bab ii tinjauan pustaka 2.1 konsep strategi koping 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/54134/3/bab 2.pdf ·...
TRANSCRIPT
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Strategi Koping
2.1.1 Definisi Strategi Koping
Menurut Robani et,al (2017) strategi koping merupakan proses
penyesuaian diri berupa perilaku dan pikiran internal berupa sumber daya,
nilai-nilai yang dianut, dan komitmen sebagai upaya pertahanan diri dari
tuntutan eksternal yang mengancam untuk memperoleh rasa aman dan
menurunkan efek negatif yang ditimbulkan. Strategi koping merupakan usaha
mengubah pengetahuan dan perilaku seseorang secara terus menerus untuk
me-manage tuntutan spesifik internal atau eksternal yang dinilai melebihi
kemampuan seseorang. Setiap orang memiliki respon untuk mengurangi
stress bila mendapatkan tekanan berlebihan. Hal inilah yang dimaksud dengan
usaha koping stress, sehingga setiap orang memiliki koping stress yang
berbeda (Nur Fitriana, 2014).
Menurut pendapat lain oleh Maryam (2017) bahwa definisi koping
adalah perilaku yang terlihat dan tersembunyi yang dilakukan seseorang untuk
mengurangi atau menghilangkan ketegangan psikologi dalam kondisi yang
penuh stress. Strategi koping bertujuan untuk mengatasi situasi dan tuntutan
yang dirasa menekan, menantang, membebani dan melebihi sumberdaya
(resources) yang dimiliki. Sumberdaya koping yang dimiliki seseorang akan
mempengaruhi strategi koping yang akan dilakukan dalam menyelesaikan
berbagai permasalahan.
11
Sedangkan dalam jurnal penelitian menurut Ismiati (2015) dikatakan
bahwa strategi koping merupakan suatu tingkah laku dimana individu
melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya dengan tujuan
menyelesaikan tugas atau masalah. Strategi koping merupakan suatu proses
dinamis dari suatu pola tingkah laku maupun pikiranpikiran yang secara sadar
digunakan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan dalam situasi yang menekan
dan menegangkan. Banyak definisi yang dilontarkan oleh para pakar psikologi
dalam mengartikan koping. Koping merupakan suatu cara yang dilakukan
individu untuk mengatasi situasi atau masalah yang dialami, baik sebagai
ancaman atau suatu tantangan yang menyakitkan. Umumnya koping strategi
dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengatasi berbagai
permasalahan yang melingkupi kehidupannya.
Beberapa definisi tentang strategi koping diatas dapat disimpulkan
bahwa strategi koping adalah proses penyesuaian diri berupa perilaku dan
pikiran internal berupa sumber daya, nilai-nilai yang dianut, dan komitmen
sebagai wujud untuk mengurangi atau menghilangkan ketegangan psikologi
dalam kondisi yang penuh stress, baik sebagai ancaman atau suatu tantangan
yang menyakitkan.
2.1.2 Jenis-jenis Strategi Koping
Strategi koping bertujuan untuk mengatasi situasi dan tuntutan yang
dirasa menekan, menantang, membebani dan melebihi sumberdaya
(resources) yang dimiliki. Sumberdaya koping yang dimiliki seseorang akan
mempengaruhi strategi kopingyang akan dilakukan dalam menyelesaikan
berbagai permasalahan. Secara umum penanganan stress atau fokus dari
strategi koping dapat dibagi mejadi dua bentuk menurut Maryam (2017) yaitu:
12
a. Strategi Koping Berfokus Pada Masalah
Strategi ini adalah salah satu bentuk strategi kognitif. Individu
yang menggunakan strategi ini akan mencari sumber solusi dengan
berpikir secara logis dan dapat memecahkan masalahnya secara positif.
Individu akan cenderung menggunakan perilaku ini bila dirinya menilai
masalah yang dihadapinya masih dapat dikontrol dan dapat diselesaikan.
Strategi koping yang berpusat pada masalah cenderung dilakukan jika
individu merasa bahwa sesuatu yang kontruktif dapat dilakukan terhadap
situasi tersebut atau ia yakin bahwa sumberdaya yang dimiliki dapat
mengubah situasi. Sebagai contoh berikut yang termasuk strategi koping
berfokus pada masalah:
i. Confrontative koping atau konfrontasi yaitu usaha-usaha untuk
mengubah keadaan atau menyelesaikan masalah secara agresif dengan
menggambarkan tingkat kemarahan serta pengambilan resiko.
Dimana seseorang menentang masalah atau kesulitan dengan
berhadapan langsung dan secara terang-terangan. Bereaksi untuk
mengubah keadaan yang dapat menggambarkan tingkat risiko yang
harus diambil. Contohnya, seseorang yang melakukan confrontative
koping akan menyelesaikan masalah dengan melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan aturan yang berlaku walaupun kadang kala
mengalami resiko yang cukup besar.
ii. Planful problem solving yaitu bereaksi dengan melakukan usaha-usaha
tertentu yang bertujuan untuk mengubah keadaan, diikuti pendekatan
analitis dalam menyelesaikan masalah. Contohnya, seseorang yang
melakukan planful problem solving akan bekerja dengan penuh
13
konsentrasi dan perencanaan yang cukup baik serta mau merubah
gaya hidupnya agar masalah yang dihadapi secara berlahan-lahan
dapat terselesaikan.
iii. Seeking social support atau kompromi yaitu mengubah keadaan secara
hati-hati, meminta bantuan kepada keluarga dekat dan teman sebaya
atau bekerja sama dengan mereka. Suatu sikap untuk mendapatkan
kenyamanan emosional dan informasi dari orang lain, bereaksi dengan
mencari dukungan dari pihak luar, baik berupa informasi, bantuan
nyata, maupun dukungan emosional. Contohnya, seseorang yang
melakukan seeking social support akan selalu berusaha menyelesaikan
masalah dengan cara mencari bantuan dari orang lain di luar keluarga
seperti teman, tetangga, pengambil kebijakan dan profesional,
bantuan tersebut bisa berbentuk fisik dan non fisik.
b. Strategi Koping Berfokus Pada Emosi
Emotion focused coping adalah strategi penanganan stress dimana
individu memberikan respon terhadap situasi stress dengan cara
emosional. Individu yang menggunakan emotion-focused koping lebih
menekankan pada usaha-usaha untuk menurunkan atau mengurangi
emosi negatif yang dirasakan ketika menghadapi masalah. Strategi koping
yang berpusat pada emosi cenderung dilakukan bila individu merasa tidak
dapat mengubah situasi yang menekan dan hanya dapat menerima situasi
tersebut karena sumber daya yang dimiliki tidak mampu mengatasi situasi
tersebut.
i. . Positive reappraisal (memberi penilaian positif) adalah bereaksi dengan
menciptakan makna positif yang bertujuan untuk mengembangkan
14
diri termasuk melibatkan diri dalam hal-hal yang religius. Contohnya,
seseorang yang melakukan positive reappraisal akan selalu berfikir positif
dan mengambil hikmahnya atas segala sesuatu yang terjadi dan tidak
pernah menyalahkan orang lain serta bersyukur dengan apa yang
masih dimilikinya.
ii. Accepting responsibility (penekanan pada tanggung jawab) yaitu bereaksi
dengan menumbuhkan kesadaran akan peran diri dalam permasalahan
yang dihadapi, dan berusaha mendudukkan segala sesuatu
sebagaimana mestinya. Contohnya, seseorang yang melakukan
accepting responsibility akan menerima segala sesuatu yang terjadi
saat ini sebagai nama mestinya dan mampu menyesuaikan diri dengan
kondisi yang sedang dialaminya.
iii. Self controlling (pengendalian diri) yaitu bereaksi dengan melakukan
regulasi baik dalam perasaan maupun tindakan. Contohnya, seseorang
yang melakukan koping ini untuk penyelesaian masalah akan selalu
berfikir sebelum berbuat sesuatu dan menghindari untuk melakukan
sesuatu tindakan secara tergesa-gesa
iv. Distancing (menjaga jarak) agar tidak terbelenggu oleh permasalahan.
Individu berusaha menarik diri dari lingkungan atau tidak mau tahu
dengan masalah yang dihadapi. Contohnya, seseorang yang
melakukan koping ini dalam penyelesaian masalah, terlihat dari
sikapnya yang kurang peduli terhadap persoalan yang sedang dihadapi
bahkan mencoba melupakannya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-
apa.
15
v. Escape avoidance (menghindarkan diri) yaitu menghindar dari masalah
yang dihadapi. Contohnya, seseorang yang melakukan koping ini
untuk penyelesaian masalah, terlihat dari sikapnya yang selalu
menghindar dan bahkan sering kali melibatkan diri kedalam
perbuatan yang negatif seperti tidur terlalu lama, minum obat-obatan
terlarang dan tidak mau bersosialisasi dengan orang lain.
2.1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Strategi Koping
Berbagai faktor dan masalah juga mempengaruhi pemilihan strategi
koping individu. Faktor-faktor tersebut antara lain kesehatan fisik, pandangan
positif terhadap masalah yang dialami, ketrampilan memecahkan masalah,
dukungan sosial, dan juga materi. Berikut penjelasan terkait faktor tersebut
menurut Fauziah, dkk (2015):
a. Kesehatan Fisik
Apabila terjadi gangguan kesehatan maka badan atau jiwa individu
tersebut tidak produktif. Gangguan fisik atau gangguan kesehatan dapat
terjadi kaena penurunan daya tahan tubuh seseorang sehingga orang itu
tidak dapat melakukan aktivitasnya. Gangguan fisik/kesehatan sering
diakibatkan oleh timbulnya suatu penyakit dalam tubuh sehingga
penanganannya sangat memerlukan tenaga medis untuk melakukan
pengobatan. Individu yang mengalami gangguan kesehatan fisik akan
mempengaruhi pemilihan strategi koping yang akan digunakan.
b. Pandangan positif terhadap masalah yang dialami
Berpikir positif dalam menghadapi situasi yang sedang terjadi akan
menolong seseorang untuk menghadapinya secara efektif. Cara
menghadapi suatu masalah dengan mengambil hikmah dibalik masalah
16
yang dihadapi sehingga tidak menimbulkan konflik/pertentangan, dan
jika dicermati semuanya mengarah kepada suatu keadaan atau kesediaan
untuk menerima masalah yang dihadapi agar tidak terjadi perselisihan
yang lebih mendalam.
c. Ketrampilan memecahkan masalah
Memecahkan masalah adalah metode belajar yang mengharuskan pelajar
untuk menemukan jawabannya (discovery) tanpa bantuan khusus. Dalam
memecahkan masalah pelajar menemukan aturan baru yang lebih tinggi
tarafnya sekalipun ia mungkin tidak dapat merumuskannya secara verbal.
Menyelesaikan pemecahan masalah diperlukan aturan kompleks atau
aturan tingkat tinggi dan aturan tingkat tinggi dapat dicapai setelah
menguasai aturan dan konsep terdefinisi.
d. Dukungan social
Dukungan sosial adalah dukungan atau bantuan yangh berasal dari orang
yang memiliki hubungan sosial akrab dengan individu yang menerima
bantuan. Bentuk dukungan ini dapat berupa infomasi, tingkah laku
tertentu, ataupun materi yang dapat menjadikan individu yang menerima
bantuan merasa disayangi, diperhatikan dan bernilai. Diharapkan dengan
adanya dukungan sosial maka seseorang akan merasa diperhatikan,
dihargai dan dicintai.
e. Materi
Dukungan ini meliputi sumber daya daya, setiap sumber daya memiliki
kegunaan yang lebih spesifik dan memiliki ciri tersendiri, ada yang
berguna bagi kehidupan di daerah itu sendiri dan ada yang berguna bagi
17
daerah lain. Sumber daya pada materi ini berupa uang, barang-barang atau
layanan yang biasanya dapat dibeli.
2.1.4 Aspek-aspek Strategi koping
Beberapa aspek-aspek dalam strategi koping sangat perlu diketahui.
Berikut penjelasan masing-masing aspek Srategi Koping menurut Hakim &
Rahmawati (2015):
a. Keaktifan diri
Dapat digambarkan suatu tindakan yang berguna untuk mencoba
menghilangkan atau mengelabuhi penyebab stres dan juga bisa disebut
memperbaiki akibatnya dengan cara langsung. Sebagai contoh adalah
individu yang mempunyai penyakit DM, seseorng tersebut sadar bahwa
mempunya penyakit DM maka dari itu bentuk keaktifan dirinya adalah
dengan melakukan kontrol rutin dan melakukan pembatasan makanan
yang harus dihindari pasien DM.
b. Perencanaan
Dalam perencanaan ini individu melakukan hal yaitu berpikir tentang
bagaimana mengatasi penyebab stress, dimana individu tersebut mampu
merancang strategi untuk apa saja yang akan dilakukan (bertindak),
memikirkan secara matang bagaimana langkah-langkah yang akan diambil
untuk menyelesaikan atau menangani suatu masalah yang akan di
hadapinya.
c. Kontrol diri
Suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan
mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah
konsekuensi positif. Selain itu kontrol diri juga menggambarkan
18
keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitif untuk
menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil
d. Mencari dukungan sosial yang bersifat instrumental
Individu dengan cara tersebut diartikan bahwa dukungan sosial sangatlah
berguna bagi individu tersebut. Contoh dalam hal ini adalah dengan
menerima nasihat yang diberikan orang lain, menerima berbagai informasi
dengan baik dan bantuan berupa apapun yang diberikan oleh orang lain.
e. Mencari dukungan sosial yang bersifat emosional
Berbeda dengan dukungan social yang bersifat instrumental, dalam
dukungan social yang bersifat emosional ini individu lebih memerlukan
dukungan berupa dukungan moral, simpati dari orang lain serta
pengertian tentang bagaimana masalah tau stress yag dirasakannya.
f. Penerimaan
Diartikan sebagai suatu sikap memandang diri sendiri sebagaimana
adanya dan memperlakukannya secara baik disertai rasa senang serta
bangga sambil terus mengusahakan kemajuannya. Dimana ketika individu
tersebut memiliki masalah yang membuat dirinya begitu merasakan stress
tetapi keadaan memaksa dirinya untuk mengatasi dan menyelesaikan
masalah tersebut.
g. Religiusitas
Apabila individu memiliki masalah yang kadangkala bisa membuatnya
sampai stress secara berlebihan, namun individu tersebut mempunyai cara
atau sikap tersendiri dalam menenangkan dan mengatasi masalah dirinya
melalui beribadah atau melakukan hal-hal yang bersifat religious atau
keagamaan.
19
2.2 Konsep Keluarga
2.2.1 Pengertian Keluarga
Menurut Rustina (2014) bahwa keluarga diartikan sebagai suatu unit
terkecil dari masyarakat yang menurut tipenya dibagi menjadi dua yaitu
keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang disebut dengan nuclear family
dan keluarga besar yang disebut dengan extended family. Keluarga juga dapar
diartikan sebagai suatu kelompok dengan kedekatan yang sangat erat,
bertempat tinggal bersama dan merupakan bagian dari masyarakat yang
mempunyai peram dalam suatu organisasi kemasyarakatan serta melakukan
sosialisasi.
Banyak para ahli menguraikan pengertian dari keluarga, dikutip dari
buku Abi Muhlisin (2012) sebagai berikut; Keluarga merupakan persekutuan
dua orang atau lebih individu yang terkait oleh darah, perkawainan atau
adopsi yang membentuk suatu rumah tangga yang saling berhubungan dalam
lingkup peraturan keluarga serta menciptakan dan memelihara budaya
(Tinkhan & Voorhies, 1977). Sedangkan menurut pakar lain mengatakan
bahwa pengertian dari keluarga adalah sekelompok manusia yang terikat
dengan emosi, yang biasanya hidup bersama dalam rumah tangga (Leavitt,
1982).
Sehingga dari pendapar para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa
definisi dari keluarga adalah kumpulan dua individu atau lebih yang terikat
oleh darah, perkawinan, atau adopsi yang tinggal dalam satu rumah atau jika
terpisah tetap memperhatikan satu sama yang lain.
20
2.2.2 Fungsi Keluarga
Ada beberapa uraian tentang fungsi keluarga yang dikemukakan oleh
Setiadi dan Kolip (2011) yaitu sebagai berikut:
a. Fungsi Pengatur Keturunan : salah satu fungsi keluarga yang tidak kalah
pentingnya dengan fungsi yang lain adalah fungsi seksual sebagai upaya
untuk mempertahankan kontinuitas keluarga selama bebera[a generasi
dan untuk keberlangsungan hidup masyarakat.
b. Fungsi Sosialisai / Pendidikan : dalam keluarga khususnya untuk orangtua
diwajibkan mendidik dengan baik pada anak-anaknya. Mendidik dan
mengajarkan tentang bagaimana bersosialisasi serta memberikan bekal
nilai-nilai sosial yang berlaku dalam kehidupan keluarga dan
bermasyarakat.
c. Fungsi Ekonomi / Unit Produksi : pembagian kerja untuk melaksanakan
produksi barang dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari juga sangat perlu
bagi anggota-anggota keluarga sehingga dengan kegiatan tersebut dapat
menunjang perekonomiannya. Serta mengelola ekonomi keluarga supaya
terjadi keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara pemasukan dan
pengeluaran keluarga.
d. Fungsi Pelindung : Melindungi setiap anggota keluarga adalah fungsi
keluarga yang sangat penting. Dimana hal tersebut sangat berperan dalam
menjauhkan bahaya dari anggota keluarga itu sendiri. Sehingga dapat
memenuhi kebutuhan rasa aman anggota keluarga, baik rasa tidak aman
yang timbul dari dalam maupun dari luar keluarga.
e. Fungsi Penentuan Status : setiap keluarga satu dengan yang lainnya
memiliki status yang berbeda-beda, maka keluarga akan mewarisi
21
statusnya pada tiap-tiap anggota sehingga tiap anggota keluarga memiliki
hak-hak yang istimewa.
f. Fungsi Pemeliharaan : setiap keluarga memiliki kewajiban umtuk
memelihara anggota keluarga yang sakit, menderita dan mengayomi yang
sudah tua atau yang membutuhkan perhatian khusus sehingga dengan
memelihara tersebut mereka akan merasakan kebahagiaan hidup.
g. Fungsi Efeksi : salah satu kebutuhan dasar manusia adalah mebdapatkan
kasih dan sayang atau rasa dicintai, baik oleh orang tua, saudara dan
anggota keluarga yang lainnya (Leis, 2013).
2.2.3 Ciri Struktur Keluarga
Keluarga merupakan suatu sistem interaksi emosional yang diatur
secara kompleks dalam posisi, peran, dan aturan atau nila-nilai yang menjadi
dasar struktur atau organisasi keluarga. Struktur keluarga tersebut memiliki
ciri-ciri antara lain:
a. Terorganisasi
Keluarga merupakan cerminan organisasi dimana hal tersebut
dikarenakan setiap anggota keluarga mempunyai peran dan fungsinya
masing-masing untuk mencapai tujuan pada keluarga tersebut. Setiap
anggota yang menjalankan peran dan fungsinya juga saling berhubungan
dan saling bergantung satu sama lain.
b. Keterbatasan
Setiap anggota keluarga wajib melakukan peran dan fungsinya sekaligus
juga mendapat kebebasan. Tetapi, setiap kebebasan pada setiap anggota
keluarga juga memiliki keterbatasan dalam menjalankan peran dan
fungsinya masing-masing.
22
c. Perbedaan dan Kekhususan
Setiap anggota keluarga memiliki peran dan fungsinya masing-masing.
Peran dan fungsi tersebut cenderung berbeda dank has yang
menunjukkan adanya ciri perbedaan dan kekhususan. Misalnya saja ayah
sebagai pencari nafkah dan ibu yang bertugas merawat anak-anak
(Widyanto, 2014)
2.3 Konsep Lanjut Usia
2.3.1 Pengertian Lanjut Usia
Lanjut usia atau lansia merupakan individu yang berada dalam tahap
usia late adulthood atau yang biasa disebut dengan tahapan usia dewasa akhir,
usia tersebut berkisar mulai umur 60 tahun ke atas. (Widyanto, 2015). Sejalan
dengan pendapat Suadirman (dalam Mulyono, 2015) lanjut usia merupakan
seseorang yang mengalami proses menua yang ditandai dengan bertambahnya
umur. Dimana hal ini seseorang juga mengalami penurunan kondisi fisik
maupun non fisik secara alamiah sehingga seseorang tersebut akan mengalami
penurunan produktivitas dalam melakukan kegiatannya sehari-hari.
Menurut beberapa ahli yang dikemukakan pada buku Efendi &
Makhfudli (2013) bahwa; Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998
salam Bab I Pasal 2 yang berbunyi “Lanjut Usia adalah seseorang yang
mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. Menurut WHO seseorang
dikatakan lanjut usia apabila sudah mencapai umur kisaran 60-74 tahun. Pada
buku tersebut juga dijelaskan bahwa masa lanjut usia (geriatric age) sendiri
dibagi menjadi tiga batasan umur yaitu young old (70-75 tahun), old (75-80
tahun), dan very old (>80 tahun).
23
Berdasarkan penjelasan beberapa para ahli diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa lansia merupakan suatu tahap akhir dari rentang hidup
seseorang, dimana seseorang dapat diaktakan lansia apabila telah mencapai
umur 60 tahun ke atas.
2.3.2 Tipe- tipe Lanjut Usia
Lansia memiliki berbagai macam tipe yang dipengaruhi oleh karakter,
pengalaman hidup, mental, sosial, mampu menyesuaikan diri dari perubahan,
lingkungan serta ekonomi. Berikut ini adalah tipe lansia yang umum yaitu :
a. Tipe arif bijaksana, ditandai dengan lansia yang memiliki sifat yang
mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai
kesibukan, mampu bersosialisasi, memenuhi undangan, dermawan,
memiliki banyak pengalaman, hikmah dan mampu menjadi panutan.
b. Tipe mandiri, ditandai dengan lansia yang memiliki sikap mudah bergaul
dengan teman, mampu mengganti kegiatan yang hilang dengan kegiatan
baru dan mampu selektif mencari pekerjaan.
c. Tipe tidak puas, ditandai dengan lansia yang memiliki sifat tidak sabar,
sulit dilayani, banyak mengkritik, banyak menuntut dan memiliki konflik
lahir batin dengan menentang proses penuaan sehingga menjadi individu
yang pemarah.
d. Tipe pasrah, ditandai dengan lansia yang memiliki sikap yang mampu
menerima keadaan serta menunggu nasib baik, ikut serta dalam kegiatan
keagamaan dan melakukan pekerjaan apa saja.
e. Tipe bingung, ditandai dengan sikap lansia yang lebih suka mengasingkan
diri, acuh tak acuh, mengasingkan diri dan kehilangan kepribadian.
(Widyanto, 2014).
24
2.3.3 Perubahan Pada Lanjut Usia
Proses penuaan pada lansia menyebabkan perubahan signifikan pada
fungsi biologis maupun perilaku. Berikut ini adalah perubahan yang dialami
oleh lansia, yaitu:
a. Perubahan Fungsi Biologis
Bertambahanya usia menyebabkan lansia mengalami berbagi macam
perubahan yang sifatnya biologis, seperti:
i. Perubahan Penampilan Fisik
Salah satu dampak dari proses penuaan pada lasnia adalah
penampilan kulit individu, seperti munculnya kerutan dan noda hitam.
Lansia juga mengalami perubahan pada struktur wajah, perkembangan
lapisan telinga maupun hidung, rambut yang mulai tipis dan memutih.
Selain itu juga lansia akan mengalami pengurangan tinggi badan yang
kemudian menyebabkan penekanan pada lapisan tulang belakang.
Pengurangan kepadatan tulang yang semakin cepat sering dialami wanita
setelah menopause, dan hal ini dapat meningkat osteoporosis.
ii. Perubahan Sistem Sensori
Perubahan sensori pada lansia ditandai dengan perubahan indera
pembauan, perasa, penglihatan dan pendengaran. Perubahan pada indera
pembauan dan perasa dapat mempengaruhi kemampuan lansia dalam
mempertahankan nutrisi yang adekuat. Perubahan sensitivitas sentuhan
yang dapat terjadi pada lansia seperti berkurangnya kemampuan neuron
sensori yang secara efeisien memberikan sinyal deteksi, lokasi dan
identifikasi sentuhan atau tekanan pada kulit. Selain itu juga berkurangnya
25
kemampuan memperabiki pergerakan pada lansia yang dapat
mengakibatkan ketidakseimbangan dan jatuh.
Gangguan visual yang biasa terjadi pada lansia seperti
ketidakmampuan memfokuskan objek dalam jarak daekat atau rabun
dekat (presbyopia) dan berkurangnya kecepatan memproses informasi
visual. Gangguan pada mata paling sering muncul pada lansia adalah
katarak dan glaukoma. Lansia juga mengalami penyempitan lapang
pandang yang menyebabkan berkurangnya kemampuan melihat
lingkungan sekitar.
Penurunan kemampuan mendengar biasanya dimulai pada usia
dewasa tengah yaitu usia 40 tahun. Penurunan kemampuan mendengar
pada lansia tersebut terjadi sebagai hasil dari perubahan telinga bagian
dalam. Seperti kerusakan cochlea atau reseptor syaraf primer, timbulnya
suara berdengung secara terus menerus (tinnitus) dan kesulitan suara
bernada tinggi (presbycusis).
iii. Perubahan Pada Otak
Penurunan pada otak pada individu biasanya dimulai dari umur 30
tahu. Penurunan berat tersebut awalnya terjadi secara perlahan kemudian
semakin cepat. Dampak yang terjadi pada penurunan ini adalah
pengurangan ukuran neuron, penurunan kecepatan pada koordinasi fisik
dan kognitif dapat terjadi jika penurunan berat otak disertai dengan
berkurangnya lapisan otak.
iv. Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Perubahan yang terjadi pada sistem musculoskeletal pada lansia
adalah berkurangnya massa dan kekuatan otot serta berkurangnya massa
26
dan kekuatan tulang. Lansia mengalami gangguan pada aktivitas seperti
mengalami penurunan kekuatan gangguan tangan, kekuatan kaki
berkurang pada pria, genggaman tangan dan kekuatan kaki pada wanita.
Faktor resikonya adalah berkurangnya kekuatan otot, kelenturan dan
koordinasi, terbatasnya rentang gerak sendir, meningkatnya resiko jatuh
dan fraktur pada lansia.
b. Perubahan Fungsi Kognitif
Kemampuan kognitif pada lansia dipengaruhi oleh faktor
personal dan lingkungan seperti tingkat pendidikan, persepsi diri dan
pengharapan, serta status kesehatan mental seperti kecemasan dan
depresi. Perubahan fungsi kogmitif pada lansia seperti fungsi daya ingat,
fungsi intelektual dan kemampuan untuk belajar. Lansia memiliki
kelemahan dalam memngingat dalam jangka pendek (shirt term memory)
tetapi tidak dengan kemampuan mengingat masa lampau (long term memory.
Daya kreativitas dan kemampuan memecahkan masalh kehidupan sehari-
hari tidak mengalami perubahan.
c. Perubahan Fungsi Psikososial
Lansia cenderung mengalami banyak perubahan terkait faktor
psikososial. Ketika anak telah berpindah tempat tinggal yang berbeda dan
lansia hidup mandiri, biasanya lansia akan mengalami kehilangan yang
mendalam. Lansia yang masih memiliki pasangan cenderung lebih
sejahtera dibandingkan dengan lansia yang tidak berpasangan, terutama
pada wanita. Berkaitan dengan hubungan psikososial lansia menjadi
semakin banyak menghabiskan waktu di rumah akibat dari kondisi
27
kesehatan atau lainnya seperti dukungan sosial yang tidak lagi adekuat
(Widyanto, 2014).
2.4 Konsep Activity of Daily Living (ADL)
2.4.1 Pengertian Activity of Daily Living (ADL)
ADL (Activity of Daily Living) merupakan pekerjaan atau aktivitas yan
dilakukan sehari-hari dan aktivitas pokok untuk perawatan bagi diri. ADL
tersebut adalah salah satu alat ukur untuk menilai kapasitas fungsional
seseorang dengan menanyakan aktivitas kehidupan sehari-hari, untuk
mengetahui lanjut usia yang membutuhkan pertolongan untuk memenuhi
aktivitas kehidupan sehari-hari. ADL juga berfungsi untuk mengetahui
adanya kerapuhan dan ketidak mampuan lanjut usia melakukan aktivitasnya
secara mandiri dan yang membutuhkan perawatan (Gallo dkk, 1998 dalam
Wulandari, 2014).
Adapun menurut pendapat lain yaitu pendapat dari Brunner &
Suddart (2002) bahwa ADL (Activity of Daily Living) adalah aktivitas
perawatan diri yang harus dikerjakan dalam kehidupan sehari-hari, yang
dimana berupa keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh seseorang untuk
merawat dirinya sendiri secara mandiri dan yang bertujuan untuk memenuhi
perannya secara pribadi, dalam keluarga dan juga masyarakat.
ADL (Activity of Daily Living) merupakan kegiatan atau pekerjaan rutin
yang dilakukan oleh seseorang dalam memenuhi kebutuhan kesehariannya.
ADL yang dimaksud adalah yang meliputi makan, minum, berpakaian
(berdandan), mandi, pergi ke toilet dan berpindah tempat (Hardywinito &
Setiabudi, 2005)
28
Menurut pengertian ADL (Acitivity if Daily Living) dari beberapa
seumber tersebut dapat disimpulkan bahwa ADL (Activity of Daily Living)
merupakan kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan sehari hari untuk
memenuhi kebutuhan perawatan diri dan kesehariannya.
2.4.2 Macam-Macam Activity of Daily Living (ADL)
Menurut Sugiarto (2005) ADL (Activity of Daily Living) memiliki empat
macam dan berikut beserta penjelasannya:
a. ADL Dasar
ADL dasar yaitu sebuah keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh
seseorang untuk emmenuhi kebutuhan sehari hari seperti makan,
minum, mandi, berdandan dan toileting. Adapun yang memasukkan
kontinensi buang air besar dan buang air kecil dalam kategori dasar ini.
Dalam kepustakaan lain juga disertakan kemampuan mobilitas.
b. ADL Instrumen
ADL Instrumen yaitu ADL yang berhubungan dengan penggunaan alat
atau benda penunjang kehidupan sehari-hari seperti menyiapkan
makanan, menggunakan telepon, menulis, mengetik, mengelola uang
kertas. ADL
c. ADL Vokasional
ADL vokasional yaitu aktivitas yang dimana seseorang melakukan suatu
kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan atau kegiatan diluar
rumah.
d. ADL Non Vokasional
ADL non vokasional yaitu ADL yang bersifat rekreasional, hobi dan
mengisi waktu luang (Sugiarto, 2005).
29
2.4.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Activity Of Daily Living (ADL)
Pada Lansia
Adapun beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi ADL pada lansia
menurut Caroline & Merry (2017) seperti yang dijelaskan sebagi berikut:
a. Ketersediaan makanan
b. Kemampuan klien untuk membeli, berbelanja dan mempersiapkan
makanan
c. Kondisi kesehatan yang mengubah kebutuhan nutrisi
d. Kesehatan oral
e. Pola eliminasi
f. Kemandirian dalam makan
g. Mood dan status mental
h. Tingkat energi
i. Aktivitas
j. Pilihan budaya
k. Makanan yang disukai dan tidak disukai
l. Efek medikasi
m. Adanya gejala (misal : nyeri, sesak napas, mual).
2.4.4 Aktivitas Yang Meningkatkan Harga Diri Pada Lansia
Menurut Caroline & Mary (2017) dalam bukunya yang berjudul “Buku
Ajar Keperawatan Dasar” menjelaskan bahwa ada beberapa aktivitas yang
meningkatkan harga diri pada lansia seperti sebagai berikut:
a. Melakukan kehidupan sosial yang aktif bersama orang-orang dari segala
usia. Tempat ibadah biasanya memiliki perkumoulan sosial. Pusat warga
30
lansia sering kali mengadakan aktivitas yang tepat dan mendorong klien
untuk bertemu dengan klien lain.
b. Kembali ke sekolah: program edukasional menstimulasi pikiran dan
memberikan kesempatan klien untuk bersosialisasi.
c. Bergabung dengan kelompok pendukung. Berbagai perhatian, dan
mendapatkan wawasan dari orang lain dalam kelompok.
d. Menjadi sukarelawan di rumah sakit local atau orgnaisai sipil. Beberapa
komunitas memiliki layanan penitipan anak atau pusat perawatan harian
yang dilakukan oleh lansia.
e. Memelihara hewan peliharaan. Hal ini akan menumbuhkan perasaan
diperlukan dan mendukung persahabatan.
f. Bekerja paruh waktu. Banyak perusahaan mendorong lansia untuk kembali
bekerja. Pegawai lansia dapat dipercaya dan dapat dihandalkan. Aktivitas
ini juga bersifat teraupetik bagi seseorang karena mereka memiliki tempat
yang dituju dan memiliki tanggung jawab serta kebanggan karena memiliki
pekerjaan.
g. Mempertahankan praktik kesehatan yang baik (diet seimbang, olahraga
dan istirahat yang adekuat).