bab ii tinjauan pustaka 2.1 konsep perilaku 2.1.1 definisi...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Perilaku
2.1.1 Definisi Perilaku
Perilaku dari aspek biologis diartikan sebagai suatu kegiatan atau aktivitas
organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Aktivitas tersebut ada yang dapat
diamati secara langsung dan tidak langsung. Menurut Ensiklopedia Amerika, perilaku
diartikan sebagai suatu aksi atau reaksi organisme terhadap lingkungannya. Robert
Kwick (1974 dalam Kholid, 2012) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau
perbuatan suatu organisme yang dapat diartikan bahkan dipelajari.
Skinner (1938) mendefinisikan perilaku sebagai respon atau reaksi seseorang
terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Teori Skinner menjelaskan ada dua jenis
respons, yaitu a) respon reaktif (respondent respons) merupakan respons yang
ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu yang disebut elicting stimuli, karena
menimbulkan reaksi yang relatife tetap b) instrumental respons (operant respons),
merupakan respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus
yang lain untuk memperkuat respons (Notoatmodjo, 2012).
2.1.2 Bentuk Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2012), berdasarkan dari bentuk respon terhadap
stimulus, perilaku terbagi menjadi dua yaitu:
1. Perilaku tertutup (convert behavior), merupakan respon seseorang terhadap
stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon ini masih
terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang
terjadi pada orang yang menerima stimuluas tersebut, dan belum dapat
9
diamati secara jelas oleh orang lain, misalnya seorang ibu hamil tahu
pentingnya periksa kehamilan.
2. Perilaku terbuka (overt behavior), merupakan respons seseorang terhadap
stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap
stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik (practice),
yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat orang lain, misalnya seorang
ibu memeriksa kehamilan atau membawa anaknya ke puskesmas untuk
diimunisasi.
2.1.3 Perilaku Kesehatan
Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian
mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya
diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang diketahui atau
disikapinya (dinilai baik), inilah yang disebut praktek atau perilaku kesehatan.
Perubahan perilaku atau mengadopsi perilaku baru itu mengikuti tahap-tahap
tersebut, yakni melalui proses perubahan pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan
peraktik (practice) (Alamsyah, 2013).
Perilaku kesehatan adalah respons seseorang (organisme) terhadap stimulus
atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makanan, dan minuman, serta lingkungan. Perilaku kesehatan menurut Notoatmodjo
(2012) dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
1. Perilaku pemilihan kesehatan, adanya perilaku atau usaha-usaha seseorang
untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk
penyembuhan bilamana sakit. Perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari
tiga aspek, yaitu:
10
a. Perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta
pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat.
Perlu dijelaskan disini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatife,
maka dari itu orang yang sehat pun perlu diupayakan supaya mencapai
tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.
c. Perilaku gizi (makanan dan minuman). Makanan dan minuman dapat
memelihara kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan
minuman juga dapat menjadi penyebab menurunya kesehatan seseorang,
bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada
perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut.
2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan
atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan. Perilaku ini menyangkut
upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau
kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri sampai
mencari pengobatan ke luar negeri.
3. Perilaku kesehatan lingkungan yaitu bagaimana seseorang merespons
lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya
sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. Menurut
Backer (1979 dalam Notoadmodjo, 2012) perilaku ini terbagi menjadi:
a. Perilaku hidup sehat, perilaku ini mencangkup makan dengan makanan
seimbang, olahraga teratur, tidak merokok, tidak minum minuman keras,
istirahat yang cukup, mengendalikan stress dan perilaku atau gaya hidup
lain yang positif bagi kesehatan.
11
b. Perilaku sakit, mencangkup respons seseorang terhadap sakit dan
penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan
gejala penyakit.
c. Perilaku peran sakit, orang sakit (mempunyai peran yang mencangkup
hak-hak orang sakit dan kewajiban orang sakit). Perilaku ini meliputi:
tindakan untuk memperoleh kesembuhan, mengetahui fasilitas atau
saranan pelayanan/penyembuhan penyakit yang layak, mengetahui hak
(misalnya: hak memperoleh perawatan).
2.1.4 Domain Perilaku
Perilaku secara langsung merupakan action dari sebuah tindakan atau kegiatan.
Perilaku dapat dibagi menjadi beberapa domain. Menurut Bloom dalam Sunaryo
(2013) menjelaskan bahwa domain perilaku terdiri dari tiga domain yaitu:
1. Domain kognitif yaitu domain yang dapat diukur dari pengetahuan seseorang,
misalnya pengetahuan seorang ibu yang berpendidikan S1 mempunyai
pengetahuan atau wawasan tentang penyakit ISPA.
2. Domain afektif yaitu berkaitan dengan sikap dan gejala-gejala yang
menunjukkan kecenderungan terhadap perilaku, misalnya sikap saya akan
membawa anak ke puskesmas terdekat bila terkena ISPA.
3. Domain psikomotorik yaitu berkaitan dengan keterampilan atau tindakan,
misalnya perilaku orang tua khususnya ayah yang merokok didalam rumah.
2.1.5 Perubahan Perilaku
Perubahan perilaku merupakan tujuan dari pendidikan kesehatan dan
penyuluhan kesehatan sebagai penunjang program-program kesehatan yang
lainnya. Teori-teori yang berkaitan dengan teori perubahan perilaku secara
singkat, sebagai berikut:
12
1. Teori Stimulus Organisme Respon (S-O-R)
Teori ini memandang bahwa pola-pola perilaku itu dapat dibentuk
melalui proses pembiasaan dan penguatan (reinforcement) dengan meng-
kondisikan atau menciptakan stimulus-stimulus (rangsangan) tertentu dalam
lingkungan. Teori ini menjelaskan mekanisme proses terjadi dan ber-
langsungnya perilaku individu dapat digambarkan sebagai berikut: S > R atau
S>O>R, S= stimulus (rangsang); R=Respon (perilaku, aktivitas) dan O=
organisme (individu/manusia) (Kholid, 2012).
2. Teori Kurt Levin
Menurut Kurt Levin, menjelaskan bahwa perilaku manusia itu adalah
suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong dan
kekuatan-kekuatan penahan. Perilaku tersebut dapat berubah apabila terjadi
ketidakseimbangan antara keduanya atau dalam konsep sehat sakitnya terjadi
ketidakseimbangan antara yin dan yang, maka akan menimbulkan penyakit
dalam konsep Cina (Alamsyah, 2013).
3. Teori Fungsi
Teori fungsi menjelaskan bahwa perubahan perilaku individu ter-
gantung pada keutuhan. Menurut Katz dalam Alamsyah (2013) teori ini di-
jelaskan sebagai berikut:
a. Perilaku memiliki fungsi instrumental artinya berfungsi memberikan
pelayanan terhadap kebutuhan.
b. Perilaku dapat berfungsi sebagai defence mecanicm artinya adalah sebagai
pertahanan diri dalam menghadapi lingkungannya.
13
c. Perilaku berfungsi sebagai penerima objek dan memberikan dalam
peranannya dengan tindakan itu seseorang senantiasa menyesuaikan
diri dengan lingkungannya.
d. Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dari diri seseorang dalam
menjawab situasi. Nilai ekspresif ini berasal dari diri seseorang dan
merupakan pencerminan dari hati.
Prosedur pembentukan perilaku dalam operant conditioning menurut Skinner
(dalam Notoatmodjo, 2012) adalah sebagai berikut :
1. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinforce
berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk.
2. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang
membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen
disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku
yang dimaksud.
3. Menggunakan secara urut komponen itu sebagai tujuan sementara, meng-
identifikasi reinforce untuk masing-masing komponen tersebut.
4. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen
yang telah tersusun. Apabila komponen pertama telah dilakukan, maka
diberika hadiah. Hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku tersebut
cenderung akan sering dilakukan. Kalau ini sudah terbentuk maka dilakukan
komponen kedua kemudian diberi hadiah (komponen pertama tidak
memerlukan hadiah lagi), demikian berulang-ulang sampai komponen kedua
terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan komponen ketiga, keempat, dan
selanjutnya sampai seluruh perilaku yang diharapkan terbentuk.
14
2.1.6 Perilaku Pemenuhan Ketahanan Pangan Keluarga
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemenuhan adalah “proses, cara,
perbuatan memenuhi”, sedangkan ketahanan pangan keluarga menurut Undang-
undang Pangan No.18 Tahun 2012 yaitu kondisi dimana setiap individu dan rumah
tangga memiliki akses secara fisik, ekonomi dan ketersediaan pangan dalam jumlah
yang cukup, aman, serta bergizi untuk memenuhi kebutuhan dengan tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat untuk hidup sehat,
aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Jadi, perilaku pemenuhan ketahanan pangan
keluarga adalah proses/cara/perbuatan yang berupa aktivitas atau tindakan untuk
memenuhi akses secara fisik, ekonomi dan memenuhi ketersediaan pangan dalam
jumlah yang cukup, aman, serta bergizi untuk memenuhi kebutuhan serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat untuk hidup sehat,
aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
2.1.7 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Perilaku manusia tidak terbentuk dengan sendirinya, namun dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya dalam bidang kesehatan ada beberapa teori tentang
faktor penentu (determinan) atau faktor yang mempengaruhi pembentukan perilaku.
Teori perilaku menurut Lawrence Green (1980 dalam Maulana 2009) bahwa perilaku
dipengaruhi oleh tiga faktor diantaranya:
1. Faktor predisposisi, faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang.
Faktor ini termasuk pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, kebiasaan,
nilai-nilai, norma sosial, budaya, dan faktor sosial-demografi.
2. Faktor pendorong, faktor yang memungkinkan terjadinya perilaku. Hal ini
berupa lingkungan fisik, sarana kesehatan atau sumber-sumber khusus yang
mendukung dan keterjangkauan sumber dan fasilitas kesehatan.
15
3. Faktor penguat, faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama dan
petugas kesehatan, termasuk juga undang-undang, peraturan-peraturan baik
dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.
2.2 Konsep Ketahanan Pangan
2.2.1 Definisi Ketahanan Pangan
Menurut Undang-undang No. 7 Tahun 1996 yang diubah menjadi UU No. 18
Tahun 2012 tentang Pangan, ketahanan pangan adalah suatu kondisi dimana setiap
individu dan rumah tangga memiliki akses secara fisik, ekonomi dan ketersediaan
pangan dalam jumlah yang cukup, aman, serta bergizi untuk memenuhi kebutuhan
dengan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat untuk
hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (Irianto, 2016).
Ketahanan pangan menurut Organisasi Pangan Dunia (Food and Agriculture
Organization (FAO), 2003) diartikan sebagai situasi yang ada ketika semua orang,
sepanjang waktu, mempunyai akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap bahan pangan
yang cukup, aman, dan bergizi yang sesuai dengan kebutuhan makanan dan makanan
yang disukai untuk kehidupan yang aktif dan sehat (Irianto, 2016).
Konsep ketahanan pangan paling tidak harus memenuhi lima unsur pokok,
yaitu berorientasi pada rumah tangga dan individu, setiap saat pangan tersedia dan
dapat diakses, menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik,
ekonomi dan sosial, bertujuan pada pemenuhan gizi, serta meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat agar mampu hidup sehat dan produktif (Rustanti, 2015).
2.2.2 Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Sebagaimana hasil rumusan International Congres of Nutrition (ICN) yang
diselenggarakan di Roma pada tahun 1992 mendefinisikan bahwa ketahanan pangan
rumah tangga (Household Food Security) adalah kemampuan rumah tangga untuk
16
memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat
dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Dalam sidang Committee on World Food
Security 1995 definisi tersebut diperluas dengan menambah persyaratan “Harus
diterima oleh budaya setempat”. Hal ini dinyatakan Hasan (1995) bahwa ketahanan
pangan sampai pada tingkat rumah tangga antara lain tercermin oleh ketersediaan
pangan yang cukup merata pada setiap waktu dan terjangkau oleh masyarakat baik
akses fisik maupun ekonomi serta tercapainya konsumsi pangan yang beragam,
memenuhi syarat gizi yang diterima budaya setempat (Mustofa, 2012). Selain itu,
menurut Rustanti (2015) ketahanan pangan di tingkat rumah tangga adalah
kemampuan sebuah keluarga untuk cukup tahan dalam hal pangan untuk menjamin
kecukupan intake makanan bagi seluruh anggota keluarga.
2.2.3 Peranan dalam Pemantapan Ketahanan Pangan
Terwujudnya ketahanan pangan dihasilkan dari kesinergisan suatu sistem yang
terdiri dari subsistem pemerintah, subsistem lingkungan masyarakat dan subsistem
rumah tangga (Suryana, 2003):
1. Peranan Pemerintah (pusat dan daerah)
Peranan pemerintah dalam rangka melaksanakan strategi/pendekatan
kebijakan dan pencapaian sasaran pembangunan ketahanan pangan,
pemerintah berperan dalam memfasilitasi penciptaan kondisi yang kondusif
bagi masyarakat dan swasta untuk berkiprah dalam pembangunan ketahanan
pangan. Upaya yang dilakukan untuk menciptakan kondisi ketahanan pangan
meliputi:
a. Penerapan kebijakan makro ekonomi yang kondusif, menyangkut
suku bunga, nilai tukar, perpajakan, dan peraturan perundangan.
17
b. Peningkatan kapasitas produksi nasional melalui pengembangan
sistem dan usaha agribisnis yang berbasis pada komonditas pertanian,
pemanfaatan sumber daya alam dan efisiensi penerapan teknologi dan
mengembangkan menajemen serta prasarana ekonomi untuk meng-
hasilkan produksi pangan yang berdaya saing.
c. Pelayanan publik, seperti sistem mutu, ilmu pengetahuan, informasi
pasar, teknologi, trasnportasi, pemupukan cadangan pangan
masyarakat dan pemerintah, pendidikan gizi dan pengelolaan
konsumsi, penerapan sistem mutu dan perlindungan konsumen dari
bahaya akibat mengkonsumsi pangan.
d. Peningkatan kemandirian dan pemberdayaan masyarakat. Upaya
peningkatan kemandirian dan pemberdayaan masyarakat dilakukan
melalui pengembangan kelembagaan tani, percepatan transfer
teknologi kepada masyarakat, mempermudah akses fasilitas produksi
oleh petani/produsen dan pelaku usaha, serta meningkatkan dan
mempermudah akses pasar.
Peranan ini dilaksanakan melalui instansi-instansi yang mengemban
misi yang bersangkutan, di pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sesuai
kewenangan dalam otonomi daerah.
2. Peranan Masyarakat
Pembangunan ketahanan pangan pada hakekatnya adalah pember-
dayaan masyarakat yang berarti meningkatkan kemandirian dan kapasitas
masyarakat untuk berperan aktif dalam mewujudkan ketersediaan, distribusi,
dan konsumsi pangan dari waktu ke waktu.
18
Subsistem lingkungan masyarakat berperan dalam mengatur sistem
produksi yang efisien, membangun industri pangan, berperan aktif dalam
mewujudkan ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan, serta memiliki
budaya konsumsi yang hemat dan efisien. Masyarakat yang terlibat dalam
pembangunan ketahanan pangan misalnya, petani, peternak, dan nelayan yang
berperan sebagai produsen.
3. Rumah Tangga atau Keluarga
Melalui upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan
kemandirian masyarakat diantaranya, pemberdayaan untuk meningkatkan
produktivitas dan daya saing serta penyediaan fasilitas yang diharap dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat yang secara otomatis meningkatkan
daya beli dan akses pangan pada tingkat rumah tangga. Peningkatan pen-
dapatan rumah tangga akan mampu memperkuat ketahanan pangan rumah
tangga dan akan berdampak pada terciptanya ketahanan pangan nasional.
Subsistem rumah tangga juga berperan dalam pengaturan pola
konsumsi secara sadar, hemat, efisien, dan bertanggung jawab, yaitu mampu
menyesuaikan diri dengan sumber pangan yang efisien dihasilkan atau di-
sediakan oleh lingkungan sekitar, mampu menjaga keanekaragaman, men-
dapat gizi atau nutrisi yang seimbang, mampu menekan keborosan pangan,
maupun memiliki dan mengelola pangan dengan baik.
2.2.4 Indikator dan Komponen Ketahanan Pangan
Menurut Sutaryo (2015) pencapaian ketahanan pangan rumah tangga dapat
diukur melalui beberapa indikator ketahanan pangan diantaranya; 1) indikator proses,
yaitu menggambarkan situasi pangan yang ditunjukkan oleh ketersedian pangan dan
akses pangan. 2) indikator dampak terbagi menjadi dampak langsung meliputi
19
konsumsi dan frekuensi pangan dan dampak tidak langsung meliputi penyimpanan
pangan dan status gizi sebagai outcome.
1. Ketersediaan Pangan
Ketersediaan (food availability), yaitu tersedianya pangan dalam jumlah yang
cukup, aman dan bergizi untuk semua orang. Ketersediaan mencangkup
kualitas (jumlah pangan yang mencukupi) dan kuantitas (keanekaragaman,
mutu, dan gizi) bahan pangan agar setiap individu dapat terpenuhi standar
kebutuhan kalori dan energi untuk menjalankan aktivitas ekonomi dan
peningkatan standar hidup sumber daya manusia Indonesia (Rustanti, 2015).
a. Jumlah (porsi) pangan yang cukup yaitu konsumsi makanan sehari-hari
sesuai dengan kebutuhan setiap orang. Target pencapaian angka keter-
sediaan pangan per kapita Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi
(WNPG) VIII tahun 2004 yaitu rata-rata konsumsi pangan sebesar 2200
kkal/kapita/hari untuk energi dan minimal 57 gram/kapita/hari untuk
protein. Pengkategorian Tingkat Kecukupan Energi, yaitu kategori defisit
berat apabila <70% AKE (Angka Kecukupan Energi), defisit sedang 70%
- <80% AKE, defisit ringan 80% - <90% AKE, dan Normal ≥90%
AKE. Sementara pengkategorian Tingkat Kecukupan Protein, defisit
berat <70% AKP (Angka Kecukupan Protein), defisit sedang 70% -
<80% AKP, defisit ringan 80% - <90% AKP, dan Normal ≥90% AKP.
(Kementrian Kesehatan RI, 2016)
b. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
pangan bebas dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain
yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan
manusia (BAPPENAS, 2011).
20
c. Gizi pangan, karena tidak ada satupun jenis makanan yang mengandung
semua jenis zat gizi maka diperlukan konsumsi yang beranekaragam yang
mengandung zat gizi yang diperlukan tubuh manusia seperti protein,
karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral. Gizi tersebut akan diperoleh
dari anekaragam kelompok pangan yang terdiri dari makanan pokok, lauk
pauk, sayuran dan buah-buahan. Kelompok tersebuh meliputi
(Kementrian Kesehatan RI, 2014):
1) Makanan pokok sumber karbohidrat, seperti beras, kentang,
singkong, ubi jalar, jagung, talas, sagu, serta sukun.
2) Lauk pauk sumber protein, seperti ikan, telur, unggas, daging, susu
dan kacang-kacangan serta hasil olahannya (tahu dan tempe).
3) Sayuran dan buah sebagai sumber vitamin dan mineral.
4) Serta kelompok yang dibatasi penggunaannya seperti garam, gula, dan
minyak.
2. Akses Pangan
Akses pangan (food access), yaitu kemampuan semua rumah tangga dan
individu dengan sumber daya yang dimilikinya untuk memperoleh pangan
yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh dari produksi
pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui bantuan pangan (Rustanti,
2015). Akses meliputi :
a. Akses ekonomi, lebih dipengaruhi oleh daya beli dan pendapatan.
Keterjangkauan dalam akses ekonomi artinya jika masyarakat mempunyai
daya beli yang cukup untuk mendapatkan bahan pangan maupun non
pangan sesuai kebutuhan dan pilihan setiap individu anggotanya. Selain
berkaitan dengan pendapatan akses ekonomi juga dipengaruhi oleh
21
strategi atau upaya rumah tangga untuk memenuhi pangan (Sutaryo,
2015). Strategi yang dimaksud adalah “seni” rumah tangga dalam
menggunakan sumber daya yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan
panganya melalui hubungan efektif dengan lingkunganya dalam kondisi
yang paling menguntungkan baik jangka pendek atau jangka panjang.
Menurut Rahmadanih, dkk (2013) strategi dalam proses pengadaan
pangan yaitu selain kepala keluarga, ibu rumah tangga (istri) juga
mengalokasikan waktunya untuk membantu pekerjaan suami atau bekerja
sampingan.
b. Akses fisik, menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana)
untuk memperoleh bahan pangan (Rustanti, 2015). Keterjangkauan akses
fisik artinya masyarakat dapat menjangkau pangan dengan mudah karena
adanya dukungan prasarana dan sarana mobilitas maupun pasar yang
memadai. Akses fisik akan menentukan apakah sumber pangan yang
dikonsumsi dapat ditemui dan mudah diperoleh. Akses fisik terhadap
pangan ditentukan oleh letak pasar, ketersediaan pangan ditingkat wilayah,
dan kemudahan sarana dan prasarana penunjang. Pasar adalah suatu
prasarana untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari termasuk pangan
dalam jumlah banyak dan beranekaragam. Jika letak pasar atau tempat
untuk memperoleh bahan pangan dekat dengan tempat tinggal maka
dapat dikatakan akses fisik rumah tangga terhadap pangan cukup mudah.
Hal ini juga didukung oleh kondisi sarana dan prasaranan transportasi
yang memadai (Meliala, dkk, 2014).
Terdapat dua komponen penting dalam ketahanan pangan, yaitu: 1)
ketersediaan dan 2) akses terhadap pangan. Berdasarkan hal tersebut, maka tingkat
22
ketahanan pangan suatu negara atau wilayah dapat bersumber dari kemampuan
produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan dan kondisi yang
membedakan tingkat kesulitan dan hambatan akses pangan. Kondisi yang sama
sebagai penentu ketahanan pangan ditingkat rumah tangga adalah akses terhadap
pangan dan ketersediaan pangan (Sutaryo, 2015).
2.2.5 Metode Pengukuran Ketahanan Pangan Keluarga
Pengukuran ketahanan pangan keluarga dapat dilakukan dengan meng-
gabungkan dua indikator ketahanan pangan yaitu ketersediaan dengan mem-
bandingkan tingkat konsumsi energi dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) dan
aksesibilitas pangan yang dapat dijelaskan dengan proporsi pengeluaran rumah tangga
terhadap pangan (Arifin, 2007).
Metode penilaian derajat ketahanan pangan rumah tangga dapat
menggunakan klasifikasi silang dua indikator ketahanan pangan, yaitu ketersediaan
pangan dengan menilai kecukupan konsumsi energi dan aksesibilitas pangan dengan
menilai pangsa pengeluaran pangan.
1. Mengukur ketersediaan, yaitu dengan membandingkan tingkat konsumsi
energi dengan angka kecukupan gizi (AKG). Jika konsumsi energi rumah
tangga lebih <80% dikategorikan kurang, dan jika konsumsi energi rumah
tangga >80% dikategorikan cukup.
2. Mengukur aksesibilitas pangan rumah tangga dapat dijelaskan dengan
proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan. Tingkat
pengeluaran berbanding terbalik dengan ketahanan pangan, semakin besar
pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan maka semakin rendah
ketahanan pangan rumah tangga tersebut. Batasan tingkat pengeluaran
pangan adalah 60%.
23
Tabel 2.1 Pengukuran Ketahanan Pangan Keluarga
Konsumsi Energi Rumah Tangga
Tingkat Pengeluaran Pangan
Rendah (≤60% Pengeluaran Total)
Tinggi (>60 % Pengeluaran Total)
Cukup (>80% kecukupan energi rata-rata keluarga)
Tahan Pangan Rentan Pangan
Kurang (≤80% kecukupan energi rata-rata keluarga)
Kurang Pangan Rawan Pangan
Sumber: Jonsson and Toole, 1991 dalam Arida, 2015
2.2.6 Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Keluarga.
Ketahanan pangan sangat erat kaitannya dengan ketahanan sosial, stabilitas
ekonomi, stabilitas politik, dan keamanan atau ketahanan nasional. Selain itu,
ketahanan pangan dalam arti keterjangkauan pangan juga berkaitan dengan upaya
peningkatan mutu sumberdaya manusia (SDM) (Suryana., 2003). Tingkat kerawanan
pangan keluarga dapat ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain:
1. Pendapatan Keluarga
Faktor penting yang merupakan determinan dalam pemenuhan
pangan adalah daya beli pangan. Daya beli didefinisikan sebagai kemampuan
ekonomi rumah tangga untuk memperoleh bahan pangan yang ditentukan
oleh besarnya alokasi pendapatan untuk pangan, harga bahan pangan yang
dikonsumsi, serta jumlah anggota rumah tangga. Dengan kata lain, daya beli
pangan tergantung pada besarnya pendapatan. Pendapatan secara langsung
dapat mempengaruhi konsumsi keluarga. Pendapatan yang meningkat
diindikasikan dapat memperbesar peluang keluarga untuk membeli pangan
dengan kuantitas dan kualitas yang baik. Sementara, keluarga yang
berpendapatan rendah akan menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas
konsumsi pangan (Arbaiyah, 2013).
24
2. Pengetahuan
Pengetahuan mengenai gizi dapat mempengaruhi konsumsi pangan,
namun pengaruh ini dapat ditiadakan/berubah oleh beberapa faktor, seperti
pendidikan gizi, paparan media masa, ketersediaan waktu untuk membeli,
mengolah dan menyiapkan makanan, serta ketersediaan pangan. Tingkat
pengetahuan megenai gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku
dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada
keadaan gizi. Menurut Herdiansyah (2007 dalam Arbaiyah, 2013), secara
umum di negara berkembang, ibu memiliki peran penting dalam memilih dan
mempersiapkan pangan untuk anggota keluarganya. Pengetahuan ibu
mengenai gizi akan mempengaruhi perilaku pemilihan dan ketidaktahuan
dapat menyebabkan kesalahan dalam pemilihannya.
3. Jumlah Anggota Keluarga
Tingginya jumlah anggota rumah tangga akan berdampak pada
buruknya kualitas konsumsi pangan dan gizi pada rumah tangga tersebut.
Ukuran rumah tangga merupakan penentu (Household size) dalam konsumsi
energi. Berdasarkan hasil penelitian Latief (2000 dalam Arbaiyah, 2013)
menunjukkan bahwa selama terjadi krisis moneter, distribusi pangan yang
dikonsumsi semakin memburuk pada rumah tangga yang mempunyai anggota
yang cukup besar. Semakin besar ukuran rumah tangga, maka semakin sedikit
pangan yang tersedia yang dapat didistribusikan pada anggota rumah tangga .
4. Usia Orang Tua
Menurut Herdiansyah (2007 dalam Arbaiyah, 2013), menyatakan
bahwa pasangan orang tua dengan usia lebih tua kemungkinan mempunyai
pengetahuan lebih baik mengenai gizi dan pangan dibanding dengan pasangan
25
orang tua dengan usia muda karena pengalaman mereka. Selain itu, menurut
hasil penelitian yang dilakukan Susilowati (2014) usia orang tua/keluarga
berpengaruh terhadap ketahanan pangan. Semakin bertambahnya usia kepala
keluarga yang sebagian besar mengandalkan tenaga atau fisik dalam bekerja
maka kemampuan tenaga atau fisiknya semakin berkurang sehingga
produktifitasnya pun semakin menurun yang berimbas pada penurunan
pendapatan keluarga sehingga membuat keluarga rentan terhadap kerawanan
pangan.
2.3 Konsep Keluarga
2.3.1 Definisi Keluarga
Bailon dan Maglaya (1988) mendefinisikan keluarga sebagai dua atau lebih
individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka
hidup dalam satu rumah tangga, melakukan interaksi satu sama lain menurut peran
masing-masing, serta menciptakan dan mempertahankan suatu budaya (Sudiharto,
2007). Selain itu, keluarga merupakan bagian atau unit terkecil masyarakat. Sebagai
unit terkecil masyarakat, kedudukan keluarga menjadi inti yang paling penting pada
suatu masyarakat. Kehidupan suatu masyarakat merupakan kumpulan dari kehidupan
sejumlah keluarga yang terikat didalamnya (Soetjiningsih, 2013).
Indonesia merupakan salah satu negara yang menjunjung tinggi adat
ketimuran yang menekankan bahwa keluarga harus dibentuk atas dasar perkawinan,
seperti yang tertulis dalam “Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 1994 bahwa
keluarga dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah.
2.3.2 Bentuk Keluarga
Keluarga terdiri dari dua macam, yaitu keluarga inti (nuclear family) yang terdiri
dari ayah, ibu dan anak-anaknya, dan keluarga besar (extended family). Pada keluarga
26
besar didalamnya terdapat orang lain selain keluarga inti, misalnya nenek, kakek, bibi,
paman, atau lainnya yang kadang-kadang timbul masalah dalam pengasuhan anak
(Soetjiningsih, 2013).
Selain itu, menurut Sudiharto (2007) juga terdapat beberapa bentuk keluarga
diantaranya:
1. Keluarga inti (nuclear family), adalah keluarga yang dibentuk karena ikatan
perkawinan yang direncanakan yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak,
baik karena kelahiran (natural) maupun adopsi.
2. Keluarga asal (family of origin), merupakan suatu unit keluarga tempat asal
seseorang dilahirkan.
3. Keluarga besar (extended family), keluarga inti ditambah keluarga yang lain
(karena hubungan darah), misalnya kakek, nenek, bibi, paman, sepupu
termasuk keluarga modern, seperti orang tua tunggal, keluarga, tanpa anak,
serta keluarga pasangan sejenis (gay/lesbian families).
4. Keluarga berantai (social family), keluarga yang terdiri dari wanita dan pria yang
menikah lebih dari satu kali dan merupakan keluarga inti.
5. Keluarga duda atau janda, keluarga yang terbentuk karena perceraian
dan/atau kematian pasangan yang dicintai.
6. Keluarga komposit (composite family), keluarga dari perkawinan poligami dan
hidup bersama.
7. Keluarga kohabitasi (cohabitation), dua orang menjadi satu keluarga tanpa
pernikahan bisa memiliki anak atau tidak.
8. Keluarga inses (incest family), seiring dengan masuknya nilai global dan
pengaruh informasi yang sangat dahsyat, dijumpai bentuk keluarga yang tidak
lazim, misalnya anak perempuan menikah dengan ayah kandungnya, ibu
27
menikah dengan anak kandung laki-laki, paman menikah dengan
keponakannya dan sebagainya.
9. Keluarga tradisonal dan nontradisional, dibedakan berdasarkan ikatan
perkawinan. Keluarga tradisional diikat dengan pernikahan, sementra
nontradisional tidak diikat dengan pernikahan misalnya sekelompok orang
yang tinggal di asrama.
2.3.3 Peran Keluarga dalam Pemenuhan Pangan
Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam pertumbuhan serta
perkembangan anak karena dilingkungan keluarga anak akan mendapatkan segala
kebutuhan yang diperlukan, mulai dari kebutuhan jasmani seperti sandang, pangan
dan papan hingga kebutuhan rohani seperti bimbingan, pendidikan dan kasih sayang
dari orang tua (Soetjiningsih, 2013).
Terwujudnya ketahanan pangan dihasilkan oleh bekerjanya secara sinergis
suatu sistem yang terdiri subsistem rumah tangga, subsistem lingkungan masyarakat,
subsistem pemerintah. Peran subsistem rumah tangga dalam pemenuhan ketahanan
pangan mencangkup pengaturan pola konsumsi pangan, pola pengadaan, dan pola
cadangan pangan.
1. Pola Konsumsi Pangan
Pola makan atau konsumsi adalah cara seseorang atau sekelompok
orang dalam memilih makanan dan mengkonsumsi makanan tersebut sebagai
reaksi fisiologis, psikologis, budaya, dan sosial. Pengaturan pola makan yang
perlu diperhatikan, meliputi frekuensi, jenis yang beranekaragam, waktu
dengan membuat jam makan tetap dan rutin sesuai kebutuhan, dan porsi atau
jumlah yang disesuaikan dengan kebutuhan (Arifin Zainul, 2015). Kosumsi
pangan mencangkup salah satu sarat ketahanan pangan rumah tangga.
28
Ketidaktahanan pangan dapat digambarkan dari perubahan pola konsumsi
yang mengarah pada penurunan kualitas dan kuantitas termasuk perubahan
frekuensi konsumsi makanan pokok (Saputri, R, 2016).
2. Pola Pengadaan Pangan
Pengadaan atau penyediaan pangan merupakan proses atau kegiatan
untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Faktor utama penyebab kerawanan
pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk menyediakan bahan pangan.
Tujuan dari pengadaan pangan yaitu untuk mendapatkan bahan makanan
dengan mutu yang baik, mampu menjaga keanekaragaman, mendapat gizi
atau nutrisi yang seimbang, serta mampu menekan keborosan pangan.
Tingkat penyediaan pangan dipengaruhi oleh; a) kemampuan produksi bahan
pangan rumah tangga, b) kemampuan daya beli bahan pangan, dan c)
ketersediaan pangan ditingkat daerah. Pengadaan pangan dapat diperoleh
dari produksi sendiri seluruh atau sebagian dari kebutuhan pangan atau
membeli. Upaya pencapaian status gizi yang baik atau optimal dimulai dengan
penyediaan pangan yang cukup (Departemen Pertanian, 2010).
3. Pola Cadangan Pangan
Cadangan pangan yang dikelola rumah tangga atau masyarakat sangat
penting dalam menjaga ketahanan pangan/mengatasi kerawanan pangan di
tingkat rumah tangga. Salah satu aspek penting dalam membangun ketahanan
pangan adalah ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup.
Ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu; 1) kemampuan
produksi dalam negeri, 2) impor pangan dan 3) pengelolaan cadangan pangan.
Cadangan pangan merupakan salah satu sumber pasokan untuk mengisi
kesenjangan antara produksi dan kebutuhan akan pangan. Fungsi dari
29
cadangan pangan adalah untuk mengantisipasi masalah pangan. Masalah
pangan adalah keadaan kelebihan pangan, kekurangan pangan, ketidak-
mampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan dan atau
keadaan darurat seperti terjadinya peristiwa bencana alam, paceklik dan
sebagainya. Fungsi cadangan pangan ditingkat rumah tangga secara individu
atau kolektif, yaitu 1) mengantisipasi terjadinya kekurangan bahan pangan, 2)
mengantisipasi ancaman gagal panen, akibat bencana alam, hama, paceklik,
dan sebagainya. Akses terhadap pangan mencangkup akses fisik dan akses
ekonomi. Akses fisik terkait dengan faktor penguasaan produksi pangan
ditingkat rumah tangga. Adapun, faktor daya beli pangan adalah refleksi dari
kemampuan akses ekonomi (Departemen Pertanian, 2010).
2.3.4 Fungsi Keluarga
Menurut Friedman (1999 dalam Sudiharto 2007), lima fungsi dasar keluarga
adalah sebagai berikut:
1. Fungsi efektif adalah fungsi internal keluarga untuk memerlukan kebutuhan
psikososial, saling mengasuh dan memberikan cinta kasih, serta saling
menerima dan mendukung.
2. Fungsi sosialisasi adalah proses perkembangan dan perubahan individu
keluarga, tempat anggota keluarga berinteraksi sosial dan belajar berperan
dilingkungan sosial.
3. Fungsi reproduksi adalah fungsi keluarga yang meneruskan kelangsungan
keturunan dan menambah sumber daya manusia.
4. Fungsi ekonomi adalah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
seperti sandang, pangan, dan papan.
30
5. Fungsi perawatan kesehatan adalah kemampuan keluarga untuk merawat
anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan.
2.3.5 Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan
Keluarga pada dasarnya mempunyai delapan tugas pokok, yaitu sebagai
pemeliharaan fisik keluarga dan peran anggotanya, pemeliharaan sumber daya yang
ada dalam keluarga, pembagian tugas masing-masing sesuai dengan kedudukan,
sosialisasi antar anggota keluarga, pengaturan jumlah anggota keluarga, penempatan
anggota keluarga dalam masyarakat, membangkitkan dorongan dan semangat anggota
keluarga (Jhonson, 2010).
Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas
dibidang kesehatan, meliputi (Suprajitno, 2004):
1. Mengenal masalah kesehatan keluarga. Kesehatan merupakan kebutuhan
keluarga yang tidak boleh diabaikan. Orang tua perlu mengenal keadaan
kesehatan dan perubahan-perubahan yang dialami anggota keluarga.
2. Memutuskan tindakan yang tepat bagi keluarga. Tugas ini merupakan upaya
keluarga yang utama untuk mencari pertolongan sesuai dengan keadaan
keluarga. Tindakan kesehatan yang dilakukan keluarga diharapkan tepat agar
masalah kesehatan dapat dikurangi atau teratasi.
3. Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan.
4. Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga.
5. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan disekitarnya bagi keluarga.
2.4 Konsep Status Gizi
2.4.1 Definisi Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2009). Menurut Sutomo (2010), status gizi adalah
31
suatu keadaan kesehatan tubuh berkat asupan zat gizi melalui makanan dan minuman
yang dihubungkan dengan kebutuhan. Selain itu, status gizi merupakan ekspresi dari
keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau dapat dikatakan bahwa
status gizi merupakan indikator baik-buruknya penyediaan makanan sehari-hari.
Status gizi yang baik diperlukan untuk mempertahankan derajat kebugaran dan
kesehatan serta membantu pertumbuhan bagi anak (Irianto, 2009).
Status gizi balita merupakan hal penting yang harus diketahui oleh setiap
orang tua. Perlunya perhatian lebih dalam tumbuh kembang pada usia balita di-
dasarkan fakta bahwa kurang gizi yang terjadi pada masa emas ini, bersifat irreversible
(tidak dapat pulih). Status gizi balita dapat digunakan sebagai salah satu indikator
untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat (Marimbi, 2010).
2.4.2 Klasifikasi Status Gizi
Kategori status gizi diperlukan untuk mengetahui manfaat status gizi pada
anak dan balita. Status gizi menurut pengukuran berat badan menurut usia (BB/U)
terbagi dalam 4 kategori, yaitu status gizi lebih, status gizi baik, status gizi kurang dan
status gizi buruk (Alamsyah, 2013):
1. Gizi Baik
Gizi baik yaitu keadaan dimana asupan zat gizi sesuai penggunaan
untuk aktifitas tubuh, keadaan gizi baik terjadi karena adanya keseimbangan
jumlah makanan yang dimakan dan yang dibutuhkan tubuh.
2. Gizi Lebih
Gizi lebih merupakan keadaan gizi seseorang yang pemenuhan
kebutuhannya melampaui batas lebih dari cukup (kelebihan) dalam waktu
yang cukup lama. Hal ini dicerminkan pada kelebihan berat badan yang terdiri
dari timbunan lemak, besar tulang dan otot/daging.
32
3. Gizi Kurang
Gizi kurang adalah gangguan kesehatan akibat kekurangan atau
ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, aktivitas
berfikir, dan semua hal yang berhubungan dengan kehidupan. Adapun
kelompok yang memiliki resiko gizi kurang, yaitu bayi dan balita (anak-anak)
serta ibu hamil.
4. Gizi Buruk
Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan
nutrisi atau nutrisinya dibawah standar rata-rata. Gizi buruk biasa terjadi pada
balita ditandai oleh membusungnya perut (busung lapar) dan merupakan
bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi. Status gizi buruk
dibagi menjadi tiga bagian, yakni; a) Marasmus, ialah gangguan gizi karena
kekurangan karbohidrat; b) Kwashiorkor, penampilan tipe kwashiorkor
seperti anak yang gemuk (suger baby), bilamana dietnya mengandung cukup
energi disamping kekurangan protein. Tampak sangat kurus dan atau edema
pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh; c) Marasmus-kwasiorkor,
merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan marasmus.
Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk
pertumbuhan yang normal.
2.4.3 Pengaruh Status Gizi terhadap Tumbuh Kembang Balita
Status gizi pada masa balita perlu mendapatkan perhatian yang serius karena
kekurangan gizi pada masa ini akan menyebabkan kerusakan yang irreversible (tidak
dapat dipulihkan). Ukuran tubuh yang pendek merupakan salah satu indikator
kekurangan gizi yang berkepanjangan pada balita. Kekurangan gizi yang lebih fatal
akan berdampak pada perkembangan otak (Proverawati, 2011).
33
Masalah balita pendek (stunting) juga merupakan gambaran adanya masalah
gizi kronis (jangka panjang). Prevalensi stunting di provinsi Jawa Timur juga masih
tinggi yaitu mencapai 17,6% berstatus pendek dan 9,5% berstatus sangat pendek,
dikatakan tinggi karena jumlah ini melebihi standar WHO yaitu mencapai 20%
(Kementrian Kesehatan RI, 2016). Selain itu, akibat kekurangan gizi dapat berdampak
pada perubahan perilaku sosial, berkurangnya perhatian dan kemampuan belajar
sehingga berakibat pada rendahnya hasil belajar. Penilaian lain juga menyimpulkan
bahwa intervensi gizi hanya akan efektif jika dilakukan selama kehamilan dan 2-3
tahun pertama kehidupan anak (BAPPENAS, 2011).
Status gizi balita dapat diketahui dengan cara mencocokkan umur anak
dengan berat badan standar sesuai pedoman. Sedangkan, parameter yang cocok
digunakan untuk pengukuran status gizi balita adalah berat badan, tinggi badan, dan
lingkar kepala. Kurang gizi ini akan berpengaruh pada perkembangan fisik dan mental
anak (Proverawati, 2011).
2.4.4 Penilaian Status Gizi pada Balita
Pemeriksaan untuk menilai status gizi dapat dibagi menjadi dua yaitu secara
langsung dan tidak langsung (Irianto, 2009).
1. Penilaian status gizi secara langsung
Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat
penilaian yaitu: antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik (Irianto, 2009).
a. Anthropometri
Pemeriksaan antropomentri dilakukan dengan cara mengukur tinggi
badan, berat badan, lingkar lengan atas, tebal lemak tubuh (triceps, biceps,
subcapula, dan suprailliaca). Beberapa indeks anthropometri yang sering di-
gunakan yaitu berat badan menurut umur (BB/U). tinggi badan menurut
34
umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), lingkar lengan
atas berdasarkan umur (LLA/U), dan indeks massa tubuh menurut umur
(IMT/U).
Mengukur status gizi dengan menggunakan Z-Score, secara sederhana
dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut umur
maupun menurut tinggi badan dengan rujurkan (standar) yang diterapkan.
Variabel BB dan TB tersebut disajikan dalam tiga indikator antropometri,
yaitu: BB/U, TB/U, serta BB/TB, yang dikonversi kedalam bentuk nilai
terstandar yaitu standar deviasi (SD) atau Z-score. Z-score adalah deviasi nilai
individu dari nilai rata-rata (median) populasi referensi, dibagi dengan standar
deviasi referensi populasi.
Tabel 2.2 Kategori Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks
Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)Berat Badan menurut Umur
(BB/U)
Anak umur 0-60 bulan
Gizi buruk < -3 SD
Gizi kurang -3 SD sampai dengan < -2 SD
Gizi baik -2 SD sampai dengan 2 SD
Gizi lebih > 2 SD
Tinggi Badan menurut Umur
(TB/U)
Anak umur 0-60 bulan
Sangat pendek < -3 SD
Pendek -3 SD sampai dengan <-2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Tinggi >2 SD
Berat Badan menurut Tinggi
Badan (BB/TB)
Anak umur 0-60 bulan
Sangat kurus < -3 SD
Kurus -3 SD sampasi dengan < -2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk >2 SD
Indek Massa Tubuh menurut
Umur (IMT/U)
Anak umur 0-60 bulan
Sangat kurus < -3 SD
Kurus -3 SD sampasi dengan < -2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk >2 SD
Sumber: Kementrian Kesehatan RI (2011).
35
b. Klinis
Pemeriksaan klinis, metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan
yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan gizi. Pemeriksaan
dilakukan pada jaringan epitel (supervisial ephitel tissue) seperti kulit, mata,
rambut dan mukosa oral. Pemeriksaan klinis bertujuan mengetahui status
kekurangan gizi dengan melihat tanda tanda khusus (Irianto, 2009).
c. Biokimia
Pemeriksaan status gizi dengan biokimia, dilakukan melalui
pemeriksaan spesimen jaringan tubuh (darah, urine, tinja, hati dan otot) yang
diuji secara laboratories terutama untuk mengetahui kadar hemoglobin,
feritin, glukosa dan kolesterol. Pemeriksaan biokimia bertujuan untuk
mengetahui kekurangan gizi secara spesifik (Irianto, 2009).
d. Biofisik
Biofisik adalah metode penentuan status gizi yang dilakukan dengan
melihat kemungkinan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan
struktur dari jaringan. Pemeriksaan biofisik bertujuan mengetahui situasi
tertentu, misalnya pada orang yang buta senja (Irianto, 2009).
2. Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung
Selain pemeriksaan status gizi secara langsung, dapat juga dilakukan
pemeriksaan secara tidak langsung yang meliputi (Irianto, 2009):
Rumus penghitungan Z-Score adalah: Nilai Individu Subyek (BB)- Nilai Median Baku Rujukan
Z-score= Nilai Simpang Baku Rujukan
36
a. Survei Konsumsi
Penilaian konsumsi makanan dilakukan dengan wawancara kebiasaan
makan dan penghitungan konsumsi makanan sehari-hari. Tujuan penilaian ini
adalah mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan gizi.
b. Statistik Vital
Pemeriksaan dilakukan dengan menganalisis data kesehatan seperti
angka kematian, kesakitan, dan kematian akibat hal-hal yang berhubungan
dengan gizi. Pemeriksaan ini bertujuan menemukan indikator tidak langsung
status gizi masyarakat.
c. Faktor Ekologi
Pengukuran status gizi didasarkan atas ketersediaan makanan yang
dipengaruhi oleh faktor ekologi (iklim, tanah, irigasi, dll). Faktor-faktor
ekologi tersebut perlu diketahui untuk mengetahui penyebab malnutrisi
masyarakat.
2.4.5 Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
Penyebab dari permasalahan status gizi kurang dan buruk diantaranya:
1. Penyebab Langsung
Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi
kurang. Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang
kurang tetapi juga penyakit. Anak yang mendapat cukup makanan tetapi
sering menderita sakit pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian
juga pada anak yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya tahan
tubuhnya akan melemah dan akan mudah terserang penyakit (Alamsyah,
2013).
37
2. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi, jika suatu keluarga memiliki pendapatan yang besar
serta cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi anggota keluarganya maka
pemenuhan kebutuhan gizi pada balita dapat terpenuhi. Sementara,
pendapatan yang rendah menyebabkan daya beli rendah dan tidak dapat
membeli pangan dalam jumlah yang diperluka sehingga berakibat pada status
gizi (Putri, dkk 2015).
3. Pendidikan Ibu
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Putri, dkk (2015)
menunjukkan bahwa balita dengan status gizi kurang lebih banyak berasal dari
kelompok ibu yang berpengetahuan rendah, hal ini karena kebutuhan dan
kecukupan gizi balita bergantung pada pengetahuan ibu dalam mengolah dan
menentukan jenis makanan yang diberikan oleh ibu.
4. Selera Makan
Selera makan anak usia balita umumnya sering naik turun. Anak bisa
melahap makanan jika sedang menyukai makanan tertentu atau tidak mau
makan makanan jika selera makananya sedang menurun. Jika berlangsung
cukup lama, kebiasaan menyukai makanan tertentu dapat menyebabkan balita
kekurangan gizi karena konsumsi makanan yang monoton (Sutomo, 2010).
2.5 Konsep Balita
2.5.1 Definisi Balita
Balita adalah anak usia kurang dari lima tahun sehingga bayi usia dibawah satu
tahun juga termasuk golongan ini. Balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua
yaitu anak usia lebih dari satu tahun sampai tiga tahun (1-3 tahun) dikenal dengan
38
batita dan anak usia lebih dari tiga tahun sampai lima tahun yang dikenal dengan usia
prasekolah (Proverawati, 2011).
Pemilihan usia 2-5 tahun dilakukan karena pada usia ini masa pertumbuhan
yang cepat, aktifitasnya tinggi, serta terjadi perubahan pola makan dari makanan bayi
ke makanan dewasa (Soetjiningsih, 2013). Pada usia ini asupan makanan sering tidak
adekuat sebab anak sudah mempunyai pilihan terhadap makanan yang disukai
termasuk jajanan, serta pada usia ini anak sudah tidak mendapat ASI (disapih)
mengakibatkan anak semakin rentan terhadap penyakit infeksi yang sering terjadi dan
dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan. Oleh karena itu, konsumsi anak harus
mendapat perhatian khusus dari orang tua baik jumlah maupun variasi dari makanan
(Kemenkes RI, 2014).
2.5.2 Pedoman Gizi Seimbang Balita Menurut Usia
Pedoman gizi seimbang berdasarkan Kementrian Kesehatan RI (2014), telah
mengelompokkan kebutuhan gizi sebagai berikut:
1. Gizi Seimbang untuk Bayi 0-6 Bulan
Gizi seimbang untuk bayi 0-6 bulan cukup hanya ASI. ASI
merupakan makanan yang terbaik untuk bayi karena ASI dapat memenuhi
semua zat gizi yang dibutuhkan bayi sampai usia 6 bulan. Oleh karena itu,
setiap bayi harus memperoleh ASI Eksklusif yang berarti sampai usia 6 bulan
hanya diberi ASI saja.
2. Gizi Seimbang untuk Anak 6-24 Bulan
Pada anak usia 6-24 bulan, kebutuhan terhadap berbagai gizi semakin
meningkat dan tidak lagi dapat dipenuhi hanya dari ASI saja. Pada usia ini,
anak berada pada periode pertumbuhan dan perkembangan yang cepat, mulai
terpapar terhadap infeksi dan secara fisik mulai aktif, sehingga kebutuhan
39
terhadap zat gizi harus terpenuhi dengan memperhitungkan aktivitas bayi/-
anak dan keadaan infeksi. Agar mencapai gizi seimbang maka perlu ditambah
Makanan Pendamping ASI atau MP-ASI, sementara ASI tetap diberikan
sampai bayi berusia 2 tahun. Pada usia 6 bulan, bayi mulai diperkenalkan
kepada makanan lain, mula-mula dalam bentuk lumat, makanan lembik dan
selanjutnya beralih ke makanan keluarga saat bayi berusia 1 tahun
(Kementrian Kesehatan RI, 2014).
Ibu sebaiknya memahami bahwa pola pemberian makanan secara
seimbang pada usia dini akan berpengaruh terhadap selera makan anak
selanjutnya, sehingga pengenalan kepada makanan yang beranekaragam pada
periode ini menjadi sangat penting. Secara bertahap, variasi makanan untuk
bayi usia 6-24 bulan semakin ditingkatkan, bayi mulai diberikan sayuran dan
buah-buahan, lauk pauk sumber protein hewani dan nabati, serta makanan
pokok sebagai sumber kalori. Demikian pula jumlahnya ditambahkan secara
bertahap dan jumlah yang tidak berlebihan dan dalam proporsi yang juga
seimbang (Kementrian Kesehatan RI, 2014).
3. Gizi Seimbang untuk Anak 2-5 Tahun
Kebutuhan zat gizi anak pada usia 2-5 tahun meningkat karena masih
berada pada masa pertumbuhan cepat dan aktivitasnya tinggi. Demikian juga
anak sudah mempunyai pilihan terhadap makanan yang disukai termasuk
makan jajanan. Oleh karena itu, jumlah dan variasi makanan harus men-
dapatkan perhatian secara khusus dari ibu atau pengasuh anak, terutama
dalam “memenangkan” pilihan anak agar memiliki makanan yang bergizi
seimbang. Disamping itu anak pada usia ini sering keluar rumah sehingga
mudah terkena penyakit infeksi dan kecacingan, sehingga perilaku hidup
40
bersih perlu dibiasakan untuk mencegahnya (Kementrian Kesehatan RI,
2014).
2.5.3 Tumbuh Kembang Balita
Tumbuh kembang merupakan manifestasi yang kompleks dari perubahan
morfologi, biokimia, dan fisiologi yang terjadi sejak konsepsi sampai maturitas
(dewasa). Pertumbuhan merupakan perubahan yang bersifat kuantitatif yaitu ber-
tambahnya jumlah, ukuran, dimensi pada tingkat sel, organ, maupun individu.
Perkembangan menyangkut proses diferensial sel tubuh, jaringan tubuh, organ, dan
sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat
memenuhi fungsinya (Soetjiningsih, 2013).
Tabel 2.3 Standar Tinggi dan Berat Badan Anak Usia 1-5 Tahun Berdasarkan NCHS (dalam median).
Usia (tahun)
Laki-laki Perempuan
Berat (kg) Tinggi (cm) Berat (kg) Tinggi (cm)1 10,2 76,1 9,5 74,3
2 12.3 85.6 11.8 84.5
3 14.6 95.6 14.1 93.5
4 16.7 102.9 16.0 101.6
5 18.7 109.3 17.7 108.4
Sumber: Rahayu, 2009.
2.5.4 Kebutuhan Gizi Balita
Balita memerlukan enam zat gizi utama untuk membantu proses
pertumbuhan dan perkembangan, diantaranya karbohidrat, protein, lemak, vitamin,
mineral dan air. Keenam macam gizi ini tidak bisa dipenuhi hanya dari satu macam
makanan saja karena tidak ada satupun makanan dari alam yang mempunyai
kandungan gizi lengkap sehingga diperlukan konsumsi makanan yang beragam
(Proverawati, 2011).
41
1. Karbohidrat
Kerbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia,
umumnya 70% dari kebutuhan energi berasal dari karbohidrat. Sumber
karbohidrat adalah padi-padian, umbi-umbian, kacang-kacangan, gula dan
hasil olahannya seperti bihun, mie, roti, selai, sirup, dan sebagainya. Sumber
karbohidrat yang banyak dimakan sebagai makanan pokok di Indonesia
adalah beras, jagung, ubi, singkong, talas, dan sagu (Almatsier, 2009).
Besar kebutuhan energi dapat dihitung dengan cara:
a. Kebutuhan energi harian (kalori) = 1000 + (100 x Usia dalam tahun)
b. Keb. energi usia 1-3 tahun= 100 kalori/kg BBI
Keb. energi usia 4-5 tahun= 90 kalori/kg BBI
BBI = (usia dalam tahun x 2) + 8
Maka, kebutuhan karbohidrat = (70% x total energi harian) : 4= x gram
2. Lemak
Lemak merupakan zat gizi yang berperan dalam pengangkut vitamin
A, D, E dan K yang larut dalam lemak. Kebutuhan lemak tidak dinyatakan
secara mutlak. WHO (1990) mengajurkan konsumsi lemak sebanyak 20-30%
dari kebutuhan energi total dianggap baik untuk kesehatan. Sumber utama
lemak adalah minyak tumbuh-tumbuhan (minyak kelapa, kelapa sawit),
mentega, margarine, dan lemak hewan (lemak daging dan ayam). Sumber
lemak lain adalah kacang-kacangan, biji-bijian, krim susu, keju dan kuning
telur (Almatsier, 2009).
Kebutuhan lemak= (20% x total energi harian) : 9= x gram
42
3. Protein
Protein merupakan zat gizi yang berfungsi khas yang tidak dapat
digantikan oleh zat gizi lain, yaitu dalam pembentukan dan pemeliharaan sel-
sel dan jaringan tubuh. Bahan makanan hewani merupakan sumber protein
yang baik, dalam jumlah maupun mutu, seperti telur, susu, daging, unggas,
ikan dan kerang. Sumber protein nabati adalah kacang kedelai dan olahannya,
seperti tempe dan tahu, serta kacang-kacangan lain (Almatsier, 2011).
Kebutuhan protein adalah sebesar 10% dari total energi harian, dapat
dihitung :
Kebutuhan protein sehari (kalori) = (10% x total energi harian) : 4 = x gr
4. Vitamin
Vitamin adalah zat-zat organik kompleks yang dibutuhkan dalam
jumlah sangat kecil dan pada umumnya tidak dapat dibentuk oleh tubuh.
Vitamin terbagi menjadi dua yaitu vitamin larut lemak (vitamin A,D, E, dan
K) dan vitamin larut air. Vitamin berperan dalam beberapa tahap reaksi
metebolisme energi, pertumbuhan, dan pemeliharaan tubuh pada umumnya
sebagai koenzim atau sebagian dari enzim (Almatsier, 2009).
5. Mineral
Sekitar 4% tubuh kita terdiri atas mineral, mineral dikelompokkan
menjadi dua kelompok besar (elemen, unsure) berdasarkan kuantumnya ialah: a)
Makro elemen yang terdapat dalam kuantum yang relatif besar, misalnya K,
Na, Ca, Mg, dan P, S serta Cl.; b) Mikro elemen, yang dalam kuantum yang
relative sedikit, seperti Fe, Cu, Co, se, Zn dan J, serta F yang benar-benar
diperlukan tubuh dan harus ada (Jauhari, 2013).