosedur perhitungan :
1. Hitung nilai logaritma curah hujan maksimum rata-rata.
2. Hitung nilai standar deviasi dari logaritma X.
3. Hitung nilai curah hujan kala ulang T-tahun.
Tabel 2.4 : KT
NO Periode ulang
T (tahun) KT
1 1.001 -3.05
2 1.005 -2.58
3 1.010 -2.33
4 1.050 -1.64
5 1.110 -1.28
6 1.250 -0.84
7 1.330 -0.67
8 1.430 -0.52
9 1.670 -0.25
10 2.000 0
11 2.500 0.25
12 3.330 0.52
13 4.000 0.67
14 5.000 0.84
15 10.000 1.28
16 20.000 1.64
17 50.000 2.05
18 100.000 2.33
19 200.000 2.58
20 500.000 2.88
21 1.000.000 3.09
(Sumber data : Hidrologi Teknik, Ir. CD. Soemarto, B.I.E, Dipl.HE. 1987)
18
2.3.2.4 Metode Distribusi Log-Pearson Tipe III
Metode distribusi Log Pearson tipe III banyak digunakan dalam analisa
hidrologi terutama dalam analisa data maksimum dan minimum dengan nilai
extrim. Persamaan yang digunakan, yaitu:
Log XT = log X + (KT × S Log X) ....................................... (2.8)
Dimana:
Log XT = Nilai logaritmis Hujan rencana dengan periode ulang T tahun
Log XT = Nilai rata-rata dari log X
S log X = Standar deviasi dari log X
KT = Variabel Standar,besarnya bergantung koefisien kepencebgan (Cs atau G)
Tabel 2.5 : Nilai KTR untukDistribusi Pearson III (kemencengan Positif)
skew
coef.
(cs)
periode ulang (tahun)
2 5 10 25 50 100 200
Excedunce Probabiltas
0,50 0,20 0,10 0,04 0,02 0,01 0,05
3,0 -0,396 0,420 1,180 2,278 3,152 4,061 4,970
2,9 -0,390 0,440 1,160 2,277 3,134 4,013 4,909
2,8 -0,384 0,460 1,210 2,275 3,114 3,973 4,847
2,7 -0,376 0,479 1,224 2,272 3,097 3,932 4,783
2,6 -0,368 0,499 1,238 2,267 3,071 3,889 4,718
2,5 -0,360 0,518 1,250 2,262 3,048 3,845 4,652
2,4 -0,351 0,537 1,262 2,256 3,029 3,800 4,584
2,3 -0,341 0,555 1,274 2,248 2,997 3,753 4,515
2,2 -0,330 0,574 1,284 2,240 2,970 3,705 4,454
2,1 -0,319 0,592 1,294 2,230 2,942 3,656 4,372
2,0 -0,307 0,609 1,302 2,219 2,912 3,605 4,298
1,9 -0,294 0,627 1,310 2,207 2,881 3,553 4,223
1,8 -0,282 0,643 1,318 2,193 2,848 3,499 4,147
1,7 -0,268 0,660 1,324 2,179 2,815 3,444 4,069
1,6 -0,254 0,675 1,329 2,163 2,780 3,388 3,990
1,5 -0,240 0,690 1,333 2,146 2,745 3,330 3,910
1,4 -0,225 0,705 1,337 2,128 2,706 3,271 3,828
1,3 -0,210 0,719 1,339 2,108 2,666 3,211 3,745
1,2 -0,195 0,732 1,340 2,087 2,626 3,149 3,661
1,1 -0,180 0,745 1,341 2,066 2,585 3,087 3,575
1,0 -0,164 0,758 1,340 2,043 2,542 3,022 3,489
0,9 -0,148 0,769 1,339 2,018 2,498 2,967 3,401
0,8 -0,132 0,780 1,336 1,993 2,453 2,891 3,312
0,7 -0,116 0,790 1,333 1,967 2,407 2,824 3,223
19
skew
coef.
(cs)
periode ulang (tahun)
2 5 10 25 50 100 200
Excedunce Probabiltas
0,50 0,20 0,10 0,04 0,02 0,01 0,05
0,6 -0,099 0,800 1,328 1,939 2,359 2,755 3,123
0,5 -0,083 0,808 1,323 1,910 2,311 2,686 3,041
0,4 -0,066 0,816 1,317 1,880 2,261 2,615 2,949
0,3 -0,050 0,824 1,309 1,849 2,211 2,544 2,856
0,2 -0,033 0,830 1,301 1,818 2,159 2,472 2,763
0,1 -0,017 0,836 1,292 1,785 2,107 2,400 2,670
0 0,000 0,842 1,282 1,751 2,064 2,064 2,576 (Sumber : Hidrologi Terapan oleh Bambang Triatmodjo.2008)
Tabel 2.6 : Nilai KTR untukDistribusi Pearson III (kemencengan Negatif)
periode ulang (tahun)
skew 2 5 10 25 50 100 200
coef.
Excedunce Probabiltas
(cs) 0,50 0,20 0,10 0,04 0,02 0,01 0,05
0 0,000 0,842 1,281 1,75 2,054 2,326 2,576
-0,1 0,017 0,846 1,270 1,716 2,000 2,252 2,482
-0,2 0,033 0,850 1,258 1,68 1,945 2,178 2,388
-0,3 0,050 0,853 1,245 1,693 1,89 2,104 2,294
-0,4 0,066 0,855 1,231 1,606 1,834 2,029 2,201
-0,5 0,083 0,856 1,216 1,567 1,777 1,955 2,108
-0,6 0,099 0,857 1,200 1,528 1,720 1,880 1,936
-0,7 0,116 0,857 1,183 1,488 1,633 1,800 1,936
-0,8 0,132 0,856 1,166 1,484 1,608 1,733 1,837
-0,9 0,148 0,854 1,147 1,407 1,549 1,66 1,749
-1,0 0,164 0,852 1.108 1,366 1,492 1,588 1,664
-1,1 0,180 0,848 1,107 1,324 1,435 1,518 1,581
-1,2 0,195 0,844 1,086 1,282 1,379 1,449 1,501
-1,3 0,210 0,838 1,064 1,24 1,324 1,383 1,424
-1,4 0,225 0,832 1,041 1,196 1,270 1,316 1,351
-1,5 0,240 0,825 1,018 1,157 1,217 1,256 1,282
-1,6 0,254 0,817 0,994 1,116 1,168 1,197 1,216
-1,7 0,268 0,808 0,97 1,075 1,116 1,140 1,155
-1,8 0,282 0,799 0,945 1,035 1,069 1,087 1,097
-1,9 0,294 0,788 0,92 0,996 1,023 1,037 1,044
-2,0 0,307 0,777 0,895 0,969 0,980 0,99 0,995
-2,1 0,319 0,765 0,896 0,923 0,939 0,346 0,949
-2,2 0,330 0,732 0,849 0,888 0,90 0,905 0,907
-2,3 0,341 0,739 0,819 0,855 0,864 0,867 0,869
20
periode ulang (tahun)
skew 2 5 10 25 50 100 200
coef.
Excedunce Probabiltas
(cs) 0,50 0,20 0,10 0,04 0,02 0,01 0,05
-2,4 0,351 0,725 0,795 0,823 0,83 0,832 0,833
-2,5 0,360 0,711 0,771 0,793 0,796 0,799 0,800
-2,6 0,368 0,696 0,747 0,764 0,767 0,769 0,769
-2,7 0,376 0,681 0,724 0,738 0,740 0,740 0,741
-2,8 0,384 0,666 0,702 0,712 0,714 0,714 0,714
-2,9 0,330 0,651 0,681 0,683 0,689 0,686 0,690
-3,0 0,390 0,636 0,66 0,666 0,666 0,666 0,667 (Sumber : Hidrologi Terapan oleh Bambang Triatmodjo.2008)
2.3.3 Uji Kesesuaian Data
Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk menguji apakah jenis distribusi yang
dipilih sesuai dengan data yang ada, yaitu uji Chi-Kuadrat dan Smirnov Kolmogorof
(I Made Kamiana, 2011). Pengujian ini dilakukan setelah digambarkan hubungan
antara kedalaman hujan atau debit dan nilai probalitas diatas kertas probalitas.
a. Uji Chi-Kuadratss
b. Uji Smirnov Kolmogorof
2.3.3.1 Uji Chi-Kuadrat
Rumus yang digunakan dalam perhitungan dengan metode Uji Chi-Kuadrat adalah
sebagai berikut :
X2 = ∑
............................................. …………(2.9)
Dimana :
χ 2 = Nilai Chi-Kuadrat terhitung
Ef = Frekuensi (banyak pengamatan) yang diharapkan sesuai dengan
pembagian kelasnya
Of = Frekuensi yang terbaca pada kelas yang sama
n= Jumlah sub kelompok
Perkiraan / interprestasi hasil dari nilai χ cr2(Chi-Kuadrat kritik) :
1. Apabila peluang lebih dari 5 % maka persamaan distribusi teoritis yang yang
digunakan.
2. Apabila peluang kecil < 1 % distribusi yang tidak dapat digunakan.
21
3. Bila berada 1-5 % perlu ditambahkan data.
Derajat kebebasan dihitung dengan persamaan :
DK = K – (p+ 1) ...........................................................(2.10)
K = 1+3,3 log n
Dimana :
DK = Derajat kebebasan
P = Banyaknya parameter, untuk Chi kuadrat adalah 2
K = Banyaknya kelas
n = Banyaknya Data
Selanjutnya distribusi probabilitas yang dipakai untuk menentukan curah hujan
rencana adalah distribusi probabilitas yang mempunyai simpangan maksimum
terkecil dan lebih kecil dari simpangan kritis x2 < x
2 kritis.
2.3.3.2 Uji Smirnov Kolmogorof
Uji kecocokan Smirnov Kolmogorof juga disebut uji kecocokan non parametik
karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu, namun dengan
kura dan pengambaran data pada kertas probalitas. Dari gambar dapat diketahui jarak
penyimpangan setiap titik data terhadap kurva dan penggambaran kurva dan
penggambaran data pada kertas probalitas. Dari gambar dapat diketahui jarak
penyimpangan setiap titik data terhadap kurva. Jarak penyimpangan terbesar
merupakan Δmaks dengan kemungkinan didapat nilai lebih kecil dari nilai Δkritik,
maka jenis distribusi yang dipilih dapat digunakan.
Tabel 2.7 : Nilai Xcr2
Distribusi
X2
dk
0,995 0,99 0,975 0,95 0,05 0,025 0,01 0,005
1 0,00003 0,0001 0,00098 0,003 3,8410 5.024 6.635 7.879
2 0,0100 0,021 0,0506 0,103 5,9910 7.378 9.210 10.597
3 0,0717 0,115 0,216 0,352 7,8150 9.348 11.345 12.838
4 0,207 0,297 0,484 0,711 9,488 11.143 13.277 14.860
5 0,412 0,554 0,831 1,145 11,070 12.832 15.086 16.750
6 0,676 0,872 1,237 1,635 12,592 14.449 16.812 18.548
7 0,989 1,239 1,690 2,167 14,067 16.013 18.475 20.278
8 1,344 1,646 2,180 2,733 15,507 16.013 18.475 20.278
22
9 1,735 2,088 2,700 3,325 16,919 19.023 21.666 23.589
10 2,156 2,558 3,247 3,940 18,370 20.483 23.209 25.188
11 2,603 3,053 3,816 4,575 19,675 21.920 24.725 26.757
12 3,074 3,571 4,404 5,226 21,026 23.337 26.217 28.300
13 3,565 4,107 5,009 5,892 22,362 24.736 27.688 29.819
14 4,075 4,660 5,629 6,571 23,685 26.119 29.141 31.319
15 4,601 5,229 6,262 7,261 24,996 27.488 30.578 32.801
16 5,142 5,812 6,908 7,962 26,296 28.845 32.000 34.267
17 5,697 6,408 7,564 8,672 27,587 30.191 33.409 35.718
18 6,625 7,015 8,231 9,390 28,869 313.526 34.805 37.156
19 6,844 7,633 8,907 10,117 30,114 32.852 36.191 38.582
20 7,434 8,260 9,591 10,851 31,410 34.170 37.566 39.997
21 8,034 8,8970 10,283 11,591 32,671 35.479 38.932 41.401
22 8,643 9,5420 10,982 12,338 33,924 36.781 40.289 42.796
23 9,26 10,196 11,689 13,091 36,172 38.076 41.638 44.181
24 9,886 10,856 12,401 13,848 36,415 39.364 42.980 45.558
25 10,52 11,524 14,120 14,611 37,652 40.646 44.314 46.928
26 11,160 12,198 13,844 15,379 38,885 41.923 45.642 48.290
27 11,808 12,879 14,573 15,151 40,113 43.194 46.963 49.645
28 12,461 13,565 15,308 16,928 41,337 44.461 48.278 50.993
29 13,121 14,256 16,047 17,708 42,557 45.722 49.588 52.336
30 13,787 14,953 16,791 18,493 43,733 46.979 50.892 53.672
(Sumber : I Made Kamiana, 2011)
2.4 Analisa Debit Banjir Rencana
Debit banjir rencana direncanakan untuk melewati suatu bendung dengan masa ulang
tertentu. Analisis debit banjir yang dilakukan dengan periode ulang 2 tahun, 5 tahun,
10 tahun, 25 tahun, 50 tahun, dan 100 tahun.Proses perhitungan debit banjir dimulai
dengan pengumpulan data hujan dan topografi. Setelah data curah hujan rata-rata dan
curah hujan rencana didapat maka perhitungan debit banjir rencana dapat dilakukan.
Ada beberapa metode empiris yang dipakai untuk menghitung debit banjir rencana,
yaitu:
a. Metode Haspers.
b. Metode wedwen
c. Metode mononabe
23
2.4.1 Metode Haspers
Pada perhitungan debit banjir rencana metode Haspers, tinggi hujan yang
diperhitungan adalah tinggi curah hujan pada titik pengamatan. Persamaannya
adalah:
Koefisien run off :
α=
...............................................................(2.11)
Time of contraction :
Tc = 0,1x L0,8
x (S)-0,3
.........................................................(2.12)
Koefisien reduksi :
=1+
x
..............................................................(2.13)
Distribusi hujan Rn, apabila t < 2 jam maka :
Rn =
...............................................(2.14)
Distribusi hujan Rn jika 2 jam < t < 19 jam, maka :
Rn =
............................................................................(2.15)
Distribusi hujan Rn jika 19 jam < t < 30 hari, maka :
Rn = 0,707 x Rn x (t+1)0,5
Besarnya debit pada tiap-tiap km2,m, maka :
Qn =
...............................................................(2.16)
Maka debit banjir rencana, yaitu :
Q = α × B × qn × F .............................................................(2.17)
Dimana :
Qn = Debit banjir dengan periode ulang n tahun.
α = Koefisien pengaliran.
β = Koefisien reduksi.
F = Luas catchment area.
qn = Debit untuk periode ulang tertentu.
24
2.4.2 Metode Wedwen
Metode ini digunakan untuk luas DAS sampai 100 km2.wedwen adalah metode
perhitungan debit maksimum dengan rumusan sebagai berikut:
Qmaks = α x β x I x A
Dimana:
α = Koefisien Pengaliran
β = Koefisien Reduksi
I = Hujan maksimum (m3/dtk)
A = Luas Daerah Pengaliran (km2)
2.4.3 Metode Mononobe
Analisis debit banjir rencana dengan metode sintetis empiris Hasper dihitung dengan
bentuk persamaan sebagai berikut :
Q T=
........................................................................(2.18)
Dimana:
QT = Debit banjir rencana dengan periode ulang tertentu (m3/dtk)
α = Koefisien pengaliran atau run off coefisien (tabel Mononobe)
IT = Intensitas hujan periode ulang tertentu (mm/jam)
IT =
(
2/3
.................................................................(2.19 )
A = Luas daerah pengaliran ( km2 )
RT = Curah hujan harian maksimum periode ulang tertentu (mm)
t = waktu konsentrasi = waktu rambat air di sungai utama. (jam)
t =
......................................................................................(2.20)
V = kecepatan aliran di sungai (km/jam)
Parameter-parameter lain yang harus didapatkan dihitung sebagai berikut :
Kemiringan Sungai.
S=△
........................................................(2.21)
Koefisien pengaliran Atau Run off (α )
α = 0,70 ( DAS pada daerah pegunungan tersier , tabel III.24 Mononobe )
25
Kecepatan aliran ( V )
V=72(△
0,6
. ..................................................................(2.22)
Tabel 2.8 : Koefesien pengaliran (C)
Deskripsi lahan/karakter
permukaan
Koefisien Aliran (C)
Bergunung dan curam 0.75 –0.90
Pegunungan tertier 0.70 – 0.80
Sungai dengan tanah dan hutan
dibagian atas dan bawahnya 0.50 – 0.75
Tanah dasar yang ditanami 0.45 – 0.60
Sawah waktu diairi 0.70 – 0.80
Sungai bergunung 0.75 – 0.85
Sungai dataran 0.45 – 0.75 (Sumber : Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan, Dr. Ir. Suripin, M.Eng)
2.4.3 Metode Rasional
Perhitungan besarnya debit banjir rencana dengan metode rasional menggunakan
rumus sebagai berikut :
QT = 0,278 x C x IT x A
Dimana :
QT = Debit Banjir (m3/dtk)
C = Koefisien Pengaliran
IT = Intensitas Curah Hujan dengan Periode Ulang T tahun (km/jam)
A = Luas Areal (km2)
2.5 Perencanaan Hidrolis Bendung
2.5.1 Lebar Bendung
Lebar Bendung, yaitu jarak antara pangkal-pangkalnya (abutment), sebaiknya sama
dengan lebar rata-rata sungai pada bagian yang stabil. Dibagian ruas bawah sungai,
lebar rata-rata ini dapat di ambil pada debit penuh (bankful discharge), dibagian ruas
atas mungkin sulit untuk menentukan debit penuh. Dalam hal ini banjir rata-rata
tahunan dapat diambil untuk mengambil lebar ratarata Bendung.
Lebar maksimum Bendung hendaknya tidak lebih dari 1,2 kali lebar ratarata sungai
pada ruas yang stabil. Untuk sungai-sungai yang mengangkut bahanbahan sedimen
kasar yang berat, lebar Bendung tersebut harus lebih disesuaikan lagi terhadap lebar
rata-rata sungai, yakni jangan diambil 1,2 kali lebar sungai tersebut.
26
Tabel 2.9 : Harga-harga Koefisien Ka dan Kp
Kriteria Pilar Kp
Untuk pilar berujung segi empat dengan
sudut-sudut yang dibulatkan pada jari-
jari yang hampir sama dengan 0,1 dari
tebal pilar.
0,02
Untuk pilar berujung bulat. 0,01
Untuk pilar berujung runcing. 0
Kriteria Tembok Ka
Untuk pangkal tembok segi empat
dengan tembok hulu pada 900 ke arah
aliran.
0,20
Untuk pangkal tembok bulat dengan
tembok hulu pada 900 ke arah aliran
dengan 0,5 H1 > r > 0,15 H1.
0,10
Untuk pangkal tembok bulat dimana r >
0,5 H1 dan tembok hulu tidak lebih
dari450 ke arah aliran.
0
(Sumber : Standar Perencanaan Irigasi, Kp 02 halaman 49.2013)
Dalam memperhitungkan lebar efektif mercu, lebar pembilas sebenarnya (dengan
bagian depan terbuka) sebaiknya diambil 80% dari lebar rencana untuk
mengkompensasi perbedaan koefisiensi debit dibandingkan dengan mercu Bendung
itu sendiri.
Gambar 2.6: Lebar Efektif Mercu
(Sumber : Standar Perencanaan Irigasi, Kp 02 halaman 49.2013)
27
2.5.2 Perencanaan Mercu Bendung
2.5.2.1 Tipe Mercu Bendung
Tipe mercu yang umum digunakan pada konstruksi bendung di Indonesia adalah tipe
mercu bulat dan tipe mercu ogee.
Gambar 2.7: Bentuk-bentuk mercu
(Sumber : Kriteria Perencanaan Irigasi KP 02 hal 50)
Dimana kedua tipe mercu tersebut dapat digunakan untuk konstruksi beton, pasangan
batu kali maupun kombinasi keduanya. Kemiringan maksimum muka bendung
bagian hilir yang dibicarakan di sini berkemiringan 1:1 batas bendung dengan muka
hilir vertikal mungkin menguntungkan jika bahan pondasinya dibuat dari batu keras
dan tidak diperlukan kolam olak. Dalam hal ini kavitasi dan aerasi tirai luapan harus
diperhitungkan dengan baik.
2.5.2.2 Mercu Bulat
Bendung dengan mercu bulat yang ditunjukkan memiliki harga koefisiensi debit
yang jauh lebih tinggi (44%) dibandingkan dengan koefisiensi bendung ambang
lebar. Pada sungai, ini akan banyak memberikan keuntungan karena bangunan ini
akan mengurangi tinggi muka air hulu selama banjir. Harga koefisiensi debit menjadi
lebih tinggi karena lengkung streamline dan tekanan negatif pada mercu.Tekanan
pada mercu adalah fungsi perbandingan antara H1 dan r (H1/r) ditunjukan pada
gambar 2.10. Bendung dengan dua jari-jari (R2) pada gambar 2.12, jari-jari hilir akan
digunakan untuk menemukan harga koefisien debit .
28
Untuk menghindari bahaya kavitasi local, tekanan minimum pada mercu harus
dibatasi sampai- 4m tekanan air jika mercu terbuat dari beton untuk pasangan batu
tekanan subatsmosfir sebaiknya dibatasi sampai -1 m tekanan air.
Gambar 2.8: Bendung dengan mercu bulat
(Sumber : Kriteria Perencanaan Irigasi KP 02 hal 51)
Dari gambar 2.8 tampak bahwa jari-jari mercu Bendung pasangan batu akan berkisar
antar 0,3 sampai 0,7 kali HImaks dan untuk mercu Bendung beton dari 0,1 sampai 0,7
kali HImaks.
Persamaan tinggi energi debit untuk Bendung ambang pendek dengan pengontrolan
segi empat adalah :
Q = Cd.2/3√
B. .................................................(2.23)
Dimana :
Q = Debit (m3/dt)
g = Percerpatan gravitasi (9,81 m/dtk2)
B = Lebar efektif bendung (m)
Cd = Koefisien debit, dimana (Cd = C0.C1. C2)
H1 = Tinggi energi diatas mercu (m)
Koefisien debit Cd adalah hasil dari :
1) C0 merupakan koefisien dasar dari fungsi H1/r berlaku untuk P/H1 ≥ 1,5
yang dapat dilihat pada gambar 2.9.
29
Gambar 2.9 : Koefisien C0 sebagai fungsi perbandingan H1/r
(Sumber : Kriteria Perencanaan Irigasi KP 02 hal 53)
2). C1 merupakan fungsi p/H1 berlaku untuk P/H1 ≤ 1,5 yang dapat dilihat
pada gambar 2.10.
Gambar 2.10: Koefisien C1 sebagai fungsi perbandingan p/H1
(Sumber : Kriteria Perencanaan Irigasi KP 02 hal 53)
3). C2 merupakan koefisien koreksi rehadap kemiringan muka air hulu dari
fungsi p/H1 dan kemiringan muka hulu Bendung yang dapat dilihat pada
gambar 2.11.
30
Gambar 2.11: Koefisien C2 sebagai fungsi perbandingan p/H1
(Sumber : Kriteria Perencanaan Irigasi KP 02 hal 54)
1) f merupakan koefisien pengaruh akibat aliran tenggelam dari fungsi H1/H2,
dimana H1 = h1 + v12/2.g dan H2 = h2 + v2
2/2.g yang dapat dilihat pada
gambar 2.12.
Gambar 2.12 : Koefisien f sebagai fungsi perbandingan H2/H1
(Sumber : Kriteria Perencanaan Irigasi KP 02 hal 54)
Dalam tahap perencanaan nilai p dapat diambil setengah jarak dari mercu sampai
dasar rata-rata sungai sebelum Bendung tersebut dibuat.
31
2.5.2.3 Mercu Ogee
Mercu ogee berbentuk tirai luapan bawah dari Bendung ambang tajam aerasi. Oleh
karena itu mercu ini tidak akan memberikan tekanan sub atmosfer pada permukaan
mercu sewaktu bendung mengalirkan air pada debit rencana.
Untuk debit yang lebih rendah, air akan memberikan tekanan kebawah pada mercu.
Untuk merencanakan permukaan mercu Ogee bagian hilir, US Armyn Corps of
Engineering telah mengembangkan persamaan berikut :
=
[
]n.....................................................................................(2.24)
Dimana :
h = Tinggi energi rencana diatas mercu
x, y = Koordinat permukaan hilir
k, n = Parameter yang tergantung pada kecepatan dan kemiringan permukaan
belakang mercu.
Tabel 2.10: Harga K dan n
Kemiringan
Permukaan Hilir
K n
Vertikal
3:01
3:02
1:01
2.000
1,936
1,939
1,873
1,85
1,836
1,81
1,776 Sumber : Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986
Bagian hulu mercu bervariasi sesuai dengan kemiringan permukaan hilir. Persamaan
antara tinggi energy dan debit untuk bendung mercu ogee adalah :
Q=Cd
√
q b H1
1,5..................................................(2.25)
Dimana :
Q = Debit (m3/dtk)
g = Percerpatan gravitasi (9,81 m/dtk2)
B = Lebar efektif bendung (m)
Cd = Koefisien debit, dimana (Cd = C0.C1. C2)
H1 = Tinggi energi diatas mercu (m)
Koefisien debit Cd adalah hasil dari:
1) C0 = 1,30 (konstanta)
32
2) C1 merupakan nilai koefisien dari fungsi P/hd dan H1/hd yang dapat dilihat pada
gambar 2.10.
Gambar 2.13: Faktor koreksi untuk selain tinggi energi rencana pada Bendung mercu
Ogee
(Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986).
3) C2 merupakan koefisien koreksi rehadap kemiringan muka air hulu dari fungsi
p/H1 dan kemiringan muka hulu bendung yang dapat dilihat pada gambar 2.10
4) f merupakan koefisien pengaruh akibat aliran tenggelam dari fungsi H1/H2 dan
P2/H1 yang dapat dilihat pada gambar 2.13.
Koefisien debit efektif :
Ce = C0.C1.C2
Dimana :
C0 = Konstanta (1,30)
C1 = Fungsi P/Hd Dan H1/Hd
C2 = Faktor koreksi untuk permukaan hulu
2.5.2.4 Elevasi Mercu
Elevasi mercu ditentukan oleh muka air rencana akibat kebutuhan irigasi (kebutuhan
tinggi genangan di sawah, kehilangan energi di tingkat tersiersekunder- primer,
kehilangan energi di intake, kehilangan energi di bangunan air dan bangunan
ukur,dll), kehilangan energi pada kantong lumpur akibat pembilas sedimen,
33
kehilangan energi pada pintu pembilas akibat pembilasan sedimen. Pada umumnya
perkiraan penentuan elevasi mercu Bendung, dapat ditentukan dengan cara berikut
yaitu :
Tabel 2.11: Menentukan Elevasi Mercu
NO Elevasi Keterangan (m)
1. Elevasi tertinngi disawah + X
2. Lapisan Air disawah + 0,10
3. Kehilangan tinggi energy di
saluran kuarter ke sawah (5 cm) +0,05
4. Kehilangan tinggi energy selama
pengaliran disaluran tersier (IxL)
+ I.L (Δh)
5. Kehilangan tinggi energy di
boks bagi tersier (10 cm) + 0,10
6. Kehilangan tinggi energy di
gorong-gorong (5 cm) + 0,05
7. Kehilangan tinggi energy di
bangunan sadap (10 cm) + 0,10
8. Kehilangan tinggi energy selama
pengaliran dari bangunan ukur
ke bangunan sadap ( I x L )
+ 0,01
9. Kehilangan tinggi energy di
bangunan ukur (15 cm) + 0,15
10. Kehilangan tinggi energy di
pintu intake (20 cm) + 0,20 27
11. Kehilangan tinggi energy akibat
pengaruh gelombang (10 cm ) + 0,10
Elevasi Mercu + X (sumber : buku KP 03)
2.6 Peredam Energi
Aliran diatas bendung disungai dapat menunjukan berbagai perilaku disebelah hilir
bendung akibat kedalaman air yang ada. Oleh sebab itu sangat penting untuk
menentukan tipe kolam sesuai prilaku air tersebut.Peredam energy atau kolam pada
dasarnya adalah untuk mencegah kerusakan pada lantai bagian hilir bendung akibat
dari peninggian elevasi muka air di hulu oleh mercu bendung, sehingga dibagian hilir
bendung tersebut akan terjadi aliran turbulen (bergelombang) dengan kecepatan
tinggi.Akibat terjadinya energy aliran yang besar setelah melewati mercu bendung
yang ditunjukkan dengan adanya loncatan air (water jump) pada lokasi tersebut. Hal
ini akan menyebabkan terjadinya gerusan setempat (local scouring) di hilir bendung,
yang pada akhirnya akan mengganggu dtabilitas tubuh bendung, hal ini tidak boleh
34
terjadi dan harus dihindarkan. Untuk itu perlu ditenangkan aliran air yang mengalir
dengan kecepatan tinggi ini dengan membuat peredam energy tau kolam olak yang
mampu meredam kecepatan luncuran air dan mereduksi kemampua air untuk
merusak struktur tanah pondasi di bagian hilir tubuh bendung.
Aliran kaki di hilir bendung, akibat perubahan aliran yang mendadak dan pertemuan
dengan air di hilir, dapat menunjukkan beberapa perilaku terhadap kedalaman air di
sebelah hilir (h2).
Untuk menemukan debit yang akan memberikan keadaan terbaik untuk peredam
energy, semua debit harus dicek dengan muka air hilirnya. Jika degradsai mungkin
terjadi, maka harus dibuat perhitungan dengan muka air hilir terendah yang mungkin
terjadi untuk mencek apakah degradasi mungkin terjadi. Degradasi harus dicek jika :
1. Bendung dibangun pada sodetan ( Kopur )
2. Sungai itu sungai alluvial dan bahan tanah yang dilalalui rawan terhadap erosi
3. Terdapat waduk di hulu bangunan
Bila degradasi sangat mungkin terjadi, tetapi tidak ada data pasti yang tersedia, maka
harga sembarang degradasi 2,50 m harus digunakan dalam perencanaan kolam olak,
tetapi dengan fungsi sebagai berikut :
1. Untuk Analisa stablitas bandung
2. Untuk menyiapkan cut off end sill / analisa dimensi curve
3. Untuk keperluan perhitungan piping / seepage
4. Untuk perhitungan kolam olak / dimensi
2.6.1 Peredam Energi Type Bak Tenggelam
Kedalaman konjugasi hilir air loncat air terlalu tinggi dibandingkan dengan
kedalaman air normal atau kalau diperkirakan akan terjadi kerusakan pada lantai
kolam yang panjang akibat batu-batu besar yang lewat diatas bendung, maka dapat
dipakai peredam energy tipe ini terutama bergantung pada terjadinya kedua pusaran.
Saat pusaran permukaan bergerak kearah berlawanan dengan arah jarum jam diatas
bak, dan sebuah pusaran permukaan bergerak kearah jarum jam dan terletak
dibelakang ambang ujung kolam olakan. Tipe bak tenggelam digunakan untuk
bendung-bendung rendah dengan bilangan Froude rendah. Dimensi-dimensi umum
sebuah bak yang berjari-jari besar seperti Gambar 2.14 .
35
Gambar 2.14 : Peredam Energi Tipe Bak Tenggelam
Kolam olak tipe bak tenggelam telah digunakan sejak lama dengan sangat berhasil
pada bendung-bendung rendah dan untuk bilangan-bilangan Froude rendah. Kriteria
yang dipakai untuk perencanaannya diambil dari bahan-bahan oleh peterka dan hasil-
hasil penyelidikan dengan model.
Bahan ini telah diolah Institut Teknik Hidrolika di Bandung guna menghasilkan
serangkaian kriteria perencanaan untuk kolam dengan tinggi energy rendah ini.
Parameter-parameter dasar untuk perencanaan tipe bak tenggelam sebagaimana
diberikan oleh USBR (Peterka, 1974) sulit untuk diterapkan bagi perencanaan
Bendung dengan tinggi energi rendah.
Oleh sebab itu, parameter-parameter dasar ini sebagai jari-jari bak, tinggi energi dan
kedalaman air telah dirombak kembali menjadi parameter-parameter tanpa dimensi
dengan cara membaginya dengan kedalaman kritis.
Hc=√
...............................................................................(2.26)
Dimana :
he = Kedalaman air kritis, m
q = Debit per lebar satuan, m3/dtk.m
g = Percepatan gravitasi, m/dtk ( ≂ 9,81)
Kolam olak tipe bak tenggelam telah digunakan sejak lama dengan sangat berhasil
pada bendung-bendung rendah dan untuk bilangan-bilangan Froude rendah. Kriteria
36
yang dipakai untuk perencanaannya diambil dari bahan-bahan oleh peterka dan hasil-
hasil penyelidikan dengan model. Bahan ini telah diolah Institut Teknik Hidrolika di
Bandung guna menghasilkan serangkaian kriteria perencanaan untuk kolam dengan
tinggi energy rendah ini.
Parameter-parameter dasar untuk perencanaan tipe bak tenggelam sebagaimana
diberikan oleh USBR (Peterka, 1974) sulit untuk diterapkan bagi perencanaan
Bendung dengan tinggi energi rendah. Oleh sebab itu, parameter-parameter dasar ini
sebagai jari-jari bak, tinggi energi dan kedalaman air telah dirombak kembali
menjadi parameter-parameter tanpa dimensi dengan cara membaginya dengan
kedalaman kritis.
hc =√
................................................................................(2.27)
Dimana :
he = Kedalaman air kritis, m
q = Debit per lebar satuan, m3/dtk.m
g = Percepatan gravitasi, m/dtk ( ≂ 9,81)
Jari-jari minimum bak yang diizinkan (Rmin) diberikan pada gambar 2.15, dimana
garis menerus adalah garis asli dari kriteria USBR. Di bawah ΔH/he = 2,5
USBR tidak memberikan hasil-hasil percobaan. Sejauh ini penyelidikan dengan
model yang dilakukan oleh IHE menunjukkan bahwa garis putus-putus gambar ini
menghasilkan kriteria yang bagus untuk jari-jari minimum bak yang diizinkan bagi
bangunan-bangunan dengan tinggi energi rendah ini.
37
Gambar 2.15 : Jari-jari minimum bak
Batas minimum tinggi air hilir (Tmin) diberikan pada Gambar 2.15. Untuk ΔH/hc
diatas 2,4 garis tersebut merupakan “envelope” batas tinggi air hilir yang diberikan
oleh USBR bagi batas minimum tinggi air hilir (bak bercelah), (sweepout limit),
batas minimum tinggi air hilir yang dipengaruhi oleh jari-jari bak dan batas tinggi air
hilir untuk bak tetap. Dibawah ΔH/hc = 2,4 garis tersebut menggambarkan kedalaman
konjugasi suatu loncat air. Dengan pertimbangan bahwa kisaran harga ΔH/hc yang
kurang dari 2,4 berada di luar jangkauan percobaan USBR, maka diputuskan untuk
mengambil kedalaman konjugasi sebagai kedalaman minimum air hilir dari bak
untuk harga ΔH/hc yang lebih kecil dari 2,4.
Pengalaman telah menunjukan bahwa banyak Bendung rusak akibat gerusan lokal
yang terjadi tepat di sebelah hilirnya dan kadang-kadang kerusakan ini diperarah lagi
oleh degradasi dasar sungai. Oleh karena itu, dianjurkan untuk menentukan
kedalaman air hilir berdasarkan perkiraan degradasi dasar sungai yang akan terjadi di
masa datang.
38
Gambar 2.16 : Batas minimum tinggi air hilir
Dari penyelidikan model terhadap bak tetap, IHE menyimpulkan bahwa pengaruh
kedalaman tinggi air hilir terhadap bekerjanya bak sebagai peredam energy,
ditentukan oleh perbandingam h2/h1 (lihat Gambar 2.16). Jika h2/h1 lebih tinggi dari
2/3, maka aliran akan menyelam kedalam bak dan tidak ada efek peredaman yang
bisa diharapkan.
Gambar 2.17 : Batas Maksimum Tinggi Air Hilir
2.6.2 Peredam Energi Type USBR
Untuk memperpendek kolam loncat air dibuat blok-blok penghalang yang dikenal
dengan kolam olak tipe USBR yang didasari dengan besarnya bilangan Froud dan
aliran masuk.Berdasarkan hasil penilitian kolam olak tipe USBR melakukan
39
pematahan energi dengan membentuk loncatan hidrolis jump mengangkut sedimen
halus.
Jenis-jenis kolam olak tipe USBR sebagai berikut :
a. Kolam olak USBR tipe I
Kolam olakan tipe 1 adalah suatu kolam olakan dengan dasar yang datar dan
terjadinya peredaman energy yang terkandung dalam aliran air dengan benturan
secara langsung aliran tersebut ke atas permukaan dasar kolam. Benturan langsung
tersebut menghasilkan peredaman energy yang cukup tinggi, sehingga perlengkapan
– perlengkapan lainnya guna penyempurnaan peredaman tidak diperlukan lagi pada
kolam olakan tersebut (Gunadharma, 1997). Karena penyempurnaan redamannya
terjadi akibat gesekan-gesekan yang terjadi antara molekul-molekul air di dalam
kolam olakan, sehingga air yang meninggalkan kolam tersebut mengalir memasuki
alur sungai dengan kondisi yang sudah tenang. Akan tetapi kolam olakan menjadi
lebih panjang dengan kondisi yang sudah tenang. Akan tetapi kolam olakan menjadi
lebih panjang dan tipe 1 ini biasanya dibangun untuk suatu kondisi yang tidak kecil.
Dan kolam olakan ini tipe 1 ini biasanya dibangun untuk suatu kondisi yang tidak
memungkinkan pembuatan perlengkapan-perlengkapan lainnya pada kolam olakan
tersebut. sKolam olak USBR tipe I memiliki dasar yang datar, energi yang ada pada
aliran teredam efektif cukup dengan ambang bebas ujung. Kolam olak USBR tipe I
digunakan jika didapat bilangan froude (Fr) < 2,5.
b. Kolam olak USBR tipe II
Pada kolam olak tipe USBR II peredaman energi pada aliran terjadi karena adanya
blok penghalang yang dibuat pada lantai kolam olak yang mengakibatkan terjadinya
gesekan molekul-molekul air yang bergerak dalam kolam olak.
Jika didapat nilai 2,5 < Fr < 4,5 maka pada lantai kolam olak cukup digunakan blok
penghalang belakang. Kolam olak USBR tipe II cocok digunakan untuk aliran
dengan tekanan hidrostatis yang tinggi dan dengan debit yang besar (q > 45 m3/d/mt
18 m/dt, tekanan hidrostatis > 60 dan bilangan Froude > 4,5 ). Kolam olakan tipe ini
sangat sesuai untuk bendungan urugan dan penggunaannyapun cukup luas (soedibyo,
1993).
40
c. Kolam olak USBR tipe III
Pada hakekatnya Prinsip kerja dari kolam olakan ini sangat mirip dengan system
kerja dari kolam olakan tipe II, akan tetapi lebih sesuai untuk mengalirkan air dengan
tekanan hidrostatis yang rendah dan debit yang agak kecil ( q < 18,5 m3/dt/m, V <
18,0 m/ dt dan bilangan Froude > 4,5). Untuk mengurangi panjang kolam olakan
biasanya dibuatkan gigi pemencar aliran di tepi hulu dasar kolam, gigi penghadang
aliran (gigi benturan) pada dasar kolam olakan. Kolam olakan tipe ini biasanya untuk
bangunan pelimpah pada bendungan urugan rendah (Gunadharma, 1997 ).
Gambar 2.18: Karakteristik kolam olak USBR tipe III
(Sumber : Standar Perencanaan Irigasi, Kp 02 halaman 69.2013)
d. Kolam olak USBR tipe IV
Sistem kerja kolam olaka tipe ini sama dengan system kerja kolam olakan tipe III,
akan tetapi penggunaannya yang paling cocok adalah untuk aliran dengan tekanan
hidrostatis yang rendah dan debit yang besar per-unit lebar, yaitu untuk aliran dalam
kondisi super kritis dengan bilangan Froude antara 2,5 s/d 4,5. Biasanya kolam
olakan tipe ini dipergunakan pada bangunan-bangunan pelimpah suatu bendungan
urugan yang sangat rendah atau bendung-bendung penyadap, bendung-bendung
konsolidasi, bendung-bendung penyangga dan lain-lain.
2.6.3 Peredam Energi Vlugter
Kolam Vlugter telah terbukti tidak andal untuk dipakai pada tinggi air hilir di atas
dan di bawah tinggi muka air yang sudah diuji di laboratorium. Penyelidikan
menunjukkan bahwa tipe bak tenggelam, yang perencanaannya mirip dengan kolam
41
Vlugter, lebih baik. Itulah sebabnya mengapa pemakaian kolam Vlugter tidak lagi
dianjurkan jika debit selalu mengalami fluktuasi misalnya pada Bendung di sungai.
Dalam lantai olakan dari mercu bendung ≤ 8,00 m dan Z ≤ 4,50 m. Perhitungan
hidrolisnya sebagai berikut :
D = L = R 0,6 = He + 1,4 Z ..................1/3 ≤ He/Z ≤ 4/3
a = 0.20. He √He/Z
D = L = R = He + 1,1 Z ........................4/3 ≤ He/Z ≤ 10
a = 0,15, He √He/Z
Dimana :
D = Kedalaman kolam di ukur dari puncak mercu sampai permukaan kola
L = Panjang kolam yang di ukur dari perpotongan bidang miring dan horizontal
R = Jari-jari kolam, dengan titik pusat sejajar dengan elevasi mercu
a = End sill
Gambar 2.19: Kolam Olak Vlugter
(Sumber : Standar Perencanaan Irigasi, Kp 02 halaman 75.2013)
2.6.4 Modifikasi Peredam Energi
Ada beberapa modifikasi peredam energy tipe Vlughter, Schoklizt yang telah
dilakukan penelitiannya dan dapat digunakan dalam perencanaan dengan mengacu
RSNI T-04-2002 dapat digunakan antara lain adalah tipe-tipe MDO, MDS.
Peredam energy tipe MDO terdiri dari lantai datar, diujung hilir lantai dilengkapi
dengan ambang hilir tipe gigi ompong dan dilengkapi dengan rip rap.Sedangkan
peredam energy tipe MDS terdiri dari lantai datar, diujung hilir lantai dilengkapi
dengan ambang hilir tipe gigi ompong ditambah dengan bantalan air dan dilengkapi
42
dengan rip rap. Bantalan air yang dimakud disini adalah ruang di atas lantai
disediakan untuk lapisan air sebagai bantalan pencegah atau pengurangan daya
bentur langsung batu gelundung terhadap lantai dasar peredam energy.
Sebelum mendesain tipe ini perlu ditentukan terlebih dahulu nilai parameter :
a. Tipe mercu bendung harus bentuk bulat dengan satu atau dua jari-jari.
b. Permukaan tubuh bendung bagian hilir dibuat miring dengan perbandingan
kemiringan 1: m atau lebih tegak dari kemiringan 1: 1.
c. Tubuh bendung dan peredam energy harus dilapisi dengan lapisan tahas aus.
d. Elevasi dasar sungai atau saluran di hilir tubuh bendung yang ditentukan, dengan
memperhitungkan kemungkinan terjadinya degradasi dasar sungai.
e. Elevasi muka air hilir bendung yang dihitung, berdasarkam elevasi dasar sungai
dengan kemungkinan terjadinya perubahan geometri badan sungai.
Selain parameter diatas kriteria desain yang disyaratkan yaitu :
a. Tinggi air udik bendung dibatasi maksimum 4 m.
b. Tinggi pembendungan (dihitung dari elevasi mercu bendung sampai dengan
elevasi dasar sungai di hili) maksimum 10 m.
Dalam hal tinggi air udik bendung lebih dari 4 meter dan atau tinggi pembangunan
lebih dari 10 meter tata cara peredam energi tipe MDO dan MDS ini masih dapat
digunakan asalkan dimensinya perlu diuji dengan model test.
Penggunaan type MDO dan MDS dapat juga dimodifikasi dan dilakukan
pengembangan pemakainnya :
1. Dimensi Hidraulik peredam energy tipe MDO dapat diterapkan dihilir tubuh
bendung dengan bidang miring lebih tegak dari perhitungan 1 : 1.
2. Tubuh bendung dengan peredam energy tipe MDO dapat dilengkapi dengan
pembilas sedimen tipe undersluice tanpa mengubah dimensi hidraulik peredam
energy tipe MDO.
Data awal yang harus ditentukan terlebih dahulu adalah :
1. Debit desain banjir dengan memperhitungkan tingkat keamanan bangunan air
terhadap bahaya banjir.
2. Debit desain penggerusan, dapat diambil sama dengan debit alur penuh.
43
3. Lengkung debit sungai dihilir rencana bendung berdasarkan data geometri-
hidrometri-hidraulik morfologi sungai.
Grafik-grafik yang dipakai dalam desain hidraulik bendung dengan kelengkapannya,
meliputi :
a) Grafik pengaliran melalui mercu bendung dapat dilihat dalam grafik MDO-1 pada
lampiran A1 (RSNI T-04-2002).
b) Gfrafik untuk mengetahui bahaya kavitasi di hilir mecu bendung dapat dilihat
dalam MDO - 1a pada lampiran A2 (RSNI) T – 04 – 2002)
c) Grafik untuk menentukan dimensi peredam energy tipe MDO dan MDS dapat
dilihat dalam grafik MDO – 2 dan MDO – 3 pada lampiran A3 dan A4 (RSNI T –
04 – 2002).
Rumus-rumus yang digunakan dalam desain hidraulik ini meliputi :
Debit desain persatuan lebar pelimpah :
Untuk bahaya banjir : qdf =
Untuk bahaya penggerusan : qdf =
Dimensi radius mercu bendung = r : 1 m r 3 m.
Menghitung kedalaman di atas ambang ujung (Y) dengan rumus :
Y = D = ( Q / c x l ) dengan c = lebar efektif bendung
Menghitung parameter energy (E)
E =
√
Mencari nilai
menggunakan grafik MDO 2 gambar A3 buku SNI 8063: 2015
tata caea desain hidraulik tubuh bendung tetap dengan peredam energy tipe MDO
dan tipe MDS.
Penentuan panjang lantai dasar (Ls)
Didapat dari grafik MDO 3
Penentuan tinggi ambang lebar hilir (a dan b )
2.7 Aliran Bawah Pondasi
Pada saat air terbendung, maka terjadi perbedaan tinggi air didepan dan dibelakang
Bendung yang akan menimbulkan perbedaan tekanan. Perbedaan tekanan ini
44
menyebabkan adanya aliran di bawah Bendung, terlebih lagi bila tanahdasar
Bendung bersifat tiris (porous). Aliran ini menimbulkan tekanan pada butirbutir
tanah, maka lama kelamaan akan timbul pergerusan, terutama di ujung belakang
Bendung. Sebaliknya selama pengalirannya, air tersebut akan mendapat hambatan-
hambatan karena geseran.
2.7.1 Lantai Muka
Pada saat ini terbendung maka akan terjadi perbedaan tekanan antara hilir dan hulu
Bendung. Perbedaan ini akan menimbulkan adanya aliran di bawah Bendung, lebih-
lebih bila tanah dasar bersifat tiris (porous). Aliran air ini akan menimbulkan tekanan
pada butir-butir tanah dibawah Bendung. Bila tekanan ini cukup besar untuk
mendesak butir-butir tanah, maka lama kelamaan akan timbul penggurusan, terutama
di ujung belakang Bendung.
2.7.2 Fungsi Lantai Muka
Air yang mendapat hambatan akan mencari jalan keluar melalui hambatan yang
paling kecil, hambatan yang paling kecil disini adalah pertemuan antara tanah
dengan bangunan, biasanya hal ini disebut creep line. Bila creep line ini pendek,
maka hambatannya akan kecil dan tekanan yang ditimbulkan oleh air itu akan besar.
Untuk memperkecil tekanan air ini, maka hambatan harus diperbesar atau
diperpanjang. Cara lain adalah dengan membuat lantai muka atau juga dengan
dinding vertikal (run off wall).
Gambar 2.20 : Bendung dengan dan tanpa Lantai Muka
(Sumber : Perencanaan Bendung Tetap , Direktori File UPI halaman 24)
45
Tekanan air ini bergerak kesegala jurusan, demikian juga air yang berada di bawah
Bendung. Gaya tekan air yang menekan di bawah Bendung ini disebut sebagai
(Uplift pressure), yang hakekatnya berusaha mendorong Bendung ke atas.
Gambar 2.21 : Tekanan Hidrostatis pada Bendung
(Sumber : Perencanaan Bendung Tetap , Direktori File UPI halaman 24)
Tekanan pada Titik A = γ × h sebagai tekanan hidrostatis. Tekanan pada Titik B, jika
ada tanah yang sebesar 𝞬 × h1. Tetapi karena ada tanah dan air ini akan melewati
jalan sepanjang AB dan dengan sendirinya akan mengurangi energinya (untuk di
ubah menjadi kecepatan) makan tekanan di B akan menjadi kecil, ≤ 𝞬× h1. Jumlah
pengurangan tekanan sebesar Δh di atas akan terbagi pada seluruh creep line-nya
(ABCD). Menurut Bligh bahwa besarnya perbedaan tekanan di jalur pengaliran
adalah sebanding dengan panjangnya jalan air (creep line) dan dinyatakan sebagai
Δh = I/C
Dimana :
Δh = Beda tekanan atau kehilangan tekanan.
I = Panjang creep line.
C = Weigted creep ratio (nilai rayapan air) tergantung jenis tanah di bawah Bendung.
Gambar 2.22 : Profil Memanjang Bendung Gravity
(Sumber : Perencanaan Bendung Tetap, Ir. Soenarno.1972)
46
Supaya bangunan aman terhadap bahaya piping sebagai akibat uplift force maka:
Δh = L/C atau L ≥ C × Δh
Dari rumus diatas dapat ditentukan panjangnya creep line diatas tanah pondasi jenis
tertentu yang di perlukan dengan beberapa cara antara lain :
Memperpanjang lantai muka.
Membuat cut-off (dinding pancang dari pondasi bangunan dipilihkebawah).
Memperpanjang lantai belakang dan sebagainya.
Kesemua dipilih dengan pertimbangan yang ekonomis. Harga C adalah creep
ratio tergantung dari jenis tanah yang ditentukan secara empiris oleh Bligh, dalam
keadaan bangunan aman terhadap bahaya piping.
Teori Bligh mengenai konsep creep line tersebut dikoreksi oleh Profesor Lane
menyatakan bahwa energi yang dibutuhkan oleh air untuk melewati jalan yang
vertikal lebih besar dari jalan horizontal, dengan perbandingan 3:1. Jadi
anggapannya adala Lv = 1/3 Lh untuk suatu panjang lintasan yang sama. Sebagai
contoh creep line vertikal panjangnya menjadi Lx = 1/3 × 6 = 2 m.
Berdasarkan ketentuan diatas lane menurunkan rumus Bligh menjadi :
H =
..............................................................(2.28)
Atau
L = Lv + 1/3 Lh ≥ C × Δh ........................................(2.29)
Nilai C untuk Bligh dan Lane berlainan. Sebagai catatan untuk bilangan yang
bersudut 450 atau lebih terhadap bilangan horizontal di anggap sebagai bilangan
vertikal. Sedangkan yang bersudut kurang dari 450 dari bilangan horizontal, di
anggap horizontal.
2.7.3 Air Balik (Back Water)
Dengan adanya bendung, permukaan air yang akan terbendung akan naik dan selalu naik /
lebih tinggi dari pada keadaan normal dengan jarak yang terpanjang kesebelah hulu,
membentuk suatu lengkungan yang disebut lengkungan aliran balik (back water curve).
Sampai brapa naiknya permukaan air disungai sebelah hulu bendung tersebut dan sampai
berapa jauh pengaruh tersebut dari bendung dapat bereaksi haruslah diketahui.
Ada beberapa metoda yang dapat digunakan untuk menghitung arus balik (back
water) yaitu :
47
a. Metoda integrasi numerik.
b. Metoda integrasi grafis.
c. Metoda langkah langsung (direct step method).
Metoda langkah langsung dilakukan dengan membagi saluran menjadi sejumlah pias
dengan panjang ΔX. Mulai dari ujung batas hilir dimana karakteristik hidraulis di
tampang tersebut diketahui, dihitung kedalaman air pada tampang disebelah hulu.
Prosedur hitungan tersebut diteruskan untuk tampang dihulu berikutnya, sampai
akhirnya di dapat kedalaman air di sepanjang sungai. Ketelitian hitungan tergantung
pada panjang pias, semakin kecil Δx semakin teliti hasil yang diperoleh.
Gambar 2.23 : Metoda tahapan langsung
(Sumber : Suripin 2003, Sistem Drainase Perkotaan hal 176)
Rumus yang digunakan :
△X =
.........................................................(2.30)
If =
...............................................................(2.31)
Dimana :
ΔX = Panjang arus balik (m)
Es = Energy spesifik
Io = Kemiringan sungai
If = Kemiringan garis energi
A = Luas penampang (m2)
n = Angka kekasaran manning
R = Jari-jari hidrolis (m)
48
2.8 Bangunan Pengambilan dan Pembilas
Bangunan pengambilan (intake) adalah suatu bangunan pada bendung yang berfungsi
sebagai penyadap air aliran sungai, mengatur pemasukan air sesuai dengan yang
direncanakan. Bangunan intake merupakan satu kesatuan dengan bangunan
pembilas. Fungsi dari bangunan pembilas adalah mengurangi sebanyak mungkin
benda-benda terapung dan fraksi-fraksi sedimen kasar yang masuk ke jaringan
saluran irigasi. Pertimbangan utama perencanaan tata letak bangunan intake dan
bangunan pembilas adalah berdasarkan kebutuhan penyadapan debit dan
mengelakkan sedimen agar tidak masuk ke intake, selain itu perlu juga
dipertimbangkan kemungkinan pengembangan dan kehilangan tinggi tekanan.
2.8.1 Bangunan Pengambilan (Intake)
Bangunan pengambilan sebaiknya dibuat sedekat mungkin dengan pembilas dan As
bendung atau bendung gerak, lebih optimal jika intake ditempatkan diujung tikungan
luar sungai atau pada ruas luar guna memperkecil masuknya sedimen.
Kapasitas pengambilan harus sekurang-kurangnya 120% dari kebutuhan
pengambilan guna menambah fleksibilitas dan agar dapat memenuhi kebutuhan yang
lebih tinggi selama umur proyek.
Dalam perencanaan pintu intake untuk mencegah kehilangan air akibat gelombang
pada bendung elevasi mercu bendung sedapatnya berada 10 cm diatas elevasi
pengambilan, elevasi ambang pengambilan (p) direncanakan sesuai dengan angkutan
sedimen sungai, untuk angkutan sedimen berupa lanau p = 0,50 m, untuk pasir dan
kerikil p = 1,00 m, dan untuk angkutan sedimen berupa batubatu bongkah p = 1,00
m. Jika pintu intake bergabung dengan penguras bawah maka ambang pengambilan 0
< p < 20 cm. Bila pintu intake lebih dari satu maka pilar sebaiknya pemasangan pilar
kebelakang agar aliran dapat masuk sejauh R = 0,5 m.
Bangunan pengambilan dilengkapi dengan pintu, dimana tinggi bukaan pintu
tergantung pada kecepatan aliran masuk yang dipengaruhi oleh diameter butiran
sedimen yang diizinkan terbawa masuk.
Rumus yang di pakai untuk memberikan perkiraan kecepatan yang dimaksud:
V2 ≥ 32 (h/d)1/3
Dapat disederhanakan menjadi :
49
V ≈ 10 d0,5
Dimana :
V = Kecepatan rata-rata (m/dtk).
h = Kedalaman air (m).
d = Diameter butir (m).
Dengan kecepatan masuk sebesar 1,0 – 2,0 m/dt yang merupakan besaran
perencanaan normal, dapat diharapkan bahwa butir-butir berdiameter 0,01 sampai
0,04 m dapat masuk.
Debit pengambilan dapat dinyatakan dengan persamaan :
Q = 𝜇× b × a √ . g. z .................................................(2.32)
Dimana :
Q = Debit aliran (m3/dtk).
𝜇= Koefisien debit, untuk bukaan dibawah permukaan air dengan
Kehilangan tinggi energi kecil (𝜇= 0,85).
b = Lebar bukaan (m).
a = Tinggi bukaan (m).
z = Kehilangan tinggi energi pada bukaan (m).
g = Percepatan gravitasi (9,81 m/dtk2).
Gambar 2.24 : Tipe Pintu Pengambilan
(Sumber : Kriteria Perencanaan Bagian Parameter Bangunan, Kp 02 halaman 111.2013)
Elevasi mercu bendung direncana 0,10 di atas elevasi pengambilan yang dibutuhkan
untuk mencegah kehilangan air pada bendung akibat gelombang. Elevasi ambang
bangunan pengambilan ditentukan dari tinggi dasar sungai.
50
Ambang direncana di atas dasar dengan ketentuan berikut:
a. 0,50 m jika sungai hanya mengangkut lanau.
b. 1,00 m bila sungai juga mengangkut pasir dan kerikil.
c. 1,50 m Jika sungai mengangkut batu-batu bongkah.
Gambar 2.25: Geometri Bangunan Pengambilan
(Sumber : Kriteria Perencanaan Bagian Parameter Bangunan, Kp 02 halaman 112.2013)
Pengambilan hendaknya selalu dilengkapi dengan sponeng skot balok di kedua sisi
pintu, agar pintu itu dapat dikeringkan untuk keperluan-keperluan pemeliharaan dan
perbaikan.
Guna mencegah masuknya benda-benda hanyut, puncak bukaan direncanakan di
bawah muka air hulu. Jika bukaan berada di atas muka air, maka harus dipakai kisi-
kisi penyaring. Direncana dengan rumus berikut:
Kehilangan tinggi energi melalui saringan adalah :
hf = c (v2/2.g), dengan
c = β (s/b)4/3 sin δ
Dimana :
hf = Kehilangan tinggi energi (m).
v = Kecepatan datang (m/dtk).
g = Percepatan gravitasi (9,81 m/dtk2)
c = Koefisien yang bergantung.
β = Faktor bentuk.
β = 1,8 untuk jeruji bulat.
51
β = 2,42 untuk jeruji besi strip.
s = Tebal jeruji (m).
L = Panjang jeruji (m).
b = Jarak bersih antar jeruji b (b > 50 mm), m.
δ = Sudut kemiringan dari horizontal dalam derajat.
2.8.2 Bangunan Pembilas
Lantai pembilas merupakan kantong tempat mengendapnya bahan-bahan kasar di
depan pembilas pengambilan. Sedimen yang terkumpul dapat dibilas dengan jalan
membuka pintu pembilas secara berkala guna menciptakan aliran terkonsentrasi tepat
di depan pengambilan.
Pengalaman yang diperoleh dari banyak bendung dan pembilas yang sudah
dibangun, telah menghasilkan beberapa pedoman menentukan lebar pembilas:
Lebar pembilas ditambah tebal pilar pembagi sebaiknya sama dengan 1/6 –
1/10 dari lebar bersih bendung (jarak antara pangkal-pangkalnya), untuk
sungai-sungai yang lebarnya kurang dari 100 m.
Lebar pembilas sebaiknya diambil 60% dari lebar total pengambilan termasuk
pilar-pilarnya.
Gambar 2.26: Geometri pembilas
(Sumber : Kriteria Perencanaan Bagian Parameter Bangunan, Kp 02 halaman 114.2013)
Pintu dengan bagian depan terbuka memiliki keuntungan-keuntungan berikut:
1. Ikut mengatur kapasitas debit bendung, karena air dapat mengalir melalui pintu-
pintu yang tertutup selama banjir.
52
2. Pembuangan benda-benda terapung lebih mudah, khususnya bila pintu dibuat
dalam dua bagian dan bagian atas dapat diturunkan.
Kelemahan-kelemahannya:
1. Sedimen akan terangkut ke pembilas selama banjir, hal ini bisa menimbulkan
masalah, apalagi Jika sungai mengangkut banyak bongkah. Bongkah-bongkah ini
dapat menumpuk di depan pembilas dan sulit disingkirkan.s
2. Benda-benda hanyut bisa merusakkan pintu.
3. Karena debit di sungai lebih besar daripada debit di pengambilan, maka air akan
mengalir melalui pintu pembilas, dengan demikian kecepatan menjadi lebih tinggi
dan membawa lebih banyak sedimen.
2.9 Kantong Lumpur
2.9.1 Definisi dan Fungsi Kantong Lumpur
Kantong Lumpur adalah suatu bangunan untuk mengendapkan fraksifraksi sedimen
yang lebih besar dari fraksi pasir halus dengan diameter butiran 0,088 mm dan
biasanya ditempatkan persis disebelah hilir pengambilan. Bahanbahan yang lebih
halus tidak dapat ditangkap dalam kantong lumpur biasa dan harus diangut melalui
jaringan saluran ke sawah-sawah, bahan yang sudah mengendap di dalam kantong
kemudian dibersihkan secara berkala. Pembersihan ini biasanya dilakukan dengan
menggunakan aliran air yang deras untuk menghanyutkan bahan endapan tersebut
kembali ke sungai. Dalam hal-hal tertentu, pembersihan ini dapat dilakukan dengan
cara lain, yaitu dengan cara mengeruknya atau dengan menggunakan tangan.(standar
perencanaan irigasi. Kp-02).
Pengambilan keputusan untuk merencanakan dan membuat kantong lumpur pada
awal saluran primer, akan didasarkan pada pertimbanganpertimbangan ekonomis.
Pertimbangan tersebut akan mencakup semua factor yang akan mempengaruhi biaya
dan kemudahan eksploitasi jaringan itu. Kantong lumpur tidak akan diperlukan jika
volume sedimen yang masuk ke jaringan irigasi tetapi tidak sampai ke sawah
(partikel yang lebih besar dari 0,06 – 0,07 mm) kurang dari 5% dari kedalaman air
diseluruh jaringan irigasi.
53
2.9.2 Dimensi Kantong Lumpur
Partikel selama waktu (H/w) yang diperlukan untuk mencapai dasar, akan berjalan
(berpindah) secara horizontal sepanjang jarak L dalam waktu L/v .
Jadi :
=
........................................................................................(2.33)
v =
......................................................................................(2.34)
Dimana :
H = Kedalam aliran saluran (m)
w = Kecepatan endapan partikel sedimen (m/dtk)
L = Panjang kantong lumpur
v = Kecepatan aliran (m/dtk)
Q = Debit aliran (m3/dtk)
B = Lebar kantong lumpur
menghasilkan :
LB =
....................................................................................(2.35)
Karena sangat sederhana, rumus ini dapat dipakai untuk membuat perkiraan awal
dimensi-dimensi tersebut. Untuk perencanaan yang lebih detail, harus dipakai faktor
koreksi guna menyelaraskan faktor-faktor yang mengganggu, seperti :
a. Turbulensi air
b. Pengendapan yang terhalang
c. Bahan layang sangat banyak
Dimensi kantong lumpur sebaiknya juga sesuai dengan kaidah L/B > 8, untuk
mencegah agar aliran tidak meander di dalam kantong. Apabila topografi tidak
memungkinkan diturutinya kaidah ini, maka kantong harus dibagi-bagi ke arah
memanjang dengan dinding-dinding pemisah (devider wall) untuk mencapai
perbandingan antara L dan B ini.
54
2.10 Stabilitas Bendung
Stabilitas Bendung merupakan perhitungan kontruksi untuk menentukan ukuran
Bendung agar mampu menahan muatan-muatan dan gaya-gaya yang bekerja padanya
dalam segala keadaan, dalam hal ini termasuk terjadinya angina kencang dan gempa
bumi hebat dan banjir besar. Syarat-syarat stabilitas kontruksi seperti lereng di
sebelah hulu dan hilir bendung tidak mudah longsor, harus aman terhadap geseran,
harus aman terhadap rembesan, dan harus aman terhadap penurunan Bendung.
Perhitungan konstruksi yang dilakukan untuk menentukan dimensi/ ukuran bendung
(weir) supaya mampu menahan muatan-muatan dan gaya-gaya yang bekerja pada
bendung dalam keadaan apapun, termasuk banjir besar dan gempa bumi.
Penyelidikan geologi teknik, ditujukan untuk mengetahui apakah pondasi bendung
cukup kuat, apakah rembesan airnya tidak membahayakan konstruksi, dan apakah
bendung akan dapat dioperasikan bagi penggunaan airnya dalam jangka waktu yang
lama minimal 30 tahun (Mawardi & Memet, 2010).
Gaya-gaya yang berkerja pada bangunan yang penting pada perencanaan adalah :
1. Gaya berat bendung;
2. Gaya gempa;
3. Tekanan lumpur;
4. Uplift Pressure (Tekanan Angkat Air).
2.10.1 Gaya Berat Bendung
Gaya berat ini adalah berat dari kontruksi, berarah vertikal ke bawah yang garis
kerjanya melewati titik berat kontruksi. Untuk memudahkan perhitungan, biasanya
dibagi-bagi yang berbentuk segitiga-segitiga, segi empat dan trapesium. Karena
peninjauannya adalah tiap lebar 1 meter, maka gaya yang diperhitungkan adalah luas
bidang kali berat jenis kontruksi (untuk pasangan batu kali biasanya diambil 1,80
ton/m3 , untuk beton bertulang 2,4 ton/m3).
Rumus:
G = V x γ
(Standar Perencanaan Irigasi KP- 02)
Dimana :
V = volume (m3)
γ = berat jenis bahan, beton = 2,4 T/m3
55
2.10.2 Gaya Gempa
Gaya-gaya akibat gempa adalah gaya-gaya yang terjadi terhadap tubuh bendung
akibat terjadinya gempa, sedangkan prinsip perhitungan gaya-gayanya adalah berat
sendiri dari setiap segmen yang diperhitungkan gaya-gayanya adalah berat sendiri
dari segmen yang diperhitungkan dikalikan dengan koefisien gempa yang nilai
koefisienya sesuai dengan posisi bendung terletak pada zona gempa berapa. Harga-
harga gaya gempa diberikan dalam bagian parameter bangunan (KP- 06). Harga-
harga tersebut didasarkan pada peta Indonesia yang menunjukan berbagai daerah dan
resiko. Factor minimum yang akan dipertimbangkan adalah 0,1 g percepatan
gravitasi sebagai percepatan factor ini hendaknya sebagai gaya horizontal menuju
kea rah yang paing tidak aman yakni arah hilir, untuk daerahdaerah yang banyak
gunung berapinya seperti di indoensia, maka gaya gempa harus diperhitungkan
terhadap kontruksi. Untuk daerah-daerah yang banyak gunung berapinya seperti
Indonesia, maka gaya gempa harus diperhitungkan terhadap kontruksi. Gaya gempa
tersebut sebesar :
Gg = k . W ................................................................................(2.36)
Dimana :
k = Koefisien gempa
W = Berat konstruksi
Gaya gempa ini berarah horizontal, kearah yang berbahaya (yang merugikan),
dengan garis kerja yang melewati titik berat konstruksi. Sudah tentu juga ada
komponen vertikal, tetapi ini relatif tidak berbahaya dibandingkan dengan komponen
yang horizontal. Harga k tergantung dari lokasi tempat konstruksi sesuai dengan peta
zone gempa. Jika tidak diketahui, harga k dapat dihitung dengan menggunakan
rumus :
K =
..........................................................................(2.37)
Dimana :
n,m = Koefisien untuk jenis tanah
Ac = Percepatan akibat periode ulang (cm/dtk2)
z = Koefisien zona gempa
g = Percepatan gravitasi (9,81 m/dtk2)
56
2.10.3 Tekanan Lumpur
Gaya akibat tekanan lumpur adalah gaya-gaya yang terjadi terhadap tubuh bendung
akibat endapan lumpur di udik bendung setelah mencapai mercu. Rumus yang
digunakan:
Ps =
.𝞬s.h
2.
Dimana :
γs = Berat jenis lumpur, biasanya diambil 1,60
θ = Sudut geser dalam, (derajat)
h = Dalam lumpur (m)
Untuk sudut geser dalam diambil θ = 300, menghasilkan :
=
=
Ps = 1/6 . γs . h2 ..................................................................(2.38)
2.10.4 Uplift Pressure (Tekanan Angkat Air)
Untuk ini harus dicari tekanan pada tiap-tiap titik sudut, baru kemudian bisa dicari
besarnya gaya yang bekerja pada tiap-tiap bidang
Gambar 2.27 : Tekanan Uplift Pressure
Secara umum besarnya tekanan pada titik X adalah :
Ux = △h -
∑ △h + Hx
Ux = △h -
∑ △h Hx
Ux = Hx-
∑ △h
Dimana :
Ux = Uplift pressure di titik x
57
Hx = Tingginya titik x terhadap air dimuka
lx = Panjang creep line sampai ke titik x (ABCDX)
ΣL = Jumlah total panjang creep line (ABCDEXEF)
ΔH = Perbedaan muka air di muka dan di belakang bangunan
hx = Kedalaman titik terhadap muka air downstream bangunan
Dari rumus di atas dapat dihitung besarnya uplift pressure tiap-tiap titik pada dasar-
dasar pondasinya. Untuk menghitung daya uplift pressure pada suatu bidang adalah
luas bidang dikalikan tegangan uplift persatuan luas. Sebagai contoh, untuk bidang
DX maka gaya upliftnya adalah
. b. Satuan gaya persatuan lebar Bendung yang
merupakan luas trapesium dengan sisi sejajar UD dan UX serta tinggi bendung dan
bekerja pada titik trapesium. Untuk tanah dasar yang baik disertai dengan drain yang
baik pula, maka uplift pressure dapat dianggap bekerja 70%-nya saja. Jadi uplift
pressure yang bekerja antara 70% sampai dengan 100%.
2.10.5 Gaya Akibat Tekanan Tanah
Tekanan samping yang dipakai dalam perencanaan bangunan penahandihitung
dengan menggunakan carapemecahan menurut Rankine. Menurut cara pemecahan
Rankine, tekanan samping aktif dan pasif adalah :
Ka = tan2 (45 -
) ......................................................................(2.39)
Kp = tan2 (45 +
) .....................................................................(2.40)
(Sumber : Buku Mekanika Tanah Braja M. Das)
Tekanan tanah aktif dihitung dengan persamaan :
Ea = 0,5 Ka .γ H12 – 2 c H1√
Sedangkan tahanan pasif :
Ep = 0,5 Kp .γ H22 – 2 c H2√
Dimana :
Ea : Tekanan tanah aktif (t/m)
Ep : Tekanan Tanah pasif (t/m)
Ka : Koefisien tanah aktif (lihat tabel 2.17)
Kp : Koefisien tanah pasif (lihat tabel 2.18)
58
γ : Berat volume tanah (t/m3)
H1 : Tinggi tanah untuk tanah aktif (m)
H2 : Tinggi tanah untuk tanah pasif (m)
c : Kohesi (t/m2)
2.11.Bangunan Ukur Debit Parshall
Bangunan ukur Parshall adalah alat ukur debit dengan cara membuat aliran kritis
yang dapat dilihat dengan terjadinya loncatan air pada bagian tenggorokan (throat
section). Bila terjadi aliran tenggelam yang dapat dilihat dengan mengecilnya
loncatan air pada bagian tenggorokan (sub merged flow) maka perlu diadakan
koreksi debit pada debit yang diukur. Besarnya debit (m3/dtk) yang lewat pada
tenggorokan dalam kondisi kritis dalam persamaan sebagai berikut :
Q = W x Ha1,547
Dimana :
Q = Debit lewat tenggorokan (ft3/dt)
W = Lebar tenggorokan (ft)
Ha = Tinggi Air tenggorokan (ft)
Bangunan ini hanya dapat mengukur besarnya aliran debit dan tidak dapat mengatur
taraf muka air. Pembacaan debit biasanya menggunakan tabe-tabel yang dibuat dari
rumus pengalirannya sehingga memudahkan petugas.
Tipe ini mempunyai kelebihan yaitu :
Mampu Mengukur debit dengan kehilangan tinggi energy yang relative kecil
Cukup teliti untuk aliran tidak sempurna
Benda padat yang hanyut mudah lewat
Tidak mudah diubah-ubah prtani untuk mendapatkan air diluar keperluan
Tidak terpengaruh oleh kecepatan dating
Tipe ini mempunyai kelemahan yaitu :
Pelaksanaannya harus teliti dan relative sulit
Tidak mudah dikombinasikan dengan bangunan lain sehingga kurang sesuai
dipakai di bangunan sadap
59