bab ii tinjauan pustaka 2.1 kontrasepsi hormonal …erepo.unud.ac.id/17379/3/1102106033-3-15_bab...
TRANSCRIPT
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kontrasepsi Hormonal
2.1.1 Definisi
Kontrasepsi adalah upaya untuk mencegah kehamilan. Upaya itu bersifat
sementara, dapat pula bersifat permanen (Murti, 1996 dalam Amelia, 2009).
Kontrasepsi hormonal adalah kontrasepsi yang menggunakan hormon steroid
(estrogen, progesteron dan derivatnya) yang dimasukkan dalm tubuh sehingga
mencegah terjadinya ovulasi pada seorang wanita. Untuk mencapai tujuan
tersebut, kontrasepsi hormonal dapat dilakukan dalam berbagai cara, antar lain
penggunaan obat per oral, suntikan, intra-vaginal atau implantasi subkutan. Pil
hormonal yang dipakai sekarang adalah tidak terbuat dari estrogen dan
progesteron alamiah, melainkan dari steroid sintetik (Rohman, 2003 dalam
Amelia 2009). Estrogen yang terkandung pada kontrasepsi hormonal
menyebabkan retensi air dan edema. Estrogen sendiri akan bertambah sehingga
dapat meningkatkan deposit lemak dijaringan subkutan. Sedangkan progesteron
mempermudah penumpukan karbohidrat dan gula menjadi lemak dan merangsang
nafsu makan serta menurunkan aktivitas fisik. Progesteron merangsang pusat
pengendalian nafsu makan di hipotalamus (Clark, 2005).
10
2.1.2 Jenis dan Kandungan Kontrasepsi Hormonal
1) Kontrasepsi Oral
Dikenal empat tipe kontrasepsi oral yakni tipe kombinasi, tipe sekuensial,
pil mini, dan pil pascasenggama (morning after pill). Tetapi yang banyak
digunakan sampai saat ini tipe kombinasi dan pil mini. Tipe kombinasi ialah yang
mula-mula dikenal dan efektifitasnya paling tinggi karena itu tipe inilah yang
sampai sekarang paling banyak digunakan (Hartanto, 2004) :
a) Tipe Kombinasi
Tipe ini terdiri dari 21-22 pil dan setiap pilnya berisi derivat estrogen 50-
150 mcg dan progestin dosis kecil 1-10 mcg, untuk penggunaan satu siklus.
Pil pertama mulai diminum pada hari 1 pendarahan haid, selanjutnya setiap
hari 1 pil selama 21-22 hari. Umumnya 2-3 hari sesudah pil terakhir diminum,
akan timbul pendarahan haid yang sebenarnya merupakan pendarahan putus
obat (withdrawal bleeding). Penggunaan pada siklus berikutnya sama seperti
siklus sebelumnya, yaitu pil pertama ditelan pada hari ke 1 pendarahan haid
(Hartanto, 2004).
b) Tipe Sekuensial
Tipe ini terdiri dari 14-15 pil yang hanya berisi derivat estrogen dan 7 pil
berikutnya berisi kombinasi estrogen dan progestin. Cara penggunaannya
sama dengan tipe kombinasi. Efektifitasnya sedikit lebih rendah dan lebih
sering menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan bila dibandingkan dengan
tipe kombinasi. Oleh karena itu, di beberapa Negara tipe ini ditarik dari
peredaran. Di Indonesia pil jenis ini belum pernah beredar (Hartanto, 2004).
11
c) Tipe Pil Mini
Tipe ini hanya berisi derivat progestin dosis rendah yakni 0.5 mg atau
lebih kecil, noretindron, atau norgestrel dosis kecil yang terdiri dari 21-22
tablet. Cara pemberiannya sama dengan tipe kombinasi (Hartanto, 2004).
d) Pil Pasca senggama
Tipe ini berisi dietilstilbestrol 25 mg, diminum 2 kali sehari dalam waktu
kurang dari 72 jam pasca senggama selama 5 hari berturut-turut. Pil ini dapat
mengurangi risiko kehamilan setelah hubungan intim yang tidak dijaga dengan
efek samping mual dan gangguan siklus menstruasi (Herman, 2008).
2) Kontrasepsi Suntikan
Kontrasepsi suntikan yang banyak digunakan ialah Medroksi Progesteron
Asetat (MPA) 150 mg dalam bentuk depo dan noretindron enantat 200 mg. kedua
jenis suntikan ini diberikan pada hari kelima pendarahan haid, secara IM (Intra
Muskular) dan harus cukup dalam di daerah gluteus. Untuk jenis pertama
disuntikkan setiap 12 minggu dan jenis yang kedua diberikan setiap 8 minggu.
Pada 3 tahun terakhir ini suatu kontrasepsi suntikan bulanan yang berisi
kombinasi 50 mg MPA (Medroksi Progesteron Asetat) dan 5 mg estradiolsipionat
sedang diteliti di lapangan. Nampaknya jenis kontrasepsi ini mempunyai harapan
yang baik karena dapat mengurangi keluhan gangguan siklus haid yang mungkin
disebabkan adanya penambahan estradiol (Syarif dkk, 1995 dalam Amelia, 2009).
3) Kontrasepsi Implantasi
Kontrasepsi jenis ini diperkenalkan oleh Population Council tahun 1985
dan pada tahun yang sama WHO (World Health Organization) menyatakan
12
bahwa metode ini dapat digunakan dalam program Keluarga Berencana. Di
Indonesia cara ini digunakan pada tahun 1986, yaitu implant yang terdiri dari 6
tube silastik yang berisi 36 mg levonorgestrel (norplant), yang ditanam subkutan
di lengan atas kiri dan digunakan untuk 5 tahun. Kemudian yang akan beredar
adalah jenis implant yang terdiri atas satu tube silastik berisi 3-keto-desogestrel
merupakan metabolit aktif dari desogestrel yang telah lama digunakan sebagai
kontrasepsi oral. Kedua jenis implant ini rata-rata akan mengeluarkan 30 µg/hari
zat aktifnya. Setelah habis masa kerjanya kedua jenis implant tersebut harus
dikeluarkan dari tubuh (Hartanto, 2004).
2.1.3 Pengaruh Kandungan Kontrasepsi Hormona Terhadap Sistem Tubuh
Khususnya Pada Metabolisme Karbohidrat Dan Lemak
1) Pada metabolisme karbohidrat
Pemakaian pil KB antara lain dapat menyebabkan gangguan toleransi
glukosa, dan resistensi insulin. Efek ini biasanya untuk sementara, dan hanya 3-
11% pemakai yang mengalami peningkatan gula darah menetap. Pemakai pil KB
yang mengalami gangguan metabolisme karbohidrat ini umumnya mempunyai
keluarga yang menderita diabetes mellitus khususnya orang tua dan saudara
kandung, pernah mengalami diabetes mellitus waktu hamil, dan obesitas. yang
berpengaruh secara nyata terhadap metabolisme karbohidrat ini adalah
progesteron, sedangkan estrogen tidak menyebabkan pengaruh secara berarti.
Pengaruh progesteron terhadap metabolisme karbohidrat antara lain menurunkan
jumlah dan afinitas reseptor insulin terhadap glukosa dan meningkatkan jumlah
13
kortisol bebas, sehingga hasil akhirnya adalah meningkatnya kadar gula darah
(Amelia, 2009).
2) Pada metabolisme lemak
Perubahan metabolisme lemak pada pemakaian pil KB disebabkan oleh
estrogen dan progesteron, yang masing-masing mempunyai efek berbeda.
Estrogen bersifat kardioprotektif (melindungi jantung) dan anti-aterogenik (anti
pembentukan lemak), sedangkan progesteron bersifat anti-estrogen. Pemakaian
estrogen tunggal antara lain akan menurunkan aktivitas enzim lipoprotein lipase,
meningkatkan kadar kolesterol HDL dan menurunkan kadar kolesterol LDL. Efek
progesteron justru berbanding terbalik dengan efek estrogen tersebut, dan efek ini
tergantung pada potensi androgen-nya. Makin kuat potensi androgen-nya, main
besar efek buruknya pada metabolisme lemak. Usaha untuk mengurangi efek ini
antara lain dengan memakai pil KB kombinasi estrogen dengan kadar progesteron
yang bervariasi (pil kombinasi sekuensial) (Amelia, 2009).
2.2 Obesitas Sentral
2.2.1 Definisi
Obesitas sentral merupakan timbunan lemak dalam jaringan visceral (intra
abdomen), yang tergambar sebagai penambahan ukuran lingkar pinggang sebagai
indek masa lemak dalam perut (Arisman, 2011).
2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Obesitas Sentral
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya obesitas
senral yakni :
14
1) Faktor Genetik
Seseorang yang dikeluarganya memiliki riwayat obesitas sentral, maka
terjadinya obesitas akan meningkat dua sampai tiga kali. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Allison (2003), ketika gen dimutasi secara partikel yang
diujicobakan pada tikus, menunjukkan hal yang bermakna bahwa gen
mempengaruhi obesitas sentral (Suastika, 2006). Disamping mengendalikan
massa lemak, gen juga mengatur distribusi lemak tubuh dan peran gen dalam
pemunculan sifat yang berkaitan dengan obesitas mencapai 50% bahkan lebih
(Comuzzie & Anthony, 2003 dalam Indra, 2006).
2) Faktor Jenis Kelamin
Jenis kelamin wanita lebih cenderung mengalami masalah berat badan
dikarenakan oleh hormon estrogen. Estrogen adalah sekelompok senyawa steroid
yang berfungsi terutama sebagai hormon sex wanita. Selain estrogen yang
diproduksi sendiri oleh tubuh, penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kadar
estrogen yang tinggi juga mengakibatkan pengendapan lemak pada jaringan
tubuh. Estrogen menyebabkan peningkatan pengendapan lemak pada jaringan
subkutis. Sebagai akibatnya berat jenis tubuh wanita keseluruhan, seperti dinilai
oleh pengembangan dalam air, jauh lebih kurang daripada tubuh pria yang
mengandung lebih banyak protein dan lebih sedikit lemak (Guyton, 2007). Selain
hormon estrogen yang terkandung dalam kontrasepsi hormonal, juga terdapat
hormon progesteron yang dapat merangsang pusat pengendali nafsu makan di
hipotalamus yang menyebabkan akseptor makan lebih banyak dari biasanya,
sehingga nafsu makan akan bertambah dan berakibat makan lebih banyak
15
kemudian terjadi peningkatan berat badan. Progesteron mempermudah
penumpukan karbohidrat dan gula menjadi lemak (Clark, 2005).
3) Faktor Lingkungan
Para ahli berpendapat bahwa asupan makanan merupakan hal yang paling
berpengaruh pada faktor lingkungan yang menyebabkan obesitas sentral.
Pergeseran makanan tradisional ke makanan cepat saji yang mengandung tinggi
kalori, tinggi lemak, dan rendah serat menyebabkan obesitas di seluruh penjuru
kota dunia, termasuk Indonesia (Suastika, 2006).
2.2.3 Mekanisme Terjadinya Obesitas Sentral
Kelebihan asupan karbohidrat dapat mengakibatkan kelebihan glukosa
dalam darah yang kemudian disimpan dalam bentuk glikogen di hepar dan otot.
Karena glikogen merupakan cadangan energi yang relaatif kecil, bentuk ini hanya
dapat memenuhi kebutuhan energi kurang dari sehari. Setelah gudang glikogen di
hepar dan otot terisi penuh, glukosa lain diubah menjadi asam lemak dan gliserol
yang digunakan untuk membentuk trigliserida terutama di jaringan adiposa dan
sedikit di otot (Sherwood, 2011).
Kelebihan asupan protein akan diubah menjadi asam amino dan hanya
sedikit menjadi polipeptida atau seluruh molekul protein diabsorpsi dari saluran
pencernaan masuk ke dalam darah. Setelah masuk ke dalam darah, kelebihan
asam amino diabsorpsi oleh sel diseluruh tubuh terutama oleh hepar. Hepar dapat
menyimpan sejumlah besar protein yang dapat berubah dengan cepat sedangkan
ginjal dan mukosa usus dapat menyimpan protein dalam jumlah kecil. Masing-
masing tipe sel tertentu mempunyai batas atas jumlah protein yang dapat dsimpan.
16
Setelah semua sel mencapai batas penyimpanan, asam amino yang berlebih dalam
sirkulasi dipecah menjadi produk lain dan dipergunakan untuk energi. Kelebihan
asam amino tersebut diubah menjadi lemak atau glikogen dan disimpan dalam
bentuk ini (Guyton, 2007). Kelebihan asam amino dalam sirkulasi darah yang
tidak diperlukan untuk sintesa protein tidak disimpan sebagai protein tambahan
tetapi diubah menjadi glukosa dan asam lemak yang pada akhirnya disimpan
sebagai trigliserida (Sherwood, 2011).
Lipid pada nutrisi atau makanan berupa triasligliserol kemudian
dihidrolisis menjadi monogliserida dan asam lemak di dalam intestinum,
kemudian di reesterifikasi dalam mukosa intestinum (Sudoyo, 2007). Setelah
pembentukan kilomikron dari permukaan basolateral eritrtosit perjalanannya ke
dalam laktal sentral vili dan dari sini di dorong bersama dengan limfe, oleh pompa
limfatik naik keatas melalui duktus tarasikus untuk dimasukkan ke dalam vena
pada pertemuan vena jugularis dan subklavia. Kebanyakan kilomikron
dikeluarkan dari sirkulasi darah sewaktu melalui kapiler jaringan adiposa dan
hepar yang banyak enzim lipoprotein lipase. Enzim ini menghidrolisis trigliserida
dari kilomikron yang melekat pada dinding endotel, melepaskan asam lemak dan
gliserol. Asam lemak yang sangat menyatu dengan membran sel dengan segera
berdifusi ke dalam lemak jaringan adiposa dan sel hepar lipase juga menyebabkan
hidrolisis fosfolipid, proses ini juga melepaskan asam lemak yang disimpan
(Guyton, 2007).
Akumulasi lemak ditentukan oleh keseimbangan antara sintesis lemak
(lipogenesis) dan pemecahan lemak (lipolisis – oksidasi asam lemak). Lipogenesis
17
adalah proses deposisi lemak dan meliputi proses sintesis asam lemak dan
kemudian sintesis trigliserida yang terjadi di hepar pada daerah sitoplasma dan
mitokondria dan jaringan adiposa. Sedangkan lipolisis merupakan suatu proses
dimana terjadi dekomposisi kimiawi dan pelepasan lemak dari jaringan lemak.
Bilamana diperlukan energi tambahan maka lipolisis merupakan proses yang
prodominan terhadap proses lipogenesis (Sudoyo, 2007).
2.2.4 Pengaruh Obesitas Sentral Terhadap Sistem Tubuh
Konsentrasi adiponektin akan meningkat jika individu tersebut mengalami
penurunan berat badan. Pada individu yang mengalami obesitas visceral dengan
diabetes mellitus tipe dua, diketahui bahwa ekspresi adiponektin mengalami
penurunan secara signifikan. Adiponektin ditemukan memegang peranan penting
pada terjadinya resistensi insulin. Kadar sitokin ini di dalam sirkulasi
berhubungan secara positif terhadap toleransi glukosa dan sensitivitas insulin
(Aryana, 2011).
Leptin adalah hormon yang berhubungan dengan lipolisis. Leptin
membatasi penyimpanan lemak tidak hanya dengan mengurangi masukan
makanan, tetapi juga mempengaruhi jalur metabolik yang spesifik di adiposa dan
jaringan lainnya. Leptin merangsang pengeluaran gliserol dari adiposit, dengan
menstimulasi oksidasi asam lemak dan menghambat lipogenesis (Sudoyo, 2007).
Kadar leptin plasma meningkat pada orang gemuk dengan gen leptin normal
sebanding dengan persentase lemak tubuh, dan terdapat korelasi positif serupa
antara konsentrasi mRNA leptin di jaringan lemak dan persentase lemak tubuh
(Ganong, 2008).
18
Resistin merupakan salah satu protein adipositokinin yang diproduksi oleh
jaringan adiposa, kadarnya meningkat pada penderita dengan obesitas dan erat
kaitannya dengan kejadian resistensi insulin. Resistin diduga sebagai penghubung
antara adiposit dan resistensi insulin dengan cara inhibisi insulin stimulated
glucoseuptake dan membloking diferensiasi adiposit. Kadar resistin tinggi
menginduksi resistensi insulin berkontribusi pada kegagalan sensitivitas insulin.
Resistin memperlihahtkan perannya dalam menggagalkan homeostasis glukosa
dan aksi insulin serta antagonis terhadap efek insulin. Resistin menurunkan
glukoneogenesis dan menurunkan kemampuan otot skelet dan adiposa dalam
ambilan glukosa (Marfianti, 2006).
Obesitas (kegemukan) sentral salah satu ciri sindrom metabolik,
merupakan dasar hipotesis portal/visceral bahwa peningkatan lemak visceral
menyebabkan fokus asam lemak bebas yang lebih besar dan menghambat kerja
insulin melalui efek handle di jaringan sensitive insulin ketersediaan asam lemak
bebas yang tinggi menyebabkan penurunan penggunaan glukosa di otot, dan akan
merangsang produksi glukosa hepar dan very low density lipoprotein (VLDL) dan
memperkuat sekresi insulin terstimulasi glukosa. Efek lipotoksik jangka panjang
asam lemak terhadap sel beta pankreas merupakan bagian dari keterkaitan antara
obesitas, resistensi insulin dan terjadinya diabetes mellitus tipe dua (Suastika,
2008).
Pada obesitas terjadi pelepasan asam lemak bebas ke dalam sirkulasi.
Asam lemak bebas berasal dari lipolisis trigliserida jaringan adiposa. Makin
banyak jaringan adiposa maka asam lemak bebas yang dilepaskan juga makin
19
meningkat. Pada obesitas tetap terjadi pelepasan asam lemak bebas berlebih,
meskipun kadar insulin juga meningkat. Hal ini disebabkan meski kadar insulin
tinggi dapat menekan lipolisis jaringan adiposa namun tetap tidak mampu
menekan pelepasan asam lemak hingga mencapai normal pada obesitas. Asam
lemak bebas merupakan sumber utama energi bagi sel pada keadaan puasa, pada
obesitas masuknya asam lemak bebas ke jaringan melebihi dari kebutuhan.
Masuknya asam lemak bebas berlebih kedalam otot mengakibatkan resistensi
insulin (Cahjono dkk, 2007).
2.2.5 Pengukuran Obesitas Sentral
Banyaknya lemak dalam perut menunjukkan ada beberapa perubahan
metabolisme termasuk daya tahan terhadap insulin dan meningkatnya produksi
asam lemak bebas, dibanding dengan banyaknya lemak bawah kulit atau pada
kaki dan tangan. Perubahan metabolisme ini memberikan gambaran tentang
pemeriksaan penyakit yang berhubungan dengan perbedaan distribusi lemak
tubuh (Sudoyo, 2006).
Saat ini terdapat banyak cara untuk menilai jaringan adiposa untuk
membedakan apakah ukuran lingkar pinggang besar (obesitas sentral) merupakan
hasil dari jaringan lemak yang berasal di bawah kulit (jaringan adiposa subkutan),
jaringan lemak dalam abdomen (visceral) atau kombinasi keduanya (Eekel and
Grundy, 2006 dalam Cahjono, 2007). Untuk itu digunakan Magnetic Resonance
Imaging (MRI), Computed Tomography (CT) setinggi L3/L4, atau dual-energi x-
ray absorptiometry (DEXA) namun teknik dan caranya sulit untuk dipakai pada
praktek sehari-hari (WHO, 2002). Sebagai alternatif digunakan rasio lingkar
20
pinggang/pinggul untuk menilai obesitas abdominal. Namun demikian WHO lebih
menganjurkan lingkar pinggang dibandingkan rasio lingkar pinggang /pinggul
(WHO, 2002).
Lingkar pinggang dikatakan memiliki korelasi yang tinggi dengan jumlah
lemak intraabdominal dan lemak total dan telah digunakan secara mandiri maupun
bersama-sama tebal lemak subkutan untuk mengembangkan suatu korelasi regresi
untuk mengkoreksi massa lemak intraabdominal. Pengukuran ini telah divalidasi
dalam sebuah penelitian yang telah dilakukan di Belanda. Pengukuran dengan
menggunakan lingkar pinggang saja disesuaikan untuk umur, menunjukkan
prediksi lemak tubuh yang baik pada subyek orang Belanda (r2
= 78%) (Sudoyo,
2006).
Terdapat berbagai cara untuk melakukan pengukuran lingkar pinggang.
Menurut WHO (2000) dalam Cahjono (2007), untuk memperoleh ukuran lingkar
pinggang, subyek berdiri tegak dengan kaki sedikit terbuka berjarak 25-30 cm.
berat badan ditumpukan merata pada kedua kaki. Buat titik tengah garis vertical
antara tulang iga terbawah dengan krista iliaka pada sisi kanan dan kiri. Buat
lingkaran horizontal melalui kedua titik tengah tersebut. Pemeriksa mengukur
keliling lingkar tersebut pada posisi mata sejajar dengan lingkaran tersebut.
Pengukuran dilakukan tanpa melakukan penekanan pada jaringan lunak pinggang
dan dilakukan pada akhir dari ekspirasi normal. Lingkaran diukur dengan
ketelitian 0,1 cm.Kriteria lingkar pinggang Asia Pasifik yakni ≥90 cm untuk laki-
laki dan ≥80 cm untuk perempuan (Sudoyo, 2006).
21
2.3 Kadar Glukosa Darah
2.3.1 Definisi
Kadar glukosa darah adalah istilah yang mengacu kepada tingkat glukosa
di dalam darah. Konsentrasi glukosa darah, atau tingkat glukosa serum, diatur
dengan ketat di dalam tubuh. Umumnya tingkat gula darah bertahan pada batas-
batas yang sempit sepanjang hari (70-150 mg/dl). Tingkat ini meningkat setelah
makan dan biasanya berada pada level terendah pada pagi hari, sebelum orang
makan (Henrikson, 2009). Ada beberapa tipe kadar gula darah yakni :
1) Kadar Glukosa Puasa
Kadar glukosa darah puasa yakni jumlah glukosa dalam darah yang
didapatkan setelah melakukan puasa/tidak makan selama delapan sampai 10 jam
(D’adamo, 2006). Glukosa darah dalam keadaan puasa merupakan cerminan
ambilan glukosa oleh jaringan atau glukoneogenesis dan glukogenolisis oleh
hepar. Ketidakpekaan insulin di sel-sel hepar dan jaringan tepi terutama otot
rangka mengakibatkan produksi glukosa oleh hepar tidak terbendung sementara
ambilan dan penggunaan glukosa justru berkurang (Arisman, 2011).
Tabel 1. Kadar Glukosa Darah Puasa Sebagai Patokan Penyaring Dan Diagnosis DM
HASIL GLUKOSA DARAH PUASA DIAGNOSA
<90 mg/Dl Normal
90 - 109 mg/dL Pre-diabetes
≥110 mg/dL Diabetes
Sumber : Perkeni, 2006
2) Kadar Glukosa Darah Dua jam PP
Pemeriksaan kadar glukosa darah dua jam PP dilakukan setelah
pemeriksaan kadar glukosa darah puasa. Tingkat glukosa darah diukur segera
sebelum dan dua jam setelah seseorang menerima beban (cairan) yang
22
mengandung 75 gram glukosa yang dilarutkan dalam air. Apabila kadar glukosa
darah dua jam setelah pemberian beban adalah antara 140 dan 199 mg/dL, berarti
seseorang memiliki peningkatan risiko diabetes (Manaf, 2009).
Tabel 2. Kadar Glukosa Darah 2 Jam PP Sebagai Patokan Penyaring Dan Diagnosis DM
HASIL GLUKOSA 2 JAM PP DIAGNOSA
<139 – 139 mg/dL Normal
140 – 199 mg/dL Pre-diabetes
200 - >200 mg/dL Diabetes
Sumber : Manaf, 2009
3) Kadar Glukosa Darah Sewaktu
Disebut juga tes glukosa plasma kasual, mengukur glukosa darah tanpa
memperhatikan apa yang dikonsumsi oleh orang yang sedang diuji. Tes ini
bersamaan dengan penilaian gejala, digunakan untuk mendiagnosis diabetes tetapi
bukan pre-diabetes (Manaf, 2009). Kadar glukosa darah sewaktu adalah salah satu
jenis pemeriksaan kadar glukosa dalam darah yang diambil kapan saja, tanpa
memperhatikan waktu makan (Laboratorium Kesehatan, 2010).
Tabel 3. Kadar Glukosa Darah Sewaktu Sebagai Patokan Penyaring Dan Diagnosis DM
HASIL GLUKOSA DARAH SEWAKTU DIAGNOSA
<90 mg/dL Normal
90 - 199 mg/dL Pre-diabetes
≥200 mg/dL Diabetes
Sumber : PERKENI, 2006
2.3.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Glukosa Darah
Kadar glukosa darah puasa dipengaruhi oleh faktor endogen. Faktor
endogen yaitu humoral faktor seperti hormon insulin, glukagon, kortisol (sistem
reseptor di otot dan sel hati). Insulin puasa bekerja dengan menghambat produksi
glukosa endogen yang berasal dari proses glukogenolisis. Insulin puasa ini
berperan melalui efek inhibisi hormon glukagon terhadap mekanisme produksi
23
glukosa endogen secara berlebihan. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin,
semakin rendah kemapuan inhibisinya terhadap proses glukoneogenesis dan
glikogenolisis, dan semakin tinggi tingkat kadar glukosa darah puasa (Sudoyo,
2006). Kadar insulin puasa dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Usia dewasa
tengah merupakan rentang usia yang berisiko tinggi terjadinya peningkatan kadar
glukosa darah puasa (PERKENI, 2006).
1) Genetik
Pada beberapa kasus, kecenderungan faktor herediter dapat menyebabkan
degenerasi sel beta. Kerusakan sel beta pankreas mengganggu produksi insulin
yang dapat menyebabkan timbulnya diabetes tipe satu (Guyton, 2007).
2) Usia dan Jenis Kelamin
Usia memegang peranan penting dalam kejadian sindrom metabolik yang
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah akibat dari resistensi insulin
(Fasli dkk, 2008). Suastika (2008) menyatakan bahwa resistensi insulin diperberat
oleh proses menua. Selain itu kadar insulin juga berbeda berdasarkan jenis
kelamin.
3) Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik merupakan salah satu penatalaksanaan DM karena efeknya
dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan
glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Aktivitas fisik yang
melelahkan, konsentrasi glukosa dalam darah seringkali meningkat sebanyak
empat sampai lima kali lipat (Guyton, 2007).
24
4) Obat-obatan Hipoglikemik
Beberapa jenis obat-obatan seperti obat hipoglikemik dapat menurunkan
kadar glukosa darah. Obat-obatan yang digunakan adalah pensensitif insulin dan
sulfonilurea. Dua tipe pensensitif yang tersedia adalah metformin dan
tiazolidinedion. Metformin menurunkan produksi glukosa hepar, menurunkan
absorpsi glukosa pada usus, dan meningkatkan kepekaan insulin khususnya di
hepar. Tiazolidinedion meningkatkan kepekaan insulin perifer dan menurunkan
produksi glukosa hepar (Price & Wilson, 2006).
Mempertahankan kadar glukosa puasa normal bergantung pada produksi
glukosa hepar, ambilan glukosa jaringan perifer, dan hormon yang mengatur
metabolisme glukosa. Kegagalan fungsi ini menyebabkan peningkatan atau
penurunan kadar glukosa puasa (Price & Wilson, 2006). Jumlah glukosa yang
diambil dan dilepaskan hati yang digunakan oleh jaringan-jaringan perifer
bergantung pada keseimbangan fisiologis beberapa hormon yaitu hormon yang
menurunkan kadar glukosa darah atau hormon yang meningkatkan kadar glukosa
darah. Insulin merupakan hormon yang menurunkan kadar glukosa darah, di
bentuk oleh sel-sel beta pulau langerhans pankreas (Price & Wilson, 2006).
Penggunaan terapi obat mempengaruhi kadar glukosa darah. Beberapa
hormon secara langsung dapat meningkatkan sekresi insulin atau yang dapat
memperkuat rangsangan glukosa terhadap sekresi insulin meliputi glukagon,
hormon pertumbuhan, kortisol, estrogen dan progesteron. Manfaat efek
perangsangan hormon-hormon ini adalah bahwa pemanjangan sekresi dari salah
satu jenis hormon ini dalam jumlah besar kadang-kadang dapat mengakibatkan
25
sel-sel beta pulau langerhans menjadi kelelahan dan karenanya akan
mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah dan meningkatkan risiko untuk
terkena diabetes (Guyton, 2007).
2.3.3 Mekanisme Pengaturan Glukosa Darah
Pengaturan besarnya konsentrasi glukosa darah pada orang normal sangat
sempit, biasanya antara 80 sampai 90 mg/100 ml darah pada orang yang sedang
berpuasa yang diukur sebelum makan pagi. Konsentrasi ini meningkat menjadi
120 sampai 140 mg/100 ml darah selama kira-kira satu jam pertama setelah
makan, namun sistem umpan balik yang mengatur kadar glukosa darah dengan
cepat mengembalikan konsentrasi glukosa kenilai kontrolnya, biasanya terjadi
dalam waktu dua jam sesudah absorpsi karbohidrat yang terakhir. Sebaliknya,
pada keadaan kelaparan fungsi glukoneogenesis dari hepar menyediakan glukosa
yang dibutuhkan untuk mempertahankan kadar glukosa darah puasa (Guyton,
2007).
Saat glukosa darah meningkat hingga konsentrasi yang tinggi, yaitu
sesudah makan, dan kecepatan sekresi insulin juga meningkat, sebanyak dua
pertiga dari seluruh glukosa yang diabsorbsi dari usus dalam waktu singkat akan
disimpan di hepar dalam bentuk glikogen. Selama beberapa jam berikutnya, bila
konsentrasi glukosa darah dan kecepatan sekresi insulin berkurang, hepar akan
melepaskan glukosa kembali ke dalam darah. Dengan cara ini, hepar mengurangi
fluktuasi konsentrasi glukosa darah sampai kira-kira sepertiga dari fluktuasi yang
dapat terjadi (Guyton, 2007).
26
Bila konsentrasi glukosa darah meningkat sangat tinggi, sekresi insulin
akan terjadi, insulin selanjutnya akan mengurangi konsentrasi glukosa darah
kembali ke nilai normalnya. Sebaliknya, penurunan kadar glukosa darah akan
merangsang sekresi glukagon yang berfungsi secara berlawanan, yakni
meningkatkan kadar glukosa darah agar kembali ke nilai normalnya (Guyton,
2007).
Pada keadaan hipoglikemia berat, timbul suatu efek langsung akibat kadar
glukosa darah yang rendah terhadap hipotalamus, yang akan merangsang sistem
saraf simpatis. Selanjutnya, hormon epinefrin yang disekresi oleh kelenjar adrenal
menyebabkan pelepasan glukosa lebih lanjut dari hepar. Epinefrin juga membantu
melindungi agar tidak timbul hipoglikemia yang berat. Setelah beberapa jam,
sebagai respon terhadap keadaan hipoglikemia yang lama, akan timbul sekresi
hormon pertumbuhan dan kortisol, dan kedua hormon ini mengurangi kecepatan
pemakaian glukosa oleh sebagian besar sel tubuh, dan sebaliknya akan menambah
jumlah pemakaian lemak. Hal ini juga akan mengembalikan kadar glukosa darah
menjadi normal (Guyton, 2007).
Mempertahankan kadar glukosa dalam nilai normalnya bergantung pada
produksi glukosa hepar, ambilan glukosa jaringan perifer, dan hormon yang
mengatur metabolisme glukosa. Kegagalan fungsi ini menyebabkan peningkatan
atau penurunan kadar glukosa darah (Price &Wilson, 2006). Insulin adalah suatu
polipeptida yang mengandung dua rantai asam amino yang dihubungkan oleh
jembatan disulpida. Insulin di bentuk di retikulum endoplasma kasar sel B. Insulin
kemudian dipindah ke apparatus golgi, tempat insulin mengalami pengemasan
27
dalam granula berlapis membran. Granula ini bergerak ke membran plasma
melalui suatu proses yang melibatkan mikrotubulus dan isi granula dikeluarkan
melalui eksositosis. Insulin kemudian melintasi lamina basalis sel B serta kapiler
didekatnya dan endotel kapiler yang berpori untuk mencapai aliran darah. Insulin
mempunyai peranan di jaringan adiposa, otot (otot rangka, otot jantung, otot
polos), serta hati (Ganong, 2008).
Peranan insulin di jaringan adiposa adalah meningkatkan pemasukan
glukosa, meningkatkan sintesis asam lemak, meningkatkan sintesis gliserol
pospat, meningkatkan pengendapan trigliserida, mengaktifkan lipoprotein lipase,
mengahmbat lipase peka hormon, dan meningkatkan ambilan kalium. Sedangkan
peranan insulin di hati adalah menurunkan ketogenesis, meningkatkan sintesis
protein, meningkatkan sintesis lemak, menurunkan pengeluaran glukosa akibat
penurunan glukoneogenesis dan peningkatan sintesis glikogen dan peningkatan
glikolisis (Ganong, 2008).
Efek pada karbohidrat. Insulin memiliki empat efek yang dapat
menurunkan kadar glukosa darah dan meningkatkan penyimpanan karbohidrat
sebagai berikut (Sherwood, 2011):
1) Insulin mempermudah masuknya glukosa ke dalam sebagian besar sel.
Insulin meningkatkan mekanisme difusi terfasilitasi kedalam sel-sel
tergantung insulin tersebut melalui fenomena transporter rekrutmen.
2) Insulin merangsang glikogenesis, pembentukan glikogen dari glukosa,
baik di hepar maupun otot.
28
3) Insulin menghambat glikogenolisis, penguraian glikogen menjadi
glukosa.
4) Insulin selanjutnya menurunkan pengeluaran glukosa oleh hepar dengan
menghambat glukoneogenesis, perubahan asam amino menjadi glukosa
di hepar.
Efek pada lemak. Insulin memiliki banyak efek untuk menurunkan kadar
asam lemak darah dan mendorong pembentukan simpanan trigliserida sebagai
berikut (Sherwood, 2011):
1) Insulin mendorong transportasi aktif asam-asam amino dari darah ke
dalam otot dan jaringan lain.
2) Insulin meningkatkan kecepatan penggabungkan asam amino ke dalam
protein dengan merangsang prangkat pembuat protein di dalam sel.
3) Insulin menghambat penguraian protein.
Jumlah glukosa yang diambil dan dilepaskan oleh hepar dan digunakan
oleh jaringan-jaringan perifer bergabung pada keseimbangan fisiologi beberapa
hormon yaitu hormon yang merendahkan kadar glukosa darah, atau hormon yang
meningkatkan kadar glukosa darah. Insulin merupakan hormon yang menurunkan
kadar glukosa darah, di bentuk oleh sel-sel beta pulau langerhans pankreas
(Sherwood, 2011).
2.3.4 Pengukuran Kadar Glukosa Darah
Menurut metode pemeriksaan kadar glukosa darah terdapat beberapa
metode yaitu (Kaplan, 1989 dalam Anik & Bernard, 2009) :
29
1) Metode Kimia atau Gula Reduksi
Sebagian besar pengukuran dengan metode kimia yang didasarkan atas
kemampuan reduksi sudah jarang dipakai karena spesifitas pemeriksaan kurang
tinggi. Prinsip pemeriksaan, yaitu proses kondensasi glukosa dengan akromatik
amin dan asam asetat glasial pada suasana panas, sehingga terbentuk senyawa
berwarna hijau kemudian diukur secara fotometri. Beberapa kelemahan atau
kekurangan dari metode kimia adalah memerlukan langkah pemeriksaan yang
panjang dengan pemanasan, sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan besar.
Reagen-reagen pada metode kimiawi ini bersifat korosif pada alat laboratorium
(Kaplan, 1989 dalam Anik & Bernard, 2009).
2) Reagen Kering (Glukosa meter)
Prinisp dari metode ini tes strip menggunakan enzim glukosa oksidase dan
didasarkan pada teknologi biosensor yang spesifik untuk pengukuran glukosa, tes
strip mempunyai bagian yang dapat menarik darah utuh dari lokasi
pengambilan/tetesan darah ke dalam zona reaksi. Glukosa oksidase dalam zona
reaksi akan mengoksidasi glukosa di dalam darah. Intensitas arus elektron akan
terukur oleh alat dan terbaca sebagai konsentrasi glukosa dalam darah (Kaplan,
1989 dalam Anik & Bernard, 2009).
3) Metode Enzimatik
Metode enzimatik pada pemeriksaan glukosa darah memberikan hasil
dengan spesifitas yang tinggi, karena hanya glukosa yang akan terukur. Cara ini
adalah cara yang digunakan untuk menentukan nilai batas. Ada dua macam
30
metode enzimatik yang digunakan yaitu glucose oxidase dan metode hexokinase
(Kaplan, 1989 dalam Anik & Bernard, 2009).
a. Metode glukosa oksidase
Prinsip dari metode enzimatik adalah enzim glukosa oksidase
mengkatalis reaksi glukosa menjadi glukonolakton dan hydrogen peroksida.
Enzim glukosa oksidase yang digunakan pada reaksi pertama menyebabkan
reaksi spesifik untuk glukosa, sedangkan reaksi kedua tidak spesifik karena
zat yang bisa teroksidase menyebabkan hasil pemeriksaan rendah. Asam
urat, asam askorbat, bilirubin, dan glutation akan menghambat reaksi karena
zat-zat ini akan berkompetisi dengan kromogen bereaksi dengan hydrogen
peroksida sehingga hasil pemeriksaan akan lebih rendah (Kaplan, 1989
dalam Anik & Bernard, 2009).
b. Metode heksokinase
Prinsip dari metode ini adalah enzim heksokinase akan mengkatalis
reaksi fosforilasi glukosa dengan ATP membentuk glukosa 6-fosfat dan
ADP. Enzim kedua yaitu glukosa 6-fosfat dehydrogenase akan mengkatalis
oksidasi glukosa 6-fosfat dengan nikolinamide adenine dinucleotide
phosphate (NAPP+) (Kaplan, 1989 dalam Anik & Bernard, 2009).
Pengukuran kadar gula darah terdapat beberapa pemeriksaan, menurut
jenis pemeriksaan kadar gula darah ada beberapa jenis (Kaplan, 1989 dalam Anik
& Bernard, 2009):
1) Glukosa darah puasa, pemeriksaan glukosa darah dimana pasien sebelum
pengambilan darah dipuasakan selama delapan sampai 10 jam.
31
2) Glukosa darah sewaktu, pemeriksaan glukosa darah yang dilakukan tanpa
memperhatikan waktu terakhir pasien makan.
3) Glukosa darah Dua jam PP, pemeriksaan glukosa darah yang dilakukan tepat
selepas dua jam makan.