bab ii tinjauan pustaka 2.1 biskuit -...

13
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biskuit Biskuit merupakan jenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan (Badan Standariasi Nasional, 2011). Kadar air biskuit termasuk rendah, yaitu sekitar 5%. Kadar air yang rendah pada biskuit sangat menguntungkan dari segi penyimpanan. Biskuit dapat disimpan dalam waktu yang lama kurang lebih 6 bulan hingga 1 tahun lamanya. Produk biskuit juga dapat dikonsumsi untuk segala kalangan usia, mulai dari bayi hingga dewasa dengan jenis yang berbeda-beda. Berdasarkan informasi dari Departemen Perindustrian RI, biskuit dapat dikategorikan dalam 4 jenis, yaitu biskuit keras, crackers, cookies, dan wafer (Ahza, 1998 dalam Claudia et al., 2015). Biskuit keras merupakan salah satu jenis biskuit manis yang mempunyai bentuk pipih, bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat, dan dapat berkadar lemak tinggi maupun rendah. Crackers merupakan jenis biskuit yang terbuat dari adonan keras melalui proses fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang rasanya mengarah asin dan relatif renyah, serta bila dipatahkan penampangnya potongannya berlapis-lapis. Cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah dan bila dipatahkan penampangnya potongannya bertekstur kurang padat. Wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair, berpori-pori kasar, relatif renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya berongga-rongga.

Upload: others

Post on 19-Oct-2019

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biskuit - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150088_2_8716.pdfpada kuning telur mempunyai daya pengemulsi yang dapat memperbaiki

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biskuit

Biskuit merupakan jenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan

penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan

(Badan Standariasi Nasional, 2011). Kadar air biskuit termasuk rendah, yaitu

sekitar 5%. Kadar air yang rendah pada biskuit sangat menguntungkan dari segi

penyimpanan. Biskuit dapat disimpan dalam waktu yang lama kurang lebih 6

bulan hingga 1 tahun lamanya. Produk biskuit juga dapat dikonsumsi untuk segala

kalangan usia, mulai dari bayi hingga dewasa dengan jenis yang berbeda-beda.

Berdasarkan informasi dari Departemen Perindustrian RI, biskuit dapat

dikategorikan dalam 4 jenis, yaitu biskuit keras, crackers, cookies, dan wafer

(Ahza, 1998 dalam Claudia et al., 2015). Biskuit keras merupakan salah satu jenis

biskuit manis yang mempunyai bentuk pipih, bila dipatahkan penampang

potongannya bertekstur padat, dan dapat berkadar lemak tinggi maupun rendah.

Crackers merupakan jenis biskuit yang terbuat dari adonan keras melalui proses

fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang rasanya mengarah asin dan

relatif renyah, serta bila dipatahkan penampangnya potongannya berlapis-lapis.

Cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi,

relatif renyah dan bila dipatahkan penampangnya potongannya bertekstur kurang

padat. Wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair, berpori-pori kasar,

relatif renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya berongga-rongga.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biskuit - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150088_2_8716.pdfpada kuning telur mempunyai daya pengemulsi yang dapat memperbaiki

6

Pada dasarnya bahan baku utama pembuatan biskuit adalah tepung terigu,

namun seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya kebutuhan

manusia untuk pangan yang sehat, penggunaan tepung non terigu dalam

pembuatan biskuit banyak dikembangkan terutama untuk jenis biskuit yang bebas

gluten (gluten free). Wulandari dan Handarsari (2010) menyatakan bahwa bahan-

bahan lain yang digunakan sebagai penunjang pembuatan biskuit ialah margarin,

susu bubuk, gula halus, dan kuning telur. Setiap bahan yang digunakan dalam

pembuatan biskuit memiliki fungsi masing-masing.

Penggunaan kuning telur pada biskuit dapat berfungsi untuk memperbesar

volume, memperbaiki tekstur, serta menambah protein pada biskuit yang akan

turut memperbaiki kualitasnya (Claudia et al., 2015). Biskuit yang hanya

menggunakan kuning telur akan menghasilkan tekstur yang lebih lembut

dibandingkan biskuit yang menggunakan seluruh telur. Hal ini disebabkan lesitin

pada kuning telur mempunyai daya pengemulsi yang dapat memperbaiki

tekstur, memperbesar volume serta menambah kandungan protein.

Pemakaian gula dalam adonan mempunyai peran untuk memberi makanan

pada ragi selama proses peragian berlangsung, memberi rasa dan aroma, memberi

kemampuan adonan untuk mengembang, kulit produk menjadi bagus, dan

mengontrol waktu pembongkaran. Gula juga mempunyai peran sebagai pemberi

rasa manis dan pengawet dengan menghambat pertumbuhan mikroorganisme

akibat penurunan aktivitas air dari bahan. Gula mempunyai tekanan osmotik yang

tinggi. Dengan penggulaan, cairan sel bahan akan keluar sehingga metabolisme

bahan pangan akan terganggu (Ayustaningwarno, 2014).

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biskuit - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150088_2_8716.pdfpada kuning telur mempunyai daya pengemulsi yang dapat memperbaiki

7

Margarin yang ditambahkan dalam pembuatan biskuit sebagai lemak

berfungsi untuk mengempukan biskuit karena margarin memiliki kandungan

lemak yang cukup tinggi sehingga dapat memperbaiki tekstur (Silalahi dan

Sanggam, 2002). Fungsi penambahan lemak dalam bentuk margarin pada

pembuatan biskuit adalah sebagai penghalus tekstur, sehingga dapat terbentuk

struktur biskuit yang elastis. Selain itu, lemak dapat memberikan sumbangan

terhadap citarasa biskuit yang khas dan membuat cepat melunak saat dimulut

(Matz and Matz, 1978).

Proses pembuatan biskuit konvensional meliputi tahap dasar seperti

pencampuran, pencetakan, dan pemanggangan. Selain penggunaan bahan, masing-

masing tahapan proses produksi juga dapat diatur sedemikian rupa agar sesuai

dengan karakteristik produk akhir yang diinginkan. Setiap proses produksi

mempunyai diagram alir proses yang terstruktur dan sistematis. Diagram alir

proses produksi biskuit konvensional dapat dilihat pada Gambar 1.

Pembuatan biskuit konvensional meliputi tahap dasar seperti

pencampuran, pencetakan, dan pemanggangan. Pada proses pencampuran, bahan

yang dimasukkan sesuai dengan spesifikasi biskuit yang akan dibuat, kemudian

ditambahkan gula cair, garam, dan bahan-bahan lain. Adonan yang diperoleh dari

pencampuran bahan harus bersifat kohesif dan relatif tidak lengket sehingga

mudah dibentuk. Suhu yang baik selama pengadukan antara 25-40°C (Manley,

2000b). Proses pencampuran yang dilakukan harus sesuai dengan konsistensi suhu

dan waktu masing-masing adonan, evaluasi formula kadar lemak, serta proses

pengembangan, dan aerasi.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biskuit - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150088_2_8716.pdfpada kuning telur mempunyai daya pengemulsi yang dapat memperbaiki

8

Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Biskuit

(Sumber: Sunaryo, 1985)

Proses selanjutnya ialah pencetakan. Pada proses ini, adonan dicetak

sesuai dengan ketebalan dan ukuran yang diinginkan. Menurut Manley (2000a),

proses pencetakan biskuit dapat dibagi dalam empat bentuk, yaitu pencetakan

dengan pengeplotan dan potongan, cetakan dengan rotary moulder, ekstrusi, dan

penyimpanan. Ukuran biskuit yang telah dicetak harus sama, agar ketika dioven

biskuit matang secara merata dan tidak hangus (Claudia et al., 2015).

Pemanggangan

T: 155°C, t: 15 menit

Telur, Gula,

Margarin

Pengocokan hingga halus

Pencampuran adonan

hingga merata

Pengadukan hingga

menjadi adonan

Tepung Terigu,

Vanili, Baking

Powder

Pencetakan dan peloyangan dengan

tebal 3 mm dan jarak 2 cm

Biskuit

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biskuit - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150088_2_8716.pdfpada kuning telur mempunyai daya pengemulsi yang dapat memperbaiki

9

Proses pemanggangan juga merupakan bagian penting dalam pembuatan

biskuit karena dapat ditemukan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kualitas

biskuit. Salah satu faktor yang paling utama ialah perubahan kimiawi yang dapat

terjadi, seperti gelatinisasi pati, penguapan air, reaksi Mailard, dan karamelisasi

gula. Menurut Fellow (2009), agar pemanggangan biskuit berjalan dengan baik,

penjagaan kelembaban oven perlu dilakukan setinggi mungkin pada zona awal

dan menjaga suhu bagian atas dan bawah oven tetap stabil.

2.2 Karakteristik Biskuit

Karakteristik biskuit yang sesuai dengan standar seperti SNI maupun

standar perusahaan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sanitasi, proses

produksi hingga peran bahan yang digunakan selama proses produksi.

Berdasarkan SNI 2973:2011 (Badan Standarisasi Nasional, 2011) tentang biskuit,

secara umum biskuit mempunyai standar kadar air yang rendah, yaitu maksimal

5%. Kadar air yang rendah membuat tekstur biskuit secara keseluruhan menjadi

renyah. Tekstur renyah juga dapat dihasilkan oleh penggunaan bahan yang

mengandung lemak. Di samping itu, penggunaan bahan yang mengandung lemak

juga dapat melembutkan dan menambah kelezatan dari produk biskuit (Astawan,

2009). Standar mutu biskuit menurut SNI 2973:2011 dapat dilihat pada Tabel 1.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara

penggunaan berbagai macam bahan utama pengganti tepung terigu untuk

pembuatan biskuit dengan karakteristik fisik produk biskuit yang dihasilkan.

Salah satunya ialah penelitian oleh Mayasari (2015) yang menunjukkan adanya

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biskuit - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150088_2_8716.pdfpada kuning telur mempunyai daya pengemulsi yang dapat memperbaiki

10

perbedaan karakteristik biskuit yang dibuat dengan beberapa perbandingan tepung

terigu, tepung ubi jalar, dan tepung kacang merah. Hasil pengamatan

menunjukkan bahwa biskuit dengan 100% tepung terigu tanpa penambahan

tepung ubi jalar dan tepung kacang merah mempunyai nilai rata-rata uji

organoleptik tekstur oleh panelis yang paling tinggi, yaitu 5,320 (dalam skala

penilaian 1-6). Hal ini dapat disebabkan oleh menurunnya sifat elastis pada gluten

sehingga biskuit dengan penambahan tepung ubi jalar dan tepung kacang merah

mempunyai tekstur lebih keras yang kurang disukai panelis (Mayasari, 2015).

Tabel 1. Syarat Mutu Biskuit Berdasarkan SNI 2973:2011

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan

1.1 Bau - Normal

1.2 Rasa - Normal

1.3 Warna - Normal

2 Kadar air (b/b) % Maks. 5

3 Protein (N x 6,25) (b/b) % Min. 5

4 Asam Lemak Bebas

(sebagai asam oleat) (b/b)

% Maks. 1,0

5 Cemaran Logam

5.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 0,5

5.2 Kadmium (Cd) mg/kg Maks. 0,2

5.3 Timah (Sn) mg/kg Maks. 40

5.4 Merkuri (Hg) mg/kg Maks. 0,05

6 Arsen (As) mg/kg Maks. 0,5

7 Cemaran Mikroba

7.1 Angka Lempeng Total koloni/g Maks. 1 x 104

7.2 Coliform APM/g 20

7.3 Eschericia coli APM/g < 3

7.4 Salmonella Sp. - Negatif / 25 g

7.5 Staphylococcus aureus Koloni/g Maks. 1 x 102

7.6 Bacillus cereus Koloni/g Maks. 1 x 102

7.7 Kapang dan Khamir Koloni/g Maks. 2 x 102

(Sumber: Badan Standarisasi Nasional, 2011)

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biskuit - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150088_2_8716.pdfpada kuning telur mempunyai daya pengemulsi yang dapat memperbaiki

11

Penelitian oleh Pratama dan Nendra (2017) menunjukkan bahwa tidak ada

pengaruh nyata terhadap ketebalan, diameter, dan volume pengembangan cookies

yang menggunakan tepung pisang dibandingkan dengan cookies tepung terigu.

Hal ini disebabkan oleh cairan yang terdapat di dalam cookies terlampau sedikit

sehingga terjadi kurangnya interaksi antara air dan gluten untuk membentuk

jaringan gluten yang dapat menahan gas memuai selama proses pemanggangan di

oven. Hal ini menunjukkan bahwa daya serap air oleh komponen tepung yang

digunakan dapat mempengaruhi pengembangan adonan selama proses

pemanggangan berlangsung. Mancebo et al., (2015) dalam Pratama dan Nendra

(2017) juga menyatakan bahwa adonan cookies yang mempunyai viskositas lebih

tinggi memiliki kecenderungan untuk lebih sedikit mengembang saat

pemanggangan.

2.3 Tepung Terigu

Tepung terigu merupakan tepung hasil penggilingan gandum yang populer

digunakan dalam industri pangan. Sesaat setelah penggilingan, tepung terigu

berwarna kekuningan dan mempunyai sifat yang kurang elastis sehingga belum

dapat dikatakan sebagai tepung terigu yang baik. Tepung terigu akan melewati

masa pemeraman atau penambahan bahan pemutih tepung untuk mendapatkan

sifat lebih elastis dan berwarna putih seperti yang beredar di pasaran. Kandungan

utama tepung terigu ialah pati dengan kadar hingga 70% yang terdiri dari amilosa

(sekitar 20%) dan amilopektin (Belitz & Grosch, 2009). Tepung terigu juga

mengandung gluten yang mempunyai sifat dapat menggumpal dan mengembang

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biskuit - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150088_2_8716.pdfpada kuning telur mempunyai daya pengemulsi yang dapat memperbaiki

12

bila dicampur air. Gluten pada industri pangan berfungsi untuk meningkatkan

elastisitas produk seperti roti dan biskuit serta memperkaya kandungan proteinnya

(Astawan, 2009). Kenampakan tepung terigu dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Tepung Terigu

(Sumber: Tribun, 2018)

Rustandi (2011) mengatakan bahwa tepung terigu dapat digolongkan

menjadi tiga jenis berdasarkan kandungan proteinnya, yaitu:

a. Soft wheat

Tepung jenis ini mempunyai kandungan protein sebesar 8-9%.

Karakteristiknya ialah mempunyai daya serap rendah, sulit diuleni, serta daya

pengembangan yang rendah. Berdasarkan sifat dan karakeristiknya, tepung jenis

ini cocok untuk membuat produk seperti kue kering, biskuit, maupun pastel.

b. Medium wheat

Kandungan protein teping jenis ini ialah 10,5-11,5%. Tepung ini

merupakan campuran dari jenis soft wheat dan hard wheat, sehingga mempunyai

sifat dan karakteristik di antara kedua jenis tepung tersebut. Tepung jenis medium

wheat biasa dikenal dengan all-purpose-flour. Tingkat fermentasinya sedang,

sehingga cocok untuk membuat produk seperti bakso, donat, cake, dan muffin.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biskuit - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150088_2_8716.pdfpada kuning telur mempunyai daya pengemulsi yang dapat memperbaiki

13

c. Hard wheat

Tepung ini mempunyai kandungan protein 12-14%. Tepung jenis ini

mudah dicampur dan difermentasi, mempunyai daya serap air yang tinggi, elastis,

serta mudah dibentuk atau digiling. Produk yang cocok menggunakan jenis

tepung ini ialah roti, mie, dan pasta.

Jenis tepung terigu yang biasa digunakan dalam pembuatan biskuit adalah

tepung dari jenis gandum lunak (soft wheat). Tepung terigu dalam pembuatan

biskuit berperan sebagai pembentuk adonan, pengikat bahan-bahan lain, dan

pembentuk struktur biskuit selama pemanggangan (Matz and Matz, 1978).

Standar kualitas tepung terigu di Indonesia terdapat pada SNI 01-3751-2009

(Badan Standarisasi Nasional, 2009) yang dapat dilihat pada Tabel 2.

2.4 Metode Solvent Retention Capacity (SRC)

Pengujian kualitas mutu tepung terigu perlu dilakukan guna mengetahui

keefektifan penggunaan tepung tersebut sebagai bahan dasar pembuatan biskuit.

Kegiatan ini menjadi penting dilakukan karena berkaitan dengan kualitas produk

akhir yang dihasilkan. Metode Solvent Retention Capacity (SRC) merupakan

salah satu metode pengujian kualitas mutu tepung terigu yang biasa digunakan

pada industri pangan olahan dengan bahan baku tepung terigu. Secara umum,

Solvent Retention Capacity (SRC) merupakan hasil perhitungan berat pelarut yang

diikat oleh tepung setelah proses sentrifugasi dan dinyatakan dalam bentuk persen

(%) dari berat sampel tepung terigu yang digunakan (Pasha et al., 2009).

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biskuit - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150088_2_8716.pdfpada kuning telur mempunyai daya pengemulsi yang dapat memperbaiki

14

Tabel 2. SNI Tepung Terigu (SNI 01-3751-2009)

No. Jenis uji Satuan Persyaratan

1

1.1

1.2

1.3

Keadaan

Bentuk

Bau

Warna

-

Serbuk

Normal (bebas dari

bau asing)

Putih, khas terigu

2 Benda asing - Tidak ada

3 Serangga dalam semua

bentuk stadia dan potongan-

potongan yang tampak

- Tidak ada

4 Kehalusan, lolos ayalan 212

µm No. 70 (b/b)

% Min 95

5 Kadar air (b/b) % Maks 14,5

6 Kadar abu (b/b) % Maks 0,6

7 Kadar protein (b/b) % Min 7,0

8 Keasaman mg KOH/100 g Maks 50

9 Falling number (atas dasar

kadar air 14%)

Detik Min 300

10 Besi (Fe) mg/kg Min 50

11 Seng (Zn) mg/kg Min 30

12 Vitamin B1 (thiamin) mg/kg Min 2,5

13 Vitamin B2 (rioboflavin) mg/kg Min 4

14 Asam folat mg/kg Min 2

15

15.1

15.2

15.3

Cemaran logam

Timbal (Pb)

Raksa (Hg)

Tembaga (Cu)

mg/kg

mg/kg

mg/kg

Maks 1,00

Maks 0,05

Maks 10

16 Cemaran arsen Mg/kg Maks 0,50

17 Cemaran mikroba

Angka lempeng total

E. Coli

Kapang

Koloni/g

APM/g

Koloni/g

Maks 106

Maks 10

Maks 104

(Sumber: Badan Standarisasi Nasional, 2009)

Metode SRC pertama dikembangkan oleh peneliti bernama Louis Slade

dan Levine yang berkeinginan untuk menganalisis kualitas tepung berdasarkan

kemampuan mengikat airnya atau biasa disebut Water Holding Capacity (WHC).

Kadar WHC penting untuk diketahui karena berkaitan dengan jenis tepung yang

digunakan dalam proses pembuatan produk, yang mana jika digunakan tepung

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biskuit - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150088_2_8716.pdfpada kuning telur mempunyai daya pengemulsi yang dapat memperbaiki

15

jenis soft wheat untuk membuat biskuit / crackers maka dibutuhkan kadar WHC

yang rendah, sedangkan apabila digunakan tepung berjenis hard wheat untuk

membuat roti maka dibutuhkan kadar WHC yang tinggi (Slade & Levine, 1994).

Kadar WHC dipengaruhi oleh tiga komponen penting, yaitu glutenin,

damaged starch, dan pentosan (Kweon et al., 2011). Analisis kadar masing-

masing komponen tersebut akhirnya dirangkum dan dikembangkan oleh AACC

(American Association of Cereal Chemists) menjadi sebuah metode baru dengan

kode Approved Method (AAC Method 56-11) atau disebut juga metode SRC.

Metode SRC menurut Kweon et al., (2011), ialah sebuah pengujian pelarutan atau

dapat disebut pengujian solvasi tepung berdasarkan sifat pembengkakan jaringan

polimer akibat interaksi dengan satu jenis pelarut tertentu, yaitu air, larutan asam

laktat 5% (untuk kandungan glutenin), larutan Natrium Karbonat (Na2CO3) 5%

(untuk kandungan damaged starch), dan larutan Sukrosa (untuk kandungan

pentosan), yang mana hasilnya dapat memprediksikan kontribusi fungsional dari

masing-masing komponen pembentuk tepung tersebut. Sedangkan menurut

Walker et al., (2008), hasil pengujian SRC dengan pelarut air dapat menentukan

pengaruh semua konstituen yang terkandung di dalam tepung tersebut.

Beberapa pelarut lain juga pernah digunakan untuk analisis SRC, yaitu

larutan 0,006% natrium metabisulfit (NaMBS) yang dapat menganalisis gluten

(kekuatan secara umum), 0,75% sodium dodecyl sulfate (SDS) untuk

menganalisis glutenin macropolymer (GMP), dan larutan ethanol 55% yang

berkaitan dengan komponen protein gliadin (Kweon et al., 2011). Penggunaan

pelarut ethanol 55% untuk analisis SRC masih perlu dikaji lebih lanjut karena

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biskuit - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150088_2_8716.pdfpada kuning telur mempunyai daya pengemulsi yang dapat memperbaiki

16

walaupun gliadin larut dalam ethanol 55%, pelarut ini bukan termasuk ke dalam

pelarut metode SRC karena teknologi SRC didasari oleh pembengkakan jaringan

komponen dan bukan merupakan proses ekstraksi supernatant (Kweon et al.,

2011). Peran pelarut tersebut juga masih dapat diwakilkan oleh pelarut asam laktat

5% pada analisis metode SRC yang berkaitan dengan protein gluten di dalam

tepung terigu (Lindgren, 2016). Selain itu, terdapat pula pelarut alkali, yaitu

Na2HCO3 0,1N (pH ≈ 8) sebagai analisis AWRC (Alkali Water Retention

Capacity) yang dapat menentukan daya penyerapan air dari tepung, namun belum

spesifik untuk menentukan peran dari masing-masing komponen yang terdapat di

dalam tepung terigu (Pasha et al., 2009).

Analisis SRC mempunyai perbedaan signifikan jika dibandingkan dengan

pengujian rheology tepung lainnya seperti mixography, farinography, rapid visco

analysis yang menggunakan pelarut terbatas dan peningkatan suhu. Analisis

metode SRC tidak hanya mengukur kombinasi dan kumulatif dari gugus

fungsional pada tepung terigu (protein gluten, damaged starch, dan pentosan),

namun lebih menganalisis kontribusi dari masing-masing komponennya dalam

membentuk karakteristik produk akhir biskuit (Kweon et al., 2011). Hasil analisis

SRC dinyatakan dalam satuan persen (%). Hasil persentase tersebut akan

menyatakan jumlah banyaknya pelarut yang terserap ke dalam komponen polimer

tepung terigu dengan syarat kadar air tepung terigu tidak melebihi 14%, sehingga

dibutuhkan pengukuran kadar air sampel tepung terigu sebelum dilakukan

pengujian.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biskuit - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150088_2_8716.pdfpada kuning telur mempunyai daya pengemulsi yang dapat memperbaiki

17

Pada analisis menggunakan metode SRC, sampel tepung terigu akan

melalui beberapa proses utama, yaitu penimbangan, pengocokan, sentrifugasi, dan

perhitungan berat gel hasil sentrifugasi. Metode standar untuk pengocokan ialah

secara manual menggunakan tangan, namun hal ini kurang efektif bagi beberapa

industri tepung terigu yang secara rutin menganalisis sampel dengan jumlah

banyak, sehingga pengocokan manual dengan tangan digantikan dengan alat

pengocok otomatis (Kweon et al., 2011). Alat pengocok otomatis yang digunakan

ialah shakematic dan vortex shaker yang telah diatur sesuai dengan prosedur

standar pelaksanaan analisis SRC. Gambar alat pengocok yang digunakan pada

analisis SRC dapat dilihat pada Gambar 3.

(a) (b)

Gambar 3. (a) shakematic; (b) vortex shaker

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019)